10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Penyakit Tifoid
1. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan
Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima
makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh
dengan jalan proses percernaan (pengunyahan, penelanan dan
pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut
(oris) sampai anus.
Menurut Syaifuddin (2006: 167), susunan saluran pencernaan terdiri
dari :
a. Oris (mulut)
b. Faring (tekak)
c. Esofagus (kerongkongan)
d. Ventrikulus (lambung)
e. Intestinum minor (usus halus)
1) Doudenum (usus duabelas jari)
2) Yeyenum
3) Ileum
f. Intestinum mayor (usus besar)
1) Seikum
2) Kolon asendens
3) Apendiks (usus buntu)
11
4) Kolon transversum
5) Kolon desendens
6) Kolon sigmoid
g. Rektum
h. Anus
Berikut adalah gambar sistem pencernaan (http://eegmed.com/
htmlfiles/gastrointe/08/2009...nal.html. 13/06/2010, 19.30 WITA).
Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pencernaan
12
Anatomi fisiologi saluran pencernaan adalah :
a. Mulut
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri dari
bagian luar yang sempit yaitu ruang antara gigi, dan pipi dan bagian
rongga mulut/bagian dalam yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya
oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis.
Pipi dan bibir mengandung otot-otot yang diperlukan dalam
proses pengunyahan dan bicara, lidah membentuk rantai dari mulut
yang berfungsi mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat
pengecap dan menelan, serta merasakan makanan. Sedangkan fungsi
gigi terdiri dari gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring untuk
memutuskan makanan yang keras dan liat dan gigi geraham yang
berfungsi untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.
Dalam rongga mulut terdapat 3 kelenjar ludah yang besar, yaitu
kelenjar parotis, terletak disebelah bawah daun telinga diantara alat
pengunyah dengan kulit pipih. Cairan ludah hasil sekresinya
dikeluarkan melalui duktus stensen ke dalam rongga mulut melalui
satu lubang dihadapan gigi molar kedua atas. Kelenjar sublingualis
terletak di bawah lidah, salurannya (duktus rinivus) menuju lantai
rongga mulut dibelakang gigi seri pertama, sedangkan kelenjar
submandibularis terletak di belakang dan kesamping dari kelenjar
sublingualis, salurannya (duktus wharton) menuju ke lantai rongga
mulut di belakang gigi seri pertama (Syaifuddin, 2006: 168-169).
13
Fungsi ludah ada 2 yaitu bekerja secara fisis dan secara kimiawi.
Kerja fisisnya ialah membasahi mulut, membersihkan lidah dan
memudahkan orang berbicara. Ludah membasahi makanan agar
mudah untuk ditelan. Dan dengan membasahi makanan itu, ludah
melarutkan beberapa unsur, sehingga memudahkan kerja kimiawi
terhadapnya. Sedangkan fungsi kimiawi ludah disebabkan enzim
ptialin (amilase ludah) yang bekerja atas zat gula dan zat tepung yang
telah dimasak. Kerja ini dimulai di dalam mulut, ludah ditelan
bersama makanan dan kerja ptialin berjalan terus di dalam lambung
selama kira-kira dua puluh menit atau sampai makanan menjadi asam
oleh kerja cairan lambung (Pearce, 2002: 184).
b. Faring (Tekak)
Faring (tekak) terletak di belakang hidung, mulut, dan
tenggorokan, tekak berupa saluran berbentuk kerucut dari bahan
membran berotot dengan bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan
dari dasar tenggorokan sampai di ketinggian vertebral servikalis
keenam, yaitu ketinggian tulang rawan krikoid, tempat faring
bersambung dengan kerongkongan, panjang faring kira-kira 7 cm
(Pearce, 2002: 180-181).
Faring (tekak) terdiri dari 3 bagian yaitu bagian superior (bagian
yang sama tinggi dengan hidung), bagian media (bagian yang sama
tinggi dengan mulut) dan bagian inferior (bagian yang sama tinggi
dengan laring). Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring
bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang
14
telinga. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu
kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan
merupakan pertahanan dari infeksi (Syaifuddin, 2006: 170).
c. Esofagus (kerongkongan)
Esofagus adalah saluran yang menghubungkan tekak dengan
lambung, panjangnya kurang lebih 25 cm, dimulai dari faring sampai
pintu masuk kardiak dibawah lambung. Lapisan dinding dari dalam
keluar, lapisan selaput lender (mukosa), lapisan submukosa, lapisan
otot melingkar sirkuler dan lapisan otot memanjang longitudinal.
Esofagus (kerongkongan) terletak di belakang trakea dan di depan
tulang punggung, setelah melalui toraks menembus diafragma untuk
masuk ke dalam perut dan menyambung dengan lambung, esofagus
berfungsi mengantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung
(Syaifuddin, 2006: 171).
d. Lambung (ventrikulus)
Lambung adalah bagian dari saluran pencernaan yang dapat
mekar paling banyak. Terletak terutama di daerah epigastrik, dan
sebagian di sebelah kiri daerah hipokhondriak dan umbilikal. Anatomi
lambung terdiri dari fundus, korpus, dan filorus. Lambung tediri dari
bagian atas, yaitu fundus, batang utama dan bagian bawah yang
horizontal, yaitu antrum pilorik. Lambung berhubungan dengan
esofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui
orisium pilorik. Lambung terletak di bawah diafragma, di depan
15
pankreas dan limpa menempel pada sebelah kiri fundus (Pearce, 2002:
185).
Menurut Syaifuddin (2006: 171), bagian lambung terdiri dari:
1) Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah
kiri osteum kardium dan biasanya penuh dengan gas.
2) Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium.
3) Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai
otot yang tebal membentuk sfringter pylorus.
4) Kurvatura minor,terdapat di sebelah kanan lambung.
5) Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor.
Osteum kardiak, merupakan tempat esofagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.
Fungsi lambung adalah menerima makanan dari esofagus melalui
orifisium kardiak dan bekerja sebagai penimbun sementara, sedangkan
kontraksi otot mencampur makanan dengan getah lambung.
Gelombang peristaltik dimulai tinggi di fundus, berjalan berulang-
ulang, setiap menit tiga kali dan merayap pelahan-lahan ke pylorus
(Pearce, 2002: 186).
e. Usus Halus (Intestinum Minor)
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum panjangnya kurang
lebih 6 meter, merupakan saluran paling panjang tempat proses
pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus, lapisan otot
memanjang, dan lapisan serosa (Syaifuddin, 2006: 171).
16
Menurut Price dan Wilson (2005: 437-439), usus halus
merupakan suatu tabung yang komplek, dan berlipat-lipat. Panjang
usus halus pada orang hidup sekitar 3,6 meter dan hampir 6,6 meter
pada cadaver (akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan
bawah rongga abdomen. Ujung proksimalnya berdiameter sekitar 3,8
cm, tetapi makin ke bawah garis tengahnya semakin berkurang sampai
menjadi sekitar 2,5 cm. Masuknya kimus ke dalam usus halus diatur
oleh sfringter pylorus, sedangkan pengeluaran zat yang telah dicerna
ke dalam usus besar diatur oleh katub ileosekal. Katub ileosekal juga
mencegah terjadinya refluks isi usus besar ke dalam usus halus.
Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan dasar. Yang paling luar
(lapisan serosa) dibentuk oleh peritoneum. Peritoneum mempunyai
lapisan viseral dan parietal, dan ruang yang terletak diantara lapisan-
lapisan ini disebut sebagai rongga peritoneum. Peritoneum melipat
dan meliputi hampir seluruh visera abdomen. Nama-nama khusus
telah diberikan pada lipatan-lipatan peritoneum. Mesenterium
merupakan lipatan peritoneum lebar menyerupai kipas yang
menggantung yeyenum dan ileum dari dinding posterior abdomen,
dan memungkinkan usus bergerak dengan leluasa. Mesenterium
menyokong pembuluh darah dan limfe yang menyuplai ke usus. Salah
satu fungsi penting peritoneum adalah mencegah gesekan antara
organ-organ yang berdekatan dengan cara menyekresi cairan serosa
yang berperan sebagai pelumas.
17
Otot yang melapisi usus halus mempunyai dua lapisan, lapisan
luar terdiri atas serabut-serabut longitudinal yang lebih tipis, dan
lapisan dalam terdiri atas serabut-serabut sirkular. Penataan yang
demikian membantu gerakan peristaltik usus halus. Lapisan
submukosa terdiri atas jaringan ikat, sedangkan lapisan mukosa
bagian dalam tebal serta banyak mengandung pembuluh darah dan
kapiler. Usus halus dipersarafi oleh cabang-cabang system saraf
otonom. Rangsangan parasimpatis merangsang aktifitas sekresi dan
motilitas dan rangsangan simpatis menghantarkan nyeri sedangkan
serabut-serabut parasimpatis mengatur reflek usus.
Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus
besar (Pearce, 2002: 188).
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu:
1) Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari yang panjangnya kurang
lebih 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri, pada
lengkungan ini terdapat pankreas. Pada bagian kanan duodenum
terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papila vateri. Pada
papilla vateri ini bermuara saluran empedu dan saluran pankreas.
Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui
saluran empedu. Fungsi getah empedu berfungsi untuk
mengemulsi lemak, dengan bantuan lipase. Pankreas juga
menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadi disakarida dan tripsin berfungsi mencerna protein
18
menjadi asam amino atau albumin dan polipepsida (Syaifuddin,
2006: 172).
Pada duodenum terjadi absorpsi vitamin larut lemak (A, D, E dan
K) dan untuk absorpsi dibutuhkan garam-garam empedu. Dan
sebagian besar vitamin yang larut air diabsorpsi dalam duodenum
(Price dan Wilson, 2005: 441).
2) Yeyenum
Yeyenum menempati dua perlima sebelah atas dari usus halus,
dengan panjang kurang lebih 23 cm (Syaifuddin, 2006: 172).
Absorpsi gula, asam amino dan lemak hampir selesai pada
saat kimus mencapai pertengahan yeyenum. Besi dan kalsium
sebagian besar diabsorpsi dalam yeyenum dan absorpsi kalsium
memerlukan vitamin D (Price dan Wilson, 2005: 441).
3) Ileum
Ileum menempati tiga perlima akhir dengan panjang 4-5 meter
(Syaifuddin, 2006: 172).
Di ileum terjadi absorpsi vitamin B12 melalui mekanisme
transpor khusus yang membutuhkan faktor instrinsik dari
lambung. Sebagian besar asam empedu yang dikeluarkan oleh
kandung empedu ke duodenum untuk membantu pencernaan
lemak, akan direabsorpsi dalam ileum dan masuk kembali ke hati.
