4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Definisi kulit
Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia baik dari segi luas
permukaan dan juga beratnya. Pada orang dewasa, kulit menutupi area tubuh
sekitar 2 m2 dan mempunyai berat 4,5-5 kg, sekitar 7% total berat badan (Tortora
dan Derrickson, 2012).
2.1.1.1 Epidermis
Epidermis merupakan lapisan tanduk terletak paling luar, dan terdiri dari :
1. Stratum korneum yaitu sel tipis, datar, seperti sisik dan terus-menerus
dilepaskan.
2. Stratum lusidum yaitu selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada intinya.
3. Stratum granulosom yaitu selapis sel yang jelas tampak berisi inti dan
granulosom.
4. Zona germinalis yaitu terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua
lapisan epitel yang berbentuk tegas.
5. Sel berduri yaitu sel dengan fibril halus yang menyambung sel yang satu
dengan yang lainnya didalam lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan
berduri.
6. Sel basal yaitu sel ini terus-menerus memproduksi sel epidermis baru. Sel ini
disusun dengan teratur, berderet dengan rapat membentuk lapisan pertama
atau lapisan dua sel pertama dari sel basal yang duduk diatas papila dermis.
2.1.1.2 Dermis
Dermis merupakan jaringan ikat padat dari mesoderm, memiliki ketebalan 1-
4mm dibawah epidermis. Lapisan dermis terdiri dari fibroblas, makrofag, mast
sel, dan limfosit untuk penyembuhan luka. Lapisan dermis tebagi menjadi dua
bagian diantaranya papila dan retikular. Kandungan lapisan papila terdiri dari
kolagen, kelenjar keringaat, pembuluh darah, dan elastin yang berkaitan langsung
dengan epidermis. Sedangkan retikular, memiliki kandungan sel-sel pibrosa,
4
5
pembuluh darah, sel histiosit, saraf, pembuluh getah bening, serta jaringan ikat
yang lebih tebal ( Tarwoto 2009).
2.1.1.3 Subkutan
Subkutan merupakan lapisan khusus dari jaringan konektive atau disebut
lapisan adiposa karena mengandung lemak. Fungsi dari jaringan subkutaneus
adalah untuk menyimpan lemak, pencegahan trauma dan pengaturan suhu (Ratna
2009). Jaringan subkutan lemak terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel
lemak yang berfungsi sebagai cadangan makanan juga sebagai pemberi
perlindungan terhadap dingin. Kulit mempunyai organ-organ pelengkap yaitu
kelenjar lemak, kelenjar keringat, kelenjar bau, rambut dan kuku (Djuanda, et al.,
1999).
2.1.2 Bagian-bagian Kulit
2.1.2.1 Kelenjar keringat
kulit memiliki sebagian kelenjar keringat, namun tidak terdapat pada kulit
kuku , glans penis, batas bibir, serta gendang telinga, akan tetapi banyak terdapat
di telapak tangan serta telapak kaki. Kelenjar ini terdiri dari 2 diantaranya kelenjar
keringat apokrin dan ekrin. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat yang khusus
serta aktif ketika mulai pubertas. Biasanya terdapat diarea khusus seperti aksila
aerola payudara, anogenital. Kelenjar ini menghasilkan cairan tidak berbau akan
tetapi ketika berinteraksi atau berhubungan akan menghasilkan bau yang tidak
enak (Susanto dan Ari,2013).
2.1.2.2 Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea memproduksi sebum yang merupakan gabungan dari zat
lili, minyak, lemak, serta pecahan sel yang berfungsi sebagai pelembut kulit, dan
bakterisid. Kelenjar ini terdapat pada folikel rambut di area labium penis, kelenjar
pada kelopak mata, serta area glans penis (Evelyn, 2010).
2.1.2.3 Kelenjar mamae
Kelenjarini adalah apokrin yang termodifikasi, khususnya menghasilkan
susu. Peran kelenjar mamae berfungsi dalam menyusui.
6
2.1.3 Fungsi kulit
adalah penting dalam perlindungan terhadap ancaman dari luar tubuh,
homeostatis, sensasi, pengaturan suhu, keseimbangan cairan, produksi vitamin D,
respons imun dan fungsi komunikasi.
