BAB II
PEMILU SEBAGAI SARANA DEMOKRASI
A. PEMILU
1. Pengertian Pemilu
Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai
pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum
merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan
rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini
adalah inti kehidupan demokrasi. Pemilu adalah suatu proses di
mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-
jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-
ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat
pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas,
Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti
ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan'
lebih sering digunakan. Sistem pemilu digunakan adalah asas luber
dan jurdil. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut
konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan
janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan,
menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara
dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu
ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang
sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
1. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan
umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:
a. Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara
republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat;
b. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka
keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara
c. Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan
untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan,
melainkan juga merupakan suatu sarana untuk
mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang
dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1
ayat 1 disebutkan bahwa: "pemilihan umum adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara
kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila
dan undang-undang 1945.
2. Dalam pernyataan umum hak asasi manusia PBB pasal 21 ayat
1 dinyatakan bahwa "setiap orang mempunyai hak untuk
mengambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara
langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih secara
bebas." Hak untuk berperan serta dalam pemerintahan ini
berkaitan dan tidak terpisahkan dengan hak berikutnya dalam
ayat 2 yaitu "setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh
ekses yang sama pada pelayanan oleh pemerintah negerinya."
Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut, dalam ayat 3
ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang
melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu negara,
yaitu "kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan
pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam
pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum
dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan
pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan
suara bebas".
Pernyataan umum Hak Asasi Manusia PBB pasal 21 khususnya
ayat 3 tersebut merupakan penegasan asas demokrasi yaitu
bahwa kedaulatan rakyat harus mejadi dasar bagi kewenangan
pemerintah dan kedaulatan rakyat melalui suatu pemilihan
umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.
3. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi
dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi
sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas
negara dan pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut
diwujudkan dalam proses pelibatan masyarakat untuk
menentukan siapa-siapa saja yang harus menjalankan dan di
sini lain mengawasi pemerintahan negara. Karena itu, fungsi
utama bagi rakyat adalah "untuk memilih dan melakukan
pengawasan terhadap wakil-wakil mereka".
Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk
Republik (pasal 1 ayat (1) UUD 1945) yang kedaulatannya berada di
tangan rakyat. Untuk mewujudkannya dilaksanakan pemilu. Di bawah
ini beberapa pengertian pemilu :
a. Menurut UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pemilu
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara
kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi
dalam praktek bernegara masa kini (modern) karena
menjadi sarana utama bagi rakyat untuk menyatakan
kedaulatannya atas negara dan pemerintah. Pernyataan
kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses
pelibatan masyarakat untuk menentukan siapa-siapa saja
yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi
pemerintahan negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat
adalah "untuk memilih dan melakukan pengawasan
terhadap wakil-wakil mereka".
c. Pemilihan Umum adalah salah satu agenda dalam
demokratisasi, yaitu keterkaitan dengan persoalan
kepemimpinan politik. Sebab peran kepemimpinan politik
menjadi hal utama (vital) dalam transformasi
otoriterianisme menuju demokrasi (Samuel P. Huntington).
Bahkan lebih mendasar proses pergantian kepemimpinan
juga diikuti dengan model perwakilan rakyat, sejauh mana
efektivitas “kedaulatan rakyat” dapat dilihat atau
dibuktikan.
d. Pemilihan Umum merupakan wahana formal dalam
membentuk tatanan negara dan masyarakat (state and
society formation) untuk menuju tatanan yang lebih baik.
e. Pemilihan Umum adalah filter kepercayaan rakyat terhadap
partai politik yang menjadi pilihan rakyat. Alasan mendasar
pada Pemilihan Umum merupakan ajang rekrutmen
terakhir untuk menyeleksi secara alamiah— proses
keterwakilan politik pemerintah. Melalui Pemilihan Umum
dapat diketahui partai politik yang mendapat kepercayaan
rakyat.
f. Menurut R William Liddle dalam sistem pemerintahan
yang mulai demokrasi, Pemilihan Umum dianggap sebagai
penghubung antara prinsip kedaulatan rakyat dan praktek
kekuasaan atau pemerintahan oleh sejumlah elit partai.
Maka itu itu pemilihan umum adalah syarat dalam proses
demokrasi, namun belum merupakan jaminan sebagai
wujud dari pelaksanaan system kekuasaan secara
demokratis. Karena demokrasi masih menuntut syarat lain
selain Pemilihan Umum sebagai cermin kehendak rakyat
dan terintegrasinya warga negara ke dalam proses politik,
yaitu sejauh mana rakyat memberikan legitimasi politik
dalam proses Pemilihan Umum tersebut dan pada kapasitas
kontrol terhadap kekuasaan pemerintahan. Legitimasi dan
kontrol kekuasaan pemerintahan adalah sarana dasar yang
dapat dicermati dalam sistem Pemilihan Umum yang
diselenggarakannya. Apakah termobilisasi atau sepenuhnya
wujud dari partisipasi politik rakyat.
g. Dalam tatanan demokrasi, Pemilu adalah mekanisme atau
cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran
masyarakat ke tataran badan perwakilan agar dapat
diselesaikan secara damai dan adil sehingga kesatuan
masyarakat tetap terjamin.
h. Menurut UU No 15 tahun 1965, pemilihan umum adalah
suatu alat yang penggunaanya tidak boleh mengakibatkan
rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan menimbulkan
hal-hal yang memnderitakan rakyat, tetapi harus menjamin
suksesnya perjuangan Orde Baru, yaitu tetap tegaknya
Pancasila dan dipertahankannya Undang-Undang Dasar
1945.
Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai
pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum
merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan
rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan
kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
2. Tujuan Pemilu
Pemilihan Umum diselenggarakan bukan hanya sekedar
memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam Lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan juga tidak untuk
menyusun Negara baru dengan dasar falsafah Negara baru, tetapi
suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang mampu
membawakan isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan
perjuangan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Republik
Indonesia yang bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945,
guna memenuhi dan mengembangkan Amanat Penderitaan
Rakyat.
Pemilihan Umum bagi suatu negara demokrasi sangat
penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya,
antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga
legislatif.
b. Adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan
pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu.
c. Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat
mengoreksi atau mengawasi eksekutif.
Mohammad Kusnardi, SH. (1988:330-331) menyatakan :
bahwa paling tidak ada 3 macam tujuan Pemilihan Umum, yaitu:
a. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara
aman dan tertib;
b. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan
c. Dalam rangka dalam melaksanakan hak-hak asasi manusia.
Undang-undang pemilihan umum
Pada bagan di bawah ini kita dapat mengetahui tentang UU Pemilu
3. Asas Pemilu
Pemilu diselenggarakan secara demokratis dan transparan,
jujur dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan
suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Jadi
berdasarkan Undang-undang tersebut Pemilu menggunakan azas
sebagai berikut :
a. Langsung : Yaitu rakyat pemilih mempunyai hak untuk
secara langsung memberikan suaranya, sesuai dengan
kehendak hati nuraninya tanpa perantara dan tanpa tingkatan.
b. Umum : Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi
persyaratan minimal dalam usia, yaitu sudah berumur 17
tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam
Pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak
dipilih.
c. Bebas : Setiap warga negara yang memilih menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam
melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin
keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan
kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d. Rahasia : Yang berarti dalam memberikan suaranya, pemilih
dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak
manapun dan dengan jalan apapun. Azas rahasia ini tidak
berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat
pemungutan suara yang secara suka rela bersedia
mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun.
e. Jujur : Yang berarti bahwa penyelenggara/pelaksana,
pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas, dan
pemantau Pemilu, termasuk pemilih serta semua pihak yang
terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak
jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
f. Adil : Berarti dalam penyelenggaraan Pemilu setiap pemilih
dan Parpol peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama
serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
4. Landasan Pemilihan Umum
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia didasarkan pada landasan
berikut :
a. landasan Ideal, yaitu Pancasila, terutama sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan.
b. landasan Konstitusional; yaitu UUD 1945 yang termuat di
dalam :
1). Pembukaan Alinea ke empat
2).Batang Tubuh pasal 1 ayat 2
3). Penjelasan umum tentang sistem pemerintahan Negara
landasan operasional; yaitu GBHN yang berupa ketetapan-
ketetapan MPR serta peraturan perundangan-undangan
lainnya.
