17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perundang-Undangan.
1. Pengertian Perundang-Undangan
Teori perundang-undang dapat dipahami sebagai (gesetzgebungstheorie),
paham perundang-undang lahir dari proses berhukum dalam aliran positifisme
hukum yang berkembang di eropa daratan. Tujuan utama dibentuknya peraturan
perundang-undangan sebagai sebuah kejelasan dan kepastian hukum terhadap
proses peyelenggaran negara disegala aspek 16
Secara yuridis berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Taun
2011 menyatakan bahwa “peraturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”17
Lebih lanjut Bagir Manan memberikan pandanganya berkaitan dengan
peraturan perundang-undangan sebagai sebuah keputusan tertulis dari pihak-
pihalk tertentu. Ditetapkan atau dikeluarkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang memiliki wewenang sesuai dengantingkatan dari keberlakuan peraturan
tersebut18. Maka untuk memahami peraturan perundag-unangan sebagai peraturan
16 Maria Farida , Laporan Kompedium Bidang Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Ri Badan Pembinaan Hukum Nasional Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Jakarta, 2008 , Hlm. 1
17 Lihat pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembetukan Peraturan perundang-Undangan.
18 Bagir Manan, Peranan Peraturan perundang-undangan dalam pembinaan hukum nasional, Armico, Bandung, 19798, Hlm. 89
18
tertulis maka harus merujuk pada ketentuan pasal 7 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanga yaitu meliputi
hierarki peraturan perundang-undangan, meliputi (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (2) TAP MPR (3) Undang-Undang atau PERPU (4)
Peraturan Pemerintah (5) Peraturan Daerah propinsi (6) Peraturan Daerah
Kabupaten atau Kota.
Maka dalam hal ini yang dimaksud dengan peraturan perundang-
undangan adalah hukum positif yang berlaku dalam suatu lingkup wilayah
keadaulan hukum Indonesia. Dibentuk dengan menggunakan mekanisme formal
sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan dalam undang-undang.
2. Teori Hirarki Perundang-Undangan
Hukum sebagai suatu produk keputusan negara merupakan satu kesatuan
sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya. Pada pokoknya
hukum merupakan suatu bentuk peraturan yang berisikan suatu larangan, anjuran
bahkan berisikan suatu kebolehan. 19disisi lain validitas hukum sebagaimana
Hans Kelsen dalam teori hukum menyatakan bahwa suatu norma adalah milik
suatu sistem norma dapat diuji hanya degan meyakinkan adanya bahwa norma
tersebut menderivasikan validitas dari norma dasar yang membentuk tata hukum20
Pengembangan terhadap pemikiran Hans kelsen tentang pemikiran
tentang hierarki dan validitas suatu norma yag membentuk piramida lebih lanjut
dijelaskan dalam Karya Hans Nawiaski Allgemeine Rechtslehre als system der
19 Jimly Ashidiqqie, Perihal undang-undang, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2010, Hlm 70 20 Hans kelsen dalam jilmy Ashidiqqie, Perihal Undang-Undang, Raja grafindo Press, 2010,
Hlm 170
19
rechtlitchen grundbegriffe. dalam karyanya Hans Nawiaski membahas Theorie
von stuvenufbau der rechtsordnung, memberika susunan norma sebagai berikut :
21
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm)
2. Aturan dasar negara (staatsgroundgesetz)
3. Undang-undang formal (formeel gesetz)
4. Peraturan pelaksanaq dan peraturan otonom (verordnung en autonome
satzung)
Staatsfundamentalnorm merupakan norma dasar yang dijadikan acuan
untuk membentuk norma yang ada dalam konstitusi, sehingga derajat dari norma
dasar memiliki validitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan konstitusi.
Sehingga keberadaan dari staatsfundamentalnorm lebih dulu ada jika di
bandingkan dengan konstitusi. 22
Terdapat perbedaa pemikiran yag dimiliki oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiaski tentang penyebutan bentuk norma sesuai dengan hierarkinya. Dalam
pandangan Hans Kelsen norma dasar dalam suatu negara disebut sebagai basic
norm, sedangkan dalam pemikiran Hans Nawiaski norma dasar dimaknai sebagai
Staatsfundamentalnorm. Norma fundamental negara sejatinya tidak dapt berubah-
ubah , berbeda dengan cara kudeta ataupun revolusi.
Dalam Konteks ke-Indonesiaan A. Hamid S Attamimi sebagaimana dikutip
oleh Maria Farida dalam Ilmu perundang-undangan mencoba untuk mencocokan
21 Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 28 22 Ibid. hlm 170
20
teori yang dikemukakan oleh Hans Nawiaski dengan praktik yang ada di Indonesia.
Adapun tata hukum berdasarkan struktur pemikiran Hans Nawiaski yag dicocokan
oleh A. Hamid S Attamimi sebagai berikut:
a. Staatsfundamentalnorm, Pancasila (secara tertulis dalam Pembukaa UUD
NRI Tahun 1945
b. Staatsgrundgessetz, batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, TAP MPR ,
dan konvensi ketatanegaraan. 23
c. Formel gesertz, undang-undang.
d. Verordnung en autonome satzung, secara hierarkis dimulai dari perturan
pemerintah samia dengan peraturan bupati dan walikota.
Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm untuk pertama
kalinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di kemukakan oleh Notonegoro,
Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtside) yang oleh Yudi Latif dalam
karyanya Negara Paripurna menyatakan bahwa kedudukan pancasila dalam
ketatanegaraan Indonesia layaknya bintang pengarah kehidupan24 masuknya
23 Penggunaan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum formal yang dimasukan dalam hierarki
perundang-undag menurut A. Hamid S Attamimi berdasarkan pada TAP MPR No III/MPR/ 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian pada tahun 2004 TAP MPR tersebut dinyatakan tidak berlaku dengan sendirinya dengan disahkanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Salah satu materi mauatan UU tersebut mengapus TAP MPR sebagai salah satu bagian dari hierarki norma perundang-undagan. Hal tersebut didasarkan pada kedudukan MPR hasil reformasi yang bukan merupakan lembaga tertinggi negara lagi. Pandangan yang dikemukakan oleh A. Hamid S Attamimi tersebut diatas tentunya merupakan hal yag masih relevan untuk digunakn sebagai bahan dalam kepenulisan ini, hal tersebut didasarkan pada perkembangan regulasi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 yng telah diubah dengan Undang-Undanng Nomor 12 tahun 2011 yang mencabut undang-undang sebelumnya dan kembali mengakomodir TAP MPR sebagai bagian dari hierarki norma perundang-undagan. Namun pengakomodiran TAP MPR sebagai bagian dari hierarki norma tidak dilakukan untuk menghidupkan kembali kewenangan MPR untuk mengeluarkan TAP MPR kembali. Namun politik hukum yang digunakan sebagai pertimbangan adalah untuk mengakomodir kepastian hukum berlakunya TAP MPR yang masih berlaku selama belum ada undang-undang yang menggantikanya.
24 Yudi Latif, Negara Paripurna: Sejarah, Rasionalitas dan aAktualitas dari Pancasila, Gramedia pustaka Utama, Jakarta, 2015, Hlm 1
21
Pancasila sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undang menurut Jimly
Ashidiqqie dapat dijadikan sebagai batu uji bagi hukum positif dalam hierarki
norma yang berada di bawahnya. 25
Secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata urutan hierarki perundangan-
undangan diatur dalam pasal 7 ayat (1) dengan susunan sebagai berikut : 26
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan perundagan-undangan yang diakui dalam undang-undang tentang
pembenntukan peraturan perundang-undangan tidak hanya berhenti pada jenis
peraturan yang diatur dalam ketetuan pasal 7 ayat 1, namun juga dalam pasal 8
menjelaskan lebih lanjut peraturan yang mengakomodir jenis peraturan lainya
meliputi: peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
25Ibid, Hlm 2 26 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
22
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.27 Peraturan
ini mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang
lebih tinggi.28 Dengan demikian menunjukan bahwa dalam undang-undang tersebut
mengakomodir dua jenis norma hukum yakni norma hukum yang berada dalam
hierarki dan norma hukum di luar hierarki Peraturan perundang-undangan yang
diakui dengan tingkat keberlakuan yang berbeda, dan tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang berada diatasnya.
3. Perihal Undang-Undang
Peraturan dalam tataran undang-undang berdasarkan pandangan Utrecht,
membagi undang-undang dalam dua hal yaitu undang-undang dalam pengertian
formil (wet in formele zin) dan undang-undang dalam pegertian materil (wet in
materiale zin) . rumusan pegertian undang-undang dalam arti formal yaitu berupa
van wet I formele zin frekens als de regering en de staten-generaal gezamenlijk
in besluit zemen volgens een in de groundweet ( yang dimaksud dengan undang-
undan dalam arti formil apabila pemerintah bersama dengan parlemen untuk
membuat keputusan untuk membentuk undang-undang.29 lebih lanjut
kewenangan untuk membentuk undang-undang yag diamanatkan oleh konstitusi
berada pada lembaga negara legislative dan juga eksekutif sesuai dengan political
27 Lihat pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan 28 Made Nurmawati, I Gede Marhaendra Wija Atmaja, Buku Saku Kuliah : Jenis Fungsi dan
Materi Muatan Peraturan Peundangan-undangan Fakultas hukum Universitas Udayana, 2017, Hlm 17 29 Jimly Ashidiqqie. Op.Cit, hlm 121
23
will dalam suatu negara. Secara nyata di Indonesia kekuasaan membentuk
undang-undang ada pada cabang kekuasaan legislative.
Sedangkan, Pemaknaan terhadap wet in material zin adalah van een wet in
materiele zin spereken we al een besluit van een organ met wetgevende
bevoegdeid algemene. Burgers bindende regels bevat (undang-undang dalam arti
materil jika suatu lembaga mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-
undang mengeluarkan suatu norma yang megikat masyarakat umum). perbedaan
secara fundamental terhadap kedua jenis undang-undang tersebut adalah:
pertama, undang-undag dalam arti formil dititik beratkan pada proses
pembuatanya. Kedua , undang-undang dalam arti materil yaitu berkaitan dengan
substansi hukum yang diatur yang mengikat masyarakat secara umum.30 pada
dasarnya kedua konsep tersebut dapat ditemukan dalam satu undang-undang,
namun menjadi anomali karena beberapa peristiwa pembentukan undang-undang
ternyata tidak merefleksikan norma yang ada dalam masyarakat, namun
disesuaikan dengan kehendak penguasa. Dengan demikian undang-undang dalam
arti formil belum tentu dapat disebut sebagai undang-undag dalam arti materil.
