10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Malaria
2.1.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus
Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina dengan
gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran
limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa
organ misalnya otak, hati dan ginjal (Prabowo, 2004).
2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit malaria adalah parasit malaria, suatu protozoa dari genus
Plasmodium. Saat ini dikenal ada 5 jenis plasmodium yang dapat menginfeksi
manusia secara alami (Harijanto, 2012), yaitu:
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan
malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian) dan mudah
menyebabkan resisteni obat
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana
3. Plasmodium malariae, dapat menimbulkan sindrom nefrotik dan penyebab
malaria quartana
4. Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale banyak dijumpai di daerah
Afrika dan Pasik Barat, di Indonesia dijumpai di Irian Jaya dan Nusa
11
Tenggara, memberikan infeksi yang paling ringan dan sembuh spontan tanpa
pengobatan
5. Plasmodium Knowlesi, pertama kali dilaporkan tahun 2004 jenis malaria baru
yang sudah ditemukan di Malaysia, dan juga ditemukan Singapura, Thailand,
Myanmar serta Filipina penularannya dari monyet, bentuk plasmodium
menyerupai P. malariae. Tingkat keganasan seperti falsifarum dan tingkat
kekebalan seperti malaria vivax.
2.1.3 Gejala malaria
Gejala klinis penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam turun
naik, anemia sekunder dan splenomegali. Gejala fase awal berupa malaise, sakit
kepala, nyeri pada tulang atau otot, anoreksia, mual, diare ringan dan kadang-
kadang merasa dingin di punggung. Keluhan ini sering terjadi pada P. vivax dan
P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan awal tidak jelas
bahkan gejala dapat mendadak (Harijanto, 2010).
Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya schizon matang (sporolasi).
Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P.vale), pematangan schizon tiap 48 jam maka
periodisitas demamnya setiap hari ke tiga, sedangkan malaria kuartana
(P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap empat
hari. Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas tiga stadium yang berurutan, yaitu
stadium dingin, demam dan berkeringat (Depkes, 2005).
Stadium dingin (cold stage), penderita akan merasakan dingin menggigil yang
amat sangat, nadi cepat dan lemah, sianosis, kulit kering, pucat, dan kadang
12
muntah. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai satu jam diikuti dengan
meningkatnya temperatur. Stadium demam (hot stage) muka penderita terlihat
merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi dapat
sampai 40°C atau lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran
delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin
dapat berlangsung sampai dua jam atau lebih. Stadium berkeringat (sweating
stage) dimulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh sampai basah, temperature
turun, lelah dan sering tidur, dan jika penderita bangun akan merasa sehat dan bisa
melakukan aktifitas seperti biasa, hal ini berlangsung dua samapi tiga jam
(Harijanto, 2010).
Daerah dengan endemisitas malaria tinggi, seringkali pada orang dewasa tidak
ditemukan gejala klinis meskipun dalam darahnya ada parasit malaria. Hal ini
merupakan imunitas yang terjadi akibat infeksi berulang-ulang. Gejala anemia
yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada
penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan ibu hamil
(Harijanto,2010). Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala
khas malaria kronik. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh
terhadap infeksi malaria. Limpa akan teraba setelah tiga hari dari serangan infeksi
akut dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat
timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Harijanto, 2012).
Hampir semua kematian akibat penyakit malaria disebabkan oleh P. falciparum.
Pada infeksi P. falciparum dapat menimbulkan malaria berat yang menurut
13
World Health Organisation (WHO) didefinisikan sebagai infeksi P. falciprum
stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi
2.1.4 Masa Inkubasi
Menurut Depkes RI (1999) dalam Susana (2011) masa inkubasi ada dua tahap:
1. Masa inkubasi ekstrinsik
Tabel 2.1 Masa inkubasi ekstrinsik
Jenis Pasmodium Masa Inkubasi
Plasmodium falciparum 12-14 hari
Plasmodium vivax 8-11 hari
Plasmodium malariae 14 hari
Plasmodium ovale 15 hari
2. Masa inkubasi intrinsik
Masa inkubasi intrinsik adalah waktu mulai saat masuknya sporozoit ke dalam
darah sampai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai pecahnya scizon.
Tabel 2.2 Masa inkubasi intrinsik
Jenis Pasmodium Masa Inkubasi
Plasmodium falciparum 9-14 hari (12)
Plasmodium vivax 12-17 hari (15)
Plasmodium malariae 18-40 hari (28)
Plasmodium ovale 16-18 hari (17)
14
2.1.5 Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria
1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)
Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi
memerlukan dua macam siklus yaitu: Sporogoni (seksual) dan Skizoni (Aseksual).