5. Sistem Pemilu
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam Pemilihan
Umum, akan tetapi umumnya berkisar ada dua prinsip pokok,
yaitu :
a. single-member constituency (satu daerah pemilihan memiliki
satu wakil ; biasanya disebut system distrik); dan
b. multy-member constituency (satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakil; biasanya dinamakan/ proportional
representation atau system perwakilan berimbang.
Dibawah ini akan lebih dijelaskan mengenai kedua sistem
tersebut :
a. Sistem Distrik
Sistem Distrik merupakan sistem Pemilihan Umum yang
paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap
kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam Dewan
Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu Negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik yang jumlah wakil rakyat dalam
Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan oleh jumlah distrik.
Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak
adalah yang menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan
kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan
tidak diperhitungkan lagi, bagaimana pun kecilnya selisih
kekalahannya.
Kelemahan sistem distrik ini antara lain:
1). Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai
kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini
terpancar dalam beberapa distrik;
2). Sistem ini kurang respresentatif dalam arti bahwa calon
yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara
yang telah mendukungnya.
Disamping kelamahan-kelemahan diatas, Pemilihan
Umum bersistem distrik memiliki beberapa kelebihan,
diantaranya adalah:
1). Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat
dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya
dengan penduduk lebih erat;
2). Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai
politik, karena kursi yang diperebutkan dalam setiap
distrik pemilihan hanya satu;
3). Berkurangnya partai dan meningkanya kerjasama antara
partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintahan
yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional;
4). Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
b. Sistem Perwakilan Berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa
kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokoknya ialah
sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam sistem
ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih banyak
yang diperolah sutau partai atau golongan dalam suatu daerah
pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang
diterima oleh partai/golongan itu dalam daerah pemilihan
lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan
guna memperoleh kursi tambahan.
Sistem perwakilan berimbang ini sering
dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, misalnya
dengan sistem daftar (lyst system). Dalam sistem daftar setiap
partai/golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih
memilih satu daftar. Dengan demikian, memilih satu partai
dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk
bermacam-macam kursi untuk diperebutkan.
Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan :
1). sistem ini mempermudah pragmentasi partai dan
timbulnya partai-partai baru;
2). wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada
partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah
yang telah memilihnya; dan
3). banyaknya partai mempersukar terbentuknya
pemerintah yang stabil oleh karena umumnya harus
mendasarkan diri atas koalisis dari dua partai atau lebih.
Di samping kelemahan tersebut, sistem ini memiliki
Satu keuntungan besar, yaitu bahwa sistem ini bersifat
refresentatif dalam arti bahwa setiap suara akan turut
diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang.
Golongan-golongan bagaimanapun dapat menempatkan
wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang
heterogen, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh
karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing
golongan (Budiardjo, 1978 : 177-180).
c. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Dalam massa Orde Baru ini, sistem pelaksanaan
Pemilihan Umum (di Indonesia) adalah sistem propotional
refresentation dengan stelsel pemilihan lijsten stelsel.
Misalnya jumlah anggota DPR yang dipilih dalam Pemilihan
Umum di Jawa seimbang dengan jumlah anggota yang
dipilih diluar Jawa; untuk menentukan banyaknya wakil
dalam setiapa pemilihan dipakai dasar perhitungan tiap-tiap-
paling sedikit 400.000 penduduk memperoleh seorang wakil,
dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan
mempunyai wakil sekurang-kurangnya sebanyak Daerah
Tingkat II yang terdapat dalam Daerah Tingkat I dan tiap-tiap
Daerah Tingkat II menpunyai sekurang-kurangnya seorang
wakil.
Hal tersebut di atas akan lebih jelas bila
memperhatikan rumusan dalam UU No.1 Tahun 1985 Pasal 5
Ayat (1-5) yang menyatakan, bahwa :
1). Jumlah anggota DPR yang dipilih bagi tiap daerah
pemilihan ditetapkan berdasarkan imbangan jumlah
penduduk yang terdapat dalam daerah pemilihan
tersebut.
2). Hal yang termaktub dalam ayat (1) tidak mengurangi
ketentuan bahwa :
a). jumlah wakil dalam setiap daerah pemilihan
sekurang-kurangnya sama dengan jumlah daerah
tingkat II yang ada dalam daerah pemilhan yang
bersangkutan;
b). Tiap daerah Tingkat II sekurang-kurangnya
mempunyai seorang wakil.
c). Untuk keperluan Pemilihan Umum, Menteri Negeri
dapat menetapkan pembagian daerah tingkat I yang
belum terbagi dalam daerah tingkat II, dalam
daerah-daerah administratif yang setingkat dengan
daerah tingkat II.
d). Jumlah anggota dalam daerah pemilihan yang
terbagi dalam daerah-daerah administratif seperti
yang termaksud dalam ayat (3) ditetapkan 8
(delapan) anggota tanpa mengurangi jiwa ayat (1)
dan ayat (2) sub b.
e). Jumlah anggota DPR dan DPRD yang dipilih
ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilu 1955.
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa
Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Kalau
dikatakan pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi,
apakah berarti selama 10 tahun itu Indonesia benar-benar tidak
demokratis?
Yang jelas, sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan
dipro-klamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945,
pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa
menyele-nggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan
dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan
par-tai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk
me-milih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari
1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru
terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan
tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat
X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September
1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember
1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam
Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan
Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada
Konstituante.
Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab
pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang
berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain
ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena
belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur
penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan
negara. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu
adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran
(sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif.
Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang
mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946
seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling
tidak disebabkan 2 (dua) hal :
1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan
perangkat UU Pemilu;
2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal
antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang
sama gangguan dari luar juga masih mengancam. Dengan kata lain para
pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan
bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian
tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat
bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelengga-rakan
pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948
tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949
tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa
pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak
langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan
bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta
huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan
banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad
Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah
memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya.
Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan
oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum
kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali
menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat
dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan
RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo,
juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan
pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan
pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru
selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari
PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang
Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan
demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan
UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak
langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan
dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu
1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari
negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik
dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran
berkom-petisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon
anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang
memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang
menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak
dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan
pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua
keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan
Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota DPR
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57
2. Masyumi 7.903.886 20,92 57
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39
5.Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII)1.091.160 2,89 8
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8
7. Partai Katolik 770.740 2,04 6
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI)541.306 1,43 4
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
(Perti)483.014 1,28 4
11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2
12. Partai Buruh 224.167 0,59 2
13. Gerakan Pembela Panca Sila 219.985 0,58 2
(GPPS)
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2
16. Murba 199.588 0,53 2
17. Baperki 178.887 0,47 1
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR)
Wongsonegoro178.481 0,47 1
19. Grinda 154.792 0,41 1
20.Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai)149.287 0,40 1
21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1
22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1
24. AKUI 81.454 0,21 1
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka
(PRIM)72.523 0,19 1
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1
28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1
29. Lain-lain 1.022.433 2,71 -
Jumlah 37.785.299100,00257
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15
Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak
520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada
pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota
Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat
dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang
kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibandingkan suara yang
diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota
Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:
Hasil Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante.
