425 425
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
Dalam bab ini dijelaskan tentang kondisi perjuangan
pedagang kaki lima (PKL) yang demikian solid dengan modal
sosial yang mereka miliki, baik yang bersumber dari bonding social capital maupun bridging social capital, tidak lagi
diteruskan, karena proyek pembangunan fisik berupa
normalisasi sungai Banjir Kanal Barat yang dibiayai oleh APBD
Provinsi Jateng, APBN pemerintah pusat, dan bantuan JICA
Jepang, telah menghancurluluhkan tempat yang mereka
jadikan untuk tumpuan hidup.
Perpecahan di kalangan PKL, membuat PKL tidak berdaya
menghadapi proyek pembangunan. Bertahan dengan tetap
berada di bangunan atau lapak, tidak mungkin mereka lakukan,
karena semua bangunan, jalan di tepi sungai, dan bahkan
pohon-pohon besar pun ditumbangkan demi menata sungai
Banjir Kanal Barat yang kelak akan dijadikan sebagai sarana
wisata air, selain untuk mengendalikan banjir di kota
Semarang. Kepentingan yang lebih besar itulah yang menjadi
alasan Pemkot Semarang memaksa PKL harus pindah ke tempat
relokasi yang sudah disediakan pemerintah.
Untuk memahami bagaimana akhirnya PKL sebagai
komunitas ekonomi rakyat kecil tergusur dan harus pindah ke
tempat lain, dalam uraian berikut secara berturut-turut
dikemukakan kekerasan simbolik dan represi yang dilakukan
pemerintah, kemudian dampak proyek pembangunan waduk
Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal
Barat, serta masih menguatnya modal sosial yang dimiliki PKL,
meskipun PKL yang berada di tepi sungai terpaksa menyingkir
dari lokasi berdagang.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
426
A. Dari Kekerasan Simbolik hingga Kekerasan Langsung
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Asosiasi
Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI),
Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), dan
Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), telah
menyepakati sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik
(Fahmal 2006:66-67). Sepuluh prinsip itu adalah sebagai
berikut.
Pertama, partisipasi, dalam arti bahwa setiap warga
didorong untuk menggunakan hak dalam menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Kedua, penegakan hukum, yaitu menegakkan hukum secara
adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi
HAM, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Ketiga, transparansi, yakni menciptakan kepercayaan
timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
pelayanan penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Keempat, kesetaraan, yakni memberi peluang yang sama
bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Kelima, daya tangkap, yakni meningkatkan kepekaan para
penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat
tanpa kecuali.
Keenam, wawasan ke depan, yaitu membangun daerah
berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan
warga masyarakat dalam seluruh proses pembangunan,
427
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
sehingga warga masyarakat memiliki dan ikut bertanggung
jawab terhadap kemajuan daerahnya.
Ketujuh, akuntabilitas, yaitu meningkatkan akuntabilitas
para pengambil keputusan dalam bidang yang menyangkut
kepentingan masyarakat luas.
Kedelapan, pengawasan, yaitu meningkatkan upaya
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas.
Kesembilan, efisiensi dan efektivitas, yaitu menjamin
terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggung jawab.
Kesepuluh, profesionalisme, yaitu meningkatkan
kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar
mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dan
biaya yang terjangkau.
Pemerintah daerah sudah seharusnya melakukan fungsinya
dengan baik berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik. Beberapa pemerintah daerah ada yang telah dapat
menjalankan fungsinya dengan baik, khususnya dalam
mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan yang prima kepada
masyarakat. Kabupaten Sragen, kabupaten Jembrana, kabupaten
Bantul, kota Yogyakarta, dan kota Surakarta merupakan sekian
dari kota dan kabupaten di Indonesia yang berhasil
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah yang sadar akan dirinya sebagai agen
masyarakat memang dapat menjalankan fungsinya dengan baik,
tetapi tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang
memiliki kinerja seperti itu. Apalagi jika walikota atau bupati
yang terpilih terlibat money politic dan bersekongkol dengan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
428
pihak pengusaha, sehingga dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan sudah dapat dipastikan bahwa
mereka akan lebih berpihak kepada kelas atas seperti birokrat
daerah dan pengusaha, sementara keberpihakannya kepada
rakyat kecil tidaklah begitu besar atau bahkan dalam beberapa
kebijakan yang diambil bisa saja pemerintah daerah yang
dikelola pemimpin seperti itu lebih banyak memusuhi rakyat
kecil yang sumbangan ekonominya tidak signifikan bagi
daerah. Itulah sebabnya, cukup banyak kepala daerah yang
bertindak halus dan penuh rasa cinta kepada pihak-pihak yang
memuluskan jalannya menuju pemimpin nomor satu di daerah
dan bertindak kasar penuh rasa benci kepada rakyat kecil yang
dipandang mengotori, membuat tidak indah dan asri, serta
merusak citra daerah, seperti halnya pedagang kaki lima (PKL)
liar.
Pemerintah dapat saja memiliki kebijakan yang berbeda
dalam mengelola kehidupan masyarakat dan menyelenggarakan
pembangunan. Apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
pemerintah tersebut bisa berdampak positif maupun negatif
bagi warga atau kelompok masyarakat. Ada kelompok
masyarakat yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah,
tetapi ada juga kelompok masyarakat lainnya yang dirugikan
atau setidaknya merasa dirugikan karena kebijakan yang telah
ditempuh oleh pemerintah.
Secara teoretik sudah banyak konsep mengenai
pemerintahan yang baik berikut azas-azas dan prinsip-
prinsipnya. Semua azas dan prinsip tersebut dijadikan sebagai
acuan bagi pemerintah untuk mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Dalam
realitasnya, pemerintah kota Semarang (terutama pada masa
kepemimpinan Soekawi Soetarip) tidak mampu menghasilkan
kebijakan yang memberikan perlindungan dan keamanan sosial
serta peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat
kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan,
429
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dan para pedagang kecil, termasuk PKL liar atau yang tidak
terorganisasi.
Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap,
wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta
profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman
bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-
baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi
dalam kenyataannya tidak digunakan.
Banyak upaya dan program yang telah ditetapkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik yang dipayungi
Perda maupun yang dinaungi Peraturan Walikota dan
kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi dalam realitasnya ada juga
lapisan masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil-hasil
pembangunan, seperti kelompok marginal di jalanan (pengemis,
gelandangan, anak jalanan, dan PKL). Pengemis, gelandangan,
dan anak jalanan dalam perspektif pemerintah kota,
digolongkan dalam kelompok penyandang tuna sosial,
sedangkan PKL meskipun tidak termasuk penyandang tuna
sosial, tetapi mereka tergolong kelompok marginal atau
terpinggirkan, karena dianggap kelompok masyarakat yang sulit
diatur dan sulit dikendalikan.
Pemerintah merupakan representasi negara, yang memiliki
kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Dalam relasi
negara-rakyat, Pemkot Semarang termasuk dalam posisi negara
yang memiliki sumber daya kekuasaan, sedangkan PKL berada
dalam status rakyat yang tidak memiliki sumber daya
kekuasaan. Dalam relasi ini, Pemkot (representasi dari negara)
dalam posisi dominan dan superordinat, sementara PKL
(representasi rakyat) sebagai pihak yang terdominasi dan
subordinat. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Pemkot
harus dipatuhi dan diikuti PKL, termasuk ketika mereka harus
dipindahkan karena telah menempati ruang publik.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
430
Pihak dominan dengan segala kekuasaan yang dimiliki
acapkali menggunakan kekerasan meskipun kadang mereka
tidak menyadari atau pun telah disadarinya dengan tujuan
untuk menaklukkan pihak yang didominasi atau terdominasi.