2. Host (penjamu)
Penjamu terdiri dari nyamuk Anopheles (host definitive) dan manusia
(host intermediate). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan
mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun
kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai
dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada
manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi
parasit ke dalam sel, mengubah respons immunologik atau mengurangi
keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2010).
3. Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, ada beberapa
faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu: lingkungan fisik, biologi, kimiawi,
dan sosial budaya. Lingkungan fisik terdiri dari suhu, kelembaban, hujan, angin,
sinar matahari, arus air, kedalaman air dan ketinggian (Susana, 2010).
Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah
kemungkinan risiko tertular malaria tiga kali dibandingkan masyarakat yang
berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang
memiliki sikap kurang lima-tujuh kali dibandingkan masyarakat yang memiliki
sikap baik. Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari
15
mempunyai risiko tertular malaria empat kali dibandingkan masyarakat yang tidak
memiliki kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari
2.1.6 Diagnosis Malaria
Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada umumnya didasarkan pada gejala
klinis, penemuan fisik, pemeriksaan laboratorium darah dan uji imunoserologis.
Ada dua cara diagnostik yang diperlukan untuk menentukan seseorang itu positif
malaria atau tidak yaitu pemeriksaan darah tepi (tipis/tebal) dengan mikroskop
dan deteksi antigen (Harijanto, 2010). Meskipun sangat sederhana pemeriksaan
darah tepi dengan mikroskop merupakan gold standard dan menjadi pemeriksaan
terpenting yang tidak boleh dilupakan. Interpretasi yang didapat dari hasil
pemeriksaan darah tepi adalah jenis dan kepadatan parasit (Guerin, 2002).
Deteksi antigen digunakan apabila tidak tersedia mikroskop untuk memeriksa
preparat darah tepi atau pada daerah yang sulit dijangkau dan keadaan darurat
yang perlu diagnosis segera. Teknik yang digunakan untuk deteksi antigen adalah
immunokromatografi dengan kertas dipstick yang dikenal dengan Rapid
Diagnostic Test (RDT). Alat ini dapat mendeteksi antigen dari P. falciparum dan
non falciparum terutama P. vivax (Tjitra, 2005).
16
2.1.7. Pengobatan Malaria
Pengobatan malaria menggunakan artemisinin based combination therapy (ACT)
yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti malaria lainnya
(Depkes,2008)
Tabel 2.3. Pengobatan lini 1 untuk falciparum dan vivax menurut kelompok umur
Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
Dosis Tunggal 0-1 bulan 2-11 bulan 1-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun > 15 tahun
Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
H1 Amodiaquin ¼ ½ 1 2 3 4
Fal. Primaquin - - ¾ 1½ 2 3
H2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiaquin ¼ ½ 1 2 3 4
H3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiaquin ¼ ½ 1 2 3 4
H1-14 Vivax. Primaquin - - ½ ½ ¾ 1
Atau pengobatan dengan Dihydroartemisinin + Piperaquin (DHP)
H1 DHP ¼ ½ 1 1½ 3 4
Fal. Primaquin ¼ ½ ¾ 1½ 2 3
H2-3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 4
H1-14 Vivax. Primaquin - - ½ ½ ¾ 1
Amodiaquin basa = 10mg/kgbb dan artesunat = 4 mg/kgbb
Primaquin = 0,75 mg/kgbb
Dihydroartemisisnin= 2- 4 mg/kgbb, Peperaquin = 26-32 mg/kgbb
17
Tabel 2.4 Pengobatan lini 2 untuk p.falciparum dan p.vivax
Hari Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
Species
0-1
bulan
2-11
bulan
1-4
tahun
5-9
tahun
10-14
tahun
> 15 tahun
1
Kina
Falciparum
*) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)
Doksisiklin - - - - 2x1**) 2x1***)
Primaquin - - ¾ 1½ 2 3
H2- 7
Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)
Doksisiklin - - - - 2x1**) 2x1***)
ATAU
1
Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)
Tetrasiklin - - - - *) 4x1**)
Primaquin - - ¾ 1½ 2 3
H2- 7
Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x (2-3)
Tetrasiklin - - - - *) 4x1**)
Vivax
H1-7 Kina *) *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x3
H1-14 Primaquin - - ¼ ½ ¾ 1
Keterangan :
*) dosis diberikan kg/bb
**) 2x50 mg doksisiklin
***) 2x100mg doksisiklin
**) 4x250 mg/bb tetrasiklin
18
Tabel 2.5 Pengobatan malaria pada pasien defisiensi G6PD
Lama
minggu
Jenis Obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
0-1
bulan
2-11
bulan
1-4
tahun
5-9
tahun
10-14
tahun
> 15 tahun
8 s/d 12 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 3-4
8 s/d 12 Amodiaquin ¼ ½ 2 3 4 4-4
Pengobatan untuk p.malariae cukup diberikan ACT (artemisinin combination
therapy) satu kali perhari selama tiga hari, dengan dosis sama pengobatan malaria
lainnya. Sedangkan pengobatan untuk p.ovale sama seperti pengobatan pada
p.vivax. Pengobatan untuk mix species (p. falciparum + p.vivax) diberikan ACT
selama tiga hari serta pemberian primaquin pada hari satu dengan dosis 0,75/kgbb
dilanjutkan pada hari 2-14 primaquin dengan dosis 0,25 mg/kgbb. Pengobatan
kasus malaria vivax relaps sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis
primaquin ditingkatkan, primaquin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5
mg/kgbb/hari.
