9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. TEORI STRUKTUR MODAL
Teori struktur modal tidak dapat dilepaskan dari peran Profesor Franco
Modigliani dan Merton Miller (dikenal dengan MM), yang pada tahun 1958
mempublikasikan artikel keuangan yang kemudian menjadi dasar serta acuan bagi
perkembangan teori struktur modal modern. Pada artikel tersebut, mereka
membuktikan bahwa stuktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Namun
klaim mereka tersebut dasari oleh beberapa asumsi. Asumsi MM tersebut antara lain,
tidak adanya biaya perantara perdagangan ( brokerage), tidak ada pajak, tidak ada
biaya kebangkrutan, investor dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama,
informasi yang dimiliki oleh manajemen dan investor mengenai perusahaan sama,
EBIT (earning before interest and tax) tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang oleh
perusahaan (Brigham dan Houston, 2003).
Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM memang tidak realistis,
namun apa yang dikemukakan oleh MM tetap memiliki arti penting. MM secara tidak
langsung memberikan petunjuk mengenai variabel yang dibutuhkan agar struktur
modal relevan dan dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Brigham dan Houston,
2003). Melalui asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh MM para peneliti selanjutnya
10
dapat memfokuskan penelitian mereka pada asumsi tersebut agar dapat membangun
teori yang lebih realistis, berkaitan dengan struktur modal optimal.
Teori struktur modal yang dikembangkan oleh Modigliani dan Miller
(1958) dengan asumsinya, tidak dapat dipungkiri merupakan dasar bagi
perkembangan teori struktur modal saat ini. Termasuk juga menjadi pondasi bagi dua
teori besar pada struktur modal, yaitu trade-off dan pecking order. Teori trade-off
yang dikembangkan oleh Krauss dan Litzenberger (1973), beranggapan bahwa
perusahaan dapat memaksimalkan nilai perusahaan mereka dengan menyeimbangkan
variabel keuntungan yang didapat dari utang ( tax shield) dan variabel biaya yang
ditimbulkan oleh utang itu sendiri (bankruptcy cost).
Fakta bahwa bunga memberikan manfaat bagi perusahaan membuat biaya
penggunaan utang sebagai sebagai sumber pendanaan menjadi lebih murah,
dibandingkan dengan saham sampai pada tingkat utang tertentu (Brigham & Houston,
2003). Teori trade-off menyakini, bahwa Perusahaan akan berhenti menambah
utangnya pada titik tertentu. Seperti yang diungkap oleh Myers ( 2001), tingkat
tertentu tersebut adalah disaat penghematan atau manfaat yang diperoleh dari pajak
(tax shield) pada setiap penambahan utang sama dengan biaya kesulitan keuangan
(financial distress). Pada penelitian tahun 2001 tersebut, Myers juga menjelaskan
bahwa kesulitan keuangan dapat berupa biaya kebangkrutan atau reorganisasi dan
juga biaya kaagenan yang dapat muncul ketika kredibilitas perusahaan turun.
Sedangkan teori pecking order yang dipopulerkan oleh Myers dan Majluf
(1984), mengangkat ide adanya hierarki pemilihan sumber pendanaan mulai dari laba
11
ditahan, utang, dan yang terakhir ekuitas untuk mengisi komposisi struktur modal
perusahaan. Tidak adanya struktur modal yang optimal merupakan pembeda utama
teori ini dengan trade-off. Pemilihan sumber pendanaan berdasarkan teori pecking
order kemudian diperjelas lagi oleh Smart, Megginson dan Gitman (2004), mereka
menyatakan bahwa ada skenario hierarki dalam memilih sumber pendanaan yaitu:
1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam
atau pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal
tersebut diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan
operasional perusahaan.
2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih
mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu utang yang paling rendah
resikonya, lalu utang yang lebih berisiko, kemudian sekuritas hibrid
seperti obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham
biasa.
3. Terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan menetapkan
jumlah pembayaran dividen yang tetap, tidak terpengaruh besarnya
untung atau rugi perusahaan.
Diluar teori trade-off dan pecking order, dikembangkan pula teori
keagenan yang diperkenalkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori ini jelaskan
hubungan antara principal (investor/pemilik perusahaan) dan agent (orang yang
dipekerjakan/manajaer). Hubungan antara principal dan agent ini dapat menjadi
masalah ketika terjadi perbedaan informasi yang dimiliki berkaitan dengan prospek
12
perusahaan atau yang dikenal dengan asymmetric information (Brigham & Houston,
2003).
