23
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI
A. Pendekatan Struktural
Teori struktural yang digunakan untuk menganalisis cerbung ini adalah
teori struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur intrinsik fiksi menjadi tiga
bagian, yaitu: fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra. Ia membagi unsur
fakta cerita menjadi tiga, yaitu alur, tokoh, dan latar. Sedangkan sarana-sarana
sastra terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme serta
ironi.
1. Wengi Saya Larut
a. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut:
(1) Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. Cerkak Wengi Saya Larut ini menggunakan alur maju.
(a) Alur awal
23
24
Tahap ini pengarang mengawali cerita dengan memperkenalkan tokoh
yang bernama Nandar. Ia adalah seorang suami dan juga ayah yang mempunyai
lima anak. Pada alur awal ini di ceritakan tentang keadaan keluarganya yang
begitu bahagia, dan rumah yang selalu hangat dihuni oleh ketujuh penghuninya.
Kutipan:
“Wiwit sore mau tivine sengaja dipateni. Luwih seneng ngrungokake radio
amatir. Lawang ngarepan dikunci. Lampu kamar tamu dipateni. Lampu
ngeringan omah diuripake, banjur lungguh ana kamar tengah sing lumrahe
kanggo kumpul-kumpul kala mangsane padha guyonan. Bojone mblater
nyanyi. Utawa ngunekake harmonika banjur anake mbarep mbarengi nyanyi
ora jengos, kepekso dheweke ngguyu. Pancen ora nduweni bakat swara becik”
(ACMA hal 50).
Terjemahan:
“Dari sore tadi tvnya sengaja dimatikan. Lebih suka mendengarkan radio
amatir. Pintu depan dikunci. Lampu kamar tamu dimatikan. Lampu pinggir
rumah dihidupkan, kemudian duduk di kamar tengah yang biasanya untuk
berkumpul jika ingin bercanda. Istrinya bernyanyi. Atau bermain harmonika
lalu anak pertamanya bernyanyi tidak bagus, terpaksa dirinya tertawa. Memang
tidak mempunyai bakat suara bagus” (ACMA hal 50).
(b) Alur Tengah
Pada alur ini Nandar yang sedang bekerja dikagetkan oleh berita istrinya
yang jatuh sakit. Kutipannya sebagai berikut.
“Dhadhane trataban. Awake krasa gemeter. Durung nganti takon maneh, terus
ngringkesi garapane ndhuwur meja” (ACMA hal 52).
Terjemahan:
“Dadanya tiba-tiba tidak karuan. Badannya bergetar. Belum sempat bertanya
lagi, kemudian membereskan pekerjaannya di atas meja” (ACMA hal 52).
(c) Alur akhir
23
25
Tahap ini pengarang memberikan pemecahan masalah yang dihadapi
Nandar. Akhirnya Nandar lebih mengiklaskan semua keadaannya untuk anak-
anaknya. Kutipannya sebagai berikut.
“Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anak-
anake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA
hal 53).
Terjemahan:
“Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila
anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya”
(ACMA hal 53).
(d) Konflik
Konflik dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya
menceritakan istrinya yang jatuh sakit dan satu minggu kemudian meninggal.
Kutipannya sebagai berikut.
“Seminggu candhake bojone wis ora ketulungan. Sanadyan atine bisa pasrah,
nanging rasa kamanungsan ora kena dipenggak. Penyakit sing dikandhakake
dhokter nalika dirawat ing ruwang intensip kaya-kaya ngayawara.
Pendharahan otak. Sawijiing penyakit sing ora nate mlebu pikirane keterangan
saka dhokter sebab lan musababe ora mlebu atine” (ACMA hal 53).
Terjemahan:
“Satu minggu ternyata istrinya tidak dapat ditolong. Meski hatinya bisa pasrah,
namun rasa kemanusiaannya tidak bisa dihindari. Penyakit yang dikatakan oleh
dokter waktu dirawat di ruang intensif tidak bisa dipercaya. Pendarahan otak.
Salah satu penyakit yang tidak pernah masuk dalam pikirannya keterangan dari
dokter sebab dan akibat tidak masuk hatinya” (ACMA hal 53).