Pemberian dosis obat malaria perlu diperhatikan dengan ketat terutama pada ibu
hamil, anak-anak dan balita, karena efek samping obat anti malaria yang keras.
a. Artesunate +Amodiaquin, dapat menimbulkan efek samping seperti: mual,
muntah, sakit perut, diare, gatal-gatal, sakit kepala, demam dan perdarahan
abnormal, hematuria. Namun obat ini tidak menunjukkan efek samping yang
19
berat sehingga dapat diberikan pada ibu hamil trimester dua dan tiga, anak-
anak dan balita
b. Primaquin, efek sampingnya: anorexia, mual, muntah, sakit perut dan kram,
kejang-kejang/ gangguan kesadaran, gangguan system hemopoitik. Karena efek
samping obat yang keras pemberian primaquin tidak dianjurkan pada: wanita
hamil dan anak-anak dibawah satu tahun (<1 tahun), penderita defisiensi
G6PD, penderita rheumatoid artritis dan lupus eritematosus
c. Kina, merupakan obat malaria tertua yang masih efektif terhadap parasit
malaria dan merupakan pilihan utama untuk malaria berat. Efek samping kina:
tinitus/ telinga berdenging, gangguan pendengaran dan vertigo. Kina aman
untuk wanita hamil, bayi dan anak-anak
d. Doksisiklin, merupakan pilihan terapi ke dua mempunyai efek samping: iritasi
saluran pencernaan, reaksi fototoksik, depresi sum-sum tulang yang reversible,
perubahan warna gigi dan hypoplasia. Tidak dianjurkan pada wanita hamil dan
menyusui, dan anak dibawah 10 tahun.
e. Tetrasiklin, merupakan pilihan terapi ke dua mempunyai efek samping:
gangguan pada saluran pencernaan, perubahan warna gigi dan displasia enamel
yang permanen pada anak, reaksi fototoksik, pemakaian lama akan
menimbulkan flora usus, dan pertumbuhan jamur candida. Tidak dianjurkan
pada wanita hamil dan menyusui, dan anak dibawah 10 tahun.
20
2.1.8. Follow Up (Pemeriksaan Ulang Darah Tepi)
Sifat parasit malaria yang cenderung hipnozoit diperlukan kontrol ulang yang
ketat untuk memastikan perkembangan parasit setelah pengobatan. Follow up
merupakan salah satu tahap pengobatan untuk memantau perkembangan parasit
dan efektifitas obat anti malaria. WHO (2003) menetapkan standar follow up
untuk setiap penderita yang didiagnosa malaria untuk melakukan follow up pada
hari ke tiga, hari tujuh, hari 14, dan hari ke 28 atau tiga bulan setelah pengobatan.
(Depkes,2008). Namun Dinas Kesehatan Sumba Barat menatapkan untuk follow
up sebanyak tiga kali yaitu: hari ke tiga, hari ke tujuh dan hari ke 14, dengan
berbagai pertimbangan banyak hal. Mengacu pada peraturan Dinas Kesehatan ,
Klinik Malaria Sumba Foundation menetapkan untuk follow up sebanyak tiga
kali yaitu: hari ke tiga, hari ke tujuh dan hari ke 14 (Dinkes Sumba Barat, 2008)
Relaps atau kambuh adalah adanya serangan ulang dari suatu penyakit setelah
serangan pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga digunakan untuk penyakit
malaria, namun sedikit lebih spesifik. Relaps pada penyakit malaria dapat bersifat
rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah
(daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu delapan minggu
setelah serangan pertama hilang. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang
timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk
dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24
minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).
21
1. Mekanisme Terjadinya Malaria Relaps
Mekanisme terjadinya relaps pada penyakit malaria sebagai berikut:
a. Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke
dalam peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di hati
(hipnosoit) tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian
sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu (beberapa bulan
hingga lima tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni
eksoeritrosit sekunder. Proses ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka
panjang (long term relaps) atau rekurens (recurrence) (Harijanto, 2010).
b. Perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase
eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama
berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala
berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi
stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term
relapse). Malaria falsifarum dan rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu
28 hari dari serangan awal dan ini mungkin menunjukkan adanya suatu
resistensi terhadap chloroquine. Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai
pada P.malariae yang disebabkan oleh stadium eritrositik yang menetap
dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan (Harijanto, 2010).