Di Indonesia sendiri terhadap suatu produk undang-undang dapat diujikan
di Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas dari undang-undang
tersbeut dengan konstitusi . Dengan adanya pemisahan antara pemaknaan undang-
undang secara materil dan secara formil, hal tersebutpun berimplikasi pada proses
pengujian undang-undang yang ada di Mahkamah Konstitusi di bedakan antara
30 Ibid, hlm 123
24
pengujian formil dan pengujian materil yang disesuaikan sifatnya berdasarkan
pengertianya.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Raz dalam jimly Ashidiqqie yang
mencoba merefleksikan pemikiran Hans Kelsen menyatakan bahwa norma
memiliki dua tingkatan, terdapat norma original dan norma derivative,
berdasarkan mekanisme pembentukanya dan berhentinya pengaturan dalam
norma tersebut. norma dasar adalah norma yang dibuat dengan cara
dipresuposisikan valid oleh pembentukya dan sebagai norma yag mengayomi
norma yang berada di bawahnya. Sedangkan norma derivative dibentuk
berdasarkan dua keadaan tertentu yakni : (1) adaya eksistensildari suatu norma
yang berada di atasnya (a norm creating norm), dan adanya peristiwa tertentu
yang melatar belakangi munculnya norma tersebut (norm creating by events) 31
Adanya norma derivasi sebagai norma yang muncul atas eksistensi dari
peraturan yang lebih tinggi atau norma yang dibentuk oleh pembentuk undang-
undangan dalam hal ini DPR tidak boleh bertentagan degan peraturan yang lebih
tinggi, keberlakua norma tersebut sesuai dengan asas keberlakuan hukum yakni
lex superior derogate lex inferiori ( hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi)
4. Materi Muatan Undang-Undang.
Secara umum suatu produk hukum yang di bentuk dengan menggunakan
mekanisme formal memiliki derajat materi muatan yag berbeda beda, begitupun
dengan undang-undang yang memiliki materi muatan tersendiri. Namun secara
31 Ibid. Hlm 98
25
umum dalam tataran undang-undang dan peraturan yang berada di bawahnya
memiliki materi muatan yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Sejatinya
penentuan materi muatan dalam pembentukan perundang-undangan secara formal
merupakan kebebasan dari badan yang membentuknya sesuai dengan political
will dari lembaga atau badan yang bersangkutan, namun bandul kebebasan
pembentukan isi perundangan-undangan diikat oleh asas pembentukan peraturan
perundanga-undangan. Adapun Asas-asas pembentukan materi perundang-
undangan:
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
f. Bhinneka tunggal ika
g. Keadilan
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. Ketertiban dan kepastian hukum
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Menurut A. Hamid S. Attamimi dalam pengmbangan ilmu perundang-
undangan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi materi muatan meliputi:32
32 Pandangan tentang materi muatan perundang-undangan yag dikemukakan oleh A. Hamid S.
Attamimi merupakan materi muatan perundang-ubndagan sebelum dihapusnya kewenangan MPR untuk mengeluarkan TAP MPR, dan sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang menghapus kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam A. Hamid S. Attamimi, Materi Muatan perundang-undangan, Jurnal Hukum dan Pembangunan, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1175/1098, Vol 15, Tahun 1985, Hlm. 59.
26
a. Perintah yang diatur secara tegas didalam UUD 1945
b. Perintah untuk diatur dalam undang-undang yang dimuat dalam TAP
MPR
c. Mengatur hak asasi manusia secara universal
d. Mengatur hak dan kewajiban dari warga negara
e. Mengatur pembagian kekuasaan negara termasuk kekuasaan yudikatif
dan kebebasan hakim
f. Mengatur pokok-pokok lembaga tertinggi negara, lembaga tinggi
negara
g. Mengatur pembagian daerah berdasarkan pembagian daerah besar dan
daerah kecil
h. Mengatur cara mendapatkan kewarganegaraan
i. Hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang untuk diatur oleh
undang-undang.
Materi muatan berdasarkan pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan meliputi :
1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undan
3. Pengesahan perjanjian internasional tertentu
4. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi
27
B. Tinjauan Umum Judiccial Review
“Pengujian” (toetsing/review) dalam konteks tulisan ini adalah pengujian
undang-undang (UU) dalam arti luas yaitu dalam arti formal dan material, sedangkan
pengujinya (lembaganya) tidak hanya lembaga peradilan saja melainkan juga
lembaga legislatif dan/atau ekskutif. Khusus untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan pengujian UU melalui lembaga peradilan(judicial review) kita lihat dalam
Kamus Hukum.