(e) Klimaks
26
Konflik utama dalam cerkak tersebut semakin meningkat karena setelah
istrinya meninggal, dia merasa terpukul akibat perayaan ulangtahun dan supitan
anaknya gagal karena faktor dana.
Kutipan:
“Wis begjamu. Oh, Ted. Ning kowe rak mesakake bapak, ta?” pangrintihe.
Nanging bocahe panggah kethap-kethip.
“Kowe kepengen sekolah, ta? O, ya, tinimbang dhuwit sing samono dinggo
rame-rame muspro luwih becik dicelengi.”
Kabeh dadi amem. Ora ana sing gelem miwiti omong. Apa maneh anak-anake
sing cilik mung mentheleng ora ngerti playunging rembug.
“Kowe mesakake Bapak, ya? Yen mesakake Bapak kudune ora perlu rame-
rame.”
“Tedi manthuk. Sepisan maneh anake dikekep-kekep. Bali luhe
ambrol...”(ACMA hal 55).
Terjemahan:
“Sudah rejekimu. Oh, Ted. Namun kamu kasihan sama bapak kan?”
rintihannya. Namun anaknya hanya berkedip.
“Kamu ingin sekolah kan? O, ya, daripada uangnya untuk ramai-ramai tidak
ada gunanya lebih baik ditabung.”
“Semuanya jadi diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Apalagi anak-
anaknya yang masih kecil hanya melotot tidak tahu lari pembicaraannya
kemana.
“Kamu mengasihani bapak kan? Jika kasihan sama bapak seharusnya tidak
perlu ramai-ramai.
“Tedi menggangguk. Satu kali lagi anaknya dipeluk erat-erat. Kemudian air
matanya tumpah...”.(ACMA hal 55).
(2) Tokoh atau Karakter
(a) Nandar (Suami)
Seorang suami yang sangat mencintai anak-anak dan istrinya. Nandar
adalah sosok suami yang memiliki sifat sabar, iklas, dan pasrah dalam
menghadapi tragedi dalam hidupnya, meski harus dihadapkan dengan kenyataan
bahwa istrinya meninggal, namun dia mencoba untuk tegar demi anak-anknya.
27
Kutipan:
“Seminggu candhake bojone wis ora ketulungan. Sanadyan atine bisa pasrah,
nanging rasa kamanungsan ora kena dipenggak. Penyakit sing dikandhakake
dhokter nalika dirawat ing ruwang intensip kaya-kaya ngayawara.
Pendharahan otak. Sawijiing penyakit sing ora nate mlebu pikirane keterangan
saka dhokter sebab lan musababe ora mlebu atine” (ACMA hal 53).
Terjemahan:
“Satu minggu ternyata istrinya tidak dapat ditolong. Meski hatinya bisa pasrah,
namun rasa kemanusiaannya tidak bisa dihindari. Penyakit yang dikatakan oleh
dokter waktu dirawat di ruang intensif tidak bisa dipercaya. Pendarahan otak.
Salah satu penyakit yang tidak pernah masuk dalam pikirannya keterangan dari
dokter sebab dan akibat tidak masuk hatinya” (ACMA hal 53).
Kutipan:
“Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anak-
anake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA
hal 53).
Terjemahan:
”Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila
anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya”
(ACMA hal 53).
(b) Istri
Mempunyai hati yang lembut dan manja dengan suaminya. Dia juga
seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya.
Kutipan:
“Ora. Aku pengen mlaku-mlaku wong loro.” Swarane ngambang. Sing lanang
mesem. Esem jero sing angel tanggohane. Banjur kelingan jaman pacaran.
Alemane ngudubilah. Yen wis mlaku-mlaku betahe ora jamak. Banjur
ndheprok pinggir dalan cedak makam pahlawan, warung kacang ijo. Suwene
anggone lungguh karo anggone mangan kacang ijo ora sumbut”(ACMA hal
52).
28
Terjemahan:
“Tidak. Saya ingin jalan-jalan berdua”. Suaranya mengambang. Suaminya
tersenyum. Senyum yang dalam yang sulit ditemukan. Kemudian ingat saat
pacaran. Manjanya. Kalau sudah jalan-jalan sangat betah. Kemudian duduk
dipinggir jalan dekat makam pahlawan warung kacang hijau. Lebih lama
mereka duduk daripada mereka makan kacang hijau” (ACMA hal 52).