Dominannya kekerasan sebagai cara untuk menyelenggarakan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat sudah dirasakan sejak
pemerintahan Orde Baru (Gultom 2003). Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan senantiasa bersifat koersi, dibarengi tindak
kekerasan dan pemaksaan.
Dalam kaitannya dengan PKL, Pemkot Semarang telah
melakukan apa yang disebut dengan kekerasan simbolik.
Menurut Bourdieu, kekerasan simbolis adalah pemaksaan
sistem simbolisme dan makna (kebudayaan) terhadap kelompok
atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai
sesuatu yang sah (Jenkins 2004:157). Legitimasinya
meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan pemaksaan
tersebut berhasil.
Selama hal tersebut diterima sebagai sesuatu yang sah,
kebudayaan memperkuat dirinya melalui relasi kekuasaan dan
memberinya kontribusi kepada reproduksi sistematis mereka.
Hal ini diraih melalui proses salah mengenali (misrecognition),
yaitu proses di mana relasi kekuasaan tidak dipersepsikan secara
objektif, namun dalam bentuk yang menjadikan mereka absah
di mata pemeluknya.
Dalam memaksakan kekerasan simbolik ini, pihak dominan
menggunakan instrumen pengetahuan, sebagai wujud dari
terbentuknya relasi dominasi, sehingga membuat relasi itu
tampak alamiah (natural) di mata pihak yang terdominasi
(Bourdieu 2010:50). Kekerasan simbolik ini dilembagakan
melalui perantaraan kesepakatan yang tidak bisa diberikan oleh
pihak terdominasi kepada si dominan ketika skema-skema
yang digunakan oleh pihak terdominasi untuk memahami dan
menilai diri atau yang digunakan untuk menilai pihak
431
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dominan. Kekerasan negara dalam bentuk simbolik ini
menciptakan kebutuhan akan perlunya peraturan perundangan
dan lembaga peradilan sebagai instrumen pembenar tindakan
negara (Gultom 2003).
Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang
tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda
nomor 11 tahun 2000. Sebagaimana disampaikan Bourdieu,
kata-kata dapat digunakan sebagai (1) alat melakukan kekerasan
dan paksaan, (2) alat intimidasi dan penyelewengan, (3) tanda
dan keadaban, sikap merendahkan diri dan jijik (Thompson
2003).
Dalam Perda tersebut terdapat kata-kata atau kalimat yang
menandakan Pemkot melakukan kekerasan dan paksaan
terhadap pedagang kaki lima. Judul dari Perda tersebut sudah
menunjukkan tanda kekerasan simbolis, yaitu Peraturan
Daerah kota Semarang tentang Pengaturan dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima. Kata “pengaturan” dan “pembinaan”
menunjukkan relasi kuasa yang timpang, di mana Pemkot
berada pada posisi dominan dan sangat berkuasa melakukan apa
saja terhadap PKL. Pedagang pun dibuat seakan-akan apa yang
dilakukan Pemkot terhadapnya memang absah dilakukan,
termasuk membongkar tempat usaha, menyita barang dagangan
atau peralatan, dan mencabut izin tempat usaha, sebagaimana
diatur dalam pasal 13 Perda ini.
Kalimat yang mencerminkan kekerasan dan paksaan
terhadap PKL tidak hanya dapat dicermati dalam pasal 13,
tetapi hampir semua pasal, kecuali pasal 6 yang mengatur
tentang hak PKL, mencerminkan kekerasan simbolik tersebut.
Kekerasan simbolik tersebut tampak pula dalam stigma
negatif yang dilontarkan pihak Pemkot dengan menggunakan
media massa lokal ketika mereka melakukan penertiban dan
penggusuran terhadap PKL Basudewo. Harian Suara Merdeka
yang terbit tanggal 29 Mei 2010 dalam headline-nya menulis
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
432
judul besar “PKL Basudewo Langgar Peraturan”. Penulisan
headline ini jelas atas permintaan Pemkot Semarang
menanggapi demonstrasi PKL Basudewo yang menolak
penggusuran dan relokasi. Pihak Pemkot menganggap PKL
Basudewo telah melanggar ketentuan SK Walikota Nomor
511.3/16/2001 tentang Penetapan Lahan atau Lokasi PKL di
Kota Semarang, karena menempati lahan yang tidak ditunjuk
dan ditetapkan berdasarkan SK Walikota tersebut.
Stigma negatif juga ditunjukkan terhadap PKL Kokrosono,
sebagaimana ditulis Harian Semarang tanggal 10 Juni 2010.
“PKL liar Kokrosono segera ditertibkan”, inilah bunyi headline
dari Harian Semarang, yang memberi penilaian negatif
sekaligus memaksakan ideologi Pemkot bahwa PKL Kokrosono
memang liar dan harus menerima penertiban. Stigma negatif
yang diberikan Pemkot terhadap PKL Basudewo dan
Kokrosono memberikan bukti bahwa permainan kata-kata yang
disampaikan Pemkot memberikan suatu legitimasi kepada
Pemkot bahwa Pemkot memang berhak mengendalikan,
mengatur, dan menertibkan PKL yang mereka pandang liar,
sulit diatur, dan melanggar peraturan.
Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut
dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik
terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang.
Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang
fisik atau psikologis seseorang secara langsung (Salmi 2003:31).
Termasuk dalam aktivitas kekerasan langsung adalah
pemusnahan etnis (genocide), pembunuhan massal, penculikan,
penyiksaan, perkosaan, dan pengusiran secara paksa.
Penertiban dan penggusuran merupakan bagian dari kekerasan
langsung berupa pengusiran secara paksa.
Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di
kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung
merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk
433
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas
penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang,
sebagai wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada
tahun 2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011,
meskipun di sisi lain Pemkot menyediakan ratusan shelter
untuk tempat berdagang bagi PKL, sebagaimana yang dialami
para PKL yang melakukan aktivitas ekonomi di bundaran
Simpang Lima dan di jalan Menteri Soepeno.
Pemkot Semarang tidak hanya menertibkan dan menggusur
PKL di tiga lokasi yang diteliti, tetapi juga menertibkan dan
menggusur PKL lainnya yang ada di Kota Semarang. Petugas
Satpol PP pada hari Kamis tanggal 21 Oktrober 2010 melakukan
penertiban dan pembongkaran lapak terhadap pedagang kaki
lima yang berdagang di jalan Anton Sujarwo Srondol Semarang
(Wawasan, Sabtu Wage, 23 Oktober 2010, Halaman 13).
Pada tanggal 10 April 2011 petugas Satpol PP Kota
Semarang membongkar lapak-lapak PKL yang berada di atas
saluran di Perumnas Tlogosari Semarang (Semarang Metro,
Senin, 11 April 2011, Halaman C). Seluruh pedagang kaki lima
(PKL) “tiban” di sepanjang kawasan Simpang Lima hingga
bundaran Taman Soepeno ditertibkan dan sejak 23 Juli 2011
dipindahkan ke Stadion Diponegoro (Semarang Metro, Jumat,
22 Juli 2011, Halaman A).
Demikian pula, untuk menertibkan PKL yang berdagang di
ruang publik, Satpol PP kota Semarang melakukan razia PKL di
sejumlah tempat di kota Semarang, seperti di daerah Kampung
Kali, Taman KB, Jalan dr. Kariadi, di depan Kantor DPD Golkar
Jateng, dan Jalan Tamrin (Semarang Metro, Kamis, 17
November 2011, Halaman C).
