6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh
Keluarga merupakan pembentuk kepribadian yang sangat
berpengaruh dalam proses perkembangan anak, hal ini disebabkan karena
orang tua mempunyai pola asuh untuk anak-anaknya guna merawat,
mengajarkan cara berinteraksi dan bersosialisasi, mengacarkan bagaimana
bertingkah laku yang dapat diterima dalam norma masyarakat. Pengasuhan
merupakan suatu proses mengembangkan dan memanfaatkan pengetahuan
dan keterampilan yang sesuai untuk merencanakan kapan akan memiliki
anak, melahirkannya, membesarkannya dan memberikan kasih sayang
untuknya (Morrison, 2004).
Menurut Gibson (dalam Dewi, 1997) pola asuh adalah keseluruhan
interaksi antara orang tua sebagai pengasuh dan anak sebagai yang diasuh.
Interaksi ini mencakup perawatan dan mengajarkan tingkah laku umum
yang dapat diterima oleh masyarakat pada anak. Mussen (dalam Anita,
2004) mendefinisikan pola asuh sebagai suatu cara mendidik yang
berpengaruh pada anak baik secara langsung maupun tidak, melalui sikap
dan perawatan orang tua terhadap anak.
Singgih (dalam Dewi, 1997) mendefiniskan pola asuh sebagai
suatu cara mendidik dengan memberi aturan-aturan dan batasan-batasan
yang diterapkan pada anak-anaknya. Menurut Harrington & Whifing
(dalam Zahrah, 2004) pola asuh adalah interaksi antara pengasuh dan
anak, yang meliputi pemeliharaan, menanamkan kepercayaan, cara
bergaul. Menurut Maechati (dalam Badingah, 1993) mengemukakan
bahwa pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan
sehari-hari.
6
7
Menurut Tarmudji (2001) pola asuh orang tua adalah interaksi
antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Brooks
(dalam Lazzarini, 2000) mengemukakan bahwa pola asuh adalah suatu
proses yang didalamnya terdapat unsur melindungi, dan mengarahkan
anak selama masa perkembangannya.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pola asuh adalah interaksi antara anak dan pengasuh selama
pengasuhan, yang meliputi proses mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai untuk anak, cara mendidik dengan memberi
aturan-aturan dan batasan-batasan yang diterapkan pada anak-anaknya,
pemeliharaan, menanamkan kepercayaan, cara bergaul, sikap menciptakan
suasana emosional memenuhi kebutuhan anak, memberi perlindungan,
serta mengajarkan tingkah laku umum yang dapat diterima oleh
masyarakat.
2. Dimensi Pola Asuh
Dalam mengasuh anak, dibutuhkan dimensi-dimensi dalam pola
asuh berupa kehangatan, responsifitas, tuntutan, kontrol.
Menurut Maccoby (dalam khotimah, 2007), kehangatan
merupakan faktor penting dalam pengasuhan anak. Kasih sayang yang
diterima anak akan sangat menentukan perkembangan anak untuk
selanjutnya. Kehangatan penting bagi proses sosialisasi, karena:
a. Anak sendiri yang berkeinginan untuk mempertahankan
persetujuan atau restu orang tua dan akan merasa menderita bila
kehilangan cinta orang tua.
b. Memungkinkan anak untuk menginternalisasikan aturan-aturan
sosial serta mengenali dan membedakan respon yang tepat pada
situasi tertentu.
c. Kehangatan dan pengasuhan orang tua di asosiasikan dengan
kesediaan orang tua untuk mendengarkan kebutuhan anak.
8
Orang tua yang mencintai anaknya akan menumbuhkan pada diri
anak perasaan bahwa dirinya diterima dengan baik. Penerimaan tersebut
akan menumbuhkan perasaan aman, kadar kecemasannya menjadi rendah
dan mengembangkan harga diri anak. Sikap dan emosi semacam itu
menolong anak untuk mempelajari aturan-aturan dalam sosialisasi
(Maccoby dalam khotimah, 2007).
Ada dua dimensi yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis pola
asuh orang tua menurut Baumrin (dalam Kail, 2000), yaitu
a. Responsifitas
Dimensi ini berkenaan dengan sikap orang tua yang penuh
kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak.
Sikap hangat yang ditunjukkan orang tua pada anak sangat penting
dalam proses sosialisasi antara orang tua dan anak. Sering terjadi
diskusi pada keluarga yang memiliki orang tua responsif, selain itu
juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal
diantara kedua belah pihak.
b. Tuntutan
Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara
positif, kasih sayang dari orang tua belumlah cukup. Kontrol diri
dari orang tua dibtuhkan untuk mengembangkan anak agar menjadi
individu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial.
Conger dan Maccoby (dalam Shochib, 1998) dimensi ini
berkenaan dengan tingkah laku orang tua yang melibatkan batasan
dan pelaksanaan tuntutan yang tegas dan konsisten, menuntut
kepatuhan, membuat harapan-harapan yang tinggi untuk anak,
membatasi anak untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Ada
orang tua yang membuat standar yang tinggi untuk anak-anaknya
dan mereka menuntut agar standar tersebut dipenuhi. Menurut
Hatherington & Parke (dalam Dewi, 1997) dimensi ini meliputi
kontrol yang ditetapkan oleh keluarga, yang bervariasi dari kontrol
9
yang kaku, tingkah laku yang menuntut atau memaksa hingga
tingkah laku yang permisif dan tidak memaksa dimana sedikitnya
batasan-batasan yang diberlakukan pada anak.
Baumrind, Becker, Maccoby, Martin (dalam Conger, 1991)
tuntutan-tuntutan orang tua yang sifatnya ekstrim (cenderung dapat
menghambat tingkah laku sosial, kreativitas, inisiatif, dan
fleksibilitas dalam pendekatan masalah-masalah pendidikan
maupun praktikal). Baumrind (dalam Conger, 1991)
mendefinisikan ada empat dimensi pola asuh yakni
1) Kontrol, orang tua berusaha membatasi kebebasan, inisiatif dan
tingkah laku anak.
2) Demand for Maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu
dimana orang tua menekankan pada anak untuk
mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi lebih dewasa
dalam segala hal.
3) Clarity of Communication, orang tua meminta pendapat anak
yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut
pemenuhan kebutuhannya.
4) Nurturance, orang tua menunjukkan ekspresi-ekspresi
kehangatan dan kasih sayang terhadap anak dan menunjukkan
rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak.
3. Macam-macam Pola Asuh
Hardy & Heyes (dalam Khotimah, 2007) mengemukakan tiga tipe
pola asuh :
a. Otoriter dengan ciri orang tua tidak memberikan kesempatan kepada
anak untuk berpendapat, selalu dikejar tuntutan orang tua.
b. Demokratis dengan ciri orang tua memberikan kesempatan kepada
anak untuk mengeluarkan aspirasinya.
c. Permisif dengan ciri orang tua memberi kebebasan penuh pada anak
untuk berbuat segala hal tanpa pengawasan orang tua.
10
Baumrind (dalam Berk, 1994) membedakan pola asuh menjadi :
a. Authoritarian
Orang tua berlaku sangat ketat dan mengontrol anak dengan
mengajarkan standar dan tingkah laku. Pola asuh ini mengakibatkan
kurangnya hubungan yang hangat dan komunikatif dalam keluarga.
Anak dari pola asuh ini cenderung moody, murung, ketakutan, sedih,
menggambarkan kecemasan dan rasa tidak aman dalam berhubungan
dengan lingkungannya, menunjukkan kecenderungan bertindak keras
saat tertekan dan memiliki harga diri yang rendah.
b. Authoritative
Orang tua memiliki batasan dan harapan yang jelas terhadap tingkah
laku anak, mereka berusaha untuk menyediakan paduan dengan
menggunakan alasan dan aturan dengan reward dan punishment yang
berhubungan dengan tingkah laku anak secara jelas. Orang tua sangat
menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur yang otoritas, tetapi
mereka juga tanggap terhadap kebutuhan dan kemampuan anak. Pola
asuh ini dapat menjadikan sebuah keluarga hangat, penuh penerimaan,
mau saling mendengar, peka terhadap kebutuhan anak, mendorong
anak untuk berperan serta dalam mengambil keputusan di dalam
keluarga.