Menurut Kamus Black Law Dictionary:
Judicial review: A court’s power to review the actions or others branches or levels of government esp., the court’s power to invalidate legislative and executive actions as being unconstitutional. 2. The constitutional doctrine providing for this power. 3. A courts review of lower courts or an administrative bodys factual or legal findings33
Pada dasarnya, dalam kepustakaan ketatanegaraan sejarah awal pemikiran
tentang pengujian norma yang rendah terhadap norma yang tinggi merupakan ajaran
yang di kemukakan oleh John Locke. Termasuk proses pengujian terhadap undang-
undang dengan undang-undang. Seperti yang di terapkan di beberapa negara, dengan
dalil diterapkan di banyak negara untuk membentuk pemerintahan yang sesuai
dengan konstitusi (constitusional government). Pemikiran tersebut belum memiliki
praktik yang jelas terhadap proses pengujian peraturan yang rendah terhadap
peraturan yang tinggi haingga ahirnya, untuk pertama kalinya melalui Mahkamah
Agung Amerika Serikat melalui ketua pengadilan John P Marshal. John Marshal
(1803) melakukan pemeriksan terhadap kasus Merbury Dkk Vs Medisson.
33 Black Law Dictionary dalam Muchamad Aziz Pengujia Peraturan Perundang-undangan dan
dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia , Seventh Edition, Editor in Chief: Bryan A. Garner, West Group, St. Paul, Minn, 1999, hal. 853.
28
Dari kasus merbury vs Meddison tersebut pemikiran tentang konsep judicial
review lahir sebagai alat untuk melindungi hak hak yang dimiliki oleh warga negara
dari keotoritarian yang dilakukan oleh negara melalui produk hukum yang
dimilikinya. Lebih lanjut hal tersebut di jelaskan dalam pandangan Maruar Siahan
yang menyatakan bahwa kelahiran Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia
menandakan adanya kemajuan peradaban untuk melindungi hak asasi yang dimiliki
manusia sebagai subyek hukum
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-
undang tidak hanya didasarkan pada adanya peraturan yang melanggar hak
konstitusional yang dimiliki oleh warga negara. Namun permasalahan perbedaan
makna dari penafsiran yang berbeda antara warga negara dengan warga negara
bahkan warga negara dengan pembentuk undang-undang.
Perbedaan makna konstitusi dalam kehidupan masyarakat dalam tingkat
paling ahir di putuskan oleh lembaga peradilan konstitusi atau di beberapa negara
termasuk di Indonesia dikenal sebagai Mahkamah kosntitusi (constitusional Court),
inilah kemudianm tradisi konstitusionalisme yaitu kondisi penyelenggaran negara
yang sesuai atau merujuk pada konstitusi. Peran peradilan konstitusi dalam
penyelenggaran negara sangat penting karena setiap orang dapat dan berhak untuk
menafsirakn makna dari setiap teks konstitusi. Tetapi perbedaan tersebut itu harus
berhenti ketika lembaga peradilan konstitusi menjadi satu-satunya penentu ahir atas
makna teks konstitusi yang diperebatkan (the sole interpreter of contitution) serta
menjadi pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dengan demikian
keputusan mengenai penafsiran mana yang benar tidak lagi berada pada lembaga
29
yang membentuknya. Karna kedudukan konstitusi sebagai hukum yang terus
berjalan menuju perbaikan (law in making)
Untuk memahami konstitusi sebagai konstitusi yang hidup perlu dilihat dari
dua perspektif yang berbeda. Pertama, konstitusi sebagai teks otoritatif yang
dilahirkan oleh para perumusnya, dengan keadaan kebatinan yang sesuai dengan cita
negara. Perubahan terhadap konstitusi dapat dilakukan melalui perubahan terhadap
norma yang dilakukan secara formal, ataupun
Perubahan makna dalam praktik ketatanegaraan tergantung pada konstitusi itu di
terapkan. Kedua, ketika konstitusi mengahadapi kehidupan real dalam
penyelenggaraan negara. Pada saat ini konstitusi bukan lagi menjadi milik dari
founding father tapi menjadi milik seluruh rakyat Indonesia dan seluruh
stakeholdernya. 34
Hal tersebut menjadikan konstitusi menjadi bergerak secara dinamis dan
hidup, dengan demikian penafsiran terhadap konstitusi menjadi banyak
diperdebatkan oleh masyarhakat sendiri, sehingga pada ahirnya negara menyerahkan
kewenangan untuk memberikan tafsir konstitusional suatu norma kepada lembaga
peradilan.
C. Mahkamah Konstitusi
Frame pemikiran tentang pengujian undang-undang terhadap norma yang lebih
tinggi telah ada sebelum kemerdekaan, pada saat pembahasan rancangan Undang-
Undang Dasar (UUD) di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaa Indonesia
(BPUPKI). Salah satu anggota BPUPKI, Muhammad Yamin memiliki pendapat
34 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, Kontpress, Jakarta , 2016, Hlm 3
30
bahwa pengujian undang-undang harus dimiliki oleh Mahkamah Agung , namun
pemikiran tersdebut dianulir oleh Soepomo dengan dua alasan : pertama, pada
dasarnya pembentukan UUD pada masa itu tidak meganut sistem pemisahan
kekusaan berdasarkan paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah ahli hukum
yang paham akan konsep pengujian undang-undang sangat minim dan tidak ada
kesiapan negara untuk melaksanakan hal tersebut.
Pemikiran tetang judicial review tersebut kembali menggulir pada tahun 1955
pada saat sidang konstituante hasil pemilihan umum untuk pertama kalinya pada
masa itu, Baru pada gejolak pergantian kekuasaan yang terjadi pada tahun 1998,
runtuhnya rezim orde baru sekaligus titik anjak perubahan ketatanegaraan Indonesia
melalui amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam 4 tahap. Memasuki masa
reformasi tersebut melalui panitia Ad Hoc 1 badan pekerja MPR (PAH 1 BP MPR),
setelah melakukan study banding di 21 negara,35 melalui perubahan UUD 1945,
muncul usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan utama
menguji undang-undang, untuk pertama kalinya pada saat perubahan pertama UUD
1945, namun tidak ada yang disepakati pada masa itu.