Selain kedua teori tersebut ada juga teori keagenan dan market timing
hypothesis yang dapat menjadi alternatif atau melengkapi dinamika struktur modal
pada perusahaan. Market timing hypothesis adalah teori yang dikemukakan oleh
Baker dan Wurgler melalui penelitian yang mereka lakukan pada tahun 2002. Pada
penelitian tersebut mereka berargumen bahwa market timing merupakan determinan
yang paling utama bagi perusahaan dalam menentukan struktur modalnya
(penggunaan utang atau ekuitas). Menurut mereka, perusahaan tidak perduli apakah
menggunakan utang atau ekuitas. Perusahaan hanya memilih bentuk dari pendanaan
pada suatu waktu tertentu yang terlihat memberikan nilai yang lebih baik.
2.2. REVIEW PENELITIAN STRUKTUR MODAL YANG MENGGUNAKAN
MODEL DINAMIS
Kedinamisan variabel-variabel penentu struktur modal telah membuat para
peneliti harus menyesuaikan model penelitian mengikuti realita kedinamisan tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan suatu model dinamis yang dapat menangkap dan
menjelaskan perilaku dinamis para pengambil keputusan dalam mengelola struktur
modal perusahaan.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dinamis diartikan sebagai penuh
semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan
keadaan dan mengandung kedinamisan. Sedangkan secara statistik menurut Gujarati
13
(2012), model yang dinamis berarti adanya alur waktu dari variabel dependen dalam
hubungannya dengan nilai pada waktu lampau. Jika kita kaitkan pengertian dinamis
dengan perubahan struktur modal, maka suatu model dinamis harus mampu
menangkap fenomena perubahan struktur modal perusahaan guna menyesuaikan diri
terhadap perubahan struktur modal optimalnya. Berkaitan dengan kedinamisan, ada
banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan model dinamis untuk
menjelaskan penyesuaian struktur modal perusahaan.
Penelitian yang menggunakan model dinamis diawali oleh Fischer et al.
pada tahun 1989. Pada penelitian tersebut, mereka membuat suatu model dinamis
yang berusaha menangkap perilaku perusahaan ketika memilih sumber pendanaan
dengan adanya pengaruh dari biaya perubahan struktur modal (recapitalization cost).
Hasil dari penelitian tersebut adalah adanya ruang ( range) optimal yang
memungkinkan bagi rasio utang perusahaan untuk bervariasi mengikuti perubahan
determinannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Hovakimian et al. (2001) mengungkap
bahwa, ketika perusahaan melakukan penyesuaian struktur modal, arah dari
penyesuaian tersebut adalah rasio utang yang menjadi target. Hasil dari penelitian ini
sesuai dengan teori trade-off antara biaya dan keuntungan utang. Selain itu,
pergerakan struktur modal menuju targetnya biasanya pada saat perusahaan menjual
saham atau membeli kembali saham. Pada penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa
perusahaan menghadapi kesulitan untuk melakukan penyesuain struktur modal
14
menuju optimalnya. Selain itu, rasio utang yang menjadi target dapat berubah-ubah
sepanjang waktu sebagai akibat perubahan profitabilitas dan perubahan harga saham.
Hasil dari penelitian Fischer et al. (1989) dan hovakimian et al. (2001)
dikuatkan lagi oleh hasil survei yang telah dilakukan Graham dan Harvey (2001)
terhadap para Chief Financial Officer (CFO) yang merupakan para pengambil
keputusan pada perusahaan di Amerika Serikat dan Kanada. Pada survei tersebut
diketahui bahwa, para pengambil keputusan mencari target rasio antara hutang
dengan ekuitas yang merupakan gambaran dari struktur modal yang optimal. Survei
serupa juga dilakukan oleh Brounen et al. (2004) di Eropa. Hasil dari penelitian yang
Mereka lakukan menunjukkan hasil yang sama, para CFO di Eropa juga sangat
memperhatikan struktur modal mereka, bahkan pada survei tersebut dijelaskan bahwa
perusahaan-perusahaan yang besar memiliki alat analisis yang sangat detail guna
menentukan sumber pendanaan perusahaan.
Pada penelitian Fischer et al. (1989), hovakimian et al. (2001) dan hasil
survei Graham dan Harvey (2001) serta Brounen et al. (2004) diketahui bahwa
perusahaan mencari struktur modal yang optimal, serta struktur modal yang optimal
tersebut selalu berubah-ubah sepanjang waktu. Namun hal lain yang tidak kalah
penting berkaitan dengan struktur modal adalah pertanyaan kapan waktu yang tepat
untuk melakukan penyesuaian, agar biaya yang dikeluarkan sebanding dengan
manfaat yang akan diperoleh. Oleh sebab itu, diperlukan ketepatan waktu
pengambilan keputusan guna melakukan penyesuain struktur modal, atau dengan kata
lain seberapa cepat perusahaan harus bereaksi menyesuaikan struktur modalnya
15
ketika struktur modal optimalnya berubah. Sayangnya hal tersebut belum mampu
diungkap pada penelitian diatas.