No.Partai/Nama Daftar Suara % Kursi
1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97119
2. Masyumi 7.789.619 20,59112
3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,4791
4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,4780
5.Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII)1.059.922 2,80 16
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16
7. Partai Katolik 748.591 1,99 10
8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10
9.Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI)544.803 1,44 8
10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
(Perti)465.359 1,23 7
11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3
12. Partai Buruh 332.047 0,88 5
13.Gerakan Pembela Panca Sila
(GPPS)152.892 0,40 2
14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2
15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3
16. Murba 248.633 0,66 4
17. Baperki 160.456 0,42 2
18.Persatuan Indoenesia Raya (PIR)
Wongsonegoro162.420 0,43 2
19. Grinda 157.976 0,42 2
20.Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai)164.386 0,43 2
21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3
22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2
23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1
24. AKUI 84.862 0,22 1
25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1
26.Partai Republik Indonesis Merdeka
(PRIM)143.907 0,38 2
27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1
28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1
29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1
30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1
31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1
32.Gerakan Banteng Republik
Indonesis (GBRI)39.874 0,11
33. PIR NTB 33.823 0,09 1
34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1
lain-lain 426.856 1,13
Jumlah 37.837.105 514
Periode Demokrasi Terpimpin.
Sangat disayangkan, kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak
bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu
pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-
kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik
Panitia Pemilihan Indonesia II.
Yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden
untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD
1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan
partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan
mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam
istilah Prof. Ismail Sunny sebagai kekuasaan negara bukan lagi
mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas
ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955,
setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang
diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata
Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan
MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa
pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena
UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota
DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah
terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut
UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan
DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui
Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967)
setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30
S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan
sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun
menyelenggarakan pemilu. Tahun 1963 MPRS yang anggotanya
diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai
presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang
mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat
Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS
1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk
mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI
Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan
dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh
Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan
diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS
dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan
pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari
sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal
5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Pak Harto berada di kursi
kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU)
kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan
kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971,
pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu
hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955
adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan
bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara,
termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi
calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971
para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu,
yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa
ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan
seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada
salah satu peserta Pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian
yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955.
Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969
sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.
Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk
mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan
penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-
an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma.
Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap,
ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di
daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus
acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut.
Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan.
Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord,
maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara
itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih
ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada
partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara
partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi
pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan
stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi
dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971
menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional
dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling
gamblang adalah perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang
secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya
memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih
jelasnya lihat tabel di bawah ini.
No.Partai Suara % Kursi
1. Golkar 34.348.673 62,82 236
2. NU 10.213.650 18,68 58
3. Parmusi 2.930.746 5,36 24
4. PNI 3.793.266 6,93 20
5. PSII 1.308.237 2,39 10
6. Parkindo 733.359 1,34 7
7. Katolik 603.740 1,10 3
8. Perti 381.309 0,69 2
9. IPKI 338.403 0,61 -
10. Murba 48.126 0,08 -
Jumlah 54.669.509 100,00 360
Sekedar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi
perolehan suara partai-partai pada Pemilu 1971 dilakukan dengan
sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu 1955, dengan
mengabaikan stembus accoord 4 partai Islam yang mengikuti Pemilu
1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini.
Pembagian Kursi Hasil Pemilu 1971 Seandainya Menggunakan
Sistem Kombinasi (hipotetis)
N
o.
Partai
Jumlah
Suara
Secara
Nasiona
l
Jumlah
Kursi
Pada
Pembag
ian
Pertama
Sisa
Suara
Setelah
Pembag
ian
Pertama
Peroleh
an pada
Pembag
ian
Kursi
Sisa
Pertama
Jumlah
Sisa
Suara
Setelah
Pembag
ian
Kursi
Sisa
Kursi
Atas
Suara
Terbe
sar
Juml
ah
Kursi
1Golka
r
34.339.
708214
1.342.0
8411
81.770
(III)1 226
2 NU10.201.
65948
1..323.2
4511 62.931 - 59
3 PNI3.793.2
6616 908.0617
106.043
(II)1 24
4Parmu
si
2.930.9
1910
1.389.4
3512 14.547 22
5 PSII1.257.0
561
1.039.2
809 8.000 - 10
6Parkin
do697.618 1 628.7525 53.882 - 6
7Katoli
k603.740 2 412.4283
68.706
(IV)1 6
8 Perti 380.403 2 180.2401 65.666 1 4
(V)
9 IPKI 338.376 - 338.3762109.228
(I)1 3
10 Murba47.800 - 47.800 - 47.800 - -
54.669.
509294
7.561.9
0161 5 360
Catatan:
1. Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai
sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil
bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan masing-masing.
Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam)
merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan
kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur
8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak
karena masih tersisa 7 kursi lagi.
Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu 1955 itu, hanya
Murba yang tidak mendapat kursi, karena pada pembagian kursi atas
dasar sisa terbesarpun perolehan suara partai tersebut tidak
mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah
65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena
suaranya secara nasional di atas Parmusi.
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur
mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah
Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali
dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur
dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih
sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya
pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan
jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan
Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI)
dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu,
yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya
tiga.
Hasilnyapun sama, Golkar selalu menjadi pemenang,
sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen.
Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan
ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan
eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung
utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini
dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara
pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni
mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750
pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93
persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau
62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi
atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di
DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP
berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau
bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam
Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks
Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi
mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi
diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU,
sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa
Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional
tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi
partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29
kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI,
Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara
tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
No.Partai Suara % Kursi
%
(1971)
Keteranga
n
1.Golka
r
39.750.09
662,11 232 62,80 - 0,69
2. PPP18.743.49
129,29 99 27,12 + 2,17
3. PDI 5.504.7578,60 29 10,08 - 1,48
Jumlah63.998.34
4
100,0
0360 100,00
Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak
pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi
secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan
di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil
diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut
tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi
bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi.
Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada
ketentuan Pemilu 1971.
No.Partai
Suara
DPR% Kursi
%
(1977)
Keteranga
n
1.Golka
r
48.334.72
464,34 242 62,11 + 2,23
2. PPP20.871.88
027,78 94 29,29 - 1,51
3. PDI 5.919.7027,88 24 8,60 - 0,72
Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00
Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23
April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633
pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara
pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada
Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar
PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga
hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain
karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya
lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan
oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga
menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat
dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan
DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo
Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30
kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
No.Partai Suara % Kursi
%
(1982)
Keteranga
n
1.Golka
r
62.783.68
073,16 299 68,34 + 8,82
2. PPP13.701.42
815,97 61 27,78 - 11,81
3. PDI 9.384.70810,87 40 7,88 + 2,99
Jumlah85.869.81
6
100,0
0400
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama
dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya
dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu mengagetkan
banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot
dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan
suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi
68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak
nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299
menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa
menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada
Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai
berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini
kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi
dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Partai itu tidak memiliki wakil
sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP
memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena
kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu
menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai
daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan
perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga
menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992,
PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
No.Partai Suara % Kursi
%
(1987)
Keteranga
n
1.Golka
r
66.599.33
168,10 282 73,16 - 5,06
2. PPP16.624.64
717,01 62 15,97 + 1,04
3. PDI14.565.55
614,89 56 10,87 + 4.02
Jumlah97.789.53
4
100,0
0400 100,00
Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan
tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu
1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara
diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa
setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar
kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya
mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan
kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari
hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43
persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP
meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992.
Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah
antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun
menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan
hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR
dibandingkan Pemilu 1992.
No.Partai Suara %
Kurs
i
%
(1992)
Keterang
an
1.Golka
r
84.187.90
774,51 325 68,10 + 6,41
2. PPP25.340.02
822,43 89 17,00 + 5,43
3. PDI 3.463.225 3,06 11 14,90 - 11,84
Jumlah112.991.1
50
100,0
0425 100,00
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap
kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang,
Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan
penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat
di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya
pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Pemilu 1999
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada
tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru
atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu
1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan
pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat
itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk
memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia
internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang
merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal
ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum
MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan
hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai
masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa
jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu
kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi
sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu,
pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang
Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri,
yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid
(Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden
membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-
anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari
pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan
Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah
Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan
karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta
Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di
Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi
inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah
proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil
menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana
Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-
persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya.
Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke
kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya
krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial
dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan
pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal,
yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan
dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa
terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di
beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan
pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun
karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan
pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan
lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu
kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan
suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara
perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil).
Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno
KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu
1999.