Dengan demikian asam atau garam-garam empedu mampu
bekerja untuk mencerna lemak berkali-kali sebelum dikeluarkan
dalam feses (Price dan Wilson, 2005: 441).
19
Usus halus mempunyai dua fungsi utama adalah pencernaan yaitu
proses pemecahan makanan menjadi bentuk yang dapat tercerna
melalui kerja berbagai enzim dalam saluran gastrointestinal dan
absorpsi bahan-bahan nutrisi dan air (Price dan Wilson, 2005: 439).
Untuk lebih memahami tentang struktur usus halus dan usus
besar dapat dilihat pada gambar dibawah ini (http://takute91.
blogspot.com/2009/09/boers.html, 29/05/2010, 20.10 WITA).
Gambar 2.2 Anatomi usus halus dan usus besar
20
f. Usus Besar (Intestinum Mayor)
Usus besar panjangnya kurang lebih 1,5 meter dan lebar 5-6 cm.
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir,
lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan jaringan ikat.
Menurut Syaifuddin (2006: 175-176), usus besar terdiri dari :
1) Sekum
Sekum adalah bagian pertama dan pertemuan dengan ileum.
Di bawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk
seperti cacing yang panjannya 6 cm.
2) Kolon asendens
Kolon asendens panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen
sebelah kanan, membujur ke atas dari ileum ke bawah hati.
Dibawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura
hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
3) Apendiks (usus buntu)
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung
sekum, mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih
memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Sebagai
salah satu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks
bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan
perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.
4) Kolon transversum
Kolon transversum panjangnya kurang lebih 38 cm,
membujur dari kolom asendens sampai kolon desendens berada di
21
bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan
sebelah kiri terdapat fleksura linealis.
5) Kolon desendens
Kolon desendens panjangnya kurang lebih 25 cm terletak
dibawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke bawah dari
fleksura linealis sampai depan ileum kiri, bersambung dengan
kolon sigmoid.
6) Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens,
Kolon sigmoid terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri,
bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan
dengan rektum.
Dari keseluruhan fungsi usus besar adalah menyerap air dan
makanan, tempat tinggal bakteri koli dan tempat feces.
g. Rektum
Rektum memiliki panjang sekitar 12 cm, namanya rektum karena
berbentuk lurus atau hampir lurus (Gibson, 2002: 202).
Rektum dimulai pada kolon sigmoid dan berakhir pada saluran
anal. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang di jaga oleh otot internal
dan eksternal (Pearce, 2002: 195).
h. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di dasar pelvis,
22
dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter. Menurut Syaifuddin (2006:
176), tiga sfringter itu adalah:
1) Sfingter ani internus (sebelah atas) bekerja tidak menurut
kehendak.
2) Sfingter levator ani bekerja tidak menurut kehendak.
3) Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut
kehendak.
2. Pengertian
Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna dengan gejala dernam lebih dari tujah hari, gangguan pada cerna,
gangguan kesadaran (Mansjoer, 2000: 432).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005: 236).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat
gangguan kesadaran (Suriadi dan Yuliani, 2010: 254).
Tifoid adalah penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2007: 46).
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tifoid adalah
penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran pencernaan khususnya usus
halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan dapat disertai
gangguan kesadaran.
23
3. Etiologi
Penyebab penyakit tifoid adalah Salmonella typhosa, basil gram
negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora. Mempunyai
sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri zat
kompek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (Ngastiyah,
2005: 236).
Menurut Rampengan (2007: 47), penyebab tifoid adalah infeksi kuman
Salmonella typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil (dapat
bergerak spontan) dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup
baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih
rendah, serta mati pada suhu 70o C ataupun antiseptik.
Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
a. Antigen O: Ohne Hauch (tidak menyebar), antigen somatik.
b. Antigen H: Hauch (menyebar), terdapat pada flagela dan bersifat
termolabil.
c. Antigen V1: kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi antigen O terhadap fagositosis.
Penularan salmonella typhosa dapat ditularkan melalui berbagai cara,
yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada
kien tifoid dapat menularkan kuman salmonella typhosa kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat
24
(http://askep.blogspot.com/.../asuhan-keperawatan-pada-anak dengan_
5000 html, 8/06/2010, 20.05 WITA).
4. Patofisiologi
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah
berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid
usus halus terutama plak peyer (plak peyer adalah plak jaringan limfe pada
membran mukosa, sering terdapat pada ileum daripada yeyenum). Setelah
menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembulah
limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ retikuloendotelial
system (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh
sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembangbiak.
Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk ke
darah menyebar ke seluruh tubuh (bakterimia sekunder), dan sebagian
besar masuk ke organ tubuh limpa, kandung empedu yang selanjutnya
kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus
dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia ini, kuman
mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen
somatik (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab
terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.
Pada penelitian lebih lanjut ternyata endotoksin hanya mempunyai
peranan membantu proses peradangan lokal. Pada keadaan tersebut,
kuman ini berkembang. Demam pada tifoid disebabkan oleh Salmonella
typhosa dan endotoksinnya yang merangsang sintesis dan pelepasan zat
pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen
25
yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus
yang mengakibatkan timbulnya gejala demam.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan
oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah
berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi,
terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan
limfe, limpa, hati, sumsum tulang dan organ-organ yang terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum dan plak peyer yang hiperplasi (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila
sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk
bulat lonjong sejajar dengan sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat
menyebabkan perdarahan bahkan perforasi (Rampengan, 2007: 48-49).
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010: 254), patofisiologi pada tifoid
adalah sebagai berikut:
Kuman Salmonella typhosa masuk bersama makanan/minuman.
Sebagian besar kuman dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke dalam usus halus, ke jaringan limfoid dan
berkembangbiak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke
peredaran darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel
retikuloendotelial, hati, limpa dan organ-organ lainnya.
Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel
retikuloendoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan
menimbulkan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk
26
ke beberapa organ jaringan tubuh, terutama limpa, usus halus, dan
kandung empedu.
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player.
Hiperplasia adalah peningkatan yang abnormal dari sejumlah sel-sel
normal dalam susunan normal pada organ atau jaringan (Santana, 2007:
299).
Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi
nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyer. Pada
minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan
sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi
usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.
Gejala demam disebabkan oleh endotoksin sedangkan gejala pada
saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus.
27
Pohon Masalah Tifoid (Suriadi dan Yuliani, 2010: 255).
Salmonella Typhosa
Saluran Pencernaan
Diserap oleh usus halus
Bakteri memasuki aliran darah sistemik
Kelenjar limfoid Hati Limfa Endotoksin Usus Halus
Tukak Hepatomegali Splenomegali
Perdarahan dan Mual/ perforasi Tidak nafsu makan
Skema 2.1
Risiko kekurangan volume cairan
Nyeri Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Hipertermi Gangguan pola tidur
Intoleransi aktivitas
28
5. Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Tanda dan gejala tifoid pada anak biasanya lebih ringan daripada
orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama
30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodomal yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat nafsu makan kurang.
Tanda dan gejala yang biasa ditemukan adalah:
a. Demam, pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat
febris remiten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada
pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua klien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu
ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu
ketiga.
b. Gangguan pada saluran pencernaan, pada mulut terdapat nafas berbau
tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup
selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan,
jarang disertai tremor. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare
atau normal.
c. Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran klien menurun walaupun
tidak dalam yaitu apatis sampai samnolen, jarang terjadi sopor, koma
29
atau gelisah (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan
pengobatan). Disamping gejala tersebut mungkin terdapat gejala
lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola,
yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit
yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang
ditemukan juga bradikardi dan epistaksis pada anak yang besar
(Ngastiyah, 2005: 237-238).
Menurut Rampengan (2007: 48-49), tanda dan gejala (manifestasi
klinik) tifoid, manifestasi pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan klien dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
tifoid pada anak.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7-20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum atau status gizi serta status imunologis klien.
Walaupun gejala tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan:
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan.
c. Gangguan kesadaran.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan
30
suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala atau tanda
klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai gangguan
kesadaran dari yang ringan sampai yang berat.
Demam yang terjadi pada klien anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa demam
yang mendadak tinggi dan remiten (39-41o C).
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lebih tampak kering, dilapisi selaput tebal,
di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung
kuman Salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada,
kadang-kadang di bokong, ataupun bagian lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progesif dengan konsistensi
lebih lunak.
Tifoid kongenital didapatkan dari seorang ibu hamil yang menderita
tifoid dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya bersifat
fatal. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, dan
limpa, namun tidak didapatkan kelainan patologis pada usus. Hal ini
31
menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya melalui darah.
Tifoid pada anak usia dibawah 2 tahun jarang dilaporkan. Bila terjadi,
biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar.
Kejadiannya sering mendadak disertai panas tinggi, muntah, kejang dan
limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan penyakitnya lebih
pendek, lebih bervariasi, sering tidak melebihi 2 minggu, angka
kematiannya tinggi (12,5%). Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya
kuman Salmonella typhosa dalam darah dan feses.
6. Penatalaksanaan
a. Medik
Menurut Ngastiyah (2005: 239), penatalaksanan medik untuk tifoid
adalah:
1) Isolasi klien dan desinfeksi pakaian.
2) Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu
normal kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk, jika tidak
panas lagi boleh berdiri kemudian berjalan di ruangan.
3) Diet, makanan harus mengandung cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat dan tidak
menimbulkan banyak gas. Susu 2 gelas sehari, bila kesadaran
klien menurun diberikan makanan cair, melalui sonde lambung.
Jika kesadaran dan nafsu makan klien baik dapat juga diberikan
makanan lunak.
4) Obat pilihan yaitu kloramfenikol, kecuali jika klien tidak cocok
dapat diberikan obat lainnya seperti kotrimoksazol. Pemberian
32
kloramfenikol dengan dosis tinggi, yaitu 100 mg/kg BB/hari
(maksimum 2 gram/hari) diberikan 4 kali sehari peroral atau
intravena. Pemberian kloramfenikol dengan dosis tinggi tersebut
mempersingkat waktu perawatan dan mencegah relaps (kambuh).
5) Bi1a terdapat komplikasi, terapi disesuaikan dengan penyakitnya.
Bila terjadi dehidrasi dan asidosis diberikan cairan intravena.