2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps
Timbulnya relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan dengan
keadaan berikut:
22
a) Tidak efektifnya respon imun dari penderita
Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun dari
hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat
infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan
rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi
tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang
imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh
P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).
b) Pengobatan yang tidak sempurna
Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses
skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Merasa sudah sehat
penderita tidak melakukan follow up dan berhenti minum obat sebelum seluruh
dosis obat habis. Kebiasaan lain adalah penderita berbagi obat dengan penderita
lain sehingga dosis yang diharapkan tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps
jangka pendek. Pada kasus p.vivax dan P.ovale dapat terjadi pengaktifan kembali
dari hipnozoit di hati dan menyebabkan relaps jangka panjang
(http//www.malariasite.com, 22 November 2008).
c) Reinfeksi atau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang,
Penyebab paling sering terutama di daerah endemis adalah adanya reinfeksi atau
infeksi ulang yang terjadi segera setelah penderita menyelesaikan pengobatannya.
Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila
lingkungan penderita mendukung berkembangnya vektor malaria sehingga
penderita selalu terpapar dengan gigitan nyamuk yang infektif
23
3. Dampak Malaria Relaps Terhadap Pembangunan Kesehatan
Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk diatasi dan diperkirakan akan
menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan kesehatan, oleh karena
kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan menyebabkan kelemahan
fisik bagi penderitanya. Kerugian semakin terasa bila kelompok usia produktif
yang terkena, mengingat mereka adalah tenaga pembangunan utama ( Sahli, 2004)
Kerugian jangka pendeknya mudah diperhitungkan dengan hilangnya hari
produktif dari seseorang yang menderita malaria. Seorang pekerja yang terkena
malaria paling tidak akan kehilangan hari kerja tiga sampai lima hari. Nilai hari
produktif diubah dengan hitungan kerugian dalam bentuk uang, maka seorang
yang biasanya memperoleh penghasilan Rp.20.000 perhari. Penderita malaria
akan kehilangan peluang mendapatkan uang sejumlah Rp.60.000 sampai
Rp.100.000. Perhitungan dengan biaya pengobatan dan jumlah serangan ulang
yang mungkin terjadi, tentunya akan bertambah besar lagi economic loss
penderita tadi (Sahli, 2004). Kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat
malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) di beberapa Kabupaten/Kota. Pada dimensi jangka panjangnya, ternyata
akibat malaria tidak kalah hebat. Ia akan menyebabkan gangguan kesehatan ibu
dan anak, intelegensia dan produktivitas angkatan kerja (Achmadi, 2005).
4. Pencegahan
Pencegahan merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam
penanggulangan malaria. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya relaps adalah
dengan mencegah infeksi awal terutama bila berada di daerah endemis malaria.
24
Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan profilaksis bagi mereka
yang akan berkunjung ke daerah malaria (Barnas, 2003).
Selanjutnya pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang perlu
dilakukan adalah mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan
nyamuk. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk
memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam
hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan
kelambu saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent)
saat tidur atau keluar rumah di malam hari (Susana, 2011).
Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada
rumah yang tidak dipasang kawat kasa lima kali lebih besar dibandingkan dengan
rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak
menggunakan repellent malam hari kemungkinan risiko dua-tiga kali lebih besar
dibandingkan masyarakat dengan kebiasaan menggunakan repellent malam hari.
Pengobatan yang adekuat pada penderita malaria diberikan obat anti malaria yang
sesuai dengan dosis dan aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan
primaquin. Pengobatan radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada
dalam tubuh manusia dan bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan
parasitologik serta memutuskan rantai penularan (Depkes, 2006).
Pemberian primaquin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat
menghancurkan bentuk hipnozoit dan untuk sterilisasi gametocyt P.falciparum
25
diberikan primaquin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk
menyelesaikan pengobatan secara lengkap dengan melakukan follow up
(pemerikasaan ulang darah tepi) pada hari ke tiga, hari ke tujuh dan hari ke 14
(Buletin malaria, 2011).
2.1.9. Resistensi
Resistensi terhadap obat anti malaria didefinisikan sebagai kemampuan parasit
untuk bertahan hidup dan/atau berkembang biak pada pemeberian dosis setara
atau lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan, tetapi masih dalam batas
toleransi dari pasien (Harijanto, 2012).
Menurut Aditama (2014) ada enam faktor penyebab resistensi obat malaria dan
pencegahanya :
1. Vektor nyamuk: mutasi genetik, imunitas, pengendalian vektor
2. Plasmodium: mutasi genetik, resistensi alamiah, cross resistance
3. Obat: kualitas obat, efikasi
4. Provider: kepatuhan standar pengobatan, (dosis obat), monitoring dan
pengawasan pengobatan.