Nomo
r
Nama Partai
1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19 PADI
20. PRD
21. PPI
22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian
diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat
dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia
Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-
keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang
berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi
bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak
menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya.
Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil
final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan
Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga
muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil
pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya
pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang
melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI
menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya
mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8
partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi
sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada
KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui
voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung
dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua
pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung
opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara.
Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi
dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat
melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September
1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar
memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang
diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073
suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar
memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga
mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu
1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan
51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen,
mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu
1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34
kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI
merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa,
atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil
perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.
No
.
Nama PartaiSuara
DPR
Kursi
Tanpa SA
Kursi
Dengan SA
1. PDIP35.689.07
3153 154
2. Golkar23.741.74
9120 120
3. PPP11.329.90
558 59
4. PKB13.336.98
251 51
5. PAN 7.528.95634 35
6. PBB 2.049.70813 13
7.Partai
Keadilan1.436.5657 6
8. PKP 1.065.6864 6
9. PNU 679.179 5 3
10
.PDKB 550.846 5 3
11
.PBI 364.291 1 3
12
.PDI 345.720 2 2
13
.PP 655.052 1 1
14
.PDR 427.854 1 1
15
.PSII 375.920 1 1
16
.
PNI Front
Marhaenis365.176 1 1
17
.
PNI Massa
Marhaen345.629 1 1
18
.IPKI 328.654 1 1
19
.PKU 300.064 1 1
20
.Masyumi 456.718 1 -
21
.PKD 216.675 1 -
22
.PNI Supeni 377.137 - -
23 Krisna 369.719 - -
24
.Partai KAMI 289.489 - -
25
.PUI 269.309 - -
26
.PAY 213.979 - -
27
.
Partai
Republik328.564 - -
28
.Partai MKGR 204.204 - -
29
.PIB 192.712 - -
30
.Partai SUNI 180.167 - -
31
.PCD 168.087 - -
32
.PSII 1905 152.820 - -
33
.Masyumi Baru152.589 - -
34
.PNBI 149.136 - -
35
.PUDI 140.980 - -
36
.PBN 140.980 - -
37
.PKM 104.385 - -
38
.PND 96.984 - -
39
.PADI 85.838 - -
40 PRD 78.730 - -
.
41
.PPI 63.934 - -
42
.PID 62.901 - -
43
.Murba 62.006 - -
44
.SPSI 61.105 - -
45
.PUMI 49.839 - -
46 PSP 49.807 - -
47
.PARI 54.790 - -
48
.PILAR 40.517 - -
Jumlah105.786.6
61462 462
Catatan:
1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan
kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari
suara yang sah.
2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan
sistem kombinasi jumlah partai yang
mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan
jumlah suara partai yang tidak menghasilkan
kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara
sah.
3. Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai
sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam
sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan
suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk
perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu
sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu
partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor
urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai
itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan
berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana
seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja
si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari
daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang
terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan
suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan
pada Pemilu 1971.
Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut
merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah
pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat
tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang.
Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan
bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih
baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah
mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut,
sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.
B. DEMOKRASI
1. Pengertian Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan
di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya
dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan
dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah
berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
“demokrasi” di banyak Negara.
Secara etimologis, demokrasi dalam bahasa Yunani berasal dari
dua kata yaitu demos dan kratos/cratein. Demos, berarti rakyat atau
penduduk, kratos berarti pemerintah, kekuasaan atau kedaulatan,
sedangkan cratein berarti memerintah. Dengan demikian,demokrasi
berarti pemerintahan oleh rakyat. Maksudnya ialah suatu sistem
pemerintahan yang rakyatnya diikut sertakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara. Dan secara bahasa demokrasi adalah keadaan
negara di mana kedaulatan atau kekuasaan tertingginya berada di
tangan rakyat. Konsep demokrasi diterima oleh hampir seluruh
negara di dunia. Diterimanya konsep demokrasi disebabkan oleh
keyakinan mereka bahwa konsep ini merupakan tata pemerintahan
yang paling unggul dibandingkan dengan tata pemerintahan lainnya.
Demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Presiden Amerika
Serikat ke-16, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi sebagai
suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (is a
government of the people, by the people and for the people).
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh
pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar
satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-
lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan
dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga
pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif
dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia)
yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di
bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau
oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi
masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya
melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-
hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh
melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak
mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga
yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai
tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih
(mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden
atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin
negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat
memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian
banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem
demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta
demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan
sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil.
Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya
akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah
teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya
memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur
tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan
kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian
kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan
prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari
rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting
untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan
pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan
absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain,
misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan
sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa
mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk
rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel
(accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan
akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan
lembaga negara tersebut.
2. Jenis-Jenis Demokrasi
Demokrasi menurut cara penyaluran kehendak rakyat terbagi
dalam dua jenis: demokrasi bersifat langsung dan demokrasi bersifat
representatif.
Demokrasi bersifat langsung / Direct Demokrasi
Demokrasi langsung juga dikenal sebagai demokrasi bersih.
Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan
pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera
didalam satu pertemuan.
Jenis demokrasi ini dapat dipraktekkan hanya dalam kota kecil
dan komunitas yang secara relatip belum berkembang,dimana secara
fisik memungkinkan untuk seluruh electorate untuk bermusyawarah
dalam satu tempat, walaupun permasalahan pemerintahan tersebut
bersifat kecil.
Demokrasi langsung berkembang di Negara kecil Yunani kuno
dan Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan didalam
masyarakat yang komplek dan Negara yang besar. demokrasi murni
yang masih bisa diambil contoh terdapat diwilayah Switzerland.
Mengubah bentuk demokrasi murni ini masih berlaku di
Switzerland dan beberapa Negara yang didalamnya terdapat bentuk
referendum dan inisiatip. Dibeberapa Negara sangat memungkinkan
bagi rakyat untuk memulai dan mengadopsi hukum, bahkan untuk
mengamandemengkan konstitusional dan menetapkan permasalahan
public politik secara langsung tampa campur tangan representative.
Demokrasi bersifat refresentatif/revresentative demokratis
Didalam Negara yang besar dan modern demokrasi tidak bisa
berjalan sukses. Oleh karena itu, untuk menanggulangi masalah ini
diperlukan sistem demokrasi secara representatip. Para representatip
inilah yang akan menjalankan atau menyampaikan semua aspirasi
rakyat didalam pertemuan. Dimana mereka dipilih oleh rakyat dan
berkemungkinan berpihak kepada rakyat. (Garner).
Sistem ini berbasis atas ide, dimana rakyat tidak secara
langsung hadir dalam menyampaikan aspirasi mereka, namun mereka
menyampaikan atau menyarankan saran mereka melaui wakil atau
representatip. Bagaimanapun, didalam bentuk pemerintahan ini
wewenang disangka benar terletak ditangan rakyat, akan tetapi
semuanya dipraktekkan oleh para representatif.
Menurut dasar prinsip ideologi, demokrasi dibedakan atas :
Demokrasi Konstitusional (Demokrasi Liberal)
Demokrasi Rakyat (Demokrasi Proletar)
Menurut dasar yang menjadi titik perhatian atau prioritasnya,
demokrasi dibedakan atas :
Demokrasi Formal
Demokrasi Material
Demokrasi Campuran
Menurut dasar wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan
negara, demokrasi dibedakan atas :
Demokrasi Sistem Parlementer
Demokrasi Sistem Presidensial
3. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Inu Kencana Syafiie merinci prinsip-prinsip demokrasi sebagai
berikut, yaitu ; adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum
yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu,
peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang
berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik,
konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional,
ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap
administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang
mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik,
kebebasan kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang
mengutamakan musyawarah.
Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas
kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga
dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan
parameter untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi yang
berjalan di suatu negara. Parameter tersebut meliputi empat
aspek.Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan
kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak, dan
pola hubungan yang akan terbangun. Pemilihan umum dipercaya
sebagai salah satu instrumen penting yang dapat mendukung proses
pembentukan pemerintahan yang baik. Kedua, dasar kekuasaan
negara. Masalah ini menyangkut konsep legitimasi kekuasaan serta
pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Ketiga, susunan
kekuasaan negara. Kekuasaan negara hendaknya dijalankan secara
distributif. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemusatan
kekuasaan dalam satu tangan..Keempat, masalah kontrol rakyat.
Kontrol masyarakat dilakukan agar kebijakan yang diambil oleh
pemerintah atau negara sesuai dengan keinginan rakyat.
4. Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis
a. Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan
rakyat banyak, dengan ciri-ciri tambahan:
* konstitusional, yaitu bahwa prinsip-prinsip kekuasaan,
kehendak dan kepentingan rakyat diatur dan ditetapkan dalam
konstitusi;
* perwakilan, yaitu bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat
diwakilkan kepada beberapa orang;
* pemilihan umum, yaitu kegiatan politik untuk memilih
anggota-anggota parlemen;
* kepartaian, yaitu bahwa partai politik adalah media atau
sarana antara dalam praktik pelaksanaan demokrasi;
b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, misalnya
pembagian/ pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
c. Adanya tanggung jawab dari pelaksana kegiatan
pemerintahan.
Macam-macam demokrasi:
1) Demokrasi ditinjau dari cara penyaluran kehendak rakyat:
a) Demokrasi langsung
Dipraktikkan di negara-negara kota (polis, city state) pada
zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, seluruh rakyat dapat
menyampaikan aspirasi dan pandangannya secara langsung.
Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui - secara
langsung pula - aspirasi dan persoalan-persoalan yang
sebenarnya dihadapi masyarakat. Tetapi dalam zaman
modern, demokrasi langsung sulit dilaksanakan karena:
* sulitnya mencari tempat yang dapat menampung seluruh
rakyat sekaligus dalam membicarakan suatu urusan;
* tidak setiap orang memahami persoalan-persoalan negara
yang semakin rumit dan kompleks;
* musyawarah tidak akan efektif, sehingga sulit menghasilkan
keputusan yang baik.
b) Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan
Sistem demokrasi (menggantikan demokrasi langsung)
yang dalam menyalurkan kehendaknya, rakyat memilih
wakil-wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Aspirasi
rakyat disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam
parlemen. Tipe demokrasi perwakilan berlainan menurut
konstitusi negara masing-masing.
Sistem pemilihan ada dua macam, yaitu: pemilihan secara
langsung dan pemilihan bertingkat. Pada pemilihan secara
langsung, setiap warga negara yang berhak secara langsung
memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen.
Sedangkan pada pemilihan bertingkat, yang dipilih rakyat
adalah orang-orang di lingkungan mereka sendiri, kemudian
orang-orang yang terpilih itu memilih anggota-anggota
parlemen.
c. Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum
Dalam sistem demokrasi ini rakyat memilih para wakil
mereka untuk duduk di parlemen, tetapi parlemen tetap
dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan sistem referendum
(pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara
langsung). Sistem ini digunakan di salah satu negara bagian
Swiss yang disebut Kanton.
2) Demokrasi ditinjau dari titik berat perhatiannya:
a) Demokrasi Formal (Demokrasi Liberal)
Demokrasi formal menjunjung tinggi persamaan dalam
bidang politik tanpa disertai upaya untuk mengurangi atau
menghilangkan kesenjangan rakyat dalam bidang ekonomi.
Dalam sistem demokrasi yang demikian, semua orang
dianggap memiliki derajat dan hak yang sama. Namun karena
kesamaan itu, penerapan azas free fight competition
(persaingan bebas) dalam bidang ekonomi menyebabkan
kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin kian
lebar. Kepentingan umum pun diabaikan.
Demokrasi formal/ liberal sering pula disebut demokrasi
Barat karena pada umumnya dipraktikkan oleh negara-negara
Barat. Kaum komunis bahkan menyebutnya demokrasi
kapitalis karena dalam pelaksanaannya kaum kapitalis selalu
dimenangkan oleh pengaruh uang (money politics) yang
menguasai opini masyarakat (public opinion).
b) Demokrasi Material (Demokrasi Rakyat)
Demokrasi material menitikberatkan upaya-upaya
menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi sehingga
persamaan dalam persamaan hak dalam bidang politik kurang
diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi
perbedaan dalam bidang ekonomi, partai penguasa (sebagai
representasi kekuasaan negara) akan menjadikan segala
sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi tidak diakui.
Maka, demi persamaan dalam bidang ekonomi, kebebasan
dan hak-hak azasi manusia di bidang politik diabaikan.
Demokrasi material menimbulkan perkosaan rohani dan
spiritual.
Demokrasi ini sering disebut demokrasi Timur, karena
berkembang di negara-negara sosialis/ komunis di Timur,
seperti Rusia, Cekoslowakia, Polandia dan Hongaria dengan
ciri-ciri:
1. sistem satu (mono) partai, yaitu partai komunis (di Rusia);
2. sistem otoriter, yaitu otoritas penguasa dapat dipaksakan
kepada rakyat;
3. sistem perangkapan pimpinan, yaitu pemimpin partai
merangkap sebagai pemimpin negara/ pemerintahan;
4. sistem pemusatan kekuasaan di tangan penguasa tertinggi
dalam negara.
c) Demokrasi Gabungan
Demokrasi ini mengambil kebaikan dan membuang
keburukan demokrasi formal dan material. Persamaan derajat
dan hak setiap orang tetap diakui, tetapi diperlukan
pembatasan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.
Pelaksanaan demokrasi ini bergantung pada ideologi negara
masing-masing sejauh tidak secara jelas kecenderungannya
kepada demokrasi liberal atau demokrasi rakyat
.
3) Demokrasi ditinjau dari hubungan antaralat perlengkapan
negara:
a) Demokrasi perwakilan dengan sistem parlementer
Demokrasi sistem parlementer semula lahir di Inggris pada
abad XVIII dan dipergunakan pula di negara-negara Belanda,
Belgia, Prancis, dan Indonesia (pada masa UUDS 1950)
dengan pelaksanaan yang bervariasi, sesuai dengan konstitusi
negara masing-masing.
Negara-negara Barat banyak menggunakan demokrasi
parlementer sesuai dengan masyarakatnya yang cenderung
liberal. Ciri khas demokrasi ini adalah adanya hubungan yang
erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat
atau legislatif. Para menteri yang menjalankan kekuasaan
eksekutif diangkat atas usul suara terbanyak dalam sidang
parlemen. Mereka wajib menjalankan tugas penyelenggaraan
negara sesuai dengan pedoman atau program kerja yang telah
disetujui oleh parlemen. Selama penyelenggaraan negara oleh
eksekutif disetujui dan didukung oleh parlemen, maka
kedudukan eksekutif akan stabil. Penyimpangan oleh seorang
menteri pun dapat menyebabkan parlemen mengajukan mosi
tidak percaya yang menggoyahkan kedudukan eksekutif.
Demokrasi parlementer lebih cocok diterapkan di negara-
negara yang menganut sistem dwipartai: partai mayoritas
akan menjadi partai pendukung pemerintah dan partai
minoritas menjadi oposisi.
Dalam demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan
(distribution of powers) antara badan eksekutif dengan badan
legislatif dan kerja sama di antara keduanya. Sedangkan
badan yudikatif menjalankan kekuasaan peradilan secara
bebas, tanpa campur tangan dari badan eksekutif maupun
legislatif.
Kebaikan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1. pengaruh rakyat terhadap politik yang dijalankan
pemerintah sangat besar;
2. pengawasan rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat
berjalan dengan baik;
3. kebijakan politik pemerintah yang dianggap salah oleh
rakyat dapat sekaligus dimintakan pertanggungjawabannya
oleh parlemen kepada kabinet;
4. mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan
eksekutif dan badan legislatif;
5. menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari
suara terbanyak di parlemen sehingga secara tidak langsung
merupakan kehendak rakyat pula;
6. menteri-menteri akan lebih berhati-hati dalam menjalankan
tugas karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen
7. pemerintah yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan
dan diganti dengan pemerintah baru yang dianggap sanggup
menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan
rakyat.