2.1.3.1 Fungsi proteksi
Kulit berfungsi sebagai pelapis organ tubuh bagian luar tubuh sehingga
sangat efektif melindungi bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau
mekanik (tarikan, gesekan dan tekanan), gangguan kimia (zat-zat kimia yang
iritan) dan gangguan bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet) dan gangguan
infeksi luar (Gibson, 2002).
2.1.3.2 Sensasi
reseptor- reseptor kulit akan menerima stimulus yang diterima dari luar.
reseptor dikulit selalu memantau kondisi lingkungan. Fungsi reseptor ialah untuk
mendeteksi tekanan, nyeri, sensasi suhu, raba, serta tekanan yang dihantarkan
kesaraf pusat.
2.1.3.3 Homeostasis dan keseimbangan cairan
Kemampuan dari Stratum korneum yang berfungsi sebagai pengabsorbsi air,
mencegah pengeluaran air serta elektrolit tubuh.
2.1.3.4 Produksi vitamin D
Vitamin D akan disentesis dalam kulit ketika kulit terena sinar Matahari atau
sinar Ultraviolet. Vitamin ini berperan penting dalam perkembangan tulang serta
pertumbuhan.
2.2 Tinjauan Tentang Luka Bakar
2.2.1 Definisi luka bakar
Luka bakar merupakan respons kulit dan jaringan subkutan terhadadp trauma
suhu/termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang
tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Biasanya
dapat pulih dengan penanganan konservatif. Luka bakar dengan ketebalan penuh
merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan bias
membutuhkan eksisi dan cangkok kulit jika luas (Grace and Borley, 2006).
7
2.2.2 Epidemiologi luka bakar
Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan
perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan bagi kita, karena
sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di Amerika
dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah
kematian sekitar 5-6 ribu kematian/tahun. Di indonesia sampai saat ini belum ada
laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka kematian
yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
pada tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan
angka kematian 37,38%. Di unit Luka bakar RSU Dr. Soetomo surabaya jumlah
kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai Desember 2000)
sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat
yaitu sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 penderita
atau sekitar 26,41% dari seluruh penderita luka bakar yang dirawat, kematian
umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar
yang disertai cedera pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama
perawatan (Noer, 2006).
2.2.3 Etiologi luka bakar
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah:
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn) diantaranya adalah air panas
(mendidih), api, serta terpapar atau kontak langsung dengan objek panas
lainya (Moenadjat, 2005).
2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn) biasanya disebabkan oleh asam
kuat atau alkali yang biasa digunakan dalam bidang industri militer atau
bahan pembersih yang digunakan untuk keperluan rumah tangga (Moenadjat,
2005).
3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn) menyebabkan kerusakan yang
dikarenakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang
bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan pada
pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan
sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik
kontak dengan sumber arus maupun grown (Moenadjat, 2001).
8
4. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury) diakibatkan karena terpapar dengan
sumber radio aktif. Radiasi sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif
untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat
terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar
radiasi (Moenadjat, 2001).
Tabel II.1 Penyebab dan beratnya luka bakar
Penyebab Derajat Kedalaman
Api Berat Dalam
Tersiram air panas Sedang Superficial dan/ dalam
Petir Terbatas pada bagian
yang terkena
Superficial
Listrik Terbatas sampai berat Dalam
Kimia Terbatas Dalam
Sumber : Thomas and William Nealon, 1996
2.2.4 Patofisiologi
Respon lokal
Segera setelah kontak permukaan kulit dengan sumber panas, terjadi nekrosis
kulit yang terkena. Menurut Jackson, ada tiga zona konsekutif pada luka bakar
yaitu: koagulasi, stasis, dan hiperemis. Zona koagulasi menggambarkan area yang
terkena kontak erat dengan sumber panas. Sel pada area ini mengalami nekrosis
koagulasi dan tidak membaik. Pada zona ini terjadi kehilangan jaringan yang
ireversibel. Zona stasis adalah area konsentris yang kerusakan jaringannya lebih
sedikit, ditandai dengan penurunan perfusi jaringan. Jaringan pada zona ini
berpotensi untuk diselamatkan. Zona hiperemis adalah zona terluar dimana perfusi
jaringan meningkat. Sel pada area ini mengalami trauma minimal, dan pada
sebagian besar kasus akan membaik dalam 7-10 hari. Panas tidak hanya merusak
kulit secara lokal tetapi memiliki banyak efek umum pada tubuh. Perubahan ini
khusus untuk luka bakar dan umumnya tidak mengalami pada luka yang
disebabkan oleh cedera lainnya (Vartak A, 2010).