Untuk menjawab kekurangan ini, diperlukan suatu model lain yang mampu
menangkap perubahan dinamis pada fenomena disekitar pengambilan keputusan
pemilihan struktur modal yang bereaksi terhadap perubahan determinannya. Pada
penelitian-penelitian berikut akan ditampilkan bagaimana reaksi (kecepatan dalam
melakukan penyesuaian) perusahaan terhadap perubahan struktur modal optimalnya.
Heshmati (2001) menjawab ke kurangan tersebut dengan menggunakan
model dinamis pada penelitiannya. Menurut Heshmati model dinamis setidaknya
memiliki tiga keunggulan. Pertama, model ini mengakomodasi kemungkinan
perusahaan tidak berada pada struktur modal yang optimal pada waktu kapanpun.
Oleh karena itu, melalui model ini dimungkinkan untuk mengidentifikasi determinan
dari struktur modal yang optimal. Kedua, kita juga dapat melakukan estimasi
kecepatan perusahaan dalam melakukan penyesuaian leverage-nya menuju pada
struktur modal yang optimal dan mengidentifikasi determinan dari kecepatan
penyesuaiannya tersebut. Ketiga, kecepatan penyesuaian dari perusahaan maupun
waktunya, dimungkinkan untuk heterogen (perusahaan yang berbeda -beda dan
kapanpun) pada level leverage, dan penyesuaian antar perusahaan serta antar waktu.
Penelitian Heshmati (2001) dilakukan pada perusahaan kecil dan mikro di
Swedia. Hasil dari penelitiannya ini diketahui bahwa perusahaan kecil dan Mikro di
Swedia memiliki struktur modal yang melebihi targetnya. Variabel yang digunakan
sebagai determinan dari leverage yang optimal terdiri dari volatilitas pendapatan,
16
pertumbuhan perusahaan, aset tetap, ukuran perusahaan, profitabilitas, non-debt tax
shield, keunikan perusahaan, umur perusahaan. Sedangkan untuk kecepatan
penyesuaian yang dilakukan oleh perusahaan tersebut sangat lambat. Pada penelitian
ini dibuktikan juga bahwa semakin lebar jarak antara leverage aktual dengan leverage
yang menjadi target, belum tentu mempercepat perubahan struktur modal. Perusahaan
akan melakukan penyesuaian jika biaya untuk melakukan penyesuaian lebih kecil
dibandingkan biaya tetap berada pada struktur modal yang tidak optimal. Selain itu,
untuk variabel ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas
diketahui berhubungan positif dengan kecepatan penyesuaian struktur modal.
Pada tahun 2001, penelitian yang dilakukan oleh De Miguel dan Pindado di
Spanyol, juga menggunakan model struktur modal yang dinamis. Model tersebut
mereka gunakan untuk menganalisa karakteristik perusahaan yang merupakan
determinan dari struktur modal. Dengan model tersebut mereka membuat target
penyesuaian. Penelitian De Miguel dan Pindado yang fokus pada biaya transaksi
modal yang harus ditanggung perusahaan, berhasil membuktikan bahwa biaya
transaksi perusahaan spanyol lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan Amerika
Serikat. Hasil lainnya adalah mereka membuktikan bahwa karakteristik perusahaan
mempengaruhi struktur modal.
Gaud et al. (2005) pada penelitiannya yang menggunakan model statis dan
dinamis menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan aset tetap, risiko bisnis
berpengaruh positif terhadap leverage, sedangkan variabel pertumbuhan perusahaan
dan profitabilitas perusahaan berhubungan negatif dengan leverage. Hasil penelitian
17
Gaul et al. pada perusahaan di Swiss tersebut juga mengungkap bahwa perusahaan
melakukan penyesuaian menuju rasio utang yang menjadi targetnya, dan proses
penyesuaiannya tersebut lebih lambat dibandingkan dengan perusahaan dinegara lain
(Spanyol, Amerika Serikat, Jerman, Inggis, dan Francis).
Model penyesuaian dinamis juga digunakan oleh Drobetz dan Wanzenried
pada penelitian mereka tahun 2006 di Swiss. Penelitian tersebut untuk
menginvestigasi determinan dari target struktur modal. Hal ini mereka lakukan karena
diyakini struktur modal perusahaan dapat terdeviasi dari struktur modal targetnya.
Pada penelitian itu mereka secara spesifik menganalisa pengaruh karakteristik
spesifik perusahaan dan faktor makro ekonomi terhadap kecepatan penyesuaian
perusahaan menuju pada target rasio utangnya. Hasilnya terungkap bahwa perusahaan
yang sedang tumbuh lebih cepat melakukan penyesuaian. selain itu, kecepatan
penyesuaian perusahaan-perusahaan non keuangan di Swiss, dipengaruhi oleh
besarnya penyimpangan stuktur modalnya terhadap targetnya. Pada penelitian ini
juga diketahui bahwa karakteristik perusahaan (ukuran perusahaan, pertumbuhan
perusahan, serta jarak antara leverage aktual dengan targetnya) dan kondisi makro
ekonomi berpengaruh terhadap kecepatan penyesuaian struktur modal.