Anak dengan pola asuh ini berkompeten secara sosial, enerjik,
bersahabat, ceria, memiliki keingintahuan yang besar, dapat
mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi, serta memiliki
prestasi yang tinggi.
c. Permissive
Orang tua cenderung mendorong anak untuk bersikap otonomi,
mendidik anak berdasarkan logika dan memberi kebebasan pada anak
untuk menentukan tingkah laku dan kegiatannya. Anak dengan pola
asuh ini cenderung tidak dapat mengontrol diri, tidak mau patuh, tidak
terlibat dengan aktivitas di lingkungan sekitarnya.
d. Pola Asuh tidak Terlibat
11
Orang tua sama sekali tidak melakukan kontrol pada anak, hanya
memberikan materi, cenderung untuk lebih memperhatikan dan
mementingkan kebutuhan dirinya dengan menunjukkan sedikit
perhatian kepada anaknya karena orang tua merasa ada baiknya
menolak keberadaan anak karena mereka sendiri memiliki banyak
masalah dan cenderung merespon anak dengan sadis. Anak dengan
pola asuh ini akan memiliki keterbatasan dalam akademis dan sosial.
4. Ciri-ciri Khas Pola Asuh
Menurut Corey (dalam Triana, 2007), ciri-ciri khas masing-masing pola
asuh adalah sebagai berikut :
a. Pola asuh otoriter mempunyai ciri
1) Kekuasaan orang tua dominan,
2) Anak tidak diakui sebagai pribadi,
3) Kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat,
4) Orangtua menghukum anak jika anak tidak patuh dan menurut.
b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri
1) Ada kerjasama,
2) Anak diakui sebagai pribadi,
3) Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua,
4) Kontrol orang tua yang telah disepakati dengan anaknya.
c. Pola asuh permissive mempunyai ciri
1) Dominasi pada anak,
2) Sikap longgar atau kebebasan pada anak,
3) Tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua,
4) Kontrol dan perhatian orangtua sangat kurang.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua
Menurut Hurlock (1995) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu :
12
a. Karakteristik orang tua yang berupa :
1) Kepribadian orang tua
Setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran,
intelegensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut
akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi
tuntutan peran sebagai orang tua dan bagaimana tingkat sensifitas
orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya.
2) Keyakinan
Keyakinan yang dimiliki orang tua mengenai pengasuhan akan
mempengaruhi nilai dari pola asuh dan akan mempengaruhi
tingkah lakunya dalam mengasuh anak-anaknya.
3) Persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua
Bila orang tua merasa bahwa orang tua mereka dahulu berhasil
menerapkan pola asuhnya pada anak dengan baik, maka mereka
akan menggunakan teknik serupa dalam mengasuh anak bila
mereka merasa pola asuh yang digunakan orang tua mereka tidak
tepat, maka orang tua akan beralih ke teknik pola asuh yang lain.
4) Penyesuaian dengan cara disetujui kelompok
Orang tua yang baru memiliki anak atau yang lebih muda dan
kurang berpengalaman lebih dipengaruhi oleh apa yang dianggap
anggota kelompok (bisa berupa keluarga besar, masyarakat)
merupakan cara terbaik dalam mendidik anak.
5) Usia orang tua
Orang tua yang berusia muda cenderung lebih demokratis dan
permissive bila dibandingkan dengan orang tua yang berusia tua.
6) Pendidikan orang tua
Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan
mengikuti kursus dalam mengasuh anak lebih menggunakan
teknik pengasuhan authoritative dibandingkan dengan orang tua
yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan dalam
mengasuh anak.
13
7) Jenis kelamin
Ibu pada umumnya lebih mengerti anak dan mereka cenderung
kurang otoriter bila dibandingkan dengan bapak.
8) Status sosial ekonomi
Orang tua dari kelas menengah dan rendah cenderung lebih
keras, mamaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang
tua dari kelas atas.
9) Konsep mengenai peran orang tua dewasa
Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional cenderung
lebih otoriter dibanding orang tua yang menganut konsep
modern.
10) Jenis kelamin anak
Orang tua umumnya lebih keras terhadap anak perempuan
daripada anak laki-laki.
11) Usia anak
Usia anak dapat mempengaruhi tugas-tugas pengasuhan dan
harapan orang tua.
12) Temperamen
Pola asuh yang diterapkan orang tua akan sangat mempengaruhi
temperamen seorang anak. Anak yang menarik dan dapat
beradaptasi akan berbeda pengasuhannya dibandingkan dengan
anak yang cerewet dan kaku.
13) Kemampuan anak
Orang tua akan membedakan perlakuan yang akan diberikan
untuk anak yang berbakat dengan anak yang memiliki masalah
dalam perkembangannya.
14) Situasi
Anak yang mengalami rasa takut dan kecemasan biasanya tidak
diberi hukuman oleh orang tua. Tetapi sebaliknya, jika anak
menentang dan berperilaku agresif kemungkinan orang tua akan
mengasuh dengan pola outhoritative.
14
6. Aspek-aspek Pola Asuh
Terdapat tiga aspek pendukung dalam pola asuh orang tua, yaitu (Idris,
1992) :
a. Aspek Self Esteem
Yaitu konsep individu tentang dirinya sendiri yang meliputi bagaimana
peasaan tentang dirinya sendiri, kelebihan dan kekurangan yang
dimilikinya.
b. Aspek Kognitif
Yaitu kemampuan individu dalam berolah pikir dan melatih kepekaan
mencermati fenomena sekelilingnya.
c. Kontrol
Usaha untuk mempengaruhi kegiatan anak berdasarkan sasaran,
modifikasi ungkapan, perilaku bergantung, agresif, suka bermain dan
memacu internalisasi standar orang tua.
d. Kejelasan komunikasi
Menggunakan penalaran agar anak patuh, menanyakan pendapat dan
perasaan anak, dan lain-lain.
e. Tuntutan kedewasaan
Menekankan pada anak agar menampilkan intelektual, sosial dan
emosional yang berasa pada tingkat kedewasaan.
f. Asuhan orang tua
Termasuk kehangatan (cinta kasih dan perawatan), keterlibatan, dan
pujian atas keberhasilan anak.
g. Aspek Sosial
Yaitu sikap individu dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
dalam menjalin hubungan secara baik.
7. Komponen Pola Asuh
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua
selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang
tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak
15
untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam
masyarakat. Pola asuh terdiri dari beberapa komponen yaitu (Semiawan,
1974) :
a. Orang tua (keluarga)
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana
anak dapat berinteraksi. Orang tua mempunyai berbagai fungsi
yang salah satu di antaranya ialah mengasuh anak-anaknya. Dalam
mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di
lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-
sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan
anak-anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan
kepada anak-anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua
mempunyai pola pengasuhan tertentu.
b. Anak
Tanpa adanya anak, maka pola asuh tidak dapat diterapkan dalam
suatu keluarga.
c. Peer group (teman)
Peer group berasal dari berbagai lingkungan keluarga yang
berbeda-beda, maka akan terjadi berbagai adaptasi, kegiatan,
pembentukan karakteristik psikologis maupun sosial.
8. Dampak Pola Asuh
Baumrind & Black (dalam Tarmudji, 2001) dari hasil penelitiannya
menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orangtua demokratis yang
menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong
tindakan-tindakan mandiri dalam membuat keputusan sendiri yang akan
berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.