9
Ada peningkatan dalam permeabilitas kapiler karena efek panas dan kerusakan.
Hal ini menyebabkan plasma bocor keluar dari kapiler ke interstitial. Hasil dari
peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma berlanjut sampai 48 jam
dan maksimum 8 jam pertama. Dalam 48 jam baik permeabilitas kapiler kembali
menjadi normal atau trombosis dan tidak lebih bagian dari sirkulasi. Hilangnya
plasma ini adalah penyebab syok hipovolemik pada luka bakar.
Berikut ini adalah penyebab dari kehilangan darah pada luka bakar:
1. Sel darah merah yang hilang dalam pembuluh dasar kulit terbakar pada fase
akut. Oleh karena itu, lebih dalam luka bakar lebih banyak kehilangan darah.
Darah akan ditransfusikan setelah 48 jam kecuali dinyatakan seperti pada anemia
yang sudah ada atau kehilangan darah secara keseluruhan karena penyebab
lainnya.
2. Masa hidup sirkulasi sel darah merah berkurang karena dengan efek langsung
dari panas dan mereka hemolyse diawal. Luka bakar yang luas juga menyebabkan
sumsum tulang depresi yang mengarah ke anemia.
3. Pada tahap kronis luka bakar, kehilangan darah dari granulasi luka dan infeksi
bertanggung jawab untuk anemia. Tidak seperti kebanyakan luka lain, luka bakar
biasanya steril pada saat cedera. Panas menjadi agen penyebab, juga membunuh
semua mikroorganisme pada permukaan. Itu hanya setelah minggu pertama luka
bakar yang luka permukaan ini cenderung terinfeksi, sehingga membuat sepsis
sebagai penyebab utama kematian diluka bakar. Di luka lain misalnya, luka gigit,
luka tusuk dan luka lecet yang terkontaminasi pada saat diderita jarang penyebab
sepsis sistemik.
10
Gambar 2.1 Patofisiologi Luka Bakar (Hudak and Gallo, 1997)
2.2.5 Manifestasi luka bakar
1. Berdasarkan kedalaman luka bakar :
a. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering hiperemik,
berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik
teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam waktu 5 -10 hari
(Brunicardi et al., 2005).
11
Gambar 2.2 Luka bakar derajat I
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan
dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula,
pembentukan scar, dan nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi.
Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit
normal (Moenadjat, 2001). Luka bakar derajat II dibagi menjadi dua:
a) Derajat II dangkal (superficial)
Kerusakan yang mengenai bagian superficial dari dermis, apendises kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Luka
sembuh dalam waktu 10-14 hari (Brunicardi et al., 2005).
b) Derajat II dalam (deep dermal)
Hampir seluruh bagian dermis mengalami kerusakan diantaranya kelenjar
keringat, kelenjar sebasea sebagain masih ada, serta folikel rambut. Keruskan
tersebut mengakibatkan penyembuhan lebih lama sekitar lebih dari 1 bulan.
(Brunicardi et al., 2005).
Gambar 2.3 Luka bakar derajat II
12
c. Luka bakar derajat III
Seluruh ketebalan dermis mengalami kerusakan diantaranya kelenjar
keringat, lapisan yang lebih dalam sperti folikel rambut, kelenjar sebasea
yang rusak, kulit berwrna abu –abu, serta tidak ada pelepuhan, dan letak
lebih rendah dari kulit sekitar, dikarenakan koagulasi protein pada lapisan
epidermis dan dermis tidak menimbulkan rasa nyeri, sehingga waktu
penyembuhan lebih lama karen tidak mendapatkan proses epitalisasi
spontan (Moenadjat, 2001).
Gambar 2.4 Luka bakar derajat III
2. Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Luasnya
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal
dengan nama rule of nine atau rule of wallace yaitu:
a. Kepala dan leher : 9%
b. Lengan masing-masing 9% : 18%
c. Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
d. Tungkai maisng-masing 18% : 36%
e. Genetalia / perineum : 1%
Gambar 2.5 Lund and Browder Chart (Potenza et al, 2007)
13
3. Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Berat Ringannya
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor
antara lain :
a. Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
b. Kedalaman luka bakar.
c. Anatomi lokasi luka bakar.
d. Umur klien.
e. Riwayat pengobatan yang lalu.
f. Trauma yang menyertai atau bersamaan.