(c) Tedi
Ibu mempunyai keinginan untuk merayakan acara sunatan Tedi dan
juga merayakan ulangtahun adiknya yang nomer lima. Namun, semua rencana
tersebut tidak terlaksana karena ibunya meninggal dan ayahnya menyarankan
untuk membatalkan acara tersebut. Tedi mempunyai sifat yang patuh kepada
orangtua meski keinginannya ingin merayakan acara sunatan tetapi melihat
keadaan ayahnya dia mematuhi keinginan ayahnya.
Kutipan:
“Wis begjamu. Oh, Ted. Ning kowe rak mesakake bapak, ta?” pangrintihe.
Nanging bocahe panggah kethap-kethip.
“Kowe kepengen sekolah, ta? O, ya, tinimbang dhuwit sing samono dinggo
rame-rame muspro luwih becik dicelengi.”
Kabeh dadi amem. Ora ana sing gelem miwiti omong. Apa maneh anak-anake
sing cilik mung mentheleng ora ngerti playunging rembug.
“Kowe mesakake Bapak, ya? Yen mesakake Bapak kudune ora perlu rame-
rame.”
“Tedi manthuk. Sepisan maneh anake dikekep-kekep. Bali luhe
ambrol...”(ACMA hal 55).
Terjemahan:
“Sudah rejekimu. Oh, Ted. Namun kamu kasihan sama bapak kan?”
rintihannya. Namun anaknya hanya berkedip.
“Kamu ingin sekolah kan? O, ya, daripada uangnya untuk ramai-ramai tidak
ada gunanya lebih baik ditabung.”
“Semuanya jadi diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Apalagi anak-
anaknya yang masih kecil hanya melotot tidak tahu lari pembicaraannya
kemana.
“Kamu mengasihani bapak kan? Jika kasihan sama bapak seharusnya tidak
perlu ramai-ramai.
29
“Tedi menggangguk. Satu kali lagi anaknya dipeluk erat-erat. Kemudian air
matanya tumpah...”.(ACMA hal 55).
(3) Latar/ Setting
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
(a) Setting tempat
Cerkak Wengi Saya Larut memiliki setting tempat di Semarang yaitu di
rumah. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan berikut:
“Ngarep omah isih rame swarane bocah-bocah dolanan. Ana sing lungguhan
buk cedhak jagan karo gitaran”(ACMA hal 50).
Terjemahan:
“Depan rumah masih ramai suara anak-anak bermain. Ada yang duduk di
gapura dekat teras sambil bermain gitar”(ACMA hal 50).
Setting tempat juga ada di kantor, tempat sang suami bekerja. Saat itu
suaminya yang sedang bekerja di datangi tetangganya dan membawa kabar buruk
tentang istrinya.
Kutipan:
“Sedina iku anggone ngantor rasane aras-arasen. Gawang-gawange bojone.
Nganti anggone gaweyan salah-salah terus... Lagi omong nyawang njaba
weruh, Ganung anake tanggane mara. Bocahe isih lingak-linguk nalikane
dheweke nyedaki.
“Apa Nung?”
“Anu, anu. Pun aturi kondur.”
Dhadhane trataban. Awake krasa gemeter. Durung nganti takon maneh, terus
ngringkesi garapane ndhuwur meja”(ACMA hal 52).
Terjemahan:
“Seharian itu dikantor rasanya tidak tenang. Terbayang-bayang istrinya.
Sampai pekerjannya salah-salah terus... Baru berbicara melihat keluar melihat,
30
Ganung anak tetanggannya datang. Anaknya masih bingung saat dirinya
mendekat.
“Apa Nung?”
“Begini, begini. Disuruh pulang.”
Dadanya tidak karuan. Badanya gemetar. Belum sampai bertanya lagi,
kemudian membereskan pekerjannya di atas meja” (ACMA hal 52).
Setting tempat lainnya adalah di rumah sakit. Setelah suami pulang dan
mendapati istrinya terbujur lemas tak beradaya, dia membawanya ke rumah sakit.
Satu minggu istrinya berada di rumah sakit sampai akhirnya dia menghembuskan
nafas terakhirnya.