Pembuktian bahwa perusahaan memiliki target leverage dan melakukan
penyesuian juga dilakukan oleh Antoniou, Guney, dan Paudyal (2008) di Perancis.
Pada penelitian itu, Antoniou et al. menggunakan data panel dan two-step system-
GMM, hasilnya Antoniou et al. menemukan bukti rasio leverage dipengaruhi secara
positif oleh aset tetap dan ukuran perusahaan, namun berhubungan negatif ketika ada
18
peningkatan keuntungan perusahaan, kesempatan untuk tumbuh, dan kinerja harga
saham. Penelitian mereka juga mengungkap bahwa kondisi pasar (lingkungan operasi
perusahaan) berpengaruh pada rasio leverage. Adanya target rasio leverage dan usaha
melakukan penyesuaian juga dikonfirmasi oleh penelitian ini. Mereka mengungkap
bahwa perusahaan di Perancis menjadi yang tercepat dalam melakukan penyesuaian,
sedangkan yang paling lama adalah perusahan Jepang. Kecepatan perubahan tersebut
dipengaruhi oleh profitabilitas, perumbuhan perusahaan, aset tetap, ukuran
perusahaan, non-debt tax shield, kinerja harga saham.
Hasil dari penelitian Sinha dan Ghosh (2010) yang menggunakan Partial
Adjustment Model (PAM) yang dinamis serta mengembangkan penelitian Drobetz
dan Wanzenried (2006) pada perusahaan di India menunjukkan bahwa penyesuaian
struktur modal yang dinamis dipengaruhi oleh faktor spesifik perusahaan (likuiditas,
ukuran perusahaan, kesempatan untuk tumbuh, profotabilitas, dan aset tetap) dan
variabel makro ekonomi. Selain itu, leverage yang menjadi target dan kecepatan
penyesuaian dipengaruhi juga oleh reaksi perusahaan dan atau perilaku proaktif
perusahaan.
Menguji kecepatan penyesuaian struktur modal menuju leverage yang
menjadi target menggunakan model PAM, Elsas dan Florysiak (2011) membuat
beberapa kesimpulan berkaitan dengan kecepatan penyesuaian. Elsas dan Florysiak
menyimpulkan bahwa kecepatan penyesuaian akan semakin tinggi, (i) jika biaya yang
timbul akibat penyimpangan dari struktur modal yang optimal tinggi, (ii) ketika
19
deviasi dari target tinggi atau jauh, (iii) jika perusahaan menghadapi risiko
kebangkrutan yang tinggi.
Penelitian di Perancis juga dilakukan oleh Said pada tahun 2012. Pada
penelitian tersebut Said menggunakan data dari 244 perusahaan dengan periode
waktu 1997 sampai dengan 2007. Tujuan dari penelitian Said adalah melakukan
pengujian teori trade-off, pecking order dan market timing terhadap struktur modal.
Dengan menggunakan model dinamis Said mengkonfirmasi temuan Antoniou et al.
(2008) berkaitan dengan adanya proses penyesuaian dinamis yang dilakukan
perusahaan-perusahaan di Perancis untuk mencapai target struktur modalnya. pada
penelitian tersebut Said juga membentuk rasio target leverage yang dibentuk
berdasarkan ukuran perusahaan, keuntungan, kesempatan untuk tumbuh, dan non debt
tax shield. Hasil penelitian Said, ditemukan penyesuaian struktur modal, yang
mengkonfirmasi bahwa teori trade-off lebih dominan berperan dibandingkan pecking
order pada perusahaan di Perancis. pada penelitian tersebut, Said juga tidak
menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari market timing pada pengambilan
keputusan struktur modal.
Penelitian empiris lainnya yang dilakukan oleh Chipeta dan Mbululu
(2013), juga membuktikan bahwa penyesuaian struktur modal dilakukan oleh
perusahaan. Proses penyesuaian itu dipengaruhi oleh karakteristik perusahaan dan
faktor makro ekonomi. Secara spesifik faktor yang mempengaruhi kecepatan
penyesuaian struktur modal dan berkorelasi positif pada penelitian mereka antara lain,
ukuran perusahaan, aset, profitabilitas, likuiditas dan bunga yang ditanggung.