4. American Burn Association membagi dalam :
a. Luka bakar ringan (minor) :
Tingkat II: kurang dari 15% Total Body Surface Area pada orang
dewasa atau kurang dari 10% Total Body Surface Area pada anak-
anak.
Tingkat III: kurang dari 2% Total Body Surface Area yang tidak
disertai komplikasi.
b. Luka bakar sedang (moderate) :
Tingkat II: 15% – 25% Total Body Surface Area pada orang dewasa
atau kurang dari 10% – 20% Total Body Surface Area pada anak-
anak.
Tingkat III: kurang dari 10% Total Body Surface Area yang tidak
disertai komplikasi.
c. Yang termasuk luka bakar kritis (mayor):
Tingkat II: 32% Total Body Surface Area atau lebih pada orang
dewasa atau lebih dari 20% Total Body Surface Area pada anak-anak..
Tingkat III: 10% atau lebih.
Luka bakar yang melibatkan muka, tangan, mata, telinga, kaki dan
perineum..
Luka bakar pada jalan pernafasan atau adanya komplikasi pernafasan.
Luka bakar sengatan listrik (elektrik).
14
Luka bakar yang disertai dengan masalah yang memperlemah daya
tahan tubuh seperti luka jaringan lunak, fractur, trauma lain atau
masalah kesehatan sebelumnya.
5. American college of surgeon membagi dalam :
1. Parah – critical:
Tingkat II: 30% atau lebih.
Tingkat III: 10% atau lebih.
Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue
yang luas
2. Sedang – moderate:
Tingkat II: 15 – 30%
Tingkat III: 1 – 10%
3. Ringan – minor:
Tingkat II: kurang 15%
Tingkat III: kurang 1%
2.2.6 Komplikasi
1. Sepsis
Kulit berfungsi sebagai barier pertahanan tubuh,dengan adanya kulit yang
hilang maka luka sangat mudah terinfeksi dan terjadi penguapan disertai
pengeluaran protein dan energi sehingga terjadi metabolisme. Jaringan
neroksis yang akan melepas toksin dapat menimbulkan sepsis yang
menyebabkan disfungsi dan kegagalan fungsi organ- organ tubuh seperti
hepar dan paru ( Judha, 2013).
2. Terganggunya suplai darah atau sirkulasi
Pasien luka bakar akan mengalami syok hipovolemik (rendahnya volume
darah) dikarenakan kerusakaan pembuluh darah yang berat. Hal ini
diakibatkan karena lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar.
Pada pasie luka bakar akan menunjukkan tanda antara lain perubahan
status respirasi, turunnya tekanan darah, serta peningkatan frekuensi
jantung (Burninjury, 2013)
15
3. Gagal ginjal akut
Respon renalis, dengan menurunnya volume intravascular maka aliran
plasma ke ginjal juga akan menurun yang berakibat urin keluar. Jika
resusitasi kebutuhan cairan untuk intravascular tidak adekuat atau resusitasi
cairan terlambat diberikan, maka akan mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
(Grace and Borley, 2006).
2.2.7 Penatalaksanaan luka bakar
2.2.7.1 Ekstratomi
Merupakan tindakan dengan melakukan sayatan pada eskar, dimaksudkan
untuk melepaskan eskar yang memiliki konsistensi yang lebih keras dibandingkan
jaringan normal mengingat bahwa eskar tersebut telah membatasi aliran darah (
Moenadjat, 2009; Green dan Rudall, 2010).
2.2.7.2 Penutupan Luka
Luka bakar biasanya ditutup dengan dua atau lebih lapis balutan. Balutan
pertama sebaiknya dapat menyediakan suasana yang baik untuk penyembuhan
luka (lembab, teroksigenasi, dan terlindung dari mikroba). Lapisan kedua
digunakan balutan yang dapat menyerap eksudat luka dan memberikan
perlindungan dari tekanan serta gesekan pada luka (Green dan Rudall, 2010)
2.2.8 Penatalaksanaan terapi luka bakar
2.2.8.1 Resusitasi cairan
Diberikan pada pasien saat pasien mulai mengalami luka bakar serta kondisi
pasien sudah mulai membaiknya permeabilitas kapiler, Biasanya diberikan pada
48-72 jam setelah terjadinya luka bakar. Fungsi diberikannya cairan resusitasi
tersebut untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik, serta memilihara fungsi
dari organ vital.
