35
BAB V
FAKTOR DAN STRATEGI PENYELESAIAN OUTSTANDING BOUNDARY
PROBLEMS INDONESIA-MALAYSIA
DI KALIMANTAN UTARA
Berdasarkan uraian permasalahan lima titik Outstanding Boundary Problems (OBP) yang
telah dipaparkan di bab sebelumnya, dalam bab ini penulis menguraikan tentang faktor-faktor
apa saja yang kemudian mempengaruhi kelima titik OBP tersebut sehingga belum dapat
terselesaikan sampai saat ini. Penulis juga akan menguraikan tentang strategi yang telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Melaui bab ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait dengan faktor dan strategi
Indonesia dalam menyelesaikan lima titik OBP di Kalimantan Utara.
5.1. Faktor yang mempengaruhi penyelesaian 5 (lima) titik Outstanding
Boundary Problem Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara
Terjadinya sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia adalah satu salah bukti
nyata bagaimana terlupakannya daerah pinggiran Indonesia. Beberapa kali Malaysia mencoba
mengklaim bagian-bagian wilayah Indonesia, karena kondisi pinggiran Indonesia yang sering
luput dari perhatian pusat. Pengelolaan perbatasan wilayah merupakan sebuah pekerjaan yang
tiada akhir selama negara ini berdiri karena wilayah merupakan salah satu unsur dari adanya
sebuah negara, selain rakyat, pemerintah, serta kemampuan berinteraksi dengan dunia
internasional dan adanya pengakuan negara lain.
Terdapat beberapa faktor mengapa 9 (sembilan) titik atau secara khusus 5 (lima) titik
perbatasan darat Indonesia-Malaysia atau Outstanding Boundary Problems (OBP) di Kalimantan
Utara sampai saat ini masih belum dapat diselesaiakan.
1. Politik Luar Negeri Malaysia
Penyelesaian permasalahan Outstanding Boundary Problems (OBP) di Kalimantan Utara
ini juga dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri Malaysia. Setiap negara memiliki kebijakan dan
kepentingan nasional masing-masing yang tentunya negara lain tidak mengetahui apa saja yang
menjadi kebijakan dan kepentingan nasional suatu negara. Terkait dengan perbatasan Indonesia
dan Malaysia kedua negara telah melalukan banyak kesepakatan untuk menyelesaikan
36
permasalahan OBP, namun di samping kerjasama-kerjasama yang telah dilakukan pastilah kedua
negara masih memiliki keinginan atau kepentingan-kepentingan yang tidak diketahui oleh negara
yang lain dalam hal ini Indonesia tidak pernah tau hal apa yang sebenarnya menjadi keinginan
atau kepentingan Malaysia demikian juga sebaliknya. “Sampai saat ini Indonesia sendiri itu
belum mengetahui bagaimana jalan ataupun alur politik luar negeri Malaysia, apa saja yang
menjadi kepentingan Malaysia, dan kebijakan nasional apa saja yang telah dibuat atau
dilakukan oleh Malaysia terkait dengan perbatasan darat dengan Indonesia di Kalimantan
Utara. Saat ini Indonesia sendiri telah menerapkan politik luar negeri yang aktif dengan
mengajak Malaysia terus melakukan perundingan dan pertemuan-pertemuan namun dari pihak
Malaysia kurang menanggapi secara aktif akan hal-hal yang telah dilakukan oleh Indonesia.”
(Aris Kurnia, wawancara, 19 Desember 2017).
Menanggapi hal tersebut dari pihak Presiden pun juga telah mendorong kedua belah pihak
baik Indonesia maupun Malaysia untuk terus merespon permasalahan batas darat kedua negara
ini. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertemuan oleh Presiden Joko Widodo di akhir-akhir
ini dengan Menteri Luar Negeri Malaysia Dato Sri Anifah Hj Anam di Istana Merdeka Jakarta
pada bulan Agustus 2017. Berkaitan dengan perbatasan darat di mana Indonesia sendiri belum
mengetahui bagaimana politik luar negeri Malaysia sampai saat ini dari pihak Indonesia belum
memiliki utusan secara khusus dari Indonesia ke Malaysia untuk mencari tahu bagaimana alur
politik luar negeri Malaysia yang berkaitan dengan perbatasan negara (Aris Kurnia, Kabid
Perencanaan BNPP: 2017). Dari pihak Indonesia sejauh ini hanya dapat menganalisa secara
umum tentang politik luar negeri Malaysia. Perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri
Malaysia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sejarah, geografi, kesukuan Melayu dan dorongan
yang kuat untuk menjadi negara industri modern.
Analisa dari Indonesia lebih menggarisbawahi pada keinginan Malaysia untuk menjadi
negara industri yang modern. Melihat kembali SDA yang terkandung di wilayah-wilayah OBP di
Kalimantan Utara maka dapat dimungkinkan bahwa Malaysia juga menginginkan SDA tersebut
masuk ke dalam wilayah negaranya karena ketika Malaysia berhasil memperluas wilayahnya ke
wilayah-wilayah OBP tersebut maka dengan mudah akan menguasai segala sesuatu yang ada di
dalam wilayah OBP tersebut. Dengan mengusainya Malaysia di wilayah-wilayah tersebut juga
akan memudahkan Malaysia dalam mencapai apa yang menjadi kepentinganya. Hal itulah yang
37
kemudian menjadi kehati-hatian pihak Indonesia dalam mempertahankan wilayah-wilayah OBP
yang ada di Kalimantan Utara (Cipto, 2007:120).
2. Perbedaan persepsi antar Kementerian/Lembaga
Dalam proses penyelesaian perbatasan khususnya permasalahan Outstanding Boundary
Problems (OBP) di Kalimantan Utara ini di Indonesia telah melibatkan aktor-aktor dalam negeri.
Ada banyak Kementerian/ Lembaga yang terlibat dalam hal ini. Beberapa K/L yang memang
terlibat dalam proses penyelesaian OBP tersebut adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian
Pertahanan, Badan Informasi Geospasial (BIG), Topografi TNI AD, Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Kementerian
Dalam Negeri. Namun banyaknya K/L yang terlibat tersebut justru sering menimbulkan
ketidakjelasan tentang penyelesaian perbatasan sehingga proses penyelesaian terjadi sangat pelik
dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menyelesaiakan permasalahan.
“Ketidakjelasan proses penyelesaian oleh K/L yaitu bahwa setian K/L memiliki prioritas,
pandangan dan agenda masing-masing yang tentunya berbeda antar satu K/L dengan K/L yang
lainya terkait dengan penyelesaian perbatasan. Misalnya K/L A tahun 2017 memiliki agenda
penyelesaian perbatasan sedangkan K/L B atau yang lain tidak memiliki agenda tersebut atau
justru sebaliknya K/L A tidak menjadikan perbatasan sebagai prioritas namun K/L yang lain
menjadikan perbatasan sebagai program prioritas mereka”(Endah Dewi, wawancara, 19
Desember 2017)
Sejauh ini permasalahan tersebut masih terjadi di Indonesia sehingga sampai saat ini pula
belum ada persamaan persepsi ataupun pemikiran yang sama untuk menyelesaikan masalah
perbatasan. Sedangkan proses penyelesaian perbatasan khusunya Outstanding Boundary Prolems
(OBP) di Kalimantan Utara ini membutuhkan kerjasama dan pemikiran yang sama antar K/L
yang terlibat. Ketika sudah menghasilkan persepsi yang sama maka akan mempermudah
pelaporan ke presiden yang akan memutuskan hal-hal yang akan dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan perbatasan. Namun sampai saat ini hal tersebut belum sampai ke Presiden. (Endah
Dewi P, Staff Perbatasan BNPP : 2017)
38
3. Kondisi Masyarakat Perbatasan (Accessibility)
Setiap kawasan perbatasan di Kalimantan memiliki kondisi sumber daya manusia yang
berbeda. Dari lima titik OBP di Kalimantan Utara hanya ada satu lokasi perbatasan yang
diduduki oleh kelompok masyarakat. Pulau Sebatik berbatasan langsung dengan Malaysia,
tepatnya di desa Aji Kuning, Kabupaten Nunukan. Keadaan perekonomian wilayah tersebut
sangat tergantung terhadap Malaysia. Sulitnya komunikasi dan transportasi untuk melakukan
transaksi ekonomi di negara sendiri khususnya ke wilayah pusat menyebabkan biaya yang harus
di keluarkan lebih banyak dari pada pergi ke Malaysia untuk melakukan transaksi ekonomi.
Sekitar 70% biaya harus dialokasikan untuk transportasi. Disamping itu, apabila dibandingkan
dengan wilayah Indonesia, barang-barang kebutuhan pokok lebih murah di Malaysia daripada di
Indonesia. Sampai saat ini tidak semua masyarakat memahami kondisi OBP di wilayah ini.
Sehingga saat ini siapapun masyarakat yang ada di wilayah OBP terjadi kondisi yang
membingungkan dan sangat tidak memahami apa yang disebut dengan area OBP tersebut.
Kurangnya infrastruktur di kawasan perbatasan, terlihat dari akses jalan raya yang
menghubungkan kawasan perbatasan dengan pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia
menyebabkan masyarakat di kawasan perbatasan justru menjangkau Malaysia untuk memenuhi
kebutuhannya. (Putrayasha, 2017).