Keburukan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1. kedudukan badan eksekutif tidak stabil, karena dapat
diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak
percaya;
2. sering terjadi pergantian kabinet, sehingga kebijakan politik
negara pun labil;
3. karena pergantian eksekutif yang mendadak, eksekutif
tidak dapat menyelesaikan program kerja yang telah
disusunnya.
4. Demokrasi perwakilan dengan sistem pemisahan kekuasaan
Demokrasi ini berpangkal pada teori pemisahan kekuasaan
yang dikemukakan oleh para filsuf bidang politik dan hukum.
Pelopornya adalah John Locke (1632-1704) dari Inggris, yang
membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bidang, yaitu
eksekutif, legislatif dan federatif. Untuk menghindari
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketiga bidang itu harus
dipisahkan. Charles Secondat Baron de Labrede et de
Montesquieu (1688-1755) asal Prancis, memodifikasi teori
Locke itu dalam teori yang disebut Trias Politica pada
bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Menurut
Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif
(kekuasaan membuat undang-undang), eksekutif (kekuasaan
melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan
mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan
antarlembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-
undang). Ketiga cabang kekuasaan itu harus dipisahkan - baik
organ/ lembaganya maupun fungsinya.
Teori Montesquieu disebut teori pemisahan kekuasaan
(separation du puvoir) dan dijalankan hampir sepenuhnya di
Amerika Serikat. Di negara itu, kekuasaan legislatif dipegang
oleh Kongres, kekuasaan eksekutif oleh Presiden dan
kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga badan
tersebut berdiri terpisah dari yang lainnya untuk menjaga
keseimbangan dan mencegah jangan sampai kekuasaan salah
satu badan menjadi terlampau besar. Kesederajatan itu
menjadikan ketiganya dapat berperan saling mengawasi
(check and balance).
Kebaikan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan
kekuasaan:
1.pemerintah selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan
oleh parlemen, sehingga pemerintahan dapat berlangsung
relatif stabil;
2.pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk
melaksanakan programnya tanpa terganggu oleh adanya krisis
kabinet;
3.sistem check and balance dapat menghindari pertumbuhan
kekuasaan yang terlampau besar pada setiap badan;
4.mencegah terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat pada
satu orang).
Keburukan demokrasi perwakilan bersistem pemisahan
kekuasaan:
1.pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang
berpengaruh;
2. pengaruh rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang
mendapat perhatian;
3. pada umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil
negosiasi antara badan legislatif dan eksekutif sehingga
keputusan tidak tegas;
4. proses pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.
3) Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum
Demokrasi ini merupakan gabungan antara demokrasi
perwakilan dengan demokrasi langsung. Dalam negara yang
menganut demokrasi ini parlemen tetap ada, tetapi kinerjanya
dikontrol secara langsung oleh rakyat melalui referendum.
Jadi, ciri khas demokrasi perwakilan dengan sistem
referendum adalah bahwa tugas-tugas legislatif selalu berada
di bawah pengawasan seluruh rakyat karena dalam hal-hal
tertentu, keputusan parlemen tidak dapat diberlakukan tanpa
persetujuan rakyat. Sedangkan mengenai hal lain, keputusan
parlemen dapat langsung diberlakukan sepanjang rakyat
menerimanya.
Ada dua macam referendum, yaitu referendum obligator dan
referendum fakultatif. Referendum obligator adalah
pemungutan suara rakyat yang wajib dilaksanakan mengenai
suatu rencana konstitusional. Referendum ini bersifat wajib
karena menyangkut masalah penting, misalnya tentang
perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi tidak dapat
dilakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan referendum
fakultatif merupakan pemungutan suara rakyat yang tidak
bersifat wajib dilakukan mengenai suatu rencana
konstitusional. Referendum fakultatif baru perlu dilakukan
apabila dalam waktu tertentu setelah undang-undang
diumumkan pemberlakuannya, sejumlah rakyat meminta
diadakan referendum.
Kebaikan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:
1. apabila terjadi pertentangan antara badan organisasi negara,
maka persoalan itu dapat diserahkan keputusannya kepada
rakyat tanpa melalui partai;
2. adanya kebebasan anggota parlemen dalam menentukan
pilihannya, sehingga pendapatnya tidak harus sama dengan
pendapat partai/ golongannya.
Keburukan demokrasi perwakilan dengan sistem referendum:
1. pembuatan undang-undang/ peraturan relatif lebih lambat
dan sulit;
2. pada umumnya rakyat kebanyakan tidak berpengetahuan
cukup untuk menilai atau menguji kualitas produk undang-
undang.
5. Sejarah Demokrasi
Dalam sejarah awal perkembangannya demokrasi juga
memakan korban. Socrates, filsuf terkemuka negara Yunani
kuno, sangat kritis membela pemikiran-pemikirannya, yaitu
agar kaum muda tidak mempercayai para dewa dan mengajari
mereka untuk mencapai kebijaksanaan sejati dengan berani
bersikap mencintai kebenaran sehingga terhindar dari
kedangkalan berpikir.
Para penguasa dan masyarakat Yunani kuno saat itu
menganggap semua kebenaran itu relatif, mereka kaum sofis.
Kebenaran relatif ala kaum sofis, contohnya, menurut mereka
keberadaan para dewa adalah relatif, bisa berganti-ganti
menurut ciptaan manusia. Ditentukan oleh keadaan
masyarakat bukan oleh kebenaran wahyu. Agama dan faham
tentang wujud Tuhan adalah relatif, begini boleh begitu
boleh.
Orang yang bertani meyakini bahwa segenap usaha untuk
mencari makan tergantung kepada sesuatu hal yang gaib.
Untuk memohon turun hujan, misalnya, dari mana hujan
harus diminta? Mereka punya sawah, ladang yang ditanami
padi, jagung, yang akan mati jika tidak turun hujan. Mereka
lalu berkata, “Kepada yang ghaib kita memohon agar
diturunkan hujan!” Begitu pula jika padi telah hamper tua,
mereka mohon padinya agar cepat kering jangan ada hujan.
Merekapun memohon hujan dihentikan oleh yang ghaib.
Tatkala manusia hidup di hutan rimba, di bawah pohon-pohon
dan gua-gua mereka mengira bahwa Tuhan berupa pohon,
petir, atau sungai. Setelah hidup bercocok tanam dan beternak
mereka menyembah binatang atau ciptaan lainnya yang
disebut sebagai dewa atau Tuhan mereka.
Dan ketika manusia masuk ke alam industrialisme, banyak
yang tidak mengakui Tuhan lagi. Tuhan sudah tidak
dibutuhkan lagi. Karena misalnya kalau mereka perlu listrik
tidak perlu memohon kepada yang gaib, tinggal pijit knop
saja. Ingin tenaga tinggal nyalakan mesin, mesin itu menjadi
tenaga penggerak. Di tangannya mereka menggenggam
kepastian.
Ada kisah empat orang buta yang belum pernah tahu bentuk
gajah. Datanglah kepada mereka seorang kawan yang
menunjukkan kepada mereka rupa gajah itu. Si buta pertama
disuruh maju dia meraba dan mendapat belalainya. Dia
berkata, “Oh ternyata gajah itu seperti ular besar yang bisa
dibengkokkan. Si buta kedua mendapat ekor gajah. Dia
berkata, “Oh gajah itu seperti cambuk. Si buta ketiga
mendapat kakinya. Dia berkata, “Oh rupanya gajah itu seperti
pohon kelapa. Si buta ke empat karena cebol ia tidak bisa
memegang apa-apa. Dia pun berkata, “Oh ternyata gajah itu
seperti hawa.”
Socrates sangat meyakini adanya kebenaran mutlak, maka
para penguasa Athena menganggap Socrates sebagai oposan.
Mereka menganggap Socrates menyesatkan dan meracuni
kaum muda dengan ajaran-ajarannya.Socrates menemukan
argumen untuk membela diri, yaitu dengan metode induksi
(penyimpulan dari khusus ke umum). Dengan metode induksi
ini ia menentukan pengertian umum yang berhasil
membuktikan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif.