2.2.8.2 Nutrisi
Pasien luka bakar membutuhkan pemberian nutrisi, indikasi pemberian nutrisi
secara parenteral untuk luka bakar adalah bila terjadi ketidakstabilan
hemodinamik, distensi abdomen , pemakaian vasopresstor serta cairan lambung >
200 cc/ hari.
16
2.2.8.3 Strees ulcer
Luka bakar merupakan salah satu faktor resiko ulcer deudonal (Curling’s
ulcer). Oleh karena itu pasien sebaiknya diberikan proton pump inhibitor seperti
Omeprazole dengan dosis 2x 40 mg secara IV atau antagonis H2 seperti Ranitidin
dosis yang digunakan 2x25 mg IV (Green dan Rudall, 2010)
2.2.8.4 Albumin
Albumin bermanfaat dalam mempercepat penyembuhan jaringan tubuh
misalnya sesudah operasi, luka bakar dan saat sakit. Karena itu, albumin
digunakan untuk mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang terbelah,
misalnya karena operasi, pembedahan, atau luka bakar (Sjamsuhidajat & Jong,
2005). Dosis pada pasien luka bakar diberikan 20 gram perbotol pada setiap
pemberian untuk albumin 20% maksimal pemberian 100 ml perhari, penggunaan
albumin dapat diulang setip 1-2 hari ( McEvoy, 2011)
2.2.7.2 Antibiotik
penderita yang memiliki luka yang berat biasanya diberikan antibiotik yang
berspektrum luas, karena dapat mengalami terjadi sepsis. Apabila tidak dapat
mengurangi terjadi infeksi bisa dikombinnasikan. (Moyet and Jual, 2006).
2.3 Tinjauan nyeri
2.3.1 Pengertian nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), definisi
nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan
jaringan aktual atau potensial dan menggambarkan kondisi kerusakan (WHO,
2012). Nyeri digolongkan kedalam vital ke 5, dapat memberikan perubahan
fisiologi, ekonomi, sosial dan emosional yang berkepanjangan sehingga perlu
dikelola dengan baik (Yudhowibowo, 2011). Nyeri dibagi menjadi 2 tipe yaitu
nyeri nosiceptive dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiceptive muncul ketika cidera
pada jaringan yang akan mengaktifkan reseptor nyeri khusus yang disebut
nociceptors sedangkan nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan struktural dan
disfungsi sel saraf di perifer atau sistem saraf pusat. Berdasarkan durasi nyeri
dapat dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Umumnya nyeri akut
17
berlangsung kurang dari 30 hari dan nyeri kronis berlangsung lebih dari 3 bulan
(WHO, 2012).
2.3.2 Mekanisme Nyeri
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks
yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang dimulai dari proses transduksi,
transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat di perifer
sampai dirasakan nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri) (Gunawan, 2011).
1. Proses Persepsi
Otak menginterprestasi signal, memproses informasi dari pengalaman,
pengetahuan, budaya serta mempersepsikan nyeri kemudian individu
mulai merasakan nyeri (Corwin, 2009).
2. Proses Transduksi
Proses tekanan fisik maupun listrik diubah menjadi suatu aktifitas listrik
yang diterima oleh ujung saraf perifer maupun organ-organ tubuh yang
lain. Kerusakan jaringan akibat trauma baik trauma pembedahan atau
trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin
inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor nonsiseptif dan
dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang
akan menimbulkan sensasi nyeri (Gunawan, 2011).
3. Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses
transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla
spinalis. Selanjutnya impuls di salurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortex cerebri dan dirasakan sebagai presepsi nyeri (Gunawan, 2011).