Permasalahan-permasalahan yang mencangkup kehidupan sosial masyarakat perbatasan
di Kalimantan Utara memberikan ketegangan tersendiri untuk Indonesia. Apabila Indonesia tidak
mampu menjangkau masyarakat perbatasan di Kalimantan Utara dan tidak mampu memberikan
kejelasan tentang batas negara, akses, fasilitas dan hal-hal lain untuk masyarakat di perbatasan
maka peluang inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan dan ditangkap oleh Malaysia untuk
mengembangkan cakupan wilayahnya dengan melakukan pembangunan di wilayah
perbatasannya untuk melumpuhkan rasa nasionalisme masyarakat perbatasan Indonesia dengan
memberikan bahkan menjamin kehidupan di masyarakat Indonesia di perbatasan khususnya
dalam hal ini adalah masyarakat di Pulau Sebatik. Di samping hal tersebut masyarakat di
perbatasan juga memiliki tanah-tanah ulayat di garis batas, hak-hak mereka harus dipertahankan
untuk kehidupan masyarakat perbatasan. Sebagai masyarakat yang hidup di provinsi baru yakni
provinsi Kalimantan Utara sejak 2012 dan dengan akses yang jauh dan sulit, wilayah tersebut
tetap membutuhkan jangkauan dari pemerintah pusat untuk memberikan keterjelasan akan
kehidupan mereka. Apabila hal tersebut terjadi maka Indonesia sangat akan berpotensi
39
kehilangan wilayah dan juga kehilangan masyarakat (Totot Gumulyo, Kabid Wilayah
Perbatasan, Kemenko Polhukam 2017)
4. Keadaan bentang alam/ patok
Keadaaan alam suatu negara sangat mempengaruhi proses penyelesaian permasalahan
batas darat Indonesia Malaysia atau Outstanding Boundary Problems (OBP). Seiring dengan
perkembangan waktu dan jaman perubahan secara alamiah pada bentang alam pasti akan terjadi
baik di kondisi tanah, hutan, gunung, sungai ataupun kondisi alam yang lainya. Demikian juga
terkait dengan permasalahan ini, perubahan alam yang terjadi tidak dapat dipungkiri oleh kedua
negara. Kondisi alam pada masa Belanda dan Inggris saat masih menduduki wilayah Indonesia
dan Malaysia sangat berubah dan tentunya berbeda dengan keadaan alam yang sekarang ini.
Hasil pengukuran yang dituangkan oleh Belanda Inggris adalah hasil yang diukur dari kondisi
alam pada waktu itu, sedangkan pengukuran yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia
didasarkan pada kondisi alam saat ini. Sehingga hal ini menjadi sorotan tersendiri bagi kedua
negara tentang bagaimana mereka menghasilkan ukuran yang akurat dan sama antar kedua
negara dengan menyesuaikan keadaan alam sekarang tanpa mengabaikan ketiga Konvensi buatan
Belanda dan Inggris (Ponco Wasono, Kabid Ancaman Terhadap Negara, Kemenko Polhukam
2017)
Kondisi alam yang berubah, hal tersebut juga berpengaruh pada patok atau tugu batas yang
terpasang di perbatasan-perbatasan sejak Belanda dan Inggris di mana banyak dijumpai patok-
patok yang bergeser dari tempat atau titik yang telah ditentukan yang sangat terlihat pada patok-
patok di bagian barat Pulau Sebatik. Di Pulau Sebatik tersebut sampai saat ini mengalami
pergeseran ke wilayah Indonesia. Tidak hanya bergeser namun karena perubahan alam maka
tidak dapat dipungkiri bahwa banyak patok yang telah hilang, rusak dan juga hanya dijumpai
pondasi-pondasinya saja. Demikian juga di wilayah-wilayah OBP yang lain misalnya di Pulau
Sebatik di mana sejak awal telah dilakukan pemasangan tugu batas dengan titik koordinat yang
ditentukan yakni 4°10’ LU, namun banyak yang bergeser dari titik koordinat tersebut.
40
5. Pengaruh Teknologi
Teknologi menjadi hal sangat penting bagi kedua negara dalam melakuan pengukuran
untuk penegasan perbatasan kedua negara termasuk dalam penyelesaian permasalahan
Outstanding Boundary Problems (OBP) RI- Malaysia di Kalimantan Utara. Permasalahan batas
negara oleh Indonesia dan Malaysia juga tidak pernah menyalahkan teknologi yang di gunakan
oleh Belanda dan Inggris pada waktu itu. Kedua negara menyadari bahwa adanya perbedaan
terknologi yang digunakan pada masa itu dan pada masa saat ini. Perbedaan teknologi yang
digunakan juga mempengarahui metode yang digunakan masing-masing negara. Saat ini di
beberapa lokasi perbatasan oleh Indonesia dan Malaysia menggunakan foto udara dari ketinggian
tertentu yang adari metode tersebut akan menghasilkan peta di lokasi yang dipermasalahkan
tersebut.
Di beberapa lokasi perbatasan kedua negara membangun pondasi dan membuat patok atau
tugu di sepanjang wilayah perbatasan. Pada masa kolonialisme kedua negara yakni Belanda dan
Inggris dalam menentukan batas lebih menyesuaikan dengan bentang alam yaitu menggunakan
puncak-puncak gunung dan aliran air yang mengalir pada punggung-punggung gunung
(watershed). Di mana dalam menggunakan watershed pada masa kolonial dengan berpacuan
pada titik tengah lembah atau gunung yang setelah mendapatan hasilnya maka diambil tengah-
tengahnya dan di bagi kekedua wilayah negara. Dalam Konvensi tahun 1915 pada poin yang
pertama menyatakan bahwa “Kami telah melakukan perjalanan di daerah sekitar perbatasan
sejak tanggal 8 Juni 1912 hingga tanggal 30 Januari 1913, selama periode tersebut Komisi
Negara Belanda telah melakukan pengamatan-pengamatan astronomi dan survey-survey
topografi yang diperlukan, yang hasil-hasilnya kami nyatakan benar dan cukup untuk penentuan
batas. Di tempat-tempat kenampakan fisik tidak terdapat batas-batas alam yang sesuai dengan
ketentuan dari perjanjian tanggal 20 Juni 1891 kami telah mendirikan pilar-pilar G.P.1, G.P.2
dan selanjutnya”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penentuan batas mereka terjun ke
lapangan dan menggunakan batas alamiah di wilayah perbatasan dan sebagai acuanya
menggunakan teodolit yaitu alat untuk mengukur ketinggian tempat, lereng atau titik koordinat.
Terkait dengan penentuan batas saat ini oleh kedua negara yakni Indonesia Malaysia
menggunakan metode foto udara. Menurut penelitian mengenai garis batas kedua negara ini oleh
banyak akademisi di bidang geodesi dan geomatika, penentuan garis batas kedua negara tetap
dimulai dengan pengumpulan dokumen teknis terlebih dahulu yang selanjutnya dengan
41
melakukan pelacakan peta dan kemudian turun ke lapangan untuk melakukan pengukuran dan
pengecekan koordinat. Penentuan koordinat dilakukan dengan menggunakan Global Positioning
System (GPS) yang merupakan modernisasi dari teodolit dan pegambilan gambar dilakukan
dengan menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau lazimnya disebut drone. Meskipun
keduanya sama-sama turun ke lapangan namun kedua negara baru ini masih tetap menyadari
adanya perubahan alam yang terjadi di wilayah OBP Kalimantan Utara.
5.2.1. Peluang dan Tantangan
Indonesia merupakan sebuah negara yang besar yang kaya akan sumber daya alam
wilayah negara yang sangat luas. Luasnya wilayah Indonesia dimana Indonesia memiliki wilayah
yang berbatasan langsung dengan negara-negara lain tentunya memicu timbulnya permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan batas negara salah satunya adalah Outstanding Boundary
Problem (OBP) di Kalimantan Utara sebagaimana telah diuraikan di atas. Luasnya wilayah
perbatasan Indonesia dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya membuat pemerintah
melakukan banyak strategi untuk mempertahankan wilayah perbatasan tersebut sehingga hal
tersebut bisa menjadi peluang bagi Indonesia.
Peluang tersebut dapat dilihat dari lingkungan strategi (Lingstra) Indonesia yang di mulai
dari:
1. Lingkungan strategi lokal bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya dan
besar sehingga apabila pengolahan dan penjagaan dapat dilakukan dengan benar maka sumber
daya tersebut mampu membawa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kehidupan yang
tinggi dari sisi ekonomi maupun kehidupan yang lain. Tidak hanya sumber daya alam namun
Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak dan beragam sehingga hal
tersebut untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan hebat.
2. Lingkungan strategi regional bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan di kawasan Asia
Tenggara. Sebagai negara yang tumbuh di dalam sebuah kawasan, sampai saat ini dengan
potensi yang ada, Indonesia mampu menunjukkan eksistensinya di Asia Tenggara. Indonesia
mampu menjalin kerjasama-kerjasama dengan negara-negara kawasan di berbagai bidang.
Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara di kawasan dapat berupa
kerjasama bilateral maupun multilateral. Terkait dengan kerjasama dengan negara-negara
yang berbatasan langsung dengan Indonesia terangkum dalam bentuk kesepakatan kerjasama
42
antara lain lintas batas, ekonomi serta pertahanan dan keamanan misalnya Indonesia,
Malaysia, Thailand-Growth Triangle (IMT-GT) dan Indonesia, Malaysia, Singapore Triangle
(IMS-GS). Potensi perkembangan kerjasama dengan negara tetangga tentunya memberikan
peluang yang sangat besar yang diharapkan dapat menjadi pemicu perkembangan Indonesia di
berbagai bidang kerjasama.
3. Lingkungan strategi global di mana Indonesia terletak di antara dua benua yaitu benua Asia
dan Australia dan juga dua samudera yakni samudera Pasifik dan Hindia. Dari posisi
Indonesia tersebut Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam geopolitik. Posisi strategis
Indonesia terletak di posisi silang jalur pelayaran antara sumber pasokan energi dari kawasan
teluk ke negara industri di bagian utara (Jepang, Korea, Cina dan Taiwan) dan sebaliknya
menjadi jalur supply atas komoditas industri dari negara-negara maju tersebut. Demikian juga
dari sisi selatan-utara, bahwa Indonesia juga berada di persilangan antara Australia di selatan
dan Jepang serta wilayah cakupan armada ke 7 Amerika Serikat di Asia Pasifik di bagian
Utara. Di mata dunia internasional mampu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara
yang besar akan SDM, bebas aktif, cinta damai, nasionalisme terhadap NKRI sehingga
Indonesia menjadi negara yang tidak menganut blok kanan maupun blok kiri (Renduk BNPP
2015-2019 : 8)
Berkaitan dengan Outstanding Boundary Problem (OBP), “Indonesia sebenarnya
memiliki peluang terhadap wilayah-wilayah perbatasan dengan Malaysia terutama pada 5 titik
OBP di Kalimantan Utara. Peluang tersebut dapat dilihat dari kehidupan masyarakat yang
hidup di perbatasan di mana mereka masih memiliki rasa nasionalisme dan cinta terhadap tanah
air, meskipun mereka masih berada pada keadaan kehidupan yang masih kurang. Peluang yang
lain adalah bahwa banyak terdapat SDA yang sangat banyak sehingga SDA tersebut dapat
ditingkatkan menjadi agrobisnis yang luas demikian juga dengan SDM nya, bahwa Indonesia
masyarakat perbatasan yang potensial untuk ditingkatkan.” (Ponco Wasono, wawancara, 18
Desember 2017). Sehingga dalam hal ini meskipun kehidupan masyarakat di perbatasan masih
membutuhkan lebih lagi perhatian namun hal-hal tersebut setidaknya sudah memberikan peluang
bagi Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya dan juga masyarakatnya (Wasono Ponco K,
Kabid Ancaman Terhadap Negara Kemenko Polhukam, 2017).
Munculnya peluang bagi Indonesia secara umum melalui ketiga lingkungan strategi
Indonesia, di sisi lain peluang-peluang yang dimiliki oleh Indonesia memunculkan tantangan
43
tersendiri yakni dapat menimbulkan ancaman dari sisi ekonomi, politik maupun pertahanan dan
keamanan. Posisi silang tersebut menempatkan Indonesia pada posisi yang memiliki peran
krusial sekaligus rawan terhadap kompleksitas permasalahan baik isu mengenai tapa batas,
keamanan nasional, keamanan manuasia maupun penyeludupan barang. Dengan melihat isu
strategis keamanan, maka terdapat ancaman terhadap keamanan perbatasan darat maupun laut
Indonesia. Negara berkepentingan untuk menajaga lintas batas darat baik dari ancaman teroris
dan pembajakan, illegal drugs and people trafficking atau narkoba dan orang (Totot Gumulyo,
Kabid Wilayah Perbatasan Kemeko Polhukam, 2017).
Terkait dengan perbatasan terutama di wilayah OBP Kalimantan Utara, di sisi lain
menimbulkan kendala yang memang harus bisa diterobos oleh pemerintah Indonesia demi
mendapatkan peluang-peluang tersebut. Ada 2 hal yang sampai saat ini masih diupayakan oleh
pemerintah Indonesia terhadap penyelesaian permasalahan perbatasan. Yang pertama adalah
kurangnya koordinasi di tataran pemerintah. Telah diuraikan di atas bahwa ada banyak
Kementerian/ Lembaga yang terlibat dalam penyelesaian permasalahan perbatasan, namun
sampai saat ini K/L yang terlibat masih kurang berkoordinasi dengan baik untuk segera
menyelesaikan permasalahan yang ada. Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah juga dapat mempengaruhi proses penyelesaian di wilayah-wilayah perbatasan.
Hal yang kedua, adalah lokasi Kalimantan Utara yang sulit di jangkau. “Jalan dan medan yang
sulit serta lokasi perbatasan yang sangat jauh dari daerah perkotaan juga mempengaruhi proses
koordinasi dan kunjungan-kunjungan oleh pemerintah ke wilayah-wilayah perbatasan.
Sedangkan tempat tinggal masyarakat sangat dekat dengan wilayah Malaysia sehingga banyak
dari mereka memilih untuk beraktifitas di wilayah malaysia dibandingkan ke wilayah-wilayah
perkotaan di Indonesia. Saluran televisi pun masih sulit dari pusat Indonesia ke perbatasan,
sehingga masyarakat perbatasan masih banyak menggunakan saluran televisi dari Malaysia”
(Totot Gumulyo, wawancara, 19 Desember 2017). Hal ini lah yang kemudian menjadi ketakutan
sendiri bagi pemerintah Indonesia terhadap masyarakat perbatasan.
44
5.2. Strategi Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam Penyelesaian
Permasalahan Perbatasan Darat Indonesia
Mencermati setiap titik OBP di Kalimantan Utara tersebut tak dapat disangkal bahwa
salah satu persoalan yang dapat memicu persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan.
Faktor yang menyulut persengketaan antar negara yang dimaksud adalah ketidaksepahaman
mengenai garis perbatasan antar kedua negara. Presiden Republik Indonesia saat ini yakni
Presiden Joko Widodo telah memprioritaskan penyelesaian masalah perbatasan termasuk
permasalahan Outstanding Boundary Problems (OBP) RI Malaysia di pulau Kalimantan. Sejauh
ini proses penyelesaian oleh Indonesia sendiri telah menggunakan dasar-dasar hukum untuk
upaya penyelesaian OBP.
5.2.2. Politik Hukum Penanganan Perbatasan
a. Penerbitan Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dibentuk pada
masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008. Di
dalam Undang-Undang tersebut telah dijabarkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan wilayah negara diantaranya peraturan tentang wilayah perairan, wilayah
yuridiksi, kawasan perbatasan dan landas kontinen. Dalam bab 2 Undang-Undang
tersebut menjelaskan wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara
lain. Salah satu yang disebutkan adalah perbatasan darat antara Indonesia dan
Malaysia. Batas wilayah negara yang dimaksud bahwa titik-titik koordinat ditetapkan
berdasarkan perjanjian bilateral atau trilateral. Sebelum pembentukan Undang-
Undang di tahun 2008, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden Mega Wati tahun
2002 telah diadakan pertemuan yang harus menyusun kelembagaan untuk
penanganan wilayah negara dan perlunya pembentukan badan atau lembaga yang
secara khusus menangani perbatasan.
Setelah terbentuknya UU No 43 Tahun 2008 ini pemerintah menetapkan
pembentukan suatu badan yang dikhususkan untuk mengelola perbatasan negara
yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dengan ketentuan keanggotaan
dari pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan dengan perbatasan wilayah
negara. Tentang perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia diatur dalam
45
Undang-Undang ini pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “ Batas wilayah negara di darat
ketentuan ini adalah batas-batas yang disepakati oleh pemerintah Hindia Belanda
dengan Inggris di wilayah Kalimantan dan Papua dan pemerintah Portugis di Timor
Leste yang selanjutnya menjadi wilayah Indonesia berdarkan dasar hukum Uti
Possidettis Juris yang berlaku dalam hukum Internasional. Berdasarkan dasar
hukum tersebut, negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya.
Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar konvensi Hindia
Belanda dan Inggris tahun 1891, tahun1915 dan tahun 1928. “
Permasalahan Outstanding Boundary Problems (OBP) menjadi penting dan
harus di dasarkan pada konvensi-konvensi Belanda dan Inggris karena sesuai dengan
UU No 43 Tahun 2008 ayat 3 yang menyatakan bahwa “penetapan batas wilayah
negara dilakukan melalui perjanjian bilateral atau trilateral apabila terdapat dua
atau tiga negara yang menyatakan pengakuan atas wilayah yang sama ataupun
terjadi tumpang tindih pengakuan atas wilayah yang sama”. Sehingga melalui
Undang-Undang ini dapat membantu pemerintah terutama bagi lembaga-lembaga
atau organisasi yang bertugas untuk mengkoordinasikan atau bekerja dalam hal
penanganan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
perbatasan negara oleh karena segala sesuatu telah tertuang di dalam Undang-
Undang tersebut terutama dasar-dasar dalam pengelolaan wilayah negara.