Sedangkan menurut Rampengan (2007: 58-62), klien tifoid perlu
dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta pengobatan. Klien
harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan tifoid di masa lalu. Mobilitas
dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Pada
klien dengan kesadaran yang menurun harus diobservarsi agar tidak
terjadi aspirasi. Tanda komplikasi tifoid yang lain termasuk buang air
kecil dan buang air besar juga perlu mendapat perhatian. Mengenai
lamanya perawatan di rumah sakit, sampai saat ini sangat bervariasi
dan tidak sama. Hal ini sangat tergantung pada kondisi klien serta
adanya komplikasi selama penyakit berjalan.
Untuk diet klien tifoid, di masa lalu klien di beri diet yang terdiri
dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai
dengan tingkat kekambuhan klien. Banyak klien tidak senang diet
demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan
keadaan umum dan gizi klien semakin mundur dan masa
penyembuhan menjadi lebih lama. Beberapa peneliti menganjurkan
makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan klien dengan
33
memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas dapat diberikan
dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan dengan kebutuhan baik
kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineral, serta diusahakan
makanan rendah atau bebas selulosa, dan menghindari makanan yang
sifatnya iritatif. Pada klien dengan gangguan kesadaran pemasukan
makanan harus lebih diperhatikan. Pemberian makanan padat dini
banyak memberikan keuntungan, seperti dapat menekan turunnya
berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit lebih diperpendek,
dapat menekan penurunan kadar albumin, dalam serum dan dapat
mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
Dan untuk obat-obatan, tifoid merupakan penyakit infeksi dengan
angka kematian yang tinggi sebelum adanya obat-obatan antimikroba
(10-15%). Sejak adanya obat antimikroba terutama kloramfenikol
angka kematian menurun secara dratis (1-4%).
Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain:
1) Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kumam Salmonella
terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, kloramfenikol tetap
digunakan sebagai obat pilihan pada kasus tifoid. Sejak ditemukan
obat ini oleh Burkodar sampai saat ini belum ada obat antimikroba
lain yang dapat menurunkan demam pada tifoid lebih cepat
disamping harganya murah dan terjangkau oleh klien. Kekurangan
kloramfenikol antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi
toksik, kolaps dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier.
34
Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, selama
10-14 hari, untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya
dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25
mg/kgBB/hari, selama 10 hari.
2) Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan
Kloramfenikol. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun
setelah 5-6 hari. Dosis oral yang dianjurkan adalah 50-100
mg/kgBB/hari selama 10-14 hari.
3) Kotrimoksasol
Pendapat mengenai efektifitas Kotrimoksasol terhadap tifoid
masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat
digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol,
penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya
kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.
Kelemahannya ialah dapat terjadi sindrom Steven Johnson,
trombositopenia, dan anemia. Dosis oral yang dianjurkan adalah
30-40 mg/kgBB/hari Sulfametoksazol dan 6-8 mg/kgBB/hari untuk
Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10-14 hari.
4) Ampisillin dan Amoksisilin
Merupakan derivat Penisillin yang digunakan pada pengobatan
tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol.
Ampisillin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila
35
dibandingkan dengan Kloramfenikol tetapi lebih efektif untuk
mengobati karier. Kelemahannya dapat terjadi diare.
Amoksisillin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan
Ampisillin, tetapi penyerapan peroral leih baik sehingga kadar obat
yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya
kekambuhan (2-5%) dan karier (0-5%).
Dosis yang dianjurkan adalah Ampisillin 100-200
mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari dan Amoksisillin 100
mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari.
Pengobatan tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak
memberikan keuntungan yang lebih, baik bila diberikan obat
tunggal.
5) Seftriakson
Dosis yang dianjurkaan adalah 50-100 mg/kgBB/hari, tunggal
atau dibagi dalam 2 dosis iv.
6) Sefotaksin
Dosis yang dianjurkan adalah 150-200 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3-4 dosis iv.
7) Siprofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200-400 mg oral pada klien
berumur lebih dari 10 tahun.
36
b. Keperawatan
Menurut Ngastiyah (2005: 239-244), untuk penatalaksaan
keperawatan penyakit tifoid adalah sebagai berikut, penyakit tifoid
adalah penyakit menular yang sumber infeksinya berasal dari feses
dan urin, sedangkan lalat sebagai pembawa/penyebar dari kuman
tersebut. Klien tifoid harus dirawat di kamar isolasi yang dilengkapi
dengan peralatan untuk merawat klien yang menderita penyakit
menular, seperti desinfektan untuk mencuci tangan, merendam
pakaian kotor dan pot atau urinal bekas dipakai klien. Yang merawat
atau sedang menolong klien agar memakai celemek. Masalah klien
tifoid yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan nutrisi atau cairan dan
elektrolit, gangguan suhu tubuh, gangguan rasa aman dan nyaman,
resiko terjadi komplikasi dan kurang pengetahuan orang tua mengenai
penyakit.
1) Kebutuhan nutrisi atau cairan dan elektrolit. Klien tifoid umumnya
menderita gangguan kesadaran dari apatis sampai sopor-koma,
delirium (yang berat) disamping anoreksia dan demam lama.
Keadaan ini menyebabkan kurangnya masukan nutrisi atau cairan
sehingga kebutuhan nutrisi yang penting untuk masa penyembuhan
berkurang pula, dan memudahkan komplikasi. Selain hal itu, klien
tifoid menderita kelainan berupa adanya tukak-tukak pada usus
halus sehingga makanan harus disesuaikan. Diet yang diberikan
ialah makanan yang mengandung cukup cairan, rendah serat, tinggi
37
protein dan tidak menimbulkan gas. Pemberiannya melihat keadaan
klien.
a) Jika kesadaran klien masih baik, diberikan makanan lunak
dengan lauk pauk misalnya hati, daging; sayuran labu siam
atau wortel yang dimasak lunak sekali. Boleh juga diberi tahu,
telur setengah matang atau matang direbus. Susu diberikan 2×
1 gelas atau lebih, jika makanan tidak habis diberikan ekstra
susu.
b) Klien yang kesadarannya menurun sekali diberikan makanan
cair per sonde, kalori sesuai dengan kebutuhannya.
Pemberiannya diatur setiap 3 jam termasuk makanan ekstra
seperti sari buah, bubur kacang hijau yang dihaluskan. Jika
kesadaran membaik makanan beralih secara bertahap ke lunak.
c) Jika klien payah, seperti yang menderita delirium, dipasang
infus dengan cairan glukosa dan NaCl. Jika keadaan sudah
tenang berikan makanan per sonde disamping infus masih
diteruskan. Makanan per sonde biasanya merupakan setengah
dari jumlah kalori, setengahnya masih per infuse. Secara
bertahap dengan melihat kemajuan klien, beralih ke makanan
biasa.
2) Gangguan suhu tubuh. Klien tifoid menderita demam lama, pada
kasus yang khas demam dapat sampai 3 minggu. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan keadaan tubuh lemah, dan mengakibatkan
kekurangan cairan, karena perpirasi (ekskresi kelenjar keringat
38
lewat pori-pori kulit; pengeluaran keringat), yang meningkat. Klien
dapat menjadi gelisah, selaput lendir mulut dan bibir menjadi
kering dan pecah-pecah.
Penyebab demam, karena adanya infeksi basil Salmonella
typhosa, maka untuk menurunkan suhu tersebut hanya dengan
memberikan obatnya secara adekuat, istirahat mutlak sampai suhu
tubuh turun diteruskan 2 minggu lagi, kemudian mobilisasi
bertahap. Jika klien diberikan makanan melalui sonde, obat dapat
diberikan bersama makanan tetapi berikan pada permulaan
memasukan makanan, jangan dicampur pada semua makanannya
atau diberikan belakangan karena jika klien muntah obat akan
keluar sehingga kebutuhan obat tidak adekuat.
Ruangan diatur agar cukup ventilasi. Untuk membantu,
menurunkan suhu tubuh yang biasanya pada sore dan malam hari
lebih tinggi jika suhu tinggi sekali berikan kompres dan banyak
minum boleh sirup, teh manis, atau air kaldu sesuai kesukaan klien.
Klien jangan ditutupi dengan selimut yang tebal agar penguapan
suhu lebih lancar. Jika menggunakan kipas angin untuk membantu
menurunkan suhu usahakan agar kipas angin tidak langsung ke
arah tubuh klien.
3) Gangguan rasa aman dan nyaman. Gangguan rasa aman dan
nyaman klien tifoid sama dengan klien lain, yaitu karena
penyakitnya serta keharusan istirahat di tempat tidur, jika klien
sudah dalam penyembuhan. Khusus pada klien tifoid, karena lidah
39
kotor, bibir kering dan pecah-pecah menambah rasa tak nyaman di
samping juga menyebabkan tak nafsu makan. Untuk itu klien
dilakukan perawatan mulut 2 kali sehari, dan sering berikan
minum. Karena klien apatis harus lebih diperhatikan dan diajak
berkomunikasi. Jika klien dipasang sonde perawatan mulut tetap
harus dilaksanakan dan sekali-kali juga diberikan minum agar
selaput lendir mulut dan tenggorokan tidak kering. Selain itu
sebagai akibat lama berbaring setelah mulai berjalan harus
digoyang-goyang kakinya dahulu sambil duduk di pinggir tempat
tidur, supaya tidak terasa kesemutan, kemudian berjalan di sekitar
tempat tidur sambil berpegangan. Dan gangguan akan hilang
setelah 2-3 hari mobilisasi.
4) Resiko komplikasi. Penyakit tifoid menyebabkan kelainan berupa
tukak pada mukosa usus halus dan dapat menjadi penyebab
timbulnya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus jika
tidak mendapat pengobatan, diet, dan perawatan yang adekuat.
Yang perlu diperhatikan untuk mencegah komplikasi adalah,
istirahat. Klien yang menderita tifoid perlu istirahat mutlak selama
demam, kemudian diteruskan 2 minggu lagi setelah suhu turun
menjadi normal. Setelah 1 minggu suhu normal, 3 hari kemudian
klien dilatih duduk; jika tidak timbul demam lagi boleh duduk.
Pada akhir minggu kedua, jika tidak timbul demam lagi boleh
belajar jalan mulai mengelilingi tempat tidur. Selama istirahat
pengawasan tanda vital mutlak dilakukan 3 hari sekali. Jika
40
terdapat suhu tinggi melebihi suhu biasanya, ukur suhu ekstra dan
catat pada catatan perawatan. Berikan kompres intensif kemudian
kontrol lagi 1 jam kemudian. Bila tidak turun hubungi dokter.