4. Proses Modulasi
Saat otak mempresepsikan nyeri, tubuh melepaskan neuromodulator,
seperti opioids serotonin, norepinephrine dan gamma aminobutyric acid
untuk menghalangi atau menghambat transmisi nyeri dan membantu
menimbulkan keadaan analgesik dan berefek menghilangkan nyeri
(Corwin, 2009)
18
2.4 Analgesik yang Digunakan Untuk Luka Bakar
Pada luka bakar menyebabkan nyeri sehingga pemberian analgesik
diperlukan. Penggunaan ketorolac pada luka bakar derajat II AB merupakan
analgesik untuk mengatasi nyeri sedang sampai berupa agranulositosis tetapi di
beberapa rumah sakit masih digunakan karena tidak menyebabkan resio
gastrointestinal dibandingkan dengan golongan Non Steroid anti-inflamotory
Drugs (NSAIDs) lainnya (Kinsella and Rae, 2008). Pengobatan rasa nyeri dengan
analgetika tergantung dari jenis nyeri, yaitu untuk nyeri ringan dapat diobati
dengan analgetika tergantung dari jenis nyeri, untuk nyeri ringan dapat diobati
dengan analgetika perifer, seperti asam mefenamat.
2.4.1 Analgetika opioid
Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Opium berasal dari getah tanaman Papaver somniferum yang mengandung
sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebin, dan papaverin.
Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik ( Gunawan,
2011).
2.4.1.1 Morfin
Morfin menghasilkan kisaran efek depresan melalui kinerja sentral pada
reseptor opiat spesifik di dalam SSP dan jaringan perifer. Efeknya terhadap SSP
meliputi analgesia, euforia, dan sedasi, depresi pernapasan;depresi pusat
vasomotor yang mengakibatkan hipotensi, supresi batuk, pelepasan hormon
antidieuretik, miosis, mual, dan muntah. Efek perifer meliputi kontraksi otot polos
dengan penurunan motilitas saluran cerna; berkurangnya sekrsi saluran, spasme
biliar, retensi urin, kontriksi bronkus parsial akibat pelepasan histamin,
vasodilatasi dan gatal (Ried at all, 2008).
2.4.2 Analgetika non opoid
Secara umum, nyeri pertama kali diobati dengan nonopioid analgesik. Obat
ini berguna untuk pengobatan nyeri, demam, dan peradangan. Meskipun NSAID
kurang efektif daripada opioid dalam mengurangi rasa sakit, NSAID Tidak
menghasilkan toleransi dan ketergantungan fisik, seperti saat diberikan analgesik
19
golongan opioid. NSAID biasanya digunakan untuk mengurangi nyeri pada
daerah perifer ( Welch, 2004).
2.4.2.1 Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetik dan antiiflamasi,asam
mefenamat kurang efektif dibandingkan aspirin, dimana asam mefenamat terikat
sangat kuat pada protein plasma dengan demikian interaksi terhadap obat
antikoagulan harus diperhatikan ( Wilmana, 2011). Dosis asam mefenamat untuk
nyeri ringan sampai sedang 500 mg diberikan secara oral dan diteruskan 250 mg
tiap 4 jam sesuai kebutuhan dimana maksimal pemberian asam mefenamat satu
minggu untuk kasus luka bakar dosis yang diberikan 3x500 mg peroral( Lacy,
2009).
2.4.2.2 Natrium metamizole
Metamizole merupakan derivate metansulfolat aminopirin turunan pirazolon
bersifat analgesik dan antipiretik, tetapi sifat antiinflamsinya lemah (Tjay dan
Raharja, 2007). Mekanisme kerjanya dengan menghambat transmisi rasa sakit
kesusunan saraf pusat dan perifer dengan dosis 3x100 mg secara IV,
(Mutschler,1991; Zukowsky and Kotfis, 2009).
2.4.2.3 Paracetamol
Paracetamol bekerja dengan menghambat sintesis ptostaglandin di Sistem
Saraf Pusat (SSP). Paracetamol menghambat siklooksigenase (COX) pusat lebih
kuat sehingga menyebabkan paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat
melalui efek pada pusat pengaturan panas dan hanya mempinyai efek ringan pada
20
COX perifer sehingga mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang dengan dosis
3x500 mg secara oral, untuk kasus luka bakar dosis yang diberikan 150 mg
peroral (Lusiana & Darsono, 2002).
2.4.2.4 Ketorolac
2.4.2.4.1 Defenisi ketorolac
Ketorolac merupakan NSAIDs golongan yang memiliki efek analgesik kuat
tetapi hanya memiliki aktivitas anti –inflamasi sedang bila diberikan IM dan IV.
Obat ini berguna untuk memberikan analgesia pada pasca operasi baik sebagai
obat tunggal maupun kombinasi (Yudhowibowo, 2011).