Tetapi para penguasa Athena membuat keputusan secara
demokratis bahwa Socrates bersalah dan harus dijatuhi
hukuman mati. Meski dibujuk untuk melarikan diri, Socrates
tetap menerima vonis matinya. Eksekusi dilangsungkan
dengan Socrates memilih minum racun, sekitar tahun 399
sebelum Masehi pada saat ia berumur 70 tahun. Tubuhnya
mati oleh racun itu, tapi pemikiran-pemikirannya masih hidup
hingga saat ini.
Setelah Socrates wafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf
selanjutnya kehilangan kepercayaan kepada demokrasi yang
memenangkan dogma orang awam. Para penguasa dengan
culas telah memanipulasi demokrasi demi keberlanjutan
kekuasaan mereka, sehingga dogma-dogma orang awam bisa
mereka wakili tanpa harus mengacu kepada subtansi dan
kebenaran dogma-dogma itu. Kemudian Plato, murid dan
sahabat Socrates bangkit menentang membludaknya arus
relativisme.
Ia memperkuat argument Socrates dengan temuan pikirannya,
yaitu “alam ide”. Menurut Plato kebenaran mutlak sudah ada
dalam ide sebagai realitas sebenarnya. Manusia memiliki ide
tentang segala sesuatu sejak ia dilahirkan. Itulah yang disebut
innead idea (ide bawaan), termasuk ide manusia tentang
“Sang Baik” yang menjadi realitas tertinggi, yang dimaksud
Plato sebagai Tuhan.
Contoh ide manusia sebagai penentuan kebenaran mutlak,
manusia puny aide tentang kucing (kebenaran umum), tetapi
ada yang lebih spesifik lagi yang menentukan bahwa
kucingnya hitam, maka kebenaran itu sudah bersifat khusus.
Ide mengenai kucing merupakan kebenaran objektif, dan
kucing hitam adalah bentuk dari kekhususan yang bersifat
objektif (umum).
Filsafat dilanjutkan oleh Aristoteles, murid dan sahabat Plato.
Seorang yang mendapat pendidikan sebelum menjadi filosof,
maka dari itu ia berpikir lebih saintifik dibanding dua filsuf
sebelumnya. Di antara cirri filsafat Aristoteles adalah
sistematis dan dipengaruhi metode empiris. Oleh sebab itu
Aristoteles lebih mementingkan observasi. Ia juga
menampilkan logika yang menuju ke generalisasi sebagai
pengembangan dari induksi Socrates, sehingga relativisme
semakin tumbang oleh kebenaran mutlak.
Salah satu teori metafisika Aristoteles yang penting adalah
bahwa matter (benda) dan form (bentuk) itu bersatu. Matter
sebagai subtansi, sedangkan form adalah pembungkusnya.
Setiap objek terdiri dari matter dan form. Matter itu potensial,
dan form itu aktualitas. Namun, ada subtansi murni tanpa
matter, ialah Tuhan. Hal ini dibuktikannya dengan adanya
gerak, pasti ada yang menyebabkan sesuatu bergerak.
Baginya Tuhan itu “Sang Penggerak Pertama”.
Pada zaman Romawi sampai dengan abad pertengahan (abad
XV) pelaksanaan demokrasi memngalami kemunduran karena
berkembang praktek-praktek tirani dan diktator. Tetapi,
sejalan dengan waktu, arti demokrasi modern telah berevolusi
pada awal abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan
system demokrasi di banyak negara.
Sejak zaman Renaissance (abad ke-19) ajaran demokrasi
semakin berkembang dengan pertimbangan bahwa rakyat
tidak senang dengan praktek-praktek sewenang-wenang para
penguasa, rakyat menuntut persamaan hak dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan pemahaman yang
lebih baik terhadap konsep-konsep atau teori-teori demokrasi
yang mengarah kepada prinsip-prinsip kemerdekaan dan hak
azasi manusia.
Saat ini konsep demokrasi merupakan kata kunci dalam
bidang politik, dan menjadi indicator perkembangan politik
suatu negara. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme
sistem pemerintahan suatu negara sebagai usaha mewujudkan
kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Menurut
Hans Kelsen, pada dasarnya demokrasi itu adalah
pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi tiga kekuasaan politik negara untuk mewujudkan
lembaga-lembaga pemerintah yang berwenang melaksanakan
kewenangan eksekutif (lembaga eksekutif), lembaga-lembaga
pengadilan yang berwenang menjalankan kewenangan
yudikatif (lembaga yudikatif), dan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat (di Indonesia DPR) yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan legislative (lembaga legislatif).
Di mana ketiga lembaga negara ini saling lepas (independen)
dan sejajar satu sama lain, agar bisa saling mengawasi
berdasarkan prinsip checks and balances.
Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh rakyat,
atau oleh wakil rakyat yang wajib bekerja dan bertindak
sesuai aspirasi rakyat yang diwakilinya (konstituen) yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain
sesuai hukum dan peraturan. Selain itu, banyak keputusan
atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu
negara juga diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum hanya bisa diikuti oleh warga negara yang berhak dan
secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Banyak negara
demokrasi hanya memberi hak pilih kepada rakyat yang telah
melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun ke atas, dan
yang tak memiliki catatan kriminal seperti narapidana atau
eks narapidana.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud disini bukan hanya
kedaulatan memilih anggota-anggota parlemen atau presiden
secara langsung, tetapi dalam arti lebih luas. Pemilihan
presiden dan anggota-anggota parlemen secara langsung,
hanya sedikit dari sekian banyak praktek kedaulatan rakyat,
tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi.
Walaupun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar,
suatu pemilihan umum sering disebut pesta demokrasi.
Ini akibat cara berpikir sebagian rakyat yang masih selalu
mendewakan tokoh idola sebagai tokoh impian ratu adil,
bukan sistem pemerintahan yang bagus. Padahal sebaik
apapun seorang pemimpin negara, masa hidupnya jauh lebih
singkat dari masa hidup suatu sistem yang telah teruji mampu
membangun negara.
Posisi vital demokrasi dalam kaitan pembagian kekuasaan
dalam negara (prinsip trias politica) yang diperoleh dari
rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Prinsip trias politica sangat penting
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat bahwa
kekuasaan absolute pemerintah (eksekutif) tak mampu
membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan sering
menimbulkan pelanggaran terhadap hak azasi manusia.
Begitu juga dengan kekuasaan berlebihan di lelmbaga negara
lain, misalnya lembaga legislatif yang menentukan angggaran
sendiri untuk gaji dan tunjangan-tunjangan anggotanya tanpa
mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan
bagi rakyat.
Setiap lembaga negara harus accountable dan ada mekanisme
formal yang menunjukkan akuntabilitas dari setiap lembaga
negara, serta mampu secara operasional (bukan hanya secara
teori), membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.Di
negara modern, demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi
bersifat tidak langsung, berdasarkan perwakilan
(representative democracy).
C. PEMILU SEBAGAI SARANA DEMOKRASI
Pemilu (Pemilihan Umum) sering disebut sebagai pesta
Demokrasi yang dilakukan sebuah Negara. Melalui Pemilu, rakyat
memunculkan para calon pemimpin dan menyaring calon-calon
tersebut berdasarkan nilai yang berlaku. Keikutsertaan rakyat dalam
Pemilu, dapat dipandang juga sebagai wujud partisipasi dalam proses
Pemerintahan, sebab melalui lembaga masyarakat ikut menentukan
kebijaksanaan dasar yang akan dilaksanakan pemimpin terpilih.
Dalam sebuah Negara yang menganut paham Demokrasi, Pemilu
menjadi kunci terciptanya demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa
diikuti Pemilu. Pemilu merupakan wujud yang paling nyata dari
demokrasi.