Kutipan:
“Wong-wong sing layat ditakon apa sebab-sebabe ora ana sing bisa aweh
wangsulan. Dina iku putusane mlebu rumah sakit. Dhokter sing praktek cedhak
omahe nayogyakake opname” (ACMA hal 53).
Terjemahan:
“Orang-orang yang datang ditanya apa penyebabnya tidak ada yang
memberikan jawaban. Hari itu keputusannya masuk rumah sakit. Dokter yang
praktek dekat rumahnya menyarankan untuk diopname” (ACMA hal 53).
(b) Setting waktu
Setting waktu dalam Cerkak Wengi Saya Larut adalah sore, malam dan
siang hari. Sore itu istrinya mengajak suaminya membicarakan tentang anak-
anakmya.
Kutipan:
“Sore iku bojone katon sigrak. Wiwit saka kamar mau. Mulihe pancen rata-
rata jam papatan. Kabeh amrih wismane bisa lumaku becik. Nalika bocah-
31
bocah padha nonton tivi. Dheweke rembungan karo bojone ana kamar
tengah”(ACMA hal 50-51).
Terjemahan:
“Sore itu istrinya tampak bugar. Mulai dari kamar tadi. Pulangnya memang
rata-rata jam empat. Semua karena wismanya berjalan dengan baik. Ketika
anak-anak sedang menonton tv. Dia berbicara dengan suaminya di kamar
tengan” (ACMA hal 50-51).
Setting waktu selanjutnya adalah siang hari. Saat suaminya bekerja dia
didatangi oleh tetangganya utuk memberikan kabar buruk tentang istrinya.
Kutipan:
“Sedina iku anggone ngantor rasane aras-arasen. Gawang-gawange bojone.
Nganti anggone gaweyan salah-salah terus... Lagi omong nyawang njaba
weruh, Ganung anake tanggane mara. Bocahe isih lingak-linguk nalikane
dheweke nyedaki.
“Apa Nung?”
“Anu, anu. Pun aturi kondur.”
Dhadhane trataban. Awake krasa gemeter. Durung nganti takon maneh, terus
ngringkesi garapane ndhuwur meja”(ACMA hal 52).
Terjemahan:
“Seharian itu dikantor rasanya tidak tenang. Terbayang-bayang istrinya.
Sampai pekerjannya salah-salah terus... Baru berbicara melihat keluar melihat,
Ganung anak tetanggannya datang. Anaknya masih bingung saat dirinya
mendekat.
“Apa Nung?”
“Begini, begini. Disuruh pulang.”
Dadanya tidak karuan. Badanya gemetar. Belum sampai bertanya lagi,
kemudian membereskan pekerjannya di atas meja” (ACMA hal 52).
Setting waktunya diakhiri pada malam hari. Disaat anaknya memimpikan
ibunya dan malam yang semakin larut melubungi hatinya.
Kutipan:
32
“Tembunge anake tetep nemplek ing batine. Banjur bali lungguh maneh ana
kamar tengah. Nganti wengi lungsune lan keprungu jago kluruk. Klunthuh-
klunthuh awake dibrukke ing dhipan. Wengi sangsaya larut”(ACMA hal 55).
Terjemahan:
“Perkataan anaknya tetap membuat perih hatinya. Kemudian kembali lagi di
kamar tengah. Sampai malam kesedihannya dan terdengar suara ayam
berkokok. Sempoyongan badannya di jatuhkan ke tempat tidur. Malam
semakin larut” (ACMA hal 55).
(c) Setting peristiwa
Setting peristiwa atau setting sosial pada cerkak Wengi Saya Larut adalah
berlatar agama Nasrani yang taat. Cerkak ini digambarkan bagaimana tokoh
Nandar menyikapi problematika dalam hidupnya dengan cara sabar, iklas, dan
pasrah kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut:
“Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anak-
anake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA
hal 53).
Terjemahan:
“Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila
anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya”
(ACMA hal 53).
b. Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih
dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode
semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta
33
melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut
sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47).
(1) Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan
karakter, latar, dan tema. Judul cerkak ini menggambarkan tentang lamunan
seseorang pada malam hari karena ditinggal istrinya meninggal dan mempunyai
lima anak yang masih kecil dan membutuhkan seorang ibu. Lamunan tersebut
digambarkan dengan keadaan malam yang semakin larut.