Aktivitas penertiban dan penggusuran terhadap PKL
beberapa di antaranya dapat dipahami, karena ada PKL yang
menempati wilayah atau daerah larangan yang dapat
menyebabkan banjir, seperti halnya pembongkaran lapak di
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
434
Tlogosari, karena menempati saluran sungai. Namun terlepas
dari semua itu, aktivitas penertiban yang disertai dengan
tindakan fisik, yakni dengan membongkar paksa bangunan,
lapak, dan terkadang barang dagangan PKL, merupakan
representasi dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh Pemkot
Semarang. Kekerasan fisik ini, meskipun kadang tidak disadari
oleh petugas Satpol PP, dilakukan Pemkot sebagai kelanjutan
dari kekerasan simbolik, yakni untuk menegakkan Perda
nomor 11 hahun 2000.
Kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah atau negara,
seperti yang diperlihatkan Pemkot Semarang terhadap
pedagang kaki lima (PKL), yang oleh mereka dianggap
melanggar Perda, merupakan cara yang efektif untuk membuat
rakyat, dalam hal ini PKL mematuhi peraturan atau kebijakan
Pemkot. Kekerasan yang dilakukan Pemkot tersebut, menurut
Douglas dan Waksler menggambarkan perilaku, baik yang
bersifat terbuka, menyerang atau bertahan yang disertai dengan
penggunaan kekuatan terhadap orang lain (Pitaloka 2004:10).
Kekerasan negara dapat memengaruhi individu-individu
yang ada dalam kekuasaannya untuk melakukan kekerasan
serupa. Individu-individu tersebut akan kehilangan
kemampuan berpikir dan menilai secara kritis. Eichmann
melihat ada perasaan tidak bersalah pada diri pelaku kekerasan
atau kejahatan (Pitaloka 2004:17). Bagi petugas Satpol PP yang
menjalankan tugas Pemkot, apa yang mereka lakukan, dalam
bahasa Eichmann, tidak lebih dari sekadar tanggung jawab
terhadap tugas dan sikap patuh serta loyal kepada penguasa,
bukan sebuah kejahatan meskipun mereka tahu tindakannya
menimbulkan banyak korban.
Kekerasan atau kejahatan seperti itu, merupakan wujud
dari banalitas kejahatan (Pitaloka 2004). Kekerasan yang
dilakukan pedagang kaki lima (PKL) dengan cara beradu mulut,
menghalang-halangi petugas, mendorong petugas, menyandera
435
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
kendaraan petugas, sebagaimana diperlihatkan PKL Sampangan
dan Basudewo, tidak muncul dengan sendirinya, tetapi
merupakan akibat atau produk dari kekerasan yang dilakukan
negara, dalam hal ini adalah pemerintah kota Semarang melalui
aparatnya, yaitu petugas Satpol PP.
B. Dampak Proyek Jatibarang dan Normalisasi Sungai Banjir
Kanal Barat
Waduk Jatibarang dibangun di sungai Kreo kota Semarang
bagian barat daya, sekitar 13 kilometer sebelah hulu dari muara
Kali Garang, mencakupi kelurahan Kedungpane, Jatibarang,
Kandri, dan Jatirejo.
Pembangunan waduk serbaguna Jatibarang dilakukan
dengan tujuan:
1. untuk mengendalikan banjir di kota Semarang, dengan
menampung debit banjir Kali Garang periode 50 tahun,
2. menyediakan suplai air sebesar 2.40 m³ per detik untuk
penyediaan air baku kota Semarang dan mempertahankan
aliran Banjir Kanal Barat,
3. optimalisasi fungsi bendung Simongan sebagai prasarana
pensuplai air baku untuk Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) kota Semarang sebesar 2.40 m³ per detik mengaliri
daerah irigasi dan mempertahankan limpasan Banjir Kanal
Barat,
4. untuk konservasi sumber daya air, mencakupi pengawetan
air melalui tampungan sebesar 20.4 juta m³ dan konservasi
daerah aliran sungai (DAS) Kali Garang,
5. penyediaan tenaga listrik sebesar 1.500 KW (Balai Besar
Wilayah Sungai Pemali Juana 2009).
Pembangunan waduk Jatibarang dengan tipe Rockfill Dam
setinggi 77 meter, diharapkan dapat diselesaikan pada tahun
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
436
2014. Selesainya pembangunan waduk Jatibarang ini
diharapkan dapat mengurangi potensi banjir, mengatasi
masalah rob di kota Semarang, mengurangi penggunaan air
tanah, mengurangi permasalahan amblesan (land subsidence)
dan menyediakan air baku untuk air minum.
Waduk ini juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit
listrik mini hidro sebesar 1,5 MW. Selain itu, juga dapat
dikembangkan untuki tujuan wisata, apalagi lokasi waduk
sebelumnya juga merupakan objek wisata terkenal di kota
Semarang, yaitu objek wisata gua Kreo.
Pembangunan waduk ini diresmikan Menteri Pekerjaan
Umum, Djoko Kirmanto di Semarang pada tanggal 15 Oktober
2009. Pembangunan waduk didanai oleh dana pinjaman dari
pemerintah Jepang melalui program Loan IP-534 Integrated Water Resources and Flood Management for Semarang.
Program IP-534 ini merupakan program terintegrasi, yang
terbagi atas tiga komponen, yaitu komponen A normalisasi Kali
Garang dan Banjir Kanal Barat, komponen B pembangunan
bendungan Jatibarang, dan komponen C penataan dan
peningkatan sistem jaringan drainase Kali Semarang, Kali Asin,
dan Kali Baru.
Kegiatan lintas sektor ini ditangani bersama antara
pemerintah pusat, melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
dan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan
Umum, pemerintah provinsi Jawa Tengah dan pemerintah kota
Semarang.
Pembangunan waduk Jatibarang sesungguhnya bukan
program tiba-tiba, tetapi sudah lama direncanakan oleh
pemerintah. Tahap studi pengembangan sudah dimulai sejak
tahun 1969, yaitu dengan mengkaji pengembangan wilayah
sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana (Jratunseluna).
Kajian ini dilakukan oleh PT. Indah Karya bekerjasama dengan
JICA.
437
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
Kedua konsultan ini merekomendasikan perlunya
membangun waduk serbaguna untuk mendukung
pengembangan wilayah dan mengurangi potensi banjir di kota
Semarang. Dalam rangka pembangunan waduk, pemerintah
membuat terowongan pengelak, yang dimaksudkan untuk
mengelakkan air sungai di sekitar atau yang melintasi lokasi
bendungan selama masa pembangunan bendungan. Bendungan
pengelak sendiri, terdiri dari bendungan pengelak (coffer dam)
utama, portal inflet dan outlet serta terowongan pengelak
sepanjang 441 m. Terowongan tersebut didesain untuk dapat
mengatasi banjir selama 25 tahun dengan besaran 280 m³ per
detik.
Sebelum waduk Jatibarang dibangun, Gubernur Jawa
Tengah telah mengajukan permohonan penetapan lokasi
kepada pemerintah kota Semarang berdasarkan nomor surat
593/13/69 tertanggal 11 Juli 2006. Setelah diteliti oleh Tim
Koordinasi dan Tata Cara Pemberian Izin Lokasi kota
Semarang, walikota menyetujuinya dan menerbitkan surat
keputusan nomor 593/224 tanggal 29 Agustus 2006 tentang
Penetapan Lokasi Pembangunan Waduk Jatibarang,
Normalisasi Banjir Kanal Barat, dan Drainase Perkotaan seluas
223,58 hektar.
Lokasi tersebut terletak di Kelurahan Kandri dan Kelurahan
Jatirejo Kecamatan Gunungpati serta Kelurahan Kedungpane
dan Kelurahan Jatibarang Kecamatan Mijen Kota Semarang.