2.4.2.4.2 Struktur kimia ketorolac
Berdasarkan struktur kimia ketorolac termasuk turunan asam heteroarilasetat.
Gambaran umum struktur pada turunan arilasetat dan heteroaril asetat yang
diperlukan untuk aktivitas anti radang juga dijumpai pada struktur obat anti
radang tertentu, seperti turunan salisilat, pirazolidindion dan N-arilantranilat, yaitu
adanya adanya gugus aromatik yang bersifat planar, gugus yang bersifat asam dan
struktur rantai samping tertentu. Gugus aromatik san asam diperlukan untuk
pengikatan obat pada reseptor, sedang rantai smping diperlukan untuk mengatur
distribusi obat dalam menembus membran biologis (Siswandono, 2008)
Gambar 2.7 Struktur kimia ketorolac (Sweetman,2009).
2.4.2.4.3 Dosis Ketorolac
Penggunaaan jangka pendek nyeri akut pada orang dewasa diberikan
ketorolac trometamin dosis 60 mg atau 30 mg secara IV maupun IM. Untuk
pasien geriatri (65 tahun lebih ) dan orang dewasa dengan kurang dari 50 kg
diberikan dosis 30 mg atau 15 mg baik IV maupun IM. Pemberian muti-dose
ketorolac diberikan dosis 30 mg tiap 6 jam dengan dosis per hari maksimal 120
21
mg baik secara IV maupun IM untuk pasien geriatri dan orang dewasa dengan
berat kurang dari 50 kg direkomendasikan 15 mg ketorolac tiap 6 jam dimana
dosis perhari maksimal 60 mg (McEvoy, 2008). Penggunaaan Ketorolac secara
oral hanya dianjurkan untuk terapi lanjutan, sedangkan untuk terapi awal
diberikan secara IV ataupun IM untuk pasien geriatri (Anonim, 2013).
Pada orang dewasa diberikan ketorolac secara oral untuk terapi lanjutan
dengan dosis pertama 20 mg diikuti 10 mg setiap 4-6 jam, pasien geriatri atau
orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg direkomendasikan ketorolac
10 mg setiap 4-6 jam dimana dosis perhari ketorolac maksimal 40 mg. Pasien
anak (2-16 tahun) pemberian dosis ketorolac trometamin 1 mg/kg dimana dosis
maksimum yang dapat diberikan 30 mg atau 0,5 mg/kg dengan dosis maksimum
15 mg baik secara IV maupun IM. Biasanya pada anak- anak hanya digunakan
pemberian secara IV.
Untuk mengatasi nyeri yang dialami pada pasien kelainan ginjal digunakan
dosis 50% dari dosis normal pada orang dewasa dimana dosis maksimal perhari
tidak boleh lebih dari 60 mg baik diberikan secara IV maupun IM (McEvoy,
2008).
2.4.2.4.4 Efek Samping Ketorolac
Ketorolac merupakan salah satu NSAID yang dapat di berikan secara
parenteral namun, resiko efek samping dari ketorolac akan meningkatkan bila
digunakan lebih dari 5 hari dengan efek samping sakit kepala ( 17%), dispepsia
(12%), nyeri GI (12%), dan mual (12%) (Lacy, 2009). Pemberian ketorolac dapat
meningkatkan resiko pada gastrointestinal berupa lesi lambung dan ulkus
doudenum dan peningkatan resiko pendarahan terikat dengan kerja ketorolac yang
dapat menghambat tromboksan A2 pada COX-1 sehingga pemberian ketorolac
tidak disarankan dengan antikoagulan, peningkatan resiko gangguan fungsi ginjal
juga dilaporkan pada pasien yang menggunakan ketorolac dimana keparahan yang
terjadi bervariasi dari ringan sampai berat khususnya pada pasien usia lanjut.
Reaksi anafilaksis dan anafilatroid telah dilaporkan pada pasien yang
menggunakan ketorolac (Aronson, 2010).
Ketorolac dapat menembus plasenta sehingga dapat menghambat agregasi
platelet pada bayi dan meningkatkan resiko pendarahan sehigga ketorolac tidak
22
direkomendasikan pada ibu hamil. Pemberian ketorolac dengan lithium dapat
meningkatkan efek neurotoksisitas. Dalam penggunaan ketorolac perlu
diperhatikan dosis dan cara penggunaan ( Aronson, 2010).