5. Pasien: imunitas, kepatuhan dan tuntas terhadap pengobatan
6. sistem manajemen: ketersediaan obat, akses layanan.
Terjadinya resistensi terhadap obat anti malaria dapat dicegah/diatasi dengan
melakukan program yg tepat, yaitu: dengan pemberikan kelambu berinsektisida,
indoor residual spray, obat ACT yang dikontrol baik (tersedia garatis),
penanggulangan nyamuk lainnya (ikan, larvasida, dll), kepatuhan pasien terhadap
follow up untuk pengobatan tuntas.
26
2.2. Konsep Pengetahuan
2.2.1 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan pedoman dalam
membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat terbentuk melalui
pengindraan terjadi melalui panca indera manusia dan sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui indera penglihatan dan pendengaran
(Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa
perilaku yang didasari oleh pemgetahuan dan sikap yang positif lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan dan sikap yang positif
(Maulana, 2009).
2.2.2 Tingkat Pengetahuan dan Domain Kognitif
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo (2010)
mempunyai enam tingkat berikut:
1. Tahu (know): mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2. Memahami (Comprehension): kemampuan menjelaskan secara benar tentang
obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan secara benar
3. Aplikasi (Application): kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajaripada situasi atau kondisi riil
4. Analisis (Analysis): kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
tersebut
27
5. Sintesis (Synthesis): kemampuan untuk meletakkan ataumenghubungkan
bagian-bagiandi dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
6. Evaluasi (evaluation): kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau obyek.
2.2.3 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang
makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Melalui pendidikan
tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari
orang lain maupun dari media massa (Notoatmodjo, 2003).
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang
didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan
dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula
(Notoatmodjo, 2003)
2. Media masa/ informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat
memberikan pengaruh jangka pendek, sehingga menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi menghasilkan tersedianya
28
bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan
masyarakat (Notoatmodjo, 2010).
3. Ekonomi
Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang
diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan
mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
4. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan
fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses
masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.
Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan
direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu (Notoatmodjo, 2010).
5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang
diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu (Notoatmodjo,
2010).
6. Usia
Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya,
sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Semakin tua
semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak
hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003).
29
7. Sosial Budaya
Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang
memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena
hubungan ini seeorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu
pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
2.2.4 Pengukuran pengetahuan
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan sebagai parameter keadaan sosial dapat sangat menentukan
kesehatan masyarakat. Pengetahuan digolongkan menjadi 3 kategori yaitu baik,
sedang dan kurang. Dikatakan baik (> 75%), cukup (60-75%), dan kurang (<60%)
(Nursalam, 2008).
2.3 Konsep Persepsi
2.3.1 Pengertian persepsi
Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan
kadang kita tidak sadari, dimana kita dapat mengenali stimulus yang kita terima,
persepsi yang kita miliki ini dapat mempengaruhi tindakan kita
(Notoatmodjo,2010). Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda
antara daerah yang satu dengan yang lain, karena persepsi masyarakat mengenai
penyakit juga bergantung dari budaya yang ada dan berkembang dalam
masyarakat tersebut. Perbedaan masyarakat dalam mempersepsikan, kerentanan,
30
keseriusan, dan ancaman terkena malaria ada hubungannya dengan upaya
pencegahan dan pengobatan malaria (Harijanto, 2010).
Health Promotion Model dikembangkan untuk menganalisis terhadap berbagai
faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perilaku kesehatan
dalam hal ini perilaku dalam pemeriksaan ulang darah tepi atau follow up malaria.
Menurut Pender (2001) perilaku kesehatan seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu:
1. Karakteristik individu
Dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: personal biological, psychological dan socio-
cultural. Hai ini akan mempengaruhi individu untuk merubah perilaku dalam
rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.
2. Kognisi dan afek spesifik perilaku
Merupakan inti utama intervensi karena dapat dimodifikasi melalui intervensi
keperawatan. Kognisis spesifik perilaku dapat berupa :
a. Persepsi manfaat tindakan
Manfaat atau hasil yang diharapkan mempengaruhi rencana sesorang untuk
ikut dalam perilaku promosi kesehatan. Pengalaman positif sebelumnya
dengan perilaku atau pengamatan terhadap orang lain yang terlibat dalam
perilaku merupakan faktor motivasi. Diharapkan penderita mengetahui dan
tahu manfaat follow up yaitu:
1. Mencegah relaps malaria
2. Mencegah resistensi obat anti malaria
3. Mencegah penularan penyakit pada orang lain
31
b. Persepsi yang menghambat.
Persepsi sesorang mengenai waktu yang tersedia, ketidaknyamanan, biaya dan
kesulitan melakukan tindakan dapat dianggap sebagai kendala.