Luas tanah yang dimohonkan dalam penetapan lokasi
pembangunan waduk seluas 223,58 hektar ternyata lebih besar
daripada luas lahan yang akan dibebaskan, yaitu 189,35 hektar
(Dahlan 2007). Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika
lahan yang akan dibebaskan berkembang dari rencana awal,
sehingga tidak perlu lagi harus mengajukan permohonan
penetapan lokasi tambahan.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
438
Pembangunan waduk Jatibarang meliputi lokasi di mana
waduk dibangun (dam axis), areal genangan, sabuk hijau (green belt) dan jalan penghubung (acces road) yang terletak di empat
kelurahan dalam dua kecamatan, yaitu Kedungpane dan
Jatibarang di Kecamatan Mijen serta Kandri dan Jatirejo di
Kecamatan Gunungpati.
Dalam areal waduk yang letaknya persis berada di kawasan
wisata goa Kreo, kelurahan Kandri, berdasarkan studi ahli
genangan tertinggi, tidak akan menggenangi objek utama
kawasan wisata tersebut. Sungai utama yang dibendung untuk
keperluan pembangunan waduk Jatibarang adalah Kali Kreo.
Waduk membendung Kali Kreo di Dusun Talun Kacang
Kelurahan Kandri Kecamatan Gunungpati atau tepatnya di
sebelah utara lokasi wisata Goa Kreo.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 60. Objek wisata Goa Kreo yang terkena dampak
pembangunan waduk Jatibarang
439
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 61. Lahan yang digunakan untuk pembangunan
waduk Jatibarang
Lokasi pembangunan waduk, selain melintasi area sungai,
juga mencakupi lahan milik warga masyarakat. Luas lahan
milik warga masyarakat yang terkena dampak pembangunan
waduk adalah 189,35 hektar (Dahlan 2007). Lahan sawah byang
dibebaskan seluas 47,01 ha atau 24,83%, sedangkan lahan
tegalan yang dibebaskan seluas 142,21 ha atau 75,17%. Lahan
yang terkena pembebasan terluas adalah kelurahan
Kedungpane, yaitu 77,61 ha atau 40,99%, sedangkan yang
paling sempit adalah berada di Kelurahan Jatibarang, seluas
15,91 ha atau 8,40%. Luas lahan yang terkena dampak
pembangunan waduk Jatibarang dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
440
Tabel 17. Jumlah Warga dan Luas Lahan yang terkena Dampak Pembangunan Waduk
Kelurahan Lahan Sawah Tegalan Total WTD
Total Luas
Lahan (ha)
WTD Luas (ha)
WTD Luas (ha)
Kedungpane 25 9,15 40 68,46 65 77,61 Jatibarang 8 2,72 8 13,19 16 15,91 Kandri 71 22,08 67 39,86 138 61,94 Jatirejo 32 32 46 20,73 78 33,89 Jumlah 136 47,01 161 142,21 297 189,35
Sumber: Dahlan (2007)
Dalam rangka pembangunan waduk Jatibarang, pemerintah
juga telah melakukan normalisasi sungai Banjir Kanal Barat
sebagai bagian dari mega proyek waduk Jatibarang. Proyek
normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat menelan
biaya Rp317.763.468.673,20 dibiayai oleh dana APBN, APBD
Jateng, dan JICA Jepang. Proyek normalisasi tersebut dimulai
bulan Oktober 2009 dan direncanakan selesai pada bulan
November 2012. Proyek ini dalam pelaksanaannya dikerjakan
oleh PT WASKITA, BAP, dan PT WIKA.
Untuk keperluan pengerjaan proyek, ketiga pelaksana
proyek membangun perkantoran dan gudang alat-alat berat di
sempadan sungai Kaligarang dan sungai Sampangan, yaitu
sungai kecil yang mengalir dari perumahan Sampangan.
Pedagang kaki lima (PKL) Sampangan yang lokasinya terletak
persis di pinggir sungai Sampangan mau tidak mau harus
digusur, karena lokasinya menjadi tempat perlintasan
kendaraan proyek.
Untuk keperluan pembangunan atau normalisasi sungai
Kaligarang (terletak dari kantor proyek ke arah utara hingga
bendung Simongan) dan sungai Banjir Kanal Barat (terletak dari
bendung Simongan ke arah utara menuju laut Jawa), semua
bangunan dan aktivitas penduduk yang berada di pinggir sungai
harus dipindahkan ke lokasi lain, agar tidak mengganggu
pekerjaan proyek dan rencananya memang daerah pinggir
441
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
sungai akan dijadikan sebagai salah satu dari tempat wisata air
yang dapat dinikmati oleh masyarakat kota Semarang
khususnya dan masyarakat lainnya.
PKL Basudewo yang menempati tepi sungai Banjir Kanal
Barat mulai dari pojok selatan jembatan Lemah Gempal hingga
ke ujung utara jembatan Banjir Kanal Barat juga direlokasi ke
tempat lain. Demikian pula, PKL liar Kokrosono yang berjualan
di tepi sungai Banjir Kanal Barat mulai dari jembatan Banjir
Kanal Barat hingga ke arah utara berbatasan dengan rel kereta
api diminta untuk tidak berjualan di dekat proyek.
Gambar berikut mengilustrasikan bagaimana proyek
pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir
Kanal Barat harus dijalankan dan karena pekerjaan fisik
penggalian tanah di dalam sungai, pemotongan pohon dan
perataan tanah yang ada di pinggir sungai baik sisi kanan
maupun kiri, dengan truk-truk dan begu lalu lalang melewati
tepi sungai, hingga menyebabkan para PKL yang berada di tepi
sungai tidak bisa beraktivitas lagi.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 62. Kantor Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang
dan Banjir Kanal Barat
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
442
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 63. Kondisi Sungai Kaligarang yang belum
dinormalisasi
Aktivitas proyek normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir
Kanal Barat, yang dimulai dari pengerukan tanah dan lumpur
sebagaimana terendap di sungai selama puluhan tahun
berlangsung terus, pagi, siang maupun malam. Alat-alat berat,
truk pengangkut, begu, dan beton-beton pelapis pinggiran
sungai ditempatkan di sisi kiri dan kanan sungai. Praktis
kondisi ini membuat para pedagang tidak bisa lagi berjualan,
karena tempat mereka berdagang selama ini sudah tidak bisa
dipakai lagi. Di Basudewo misalnya, tepi jalan di kanan maupun
di kiri sungai telah rata, tidak ada bangunan yang tersisa.
Demikian pula, di Kokrosono, pengerukan sungai, pembuatan
talut, dan perapian jalan di tepi sungai, menyebabkan para
pedagang tidak leluasa lagi melakukan aktivitas perdagangan.
443
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 64. Perataan Tanah Lokasi PKL Basudewo untuk
normalisasi sungai
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 65. Pembangunan talut tepi sungai Kaligarang
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
444
Untuk memperkokoh sungai, maka di tepi kiri kanan sungai
dibuat talut memanjang dari arah selatan ke utara. Talut
tersebut selain untuk memperkuat sungai agar tidak mudah
menggerus tanah di sisi kiri dan kanan, juga untuk merapikan
sungai agar indah dipandang mata.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 66. Pengerjaan Talut Sungai Banjir Kanal Barat
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 67. Talut Sungai Banjir Kanal Barat dekat PKL
Kokrosono
445
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
C. PKL Terpinggirkan, Modal Sosial Tidak Hilang
Daya tahan, sikap resisten, dan ketidakpatuhan PKL
terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemkot Semarang,
sebagaimana ditunjukkan PKL Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono adalah karena adanya modal sosial yang mereka
miliki, terutama kohesi sosial dan jaringan sosial yang mereka
miliki. Proyek pembangunan normalisasi sungai Kaligarang dan
Banjir Kanal Barat yang dikerjakan dengan dibantu aparat
Satpol PP untuk membersihkan lokasi dari para pedagang,
menyebabkan para pedagang pergi secara perlahan, pindah ke
tempat yang telah disediakan, atau berpindah ke tempat lain
yang tidak diketahui, membuat PKL tidak berdaya dan seperti
halnya relasi kuasa antara negara dan rakyat, yang
memposisikan rakyat pada pihak yang lemah dan tak berdaya,
maka PKL sebagai representasi rakyat tak berdaya menghadapi
kekuatan negara tersebut.