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
Munculnya UU No. 43 Tahun 2008 yang kemudian melahirkan berbagai
program terkait dengan pembangunan Indonesia di berbagai aspek. Berbagai program
tersebut disusun dalam suatu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019. Dalam RPJMN telah tertuang banyak program untuk
pembangunan di Kalimantan yaitu :
a. Pengembangan kawasan strategis yang mengarah pada pembangunan ekonomi di
Kalimantan
b. Pengembangan kawasan perkotaan dan pedesaan
c. Pengembangan daerah tertinggal dan kawasan perbatasan
d. Penanggulanan daerah bencana
46
e. Pengembangan tata ruang wilayah pulau Kalimantan
Dari beberapa program tersebut salah satu aspek yang ada di dalam RPJMN
adalah prioritas untuk membangun perbatasan negara. Berbicara tentang perbatasan
negara maka salah satu permasalahan perbatasan yaitu Oustanding Boundary
Problems (OBP) masuk dalam salah satu program dalam RPJMN yang menjadi
permasalahan penting bagi Indonesia yang tidak boleh hanya dilihat sebagai
permasalahan yang sederhana karena permasalahan tersebut berkaitan dengan
kedaulatan. Kajian tentang OBP sebenarnya sudah dilakukan oleh Indonesia sejak
lama, namun selama proses yang telah berjalan sampai saat ini belum ditemukan
solusi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Departemen Pertahanan RI terus melakukan pengumpulan pendapat dari
berbagai kalangan baik dari kalangan akademisi maupun kalangan praktisi untuk
mendapatkan pendekatan-pendekatan yang mungkin dapat digunakan untuk membantu
proses penyelesaian OBP tersebut. Dari Departemen Pertahanan RI telah memberikan
ketegasan untuk setiap solusi penyelesaian OBP yang pertama, kesamaan persepsi
terhadap konvensi 1891, 1915 dan 1928. Kedua, perlu adanya pemahaman terhadap
esensi yang terkandung dalam konvensi-konvensi tersebut. Ketiga, bahwa pihak terkait
tidak mempertentangkan antara esensi yang terkandung dalam konvensi-konvensi
tersebut.
Direktur Wilayah Pertahanan Dephan menyatakan bahwa untuk mendapatkan
perspektif yang baik tentang penyelesaian 9 titik OBP terlebih untuk 5 titik OBP
sektor timur di Kalimantan Utara di mana 5 titik ini menjadi proritas pemerintah
melalui Rencana Strategis Badan Nasional Pengelola Perbatasan saat ini, harus dilihat
sebagai permasalahan yang utuh dan harus di tempatkan pada kerangka yang
semestinya (Hadiwijoyo: 2011). Sehingga setiap upaya penyelesaian permasalahan
yang muncul di masing-masing titik OBP di Kalimantan ini oleh Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari dasar hukum buatan Belanda dan Inggris.
Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo dan didampingi oleh Jusuf Kalla
yang dilantik pada Oktober 2014, telah melahiran visi dan misi oleh Presiden
Indonesia dalam upaya membangun Indonesia diberbagai aspek. Tidak hanya visi dan
47
misi namun program-program Jokowi untuk membangun Indonesia juga telah tertuang
dalam 9 Nawacita. Adapun visi, misi dan Nawacita Jokowi yaitu:
a. Visi: Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian
berlandasan gotong-royong.
b. Misi:
(1) Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga keadulatan
wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan
sumberdaya maritime, dan mencerminan Indonesia sebagai negara
kepulauan.
(2) Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis
berlandaskan negara hukum.
(3) Mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri
sebagai negara maritim.
(4) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan
sejahtera.
(5) Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
(6) Mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, maju, kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional.
(7) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
c. Nawacita:
(1) Menghadirkan kembali negara yang melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.
(2) Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efetif, demoratis, dan terpercaya.
(3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
(4) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi system dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
(5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
(6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional.
48
(7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik.
(8) Melakukan revolusi karakter bangsa.
(9) Memperteguh keBhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Terkait dengan perbatasan negara khususnya Outstanding Boundary Problems
(OBP), Presiden Jokowi tampak jelas bahwa perbatasan menjadi prioritasnya. Dalam
Nawacita ke 3 yaitu membangun Indonesia dari pinggiran sangat berhubungan dengan
titik OBP di Kalimantan Utara. Jokowi memiliki komitmen untuk membangun fasilitas
infrastruktur di wilayah perbatasan karena disitulah martabat bangsa (Seskap Andi
Widjajanto, 2014). Untuk titik OBP, Presiden Jokowi telah meminta kepada Bappenas
dan Pemprov untuk membuat rincian kegiatan pembangunan di Kalimantan Utara.
Presiden Jokowi telah memerintahkan untuk memperkuat kerjasama antara
Kementerian Perhubungan dengan PT Pelindo untuk perbaikan pelabuhan Tunon Taka
yang merupakan pelabuhan internasional untuk jalur dagang lintas negara. Di pulau
sebatik, Presiden Jokowi juga telah memerintahkan jajaran menteri untuk menangani
perbaikan jembatan, pos TNI AL dan pembangunan dermaga. Hal-hal tersebut
membutikan bahwa perbatasan terutama di Kalimantan Utara tersebut menjadi bagian
prioritas oleh pemerintah Indonesia dan tentunya hal-hal tersebut merupakan upaya-
upaya untuk mewujudkan Nawacita Presiden Joko Widodo yang ke 3.1
Melalui RPJMN 2015-2019, ada banyak aspek yang yang kemuadian aspek-
aspek tersebut mengarah pada kepentingan Indonesia yang dituangkan dalam
Nawacita Presiden Jokowi. Di mana kepentingan Indonesia saat ini lebih mengarah
pada beberapa keunggulan yang harus dipertahankan di wilayah OBP di Kalimantan
Utara yaitu :
1. Komoditas sektor pertambangan dan penggalian gas, minyak dan batu bara yang
nantinya mampu mendongkrak perekonomian
1 www.wilayahperbatasan.com/pembangunan-perbatasan-presiden-Jokowi-blusukan-di-pulau-sebatik/
Diakses pada 5 oktober 2017 pukul 11.40 WIB
49
2. Sektor pertanian pengembangan sumber daya terbarukan kelapa sawit, ikan
tangkap, padi, kopi dan perkayuan yang luas di hutan-hutan kalimantan
3. Peluang sektor industri dan investasi
Tujuan dari pengembangan wilayah pada tahun 2015-2019 adalah mendorong
percepatan dan perluasan pembangunan wilayah Kalimantan dengan menekankan
keunggulan dan potensi daerah dengan pengembangan hilirisasi komoditas,
penyediaan infrastruktur dan peningkatan SDM, ilmu dan teknologi. Arah
pengembangan kebijakan di kawasan perbatasan difokuskan untuk meningkatkan
peran sebagai halaman depan negara yang yang maju dan berdaulat. Strategi
pengembangan kawasan perbatasan bertujuan untuk mewujudkan kemudahan aktivitas
masyarakat dalam berhubungan dengan negara tetangga dan mengelola sumber daya
alam yang ada di wilayah perbatasan. Penguatan pengelolaan kawasan perbatasan
dilakukan dengan beberapa strategi sesuai dengan RPJMN 2015-2019 :
1. Mengembangkan pusat pelayanan imigrasi dan keamanan
2. Merevitalisasi membenahi aktifitas lintas batas di pintu-pintu alternatif
(ilegal)
3. Mengembangkan pusat kegiatan pertahanan dan keamanan negara di
berbagai wilayah yang memiliki Outstanding Boundary Problems (OBP)
dan PKSN di wilayah perbatasan Kalimantan
4. Meningkatkan upaya perundingan dalam penetapan dan penegasan batas
wilayah negara Indonesia Malaysia dalam penyelesaian 9 titik Outstanding
Boundary Problems OBP
5. Meningkatkan kapasistas tim perunding dari tingkat teknis, strategi sampai
pembuatan kebijakan
6. Pembentukan kerjasama keamanan patroli di perbatasan Indonesia dan
Malaysia.
Permasalahan Outstanding Boundary Problems (OBP) antara Indonesia dan
Malaysia sebenarnya tidak secara tiba-tiba menjadi prioritas pada masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014. Permasalahan ini sebenarnya juga sudah
diangkat oleh presiden-presiden sebelumnya terutama mantan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono yang juga telah mendorong untuk mempercepat penyelesaian
50
OBP ini namun karena peliknya permasalahan OBP ini sampai selesaianya jabatan
SBY belum dapat menyelesaikan permasalahan OBP ini. Visi Presiden Joko Widodo
ini terlihat lebih realistis karena terjadi perubahan yakni yang dahulunya permasalahan
di perbatasan dipantau oleh TNI maka sekarang pemantauan di kontrol oleh pusat
dengan dibangunya Economic Center atau Pusat Kawasan Strategis Nasional (PKSN)
di dalamnya teradapat aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan. Di dalam PKSN itu
sendiri juga terdapat cabang-cabangnya yang disebut sebagai Lokasi Prioritas (Lokpri)
yang di bangun di kecamatan-kecamatan.
Gambar 7. Pusat Kawasan Strategi Kalimantan Utara
Sumber : Kaltara.co.id (diolah seperlunya)
51
Dalam memperluas upayanya Presiden Joko Widodo juga menyetujui
pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) dengan Malaysia dengan tujuan untuk
mempertegas kembali permasalahan perbatasan di Kalimantan Utara dan untuk
membuka jalan secara legal untuk masyarakat di perbatasan untuk melakukan aktivitas
dengan Malaysia. PLBN ini telah disepakti oleh kedua negara yang di dalamnya
berlaku dua hal yaitu pertama Bourder Coositing Agreement (BCA) yang merupakan
kesepakatan kedua belah pihak untuk mengatur keluar masuk orang di perbatasan.