20
Disamping itu, variabel pertumbuhan perusahaan mengalami penyesuaian lebih
lambat, yang menggambarkan bahwa ada potensi masalah underinvestment, bagi
perusahaan yang memiliki aset intangible yang besar. Sedangkan untuk variabel
makro ekonomi, pertumbuhan nyata dari Pendapatan Domestik Broto (PDB),
menunjukkan korelasi yang positif. Variabel market dividend yield juga menunjukkan
korelasi positif terhadap kecepatan penyesuaian stuktur modal.
2.3. DETERMINAN STRUKTUR MODAL YANG OPTIMAL
Struktur modal yang optimal merupakan variabel yang menjadi fokus
utama pada penelitian ini. Rasio utang atau leverage, akan digunakan oleh peneliti
sebagai proksi dari struktur modal yang optimal ( Hovakimian, et al., 2001; Heshmati,
2001; De Miguel & Pindado, 2001; Gaud et al., 2005; Drobetz & Wanzenried, 2006;
Antoniou, et al., 2008; Sinha & Ghosh, 2010; Elsas & Florysiak, 2011; Said, 2012).
Untuk membentuk struktur modal yang optimal peneliti akan menggunakan variabel
karakteristik perusahaan yang merupakan hasil dari survei Haris dan Raviv (1991).
Variabel yang akan digunakan berdasarkan hasil dari Haris dan Raviv adalah aset
tetap, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas.
2.3.1. Aset Tetap
Selain ditemukan pada hasil survei yang dilakukan oleh Harris dan Raviv
(1991), variabel ini digunakan juga pada penelitian yang dilakukan oleh Titman dan
Wessels (1988), Rajan dan Zingales (1995), Fama dan French (2002) , Frank dan
21
Goyal (2008), sebagai variabel yang mempengaruhi leverage perusahaan. Pada
penelitian mereka, aset tetap merupakan determinan yang penting yang dapat
menjelaskan perubahan leverage. Aset tetap seperti properti, pabrik dan peralatan,
lebih mudah bagi pihak di luar perusahaan (outsiders) untuk menilai apa yang dimilik
oleh perusahaan, dibandingkan dengan aset perusahaan yang tidak tampak (seperti
goodwill dan merek) untuk kepentingan peminjaman hutang (Frank & Goyal, 2008).
Oleh karena itu, semakin banyak aset yang dimiliki perusahaan (tangible assets) akan
meningkatkan kepercayaan para kreditur, karena kenaikan tersebut menaikkan pula
garansi bagi kembalinya kredit yang mereka berikan. Hasil tersebut sejalan dengan
teori trade-off, aset tetap akan berkorelasi positif dengan tingkat hutang. Penelitian
empiris sebelumnya Hovakimian et al. (2001), Heshmati (2001), Gaud et al. (2005),
Drobetz dan Wanzenried (2006), Elsas dan Florysiak (2011) yang menggunakan
variabel aset tetap sebagai determinan leverage yang optimal, menunjukkan bahwa
variabel aset tetap memang berkorelasi positif terhadap hutang.
2.3.2. Ukuran Perusahaan
Suatu perusahaan yang besar biasanya memiliki sumber-sumber
pendapatan yang stabil, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut mampu untuk
memenuhi kewajiban yang tetap lebih baik dibandingkan perusahaan yang kecil. Oleh
karena itu, mereka akan berani meningkatkan jumlah utang (Voulgaris, Asteriou, dan
Agiomirgianakis, 2004). Selain itu, dengan stabilitas aliran kas tersebut maka
perusahaan-perusahaan yang memiliki ukuran yang besar ini memiliki ketahanan
22
akan risiko kebangkrutan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan kecil.
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap leverage perusahaan juga dapat lihat pada
penelitian yang dilakukan oleh Warner (1977), Ang, Chua, dan McConell (1982)
diketahui bahwa biaya kebangkrutan lebih besar pada perusahaan yang kecil. Hasil ini
sesuai dengan teori trade-off yang memang mengharapkan hubungan positif antara
ukuran perusahaan dengan leverage. Korelasi positif antara ukuran perusahaan
dengan tingkat hutang juga dapat kita lihat pada penelitian empiris sebelumnya,
seperti pada penelitian Hovakimian et al. (2001), Gaud et al. (2005), Drobetz dan
Wanzenried (2006), Antoniou et al. (2008), Elsas dan Florysiak (2011). Pada
penelitian tersebut Mereka menggunakan variabel ukuran perusahaan sebagai
determinan struktur modal yang optimal.