Meuler (dalam Tarmudji, 2001) dalam penelitiannya menemukan
bahwa anak-anak yang diasuh oleh orangtua yang otoriter banyak
menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerahkan segala-
galanya pada pengasuhnya. Watson (dalam Anita, 2004) menemukan
16
bahwa disamping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan,
kecemasan dan mudah putus asa. Baldin melakukan penelitian dengan
membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan otoriter,
asuhan dari orangtua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani,
lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orangtuanya
maka makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tidak
dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan
ketakutan.
Jadi setiap pola asuh akan berpengaruh terhadap anak asuhannya
dalam perilaku tertentu, misalnya terjadi adaptasi atau keagresifan pada
anak.
B. Schizophrenia
1. Pengertian Schizophrenia
Schizophrenia ditemukan oleh Emil Kraeplin pada 1893, kemudian
dikembangkan oleh Emil Kraeplin, Eugen Bleuler dan Kurt Schneider. Di
dalam dokumennya Eugen Bleuler, ia mengidentifikasi Schizophrenia
yang terdapat pada kaum tua Mesir Pharaonic, adanya Tekanan, dementia,
seperti halnya gangguan pikiran dalam Schizophrenia diuraikan secara
detil di dalam buku tentang hati, macam-macam penyakit fisik dianggap
sebagai gejala dari hati dan uterus dan bearasal dari pembuluh darah atau
keadaan penuh dengan nanah, urusan fecal, setan atau racun.
Emil menyebut Schizophrenia dengan dementis praecox, dementis
: diluar dari jiwa seseorang, praecox : sebelum terjadinya tingkat
kematangan seseorang, jadi dementia praecox adalah penyakit yang
disebabkan oleh patologi yang spesifik yang berupa hilangnya kesatuan
antara pemikiran, perasaan, tindakan dalam diri seseorang yang meliputi
waham, halusinasi, dan perilaku motorik yang aneh. Menurut Eugen,
Schizophrenia berasal dari kata skizos : pecah belah dan phren : jiwa. Jadi,
Schizophrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan
kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan
17
(kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja
dan fungsi sosial.
Davidson dan Neale (dalam Anita, 2004) menyebutkan bahwa
Schizophrenia merupakan suatu kelompok gangguan psikotik yang
dicirikan dengan adanya gangguan pikiran, emosi dan perilaku seseorang,
dimana ide-idenya seringkali tidak logis, adanya persepsi yang salah,
gangguan dalam aktivitas motorik dan memiliki afek yang datar bahkan
seringkali tidak sesuai. Hal ini menyebabkan individu semakin menjauh
dari orang-orang disekitarnya dan individu tidak mampu menangkap
realita yang terjadi, dan mereka juga sering mengalami halusianasi dan
delusi.
Menurut Kamus Lengkap Psikologi (2000), Schizophrenia
didefinisikan sebagai satu nama umum sekelompok reaksi psikotis,
dicirikan denga pemunduran emosional dan afektif dan tergantung pada
tipe dan adanya halusinasi, delusi, tingkah laku negativistis, dan
kemunduran atau perusakan yang progresif.
Berdasarkan DSM IV-R (dalam Journal Of Psychiatri, 2008),
schizophrenia adalah suatu gangguan yang terjadi sekurang-kurangnya
enam bulan termasuk symptom fase aktif selama satu bulan yang diikuti
dengan adanya delusi, halusinasi, disorganisasi dalam bicara, tingkah laku
yang kasar, dan symptom negatif.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Schizophrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan
kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan
(kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja
dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya gangguan pikiran, emosi
dan perilaku seseorang, dimana ide-idenya seringkali tidak logis, adanya
persepsi yang salah, gangguan dalam aktivitas motorik dan memiliki afek
yang datar bahkan seringkali tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat.
18
2. Gejala-gejala Schizophrenia
Karakteristik utama orang yang menderita gangguan emosi berat
dan sangat berat adalah kehilangan hubungan dengan dunia nyata, serta
proses berpikir yang terpecah, dengan menunjukkan perilaku yang tidak
tepat dan gejala-gejala seperti (dalam American Journal Of Psychiatri,
2008):
a. Gejala positif
Menunjukkan tanda seperti paranoid, sukar berbicara, pikiran
kacau dan kadangkala perlakuan menjadi tidak terkendali. Pasien
kerap mengalami halusinasi dan mendengar suara orang bercakap
yang menyuruh mereka melakukan sesuatu hal. Biasanya pasien
akan melakukan perbuatan yang dia sendiri tidak tahu akibatnya.
Pasien lebih suka mengisolasi diri, tidak mau berbaur dengan
orang lain, berbicara atau tersenyum seorang diri, mutu kerja yang
menurun, sukar tidur, selalu merasa resah.
b. Gejala negatif
Pasien kehilangan upaya dalam membuat perencanaan, berbicara,
menunjukkan emosi dan mencari kegembiraan dalam hidup. Gejala
ini sering dianggap kemurungan.
c. Gejala kognitif
Pasien mengalami kesukaran dengan pikiran yang menumpuk,
ingatan yang terganggu dan adakalanya mereka tidak boleh
membuat sembarang keputusan. Bagaimanapun, gejala ini
memberi kesan negatif dalam jangka masa panjang dan
mempengaruhi kehidupan pasien. Gejala lain dapat mengakibatkan
kemurungan, keresahan berpanjangan dan kadangkala timbul
keinginan bunuh diri.
Davidson dan Neale (dalam Anita, 2004) membagi gejala schizophrenia
menjadi :
a. Gejala positif, yang terdiri dari halusinasi dan delusi,
19
b. Gejala negatif, yang terdiri dari avoliation, anhedonia, alogia, dan
afek datar (flat affect).
3. Karakteristik Schizophrenia
Ada beberapa karakteristik yang dikemukakan oleh Cameron (dalam Wulan,
2008) :
a. Adanya gangguan dalam berhubungan dengan realitas, yang ditandai dengan
adanya delusi dan halusianasi,
b. Adanya gangguan emosional, yang tertampil dalam tingkah laku impulsif dan
sulit diramalkan,
c. Adanya gangguan dalam berhubungan dengan objek disekitarnya,
d. Adanya gangguan dalam fungsi mempertahankan diri,
e. Adanya gangguan bahasa dan berpikir yang diawali oleh regresi pada
penderitanya dan mengakibatkan kecakapan proses berpikir sekundernya
menjadi rusak,
Schizophrenia ditandai dengan gangguan dalam pemikiran dan dalam
mengekspresikan pikiran melalui pembicaraan yang koheren dan bermakna
(dalam Schizophrenia). Gangguan dalam isi dan pikiran, gangguan yang
paling nyata pada isi pikiran mencakup waham (delusi), waham adalah suatu
keyakinan yang salah yang tidak dapat dijelaskan oleh latar belakang budaya
penderita ataupun pendidikan; penderita tidak dapat diyakinkan oleh orang
lain bahwa keyakinannya salah meskipun banyak bukti kuat yang dapat
diajukan untuk membantah keyakinan penderita, waham memiliki bentuk
yang berbeda ada beberapa jenis waham yaitu (dalam
schizophreniasymptoms) :
a. Grandeur (waham kebesaran) : penderita yakin bahwa mereka adalah
seseorang yang sangat luar biasa.
b. Guilt (waham rasa bersalah) : penderita merasa bahwa mereka telah
melakukan dosa yang sangat besar.
c. Ill health (waham penyakit) : penderita yakin bahwa mereka
mengalami penyakit yang sangat serius.
20
d. Jealousy (waham cemburu) : pendeita yakin bahwa pasangan mereka
telah berlaku tidak setia.
e. Passivity (waham pasif) : penderita merasa mereka dikendalikan atau
dimanipulasi oleh berbagai kekuatan dari luar.
f. Persecution ( waham kejar) : penderita merasa dikejar-kejar oleh
pihak-pihak tertentu yang ingin mencelakainya.
g. Poverty (waham kemiskinan) : penderita takut akan mengalami
kebangkrutan, dimana kenytaannya tidak demikian..
h. Reference (waham rujukan) : penderita merasa dibicarakan oleh orang
lain secara luas.