Kutipan:
“Tembunge anake tetep nemplek ing batine. Banjur bali lungguh maneh ana
kamar tengah. Nganti wengi lungse lan keprungu jago kluruk. Klunthuh-
klunthuh awake dibruke ing dhipan. Wengi sangsaya larut” (ACMA hal 55).
Terjemahan:
“Perkataan anaknya tetap melekat dihati. Kemudian duduk kembali di kamar
tengah. Sampai malam dan terdengar suara ayam berkokok. Sempoyongan
badannya dibaringkan di tempat tidur. Malam semakin larut” (ACMA hal 55).
(2) Sudut Pandang
Cerkak Wengi Saya Larut menggunakan sudut pandang orang ketiga
tidak terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne yang dalam bahasa Indonesia
berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang membuat beberapa
karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun
hadir.
(3) Gaya dan Tone
34
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan
menggunakan bahasa Jawa ngoko, selain itu penggunaan bahasa Indonesia yaitu
penggunaan kata larut dipengaruhi oleh pengarang yang juga merupakan
sastrawan Indonesia dan sudah membuat beberapa karya satra.
Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang
digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan
pasrah. Cerita yang diangkat penuh dengan penggambaran perasaan seseorang
jika mengalami hal yang sama dengan cerkak Wengi Saya Larut.
(4) Simbolisme
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi
tampak nyata. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya:
(a) Sakkandang
Sakkandang mempunyai arti satu kandang, dalam kalimat ini di gunakan
untuk menerangkan jumlah anaknya yang banyak yaitu berjumlah lima anak.
Kutipan:
“Kok ora eling yen anake wis sakkandhang,” tembunge sing lanang” (ACMA
hal 52).
Terjemahan:
“Kok tidak ingat anaknya sudah satu kandang,” perkataan sang suami”
(ACMA hal 52).
(b) Disumpet watu
Disumpet watu di sini digunakan untuk memperjelas keadaan suaminya
yang sangat terpukul melihat istrinya terbaring sakit.
35
Kutipan:
“... Gorokane kaya disumpet watu, nalika weruh sing ana dipan iku bojone
pucet enyet ...” (ACMA hal 53).
Terjemahan:
“... Tenggorokanya seperti disumbat batu, ketika melihat yang ada ditempat
tidur adalah istrinya yang pucat mati ...” (ACMA hal 53).
(c) Mbalung sate
Mbalung daging digunakan untuk menyatakan keadaan yang sendiri,
dalam cerkak ini adalah menjadi duda. Setelah ditinggal mati istrinya Nandar
menjadi seorang duda beranak lima.
Kutipan:
“Pa, arep terus mbalung sate, ta, Dhik? Bocah-bocah rak ora becik dadine yen
mung dipasrahake batur, ta?”
Dheweke mung mesem. Ewuh enggone arep nimbang. Pancen diakoni
salawase iki sarwa kekuk. Kabeh kudu diayahi dhewe. Wiwit kebutuhan pawon
nganti ngurusi bocah-bocah. Nanging suwalike yen ngenut tembunge tangga
mau uga durung bisa ngyakinake yen kabeh bakal beres dadi becik” (ACMA
hal 55).
Terjemahan:
“Apa. Mau sendirian terus, ta, Dik? Anak-anak tidak baik jadinya jika hanya
diserahkan pembantu, ta?”
Dirinya hanya tersenyum. Bingung caranya menimbang. Memang diakui
selamanya memang tidak nyaman. Semua harus dilakukan sendiri. Dari
kebutuhan dapur sampai mengurusi anak-anaknya. Namun sebaliknya jika
mengikuti perkataan tetangganya tadi juga belum bisa mengiyakan jika semua
akan selesai menjadi baik” (ACMA hal 55).
(5) Ironi
36
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika tetangganya menggoda
dengan status Nandar yang duda beranak lima. Karena anaknya bermimpi ditemui
ibunya dan tidak ada yang boleh tinggal di rumahnya, Nandar mengurungkan niat
tersebut.
Kutipan:
“Ngimpi, Ibu rawuh duka-duka. Ngendikane ora pareng ana wong manggon
teng ngriki.”
Atine kaya ditotog. Pancen seminggu kepungkur tangga ngarep omah
nggeguyoni.