Pembahasan tentang pengujian undang-undang yang dilakukan oleh sebuah
badan khusus yang bernmama Mahkamah Konstitusi pada saat itu muncul kembali
pada saat perubahan ketiga UUD 1945, permasalahan besar terhadap kedudukan
Mahkamah Konstitusi pada perubahan ketiga yakni apakah Mahkamah Konstitusi
berada di bawah Mahkamah Agung atau berdiri sendiri sebagai salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman. Kemudian disepakati kedudukan Mahkamah Konstitusi
35 Ibid, Hlm 113
31
sebagai lembaga yang berdiri sendiri di luar dari rumpun Mahkamah Agung sebagai
Court Of justice dan berdiri sebagai Court of Connstitution atau juga disebut dengan
court of law. Pada perubahan ketiga ini kewenangan Mahkamah Konstitusi
ditentukan secara terbatas yakni hanya memilikin emat kewenagan utama dan 1
kewajiban yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan mhkamah Konstitusi dalam UUD 1945 hasil perubahan
termaktub dalam pasal 24 C ayat 1 UUD Tahun 194536 yang berbunyi
“Mahkamah konstitusi berwenanang mengadili pada tingkat pertama dan terahir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undag-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenanganya di berikan oleh Undang-Undang Dasar. Memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. “
Lebih lanjut kewenangan dalam ayat 2 terdapat satu kewajiban Mahkamah
Konstitusi yaitu “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penafsir konstitusi, satu -sataunya
lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan penafsiran yang sah
terhadap pemaknaan terhadap undang-undang yang ada di Indonesia. Progresifitas
Mahkamah dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai judicial control . Dinamika
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan melakukan tindakan-tindakan progresif
dalam mengeluarkan putusannya mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita,
hal tersebut dilakukan oleh Mahkamah berdasarkan pada hasil penafsira terhadap
pemaknaan undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Bukan sebagai pengekangan
36 Lihat pasal 24 C ayat 1 UUD Tahun 1945.
32
terhadap pemisahan kekuasaan ataupun campur tangan dalam domain kewenangan
dalam cabang kekuasaan lainya, namun hal tersebut sebagai rule breaking yang
dilakukan oleh mahkamah konstitusi.
Perubahan UU No 24 Tahun 2003 yang di gantikan dengan UU No 08 Tahun
2011 memberikan pembatasan terhadap mahkamah untuk mengeluarkan putusan
yang sifatnya membentuk norma yang baru,37 dalam pasal 57 ayat 2 UU No 11 Tahun
2008 berbunyi
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Regulasi tentang pembatasan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma
baru menimbulkan keresahan akademisis hukum Indonesia, keresahan tersebut
ditunjukan dengan dilakukaya penngujian pasal 57 ayat 2 UU No 8 Tahun 2011 oleh
Saldi Isra dan Zainal Arifin Muchtar . namun Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan pemohon karena hal yang diujikan berkaitan erat dengan kewenangan
mahkamah, sedangkan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi dilarang untuk
menguji undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan mahkamah atau yag
disebut dengan “nemo judex indinius in propria causa”. 38
Menindak lanjuti tumpulnya Mahkamah Konstitusi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono Mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang telah diundangkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
37Muhammad fandi satria, Mahkamaha Konstitusi Sebagai Negatif Legislatur dan Positif
Legislatur, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c062fbc83162/mahkamah-konstitusi-sebagai-inegative-legislator-i-dan-ipositive-legislator-i/, diakses tanggal 06 Desember 2019.
38 Zainal Arifin Muchtar, Catatan Kemarahan DPR di RUU MK, Kompas 18 Juni 2011.
33
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi
Undang-Undang yang mengembalikan ruh Mahkamah Konstitusi tanpa harus berada
di bawah bayang-bayang pembetuk undang-undang39
D. Tinajuan umum tentang kebijakan hukum terbuka (open legal policy)
1. Pengertian Kebijakan Hukum Terbuka
Secara epistimologis makna kebijakan hukum terbuka dapat dilihat dari
rumusan penyusunan kata, dimana kebijakan hukum terbuka tediri dari tiga
konsep yang disatukan dalam istilah kebijakan hukum tebuka, atau yang
diterjeahkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Open Legal Policy. Pertama,
Kebijakan merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang yang
memiliki kekuasaan. Kebijakan merujuk pada pemaknaan kata kebijakan yang
dimaksud dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan dimaknai
sebagai : 40
(1) kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan. (2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagaianya), pernyataan cita-cita tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk managemen dalam usaha mencapai tujuan atau sasaran, garis haluan Pemaknaan terhadap kebijakan dalam legal meaning sebagaimana dalam
black law dictionary : the general principle by which a government is guide in
its management of public affairs (artinya dimaksukanya). Lebih lanjut Soleh
Lubis menjelaskan tentang pengertian dari kebijakan yaitu suatu keputusan yang
39 Detik news, isi lengkap perpu penyelamat MK, https://news.detik.com/berita/d-2388768/ini-
isi-lengkap-perpu-penyelamatan-mk, diakses tanggal 23-12/2019 40 Mardian Wibowo, Op. Cit, Hlm 303
34
diambil oleh pemegang kekuasaan sebagai bentuk pengambilan alternatif dalam
menjalankan penyelenggaran agar sesuai dengan tujuan yang telah disepakat.41
Dengan demikian berdasarkan pengertian di atas kebijakan harus berwujud
suatu tindakan, atau bermakna sebagai suatu yang nyata yang dapat dilihat dan
dirasakan.