Gangguan dalam bentuk pikiran, orang yang mengalami
schizophrenia cenderung berfikir dalam bentuk yang tidak terorganisasi
dan tidak logis, bentuk atau struktur proses pikiran dan juga isinya
seringkali terganggu. Klinisi menyebut jenis gangguan ini sebagai
gangguan pikiran. Gangguan pikiran dapat dikenali melalui gangguan
dalam organisasi, pemrosesan, dan kendali pikiran. Kelonggaran dalam
asosiasi merupakan satu dari konsep empat A Blueler. Bentuk
pembicaraan orang yang mengalami Schizophrenia seringkali tidak
teratur, dengan bagian kata yang dikombinasikan secara tidak sesuai atau
kata-kata dirangkai untuk membuat rima yang tidak bermakna, kurang
menunjukan keterkaitan antara ide atau pikiran yang diekspresikan. Pada
penderita yang parah pembicaraannya tidak dapat dimengerti.tanda-tanda
yang kurang umum terjadi mencakup neologisme yaitu kata-kata yang
yang diucapkan penderita kurang atau tidak memiliki arti bagi orang lain,
perseverasi yaitu pengulang yang tidak sesuai namun menetap pada kata-
kata yang sama, clanging yaitu merangkaikan secara bersama kata atau
bunyi berdasarkan rima, blocking yaitu secara tiba-tiba pembicaraan atau
pikiran terputus. Gangguan lebih sering terjadi selama episode akut namun
mungkin juga muncul pada fase residual, gangguan pikiran yang muncul
diluar episode akut berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk
(Salmon, 1974).
21
Kekurangan dalam pemusatan perhatian orang-orang dengan
schizophrenia akan tampak mengalami kesulitan menyaring keluar
stimulus yang tidak relevan dan menggangu, kekurangan yang
menyebabkan hampir tidak mungkin untuk memusatkan perhatian dan
mengorganisasikan pikiran mereka, karena ketidaknormalan otak yang
mempersulit mereka untuk memusatkan perhatian tugas yang relevan dan
menyaring keluar informasi yang tidak penting. Orang yang mengalami
schizophrenia tampak waspada berlebihan, atau menjadi benar-benar
sensitif terhadap suara-suara yang tidak relevan, terutama tahap awal
gangguan (Salmon, 1974).
Gangguan gerakan mata penderita schizophrenia kronis
menunjukan tanda-tanda gangguan gerakan mata gangguan gerakan mata
meliputi gerakan mata yang tidak normal saat menelusuri sebuah target
yang bergerak melintasi lapang pandangan. Gangguan gerakan mata
tampaknya melibatkan kerusakan pada proses proses involunter di otak
yang bertanggung jawab terhadap perhatian secara visual (Alloy, 2004).
Gangguan persepsi halusinasi termasuk gangguan yang paling
umum pada Schizophrenia merupakan gambaran yang dipersepsi tanpa
adanya stimulus dari lingkungan. Halusinasi dapat melibatkan setiap indra,
halusinasi Taktil (seperti digelitik, sensasi listrik, terbakar), halusinasi
Somatis (seperti merasa ada ular yang menjalar dalm perut), halusinasi
Visual (melihat sesuatu yang tidak ada), halusinasi Gustatoris (merasakan
dengan lidah sesuatu yang tidak ada), halusinasi Olfaktoris (mencium bau
yag tidak ada), halusinasi pendengaran suara-suara mungkin didengar
sebagai perempuan atau laki-laki dan seperti berasal dari dalam atau dari
luar kepala individu, orang yang mengalami halusinasi mungkin
mendengar suara-suara tersebut berbicara tentang mereka dalam bentuk
orang ketiga yang memperdebatkan kebaikan atau kesalahan mereka.
halusinasi yang disebabkan obat cenderung berupa visual dan sering
meliputi bentuk-bentuk abstrak. Halusinasi schizophrenia kebalikannya
cenderung lebih berbentuk penuh dan kompleks (Brown, 2007).
22
Gangguan emosi gangguan afek atau respon emosional pada
schizophrenia ditandai oleh afek yang tumpul (afek datar). Afek datar
disimpulkan dari ketiadaan ekspresi emosi pada wajah dan suara.penderita
schizophrenia berbicara secara monoton dan mempertahankan wajah tanpa
ekspresi, penderita tidak mengalami rentang normal dalam respon emosi
terhadap orang-orang dan kejadian-kejadian atau respon mereka tidak
sesuai (Halgin, 1997).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang menderita Schizophrenia mempunyai beberapa
karakteristik seperti waham, adanya gangguan dalam berhubungan dengan
realitas, yang ditandai dengan adanya delusi dan halusianasi, gangguan
emosional, yang tertampil dalam tingkah laku impulsif dan sulit
diramalkan, adanya gangguan dalam berhubungan dengan objek
disekitarnya, adanya gangguan dalam fungsi mempertahankan diri, adanya
gangguan bahasa dan berpikir yang diawali oleh regresi pada penderitanya
dan mengakibatkan kecakapan proses berpikir sekundernya menjadi rusak,
yang ditandai dengan gangguan dalam pemikiran dan dalam
mengekspresikan pikiran melalui pembicaraan yang koheren dan
bermakna.
4. Faktor penyebab Schizophrenia
a Kekurangan Fisiologis
Menurut O’Leary dkk. (dalam schizophrenia), kekurangan
fisiologis yang mendasar dalam kemampuan untuk
mempertahankan stimulus yang relevan dan mengabaikan stimulus
yang mengganggu orang-orang yang Schizophrenia.
b Impuls-impuls yang berasal dari id
Menurut pandangan psikodinamika oleh Sigmun Freud,
Erik Erikson, dan Harry Stack Sullivan (dalam Anita, 2004),
Schizophrenia mencerminkan ego yang dibanjiri oleh dorongan-
dorongan seksual primitif atau agresif atau impuls-impuls yang
23
berasal dari id yang jadi penyebab halusinasi dan waham, sehingga
mengancam ego yang dapat mengakibatkan seseorang mundur ke
periode awal dari tahapan oral, yang disebut narsisme primer.
c Prinsip conditioning dan belajar observasi dalam perspektif belajar
mungkin memegang peranan dalam perkembangan beberapa
bentuk perilaku Skizofrenik. Menurut operant conditioning,
imbalan mempengaruhi frekuensi verbal yang aneh dibandingkan
yang normal dan pasien di rumah sakit dapat dibentuk untuk
menampilkan perilaku yang aneh. Menurut Teori sosial-kognitif,
adanya modelling terhadap perilaku Skizofrenik yang terjadi di
rumah sakit jiwa (dalam Kagan, 1998).
d Dari perspektif biologis Schizophrenia dapat disebabkan oleh
(dalam schizophrenia) :
1) Faktor genetis,
Menurut Charney, Nestler, Gottesman & Bunney
(dalam Anita, 2004), Schizophrenia dipengaruhi kuat oleh
faktor genetis. Menurut Erlenmeyer-Kimling dkk. (dalam
Wulan, 2008), Schizophrenia sebagaimana banyak
gangguan lainnya, cenderung menurun dalam keluarga.
Menurut Erlenmeyer-Kimling dkk., serta Kendler &
Diehl, peningkatan risiko Schizophrenia pada orang-orang
yang memiliki hubungan biologis dengan penderita
gangguan. Menurut APA (dalam American Journal Of
Psychiatri, 2008), serta Kendler & Diehl (dalam Anita,
2004), secara keseluruhan, keluarga tingkat pertama dari
orang-orang yang mengalami Schizophrenia (orang tua dan
saudara kandung) memiliki sekitar sepuluh kali lipat risiko
yang lebih besar untuk mengalami Schizophrenia
dibandingkan orang lain yang berada di sekitarnya.