5) Kurang pengetahuan orang tua mengenai penyakit. Dewasa ini
klien tifoid yang ringan serta orang tua sanggup dan mengerti dapat
dirawat di rumah. Untuk pemeriksaan darah (darah tepi dan widal)
klien dibawa ke laboratorium tetapi tidak boleh berjalan.
Perawatannya seperti yang dilakukan di rumah sakit, ialah:
a) Klien tidak boleh tidur dengan anak-anak lain, mungkin ibunya
yang menemaninya tetapi jangan tidur bersama-sama. Anak-
anak yang lain yang mengunjungi tidak boleh duduk di tempat
tidur klien.
b) Klien juga harus istirahat mutlak sampai demam turun masih
dilanjutkan selama dua minggu. Jelaskan bahwa untuk mandi,
buang air besar/kecil harus ditolong di tempat tidur dan yang
menolong sesudahnya harus mencuci tangan dengan
desinfektan
c) Pemberian obat, pengukuran suhu dilakukan seperti di rumah
sakit. Orang tua diminta membuat catatan suhu dan makanan
yang diberikan. Diet seperti klien yang dirawat di rumah sakit.
Karena klien dianggap ringan biasanya boleh diberikan bubur
atau makanan lunak dengan lauk pauk yang lunak juga.
Biasanya dokter memberikan obat sudah diperhitungkan
sampai suhu turun. Jika obat hampir habis daftar suhu masih
41
tetap tinggi orang tua diminta kembali ke dokter. Di samping
obat juga penjelasan mengenai cara mengompres, boleh
dirawat di kamar ber-AC serta banyak minum. Jika sudah dua
minggu belum turun, klien harus dibawa ke dokter lagi dan
mungkin perlu dirawat di rumah sakit.
d) Pembuangan feses dan urine harus dibuang ke dalam lubang
WC dan disiram air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya
harus bersih agar tidak ada lalat. Pot dan urinal setelah dipakai
direndam ke dalam cairan desinfektan sebelum dicuci. Pakaian
klien dan linen bekas dipakai juga harus direndam dahulu
dalam desinfektan sebelum dicuci dan jangan dicuci bersama-
sama pakaian anak lainnya.
Selain penjelasan mengenai perawatan klien di rumah,
penyuluhan yang perlu diberikan kepada orang tua klien
(termasuk yang dirawat di rumah sakit) adalah penjelasan
mengenai:
(1) Penyebab dan cara penularan penyakit tifoid serta bahaya
yang dapat terjadi.
(2) Pentingnya menjaga kesehatan dengan memelihara
kebersihan lingkungan serta minum air yang bersih dan
dimasak mendidih.
(3) Anak agar dibiasakan buang air besar di WC; dan setiap
keluarga hendaknya mempunyai WC sendiri-sendiri. WC
yang baik ialah yang disiram serta tertutup sehingga tidak
42
ada lalat (jelaskan bahaya penyakit bersumber dari
feses/urine klien dan lalat sebagai pembawa kumannya
bagi keluarga yang kurang mengerti).
(4) Anak yang sudah sekolah supaya dinasehatkan jangan
membeli makanan yang tidak ditutup/yang tidak bersih.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi, dapat ditemukan leukopenia, limfositosis
relatif, aneosinofilia. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia
ringan.
b. Pemeriksaan Widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai
lebih dari atau sama dengan 1/200 atau peningkatan lebih dari atau
sama dengan 4 kali antara masa akut dan konvalesens mengarah kepada
tifoid, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat
adanya reaksi silang antara spesies salmonella.
c. Biakan empedu, terdapat kuman salmonella typhii dari darah klien
(Mansjoer, 2000: 433).
Menurut Ngastiyah (2005: 238-239), pemeriksaan penunjang pada
klien dengan tifoid adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan darah tepi, terdapat gambaran leukopenia, limfositosis
relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin terdapat
anemia dan trombositopenia ringan.
b. Pemeriksaan darah untuk kultur (biakan empedu), biakan empedu untuk
mengetahui Salmonella typhosa. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada
waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Biakan empedu basil
43
Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah klien pada minggu
pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan
feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh
karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk
menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh
urine dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan
bahwa klien telah benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman
(carier).
c. Pemeriksaan Widal, merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan
diagnosis tifoid secara pasti. Titer O yang bernilai 1/200 atau lebih dan
atau menunjukkan kenaikan yang progesif digunakan untuk membuat
diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan
penyembuhan klien. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk
diagnosis karena tetap dapat tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila
klien telah lama sembuh.
8. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 237), komplikasi pada tifoid dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu:
a. Komplikasi pada usus halus seperti:
1) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena, dapat
disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
44
2) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di
antara hati dan diafragma pada foto Rontgen abdomen yang di
buat dalam keadaan tegak.
3) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perporasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut
hebat, dinding abdomen tegang.
b. Komplikasi di luar usus halus seperti:
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia),
yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkitis, bronkopnemonia,
miokarditis, dan karier kronik.
9. Prognosis
Pronogsis tifoid pada anak baik, asalkan klien cepat berobat. Mortalitas
pada klien yang dirawat ialah 6%. Prognosis menjadi tidak baik bila
terdapat gambaran klinis yang berat seperti:
a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris kontiua.
b. Kesadaran sangat menurun (sopor, koma atau delirium).
c. Terdapat komplikasi yang berat, misalnya dehidrasi dan asidosis dan
perporasi (Ngastiyah, 2005: 236).
45
10. Relaps (Kambuh)
Relaps (kambuh) adalah berulangnya gejala penyakit tifoid, akan
tetapi berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua
setelah suhu normal kembali. Menurut teori relaps terjadi karena
terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik
oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan
tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan
fibrosis (Ngastiyah, 2005: 236).
11. Pencegahan
Menurut Rampengan (2007: 62), usaha pencegahan tifoid dapat
dibagi dua yaitu:
a. Usaha terhadap lingkungan hidup:
1) Penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
2) Pembuangan kotoran manusia yang higienis.
3) Pemberantasan lalat.
4) Pengawasan terhadap penjual makanan.
b. Usaha terhadap manusia:
1) Imunisasi.
2) Menemukan dan mengobati karier.
3) Pendidikan kesehatan masyarakat.
46
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Klien Tifoid
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan
dalam praktik keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan
problem-solving yang memerlukan ilmu, tehnik, dan ketrampilan
interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga
(Nursallam, 2001: 1).
Tujuan asuhan keperawatan adalah untuk mengidentifikasi masalah klien.
Proses keperawatan sebagai salah satu pendekatan utama dalam pemberian
asuhan keperawatan, pada dasarnya suatu proses pengambilan keputusan dan
penyelesaian masalah. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yang
berhubungan yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi (Nursallam, 2001: 6).
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap
pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu
pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data
sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan
memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan respon individu
(Nursalam, 2001: 17).
Menurut Ali (2001: 73), pengkajian adalah upaya mengumpulkan data
secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah
47
kesehatan dan keperawatan yang dihadapi klien baik fisik, mental, sosial
maupun spiritual dapat ditentukan. Tahap ini mencakup tiga kegiatan,
yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penentuan masalah kesehatan
serta keperawatan.
a. Pengunpulan data
Tujuan dari pengumpulan data ini diperoleh data dan informasi
mengenai masalah kesehatan yang ada pada klien sehingga dapat
ditentukan tindakan yang harus diambil untuk mengatasi masalah
tersebut yang menyangkut aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual
serta faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Data tersebut harus
akurat dan mudah dianalisis.
Pengumpulan data pada kasus tifoid adalah sebagai berikut :
1) Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan,
agama. Menurut sumber, penyakit tifoid yang sering terjadi pada
klien anak adalah berusia di atas satu tahun (Ngastiyah, 2005:
236).
Menurut Rampengan (2007: 48), jenis kelamin tidak berbeda
antara laki-laki dan perempuan. Tempat tinggal terutama
ditemukan di negara sedang berkembang dengan kepadatan
penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat.
48
2) Keluhan Utama
Tanyakan tentang keluhan utama atau gejala apa yang
menyebabkan klien berobat (Hidayat, 2007: 100).
Keluhan utama pada klien tifoid adalah:
Demam lebih dari 7 hari, tidak nafsu makan, mual dan muntah
serta perasaan tidak enak di perut (Mansjoer, 2000: 432).
Menurut Nursalam (2005: 154), keluhan utama tifoid adalah
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan kurang
bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa
inkubasi).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi atau
hal-hal yang mempengaruhi keluhan, bagaimana sifat terjadinya,
bagaimana gejalanya, lokasi terjadinya gejala, lamanya keluhan
berlangsung (Hidayat, 2007: 100).
Riwayat kesehatan sekarang pada klien tifoid adalah:
Demam yang berlangsung kurang lebih tujuh hari pada
minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, klien terus
berada dalam keadaan demam yang turun secara berangsur-
angsur pada minggu ketiga. Lidah kotor yaitu ditutupi selaput
kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor. Hati dan limpa membesar dan nyeri pada perabaan.
49
Biasanya terdapat konstipasi, tetapi mungkin normal bahkan
dapat diare (Mansjoer, 2000: 433).
4) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat atau pengalaman masa lalu tentang kesehatan atau
penyakit yang pernah dialami (Hidayat, 2007: 100).
Menanyakan pada keluarga klien mengenai penyakit yang
sekarang diderita pernah dialami atau tidak. Kalau sudah berapa
kali mengalami kekambuhan tifoid. Kekambuhan pada klien
dengan tifoid berlangsung lebih ringan dan singkat. Terjadi dalam
minggu kedua setelah suhu badan normal kembali (Ngastiyah,
2005: 238).
5) Riwayat kesehatan keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah diderita oleh keluarga
klien. Ada tidaknya anggota keluarga yang menderita tifoid, ada
tidaknya keluarga yang menderita penyakit keturunan (Hidayat,
2007: 100).
Penyakit tifoid menular dari makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh feses, urine dan pakaian klien (Ngastiyah,
2005: 238).
6) Riwayat anak
a) Masa Prenatal
Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap
tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir,
antara lain gizi ibu pada waktu hamil, mekanis seperti trauma
50
dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan
bawaan, toksin atau zat kimia, endokrin (hormon-hormon yang
berperan pada pertumbuhan janin), radiasi, infeksi, stress, dan
anoksia embrio (menurunnya oksigenasi janin melalui
gangguan pada plasenta) (Ngastiyah, 2005: 3-4).