Negara dengan aparatur represifnya, seperti halnya
pemerintah kota Semarang dengan Satuan Tugas Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) atas nama Peraturan Daerah memiliki
legitimasi untuk menata, mengatur, menertibkan, bahkan
menggusur pedagang kaki lima (PKL). Bagi PKL yang tidak
patuh terhadap Peraturan Daerah, Pemkot dapat mengusirnya
ke luar dari tempat PKL berdagang, seperti yang selama ini
dilakukan Pemkot Semarang terhadap PKL Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono, serta beberapa PKL lainnya yang
menempati ruang publik.
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Semarang memiliki organisasi
yang cukup mapan, yaitu Persatuan Pedagang Kaki Lima
Semarang (PPKLS). Organisasi ini eksis karena didukung oleh
sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
hukum, yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kota Semarang.
Sinergi kedua lembaga ini mampu memberikan bantuan,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
446
pendampingan, dan fasilitasi kepada para PKL yang bermasalah
dengan Pemkot Semarang.
Selain organisasi supra (karena dua lembaga ini cakupannya
meliputi seluruh kota Semarang), di kalangan masing-masing
PKL juga memiliki organisasi. PKL Sampangan sudah sejak
lama mempunyai organisasi atau paguyuban PKL, hanya
aktivitasnya telah berhenti sejak terjadinya penggusuran.
Memang ada ketua baru, yaitu Satrio yang menggantikan ketua
lama, tetapi karena ketua baru tersebut kurang peka terhadap
kebutuhan anggota PKL, maka anggota PKL pun tidak aktif dan
tidak peduli terhadap eksistensi organisasi. Arisan yang selama
ini dilakukan secara rutin (tiap bulan), tidak lagi dilakukan,
meskipun beberapa anggota menginginkan diadakannya arisan.
Di Sampangan, organisasi PKL ada, namun seperti tidak ada
organisasi, karena sejak penggusuran, para anggota tetap
berdagang di sekitar lokasi proyek, tetapi tidak ada tindakan
bersama (kolektif) yang berkaitan dengan masa depan mereka.
Mereka menggantungkan nasibnya kepada PPKLS yang
diketuai Rini. Perlindungan dan pendampingan yang dilakukan
oleh PPKLS menyebabkan mereka masih mampu bertahan di
tengah pembangunan dan penataan sungai oleh proyek.
PKL Basudewo sudah lama memiliki paguyuban PKL,
tetapi juga tidak eksis. Baru setelah PKL dikoordinasi pak
Achmad, mereka memiliki organisasi yang cukup mapan, yaitu
Persatuan Pedagang Lestari Makmur (PPLM). Paguyuban PKL
Basudewo ini telah didaftarkan pada Kantor Kesatuan
Kebangsaan dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas)
Kota Semarang. Mereka memiliki AD-ART organisasi dan
aktivitas paguyuban ini selama dalam masa-masa penertiban
dan penggusuran cukup aktif mengadakan pertemuan dengan
para anggotanya. Sampai mereka pindah ke Kokrosono, hingga
kini mereka masih melakukan pertemuan dengan anggota
447
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
meskipun junlahnya tidak sebanyak ketika mereka masih
berada di Basudewo.
Kehidupan sosial dalam arti interaksi sosial yang telah
berlangsung lama di Basudewo tidak lagi terjadi, karena anggota
PKL telah bercerai berai. Pertemuan intensif yang dahulu ada
guna membahas nasib PKL, tidak ada lagi. Iuran untuk rapat
dan mengadakan aksi bersama, juga tidak ada. Perjuangan
mempertahankan lokasi berdagang tidak tampak lagi, karena
anggota PKL telah terpecah pandangannya mengenai perlunya
bertahan di lokasi atau bersedia pindah ke lokasi baru.
Sebagian PKL sudah pindah ke lokasi baru, karena takut
akan intimidasi dari pihak pemerintah, sebagian lagi pindah
tetapi tidak diketahui kemana mereka pindah, sebagian kecil
bertahan di lokasi, dan akhirnya karena lokasi PKL sudah tidak
dapat lagi digunakan untuk berdagang, maka anggota PKL yang
tersisa bersedia pindah ke Kokrosono. Namun demikian, di
tempatnya yang baru, pak Achmad selaku ketua PKL Basudewo
(sekarang bernama PPLM) masih menjalankan aktivitas
organisasi meskipun tidak seaktif dahulu.
PKL Kokrosono yang letaknya berada di tepi sungai Banjir
Kanal Barat, sesungguhnya juga telah menjadi anggota
organisasi dari paguyuban PKL yang dilegalisasi oleh
pemerintah kota. Mereka sejatinya sudah diberi tempat berupa
kios di sebelah utara rel kereta api, tetapi kios tersebut tidak
dimanfaatkan untuk berdagang. Ada beberapa PKL yang
bersedia pindah dan menjalankan aktivitas ekonomi di gedung
PKL Kokrosono tersebut, tetapi sebagian besar PKL kembali
berjualan di tepi jalan dekat sungai Banjir Kanal Barat.
Kios di gedung PKL diterima, tetapi hanya digunakan untuk
menempatkan dan menyimpan barang dagangan. Konon
menurut pedagang yang bersedia diwawancarai, kios tersebut
sempit dan sepi dari pembeli. Meskipun sebagian PKL memiliki
kartu anggota paguyuban PKL, tetapi karena mereka
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
448
membandel tetap beraktivitas di pinggir jalan dekat tepian
sungai Banjir Kanal Barat, maka mereka tidak mendapatkan
fasilitas dari Pemkot. Bahkan mereka juga tidak ditarik
retribusi. Mereka tergolong ke dalam PKL liar. Selain PKL
Kokrosono, di mata Pemkot, PKL Sampangan dan PKL
Basudewo juga termasuk dalam kategori PKL liar.
Pemkot Semarang menyadari bahwa PKL memiliki modal
organisasi yang cukup kuat, sehingga dalam melakukan
penertiban, banyak cara atau strategi yang ditempuh Pemkot.
Cara yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari cara
persuasif hingga cara kekerasan telah mereka lakukan. Cara
persuasif, misalnya dengan membujuk PKL agar pindah dari
tempatnya telah dilakukan. Camat dan Kepala Kelurahan
melakukan berbagai pendekatan, termasuk memberi surat
peringatan kepada PKL, namun tidak diindahkan oleh PKL.
Cara-cara kekerasan akhirnya ditempuh Pemkot, mulai dari
menakut-nakuti, memberikan ancaman, memecah belah PKL,
hingga merobohkan secara paksa bangunan dan lapak yang
digunakan PKL untuk berdagang.
Pembangunan waduk Jatibarang yang berskala nasional dan
normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang
dibiayai oleh Pemerintah pusat, Provinsi, Kota dan dibantu
oleh JICA Jepang, dengan alat-alat berat, seperti begu dan
buldoser telah meratakan tanah di kanan kiri sungai. Perataan
tanah dan penggalian lumpur di dalam sungai yang dilakukan
pihak proyek, tidak dapat dicegah oleh PKL, karena memang
apa yang dilakukan oleh pelaksana proyek sudah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, sehingga para pedagang yang
jumlahnya tinggal sedikit menyingkir dari lokasi. Hanya
beberapa PKL yang masih bertahan di lokasi. Cara yang
terakhir inilah yang membuat nyali sebagian besar PKL runtuh
dan banyak di antara mereka yang pindah ke tempat lain.