“Pa, arep terus mbalung sate, ta, Dhik? Bocah-bocah rak ora becik dadine yen
mung dipasrahake batur, ta?”
Dheweke mung mesem. Ewuh enggone arep nimbang. Pancen diakoni
salawase iki sarwa kekuk. Kabeh kudu diayahi dhewe. Wiwit kebutuhan pawon
nganti ngurusi bocah-bocah. Nanging suwalike yen ngenut tembunge tangga
mau uga durung bisa ngyakinake yen kabeh bakal beres dadi becik” (ACMA
hal 55).
Terjemahan:
“Bermimpi, Ibu datang marah-marah. Ibu bicara tidak boleh ada yang ada
disini.”
Hatinya seperti dipukul. Memang satu minggu yang lalu tetangganya depan
rumah bercanda.
“Apa. Mau sendirian terus, ta, Dik? Anak-anak tidak baik jadinya jika hanya
diserahkan pembantu, ta?”
Dirinya hanya tersenyum. Bingung caranya menimbang. Memang diakui
selamanya memang tidak nyaman. Semua harus dilakukan sendiri. Dari
kebutuhan dapur sampai mengurusi anak-anaknya. Namun sebaliknya jika
mengikuti perkataan tetangganya tadi juga belum bisa mengiyakan jika semua
akan selesai menjadi baik” (ACMA hal 55).
c. Tema
Tema pada cerkak Wengi Saya Larut ini adalah religi. Religiusitas
tersebut mewujudkan kepercayaan adanya kekuatan adikodrati, kekuatan yang
menguasai manusia dan alam semesta. Cerkak Wengi Saya Larut bercerita
kehilangan seorang istri. Bulan Januari, sepasang suami istri bercengkrama
37
membahas anak-anaknya. Anak keduanya Tedi akan disunat dengan acara ramai-
ramai seperti yang dahulu dilakukan disaat anak pertamanya sunat. Anaknya yang
nomer lima bulan depan akan genap berusia dua tahun. Keduanyapun
merencanakn acara untuk anaknya tersebut.
Kutipan:
“Sore iku anggone omong-omong dipungkasi rancangan kenceng, yen anake
sing nomer lima bakal diulang tahuni. Semono uga anake sing nomer loro
bakal diramek-ramekake kaya dhisik” (ACMA hal 51).
Terjemahan:
“Sore itu pembicaraannya diakhiri rencana matang, anaknya yang nomer lima
akan dirayakan ulang tahunnya. Dan juga anaknya yang nomer dua akan
dirayakan seperti dulu” (ACMA hal 51).
Hari itu seperti biasanya sang ayah bekerja, namun tiba-tiba kedatangan
tamu menyuruhnya untuk segera pulang. Istrinya terbaring lemah dan kemudian
dibawa kerumah sakit. Satu minggu istrinya tidak kuat dan akhirnya meninggal.
Meski hatinya bisa pasrah tapi mendengar penyakit istrinya pendarahan otak,
membuatnya tidak bisa berpikir dan bersedih hati.
Kutipan:
“Seminggu candhake bojone wis ora ketulungan. Sanadyan atine bisa pasrah,
nanging rasa kamanungsan ora kena dipenggak. Penyakit sing dikandhakake
dhokter nalika dirawat ing ruwang intensip kaya-kaya ngayawara.
Pendharahan otak. Sawijiing penyakit sing ora nate mlebu pikirane keterangan
saka dhokter sebab lan musababe ora mlebu atine” (ACMA hal 53).
Terjemahan:
“Satu minggu ternyata istrinya tidak dapat ditolong. Meski hatinya bisa pasrah,
namun rasa kemanusiaannya tidak bisa dihindari. Penyakit yang dikatakan oleh
dokter waktu dirawat di ruang intensif tidak bisa dipercaya. Pendarahan otak.
38
Salah satu penyakit yang tidak pernah masuk dalam pikirannya keterangan dari
dokter sebab dan akibat tidak masuk hatinya” (ACMA hal 53).
Akhirnya dia sadar bahwa kesedihan tersebut harus dihilangkan dengan
rasa pasrah dan percaya kepada Tuhan karena ada tiga anak yang sekarang sangat
membutuhkannya. Semuanya diserahkan kepada Tuhan, karena Tuhan yang akan
memberikan jalan terbaik.