Kedua, Bourder Trade Agreement (BTA) yang merupakan kesepakatan kedua belah
pihak untuk mengatur perdagangan di perbatasan antara kedua negara. Pemerintah
menerapkan kebijakan bahwa setiap orang yang ingin masuk atau keluar melalui
PLBN maka harus menunjukkan kartu identitas yang disebut PAS yaitu karta yang
tingkatanya lebih rendah dari paspor yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi Sajingan
Besar. (Wasono Ponco K, Kabid Ancaman Terhadap Negara Kemenko Polhukam,
2017)
Gambar 8. PAS Lintas Batas Malindo di Kalimantan Utara
Sumber : Kaltara.co.id (diolah seperlunya)
52
Terdapat 5 (lima) titik PLBN yang terdapat di perbatasan Kalimantan Utara
yaitu :
1. Pos Lintas Batas Sungai Pancang
Pos lintas batas ini terletak di Sungai Pancang, Kecamatan Sebatik berjarak 7 mill
laut dan berjarak 500 m dari garis Sempadan
2. Pos Lintas Batas Sungai Bolong
Pos lintas batas ini merupakan pos lintas batas laut yang terletak di Desa Nunukan
Utara, Kecamatan Nunukan dan berjarak 2 km dari Knaim dan berjarak 1 mill laut
dari garis Sempadan
3. Pos Lintas Batas Tunon Taka
Pos lintas batas ini merupakan pos lintas batas laut yang terletak di Desa Nunukan
Utara, Kecamatan Nunukan dan berjarak 300 m dari Knaim dan berjarak 0.75 mil
laut dari garis Sempadan
4. Pos Lintas Batas Long Nawang/ Krayan
Pos perbatasan ini terletak di Desa Long Nawang, Kecamatan Krayan dengan
jarak tempuh 1 jam perjalanan dari Knaim dengan pesawat perintis atau 6 jam
dengan kendaraan bermotor
5. Pos Lintas Batas Mansalong/ Lumbies
Pos perbatasan ini terletak di Desa Mansalong dengan jarak tempuh 5 jam dari
Knaim speed boat atau 8 jam dengan menggunakan transportasi air. Keberadaan
pos lintas batas ini menjadi pintu pengawasan lalu lintas internasional yang resmi
baik bagi penduduk perbatasan maupun luar.
53
Gambar 9. PLBN Kalimantan Utara Long Nawang dan Sungai Pancang
Sumber : Kaltim.tribunnews.com (diolah seperlunya)
Keterkaitan antara pembangunan Pos Lintas Batas Negara ini dengan
penyelesaian permasalahan Outstanding Boundary Problems (OBP) adalah bahwa
dengan adanya pengawasan yang ketat di wilayah perbatasan melalui penjagaan di setiap
PLB maka akan lebih mudah mempertegas lagi masyarakat-masyarakat bahkan wilayah
di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia karena akan lebih mudah mengontrol segala
sesuatu yang akan di lakukan oleh kedua negara. Pembangunan ini menjadi sebuah
pendekatan tersendiri dari pemerintah pusat dengan masyarakat perbatasan karena apabila
tindakan-tindakan tersebut ters dilakukan dan dikembangkan maka akan memberikan
dampak yang baik untuk masyarakat perbatasan untuk menciptakan kehidupan yang
nyaman untuk masyarakat perbatasan. Demikian juga dengan masyarakat tidak tinggal di
perbatasan namun berada pada wilayah yang dekat dengan masyarakat perbatasan yang
tentunya dapat membantu pemerintah pusat untuk menjangkau masyarakat di perbatasan
untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang mungkin dapat menopang kehidupan
masyarakat perbatasan.
54
c. Penerbitan Peraturan Kepala BNPP No 1 Tahun 2015 tentang Rencana Induk
Pengelolaan Perbatasan Negara Tahun 2015-2019
Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) No 1 Tahun 2015
tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara Tahun 2015-2019 atau renduk
2015-2019 disusun dengan menimbang bahwa dalam rangka melakukan koordinasi,
integrasi, sinergitas dan sinkronisasi rencana dari berbagai sektor, dunia usaha dan
masyarakat dalam mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan berdasarkan
kerangka waktu, lokasi sumber pendanaan dan penanggungjawab pelaksanaanya maka
perlu disusun rencana induk pengelolaan perbatasan negara yang bertujuan untuk
memberikan informasi mengenai arah pengembangan, kebijakan, strategi, tahapan
pelaksanaan dan kebutuhan program pengelolaan batas wilayah negara. Adapun
perbedaan antara RPJMN 2015-2019 dengan renduk ini adalah bahwa RPJMN 2015-
2019 merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode lima tahun
terhitung sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 dalam artian bahwa program-
program yang tertuang di dalam RPJMN adalah keseluruhan program nasional yang tidak
hanya berfokus pada permasalahan batas wilayah negara saja. Sedangkan renduk BNPP
2015-2019 merupakan rencana pembangunan nasional jangka menengah lima tahun yang
memberikan arahan kebijakan, strategi dan program dalam pengelolaan batas wilayah
negara dan pembangunan kawasan perbatasan atau program-program di dalam renduk
BNPP adalah program-proogram yang hanya berkaitan dengan perbatasan negara.
Dalam Renduk BNPP 2015-2019 ini berfokus pada 8 agenda prioritas yaitu :
(1) Penetapan dan penegasan batas wilayah negara
(2) Peningkatan pertahanan dan keamanan serta penegakan hukum
(3) Peningkatan pelayanan lintas batas negara
(4) Peningkatan penyediaan infrastruktur kawasan perbatasan
(5) Penataan ruang kawasan perbatasan
(6) Pengembangan/ pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan
(7) Peningkatan pelayanan sosial dasar kawasan perbatasan
(8) Penguatan/ penataan kelembagaan
Dalam renduk BNPP 2015-2019 sampai saat ini memberikan penegasan terhadap
pemeliharaan tanda batas di mana kondisi keberadaan patok batas darat Indonesia
55
Malaysia sampai saat ini masih membutuhkan perhatian yang lebih karena pergeseran
patok batas sering terjadi karena aktifitas yang dilakukan di wilayah perbatasan dan
seringkali pergeseran patok dilakukan secara sengaja. Kondisi ini juga terkait dengan
lemahnya kontrol atau pengawasan terhadap batas negara di perbatasan Indonesia
Malaysia meskipun di wilayah-wilayah perbatasan telah dilakukan patroli pengawan
antara Tentara Nasional Indonesia dengan Tentara Malaysia untuk bersama-sama
menjaga di kawasan perbatasan kedua negara (Renduk BNPP 2015-2019 : 39-42).
56
5.2.3. Penguatan Kelembagaan Penanganan Perbatasan
Dalam proses penanganan perbatasan selain menggunakan strategi politik yaitu
penanganan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Indonesia telah membentuk
kelembagaan atau organisasi yang dikhususkan untuk menangani perbatasan Indonesia dengan
negara lain. Dalam permasalahan OBP ini Indonesia melakukan kerjasama dengan Malaysia
dengan membentuk organisasi bersama kedua negara untuk menangani permasalahan OBP ini.
Di sisi lain Indonesia juga telah membentuk organisasi khusus yakni Badan Nasional Pengelola
Perbatasan sesuai dengan UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
1. General Border Committee (GBC)
General Border Commitee (GBC) merupakan sebuah merupakan forum kerjasama
perbatasan antara pemerintah RI dengan Malaysia. Di dalam GBC tersebut terdapat banyak
aspek yang berkaitan dengan organisasi tersebut dan hal-hal lain yang menyangkut perbatasan
Indonesia Malaysia.2Awalnya organisasi ini muncul sejak adanya kerjasama pada tahun 1972 di
bidang pertahanan melalui Security Agreement antara Indonesia dengan Malaysia. Tujuan awal
dari organisasi ini adalah hanya untuk menangani kekuatan kelompok-kelompok separatis di
sepanjang wilayah perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak Malaysia.