Persepsi yang menghambat penderita untuk follow up yaitu:
1. Waktu follow up yang lama
2. Tindakan pengambilan darah secarah berulang-ulang
3. Biaya yang mahal dalam hal ini biaya tranportasi
c. Persepsi kepercayaan diri
Keyakinan atau kepercayaan diri bahwa sesorang dapat berhasil melaksanakan
perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Dengan
melakukakan follow up individu yakin tidak terserang malaria lagi
d. Afek terkait tindakan
Perasaan subyektif yang terjadi sebelum, selama dan setelah aktifitas dapat
mempengaruhi apakah seseorang akan mengulangi perilaku tersebut kembali
atau mempertahankan perilaku tersebut. Perasaan subyektif terhadap follow up
yaitu perasaan selama mengikuti follow up yang mencakup:
1. Waktu pemeriksaan darah yang lama
2. Cara pengambilan darah oleh petugas laboratorium
3. Keyakinan terhadap hasil pemeriksaan laboratorium
e. Pengaruh interpersonal
Pengaruh interpersonal merupakan persepsi seseorang tentang perilaku,
keyakinan atau sikap orang lain. Keluarga, teman sebaya dan professional
kesehatan merupakan sumber pengaruh interpersonal yang dapat
32
mempengaruhi perilaku kesehatan sesorang. Tokoh masyarakat atau tokoh
agama merupakan orang yang mampu memberikan pengaruh besar sehingga
mengubah perilaku penderita untuk melakukukan follow up
f. Pengaruh situasi
Merupakan pengaruh langsung dan tidak langsung pada perilaku kesehatan dan
mencakup persepsi terhadap pilihan yang tersedia, karateristik kebutuhan, dan
gambaran estetika lingkungan. Ketersediaan akses layanan kesehatan untuk
follow up, jarak ke tempat follow up, suasana lingkungan follow up yang
nyaman merupakan faktor-faktor situasi yang dapat mempengaruhi penderita
untuk melakukan follow up
3. Komitmen terhadap rencana tindakan
Komitmen terhadap rencana tindakan mencakup dua proses: komitmen dan
identifikasi strategi khusus untuk melaksanakan dan menguatkan perilaku.
Ketiga faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman berhubungan
dengan sarana & petugas kesehatan (Kozier, 2010).
Kesiapan individu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang
kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil
kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan adanya kepercayaan bahwa
perubahan perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi
perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik
individu, penilaian individu terhadap perubahan yang ditawarkan, interaksi
dengan petugas kesehatan yang merekomen-dasikan perubahan perilaku, dan
33
pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa. Perilaku kesehatan
merupakan fungsi dari pengetahuan dan sikap. Secara khusus bahwa persepsi
sesorang tentang kerentanan dan kemujaraban pengobatan dapat mempengaruhi
keputusan seseorang dalam perilaku kesehatannya
2.3.5 Pengukuran Persepsi
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang
atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi sub variabel, kemudian subvariabel dijabarkan menjadi
komponen-komponen yang dapat terukur (indikator). Indikator ini kemudian
dijadikan titik tolak untuk menyusun item instrument yang dapat berupa
pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden
(Sugiyono, 2012). Skor ditentukan dengan skala likert 0-3, Untuk pernyataan
positif diberikan nilai 0 untuk tidak setuju, 1 untuk kurang setuju, 2 untuk setuju
dan 3 untuk sangat setuju. Pernyataan negatif, diberikan nilai 0 untuk sangat
setuju, 1 untuk setuju, 2 untuk kurang setuju, dan 3 untuk tidak setuju. Jumlah
skor yang diperoleh dibandingkan skor maksimal dikalikan 100.
2.4 Konsep Kepatuhan
Berbicara tentang kepatuhan artinya kita akan berbicara atau membahas tentang
tindakan dimanakan tindakan itu sendiri merupakan wujud dari perilaku. Oleh
karena itu dalam konsep kepatuhan penelitian ini akan membahas tentang
perilaku.
34
2.4.1 Pengertian Kepatuhan
Patuh adalah taat pada perintah atau aturan, disiplin (Kamus Bahasa Indonesia,
2014). Berikut pendapat para ahli mengenai kepatuhan yang diuraikan oleh
Suparyanto (2010), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau
yang lain.
Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan
kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan
patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai
dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan
oleh petugas (Suparyanto, 2010).
2.4.2 Faktor - faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat
berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan
kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:
1. Pemahaman tentang instruksi
Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang
diberikan padanya. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional
kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis
dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh penderita (Suparyanto,
2010).
35
2. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara
mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu. Semakin tua umur seseorang maka
proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur–umur
tertentu. Bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika
berusia belasan tahun, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya
pada umur–umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau
mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan
adanya tingkat pendidikan yang rendah (Suparyanto, 2010).