Namun dalam praktik administrasi hukum administrasi negara kebijakan
tidak hanya berupa perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun kebijakan dapat dibagi menjadi dua yaitu kebijakan atau tindakan
pemerintah secara aktif dan tindakan pemerintah secara pasif. Tindakan
pemegang kekuasaan secara aktif adalah tindakan pemegang kekuasaan
menerbitkan surat keputusa dan mengeluarkan ketetapan (beschiking).
Sedangkan tindakan pemerintah secara pasif termasuk diamnya pemerintah
terhadap suatu permasalahan yang kongkrit.
Terhadap perbuatan pemegang kekuasaan dalam mengeluarkan ketetapa
E. Utrech dalam pendekatan hukum administasi di bagi menjadi dua jenis yaitu
ketetapan yang bersifat positif dan ketetapa yang bersifat negatif. Ketetapan
positif adalah ketetapan yang menimbulkan suatu keadaan baru (restituatie),
sedangkan ketatapan yang bersifat negatif adalahh ketetapan pemerintah yang
tidak mengubah substansi dan keadaan baru.
Dalam arti kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang muncul
dari proses pengujian undang-undang yang ada di Mahkamah Kostitusi harus
41 M. Solly lubis dalam Mardian Wibowo, Kebijakan hukum terbuka dalam putusan Mahkamah konstitusi, Raja Grafindo persada, 2019, Hlm 302.
35
diartikn secara positif, yaitu kebijakan yang dapat diuji yag dituangka dalam
bentuk peraturan perundang-undagan. Hal demikian tidak dapat diujikan pada
suatu yang tidak berwujud seperti kebijaka yang tidak tertulis dan kebijakan
yang tidak berwujud atau diamnya pemerintah.42
Kedua, terbuka atau bebas, Kata bebas dalam Bahasa Indonesia memiliki
makna free dan open dalam Bahasa inggris, padanan kata free atau open dalam
pendekatan hukum dapat kita lihat pengertianya dalam Black law Dictionary:
Open sebagai (1) manifest apparent : notorious (2) Visible, exposed to public view, not clandestine, (3) Not close, settled, fixed or terminated. Sedagkan untuk arti kata free dinyatakan sebagai : (1) having legal and political right, enjoying political and civil liberty (a citizen) (a populace). (2) not subject to the constraint or domination of another: enjoying personal freedom, emancipated (a free person). (3) characterized by choice , rather by compulsion or constrain (free will). (4) unburdened (the land was free of ay oncumbrances. (5) not confined by force or restrain (free from prison). (6) unrestrictedand unregulated (free trade). (7) costing nothing, gratuitous, (free tickets to the game)
Dalam arti kata open dan free terutama yang dicetak tebal dalam
kaitaya dengan open legal policy yang dikemukakan oleh mahkamah merupakan
suatu kekeliruan karena pada dasarnya kebijakan hukum terbuka yang dmksud
oleh Mahkamah Konstitusi adalah kebebasan -pembentuk udang-undang untuk
menentukan materi muatan dari undang-undang. namun lebih tepatnya akan
merujuk pada kata free yaitu characterized by choice , rather by compulsion or
constrain (free will).
Dengan berdasarkan pada penjelasan diatas makna kebijakan hukum
terbuka (open legal policy) yang dipenggal berdasarkan pemaknaan katanya
42 Mardian Wibowo, Op.cit, Hlm 318
36
kebijakan hukum terbuka dimaknai sebagai kebijakan pembentuk undang-
undang untuk menentukan materi muatan dari suatu norma tersebut. begitupun
dalam putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kebijakan hukum
terbuka (open legal policy) seperti tercantum dalam putusan Mahkamah
Konstitusi 072-073/PUU-II/2004 Dalam pengujian Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. mahkamah untuk pertama kalinya
dalam pertimbangan hukum menyatakan bahwa:43
“dipilih secara demokratis“, yang maksudnya adalah memberi kewenangan kepada pembuat undang-undang untuk mempertimbangkan cara yang tepat dalam Pilkada. Pemilihan secara langsung telah ditetapkan untuk memilih Presiden sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6A UUD 1945, hal ini tidak dapat diartikan bahwa Pilkada secara langsung menjadi satu-satunya cara untuk memaknai frasa “dipilih secara demokratis” yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Sekiranya hal tersebut menjadi maksud (intent) yang terkandung dalam perubahan pasal UUD 1945 yang bersangkutan.
Pemaknaan kebijakan hukum terbuka dalam beberapa putusan
Mahkamah Konstitusi dimaknai dengan berbagai istilah yang berbeda namun
hampir sama, yaitu open legal policy, opened legal policy, dan legal policy.