2.4.2.4.5 Farmakokinetik
Ketorolac diabsorbsi cepat dengan biovaibilitas berkisar antara 80-100%
setelah pemberian oral. Dalam penggunaan obat analgesik ketorolac, ketorolac
digunakan dalam bentuk ketorolac trometamin dimana ketorolac (anion) dan
trometamin (kation). Absorbsi ketorolac trometamin baik dalam pemberian rute
parenteral maupun oral hampir sama yaitu di absorbsi sekitar 100% walaupun ada
pengaruh makanan yang dapat menurunkan absorbsi pada saluran gastrointestinal
dapat menurun pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal dan juga pada pasien
dengan usia lanjut. Pada orang dewasa sehat pemberian ketorolac secara IV
dengan dosis 15-30 mg didapatkan waktu puncak konsentrasi dalam plasma
sekitar 1 atau 3 menit, 30-60 menit pada pemberian IM dan puncak konsentrasi
dalam plasma dari p-hydroxyketorolat (metabolit akit dari ketorolac) sekitar 1 jam
pada pemberian oral dosis 30 mg ( McEvoy, 2008). Ketorolac secara umum dapat
mencapai steady steat dalam waktu 24 jam dengan rata-rata 3,1 atau 6,9 mcg/ml
pada pemberian IV (15-30 mg 4 kali sehari ) dan 0,6 mcg/ml pada pemberian oral
(10mg 4 kali sehari). Onset efek analgesik pada pemberian ketorolac trometamin
secara IM terjadi dalam waktu 75-150 menit,dan efek analgesik biasanya tercapai
dalam waktu sekitar 30-60 menit,peak analgesik terjadi dalam waktu 1,5- 4 jam
dan efek analgesik dapat dipertahankan hingga 6-8 jam (McEvoy,2008). Volume
rata-rata distribusi ketorolac tromethamin adalah sekitar 0,15- 3,0 L/kg dan
volume saat terjadi steady steat (Vss) sekitar 0,11 – 0,33 L/kg pada pemberian IV,
IM maupun oral. Ikatan ketorolac dengan protein sekitar 99%, namun demikian
konsterasi ketorolac tromethamin dalam plasma tinggi (10mcg/ml) dan ikatan
ketorolac dengan albumin sebanyak 5 % sehingga fraksi terikat akan konstan
selama rentang teraupetik, penurunan serum albumin akan meningkatkan
konsterasi obat bebas (Anonim, 2013). Sebagian besar ketorolac tromethamin di
metabolisme di hati dan dieliminasi di ginjal, sekitar 92 % dari dosis yang
diberikan ditemukan dalam urin dimana 40 % sebagai metabolit aktif dan 60%
dalam bentuk tidak berubah. Waktu paruh ketorolac sekitar 2- 6 jam dan akan
23
meningkat sekitar 30-50% pada pasien geriatri dan meningkat sekitar 19 jam pada
pasien kelainan ginjal (Lacy, 2009). Keuntungan penting analgesik yang dipicu
ketorolac adalah tidak adanya depresi ventilasi atau kardiovaskuler. Juga tidak
seperti opioid, ketorolac hanya memiliki sedikit atau tidak ada efek dinamika
saluran empedu, menjadikan obat ini lebih berguna sebagai analgesik ketika tidak
diinginkan spasme saluran empedu (yudhowibowo, 2011).
2.4.2.4.6 Sediaan Ketorolac yang Ada Di Indonesia
Tabel II.2 Sediaan Ketorolac yang Ada Di Indonesia
Nama Paten Dosis
Ketorolac Tablet Salut Film 10 mg
Parenteral IM/IV : 15 mg/ml & 30 mg/ml
(Ampul) IM : 30 mg/ml (Ampul)
Rativol Rativol inj 10 mg/ml : 1x5x 1s
Rativol inj 30 mg/ml
Ketorolac ogb dexa Im pengobatan jangka pendek untuk nyeri awal
30-60 mg. lalu diberikan dosis 15-30 mg tiap 6
jam bila perlu
Xevolac Parenteral Im/ IV : Xevolac inj 10 mg
Xevolac inj 30 mg setiap 4- 6 jam.
Lantipain Parenteral IM/IV: Lantipain 10 mg /ml ,
kemdian lanjut 10-30mg/ml tiap 4-6 jam.
Maksimal 90mg/ml slm 2 hari.
( MIMS, 2011 )
Top Related