Menurut Nursalam (2008: 62), perlu ditanyakan juga pada
ibu apakah ada tanda-tanda resiko tinggi saat hamil, seperti
infeksi, berat badan tidak naik, preeklamsi, dan lain-lain. Serta
apakah kehamilannya dipantau secara berkala. Kehamilan
resiko tinggi yang tidak ditangani dengan benar dapat
mengganggu tumbuh kembang anak.
b) Masa Intranatal
Perlu ditanyakan pada ibu mengenai cara kelahiran
anaknya, apakah secara normal, dan bagaimana keadaan anak
sewaktu lahir. Anak yang dalam kandungan terdeteksi sehat,
apabila kelahirannya mengalami gangguan (cara kelahiran
dengan tindakan seperti forceps, partus lama atau kasep), maka
gangguan tersebut dapat mempengaruhi keadaan tumbuh
kembang anak (Nursalam, 2008: 62).
c) Masa Postnatal
Faktor postnatal yang mempengaruhi kualitas anak adalah
memenuhi kebutuhan nutrisi bayi, memberikan stimulasi untuk
pertumbuhan dan perkembangan, memenuhi kebutuhan dasar,
dan memantau pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan
51
Pedoman Deteksi Tumbuh Kembang Balita (Nursalam, 2008:
60).
7) Riwayat Imunisasi
Pemberian vaksin adalah untuk menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit. Oleh karena itu imunisasi sangat penting
diberikan pada anak. Jenis imunisasi yang diberikan adalah
vaksinasi BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B yang sesuai
dengan sasaran pemerintah Indonesia agar setiap anak mendapat
imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Sehingga perawat perlu menanyakan kepada
orang tua klien apakah pemberian imunisasinya lengkap atau
tidak, kalau belum lengkap imunisasi apa saja yang belum
diberikan dan imunisasi apa yang sudah diberikan (Mansjoer,
2000: 590).
Sedangkan vaksin yang digunakan untuk tifoid adalah vaksin
yang dibuat dari Salmonella typhosa yang dimatikan, vaksin yang
dibuat dari strain Salmonella yang dilemahkan (Ty 21a), dan
vaksin polisakaridakapsular Vi (Typhi Vi) (Rampengan, 2007:
62).
8) Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Tumbuh kembang merupakan hal utama, hakiki, dan khas
pada anak. Tumbuh adalah proses bertambahnya ukuran akibat
penambahan jumlah atau ukuran sel dan jaringan intraseluler.
Sedangkan kembang (berkembang) adalah proses pematangan
52
fungsi organ tubuh termasuk berkembangnya kemampuan mental
intelegensi serta perilaku anak. Faktor penentu tumbuh kembang
adalah faktor genetik herediter, yang menentukan potensi bawaan
anak, dan faktor lingkungan yang menentukan tercapai tidaknya
potensi tersebut (Mansjoer, 2000: 580).
a) Pertumbuhan
(1) Berat Badan
Menurut Nursallam (2008: 48), berat badan merupakan
suatu ukuran antropometri yang terpenting karena dipakai
untuk memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok
umur. Pada usia beberapa hari, berat badan akan
mengalami penurunan yang sifatnya normal, yaitu sekitar
10% dari berat badan lahir. Hal ini disebabkan karena
keluarnya meconium dan air seni yang belum diimbangi
asupan yang mencukupi, misalnya produksi ASI yang
belum lancar. Umumnya berat badan akan kembali
mencapai berat badan lahir pada hari kesepuluh. Pada usia
6 bulan pertama berat badan akan bertambah sekitar 1
kg/bulan, sementara pada 6 bulan berikutnya hanya sekitar
0,5 kg/bulan. Pada tahun kedua, kenaikan adalah sekitar
0,25 kg/bulan. Setelah 2 tahun, kenaikan berat badannya
tidak tentu, yaitu sekitar 2,3 kg/tahun.
Sementara menurut Ngastiyah (2005: 9), perkiraan
berat badan anak adalah:
53
(a) 5 bulan: 2 ×BB lahir.
(b) 1 tahun: 3 ×BB lahir.
(c) 2 tahun: 4 ×BB lahir.
(d) Prasekolah rata-rata 2 kg/tahun.
Selain dengan perkiraan tersebut, BB juga dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus atau pedoman
dari Behrman, yaitu:
(a) Berat badan lahir rata-rata: 3,25 kg.
(b) Berat badan usia 3-12 bulan, menggunakan runus:
umur (bulan )+92
= n+92
(c) Berat badan usia 1-6 tahun, menggunakan rumus:
(Umur (tahun) × 2) + 8 = 2n + 8.
Keterangan: n adalah usia anak.
Untuk menentukan umur anak dalam bulan, bila lebih
15 hari dibulatkan keatas, sementara bila kurang atau sama
dengan 15 hari, dihilangkan. Sedangkan anak yang
berumur diatas satu tahun, bila lebihnya diatas 6 bulan
dibulatkan 1 tahun, sedangkan kelebihan 6 bulan atau
kurang, dihilangkan (Nursallam, 2008: 48).
Berikut ini adalah tabel Berat Badan terhadap Tinggi
Badan, yang dikutip dari buku Nursallam (2008: 49-50),
yang berjudul Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak.
54
Tabel 2.1 Berat Badan terhadap Tinggi Badan usia 0-5 tahun
Tinggi (cm) BB normal (100%)
BB kurang (<90%)
BB buruk (<80%)
1 2 3 452 3,8 3,4 3,053 4,0 3,6 3,254 4,3 3,9 3,455 4,6 4,1 3,756 4,8 4,3 3,857 5,0 4,5 4,058 5,2 4,7 4,259 5,5 4,9 4,460 5,7 5,1 4,661 6,0 5,4 4,862 6,3 5,7 5,063 6,6 5,9 5,364 6,9 6,2 5,565 7,2 6,5 5,866 7,5 6,8 6,067 7,8 7,0 6,468 8,1 7,3 6,569 8,4 7,6 6,770 8,7 7,8 7,071 9,0 8,1 7,272 9,2 8,3 7,473 9,5 8,5 7,674 9,7 8,7 7,875 9,9 9,0 7,976 10,2 9,2 8,277 10,4 9,4 8,378 10,6 9,5 8,579 10,8 9,7 8,680 11,0 9,9 8,881 11,2 10,1 9,082 11,4 10,3 9,183 11,6 10,4 9,384 11,8 10,6 9,485 12,0 10,7 9,686 12,2 11,0 9,887 12,4 11,1 9,988 12,6 11,3 10,189 12,8 11,5 10,290 13,1 11,8 10,591 13,4 11,9 10,792 13,6 12,2 10,993 13,8 12,4 11,094 14,0 12,6 11,295 14,3 12,8 11,496 14,5 13,1 11,697 14,7 13,3 11,898 15,0 13,5 12,099 15,3 13,7 12,2100 15,6 14,0 12,5
55
1 2 3 4101 15,8 14,2 12,6102 16,1 14,5 12,9103 16,4 14,7 13,0104 16,7 15,0 13,4105 17,0 15,3 13,6106 17,3 15,6 13,9107 17,6 15,9 14,1108 18,0 16,2 14,4
Sumber: Direktorat Gizi, Depkes.
Dari tabel tersebut dapat ditentukan apakah keadaan
BB anak tergolong normal, kurang, atau buruk. Untuk
menentukan bagaimana keadaan BB anak, terlebih dahulu
harus ditentukan tinggi badan dan berat badannya,
kemudian data tinggi badan tersebut digunakan untuk
menentukan apakah berat badan anak termasuk yang baik,
kurang atau buruk. Dengan menggunakan tabel tinggi dan
berat badan dan mengetahui tinggi dan berat badan anak,
maka keadaan status gizi anak tersebut dapat diketahui.
Sementara kerugiannya adalah perubahan dan
pertambahan tinggi badan yang relatif pelan serta sukar
diukur, karena terdapat selisih nilai antara posisi
pengukuran saat berdiri dan saat tidur.
(2) Tinggi Badan
Tinggi badan untuk anak kurang dari 2 tahun sering
disebut dengan panjang badan. Pada bayi yang baru lahir,
panjang badan rata-rata adalah kurang lebih 50 cm. Pada
tahun pertama, pertambahannya adalah 1,25 cm/bulan (1,5
x panjang badan lahir). Penambahannya tersebut akan
56
berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu
hanya sekitar 5 cm/tahun. Baru pada masa pubertas ada
peningkatan pertumbuhan tinggi badan yang cukup pesat,
yaitu 5-25 cm/tahun pada wanita, sedangkan pada laki-laki
peningkatannya sekitar 10-30 cm/tahun. Pertambahan
tinggi badan akan berhenti pada usia 18-20 tahun.
Seperti halnya berat badan, tinggi badan juga dapat
diperkirakan berdasarkan rumus dari Behrman:
(a) Perkiraan panjang lahir 50 cm.
(b) Perkiraan panjang badan usia 1 tahun =
1,5 × Panjang Badan Lahir.
(c) Perkiraan tinggi badan usia 2-12 tahun =
(umur ×6 ¿+ 77 = 6n + 77.
Keterangan : n adalah usia anak dalam tahun, bila usia
lebih lebih 6 bulan dibulatkan keatas, bila 6 bulan atau
kurang, dihilangkan (Nursalam, 2008: 51).
Sementara menurut Ngastiyah (2005: 10), secara garis
besar tinggi anak dapat diperkirakan sebagai berikut:
(a) 1 tahun : 1,5× TB lahir.
(b) 4 tahun : 2×TB lahir.
(c) 6 tahun : 1,5 ×TB 1 tahun.
(d) 13 tahun : 3 × TB lahir.
(e) Dewasa : 3,5 ×TB lahir (2 ×TB 2 tahun).
57
(3) Lingkar Kepala
Pertumbuhan lingkar kepala paling pesat adalah pada
6 bulan pertama kehidupan dari 34 cm pada waktu lahir
menjadi 44 cm pada umur 6 bulan. Umur satu tahun 47
cm, 2 tahun 49 cm, dan dewasa 54 cm. Pengukuran
lingkar kepala hanya terbatas sampai anak umur 6 bulan
pertama sampai umur 2 tahun karena saat itu
pertumbuhan otak pesat (Ngastiyah, 2005: 10).
(4) Gigi
Gigi pertama tumbuh pada umur 5-9 bulan, pada
umur 1 tahun sebagian besar anak mempunyai 6-8 gigi
susu. Selama tahun kedua gigi tumbuh lagi 8 biji,
sehingga jumlah seluruhnya sekitar 14-16 gigi, pada
umur 2,5 tahun sudah terdapat 20 gigi susu (Mansjoer,
2000: 586).