Soethanto Soephiandi lebih lanjut dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51-52-59/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian pasal 9 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Memaknai
kebijakan hukum terbuka sebagai kebijakan hukum (legal policy)44, lebih lanjut
43 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang pemerintahan Daerah 44 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 Tentang Pengujian pasal
9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
37
dijelaskan bahwa dalam pembentukan undang-undang selalu dipengaruhi oleh
kekuasaan yang berada di belakang pembentuk undang-undang.
Legal policy di bedakan dalam tiga sifat yaitu makro, messo dan mikro.
Legal policy yang bersifat makro dirumuskan dalam pembentukan norma dasar
(UUD NRI Tahun 1945) . Hal tersebut dalam pandangan Hans Kelsen tidak
membutuhkan norma acuan dalam tataran hierarki sebagai norma tertinggi,
namun cukup dengan menghimpun konvensi ketatanegaraan yang biasa
dilakukan dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan legal policy bersifat makro digunakan sebagai acuan bagi legal
policy yang bersifat messo dalam tataran undang-undang. begitupun dengan
legal policy yang bersifat messo digunaka sebagai acuan untuk membentuk
aturan pelaksana, aturan pelaksana tersebut dimaknai sebagai legal policy yang
bersifat mikro45.
2. Kriteria Kebijakan Hukum Terbuka
Sebagai suatu konsep yang lahir mlelaui putusan Mahkamah Konstitusi
kebijakan hukum terbuka memiliki beberapa kriteria sebagai berikut: 46
a. Diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945
b. Tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
c. Tidak bertentangan dengan moral, dan nilai yang hidup dalam
masyarakat
45 Ibid 46 Ibid
38
d. Tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan tidak
merupakan penyalahgunaan wewenang
Maka selama undang-undang yang ddibentuk oleh DPR dan Presiden
sesuai dengan empat kriteria diatas maka undang-undang tersebut dikategorikan
sebagai kebijakan hukum terbuka dan mahkamah konstitusi tidak dapat
melakukan pengujian terhadap norma dang bersangkutan.47
3. Sifat Kontradiktif Kebijakan Hukum Terbuka
Kebijakan hukum terbuka sebagai sebuah konsep yang baru, belum
memiliki konsep tersendiri yang digagas secara matang, hal tersebut menjadikan
kebijakan hukum terbuka tidak memiliki landanan dan pondasi yang kuat.
Bahkan kebijakan hukum terbuka mengandung kotradiksi terhadap dirinya
sendiri, dan konsep hukum lainya.
Dalam hal kebebasan pembentuk undang-undang untuk menentukan
norma atau materi muatan pada undang-undang yang mengacu pada UUD NRI
Tahun 1945, maka hanya akan merujuk pada 38 pasal yang memberikan atribusi
kepada pembentuk undang-undang. secara a contrario, pembentuk undang-
undang hanya memiliki legitimasi yang tegas untuk membentuk 38 Undang-
undang yang diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Dari sekian banyak
norma hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat, hanya sedikit yang
diperintahkan langsung oleh konstitusi.
47 Lihat putusan mahkamah konstitusi omor 10/PUU-III/2005 Tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tetang Pemerintah Daerah.
39
Kebutuhan masyarakat akan hukum dapat menjamin kebutuhan
masyarakat akan kepastian hukum. Masyarakat memberikan legitimasi kepada
pembentuk undang-undang, bahkan ketika UUD NRI Tahun 1945 tidak
memerintahkan untuk membentuk norma yang bersangkutan dan tidak juga
dilarang. Dengan berlakunya teori Stufenbau serta sifat kebebasan yang
paradoksial. Maka kebebasan untuk mengatur norma hukum harus di batasi.
Batasan kebebasan materi muatan undang-undang adalah UUD 1945.
Artinya norma hukum sebagai materi muatan undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan noram hukum UUD NRI Tahun 1945, makna tidak boleh
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak bertentangan secara
diametral. Hal tersebut sebagaimana pandangan Saldi Isra dalam dissenting
opinion putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XV/2017
Penolakan kami saat ini dikarenakan adanya inkonsistensi mahkamah dalam memberikan batasan tentang kebijakan hukum terbuka sebagai norma yang bebas di tentukan walaupun di dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak terdapat pasal rujukan, namun tidak bertentanga dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian bagaimana bisa suatu norma yang tidak memiliki rujukan dalam UUD NRI Tahun 1945 namun di padankan dengan frasa tidak bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Dengan demikian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan norma merupakan pengurangan terhadap kebebasan DPR untuk
membentuk undang-undang. sedangkan ketika Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa norma tersebut kebijakan hukum terbuka yang selalu
bernilai konstitusional, dengan demikian mahkamah mendukung kebebasan
DPR yang bersifat absolut untuk membentuk undang-undang.
40
Selain makna kebijakan hukum terbuka yang bertentangan, namun
kebijakan hukum terbuka yang digagas oleh Mahkamah Konstitusi kebal
terhadap penilaian konstitusionalitas. Sehingga Mahkamah Konstitusi selalu
memberikan penilaian konstitusionalitas atau mendekati konstitusional.