Namun semakin lama isu semakin berkembang terutama terkait dengan keamananan
perbatasan sehingga GBC ini dimanfaatkan untuk penanganan perbatasan kedua negara. GBC ini
sendiri merupakan lembaga ad hoc yang sengaja dibuat oleh kedua negara yang secara khusus
digunakan sebagai forum kerjasama dalam pengelolaan perbatasan. GBC diketuai oleh Menteri
Pertahanan kedua negara. Tugas dari GBC ini adalah untuk mengkoordinasikan organisasi-
organisasi yang ada di bawahnya. GBC mencangkup bidang operasi dan non operasi. Kerjasama
yang dilakukan melibatkan angkatan bersenjata, kepolisian, Kemendagri, Kemenlu dan
kementerian terkait dari kedua negara.3
Di bawah GBC itu sendiri juga terdapat beberapa organisasi yaitu High Level Committee
(HLC) di mana organisasi ini membahas setiap kegiatan yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan badan-badan yang berada di bawah HLC. HLC merupakan alat mediasi
2https://www.bappenas.go.id/files/7713/5028/6697/6ringkasan__20090303005257__5.pdf (diakses pada 2 Agustus 2017 pukul
10.07 WIB) 3 http://etd.responsitory.ugm.ac.id/downloadfile/102062/potongan/s1-2016-297144 diakses pada 5 oktober 2017 pukul 09.40
WIB
57
perundingan bagi kedua negara dalam setktor kemiliteran. HLC sendiri diketuai oleh Panglima
Angkatan Perang dari kedua negara.4 Kebijakan HLC ini lebih pada kerjasama-kerjasama yang
tertuang dalam beberapa organisasi yaitu Coordinated Operating Control Committee (COCC)
yang merupakan organisasi yang bekerja di bidang operasi bersama, Jawatan Kuasa Latihan
Bersama (JKLB) yang bekerja di bidang latihan gabungan dan Kelompok Kerja Sosio Ekonomi
(KK Sosek) yang bekerja dalam bidang sosio ekonomi serta Joint Police Cooperation Committee
(JPCC) bekerja dalam bidang patroli bersama dalam menangani kejahatan lintas negara di
perbatasan5. Program pada Komite-Komite perbatasan dirumuskan berdasarkan isu-isu yang
sedang terjadi (Arifin, 2014 : 112-113).
4 http://Elib.unikom.ac.id diakses pada 5 oktober 2017 pukul 10.02 WIB 5http://www.nu.or.id/post/read/10507/ri-malaysia-mantapkan-kerja-sama-pengelolaan-perbatasan (diakses pada 5 September
2017 pukul 10.40 WIB)
58
Gambar 10. Struktur organisasi General Bourder Committee
Sumber: Kemenko Polhukam, 2017 (diolah seperlunya)
GBC MALINDO
(GENERAL BOURDER
COMMITTE)
HLC MALINDO
(HIGH LEVEL COMMITTEE)
COCC
(COORDINATED
OPERATING
CONTROL
COMMITTEE)
JKLB
(JAWATAN
KUASA LATIHAN
BERSAMA)
KK/JKK SOSEK
(KELOMPOK
KERJA SOSIO
EKONOMI)
JPCC
(JOINT POLICE
COOPERATION
COMMITTEE )
KK/JKK SOSEKDA
KALBAR-
SARAWAK
KK/JKK SOSKDA
KALTIM-SABAH
KK/JKK SOSKDA
RIAU/KEPRI-
JOHOR MALAKA
TIM TEKNIS TIM TEKNIS TIM TEKNIS
59
2. Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIM)
Joint Indonesia – Malaysia Boundary Committee (JIM) merupakan forum kenegaraan
bagi kedua belah pihak dalam membahas secara bersama terkait dengan kerjasama upaya
pelaksanaan penegasan garis batas kedua negara. Persidangan JIM telah dilaksanakan 40 kali, di
mana sidang JIM yang ke-40 dilaksanakan di Bali pada tanggal 24 Maret 2016. Sidang tersebut
dihadiri oleh Ketua Delegasi Malaysia, Dato’ Sri Azizan Bin Ahmad dan anggota delegasi dari
kedua negara Indonesia – Malaysia. Sidang ini merupakan forum untuk pencapaian mufakat
berdasar hasil kegiatan Investigation, Refixation and Maintenance (IRM) tahun 2015 lalu,
Common Border Datum Reference Frame (CBDRF) dan Joint Border Mapping (JBM) tahun
2015 serta Persidangan Joint Working Group On Outstanding Boundary Problems (JWG OBP).
Pada tahun 2015 yang lalu, kedua negara telah melaksanakan Investigation, Refixation
and Maintenance (IRM) di mana terhadap tanda batas di lapangan yang hilang, bergeser atau
mengalami kerusakan. Kedua negara juga telah melaksanakan program Common Border Datum
Reference Frame (CBDRF) untuk penentuan Datum bersama, serta bersama Joint Border
Mapping (JBM) dalam rangka pemetaan bersama di sepanjang garis batas kedua negara dan
hasilnya dibahas pada pertemuan Joint Indonesia Malaysia Technical Meeting (IMT).6 Di dalam
General Border Committee juga terdapat organisasi yang khusus menangani perbatsan lintas
darat atau OBP (Wasono Ponco K, Kabid Ancaman Terhadap Negara Kemenko Polhukam:
2017)
6http://ditjenbinaadwil.kemendagri.go.id/kerjasama_detail.php?id_kerjasama=20 (diakses pada 5 September 2017 pukul 11.12
WIB)
60
Gambar 11. Struktur Organisasi
Joint Indonesia Malaysia Boundary Committe (JIM)
Sumber: Kemenko Polhukam, 2017 (diolah seperlunya)
KETUA PANITIA NASIONAL
JOINT INDONESIA MALAYSIA BOUNDARY
COMMITTE (JIM)
SEKJEN KEMENDGRI
KETUA PANITIA TEKNIK
JOINT INDONESIA MALAYSIA
TECHNICAL MEETING (IMT)
DIRWILHAN DITJEN STRAHAN
JOINT WORKING GROUP ON
OUTSTANDING BOUNDARY
PROBLEMS (JWG OBP)]
DIRWILHAN DITJEN STRAHAN
CO-PROJECT DIRECTUR
(CO-PRODIR
SETOR TIMUR PAMEN
DITTOPAD
CO-PROJECT DIRECTUR
(CO-PRODIR
SETOR BARAT PAMEN
DITTOPAD
JOINT WORKING GROUP ON
FRAME BORDER DATUM
REFERENCE FRAME (CBDRF) DAN
JOINT BORDER MAPPING (JBM)
KAPSUS PWG BIG
CHIEF OF FIELLLD
PARTIES (CFP) CHIEF OF FIELLLD
PARTIES (CFP)
TEAM LEADER (TL) TEAM LEADER (TL)
61
Melihat dari struktur organisasi bahwa JIM terbagi ke dua bagian persidangan yaitu Joint
Indonesia Malaysia Meeting (IMT) yang memiliki tugas melakukan demarkasi batas pemetaan
titik koordinat sampai pemasangan pilar batas kedua negara, selain itu IMT juga bertugas
menyiapkan dan merencanakan kegiatan, agenda atau bahan pertemuan, menerima dan
mengkompulir seluruh hasil kegitan dari Co-Projeck Directur (CPD) yang merupakan bagian
dari tim projek pelaksana kerja di titik OBP. CPD ini merupakan penanggungjawab dari setiap
kegiatan yang dilakukan. Tidak hanya CPD namun Joint Working Group on Frame Border
Datum (CBDRF) sebagai tim dalam penetapan datum bersama dan Joint Border Mapping (JBM)
sebagai tim dalam pemetaan bersama di sepanjang garis batas kedua negara juga dioordinasikan
oleh IMT. Persidangan kedua adalah Joint Working Group on Boundary Problems (JWG OBP)
di mana persidangan ini merupakan persidangan yang dikhususkan dalam pembahasan
penyelesaia 10 titik OBP yang belum dapat terselesaikan di Kalimantan.
Joint Working Group on Boundary Problems (JWG OBP) telah diadakan selama 9 kali
persidangan. Dalam periode waktu 2014-sekarang, JWG OBP terahir dilaksanakan di Indonesia
sebagai tuan rumah yang diadakan di Manado pada tanggal 29 Agustus s.d 2 September 2016
yang dipimpin oleh Laksama Raja Morni Harahap. MM selaku ketua delegasi JWG OBP
Indonesia dengan diikuti 28 delegasi Indonesia. Sedangkan dari Malaysia dipimpin oleh Datuk
SR Fauzi Nordin selaku ketua pengarah ukur dan pemetaan Malaysia, jabatan ukur dan pemetaan
Malaysia dan diikuti oleh 11 anggota delegasi Malayasia. Dalam siding JWG OBP yang ke 8
kedua negara memutuskan untuk berfokus pada penyelesaian sektor timur dan dalam sidang
JWG OBP yang ke 9 lah kemudian menghasilkan keputusan bahwa kedua negara sepakat untuk
memulai penyelesaian 5 titik OBP yang letaknya di Kalimantan Utara. (Wasono Ponco K, Kabid
Ancaman Terhadap Negara Kemenko Polhukam, 2017).
62
3. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan badan pengelola batas negara
dan kawasan perbatasan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara. BNPP dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berkedudukan di bawah dan
bertanggungjawab kepada Presiden. Pengelolaan perbatasan merupakan bagian integral dari
management negara yang secara operasional merupakan kegiatan penanganan dan juga
mengelola batas wilayah dan kawasan perbatasan.
Melalui Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara tercantum
mandat kepada pemerintah untuk membentuk badan pengelola perbatasan di tingkat pusat dan
daerah dalam rangka mengelola kawasan perbatasan. Dalam konteks pengelolaan batas wilayah
negara dan kawasan perbatasan, BNPP mengedepankan sinergi kebijakan dan program terkait
dengan penanganan batas wilayah negara Indonesia. Adapun tugas utama BNPP adalah
mengelola batas wilayah negara dan meningkatkan kesejahteraan masyrakat di perbatasan yang
merupakan kristalisasi dari amanat UU No 43 Tahun 2008 pasal 15 dan Peraturan Presiden No
12 Tahun 2010 pasal 3 sebagai berikut :
1. Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan
2. Menetapkan rencana kebutuhan anggaran
3. Mengkoordinasikan pelaksanaan
4. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan
kawasan perbatasan.