Menurut Gottesman, semakin dekat hubungan
genetis antara orang yang didiagnosis Schizophrenia dan
24
anggota keluarga mereka, semakin besar concerdance rate
(kecenderungan) mengidap Schizophrenia pada keluarga
mereka. Menurut Rosenthal dkk.(dalam Wulan, 2008),
anak yang di adopsi dan dibesarkan terpisah dari ibu
kandungnya beresiko tinggi mengidap Schizophrenia.
Menurut Lewin, Malaspina dkk. (dalam Anita,
2004), ayah yang berusia lebih dari 50 tahun pada sebuah
penelitian, memiliki kemungkinan tiga kali lipat untuk
memiliki anak yang mengalami Schizophrenia daripada
ayah yang berusia kurang dari 25 tahun. Rathus, et al., 1991
(dalam Suryani, 2006), mendapatkan penyebab
Schizophrenia yang di klasifikasikan menjadi :
a) Distinct Heterogenity Model
Model ini menyatakan bahwa schizophrenia
disebabkan oleh kerusakan gen yang dapat diikuti
oleh gen-gen tertentu dan yang hanya disebabkan
oleh faktor lingkungan. Schizophrenia catatonic,
misalnya, mungkin merupakan penyakit yang
muncul secara genetis yang akhirnya diikuti
ketidaknormalan gen pada kromosom tertentu.
b) Monogenic Model
Model ini menyatakan bahwa semua bentuk
schizophrenia dapat disebabkan oleh suatu gen yang
cacat. Gen yang cacat ini akan menyebabkan
schizophrenia pada orang yang menerima gen itu
dari kedua orang tuanya (monozygote), namun
kemungkinannya kecil bila hanya dari satu orang
tua (heterozygote).
c) Multifactorial-Polygenic Model
Menurut model ini, schizophrenia disebabkan oleh
pengaruh berbagai gen, trauma biologis prenatal dan
25
postnatal dan tekanan psikososial yang saling
berinteraksi. Aspek schizophrenia muncul bila
faktor-faktor itu berinteraksi melebihi batas ambang
tertentu.
2) Faktor biokimia,
Menurut Kane (dalam Wulan, 2008), Obat-obatan
neuroleptik menghambat dan mengurangi aktivitas reseptor
dopamin sehingga dapat menghambat transmisi berlebih
dari impuls-impuls neuron yang dapat meningkatkan
perilaku Schizophrenia. Menurut Busatto dkk. (dalam
Jamaluddin, 2004), kita seharusnya juga memperhatikan
bahwa neurotransmitter seperti norepinefrin, serotonin, dan
GABA, juga mempengaruhi perilaku Schizophrenia.
3) Infeksi virus,
Menurut Mertensen dkk., serta Tam & Sewell
(dalam Lazarusli, 2005), teori virus dapat mempengaruhi
penemuan dari banyaknya jumlah orang yang kemudian
mengalami Schizophrenia apabila dilahirkan pada musim
dingin. Ketidaknormalan otak merupakan hasil dari infeksi
virus pada masa prenatal, nutrisi janin yang tidak adekuat
(kurang bergizi), kerusakan genetis, atau trauma kelahiran,
atau komplikasi (McGlashan & Hoffman, McNeil, Cantor-
Graae & Weinberger, Rosso dkk., Wahlbeck dkk. dalam
Anita, 2004).
4) Ketidaknormalan otak,
Para peneliti mencoba menggunakan teknik
pencitraan otak yang modern, termasuk PET scan, EEG,
CT scan, MRI yang dapat menggali kerja bagian dalam dari
otak. Menurut Gur dkk., Ettinger dkk., dari hasil penelitian
pemindaian otak menunjukkan hasil adanya
ketidaknormalan otak pada orang-orang yang menderita
26
Schizophrenia. Penemuan yang paling jelas dari kerusakan
struktural di otak dibuktikan oleh pembesaran ventrikel di
otak yang terjadi pada tiga hingga empat pasien
Schizophrenia (Coursey, Alford, & Safarjan dalam Anita,
2004).
Otak dari pasien Schizophrenia rata-rata lima persen
lebih kecil dari volume otak pada individu normal, dengan
pengurangan volume terbesar pada korteks serebral
(Cowan & Kandel dalam Lazarusli, 2005). Berkurangnya
akrifitas gelombang otak pada korteks preffrontalis dari
pasien Schizophrenia (Kim dkk., Ragland dkk. dalam
Wulan, 2008). Ketidaknormalan korteks prefrontalis (yang
mengendalikan berbagai fungsi kognitif dan emosional)
pada penderita Schizophrenia mengakibatkan mereka
mengalami kesulitan dalam mengorganisasikan pikiran-
pikiran serta perilaku-perilaku dengan turut menampilkan
tugas-tugas kognitif pada tingkat yang lebih tinggi, seperti
memformulasikan konsep, memprioritaskan informasi, dan
memformulasikan tujuan dan rencana (Barch dkk.,
Bertolino dkk., Callicot dkk. dalam Brodjonegoro, 2006).
Gangguan pada fisiologis otak di daerah subkortikal
dapat mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmitter
sehingga terjadi ketidaknormalan pada pengaturan emosi,
perhatian, pembentukan ingatan, berpikir (dalam
schizophrenia). Menurut Haber & Fudge (dalam
Brodjonegoro, 2006), Schizophrenia melibatkan terlalu
aktifnya reseptor dopamin otak, yaitu reseptor yang terletak
di neuron pascasinaptik di mana molekul dopamin terikat
(teori dopamin). Penelitian terhadap pengaruh dopamine
dilakukan dengan menggunakan tiga macam obat bius,
yaitu phenothiazine, amphetamine, L-Dopa. Tubuh akan
27
mengubah L-Dopa menjadi dopamine dan kadang-kadang
menyebabkan gejala-gejala seperti schizophrenia (Sue, et
al. dalam Brodjonegoro, 2006), dan amphetamine.
Penyumbatan dopamine mungkin mempengaruhi gejala-
gejala schizophrenia, tetapi tidak menjadi penyebab
munculnya penyakit tersebut. Perubahan aktifitas dopamine
mungkin terjadi setelah munculnya psikosis dan bukan
sebelumnya (Sue, et al., 1986 dan Davison, et al., 1994
dalam Sri, 2007).
5) Faktor keluarga.
Faktor keluarga adalah adanya hubungan keluarga
yang terganggu sejak lama dianggap berperan dalam
perkembangan dan perjalanan gangguan Schizophrenia
(Miklowitz dalam Hillary, 2007). Terjadinya komunikasi
double-blind dalam keluarga menurut Gregory Bateson
dkk. (dalam Nevid, 2005) berkontrubusi meningkatkan
risiko terhadap perkembangan terkena Schizophrenia,
contoh komunikasi ini yaitu seorang ibu yang bersikap
dingin ketika anaknya mendekatinya, memarahi anak untuk
menjaga jarak, selalu menyalahkan apapun yang dilakukan
anak, menjaga pembicaraan tentang ketidakkonsistennya,
tidak mentolerir kedekatan hubungan, tidak memberikan
kesempatan kepada anak untuk berpendapat, mengejar anak
dengan tuntutan orang tua; hal ini dapat mengakibatkan
anak menjadi tidak terorganisasi dan kacau. Pola
komunikasi yang tidak jelas, samar-samar, terganggu,
pembicaraan yang sulit untuk diikuti dan sulit untuk
ditangkap intinya, sering ditemukan pada keluarga dari
pasien Schizophrenia (Wahlberg dkk.dalam Nevid, 2005).
Menurut Miklowitz dalam Nevid (2005), orang tua
dari penderita Schizophrenia menunjukkan tingkat
28
penyimpangan komunikasi yang lebih tinggi daripada
orang tua pada orang normal.