2.3.3. Pertumbuhan Perusahaan
Perusahaan yang memiliki kesempatan untuk tumbuh yang tinggi secara
umum menunjukkan bahwa perusahaan tersebut membutuhkan banyak modal untuk
melakukan pertumbuhan tersebut. Kondisi seperti ini membawa perusahaan pada
aliran kas yang belum stabil sehingga belum mampu membayar kewajiban secara
stabil. Dalam teori aliran kas bersih yang diajukan Jensen, (1986) dan Easterbroog
(1984) menyatakan bahwa rasio hutang berhubungan negatif dengan volatilitas
pendapatan. Sehingga ketika suatu perusahaan menghadapi volatilitas pendapatan,
rasio hutangnya akan turun. Perusahaan yang sedang tumbuh menghadapi kenyataan
bahwa mereka sedang pada posisi untuk memulai atau memilih investasi mana yang
23
harus mereka jalankan. Kondisi ini tentu menunjukkan bahwa mereka menghadapi
resiko yang lebih tinggi sehingga utang yang mereka dapatkan akan lebih kecil
dibandingkan perusahaan yang sudah mapan. Hasil dari penelitian empiris yang telah
dilakukan oleh Heshmati (2001), Drobetz dan Wanzenried (2006), Antoniou et al.
(2008) yang menggunakan variabel pertumbuhan perusahaan sebagai determinan
struktur modal yang optimal menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan memang
berkorelasi negatif terhadap hutang.
Hubungan antara variabel pertumbuhan perusahaan dengan hutang dapat
juga menjadi positif. Pertumbuhan perusahaan yang tinggi menggambarkan bahwa
perusahaan tersebut memiliki masa depan yang cerah. Dengan kemungkinan
profitabilitas yang tinggi di masa yang akan datang para kreditor akan berani
memberikan tambahan hutang bagi perusahaan untuk merealisasikan
pertumbuhannya. Peningkatan pertumbuhan dapat dilihat sebagai peningkatan garansi
pengembalian hutang bagi para kreditor.
2.3.4. Profitabilitas
Berdasarkan teori trade-off, perusahaan yang menghasilkan profitabilitas
yang tinggi memiliki risiko kebangkrutannya rendah, sehingga perusahaan ini dapat
meningkatkan proporsi hutang pada struktur modalnya. Pada penelitian yang
menggunakan model dinamik, seperti pada penelitian Heshmati (2001), Gaud et al.
(2005), Drobetz & Wanzenried (2006), Antoniou et al. (2008), Elsas dan Florysiak
(2011) penggunaan variabel profitabilitas selalu muncul sebagai determinan
24
pembentuk leverage yang optimal. Hasil dari penelitian empiris tersebut juga
membuktikan bahwa profitabilitas berhubungan negatif terhadap hutang, sejalan
dengan teori trade-off. Selain itu, peningkatan profitabilitas perusahaan akan
meningkatkan kepercayaan keditur dalam memberikan pinjaman, sehingga
perusahaan akan mengambil kesempatan ini untuk meningkatkan hutangnya untuk
peroleh manfaat pengurangan pajak dari setiap penambahan hutangnya.
2.4. PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.4.1. Pengaruh Variabel Ukuran Perusahaan Terhadap Kecepatan
Penyesuaian Struktur Modal
Ukuran perusahaan merupakan variabel yang sudah sangat sering
digunakan sebagai obyek penelitian dan biasanya digunakan sebagai determinan dari
leverage optimal (Hovakimian et al., 2001; Heshmati, 2001; Gaud et al., 2005;
Drobetz & Wanzenried, 2006; Sinha & Ghosh, 2010; Elsas & Florysiak, 2011; Said,
2012). Peran dari variabel ukuran perusahaan pada pembentukan leverage optimal,
menunjukkan bahwa variabel tersebut juga memberikan pengaruh terhadap kecepatan
penyesuaian struktur modal yang dilakukan perusahaan. Pada penelitian Drobetz dan
Wanzenried (2006) , diketahui bahwa perubahan struktur modal berkaitan dengan
ukuran perusahaan. Selain itu, biaya yang ditanggung oleh perusahaan yang besar
akan relatif lebih kecil dan lebih siap melakukan penyesuaian untuk memperbaiki
struktur modalnya. Menurut Drobetz dan Wanzenried kondisi ini dapat terjadi karena
perusahaan besar akan memperoleh lebih banyak sorotan dari para analis, sehingga
25
informasi yang tersedia mengenai perusahaan banyak, dan akan meminimalkan
terjadinya gap informasi antara pemegang saham dengan managerial perusahaan.
Selain itu, informasi yang banyak mengenai perusahaan akan mempermudah
perusahaan untuk dapat mengakses sumber-sumber pendanaan yang diperlukan untuk
melakukan penyesuaian yang dibutuhkan. Semua kemudahan dan keuntungan
perusahaan yang besar tersebut meringankan biaya untuk melakukan penyesuian. Jika
kita hubungkan dengan teori Trade-Off (Myers, 1984, dan Fischer et al., 1989),
kecilnya biaya penyesuaian akan mempercepat perusahaan untuk dapat melakukan
penyesuaian. Berdasarkan beberapa alasan diatas maka hipotesis yang disusun adalah:
Hipotesis 1: Ukuran perusahaan berpengaruh secara positif terhadap kecepatan
penyesuaian struktur modal
2.4.2. Pengaruh Variabel Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Kecepatan
Penyesuaian Struktur Modal
Faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi kecepatan perubahan
struktur modal adalah pertumbuhan perusahaan. Pada penelitian ini, pertumbuhan
perusahaan diukur dari perubahan tingkat penjualan setiap tahun. Oleh karena itu,
setiap peningkatan pertumbuhan akan ada tambahan pendapatan bagi perusahaan.