Keanggotaan BNPP terdiri dari 18 Kementerian/Lembaga pemerintah nom kementerian
serta 12 Gubernur di kawasan perbatasan yang diharapkan akan mampu menjadi daya ungkit
untuk memperkuat dan mengefektifkan tugas-tugas yang diemban oleh Kementerian dan/atau
Lermbaga serta pemerintah daerah dalam meujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan
NKRI7.
BNPP sendiri telah menjadi sebuah organisai yang diarahkan oleh Menteru Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Tugas dan
wewenang BNPP dikelompokkan ke dalam tiga strata pemerintah antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Secara umum tugas dan wewenang BNPP tingkat daerah lebih diletakkan
7 http://www.pubinfo.id/instansi-360-bnpp--badan-nasional-pengelola-perbatasan.html (diakses pada 4 September 2017 pukul
09.00 WIB)
63
sebagai pelaksana atau tugas pembantuan pemerintah pusat. Badan Pengelola Perbatasan Tingkat
Daerah seharusnya menjadi ujung tombak dalam memetakan kebutuhan pembangunan dan
merangkum isu-isu terkait dengan perbatasan yang kemudian dirangkum menjadi program kerja
berdasarkan kebutuhan di lapangan. Namun hal tersebut berbeda dengan Badan Pengelola
Perbatasan Tingkat Daerah di Kalimantan di mana Badan Pengelola Perbatasan Tingkat Daerah
justru hanya berperan sebagai “even organizer” yang hanya melayani tamu dari pusat yang
berkunjung ke daerah (Arifin, 2014 :127). Ada perbedaan kewenangan antara tugas BPP tingkat
pusat, provinsi dan daerah yaitu :
a. BNPP : Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan
rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan dan melaksanakan evaluasi.
b. BPP Provinsi : Melaksanakan kebijakan pemerintah, melakukan koordinasi
pembangunan dan melakukan pengawasan pembangunan perbatasan
c. BPP Daerah : Melaksanakan kebijakan pemerintah, menjaga dan memlihar tanda batas,
melakukan koordinasi dan melaksanakan pembangunan perbatasan (Arifin, 2014 :128)
64
Gambar 12. Susunan Organisasi
Badan Nasional Pengelola Perbatasan
Sumber : Perka BNPP No. 1 Tahun 2015 (diolah seperlunya)
BNPP
PENGELOAAN
BATAS WILAYAH
NEGARA
POTENSI
KAWASAN
PERBATASAN
PENGELOLAAN
INFRASTRUKTUR
KAWASAN
PERBATASAN
KEMENKO
BID.
MARITIM
KEMENKO
KES.RAKY
AT
RAYAT
KKP KKLH KEMENSO
S
KEMEN.P
ERTANIA
N
KEMEN.
ENER SD
MINERAL
KEMEN.P
ERINDUST
RIAN
KEMEN.
KEU
KEMEN.
PARIWISA
TA
KEMEN.
KOPERASI
& UKM
KEMEN.P
ERDAGAN
GAN
KEMEN.A
GRARIA &
TT.RG
BD
INFORM.G
EOSPASIA
L
KEMEN.RI
SET, TEK
& PEND
KEMENK
UMHAM
KEMEN
DAGRI KEMENLU KEMHAN KEMEN
DES &
PDTT
KEMEN
BUDDIK
DSR MNG
KEMENK
ES
KEMEN
PUPR
BAPENN
AS
KEMENH
UB
KEMEN
KOM &
INFO
KEMEN
KEU
KEMEND
AGRI
KEMEN.
AGRAIA
& TT RG
KEMENK
UMHAM
65
5.2.4. Upaya Diplomasi Pemerintah Indonesia
Melihat peluang dan tantangan yang telah diuraikan di atas, oleh karena Indonesia
menjadi negara yang berada di dalam suatu sistem internasional yang tumbuh di antara negara-
negara lain maka merujuk pada penyelesaian permasalahan perbatasan yaitu Outstanding
Boundary Problem (OBP) sektor timur di Kalimantan Utara yang di sesuaikan mekanisme
hukum internasional dan tetap memperhatikan pedoman-pedoman yang telah dikemukakan yakni
konvensi-konvensi buatan Belanda Inggris terdapat alternatif penyelesaian yaitu melalui jalur
diplomasi. Diplomasi adalah suatu cara berkomunikasi yang dilakukan oleh berbagai pihak yang
di dalamnya muncul proses negosiasi antara wakil-wakil yang saudah diakui. Diplomasi juga
merupakan kegiatan politik dan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan
kompleks dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan-
tujuannya. Bagi negara manapun tujuan daripada doplomasi yakni pengamanan kebebasan
politik dan integritas terirorialnya (wilayah) hal ini bisa tercapai dengan memperkuat hubungan
dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dan meniadakan pemusuhan. Diplomasi
menjadi suatu upaya yang sangat berkaitan erat dengan politik luar negeri suatu negara.
Hubungan antara politik luar negeri dan diplomasi adalah untuk membentuk dan menciptakan
peran serta suatu negara di panggung politik dunia dan tugas lain dari diplomasi adalah untuk
memahami secara cepat dan cermat dalam memperjuangkan kepentingan negara (Andrianti,
2015 : 56-57)
Berhubungan dengan permasalahan Outstanding Boundary Problem (OBP) yang terjadi
di Kalimantan Utara, kedua negara sepakat untuk melakukan diplomasi dalam upaya
penyelesaian. Sejauh ini penyelesaian permasalahan ini tidak ada intervensi dari negara-negara
lain di luar Indonesia dan Malaysia, sehingga kedua negara ini menggunakan pola diplomasi
bilateral yang artinya bahwa diplomasi hanya dilakukan oleh kedua negara yakni Indonesia dan
Malaysia. Menurut Partanto diplomasi bilateral adalah hubungan antara dua belah pihak di mana
mereka saling bertemu untuk membicarakan suatu hal dengan tujuan melakukan kerjasma,
penempatan duta besar, mengadakan perjanjian atau hanya sekedar melakukan kunjungan
kenegaraan. Pola diplomasi ini dilaksanakan untuk menyatukan satu tujuan yang sama di antara
kedua belah pihak.8. Jalur diplomasi yang dimaksud dalam hal ini juga oleh Indonesia dan
8 Triscamiaa-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-87352-Negosiasi%20dan%20Diplomasi-
Pola%20Diplomasi:%20Bilatera_dan_Multilateral_dan_alasan_asosiasi.html diakses pada 13 Januari 2017 Pukul 08.40 WIB
66
Malaysia disertai dengan dilakukanya survey dan penegasan batas di lokasi atau masing-masing
titik yang disengketakan kedua belah pihak yakni ke lima titik OBP di Kalimantan Utara. Ada
beberapa kelebihan mengapa jalur diplomasi dipilih sebagai alternatif penyelesaian oleh kedua
negara yaitu :
1. Pada tataran praktik, secara nyata kedua negara telah memulai diplomasi penyelesaian
sejak tahun 1976 melalui berbagai perundingan. Penyelesaian secara diplomatik adalah
cara yang paling rasional meskipun di samping itu harus tetap disertai dengan penegasan
batas kembali ke lokasi yang disengketakan.
2. Secara moral, penyelesaian secara diplomasi lebih dipilih karena diplomasi merupakan
instrumen politik luar negeri yang beradap dan terukur. Hal tersebut dibandingkan dengan
konfrontasi dan perang karena tidak hanya mahal tapi juga menghasilkan efek yang luar
biasa dan sering tidak terkontrol.
67
Komunikasi diplomatik penyelesaian permasalahan OBP di mulai dengan beberapa perundingan
yang telah dilakukan oleh kedua negara yakni:
Tabel 2. Pertemuan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committe (JIM)
sejak tahun 1976-1996
Pertemuan Tanggal Tempat
JIM 1 15 November 1976 Kota Kinabalu, Sabah Malaysia
JIM 2 12-12 Januari 1976 Kuahiang, Sarawak Malaysia
JIM 3 26 Juni-2 Juli 1976 Pulau Pinang, Malaysia
JIM 4 9-13 Desember 1976 Yogyakarta, Indonesia
JIM 5 2- 3 Desember 1977 Kuala Lumpur, Malaysia
JIM 6 16-18 November 1978 Semarang, Indonesia
JIM 7 8-10 Juli 1980 Kuala Lumpur, Malaysia
JIM 8 10-12 1981 Jakarta, Indonesia
JIM 9 9-12 Desember 1982 Kuala Lumpur, Malaysia
JIM 10 28-30 Mei 1984 Jakarta, Indonesia
JIM 11 15-17 Juli 1985 Kuala Lumpur, Malaysia
JIM 12 26-28 Februari 1987 Jakarta, Indonesia
JIM 13 15-22 Februari 1988 Kuala Lumpur, Malaysia
JIM 14 23-25 Agustus 1989 Jakarta, Indonesia
JIM 15 22-24 Maret 1990 Pulau Pinang, Malaysia
JIM 16 11-13 Juni 1991 Yogyakarta, Indonesia
JIM 17 14-16 September 1992 Johan Bahru, Malaysia
JIM 18 18-20 Oktober 1993 Jakarta, Indonesia
JIM 19 27-29 Juni 1994 Kota Kinabalu, Malaysia
JIM 20 23-25 Januari 1996 Den Pasar Bali, Indonesia
JIM 21 4-6 Januari 1996 Malaka, Malaysia
Sumber : Dirjen Pemerintah Umum Kemendagri, 2004 (diolah seperlunya)
68
Pertemuan yang diadakan di Jakarta pada 18-20 Oktober 1993 yang menghasilkan
kesepakatan bahwa penyelesaian masalah Outstanding Boundary Problems (OBP) akan
difokuskan setelah tahun 2000, pasca pengukuran perbatasan secara keseluruhan dapat
terselesaikan. Pertemuan yang diadakan di Malaysia pada 24-26 Februari 2000 yang
menghasilkan kesepakatan bahwa masing-masing tim kedua negara harus secara cepat
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk secara bersama mengkaji dan mencari
alternatif permasalahan penyelesaian perbatasan tersebut sebaik mungkin. Pertemuan kembali
diadakan di Bandung pada 20-22 September 2000 yang menghasikan kesepakatan pembentukan
Kelompok Kerja (Pokja) yaitu Joint Working Group/ JWB OBP dan menerbitkan proposal
sebagai bahan pertimbangan dan persetujuan terhadap pokja tersebut. Pertemuan selanjutnya
diadakan di Sabah pada 29-31 Oktober 2001 yang menghasilkan kesepakatan bahwa akan
diadakan pertemuan khusus untuk membahas kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh JWG
OBP.