Selain itu, expressed emotion yang terganggu dalam
anggota keluarga seperti bersikap kejam, mengkritik, tidak
mendukung cenderung menimbulkan penyesuaian diri yang
sangat buruk dan memiliki rata-rata kecenderungan untuk
kambuh lagi penyakit yang dideriatnya setelah ia keluar
dari rumah sakit (Cutting & Docherty, King & Dixon
dalam Dadang, 2008).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Schizophrenia disebabkan oleh adanya kekurangan fisiologis, impuls-
impuls yang berasal dari id, conditioning, serta dilihat dari perspektif
biologis.
5. Terapi pada Penderita Schizophrenia
a. Psikofarmakologis
Obat-obatan yang digunakan pada penderita schizophrenia
adalah obat-obatan anti psikosis. Pengobatan antipsikotik
membantu mengendalikan pola perilaku yang mencolok pada
penderita Schizophrenia dan mengurangi kebutuhan untuk
perawatan rumah sakit jangka panjang apabila dikonsumsi pada
saat pemeliharaan atau diberikan secara teratur setelah episode
akut (Kane, sheitman dkk. dalam Tara, 1999). Adapun kelompok
yang umum digunakan adalah : Fenotiazin Asetofenazin (Tindal),
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg, thioridazine
(mellari), Dibenzodiazepin Klozapin (Clorazil) 300-900 mg,
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg, Dihidroindolon
Molindone (Moban) 15-225 mg, phenotiazines chlorpromazine
(thorazine), Klorpromazine 125-250 mg trifluoperazine (stelazine),
fluphenazine decanoate (prolixin).
29
Meskipun kita tidak dapat mengatakan dengan pasti
bagaimana obat-obatan in bekerja, tampaknya mereka memperoleh
efek terapeutik dengan menghambat reseptor dopamin di otak. Hal
ini mengurangi aktifitas dopamin yang tampak menghilangkan
tanda-tanda schizophrenia yang lebih mencolok, seperti halusinasi
dan waham. Efektifitas dari obat antipsikotik ini telah berulangkali
telah ditunjukan dalam penelitian double-bind yang dikontrol
dengan placebo. Sejumlah kecil yang mengalami schizophrenia
menerima sedikit keuntungan dari neuroleptik tradisional, dan
tidak ada faktor pembatasan yang jelas yang dapat menentukan
siapa saja yang akan memberikan respon paling baik (Kane &
Marder, 1993 dalam Westa, 2007).
Pengobatan saja tidak cukup untuk memenuhi berbagai sisi
kebutuhan penderita schizophrenia, terapi obat juga butuh
ditunjang dengan program psikoedukasi yang membantu penderita
schizophrenia mengembangkan keterampilan sosial yang lebih
baik dan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan
komunitas, bagian yang luas dari komponen perawatan
dibuttuhkan dalam model perawatan yang menyeluruh, mencakup
elemen pengobatan, perawatan medis, terapi keluarga, pelatihan
keterampilan sosial, intervensi krisis, pelayanan rehabilitasi (Penn
& Mueser dalam Sri, 2007).
Efek samping dari terapi ini adalah tardivedyskinesia
(gangguan gerakan involunter yang dapat mempengaruhi berbagai
bagian tubuh) yang disebut juga dengan TD, hal ini dikemukakan
oleh Hansen, Casey, Hoffman (dalam Wulan, 2008). TD dapat
berupa sering mengedipkan mata, gerakan mengunyah dan gerakan
mata secara involunter, mengecap dan menggerakkan bibir, wajah
menyeringai, gerakan involunter dari tungkai dan bagian dada,
kesulitan dalam bernapas, berbicara dan makan, kematian yang
disebabkan karena tubuh tidak menghasilkan sel-sel darah putih
30
secara adekuat. TD paling banyak terjadi pada orang yang lebih tua
dan pada perempuan (Hansen dkk. dalam Wulan, 2008).
b. Terapi Psikodinamika
Freud tidak yakin bahwa psikoanalisis tradisional sesuai
untuk penanganan schizophrenia. Tindakan menarik diri kedalam
dunia fantasi yang merupakan ciri schizophrenia mencegah
penderita untuk memiliki hubungan yang bermakna dalam
psikoanalisis. Terapi personal yang berpijak pada diatesis-stres,
terapi personal membantu pasien beradaptasi lebih efektif terhadap
stres dan membantu mereka membangun keterampilan sosial,
bukti-bukti awal menjelaskan bahwa terapi personal mungkin
mengurangi rata-rata kambuh dan meningkatkan fungsi sosial,
setidaknya pada penderita schizophrenia yang tinggal dengan
keluarga (Bustillo dkk, Hogarty dkk. dalam Suryani, 2006).
c. Terapi Belajar
Walaupun ada sedikit terapis meyakini bahwa belajar juga
dapat menyebabkan schizophrenia. Intrevensi pembelajaran juga
dapat menunjukan efektifitas dalam modifikasi perilaku
schizophrenia dan membantu mengembangkan perilaku yang
adaptif yang dapat membantu penderita menyesuaikan diri secara
efektif untuk hidup di dalam suatu komunitas (dalam Wulan,
2008). Metode terapi meliputi teknik-teknik seperti :
a. Reinforcement selektif terhadap perilaku, seperti memberikan
perhatian terhadap perilaku yang sesuai dan menghilangkan
verbalisasi yang aneh dengan tidak lagi memberikan perhatian.
b. Token ekonomi, dimana individu pada unit-unit perawatan
dirumah sakit diberi hadiah untuk perilaku yang sesuai dengan
token.
31
c. Pelatihan keterampilan sosial dimana penderita diajarkan
keterampilan untuk melakukan pembicaraan dan perilaku sosial
yang lain yang dilakukan melalui latihan, modeling, latihan
perilaku, umpan balik.
Partisipan diberi tugas untuk mempraktikan perilaku-perilaku
dalam lingkup mereka tinggal, terapis dan anggota kelompok
lainnya kemudian memuji usaha dan memberikan umpan balik
yang membangun. Bermain peran ditingkatkan dengan teknik-
teknik membangun seperti modeling (mengamati terapis lalu
memperagakan), shaping (imbalan yang diberikan terhadap
keberhasilan yang mendekati perilaku sasaran.
d. Rehabilitasi Psikososial
Penderita schizophrenia biasanya mengalami kesulitan
untuk berfungsi dalam peran mereka untuk menyesuaikan diri
terhadap kehidupan komunitas, sejumlah kelompok self-help
(clubhouse) dan pusat rehabilitasi psikososial yang lebih terstruktur
lainnya telah muncul untuk membantu penderita schizophrenia
menemukan kesempatan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan
yang sesuai sebagai tanda dukungan sosial bagi mereka (dalam
Dadang, 2008).
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau
keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat
membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat (Rathus, et al.,
Davisoan, et al., Sue, et al., dalam Lazarusli, 2005). Social skills
training menggunakan latihan bermainsandiwara. Para penderita
diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar
mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang sebenarnya.
Pusat rehabilitasi biasanya dapat menawarkan beragam layanan
seperti pekerjaan dan kesempatan pendidikan, pusat-pusat seperti
ini seringkali mempergunakan pendekatan pelatihan keterampilan
32
untuk membantu penderita mempelajari memecahkan perselisihan
dengan anggota keluarga, membantu persahabatan, berbelanja, dll.
e. Program Intervensi Keluarga
Nevid (2005), menyatakan bahwa keluarga diharapkan
dapat merawat dan membantu penderita dalam mengembangkan
cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu konfrontatif dalam
berhubungan dengan lingkungan dengan menentukan pola asuh
yang tepat untuk penderita Schizophrenia. Program intervensi
keluarga lebih memfokuskan pada aspek kehidupan sehari-hari,
mendidik anggota keluarga tentang schizophrenia, mengajarkan
pada mereka bagaimana cara berhubungan dengan cara yang tidak
terlalu frontal (jangan bersikap terlalu mengekang, jangan suka
memberi kritikan negatif terhadap semua tindakan pasien) terhadap
anggota keluarga yang menderita schizophrenia, meningkatkan
komunikasi dalam keluarga, dan memacu pemecahan masalah
yang efektif dan keterampilan coping untuk menangani masalah-
masalah keluarga, beri pasien peluang untuk mandiri dan membuat
keputusan sendiri, rangsang pasien supaya dia bersemangat dan
berpikiran positif, jangan membiarkan pasien sendiri dan muram,
bantu pasien mengenal pasti masalah dan membantunya mencari
jalan penyelesaian, timbulkan suasana gembira dan ajak pasien ke
dalam semua aktivitas keluarga supaya pasien merasa dihargai.