Hasil dari penelitian Heshmati (2001) berkaitan kecepatan perubahan struktur modal
menunjukkan bahwa, kecepatan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan
perusahaan. Hesmati melihat korelasi ini menunjukkan bahwa perusahaan yang
sedang tumbuh kesulitan untuk mengikuti struktur modal karena penyesuaian yang
26
dilakukan lebih banyak (besar) dibandingkan dengan perusahaan yang
pertumbuhannya kecil. Hal ini akan mengakibatkan biaya untuk melakukan
penyesuaian struktur modal untuk perusahaan yang tumbuh lebih besar, akibatnya
perusahaan yang tumbuh akan lebih lambat melakukan penyesaian struktur modal.
Oleh karena itu, perusahaan yang sedang tumbuh akan lebih fokus untuk
memaksimalkan pertumbuhannya, sehingga terkadang mengabaikan struktur modal
optimal. Eriotis, Vasiliou dan Neokosmidi (2007) pada penelitiannya menjelaskan
bahwa korelasi negatif ini terjadi karena pertumbuhan perusahaan akan
mengakibatkan variasi dari nilai perusahaan. Semakin besar variasi dapat
diinterpretasikan sebagai tingginya risiko, sehingga biaya untuk melakukan
penyesuaian stuktur modal akan tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian empiris
sebelumnya yang dilakukan oleh Hovakimian et al. (2001), Frank dan Goyal (2009),
yang menemukan bahwa pertumbuhan perusahaan berkorelasi negatif terhadap
kecepatan perubahan struktur modal. Maka hipotesis yang disusun adalah:
Hipotesis 2: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan
penyesuaian struktur modal.
2.4.3. Pengaruh Variabel Profitabilitas Perusahaan Terhadap Kecepatan
Penyesuaian Struktur Modal
Sebagai suatu variabel kinerja perusahaan, profitabilitas bukan merupakan
variabel yang asing jika dikaitkan dengan kecepatan penyesuaian struktur modal.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Heshmati (2001) di Swedia, diketahui bahwa
27
variabel profitabilitas memberikan pengaruh negatif terhadap kecepatan penyesuaian
struktur modal. Kondisi ini menggambarkan bahwa semakin tinggi tingkat
keuntungan perusahaan maka semakin lambat perusahaan tersebut melakukan
penyesuaian. Hubungan negatif tersebut mengungkap bahwa perusahaan yang
memiliki keuntungan yang tinggi menanggung biaya untuk melakukan perubahan
struktur modal lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang profitabilitasnya
rendah. Jika dilihat dari perspektif teori signaling, maka biaya tersebut adalah adanya
informasi yang tidak seimbang antara pihak manajemen perusahaan dengan investor
(asymmetric information). Perusahaan yang memiliki keuntungan yang tinggi akan
lebih nyaman untuk tetap berada pada struktur modal yang tidak optimal daripada
melakukan penyesuaian dengan resiko penurunan nilai perusahaan sebagai akibat
asymmetric information, dan akan melakukan penyesuaian jika sudah cukup jauh
(risiko dari adanya asymmetric information sebanding dengan manfaat melakukan
penyesuaian struktur modal) dari struktur modal yang optimal. Sedangkan untuk
perusahaan yang memiliki keuntungan yang rendah akan berusaha melakukan
penyesuaian lebih cepat karena beban yang ditanggung untuk melakukan penyesuaian
lebih rendah. Oleh karena itu, hipotesis hubungan antara variabel profitabilitas
dengan kecepatan penyesuaian adalah sebagai berikut:
Hipotesis 3: Profitabilitas perusahaan berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan
penyesuaian struktur modal.
28
2.4.4. Pengaruh Variabel Distance Terhadap Kecepatan Penyesuaian Struktur
Modal
Penelitian Fischer et al. (1989), hovakimian et al. (2001) dan hasil survei
Graham dan Harvey (2001) serta Brounen et al. (2004) mengungkap bahwa
perusahaan mencari struktur modal yang optimal, serta struktur modal yang optimal
tersebut selalu berubah-ubah sepanjang waktu. Sebagai akibat dari perubahan struktur
modal optimal yang terus-menerus, akan terdapat jarak antara struktur modal aktual
dengan struktur modal optimal. Jarak atau deviasi antara struktur modal aktual dan
struktur modal optimal pada penelitian ini, akan diwakili oleh variabel distance.