449
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
Modal sosial yang telah dibangun para PKL, seperti
organisasi atau paguyuban internal yang telah digunakan untuk
sarana perlawanan terhadap pemerintah kota Semarang tidak
runtuh, meskipun sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi
ini masih ada, baik di Sampangan maupun di Basudewo (yang
sekarang sudah pindah ke Kokrosono). Mega proyek
pembangunan waduk dan normalisasi sungai secara fisik telah
memporakporandakan lokasi para pedagang, tetapi mega
proyek tersebut tidak mampu menghancurkan modal sosial
yang dimiliki oleh PKL. Apalagi modal sosial pengorbanan
(sacrifice of social capital) yang telah melekat pada komunitas
PKL Basudewo yang diketuai oleh Achmad, menjadi identitas
dari PKL Basudewo yang kini pindah ke Kokrosono.
PKL Sampangan nyatanya masih bertahan dan bisa
beraktivitas di dekat proyek normalisasi sungai. PKL
Basudewo, yang sekarang telah pindah ke gedung PKL
Kokrosono masih menjalankan aktivitas ekonomi di tempatnya
yang baru. Interaksi antar pedagang juga masih terjalin hingga
kini. Hampir tiap malam, mereka bertemu di gedung H tempat
mereka beraktivitas ekonomi.
PKL Kokrosono liar masih menjalankan aktivitas ekonomi,
meskipun di tengah-tengah keterbatasan lahan yang kini sudah
diratakan oleh mesin-mesin proyek. Interaksi yang masih
berlangsung antar anggota paguyuban PKL. Norma reprositas
masih nampak. Hal ini terlihat, ketika ada pedagang yang sakit
atau keluarganya meninggal dunia, mereka beramai-ramai
menengok dan menjenguknya. Masih berlangsungnya interaksi
antara penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL yang didasarkan
atas trust di antara mereka, menandakan bahwa modal sosial
PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok, yang dapat
diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur sosial dan
anggota struktur yang berinteraksi secara intensif. Bukan tidak
mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya tahan PKL
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
450
di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi
lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.
D. Modal Sosial memperkuat Daya Tawar
Pedagang kaki lima (PKL) merupakan segmen masyarakat
yang berada pada lapisan menengah bawah. Mereka tidak
memiliki sumber daya kekuasaan seperti halnya kelompok
lapisan atas atau elit. Pendidikan mereka rata-rata rendah.
Jikalau ada yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) ke atas,
jumlahnya tidak banyak. Berbeda dengan lapisan elit, baik elit
politik maupun ekonomi, rata-rata berpendidikan lebih tinggi,
minimal sarjana. Keterampilan yang dimiliki para PKL juga
tidak memadai, baik keterampilan yang menunjang usaha,
seperti manajemen, keuangan, dan pemasaran maupun
keterampilan hidup lainnya. Akses terhadap sumber daya
politik dan ekonomi yang dimiliki PKL juga relatif terbatas,
bahkan boleh dikata tidak ada. Kapital yang dipunyai PKL pun
tidak sebanding dengan modal yang dimiliki elit ekonomi dan
politik.
Bagi PKL, lahan untuk beraktivitas ekonomi merupakan
persoalan rumit, tetapi bagi elit ekonomi atau pengusaha besar
bukan menjadi persoalan yang berarti, karena dengan uang
yang dimiliki serta koneksi dengan para pejabat daerah, mereka
bisa menyewa atau membeli lahan tanpa ada hambatan.
Jaringan sosial yang dimiliki para elit ekonomi dan politik
cukup luas dan bisa digunakan untuk memperkokoh status dan
kedudukan mereka, sementara PKL hanya memiliki jaringan
sosial terbatas, yakni dengan para PKL lainnya. Itulah
sebabnya, dalam relasi kuasa antara PKL (yang mewakili
golongan menengah bawah) dan elit ekonomi dan politik (yang
merupakan representasi golongan atas), tidak seimbang. PKL
berada pada posisi subordinat, yakni sebagai pihak yang
451
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dikuasai, sedangkan elit ekonomi dan politik berada posisi
superordinat, yaitu sebagai pihak yang menguasai.
Adanya kepentingan yang lebih besar dalam bingkai
pembangunan ekonomi yang berbasis ideologi neoliberal,
menjadikan banyak pemerintah daerah (kabupaten dan kota)
lebih mengutamakan pembangunan yang menguntungkan
pihak investor (Morrell 2008). Tidak heran kiranya jika hotel-
hotel berbintang berdiri menjulang langit di tengah kota dan
bahkan ada pula yang berada di dekat pusat pemerintahan.
Demikian pula, banyak gedung mall berdiri di tengah
hingga pinggiran kota. Perumahan mewah dan perumahan
dengan harga cukup tinggi banyak dibangun tidak hanya yang
berdekatan dengan pusat kota, tetapi juga di pinggiran kota
hingga memasuki wilayah pedesaan. Alfamart dan Indomart,
toko kecil serba swalayan banyak dijumpai di kampung-
kampung. Tidak sedikit toko Alfamart berdiri berhadapan atau
berdampingan dengan toko Indomart dalam jarak yang sangat
dekat, di tengah-tengah toko atau warung warga masyarakat
setempat. Izin-izin untuk mendirikan bangunan serba modern
tersebut tampaknya mudah diperoleh pengusaha besar.
Sementara itu, pelaku ekonomi sektor informal, khususnya
pedagang kaki lima (PKL), tidak mudah mencari rezeki di kota.
Pendidikan mereka rendah. Keterampilan yang dibutuhkan
oleh sektor formal, tidak mereka punyai. Lahan tidak punya.
Akses terhadap fasilitas kota juga tidak ada. Mereka tergolong
orang yang tidak berdaya. Mereka yang paling terpinggirkan
dalam level ekonomi ini cenderung relatif tidak berdaya ketika
dihadapkan pada beberapa pengaruh utama yang memengaruhi
kehidupan mereka (Giddens 2003). Pengaruh itu misalnya
kemauan politik pemerintah yang berpihak kepada investor.
Itulah sebabnya, wajar kiranya jika mereka rentan ditertibkan
dan digusur oleh aparat represif kota. Ini menunjukkan
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
452
perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap
golongan masyarakat bawah atau pinggiran.
Kota Semarang dalam waktu ke depan hendak dibangun
sebagai kota metropolitan yang sejajar dengan perkembangan
kota metropolitan lainnya di Indonesia. Hal ini merupakan
ungkapan dari visi SETARA atau Semarang Kota Sejahtera dari
walikota Semarang, Soemarmo HS. Visi SETARA walikota
Soemarmo HS dengan sapta programnya, yang meliputi
penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, rob dan banjir,
pelayanan publik, tata ruang dan infrastruktur, kesetaraan dan
keadilan gender, pendidikan serta kesehatan, mengarahkan
program fisik pemerintah kota Semarang yang memengaruhi
keberadaan pedagang kaki lima (PKL), khususnya mereka yang
melakukan aktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono.
Program besar Pemkot, yang didukung oleh anggaran
APBD provinsi Jawa Tengah dan APBN pemerintah pusat, yaitu
berupa pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai
Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, membuat Pemkot lebih
banyak memusatkan perhatian pada proyek-proyek besar
penataan fisik kota Semarang sebagai upaya mewujudkan
Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa yang Berbudaya
menuju Masyarakat Sejahtera. Pembangunan waduk Jatibarang
dan normalisasi sungai Kaligarang dan banjir Kanal Barat yang
telah diprogramkan sejak lama oleh Pemkot, untuk
mengendalikan banjir di kota Semarang, membawa
konsekuensi kepada relokasi PKL yang selama ini melakukan
aktivitas ekonomi di tepi sungai tersebut.