Untuk perawatan intervensi jangka panjang pada penderita
schizophrenia dapat dilakukan dengan menggabungkan
pengobatan antipsikotik, terapi keluarga, bentuk terapi suportif,
pelatihan vokasional dan penyediaan perumahan yang layak serta
pelayanan dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., Mueser,dkk.,
Penn & Mueser, dalam Nevid, 2005).
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh
Fallon (Davison, et al., Rathus, et al., dalam Nevid, 2005) ternyata
33
campur tangan keluarga sangan membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya
penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara
individual (Nevid, 2005).
f. Terapi Kejang Listrik atau Electro Compulsive Therapy (ECT)
Banyak pasien skizofrenia dan keluarga-keluarga mereka
memilih electro convulsive therapy (ECT) yang lebih aman dan
efektif atau transkranial rangsangan magnetis (TMS). Perawatan
ini penting untuk suatu kesembuhan yang optimal, walaupun hanya
berguna untuk pengendalian gejala, membantu pasien mengatur
tekanan, interaksi sosial, sekolah, pekerjaan, dan komponen untuk
melaksanakan hidup sepenuhnya (dalam Anita, 2004).
Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit
jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia.
Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat, ECT
merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien
seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta
seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan
setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai
serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Nevid, 2005).
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan.
Pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan
penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah yang dialirkan ke
otak melalui kedua pelipis. Pada saat pasien bangun beberapa
menit kemudian dan tidak meningat apa-apa tentang pengobatan
yang dilakukan. Tidak terjadi kerancuan pikiran dan hilang
ingatan, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan
otak yang tidak dominan pengobatan semacam ini biasanya
34
dilakukan dalam jangka waktu dua minggu dengan empat sampai
enam kali pengobatan (dalam Adriaanz, 2001).
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk
penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif untuk
penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al., dalam
Adriaanz, 2001).
g. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat
menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan
orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola
penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak
sesuai dengan dunia empiris. Dalam menagani kasus tersebut,
terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan
klien, khususnya klien schizophrenia (dalam Anita, 2004).
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai
pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami
oleh mereka (Kagan, 1998).
Klien dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya
untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya
pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di rumah
sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan (dalam familyandfriends,
2008).
Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship
yang konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk
berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang
tidak realistis (dalam Anita, 2004).
35
h. Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., dalam Hillary,
2007) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses
pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia. Menurut
Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang
dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar.
Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena
menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya, otak
tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal (dalam Nevid, 2005).
C. Anak
1. Pengertian
Masa anak-anak dimulai pada saat seseorang melewati masa bayi,
antara dua tahun hingga anak matang secara seksual yang berkisar antara
umur 13-15 tahun, 13 tahun untuk wanita pada umumnya, dan 14 tahun
pada pria (Hurlock, 1995).
Gunarso (1990), anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka
terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan dimana
orang tua sangat penting dalam mengisi kepribadian anak mulai dari bayi.
Menurut Rousseau (dalam gunarso, 1990) anak yang lahir pada dasarnya
mempunyai sisi yang baik, sedangkan dalam perkembangannya aktivitas
anak banyak dipengaruhi oleh perkembangan selanjutnya. Keterikatan
anak dengan pengasuhnya mempunyai konsekuensi dalam waktu jangka
panjang, bila hubungan itu buruk akan berdampak negative pada anak
(Kagan, 1998).
Papalia dan Old (dalam Alfassisurya, 2006) membagi masa kanak-
kanak dalam lima tahap :
a. Masa Prenatal, selama anak berada dalam perut ibu hingga anak
lahir.
36
b. Masa Bayi dan Batita, umur bayi 18 bulan hingga satu tahun, umur
batita satu hingga tiga tahun dengan kemampuan bahasa, motorik,
kemandirian.
c. Masa Kanak-kanak pertama, usia tiga hingga enam tahun.
d. Masa Kanak-kanak kedua, usia enam hingga 12 tahun, anak
mampu menyerap berbagai hal yang ada di lingkungan sekitar, dan
anak telah mampu
e. Masa Remaja, usia 12 hingga 18 tahun, anak berupaya untuk lepas
dari orang tua, dan mencari identitas diri.
2. Ciri-ciri Perkembangan Anak
Ciri perkembangan anak menurut Harlock (1995) :
a. Perkembangan Fisik
Pada periode pra lahir hingga usia enam tahun,
pertumbuhan tubuh terjadi sangat cepat. Pada akhir tahun pertama
dalam kehidupan pasca lahirnya, pertumbuhan terlihat sedikit lama
yang kemudian akan stabil sampai anak beranjak remaja yang
ditunjang oleh asupan gizi yang seimbang.
b. Perkembangan Motorik
Anak sudah dapat melepaskan tenaga yang tertahan dan
membebaskan tubuh dari ketegangan, kegelisahan, keputusasaan.
Anak akan terlihat sehat secara mental, fisik, serta memiliki
kemandirian yang dapat mengakibatkan timbulnya rasa percaya
diri serta perasaan bahagia, ada rasa aman secara fisik yang
nantinya akan menimbulkan rasa aman secara psikologis yang
akan membangkitkan rasa percaya diri. Anak dapat dapat
bekecimpung dalam kegiatan yang dapat menimbulkan kesenangan
baginya meskipun tidak ada teman sebayanya (contoh : bermain
piano). Anak sudah dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan
baik bahkan hal ini akan menjadikan anak dapat memainkan peran
kepemimpinan.
37
c. Perkembangan Bicara
Cara supaya anak dapat berbicara :
1) Mempelajari cara mengucapkan kata
2) Memahami bahasa yang digunakan oleh orang lain
3) Menggunakan bentuk bahasa yang bermakna bagi orang lain
4) Belajar mengaitkan arti dengan kata
5) Meniru model tertentu (misalnya meniru perkataan ayahnya)
6) Menggabungkan kata ke dalam kalimat yang tata bahasanya
benar dan dapat dipahami oleh orang lain.
Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan apakah
anak berbicara atau hanya membeo :
1) Anak harus mengerti arti kata yang digunakan dan dapat
mengartikannya dengan objek yang diwakilinya (misalnya
anak berkata bola, maka yang ditunjuk adalah bola).
2) Anak harus melafalkan kata sehingga orang lain dapat
mendengar dan memahaminya dengan mudah.
Selama tahun awal masa kanak-kanak, anak akan sering berbicara
untuk dirinya sendiri atau dengan mainannya.
d. Perkembangan Emosi
Kemampuan untuk bereaksi secara emosi sudah ada pada
bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku emosionalialah
keterangsangan umum terhadap stimulus yang kuat sehingga
menimbulkan tangisan dan aktifitas (membiarkan bayi
mengenakan popok basah akan menimbulkan tangisan bayi karena
bayi merasa tidak nyaman).
Emosi mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial pada
anak, karena dengan emosi yang semakin kuat maka keseimbangan
tubuh akan terguncang untuk melakukan persiapan mengambil
suatu tindakan. Melalui emosi, anak belajar cara mengubah
38
perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran
sosial. Setiap emosi yang dapat menimbulkan rasa puas pada anak
akan dilakukan secara berulang, dan pada suatu saat akan
berkembang menjadi kebiasaan.