Ketika struktur modal perusahaan tidak berada pada titik optimalnya, maka akan ada
biaya yang harus ditanggung (bangkruptcy cost, dan financial distress). Oleh karena
itu, semakin jauh jarak antara struktur modal optimal dengan yang aktualnya, maka
akan semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan. Kondisi ini
mengakibatkaan kecepatan perusahaan dalam melakukan penyesuaian akan semakin
cepat, seiring dengan semakin besarnya penyimpangan struktur modal aktual terhadap
struktur modal optimal. Penelitian-penelitian terdahulu (Hovakimian et al., 2001;
Heshmati, 2001; Drobetz & Wanzenried, 2006) telah membuktikan bahwa semakin
besar distance maka kecepatan penyesuaian struktur modal akan semakin cepat pula.
Oleh karena itu, pada penelitian ini hipotesis yang disusun adalah:
Hipotesis 4: Distance berpengaruh secara positif terhadap kecepatan penyesuaian
struktur modal.
29
2.4.5. Pengaruh Variabel Inflasi Perusahaan Terhadap Kecepatan Penyesuaian
Struktur Modal
Inflasi merupakan variabel yang selalu disebut pada setiap perbincangan
yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, variabel
ini patut diduga mempengaruhi kecepatan perubahan struktur modal perusahaan di
Indonesia. Berdasarkan penelitian Taggart (sebagaimana dikutif dalam Frank &
Goyal 2009), diketahui bahwa nilai riil dari pengurangan pajak atas hutang, semakin
tinggi jika inflasi yang diharapkan tinggi. Maka teori trade-off dalam hal ini
memandang bahwa inflasi akan berkorelasi positif terhadap leverage perusahaan
(Frank & Goyal, 2009). Namun, Hatzinikolaoua, Katsimbrish, dan Noulas
(sebagaimana dikutif dalam Chipeta dan Mbululu, 2013) berargumen bahwa pada
masa inflasi yang tinggi, volatilitas pendapatan meningkat, begitupula dengan risiko
bisnis. Kondisi ini mengakibatkan, perusahaan mungkin akan lebih memilih
menerbitkan saham daripada hutang. Di Indonesia, inflasi yang tinggi biasanya
direspon oleh kenaikan tingkat suku bunga oleh Bank Indonesia, guna meredam
inflasi. Dampak dari kebijakan bank sentral ini, akan mengakibatkan bank-bank
umum akan menaikkan tingkat suku bunga kredit yang mereka kucurkan bagi
perusahaan. Di lain sisi, kenaikan inflasi akan menurunkan daya beli para konsumen,
dan tentu saja akan berdampak pada penurunan pendapatan perusahaan. Pada kondisi
ini, tentu perusahaan tidak akan terlalu gegabah untuk masuk ke pasar modal untuk
mencari sumber pendanaan. Oleh karena itu, pada kondisi inflasi yang tinggi
perusahaan akan lebih nyaman untuk melakukan pergerakan yang selektif berkaitan
30
dengan kebijakan pendanaannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Chipeta dan
Mbululu (2013), diketahui bahwa korelasi antara inflasi dan kecepatan perubahan
struktur modal adalah negatif dan signifikan. Maka hipotesis yang disusun adalah:
Hipotesis 5: Tingkat inflasi berpengaruh secara negatif terhadap kecepatan
penyesuaian struktur modal.
2.4.6. Pengaruh Variabel Produk Domestrik Bruto (PDB) Terhadap Kecepatan
Penyesuaian Struktur Modal
Selain inflasi variabel makro ekonomi lain yang sering digunakan sebagai
indikator suatu perekonomian suatu negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB).
PDB sering digunakan sebagai variabel pada penelitian-penelitian empiris yang
berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa PDB merupakan
gambaran perkembangan perekonomian suatu negara. Maka, pertumbuhan PDB
seharusnya diikuti oleh peningkatan pertumbuhan atau investasi oleh perusahaan.
Oleh karena itu, korelasi PDB terhadap kecepatan penyesuaian struktur modal
seharusnya searah dengan korelasi pertumbuhan perusahaan terhadap kecepatan
penyesuaian struktur modal. Agar bisa mencapai pertumbuhan yang maksimal, tentu
diperlukan pendanaan yang besar, sehingga biaya pendanaanpun membesar saat
perusahaan dihadapkan pada kondisi PDB suatu negara meningkat. Akibatnya
perusahaan akan mengabaikan struktur modal optimal. Situasi seperti ini dibuktikan
oleh penelitian Hesmati (2001), peningkatan pertumbuhan perusahaan akan
meningkatkan biaya yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam melakukan
Top Related