Sejak pertemuan Joint Indonesia Malaysia (JIM) pertama tahun 1976 sampai tahun 1992
belum menghasilkan kesepakatan secara khusus tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan
perbatasan darat kedua negara. Kegiatan yang dilakukan selama diadakanya pertemuan-
pertemuan tersebut hanyalah sebatas survei dan pengukuran ke wilayah-wilayah perbatasan
termasuk ke wilayah Outstanding Boundary Problems (OBP). Barulah pada tahun 1993 kedua
negara sepakat untuk memulai pembahasan OBP setelah tahun 2000. Sejak tahun 2000 sampai
tahun 2010 kedua negara belum juga menemukan hal-hal yang harus dilakukan untuk
menyelesaiakan titik-titik OBP tersebut. Selama kurang lebih 10 tahun kedua negara hanya
berdebat tentang isi dari pada konvensi Belanda dan Inggris dalam artian bahwa tidak ada
kesepahaman mengenai konvensi-konvensi Belanda dan Inggris sehingga hal tersebut
memperlambat tindakan kedua negara untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di titik-
titik OBP.
Mencermati permasalahan-permasalahan tersebut dengan disertai diplomasi melalui
perundingan-perundingan oleh kedua negara sebagai upaya penyelesaian permasalahan OBP dan
sampai saat ini belum menemukan titik temu dalam menyelesaikan masalah, kedua negara tidak
menyatakan bahwa upaya diplomasi mereka gagal namun mereka menyatakan bahwa upaya
penyelesaian ini belum selesai. Namun belum menemukanya titik penyelesaian tersebut
membuat kedua negara harus bekerja semakin keras lagi karena semakin lama waktu
69
menemukanya titik penyelesaian maka akan semakin panjang pula waktu dan permasalahan OBP
tersebut terjadi antara Indonesia dan Malaysia. Di samping permasalahan teknis yang terjadi di
lapangan, kendala juga muncul dalam setiap pertemuan dalam pembahasan penyelesaian OBP
oleh kedua negara dalam artian bahwa ada permasalahan yang muncul saat kedua negara ini
melakukan diplomasi. Di mana permasalahan setuju tidak setujunya kedua belah sebagai contoh
keinginan Malaysia untuk menggunakan peta Malaysia sebagai acuan pengukuran namun
Indonesia tidak setuju karena menganggap peta Malaysia tidak akurat karena dibuat Malaysia
secara sepihak dan Indonesia tetap menginginkan menggunakan peta Belanda dan Inggris
sebagai acuan yang akurat. Sehingga ketika terjadi hal tersebut maka kedua negara memilih
alternatif untuk kembali mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak (Dirjen Pemerintahan
Umum Departemen Dalam Negeri : 2004).
Neorealisme seperti yang di sampaikan oleh Kenneth Waltz (1979) mengungkapkan
tentang bagaimana suatu negara bisa melakukan kerjasama dalam situasi yang anarki. Menurut
Waltz dalam pemikiran neorealis menjadikan negara sebagai satu-satunya aktor dalam hubungan
internasional. Meskipun suatu negara menjadi satu-satunya aktor dalam hubungan internasional,
namun negara-negara di dunia ini hidup dalam suatu sistem internasional yang terdapat banyak
negara-negara. Sehingga dalam rangka mencapai tujuan atau kepentinganya untuk bertahan
hidup maka diperlukanya sikap yang kompetitif. Sikap kompetitif inilah yang nantinya
membawa negara-negara untuk saling bekerja sama satu dengan yang lainya.
Masalah Outstanding Boundary Problems (OBP) sektor timur Indonesia Malaysia di
Kalimantan Utara sangat menyita perhatian kedua negara sejak tahun 1970-an sampai dengan
saat ini. Dalam hal ini teori Neorealisme yang dikemukakan oleh Kenneth Waltz memberikan
kontribusi terhadap permasalahan lima titik OBP di Kalimantan Utara antara Indonesia dan
Malaysia ini. Sebagai aktor utama (Indonesia dan Malaysia), kedua negara ini terlihat sama-sama
memperjuangkan kepentinganya nasional masing-masing di wilayah OBP tersebut meskipun
sejauh ini Indonesia sendiri belum mengetahui apa yang sebenarnya menjadi kepentingan dari
Malaysia di wilayah OBP. Ada beberapa kepentingan yang Indonesia miliki dan harus di capai di
wilayah-wilayah OBP Kalimantan Utara yaitu adanya komoditas dalam sektor pertambangan dan
penggalian gas, minyak dan batu bara yang nantinya mampu mendongkrak perekonomian, sektor
pertanian pengembangan sumber daya terbarukan kelapa sawit dan perkayuan yang luas di
hutan-hutan kalimantan serta munculnya peluang sektor industri dan investasi. Dengan adanya
70
kepentingan-kepentingan tersebut maka Indonesia terus mengupayakan berbagai cara untuk
mencapai kepentingan-kepentingan nasional yang telah di rumuskan terutama pada masa
pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Penyelesaian Outstanding Boundary Problems (OBP) sektor timur diwarnai dengan
munculnya faktor-faktor yang menghambat proses penyelesaian masalah ini sebagaiamana telah
diuraikan yaitu belum mengertinya Indonesia tentang politik luar negeri Malaysia, kurang
koordinas dari K/L terkait, keadaan masyarakat di perbatasan, keadaan alam dan patok serta
pengaruh teknologi. Melihat faktor-faktor tersebut membuat kedua negara semakin serius lagi
dalam menyelesai permasalahan OBP yang sangat pelik sejak dahulu sampai saat ini. Keseriusan
Indonesia dalam menyelesaikan masalah OBP diwujudkan dengan beberapa strategi yakni
dibentuknya organisasi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan menggunakan politik
penanganan perbatasan yakni dengan pembentukan UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Peraturan
BNPP No 1 Tahun 2015 tentang Rencana Induk BNPP 2015-2019.
Strategi dalam upaya penyelesaian OBP juga terlihat dari organisasi yang dibentuk
dengan keanggotaan dari kedua negara untuk menangani masalah OBP (General Border
Committee dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Meeting) dan diplomasi melalui pertemuan-
pertemuan OBP oleh kedua negara sebagaimana telah diuraikan di atas. Melalui kerjasama-
kerjasama inilah kemudian terlihat bahwa dalam rangka mencapai kepentingannya masing-
masing kedua negara mampu melakukan kerjasama dengan pembentukan aliansi untuk
menyelesaikan permasalahan yang muncul. Bawasanya kedua negara ini tidak hidup sendiri-
sendiri namun kedua negara ini sama-sama berada pada suatu sistem internasional. Di dalam
sistem internasional inilah mereka harus berhasil menciptakan sikap yang kompetitif dan sifat
yang kompetitif tersebut diwujudkan melalui kerjasama yang di bangun antara kedua negara.
Melalui strategi-strategi yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia inilah terlihat
bahwa teori Neorealis memberikan kontribusi terhadap penyelesaian permasalahan Outstanding
Boundary Problems (OBP). Terlihat bahwa Indonesia memiliki kepentingan di lima titik OBP di
Kalimantan Utara dan Indonesia telah melihat adanya peluang yang muncul, sehingga melalui
hal tersebut Indonesia terus berupaya bagaimana Indonesia bisa mencapai kepentinganya
tersebut. Namun dalam upaya mencapai kepentinganya, Indonesia juga tidak secara sepihak
menentukan garis batas dan melakukan klaim karena di situ ada pihak lain yang terait yaitu
71
Malaysia. Sehingga dalam rangka mencapai kepentingan nasional, kedua negara ini masih
dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dan kerjasama tersebut sudah terwujud antar kedua
negara yang dikuatkan juga dengan dilakukanya upaya diplomasi antara Indonesia dengan
Malaysia meskipun upaya-upaya yang dilakukan belum menemukan titik temu penyelesaian.
Top Related