Anak memandang peran mereka dalam kehidupan dan
posisi mereka dalam kelompok sosial dengan menggunakan emosi
yang ada pada mereka. Perubahan mimik wajah dan fisik yang
menyertai emosi anak dapat mengomunikasikan perasaan serta
mengenal berbagai jenis perasaan. Perilaku orang dewasa yang
menilai anak dari cara anak mengekspresikan emosi menjadi dasar
bagi anak untuk melakukan penilaian diri. Emosi anak
mempengaruhi suasana psikologis yang terjadi di lingkungannya.
Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan emosi :
1) Faktor Kematangan
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk
mengingat, menduga, memahami makna yang sebelumnya
tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam
jangka waktu yang lebih lama, dan memutuskan
ketegangan emosi pada satu objek dapat mempengaruhi
reaksi emosional.
2) Peran Belajar
a) Trial and Eror
Anak belajar mencoba untuk mengekspresikan
emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan
pemuasan terbesar dan menolak perilaku yang
hanya memberikan pemuasan terbesar sedikit atau
bahkan tidak memberikan ras puas sama sekali.
b) Imitation
Anak mengamati hal-hal yang membangkitkan
emosi tertentu pada orang lain, bereaksi dengan
39
emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang
yang diamati.
c) Identification
Anak menirukan hal yang dikagumi dan
mempunyai ikatan emosi yang kuat dengan disertai
dengan adanya motivasi yang kuat untuk meniru.
d) Belajar melalui pengkondisian
Pengkosidian terjadi dengan mudah dan cepat pada
tahun awal kehidupan karena anak masih kurang
akan pengalaman untuk menilai situasi secara kritis,
kurang mampu untuk menalar, kurang mengenal
ketidak rasionalitasnya reaksi yang mereka buat.
e) Training
Anak diajarkan bagaimana cara bereaksi yang dapat
diterima jika emosi terangsang untuk bereaksi
terhadap rangsangan yang menyenangkan.
e. Perkembangan Sosial
Sikap anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial serta
seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain sebagian
besar akan tergantung pada pengalaman belajar selama tahun awal
kehidupan dengan menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan
menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat dengan didukung oleh
empat faktor yaitu (dalam Berk, 2004) :
1) Kesempatan penuh untuk bersosialisasi, karena anak tidak
dapat belajar hidup bermasyarakat jika sebgian waktu
mereka dipergunakan untuk diri sendiri.
2) Mampu berkomunikasi dengan baik, harus mampu
membicarakan topik yang dapat dipahami, menarik bagi
orang lain, mengarahkan pembicaraan menjadi bersifat
sosial bukan egosentris.
40
3) Motivasi yang bergantung pada tingkat kepuasan yang dpat
diberikan oleh suatu aktifitas sosial kepada anak.
4) Menentukan metode belajar yang efektif dengan bimbingan
pengasuh atau orang sekitar.
Ciri-ciri perkembangan anak usia tiga hingga enam tahun
(Akbar dalam Triana, 2007) :
1) Perkembangan Fisik
Pada usia tiga tahun, seorang anak memiliki tinggi tiga kaki
dengan berat badan 15 kilogram. Saat anak berusia lima
tahun otot berkembang menjadi lebih kuat, tulang-tulang
tumbuh menjadi besar dan keras, otak berkembang hingga
beratnya sekitar 75 % dari berat otak orang dewasa, disertai
dengan tinggi yang bertambah enam inci dengan berat
badan 20 kilogram.
2) Perkembangan Motorik
Anak melakukan aktifitas yang berhubungan dengan
motorik, seperti berlari, melompat, menggambar, membaca,
dan lain-lain.
3) Perkembangan Intelektual
Adanya rasa keingintahuan pada objek dan kejadian yang
ada di sekitar anak.
4) Perkembangan Sosial
Anak belajar untuk menjalin kontak sosial dengan orang-
orang yang ada di luar rumah, terutama dengan anak
sebayanya.
3. Tahap-tahap Perkembangan Anak
Perkembangan anak ada beberapa tahap (Gunarso, 1990) :
a. Masa Pra-Lahir
Masa pertemuan antara ovum dan sperma di dalam rahim yang
kemudian akan berkembang menjadi janin.
41
b. Masa Bayi
Masa anak dilahirkan hingga berusia tiga minggu. Pada masa ini,
akan terjadi penyesuaian terhadap kehidupan anak pada saat berada
di luar tubuh ibu, dan anak hanya dapat menangis.
c. Masa Batita
Ketika anak usia 2 minggu hingga satu tahun, anak akan
tergantung sepenuhnya pada orang lain, anak mulai belajar untuk
memenuhi kebutuhannya sedikit demi sedikit secara sederhana
(misalnya anak akan mengambil minum pada saat haus).
d. Masa Anak (enam hingga dua belas tahun)
Masa dimana anak mulai beradaptasi dengan lingkungan, mulai
belajar untuk berpikir secara objektif.
4. Tugas-tugas Perkembangan
Tugas perkembangan anak adalah tugas yang timbul pada masa
perkembangan dalam setiap kehidupan seseorang, apabila tugas tersebut
berhasil akan menimbulkan kebahagiaan dan akan diharapkan berhasil
pada tugas perkembangan selanjutnya. Tugas-tugas perkembangan
bersumber pada kematangan fisik, tuntutan atau norma yang berlaku
dalam masyarakat (Havinghurst dalam Gunarsa, 2003).
Menurut Havinghurst (dalam Gunarsa, 2003), tugas-tugas
perkembangan pada anak dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
a. Pada Umur nol hingga enam tahun
1) Berjalan,
2) Belajar bicara,
3) Belajar memakan makanan keras,
4) Belajar untuk mengatur dan mengurangi gerakan tubuh
yang tidak perlu ,
5) Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin disertai dengan
ciri-cirinya,
42
6) Belajar melibatkan diri secara emosi dengan orang di
sekitarnya,
7) Belajar membedakan mana yang benar dan salah,
8) Membentuk konsep sederhana mengenai realitas sosial dan
fisik.
b. Usia Enam hingga dua belas tahun
1) Belajar berinteraksi dengan teman seumurnya,
2) Belajar kemampuan fisik yang diperlukan agar bisa
melaksanakan permainan dan olahraga,
3) Mengembangkan kemampuan dalam membaca, menulis
dan berhitung,
4) Memperoleh kebebasan pribadi,
5) Mengembangkan nurani, moral, spiritual,
Terdapat delapan tanda-tanda esensial yang dapat disebutkan
dalam perkembangan seorang anak antara usia satu tahun akhir dan
permulaan usia empat tahun (Monks dalam Alfasissurya, 2006) :
a. Pada permulaan periode ini anak bisa duduk, berdiri dan berjalan
dengan bantuan orang dewasa.
b. Pada anak usia empat tahun anak dapat berbahasa dan
berkomunikasi, mulai dapat menyatakan keinginan, aktif dalam
percakapan.
c. Anak dapat membedakan benda menurut warna dan bentuk,
mengerti nama benda, membedakan tinggi rendahnya suara.
d. Anak usia empat tahun sudah mengerti perbedaan siang dan
malam, dapat melakukan tugas seperti menyisir rambut
mengenakan baju.
e. Anak sudah mengerti akan norma seperti ”baik, buruk, tidak, ya,
jangan”, dan sebagainya.
43
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas
dalam perkembangan adalah tugas yang timbul pada masa perkembangan
dalam setiap kehidupan seseorang yang bersumber pada kematangan fisik
dan norma yang berlaku dalam masayarakat, dengan tugas perkembangan
yang ada pada anak usia enam hingga dua belas tahun. Apabila anak
berhasil melaksanakan tugas perkembangannya maka akan menimbulkan
kebahagiaan dan diharapkan dapat berhasil pada tugas perkembangan
selanjutnya.
Top Related