Hukum pada dasarnya di bentuk oleh suatu badan atau lembaga dengan
tujuan untuk menciptakan ketertiban dalam mengatur kehidupan social,politik,
ekonomi dan budaya yang ada dalam maysrakat. Dalam kaitanya dengan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang berkaitan dengan
kewenangan untuk menguji undang-undang. maka undang-undang terlebii
dahulu harus dimaknai sebagai berikut :
1) Undang-undang dalam arti peraturan perundang-undangan yang
dibentuk Bersama DPR dan Presiden, serta DPD dalam hal otonomi
daerah dan pengembanganya. Bagina undang-undang yang dapat diuji
bukan hanya bagian batang tubuh yang mengandung norma hukum
saja. Melainkan semua bagian yang mengandung substansi hukum yang
bersifat mengikat umum.
2) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) dalam arti
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden sebagai
kepala pemerintaha, untuk menggaantikan undang-undang yag
sebelumnya ada. Seperti halnya pengujian undang-undang yang
dijelaskan dalam poin 1.
41
E. Tinjauan Umum Teori Keadilan
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-
wenang. Keadilan pada umunya di bagi menjadi dua yaitu keadilan umum dan
keadilan khusus, keadilan umum Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak
adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang
yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap
hukum (law-abiding) dan fair. Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota
masyarakat dalam suatu tindakan bersama-sama.
Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara “yang lebih” dan “yang
kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengah atau suatu persamaan
relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat
tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem
demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan
manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar
persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran.
Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan
(excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna
persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik
tengah (intermediate) dan proporsi48
48Ali Safaat, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, Dan John Rawls) , diakses di
alisafaatublecture.ub.ac.id.
42
Keadilan, jika diruntut dari waktu pertama kali di kemukana oleh ahli
filsafat dari Yunani. Plato mendifinissikan keadilan sebagai the supreme virtue of
the good state” (Kebajikan tertinggi yang diciptakan dalam kondisi yang baik),
sedang orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are
controlled by reasson” ( manusia yang berdisiplin diri yang dikenadalikan oleh
suatu alasan) . Bagi Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan
hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu
masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.49 Plato mencoba untuk
membedah keadilan dari sudut pandang ilham yang diberikan tuhan kepada
manusia. Seiring dengan perkembangan waktu konsep keadilan dipisah –pisah
berdarkan jenisnya yaitu keadilan subtantif.
a. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural adalah keadilan organisasi yang berhubungan
dengan prosedur pengambilan keputusan oleh organisasi yang ditujukan
kepada anggotanya. Keadilan prosedural ialah persepsi keadilan terhadap
prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan sehingga setiap anggota
organisasi merasa terlibat di dalamnya. Keadilan prosedural (procedural
justice) berkaitan dengan proses atau prosedur untuk mendistribusikan
penghargaan50.
Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur
tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum- hukum,
49 The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Sumber sukses, Yogyakarta, 2002, hlm. 22 50 Siti Hidayah dan Haryani, “Pengaruh Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural terhadap
Kinerja Karyawan BMT Hudatama Semarang”, Jurnal Ekonomi Manajemen Akuntansi, No. 35/Th.XX/Oktober 2013, Hlm. 16.
43
undang-undang. Prosedur ini tidak bisa lepas dari upaya legitimasi tindakan.
Jika terdapat keadilan distributif yang bisa teraplikasikan secara baik maka
di dalam suatu lingkungan sosial atau organisasi keadilan prosedural yang
adil akan mampu menghindarkan penyalahgunaan kekuasaan atau kontrol
yang semena-mena51. Terdapat tiga (3 )ciri utama dari keadilan prosedural
yaitu (1) terdapat konsistensi, yang menjamin beberapa kasus diperlakukan
serupa, terdapat kenetralan; (2) pihak yang menjadi obyek terwakili suaranya
dalam proses keputusan yang dibuat; (3) implementasi harus transparan.
b. Keadilan Subtantif
Antara keadilan subtantif dan keadilan prosedural beberapa ahli lebih
mengedepankan sistem keadilan subtantif, namun di Indonesia sudah
bergeser menjadi penegakan terhadap keadilan prosedural. Keadilan
subtantif adalah keadilan yang lebih menitik bertkan pada keadilan yang
didasarkan pada bunyi suatu peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada niai-nilai yang ada dalam masyarakat. Penilaian tertinggi
bagi suatu sistem hukum adalah apa yang dikerjakan bukan bagaimana cara
untuk mengerjakanya atau melalui siapa. substansi, bukanya prosedural atau
bentuk pelaksanaanya seperti apa. Secara terperinci bahwa siang yang
mengirim ke penjara menyatakan adil dan subtantifnya tidak adil hanya
sedikit membantu .
51 Haryatmoko, “Membangun Institusi Sosial yang Adil”, diambil dari
http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=773&coid=1& caid=34, diakses tanggal 15 2019.
44
Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus
dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak
memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani
(keyakinan hakim). Friedman kembali menegaskan bahwa 52 “ procedural,
then, is only a means to an end is whatever collective problem society means
to attack. Procedure follows substance tells us which areans of procedural
will become important”
Dengan demikian, prosedural hanya merupakan suatu sarana untuk
mencapai suatu tujuan , tujuan tersebutlah yang merupakan tujuan kolektive,
apapun dari masyarakat, yang dimaksud untuk diserang.
52 Ahmad Ali , menguak teori hukum (legal teori) dan teori peradilan (judicialprudence ) ,
Kencana Press, 2019, Jakarta . Hlm 214
Top Related