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik
adalah Pemilihan Umum. Demokrasi sebuah bangsa hampir tidak
terpahamkan tanpa Pemilu. Sehingga setiap pemerintahan suatu
Negara yang hendak menyelenggarakan pemilu selalu menginginkan
pelaksanaanya benar-benar mencerminkan proses demokrasi. Pemilu
merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut serta menentukan figure dan
arah kepemimpinan Negara dalam periode waktu tertentu.
Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan
Negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi
penyelenggaraan pemilu. Pemilu yang teratur dan berkesinambungan
saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-
benar menedekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan saran
legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa betapapun
otoriternya pasati membutuhkan dukungan rakyat secara formal
untuk melegitimasi kekuasaanya.
Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system atau
mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang
harus diperhatikan.
Hakikat Pemilihan Umum dan Demokrasi
Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai
Pemilihan Umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan
sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga
pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemilihan umum merupakan perwujudan nyata demokrasi dalam
praktek bernegara masa kini (modern) karena menjadi sarana utama
bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatan rakyat atas Negara dan
Pemerintah. Pernyataan kedaulatan rakyat tersebut dapat diwujudkan
dalam proses pelibatan masyarakat untuk menentukab siapa-siapa
saja yang harus menjalankan dan di sisi lain mengawasi
pemerintahan Negara. Karena itu, fungsi utama bagi rakyat adalah
“untuk memilih dan melakukan pengawasan terhadap wakil-wakil
mereka”.
Hakikat Demokrasi
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani kuno yang diutarakan di
Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata “demokrasi” berasal dari dua
kata yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan. Sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat
atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan system “demokrasi” di berbagai
Negara.
Menurut Jeff Hayness (2000) membagi pemberlakuan demokrasi
ke dalam tiga model berdasarkan penerapannya, yaitu :
1. Demokrasi formal, ditandai dengan adanya kesempatan untuk
memilih pemerintahannya denga interval yang teratur dan ada aturan
yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur pemilu
dengan memperhatikan proses hukumnya.
2. Demokrasi permukaan (fade) merupakan gejala yang umum di
dunia ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi, tetapi sama sekali
tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diadakan sekadar para os
inglesses ver artinya “supaya dilihat oleh orang inggris”. Hasilnya
adalah demokrasi dengan intensitas rendah yang dalam banyak hal
tidak jauh dari sekadar polesan pernis demokrasi yang melapisi
struktur politik.
3. Demokrasi substantive menempati ranking paling tinggi dalam
penerapan demokrasi. Demokrasi substantive memberi tempat
kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum muda,
golongan minoritas keagamaan dan etnik untuk dapat benar-benar
menempatkan kepentingannya dalam agenda politik suatu Negara.
Dengan kata lain, demokrasi substantive menjalankan dengan
sungguh-sungguh agenda kerakyatan bukan sekadar agenda demorasi
atau agenda politik partai semata.
Persoalan utama dalam Negara yang tengah melalui proses
transisi menuju demokrasi seperti Indonesia saat ini adalah
pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku
pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa
berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang
harus diatasi adalah merubah lemabaga feodalistik (perilaku yang
terpola feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang
berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan
yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan
mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan
kesejahteraan. Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hokum
dan perundang-undangan dan perangkat structural yang akan terus
mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi
pandangan hidup.
Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang
sesungguhnya baru dapat dicapai saat individu terlindungi hak-
haknya bahkan dibantu oleh Negara untuk dapat teraktualisasikan,
saat setiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan
norma dan hukum yang berlaku. Ketiga jenis lembaga-lembaga
Negara tersebut (eksekutif, yudikatif, dan legislative) adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk
mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-
lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan
yudikatif dan lemabag-lembaga perwakilan rakyat (DPR untuk
Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif.
Pemilihan Umum
Pemilihan umum dalam sebuah Negara yang demokratis menjadi
kebutuhan yang tidak terelakan. Melalui pemilihan umum, rakyat
yang berdaulat memilih wakil-wakilnya yang diharapakan dapat
memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya dalam suatu
pemerintahan yang berkuasa. Pemerintahan yang berkuasa sendiri
merupakan hasil dari pilihan maupun bentukan para wakil rakyat tadi
untuk menjalankan kekuasaan Negara.tugas para wakil pemerintahan
yang berkuasa adalah melakukan control atau pengawasan terhadap
pemerintah tersebut. Dengan demikian, melalui pemilihan umum
rakyat akan dapat selalu terlibat dalam proses politik dan secara
langsung maupun tidak langsung menyatakan kedaulatan atas
kekuasaan Negara dan pemerintah melalui para wakil-wakilnya.
Dalam tatanan demokrasi, Pemilu juga menjadi mekanisme atau
cara untuk memindahkan konflik kepentingan dari tataran masyarakat
ke tataran badan perwakilan agar dapat diselesaikan secara damai dan
adil sehingga kesatuan masyarakat tetap terjamin. Hal ini didasarkan
pada prinsip bahwa dalam system demokrasi segala perbedaan atau
pertentangan kepentingan di masyarakat tidak boleh diselesaikan
cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan, melainkan melalui
musyawarah (deliberation). Terdapat dalam Qs:Asy-syura:38:
”Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-
nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
Untuk mewujudkan Pemilu yang LUBER dan JURDIL
dibutuhkan persyaratan minimal, diantaranya :
1. Peraturan perundangan yang mengatur Pemilu harus tidak
membuka peluang terjadinya tindak kecurangan maupun
menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.
2. Peraturan pelaksanaan pemilu yang memuat petunjuk teknis dan
petunjuk pelaksanaan pemilu harus tidak membuka peluang bagi
terjadinya tindak kecurangan maupun menguntungkan satu atau
beberapa pihak tertentu.
3. Badan/lembaga penyelenggara pemilu harus bersifat mandiri dan
independent, bebas dari campur tangan pemerintah atau partai politik
peserta pemilu baik dalam hal kebijakan maupun operasionalnya
serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya tidak diragukan.
4. Panitia pemilu di tingkat Nasional maupun daerah harus bersifat
mandiri dan independent,bebas dari campur tangan pemerintah atau
partai politik peserta pemilu baik dalam hal kebijakan maupun
operasionalnya serta terdiri dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya
tidak diragukan. Keterlibatan aparat pemerintahan dalam kepanitiaan
pmilu sebatas pada dukungan teknis operasional dan hanya bersifat
administratif.
5. Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan yang memadai
untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Khususnya yang
berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta kemampuan
mempersiapkan saksi-saksi ditempat-tempat pemungutan suara.
Hubungan Pemilu dengan Sistem Demokrasi
Pemilu memang bukanlah segala-segalanya menyangkut
demokrasi. Pemilu adalah sarana pelaksanaan asas demokrasi (sarana
bagi penjelmaan rakyat menjadi MPR) dan sendi-sendi demokrasi
bukan hanya terletak pada pemilu, tetapi bagaimana pun pemilu
memiliki arti yang sangat penting dalam proses demokrasi dalam
dinamika ketatanegaraan.
Dan yang tidak boleh kita lupakan pemilu adalah peristiwa
perhelatan rakyat yang paling akbar yang hanya terjadi lima tahun
dan hanya pemilulah rakyat secara langsung tanpa kecuali benar-
benar menunjukkan eksistensinya sebagai pemegang kedaulatan
dalam Negara berdasarkan itulah agaknya tidak berlebihan bila
ditegaskan bahwa pemilu sebagai wujud paling nyata dari demokrasi.
Masalah Kontemporer
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia belum dapat berjalan
maksimal karena pada kenyataannya lebih banyak rakyat untuk
memilih gol put (abstain) dalam proses pemilihan pemimpin di
Indonesia.
Menurut sumber yang kami peroleh, ada yang menyatakan,
“Sebenarnya sistem Demokrasi tidak salah tetapi pelaksanaannya
belum maksimal di karenakan banyak pihak yang tidak sepadan
dengan system ini, mereka melakukan gol put (abstain) itu adalah
salah satu cara mereka mempergunakan hak Demokrasi yang di
berikan Pemerintah kepada seluruh warga Indonesia. Salah jika orang
menganggap ini adalah sebuah kegagalan dalam sistem Demokrasi.”
Top Related