(5) Lingkar Lengan Atas (LLA)
Lingkar lengan atas (LLA) mencerminkan tumbuh
kembang jaringan lemak dan otot yang tidak terpengaruh
banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan
berat badan. Dipakai untuk menilai gizi atau tumbuh
kembang pada kelompok usia prasekolah. Laju
pertambahan lingkar lengan atas lambat, dari 11 cm pada
saat lahir menjadi 16 cm pada usia 1 tahun, selanjutnya
58
tidak berubah selama 1-3 tahun (Ngastiyah, 2005: 10-
11).
b) Perkembangan
Terkait dengan upaya memberikan asuhan keperawatan
pada balita, supaya dapat melakukan deteksi perkembangan
anak, harus memahami aspek-aspek perkembangan anak.
Menurut Nursalam (2008: 55-56), terdapat empat aspek
perkembangan anak balita, yaitu:
(1) Kepribadian atau tingkah laku sosial (personal social)
yaitu aspek yang berhubungan dengan kemampuan
untuk mandiri, bersosiaisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungan.
(2) Motorik halus (fine motor adaptive) yaitu aspek yang
berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengamati sesuatu dan melakukan gerakan yang
melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan otot-otot
kecil, memerlukan koordinasi yang cermat, serta tidak
memerlukan banyak tenaga, misalkan memasukkan
manik-manik ke dalam botol, menempel dan
menggunting.
(3) Motorik kasar (gross motor) yaitu aspek yang
berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh yang
melibatkan sebagian besar bagian tubuh karena
dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sehingga
59
memerlukan cukup tenaga, misalnya berjalan dan
berlari.
(4) Bahasa (language) yaitu aspek yang berhubungan
dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap
suara, mengikuti perintah, dan berbicara secara
spontan. Pada masa bayi, kemampuan bahasa bersifat
pasif, sehingga pernyataan akan perasaan atau
keinginan dilakukan melalui tangisan dan gerakan.
Semakin bertambahnya usia, anak akan menggunakan
bahasa aktif, yaitu dengan berbicara.
9) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan atau pengkajian fisik dalam keperawatan untuk
memperoleh data obyektif dari riwayat keperawatan klien. Fokus
pengkajian fisik yang dilakukan oleh perawat adalah pada
kemampuan fungsional klien. Tujuan dari pengkajian fisik di
dalam keperawatan adalah untuk menentukan status kesehatan
klien, mengidentifikasi masalah kesehatan dan mengambil data
dasar untuk menentukan rencana tindakan perawatan (Nursallam,
2001: 30).
Dalam buku Proses dan Dokementasi Keperawatan Nursallam
(2001: 31-32), ada 4 tehnik dalam pemeriksaan fisik yaitu:
a) Inspeksi, adalah suatu proses observasi yang dilaksanakan
secara sistematik. Observasi dilaksanakan dengan
menggunakan indra penglihatan, pendengaran, dan penciuman
60
sebagai suatu alat untuk mengumpulkan data. Fokus inspeksi
pada setiap bagian tubuh meliputi, ukuran tubuh, warna,
bentuk, posisi, dan simetris.
b) Palpasi, adalah suatu tehnik yang menggunakan indera peraba.
Tangan dan jari-jari adalah suatu instrument yang sensitif dan
digunakan untuk mengumpulkan data, tentang ; temperatur,
turgor, bentuk, kelembaban, dan vibrasi dan ukuran.
c) Perkusi, adalah sesuatu pemeriksaan dengan jalan mengetuk
untuk membandingkan kiri-kanan pada setiap daerah
permukaan tubuh dengan tujuan menghasilkan suara. Perkusi
bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan
konsisten jaringan.
d) Auskultasi, adalah pemeriksaan dengan jalan mendengarkan
suara yang dihasilkan oleh tubuh dengan menggunakan
stetoskop.
Pengkajian fisik pada klien dapat menggunakan Head-to-toe
(kepala sampai ke kaki) dan Pola fungsi kesehatan Gordon.
a) Pada pemeriksaan fisik Head-to-toe adalah sebagai berikut:
(1) Keadaan umum
Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit
termasuk ekspresi wajah dan posisi klien, kesadaran yang
dapat meliputi penilaian secara kualitas seperti kompos
metis (sadar sepenuhnya dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya), apatis (acuh
61
tak acuh terhadap keadaan sekitarnya), somnolen
(kesadaran yang lebih rendah ditandai dengan tampak
mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsif terhadap
rangsangan ringan, dan masih memberikan respon
terhadap rangsangan yang kuat), sopor (tidak memberikan
respon ringan ataupun sedang tetapi masih memberikan
terhadap respon yang kuat dengan adanya respon pupil
yang masih positif), koma (tidak dapat bereaksi terhadap
stimulus atau rangsangan apa pun, reflek pupil terhadap
cahaya tidak ada) (Hidayat, 2007: 102).
Keadaan umum pada klien dengan tifoid adalah:
Umumnya kesadaran klien menurun walaupun tidak
berada dalam, yaitu apatis sampai samnolen, jarang
terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali bila penyakitnya
berat dan terlambat mendapat pengobatan) (Nursallam,
2008: 154).
(2) Pemeriksaan tanda vital
Meliputi nadi, tekanan darah, pernafasan, serta suhu
tubuh (Hidayat, 2007: 102).
Pada klien dengan tifoid pemeriksaan tanda vitalnya
menurut Nursallam (2008: 154), adalah:
Suhu tubuh pada kasus yang khas, demam berlangsung
selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhunya
tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
62
berangsur-angsur naik setiap harinya. Biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam
hari. Dalam minggu kedua, klien terus berada dalam
keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur
turun dan normal pada akhir minggu ketiga.
(3) Pemeriksaan kulit, rambut, dan kelenjar getah bening.
Kulit meliputi warna, turgor, kelembapan kulit, dan
adanya edema. Rambut dapat dinilai dari warna,
kelebatan, dan distribusi. Kelenjar getah bening dapat
dinilai dari bentuknya serta tanda-tanda radang
(Hidayat,2007: 102).
Pada klien dengan tifoid kulit di daerah punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik
kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang
dapat ditemukan pada minggu pertama demam
(Ngastiyah, 2005: 237-238).
(4) Pemeriksaan Kepala dan Leher
Periksa bentuk dan ukuran kepala dan kulit kepala,
ubun-ubun, sruktur wajah ada tidaknya pembengkakan.
Selanjutnya periksa hidung dan mulut , bibir, gusi, lidah,
dan periksa ada tidaknya kaku kuduk di leher (Hidayat,
2007: 102).
Pada klien tifoid mulut terdapat nafas yang berbau
tidak sedap serta bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).
63
Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue)
sementara ujung dan tepi tampak kemerahan (Nursallam,
2008: 154).
(5) Pemeriksaan Dada
Pemeriksaan dada meliputi organ paru dan jantung.
Periksa bentuk dada dan keadaan paru (simetris atau
tidak), pergerakan nafas, dan auskultasi untuk menentukan
abnormalitas system pernafasan. Pada pemeriksaan
jantung periksa denyut, dan bunyi jantung (Hidayat, 2007:
103).
(6) Pemeriksaan Abdomen
Data yang dikumpulkan antara lain ukuran atau bentuk
perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan
dinding perut atau adanya nyeri tekan. Selanjutnya palpasi
pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing, untuk
memeriksa ada tidaknya nyeri dan pembesaran pada organ
tersebut (,Hidayat 2007: 103).
Pada klien dengan tifoid pada abdomen dapat
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Bisa
terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal. Hati
dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan
(Nursallam, 2008: 154).
64
(7) Pemeriksaan Anggota gerak dan Neurologis
Pemeriksaan anggota gerak ini meliputi adanya
rentang gerak, genggaman tangan, dan otot kaki. Periksa
apakah ada kontraktur atau tidak. Kemudian pada
pemeriksaan neurologis seperti kejang, tremor, dan
paralisis (Hidayat, 2007: 103).
b) Pemeriksaan fisik pada kasus tifoid menurut pola Gordon
adalah sebagai berikut:
(1) Pola persepsi kesehatan
Pada pengumpulan data tentang persepsi dan
pemeliharaan kesehatan yang perlu di tanyakan pada klien
antara lain persepsi terhadap sakit atau penyakit, persepsi
terhadap arti kesehatan, persepsi terhadap penatalaksanaan
kesehatan seperti penggunaan obat-obatan dan atau yang
ditanyakan adanya alergi (Hidayat, 2007: 101).
Menurut Rampengan (2007: 50), data pola persepsi
kesehatan pada klien tifoid, pada umumnya klien atau
orang tua klien mengatakan suhu tubuh anaknya
meningkat mencapai 39-41oC pada sore dan pada malam
hari dan turun lagi pada pagi hari.
(2) Pola nutrisi metabolik
Pada pola nutrisi dan metabolisme yang datanyakan
adalah diet khusus yang dikonsumsi dan instruksi diet
sebelumnya, nafsu makan, jumlah makan atau minum
65
serta cairan yang masuk, ada tidaknya mual-mual, muntah,
stomatitis, adanya kesukaran menelan, penggunaan gigi
palsu atau tidak (Hidayat, 2007: 101).
Data pola nutrisi metabolik pada klien tifoid menurut
Suriadi dan Yuliani (2010: 255), klien atau orang tua klien
pada umumnya mengatakan bahwa anaknya nafsu makan
kurang, nyeri diperut, mual, muntah, dan lidah tertutup
selaput putih.
(3) Pola eliminasi
Pada pola ini yang perlu ditanyakan adalah jumlah
kebiasaan defekasi perhari, ada tidaknya konstipasi, diare,
kebiasaan BAK ada tidaknya nokturi, hematuri, retensi
(Hidayat, 2007: 101).
Data pola eliminasi klien pada tifoid menurut
Rampengan (2007: 50), klien atau orang tua klien pada
umumnya mengatakan bahwa anaknya tidak bisa berak
(konstipasi) tetapi mungkin normal bahkan juga terjadi
diare dengan feses cair dan pada perabaan terdapat nyeri
karena pembesaran limpa dan hati.
(4) Pola aktivitas
Pada pengumpulan data ini yang perlu ditanyakan
adalah kemampuan dalam menata diri apabila tingkat
kemampuannya 0 berarti mandiri, 1= menggunakan alat
bantu, 2= dibantu orang lain, 3= di bantu orang lain dan
66
peralatan, 4= ketergantungan atau tidak mampu, yang
dimaksud aktivitas sehari-hari adalah seperti makan,
mandi, berpakaian, toileting, tingkat mobilitas di temapt
tidur, berpindah, dan berjalan (Hidayat, 2007: 101).