3. Kesakitan dan pengobatan
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat
buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup
dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek
samping, perilaku yang tidak pantas (Suparyanto, 2010).
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal, Orang yang tidak
patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas, sangat memperhatikan
kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan memiliki kehidupan
social yang lebih, memusatkan perhatian kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego
yang lebih ditandai dengan kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya.
36
Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidak patuhan
(Suparyanto, 2010).
5. Dukungan Keluarga
Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program
pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga yang sakit. Derajat
dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang lain, isolasi sosial, secara
negatif berhubungan dengan kepatuhan (Suparyanto, 2010).
6. Tingkat ekonomi
Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita sudah pensiun dan tidak
bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk
membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu
tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidak patuhan dan
sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidak patuhan (Suparyanto, 2010).
7. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman,
waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan contoh yang
sederhana, jika tidak ada transportasi dan biaya dapat mengurangi kepatuhan
penderita. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang
disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada
ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk
37
mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya efektif di negara seperti
Indonesia yang memeliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan negara-
negara barat (Suparyanto, 2010).
8. Perilaku sehat
Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu
dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku tetapi
juga dapat mempertahankan perubahan tersebut. Sikap pengontrolan diri
membutuhkan pemantauan terhadap diri sendiri, evaluasi diri dan penghargaan
terhadap diri sendiri terhadap perilaku yang baru tersebut (Dinicola & Dimatte
1984, Suparyanto, 2010).
9. Dukungan profesi keperawatan (kesehatan)
Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi
perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat
penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan
hal yang penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku penderita
dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari
penderita, dan secara terus menerus memberikan yang positif bagi penderita yang
telah mampu beradabtasi dengan program pengobatanya (Suparyanto, 2010).
2.4.3 Pengukuran Kepatuhan
Pengukuran kepatuhan berdasarkan data klinik (data sekunder) sesuai standar
pengobatan berdasarkan pedoman penatalaksanaan malaria. Berdasarkan protap
yang berlaku di klinik malaria pemeriksaan darah tepi dilakukan sebanyak 3 kali
yaitu : hari ke tiga , hari ke tujuh dan hari ke 14 post terapi. Dikatakan patuh jika
38
melakukan pemeriksaan sebanyak tiga kali dan tidak patuh jika pemeriksaan
dibawah 3 kali.
2.5 Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon/reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, bersikap)
maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 2004).
Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat di rumuskan sebagai bentuk
pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang
menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Perilaku aktif dapat
dilihat, sedangkan perilaku pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau
motivasi. Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga
domain yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan
istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).
2.5.1. Proses perubahan sikap dan perilaku
Perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan,
identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi
anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut
dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau
untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap
39
ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini
bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada
pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang,
perilaku itupun ditinggalkan (Suparyanto, 2010).
Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter,
melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu
tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok
sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas
kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah
dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah
menjadi perilakunya sendiri (Suparyanto, 2010).
Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang
pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda,
yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau
tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).
Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi
petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau
diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan
tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah
perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan,
namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu
belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam
40
hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia
merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut (Suparyanto, 2010).
Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut
terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap
bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari
hidupnya. Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan
seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat
individu memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat
mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri
(Suparyanto, 2010).
2.5.2 Bentuk Perilaku
Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara
garis besar bentuk perilaku menurut Notoatmodjo (2010) ada dua macam, yaitu:
1. Perilaku Pasif (respons internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat
diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang
nyata.
2. Perilaku Aktif (respons eksternal)
Perilaku yang sifatnya terbuka, perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati
langsung, berupa tindakan yang nyata.
41
2.5.3. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
lingkungan. Respons atau reaksi organisme dapat berbentuk pasif (respons yang
masih tertutup) dan aktif (respons terbuka, tindakan yang nyata atau
practice/psychomotor) (Notoatmodjo, 2010).
Rangsangan yang terkait dengan perilaku kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan
(Notoatmodjo, 2003).
2.5.4. Perilaku Terhadap Sehat dan Sakit
Perilaku tentang bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan penyakit yang
bersifat respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun eksternal (dari luar
dirinya), baik respons pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun aktif
(praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit dan penyakit. Perilaku
seseorang terhadap sakit dan penyakit sesuai dengan tingkatan-tingkatan
pemberian pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan
pencegahan penyakit, yaitu perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan
(health promotion behavior), perilaku pencegahan penyakit (health prevention
behavior), perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior), dan perilaku
pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior).
42
2.5.5. Perilaku Terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
Perilaku ini adalah respons individu terhadap sistem pelayanan kesehatan,
meliputi respon terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, respon terhadap cara
pelayanan kesehatan, respon terhadap petugas kesehatan, dan respon terhadap
pemberian obat-obatan. Respon-respon tersebut terwujud dalam pengetahuan,
persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas maupun penggunaan obat-
obatan (Notoatmodjo, 2010).