Upaya menata kota Semarang tidak hanya melulu pada
program pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi
sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, sebagai upaya untuk
mengendalikan banjir dan rob di Kota Semarang, tetapi juga
penataan fisik ruang Kota Semarang secara keseluruhan yang
453
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
didasarkan pada RTRW Kota Semarang Tahun 2011-2031.
Penataan fisik, seperti penataan infrastruktur jalan-jalan
protokol, pembuatan taman-taman kota, dan penciptaan ruang
terbuka hijau, semua itu dimaksudkan untuk meraih perhatian
investor agar bersedia menanamkan sahamnya untuk
pengembangan kota Semarang sebagai kota perdagangan dan
jasa.
Tujuan besar Pemerintah kota Semarang, yakni menjadikan
kota Semarang sebagai Kota Perdagangan dan Jasa,
membutuhkan dana besar untuk mewujudkan cita-cita
tersebut. Hanya para pemodal (investor) yang mampu
memenuhi keinginan Pemkot Semarang, bukan pedagang kaki
lima (PKL). Tidak heran jika, kebijakan Pemkot Semarang lebih
berpihak kepada investor ketimbang PKL, demi tujuan
menjadikan kota Semarang sebagai pusat Perdagangan dan Jasa.
Dalam beberapa hal, sikap Pemkot tersebut tidak semuanya
salah. Alasannya adalah, pembangunan membutuhkan biaya
yang tidak kecil.
Keberpihakan Pemkot Semarang kepada investor, salah
satunya tampak dari izin yang diberikan kepada investor untuk
membuka usaha perhotelan dan apartemen di kota Semarang.
Dalam 15 tahun terakhir, berdiri banyak hotel di kota
Semarang, beberapa di antaranya berada di pusat kota. Hotel
yang sudah berdiri lama adalah hotel Graha Santika, hotel
Santika, hotel Plaza, hotel Grand Candi, hotel Grasia, hotel
Muria, hotel Jelita, hotel Patimura, dan hotel Patrajasa.
Sementara itu, hotel baru yang telah berdiri, yaitu hotel Ibis,
hotel Novotel, hotel Gumaya, hotel Dafam, hotel Olimpic,
hotel Pandanaran, hotel Horison, hotel Ciputra, hotel
Siliwangi, hotel Amaris, hotel Quest, hotel Belle View, hotel
Wizz, dan beberapa hotel kecil lainnya.
Pada akhir tahun 2011, Pemkot memberikan izin kepada
pemodal besar untuk mendirikan apartemen Mutiara Garden
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
454
dan Star di dekat pusat kota. Demikian pula, Pemkot Semarang
mengizinkan berdirinya mall dan pasar modern, seperti
Matahari Mall, Citraland Mall, Java Super Mall, E-Plaza,
Pasaraya Sri Ratu, Pusat Grosir Makro, ACE Mall, dan “ritel”
lainnya, seperti Alfamart dan Indomart yang menyebar hampir
di semua kecamatan yang ada di kota Semarang.
Kebutuhan akan investasi dan obsesi menjadikan Semarang
sebagai Kota Perdagangan dan Jasa juga melatarbelakangi
Pemkot Semarang memberi izin kepada pengusaha untuk
membuka usaha kuliner, seperti MacDonald, Kentucky Fred
Chicken (KFC), rumah makan Cianjur, rumah makan Nglaras
Roso, rumah makan Lombok Ijo, rumah makan Tan Goei,
rumah makan Borobudur, rumah makan Padang Nusantara,
rumah makan Sederhana, rumah makan Mak Engking, Festifal
Makanan Manggala, Pujasera GAPURA, Kedai Beringin, dan
rumah makan besar lainnya.
Dunia hiburan pun berkembang pesat seiring dengan upaya
Pemkot dalam menggenjot investasi. Pusat-pusat karaoke
berdiri dan menjadi tempat melepas penat bagi warga Kota
Semarang pada malam hari. Vina House, Star Quin, Family Fun
Karaoke, Happy Puppy, dan tempat-tempat hiburan lainnya,
menjanjikan kegembiraan bagi warga kota yang ingin melepas
lelah setelah seharian bekerja di kantor. Perkembangan hotel,
rumah makan, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat hiburan,
menjadikan kota Semarang seakan tak pernah tidur, karena
sepanjang hari hingga malam selalu hidup dan beraktivitas.
Semua itu karena didasarkan pada upaya pemrintah kota
Semarang untuk menarik investor agar menanamkan sahamnya
di kota Semarang guna mengakselerasi terwujudnya visi
Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita Semarang sebagai kota
perdagangan dan jasa, para investor diuntungkan oleh Pemkot
karena karena kebijakan pro-investasi Pemkot; sedangkan
455
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
kelompok masyarakat marginal, seperti pedagang kaki lima
(PKL), menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang pro-
neoliberal.
Kebijakan Pemkot Semarang terhadap eksistensi kelompok
masyarakat kecil tidak semuanya merugikan mereka. Sebagai
upaya mempercantik wilayah Simpang Lima dan memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat, Pemkot membuat
shelter-shelter yang diperuntukkan bagi para pedagang kaki
lima. Fasilitas tersebut hanya diberikan kepada para pedagang
yang telah lama berjualan di tepi bundaran Simpang Lima,
seperti pedagang nasi dan minuman. Pedagang lain tentu tidak
bisa menempati shelter di Simpang Lima, karena selain
tempatnya terbatas, juga hanya diberikan kepada pedagang nasi
dan minuman yang lama menjalankan aktivitas ekonomi di
sekitar bundaran Simpang Lima.
Demikian juga, shelter-shelter yang dibangun di sekitar
Taman KB atau jalan Menteri Soepeno, hanya diperuntukkan
bagi para pedagang makanan dan minuman yang telah lama
berdagang di jalan Menteri Soepeno, termasuk pedagang jagung
bakar dan pedagang nasi dan minuman, pindahan dari jalan
Pahlawan (yang memang harus bersih dari pedagang, demi
menciptakan citra bersih, rapi, dan indah kota Semarang).
Fasilitas yang diterima para pedagang di bundaran Simpang
Lima dan jalan Menteri Soepeno tidak gratis, tanpa adanya
usaha dan negosiasi. Mereka mendapatkan fasilitas dan
diperbolehkan berdagang berkat dukungan dan bantuan dari
PPKLS dan organisasi mereka yang hingga kini masih aktif.
Perlakuan Pemkot terhadap PKL Simpang Lima dan
Menteri Soepeno tidak sama terhadap PKL liar yang
beraktivitas di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.
Para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di sekitar
bundaran Simpang Lima, di jalan Pahlawan, dan di jalan
Menteri Soepeno bernasib baik, karena masih bisa berdagang,
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
456
bahkan mendapatkan fasilitas yang memadai dari Pemkot, tidak
demikian halnya bagi PKL liar yang menempati lokasi di tepi
sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat.
Pedagang Kaki Lima (PKL) liar yang berdagang di pinggir
jalan dekat tepian sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ini
dipandang sebagai komunitas yang mengganggu pelaksanaan
program-program pembangunan dan peraihan Adipura. Jika
PKL yang beraktivitas ekonomi di pinggir jalan dekat tepian
sungai tersebut tidak ditertibkan dan digusur, maka akan
mengganggu pelaksanaan proyek normalisasi sungai Kaligarang
dan Banjir Kanal Barat.
Di Sampangan dan Basudewo, sebagian PKL mendirikan
bangunan semi permanen, seperti rumah-rumah kios yang
berlantaikan keramik atau plester dan dindingnya juga tembok
beton, sehingga menyulitkan kendaraan dan alat-alat proyek
masuk untuk mengeruk tanah endapan yang ada di sungai.