Kutipan:
“Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anak-
anake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA
hal 53).
Terjemahan:
“Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila
anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya”
(ACMA hal 53).
d. Keterkaitan Antarunsur
Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Wengi Saya Larut karya
Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini
meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau
setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya
39
dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh
sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita.
Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting
dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema
tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang
diangkat. Tema cerkak Wengi Saya Larutadalah tentang religi. Secara spesifik
mengacu pada religiusitas tokoh Nandar dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan
bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya
dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya
sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang
digunakan penulis dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya adalah
sudut pandang orang ketiga tidak terbatas, artinya, pengarang sepenuhnya
mengetahui tentang semua seluk beluk dalam cerita. Pengarang dapat membuat
beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir. Pengarang juga dapat
muncul ketika tidak ada satu karakterpun yang hadir. Sarana-sarana sastra
memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur
struktural dalam cerkak Wengi Saya Larut karya Ariesta Widya mempunyai
hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk
satu kesatuan yang utuh.
40
2. Bandha Gadhuhan
a. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut:
(1) Alur
Cerkak Banda Gadhuhan memiliki alur flash back.
(a) Alur awal
Tahap ini pengarang menceritakan tentang persiapan penyambutan hari
Natal. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak yaitu Wilis dan pembantu yang
bernama Mbok Ru. Sedang membuat kue Natal dan bercengkerama penyambutan
hari Natal. Kutipannya sebagai berikut:
“Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane
krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape
deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen,
genti driji panuduh lan panunggul.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum
anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh.
“Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria,
bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal
58).
Terjemahan:
“Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang
gembira mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua
tangan seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan
menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya.
41
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum
melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi.
“Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu
Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti
Yesus” (ACMA hal 58).
(b) Alur tengah
Tahap ini, pengarang bercerita tentang Wilis yang jatuh sakit dan
kemudian dibawa ke poliklinik. Kutipannya sebagai berikut:
“Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.”
“Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu
lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61).
Terjemahan:
“Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air
matanya tidak bisa ditahan”.
“Tuhan Yesus di kayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar
dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61).
(c) Alur akhir
Tahap ini, bercerita tentang meninggalnya Wilis dan membuat ayah dan
ibunya sedih. Namun, akhirnya semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Kutipannya
sebagai berikut:
“Kaya Ibu Maria wae.”
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel
kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah
kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
42
Terjemahan:
“Seperti Ibu Maria saja.”
Menerima lahirnya bayi. Kemudian di salah satu waktu diambil dengan paksa.
Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa
menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62).
(d) Konflik
Konflik yang terjadi pada cerkak ini adalah ketika Wilis jatuh sakit dan
meninggal. Berikut kutipannya:
“Nanging, garis wates mung tekan kono. Barang gadhuhan pengaji iku bali
marang sing kagungan” (ACMS hal 61).
Terjemahan:
“Namun, garis batas hanya sampai di sana. Barang titipan itu kembali kepada
yang punya” (ACMA hal 61).
(e) Klimaks
Konflik utama semakin meningkat, setelah satu tahun setelah
meninggalnya Wilis, sang ibu teringat akan Wilis sehingga membuatnya
merasakan kesedihan dan menangis. Sang ibu teringat bagaimana pesan dokter
dulu setelah Wilis lahir, dokter menyatakan bahwa sang ibu tidak bisa mempunyai
anak lagi.
Kutipan:
“Nanging tembung iku malah kaya nampeg-nampega dhadha. Nalika Wilis iku
lahir dhokter kandha kudu ngati-ati. Iki ateges manut etunge manungsa
43
dhokter wis nyasmitani. Yen Wilis iku wiji sing kawitan lan pungkasan”
(ACMA hal 62).
Terjemahan:
“Namun perkataan itu malah seperti memukul dadanya. Ketika Wilis lahir
dokter berkata harus hati-hati. Itu artinya menurut perhitungan dokter sudah
memberikan pesan untuk waspada. Jika Wilis itu satu yang pertama dan
terakhir” (ACMA hal 62).
(2) Tokoh atau Karakter
(a) Ibu
Seorang Ibu yang sangat menyayangi anaknya dan juga mempunyai hati
yang lembut.