2.5.6. Perilaku Terhadap Lingkungan Kesehatan (Environmental behaviour)
Perilaku ini adalah respons individu terhadap lingkungan sebagai determinant
(faktor penentu) kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini sesuai lingkungan
kesehatan lingkungan menurut Notoatmodjo (2010), yaitu:
1. Perilaku terhadap air bersih, meliputi manfaat dan penggunaan air bersih
untuk kepentingan kesehatan
2. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor atau kotoran. Disini
menyangkut pula hygiene, pemeliharaan, teknik dan penggunaannya
3. Perilaku sehubungan dengan pembuangan limbah, baik limbah cair maupun
padat. Dalam hal ini termasuk sistem pembuangan sampah dan air limbah
yang sehat dan dampak pembuangan limbah yang tidak baik
4. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat. Rumah sehat menyangkut
ventilasi, pencahayaan, lantai, dan sebagainya
5. Perilaku terhadap pembersihan sarang-sarang vektor.
43
2.5.7. Perilaku Pencegahan Penyakit
Perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik
individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kpribadian dan
sikap yang saling berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam
menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam
menentukan perilaku, bahkan kadang – kadang kekuatannya lebih besar dari pada
karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih
kompleks (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Azwar (2007) mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat
suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya
terbatas hanya pada tiga hal yaitu:
1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang
spesifik terhadap sesuatu
2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma – norma
subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang
lain inginkan agar kita perbuat
3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma–norma subjektif membentuk
suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.
2.5.8. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010), faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku, antara lain:
44
1. Faktor predisposisi (predisposing faktor), yang terwujud dalam pendidikan,
umur, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya sarana-sarana kesehatan dengan fasilitas yang
lengkap, misalnya puskesmas, klinik malaria, Laboratorium, obat-obatan, alat-
alat steril dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing faktor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau tokoh masyarakat setempat, yang merupakan
kelompok referensi sebagai role model dari perilaku masyarakat serta adanya
dukungan dari orang-orang terdekat individu bersangkutan, misalnya support
dari keluarga.
2.5.9 Perilaku dalam Pengendalian Malaria
Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada
kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku
sehat. Mantra (1997), membedakan perilaku individu atas 3 jenis, yaitu perilaku
ideal (ideal behaviour), perilaku sekarang (current behaviour) dan perilaku yang
diharapkan (expected behaviour).
Bentuk perilaku ideal Notoatmodjo (2010) yang berkaitan dengan kejadian
malaria pada individu atau keluarga disuatu daerah endemis antara lain perilaku
ideal yang berkaitan dengan pencegahan malaria adalah:
1. Malam hari berada di dalam rumah dan bila keluar rumah selalu memakai obat
anti nyamuk oles (repellent) atau mengenakan pakaian yang tertutup
2. Menggunakan obat anti nyamuk atau kelambu waktu tidur malam hari
45
3. Tidak menggantungkan pakaian bekas di dalam kamar/rumah
4. Mengupayakan keadaan dalam rumah tidak gelap dan lembab dengan
memasang genting kaca dan membuka jendela pada siang hari
5. Memasang kawat kasa di semua lubang/ventilasi dan jendela untuk mencegah
nyamuk masuk ke dalam rumah
6. Membuang air limbah di saluran air limbah agar tidak menyebabkan genangan
air yang menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk
7. Melestarikan hutan bakau di rawa-rawa sepanjang pantai
8. Menjauhkan kandang ternak dari rumah/tempat tinggal
9. Membunuh jentik nyamuk dengan menebarkan ikan pemakan jentik (kepala
timah, gupi, mujair) pada mata air, saluran irigasi tersier, sawah, anak sungai
yang dangkal, rawa-rawa pantai dan tambak ikan yang tidak terpelihara
10. Merawat tambak-tambak ikan dan membersihkan lumut yang ada di
permukaan secara teratur.
Perilaku ideal berkaitan dengan pengobatan malaria antara lain:
1. Segera ke tempat pelayanan kesehatan bila demam
2. Bersedia diperiksa sediaan darah
3. Minum obat sesuai anjuran petugas kesehatan
4. Kembali kepelayanan kesehatan untuk follow up untuk memastikan bahwa
tubuh bebas dari parasit malaria
46
Perilaku sekarang adalah perilaku yang dilakukan saat ini yang dapat
diidentifikasi melalui observasi langsung atau wawancara baik langsung atau
tidak langsung. Perilaku ini bisa sesuai atau bertentangan dengan perilaku ideal
atau perilaku yang diharapkan (Daulay, 2006).
Top Related