Mereka sudah diperingatkan Pemkot, tetapi PKL tidak
menggubrisnya, sehingga untuk memudahkan pengerjaan
proyek normalisasi sungai, Pemkot melakukan penertiban dan
penggusuran, termasuk meratakan bangunan dan lapak-lapak
PKL yang ada di Sampangan dan Basudewo.
Tidak seperti halnya PKL Sampangan dan PKL Basudewo
yang memberikan perlawanan disertai kekerasan ketika
ditertibkan, Pemkot Semarang lebih mudah melakukan
penertiban terhadap PKL Kokrosono karena di Kokrosono tidak
ada lagi bangunan permanen dan semi permanen yang
digunakan PKL untuk menjalankan aktivitas ekonomi. Namun
demikian, PKL Kokrosono tetap nekat berdagang, meskipun
berkali-kali mereka diperingatkan dan ditertibkan Pemkot.
Akibat dari penggusuran terhadap PKL Sampangan dan
PKL Basudewo, maka PKL Sampangan menepi dan mengalah
berdagang di sebelah selatan proyek atau tepatnya di sebelah
selatan kantor PSDA dan Proyek Normalisasi Sungai Kaligarang
457
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
dan Banjir Kanal Barat. Itu pun atas negosiasi yang dilakukan
oleh PPKLS. Pihak PSDA percaya kepada para pedagang dan
membiarkan pedagang berjualan di sekitar proyek, karena
sudah ada kesepakatan ketika nanti lahan sudah dirapikan PKL
bersedia pindah ke tempat lain. Kepercayaan (trust) inilah yang
menjadikan PKL Sampangan masih dapat berjualan di lokasi
dekat kantor PSDA. PKL Basudewo yang sudah tidak memiliki
alat-alat produksi di Basudewo, karena lokasi mereka sudah rata
dengan tanah, akhirnya pindah ke tempat lain. Sebagian pindah
ke gedung PKL Kokrosono yang telah disediakan Pemkot, dan
sebagian lagi pindah kemana tidak diketahui lagi nasibnya.
Tidak seperti PKL Sampangan dan PKL Basudewo, PKL
Kokrosono liar masih tetap menjalankan aktivitasnya,
meskipun lokasinya digunakan untuk keluar masuk kendaraan
dan alat-alat berat proyek normalisasi sungai. Komunikasi yang
baik antara pedagang dengan pihak proyek membuat mereka
masih diizinkan berdagang di tengah pengerjaan bangunan
talut dan perapian jalan di sisi kiri dan kanan sungai Banjir
Kanal Barat. Para PKL pun menyadari, ketika proyek
normalisasi sungai selesai, mereka juga akan pindah ke tempat
lain atau berdagang di gedung PKL Kokrosono.
Interaksi yang masih berlangsung dengan baik di antara
para pedagang, maupun komunikasi yang mereka bangun
dengan pihak proyek, merupakan modal sosial yang menjadi
daya tawar sekaligus memberikan kekuatan kepada pedagang
kaki lima untuk bertahan di lokasi guna menjalankan aktivitas
ekonomi yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan
ekonomi PKL dan keluarganya.
E. Rangkuman
Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
memiliki landasan, di antaranya adalah prinsip-prinsip atau
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
458
asas-asas pemerintahan yang baik. Semua azas dan prinsip
tersebut dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah untuk
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraannya. Dalam realitasnya, pemerintah kota
Semarang (terutama pada masa kepemimpinan Soekawi
Soetarip) tidak mampu menghasilkan kebijakan yang
memberikan perlindungan dan keamanan sosial serta
peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat kelas
bawah, seperti pengemis, gelandangan, anak-anak jalanan, dan
para pedagang kecil, termasuk pedagang kaki lima liar atau
yang tidak terorganisasi.
Prinsip-prinsip transparansi, kesetaraan, daya tangkap,
wawasan ke depan, efisiensi dan efektivitas, serta
profesionalisme yang seharusnya dijadikan sebagai pedoman
bagi pemerintah kota untuk memberikan pelayanan sebaik-
baiknya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam
realitasnya tidak digunkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Banyak upaya dan program
yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, baik yang dipayungi Perda maupun yang dinaungi
Peraturan Walikota dan kebijakan-kebijakan lainnya, tetapi
dalam realitasnya, tidak banyak dinikmati oleh kelompok
marginal di jalanan seperti pengemis, gelandangan, anak
jalanan, dan PKL.
Dalam rangka mengejar visi Semarang sebagai Kota
Perdagangan dan Jasa, disadari atau tidak Pemkot telah
melakukan kekerasan simbolik dan langsung kepada PKL.
Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot Semarang
tersembunyi dalam penggunaan kata-kata di dalam Perda
Nomor 11 Tahun 2000, yang lebih banyak mengedepankan
pengaturan kepada PKL ketimbang pemberdayaan terhadap
PKL. Kekerasan simbolis yang dilakukan Pemkot berlanjut
dengan kekerasan langsung atau yang berkaitan dengan fisik
terhadap PKL yang dinilai bandel dan membangkang.
459
BAB X
PKL MINGGIR, MODAL SOSIAL TIDAK HILANG
Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang
fisik atau psikologis seseorang secara langsung.
Penertiban dan penggusuran terhadap sejumlah PKL di
kota Semarang, sebagai representasi dari kekerasan langsung
merupakan bukti bahwa kekerasan simbolis tidak cukup untuk
memberi sanksi kepada PKL yang bandel. Beberapa aktivitas
penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot Semarang
terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, sebagai
wujud kekerasan langsung, tidak hanya dilakukan pada tahun
2009 dan 2010, tetapi berlanjut terus hingga tahun 2011.
Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai
Kaligarang dan Banjir Kanal Barat tidak akan terlaksana dengan
baik jika Pemkot tidak melakukan kekerasan langsung, berupa
penggusuran dan pengusiran secara paksa kepada PKL yang
berlokasi di pinggir jalan dekat tepian sungai tersebut. Mesin-
mesin penggusur milik kapitalis didukung oleh aparatus represif
pro-kapitalis neoliberalis, telah menghancurkan bangunan dan
lapak yang digunakan PKL untuk berdagang.
Tidak adanya alat-alat produksi untuk berdagang membuat
individu-individu PKL terpecah kesatuannya, terutama mereka
yang berjualan di Basudewo. Sebagian, karena telah diberi uang
tali asih bersedia pindah, lainnya pindah ke gedung PKL
Kokrosono, dan lainnya lagi pindah entah ke mana tidak
diketahui nasibnya. Demikian pula, PKL Sampangan tidak
berdaya menghadapi kekuatan kapitalis, sehingga mereka
menepi berjualan di sebelah selatan proyek. Meskipun para
PKL telah tercerai berai, namun kekuatan mereka yaitu modal
sosial yang mereka miliki tidaklah runtuh. Bonding social capital masih ada meskipun kadarnya tidak sekuat ketika PKL
masih bersatu di lokasi masing-masing. Demikian pula bridging social capital masih tetap dibangun, meskipun anggota jejaring
berkurang junmlahnya. Pindahnya PKL ke tempat lain, seperti
halnya yang diperlihatkan PKL Basudewo di gedung PKL
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
460
Kokrosono, hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi
dan sosial, bahkan pak Achmad dan teman-teman mendapat
kawan-kawan baru di lokasinya yang baru. Demikian pula, PKL
Sampangan hingga kini masih menjalankan aktivitas ekonomi
dan sosial, meskipun lokasi lama telah digusur dan
berpindahnya pasar Sampangan ke lokasi baru juga tidak
memengaruhi aktivitas ekonomi dan sosial mereka.
Modal sosial PKL, seperti trust, norma reprositas, dan
jaringan sosial masih ada meskipun mereka telah ditertibkan
dan digusur. Sepanjang masih ada interaksi sosial di antara PKL,
modal sosial tersebut tidak akan hilang.
Top Related