Menurut Suriadi dan Yuliani (2010: 256), data pola
aktifitas pada klien dengan tifoid adalah, pada umumnya
klien atau orang tua klien mengatakan bahwa aktivitasnya
selalu dibantu. Aktivitas klien selalu dibantu orang lain,
seperti untuk mandi dan buang air besar atau kecil,
kemampuan dalam menata diri tingkat kemampuannya
adalah 2= dibantu orang lain.
(5) Pola tidur - istirahat
Pengkajiannya pola tidur istirahat ini yang ditanyakan
adalah jumlah jam tidur pada malam hari, pagi, siang,
merasa tenang setelah tidur, masalah selama tidur, adanya
terbangun dini, insomnia atau mimpi buruk (Hidayat,
2007: 101).
Menurut Rampengan (2007: 50), data pola tidur
istirahat pada klien tifoid adalah klien atau orang tua klien
pada umumnya mengatakan suhu tuhuh anaknya
meningkat antara 39-41o C pada malam hari sehingga tidur
dan istirahatnya terganggu.
67
(6) Pola kognitif-perceptual
Pada pola ini yang ditanyakan adalah keadaan mental,
sukar bercinta, kacau mental, menyerang, tidak ada
respon, cara bicara normal atau tidak, bicara berputar-
putar, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengerti,
gangguan pendengaran, penglihatan, adanya persepsi
sensori (nyeri), dan penciuman (Hidayat, 2007: 101).
Menurut Ngastiyah (2005: 237), pola kognitif
perceptual pada klien tifoid adalah, klien atau orang tua
klien pada umumnya mengatakan indera pengecapannya
terganggu sehingga tidak mau makan, lidah kotor yaitu
ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi
kemerahan. Adanya nyeri perabaan karena hati dan limpa
membesar.
(7) Pola toleransi-koping sress
Pada pengumpulan data ini ditanyakan adanya koping
mekanisme yang digunakan pada saat terjadinya masalah
atau kebiasaan menggunakan koping mekanisme serta
tingkat toleransi stress yang pernah atau dimilikinya
(Hidayat, 2007: 102).
Pola toleransi koping stress pada klien dengan tifoid
adalah mekanisme koping pada klien anak yaitu
melibatkan keluarga dalam perawatan agar anak merasa
68
aman dan mendapatkan perhatian dari keluarganya
(Nursallam, 2008: 10).
(8) Persepsi diri atau konsep diri
Pada persepsi ini yang ditanyakan adalah persepsi
tentang dirinya dari masalah-masalah yang ada seperti
perasaan kecemasan, ketakutan atau penilaian terhadap
diri mulai dari peran (serangkaian perilaku yang
diharapkan oleh masyarakat sesuai dengan fungsi yang
ada dalam masyarakat), ideal diri (penilaian individu
tentang dirinya dengan menganalisis kesesuaian antara
perilaku dan ideal diri), konsep diri (merupakan bagian
dari masalah kebutuhan psikososial), gambaran diri
(mencakup sikap individu terhadap tubuhnya sendiri, dan
identitas tentang dirinya (Hidayat, 2007: 102).
(9) Pola seksual-reproduktif
Pada pengumpulan data tentang pola seksual dan
reproduksi ini dapat ditanyakan periode menstruasi
terakhir, masalah menstruasi, pemeriksaan payudara atau
testis, dan masalah seksual yang berhubungan dengan
penyakit (Hidayat, 2007: 102).
(10) Pola hubungan dan peran
Pada pola ini yang perlu ditanyakan adalah pekerjaan,
status pekerjaan, kemampuan bekerja, hubungan dengan
69
klien atau keluarga dan gangguan terhadap peran yang
dilakukan (Hidayat, 2007: 102).
(11) Pola nilai dan keyakinan
Yang perlu ditanyakan adalah pantangan dalam agama
selama sakit serta kebutuhan adanya rohanian (Hidayat,
2007: 102).
10) Pemeriksaan Diagnostik
Hasil pemeriksaan laboratorium dan tes diagnostik dapat
digunakan perawat sebagai data objektif yang disesuaikan dengan
masalah kesehatan klien. Hasil pemeriksaan diagnostik dapat
membantu terapi untuk menetapkan diagnosis medis dan
membantu perawat untuk mengevaluasi keberhasilan asuhan
keperawatan (Nursallam, 2001: 25).
Menurut Nursallam (2008: 154), pada klien dengan tifoid
pemeriksaan penunjangnya adalah:
a) Pada pemerikasaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia,
dan limfositosis relatif.
b) Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
c) Biakan empedu basil salmonella typhosa dapat ditemukan
dalam darah klien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya
sering ditemukan dalam urine dan feces.
d) Pemeriksaan widal, untuk membuat diagnosis, pemeriksaan
yang diperlukan ialah titer anti terhadap antigen O, titer yang
70
bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan yang
progesif.
b. Analisa data
Menurut Ali (2001: 75-76), analisa data adalah suatu kemampuan
dalam mengembangkan kemampuan berpikir rasional sesuai dengan
latar belakang ilmu pengetahuan.
Langkah-langkah dalam menganalisa data sebagai berikut:
1) Pengelompokan data
a) Data fisiologis/biologis.
b) Data psikologis.
c) Data sosial.
d) Data spiritual.
2) Tabulasi data
Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi sehingga
mudah dibandingkan dengan standar, diinterprestasikan, dan
ditentukan alternatif permasalahannya.
c. Perumusan masalah
Menurut Ali (2001: 76-77), dari analisa data yang telah dilakukan,
dapat dirumuskan beberapa masalah kesehatan. Masalah kesehatan
tersebut ada yang dapat diintervensi dengan Asuhan Keperawatan
(masalah keperawatan) tetapi ada juga yang tidak dan lebih
memerlukan tindakan medis.
71
Prioritas masalah dapat ditentukan berdasarkan hirarki kebutuhan
menurut Maslow, yaitu:
1) Keadaan yang mengancam kehidupan.
2) Keadaan yang mengancam kesehatan.
3) Persepsi tentang kesehatan dan keperawatan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah, mengubah
(Nursalam, 2008: 35).
Menurut Ali (2001: 79-80), diagnosis keperawatan adalah suatu
pernyataan tentang masalah ketidaktahuan dan atau ketidakmauan dan
atau ketidakmampuan klien baik dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari maupun dalam penanggulangan masalah kesehatan tersebut
berhubungan dengan penyebab (etiologi) dan atau gejala.
Sesuai dengan data kesehatan yang telah dikumpulkan maka diagnosa
keperawatan memiliki 2 bentuk, yaitu:
a. Aktual, yaitu diagnosis keperawatan yang menjelaskan masalah nyata
yang sudah ada pada saat pengkajian dilakukan.
b. Potensial, yaitu diagnosis keperawatan yang menjelaskan masalah
nyata yang akan terjadi bila tindakan keperawatan tidak dilakukan.
72
Jadi dapat dikatakan bahwa masalah belum terjadi tetapi penyebab
telah muncul.
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Suriadi dan Yuliani
(2010: 256), adalah sebagai berikut :
a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya
intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
d. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakit.
Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 240), diagnosa yang sering
muncul sebagai berikut :
a. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme sekunder
terhadap rangsangan sintesis dan pelepasan zat pirogen.
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi yang kurang.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak
adekuatnya masukan cairan.
f. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang
informasi tentang penyakit.
73
Dari kesimpulan di atas bahwa diagnosa yang dapat diangkat pada
penyakit demam tifoid adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
c. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.
f. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan dan peningkatan suhu tubuh.
g. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi
tentang penyakit.
3. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan atau
mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah
ketiga dalam membuat suatu proses keperawatan. Dalam menentukan
tahap perencanaan bagi perawat diperlukan berbagai pengetahuan dan
keterampilan diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan
klien, nilai dan kepercayaan klien, batasan praktek keperawatan, peran
dari tenaga kesehatan lainnya, kemampuan dalam memecahkan masalah,
mengambil keputusan, menulis tujuan serta memilih dan membuat
strategi keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan, menulis
74
intruksi keperawatan serta kemampuan dalam melaksanakan kerja sama
dengan tingkat kesehatan lain (Hidayat, 2007: 117).
Perencanaan yang dilaksanakan pada kasus tifoid ini diambil dari
buku Rencana Asuhan Keperawatan (Doengoes, 2000) terdiri dari :
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien suhu
tubuhnya kembali dalam batas normal.
Kriteria Hasil:
Badan klien tidak panas lagi, suhu tubuh normal 36 – 37 C.
Intervensi Rasional 1. Kaji penyebab demam. 1. Mempermudah tindakan
selanjutnya.2. Pantau suhu klien (derajatnya)
perhatikan menggigil.2. Suhu 38,9o-41,1o C menunjukkan
proses penyakit infeksius akut.3. Pantau suhu lingkungan, batasi
atau tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi.
3. Suhu ruangan atau jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
4. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alkohol
4. Dapat membantu mengurangi demam, penggunaan air es atau alkohol mungkin menyebabkan kedinginan. Selain itu alkohol dapat mengeringkan kulit.
5. Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat.
5. Akan mempermudah terjadinya evaporasi akibat panas dalam tubuh.
6. Kolaborasi pemberian antipiretik, misalnya paracetamol
6. Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
7. Kolaborasi pemberian selimut pendingin
7. Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5-40o C pada waktu terjadi kerusakan /gangguan pada otak.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
tidak ada nafsu makan, mual dan kembung.
75
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien
menunjukan peningkatan berat badan dan mencapai rentang yang
diharapkan.
Kriteria Hasil:
Nafsu makan meningkat, tidak ada gangguan dalam sensasi
pengecapan, berat badan tidak turun lagi, dan klien tidak merasa mual
dan muntah lagi.
Intervensi Rasional 1. Awasi pemasukan atau jumlah
kalori.1. Mengidentifikasi defisiensi,
mengawasi masukan kalori dan kualitas konsumsi makanan.
2. Berikan perawatan mulut sebelum makan.
2. Menghilangkan rasa tak enak dan dapat meningkatkan nafsu makan.
3. Berikan makanan sedikit tapi sering.
3. Makan sedikit tapi sering dapat menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukan dan mengurangi rasa mual.
4. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
4. Menurunkan rasa penuh pada abdomen.
5. Kolaborasi dengan tim gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien.
5. Berguna dalam membuat program diet untuk memenuhi kebutuhan klien.
6. Kolaborasi dalam pemberian obat antiematik sesuai indikasi.
6. Diberikan ½ jam sebelum makan, dapat menurunkan mual dan meningkatkan toleransi makanan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri klien
berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
Skala nyeri berkurang 1 atau 0, klien tampak tenang tidak rewel,
tidak tampak meringis dan tidak kesakitan.
76
Intervensi Rasional 1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas, frekuensi dan waktu.
1. Mengindikasi kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda perkembangan.
2. Dorong pengungkapan perasaan
2. Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi persepsi akan intensitas rasa sakit.
3. Berikan aktivitas hiburan, misalnya membaca atau menonton televisi
3. Memfokuskan kembali perhatian, mungkin dapat meningkatkan kemampuan untuk menanggulanginya lagi.
4. Lakukan tindakan palitatif, misalnya mengubah posisi.
4. Meningkatkan relaksasi atau menurunkan ketegangan otot.
5. Berikan kompres hangat atau lembab
5. Meningkatkan rasa nyaman.
6. Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik.
6 Memberikan penurunan nyeri atau tidak nyaman.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien mampu
melakukan aktivitas kembali.
Kriteria Hasil:
Mampu melakukan aktivitas, tidak terjadi penurunan kekuatan
otot, tidak merasa lemah dan nyaman dalam bekerja.
Intervensi Rasional 1. Kaji kemampuan klien untuk
melakukan aktivitas.1. Mempengaruhi pilihan intervensi
atau bantuan.2. Awasi TD, nadi, pernafasan,
selama dan sesudah aktivitas.2. Manifestasi kardiopulmonal dari
upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan.
3. Berikan lingkungan yang tenang dan pertahankan tirah baring.
3. Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan energi untuk penyembuhan.
4. Berikan bantuan dalam aktivitas.
4. Membantu bila perlu, harga diri ditingkatkan bila klien melakukan sesuatu sendiri.
5. Berikan aktivitas hiburan yang tepat contoh menonton TV, membaca.
5. Meningkatan relaksasi dan penghematan energi dan dapat meningkatkan koping.
77
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipertermi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan klien dapat
beristirahat yang cukup dan mampu menciptakan pola tidur yang
adekuat dan menurunkan suhu tubuh kembali dalarn batas normal.
Dengan kriteria :
Klien bisa tidur dengan tenang, suhu tubuh dalam batas normal
36-37o C.
Intervensi Rasional 1. Kaji kebiasaan tidur dan
perubahan yang terjadi.1. Mengkaji perlunya dan
mengidentifikasi intervensi yang tepat.
2. Berikan tempat tidur yang nyaman dan beberapa milik pribadi misalnya bantal dan guling.
2. Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisiologis/psikologis
3. Tingkatkan regimen keyamanan waktu tidur , misalnya segelas susu hangat.
3. Meningkatkan efek relaksasi dan membantu klien tidur lebih lama.
4. Kurangi kebisingan dan lampu 4. Memberikan situasi yang kondusif untuk tidur.
5. Gunakan pagar tempat tidur sesuai indikasi, rendahkan tempat tidur bila mungkin.
5. Pagar tempat tidur memberikan keamanan dan dapat digunakan untuk membantu mengubah posisi.
6. Hindari kemungkinan mengganggu misalnya membangunkan untuk terapi.
6. Tidur tanpa gangguan lebih menimbulkan rasa segar, dan klien tidak mampu kembali tidur bila terbangun.
7. Kolaborasi pemberian obat sedative sesuai indikasi.
7. Mungkin diberikan untuk membantu klien tidur/istirahat. Hindari penggunaan kebiasaan.
f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kurangnya intake cairan dan peningkatan suhu tubuh.
78
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
mempertahankan atau menunjukkan perubahan keseimbangan cairan
dan dapat mempertahankan hidrasi secara adekuat.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil, turgor kulit baik, pengisian kapiler nadi perifer
kuat, dan haluaran urin klien sesuai.
Intervensi Rasional 1. Pantau tanda-tanda vital
terutama suhu.1. Indikator dari volume sirkulasi
2. Catat peningkatan suhu dan durasi demam, berikan kompres hangat sesuai indikasi.
2. Meningkatkan kebutuhan metabolism dan diaforesis yang berlebihan yang dihubungkan dengan demam .
3. Kaji turgor kulit, membran mukosa, dan rasa haus.
3. Indikator tidak langsung dari status cairan.
4. Anjurkan untuk sering minum 4. Meminimalkan kehilangan cairan 5. Ukur haluaran urine dan catat
jumlah kehilangan cairan.5. Penurunan haluaran urine
menunjukan perubahan volume sirkulasi.
6. Timbang berat badan sesuai indikasi
6. Kehilangan cairan dapat dengan cepat menyebabkan krisis dan mengancam hidup.
7. Kolaborasi pemberian cairan IV.
7. Memberikan cairan untuk memenuhi kebutuhan.
g. Defisit pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi
tentang penyakit.
Tujuan:
Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan klien menyatakan
pemahaman mengenai proses penyakit dan perawatan anaknya.
Kriteria Hasil:
Dapat ikut berpartisipasi dalam perawatan anaknya.
79
Intervensi Rasional 1. Kaji kesiapan orang tua
mengikuti pembelajaran, termasuk pengetahuan tentang penyakit dan perawatan anaknya
1. Efektifitas pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental serta latar belakang pengetahuan sebelumnya.
2. Jelaskan tentang proses penyakit anaknya, penyebab dan akibatnya terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan aktivitas.
2. Pemahaman tentang masalah ini penting untuk meningkatkan partisipasi orang tua tentang proses perawatan anak.
3. Jelaskan tentang penyakit, perawatan dan pengobatan
3. Meningkatkan pemahaman dan partisipasi keluarga.
4. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidup bersih.
4. Lingkungan yang bersih dapat mengurangi timbulnya penyakit.
5. Dorong kesinambungan diet seimbang
5. Meningkatkan kesehatan umum dan meningkatkan proses penyembuhan/regenerasi jaringan
4. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam
tahap proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan. Dalam pelaksanaan rencana tindakan
terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan
kolaborasi (Hidayat, 2007: 122-123).
Pelaksanaan pada klien dengan tifoid menurut Suriadi dan Yuliani
(2010: 257-258), adalah:
a. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan.
1) Menilai status nutrisi klien.
2) Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk
meningkatkan kualitas intake.
3) Menganjurkan pada orang tua untuk memberikan makanan
dengan tehnik porsi kecil tapi sering.
4) Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama.
80
5) Mempertahankan kebersihan mulut klien.
6) Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk
penyembuhan penyakit.
7) Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika
pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi
anak.
b. Mencegah kurangnya volume cairan.
1) Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit
setiap empat jam.
2) Monitor tanda-tanda peningkatan kekurangan cairan, turgor tidak
elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, membrane
mukosa kering dan bibir pecah-pecah.
3) Mengobservasi dan mencatat intake dan output dan
mempertahankan intake dan output yang adekuat.
4) Memonitor dan mencatat berat badan pada waktu yang sama.
5) Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam.
6) Memberikan antibiotik sesuai program.
c. Mempertahankan fungsi persepsi sensori.
1) Kaji status neurologis.
2) Istirahatkan anak hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil.
3) Hindari aktivitas yang berlebihan.
4) Pantau tanda-tanda vital.
81
d. Kebutuhan perawatan diri terpenuhi.
1) Mengkaji aktivitas yang dapat dilakukan anak sesuai dengan
tugas perkembangan anak.
2) Menjelaskan kepada klien dan keluarga aktivitas yang dapat dan
tidak dapat dilakukan hingga demam berangsur-angsur turun.
3) Membantu memenuhi kebutuhan dasar anak.
4) Melibatkan peran keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar
klien.
e. Mempertahankan suhu dalam batas normal.
1) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia.
2) Observasi suhu, nadi, tekanan darah, dan pernafasan.
3) Berikan minum yang cukup.
4) Berikan kompres air biasa.
5) Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat.
6) Pemberian obat antipiretik.
7) Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua
kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama
proses perawatan berlangsung atau menilai dari respon klien disebut
evaluasi proses (formatif) dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target
82
tujuan yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil (sumatif) (Hidayat,
2007: 124).
Jenis evaluasi menurut Hidayat (2007: 124-125), ada 2 yaitu:
a. Evaluasi formatif.
Menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi
dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif.
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien
pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu
tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah
tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
Evaluasi yang dapat diambil dari proses keperawatan dengan klien tifoid
adalah sebagai berikut :
a. Suhu tubuh klien kembali dalam batas normal.
Dengan kriteria:
1) Badan klien tidak panas lagi.
2) Suhu tubuh normal 36-37o C.
b. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Dengan kriteria:
1) Nafsu makan klien bertambah.
2) Klien tidak merasa mual dan muntah lagi.
3) Berat badan klien tidak turun lagi.
83
c. Rasa nyeri klien berkurang atau bahkan hilang.
Dengan kriteria:
1) Skala nyeri klien 1-0.
2) Klien tampak tenang tidak rewel dan tidak meringis kesakitan.
d. Klien dapat beraktivitas seperti biasa.
Dengan kriteria:
1) Klien tidak merasa lemah lagi.
2) Klien sudah dapat beraktivitas sendiri tanpa bantuan orang lain.
e. Pola tidur klien dapat terpenuhi.
Dengan kriteria:
1) Klien bisa tidur dengan tenang.
2) Suhu tubuh klien dalam batas normal.
f. Resiko kekurangan voleme cairan tidak terjadi.
Dengan kriteria:
1) Klien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi.
2) Pemasukan dan pengeluaran seimbang.
g. Orang tua klien paham tentang penyakit anaknya.
Dengan kriteria:
1) Orang tua klien mengerti setelah diberi penjelasan tentang proses
penyakit tifoid.
2) Orang tua klien berpartisipasi dalam perawatan anaknya.
6. Dokementasi
Dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat
seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis
84
keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan dan
mengevaluasi tindakan keperawatan yang disusun secara sistematis,
valid, dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum
(Hidayat, 2001: 87).
Menurut Nursallam (2001: 79-81), dokumentasi adalah bagian
integral proses bukan sesuatu yang berbeda dari metode problem solving.
Dokumen proses keperawatan mencakup kajian identifikasi masalah,
perencanaan dan tindakan. Perawat kemudian mengobservasi dan
mengevaluasi respon pasien terhadap tindakan yang diberikan dan
mengkomunikasikan informasi tersebut kepada tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan dari pendokumentasian adalah untuk mengidentifikasi status
kesehatan klien dalam rangka mencatat kebutuhan klien, merencanakan,
melaksanakan tindakan keperawatan, dan mengevaluasi tindakan, selain
itu dokumentasi untuk penelitian, keuangan, hukum, dan etika.
Top Related