Kutipan:
“Dhadhane kaya ditotog. Sajake tembunge anake ora trima mandheg tekan
kono. Tembung iku katone arep njanjagi sepira jerone katresnan. Iku gagasane
bareng krungu tembunge anake....” (ACMA hal 57).
Terjemahan:
“Hatinya seperti diketuk. Sepertinya perkataaan anaknya tidak berhenti sampai
disitu. Perkataannya itu sepertinya mengukur berapa banyak kasih sayangnya.
Itu angan-angan setelah mendengar perkataan anaknya....(ACMA hal 57).
Dia adalah ibu yang sabar, iklas, dan pasrah. Meski ditinggal mati anak
satu-satunya yaitu Wilis dia mencoba untuk menjadi kuat dan memasrahkan
semuanya kepada Tuhan.
“Kaya Ibu Maria wae.”
44
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel
kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah
kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
Terjemahan:
“Seperti Ibu Maria saja.”
Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa.
Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa
menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62).
(b) Ayah
Seorang ayah yang mempunyai iman yang kuat, meski mengalami tragedi
kehidupan yang memilukan yaitu kehilangan seorang anak yaitu Wilis, tetapi dia
menyikapinya dengan sabar, iklas, dan pasrah. Hal ini sesuai dengan kutipan
berikut:
“Kaya Ibu Maria wae.”
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel
kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah
kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
Terjemahan:
“Seperti Ibu Maria saja.”
Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa.
Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa
menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62).
(c) Wilis
45
Wilis adalah anak yang mempunyai sifat cerdas, meski masih kecil tetapi
daya khayal dan pengetahuannya tentang agama sangat bagus. Dia selalu ingat
tentang kisah Bapak Yusup, Ibu Maria, dan Tuhan Yesus.
Kutipan:
“Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane
krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape
deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen,
genti driji panuduh lan panunggul.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum
anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh.
“Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria,
bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal
58).
Terjemahan:
“Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang gemira
mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua tangan
seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan
menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum
melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi.
“Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu
Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti
Yesus” (ACMA hal 58).
Bukan hanya itu saja, meski masih kecil Wilis mempunyai sifat sabar dan
iklas. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut:
“Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.”
“Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu
lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61).
Terjemahan:
“Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air
matanya tidak bisa ditahan”.
46
“Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar
dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61).
(d) Mbok Ru
Seorang pembantu yang mempunyai selera humor yang baik.
Kutipan:
“Mosok kula dados lare angen. Ngke wedhuse rak nyedhak terus dikira
rencange” (ACMA hal 59).
Terjemahan:
“Masak saya jadi teman hewan ternak. Nanti kambingnya mendekat terus
dikira temannya” (ACMA hal 59).
(3) Latar/ Setting
(a) Setting tempat
Setting tempat pada cerkak Bandha Gaduhan ini adalah di Minahasa.
Setting pertama berada di rumah dan di rumah sakit. Di rumah itu Ibu, Wilis dan
pembantunya Mbok Rus sedang sibuk membuat roti untuk menyambut datangnya
Natal.
Kutipan:
“Bali wong telu ngguyu latah. Omah sing wektu iku mung isi wong telu katon
sigrak. Sigrak nlusuri ati kang kebak katresnan”(ACMA hal 59).
Terjemahan:
47
“Kembali mereka bertiga tertawa lepas. Rumah yang waktu itu hanya di
tempati tiga orang terlihat bahagia. Bahagia menulusuri hati yang banyak
cinta”(ACMA hal 59).
Kebahagian tersebut kemudia hilang setelah Wilis sakit dan dia harus
dibawa ke rumah sakit.
Kutipan:
“Tangga nunggal ndhadhah sing sidane melu cawe-cawe. Wilis digladhang
bablas menyang rumah sakit. Nanging awak sing panas iku ora enggal ento
panggonan. Isih pirang-pirang aturan sing kudu dilakoni...”(ACMA hal 60).
Terjemahan:
“Tetangga yang seperti saudara yang akhirnya ikut membantu. Wilis diantar ke
rumah sakit. Namun badannya yang panas itu tidak langsung mendapat tempat.
Masih banyak aturan yang harus dilakukan...” (ACMA hal 60).
(b) Setting waktu
Latar waktu pada cerkak Bandha Gaduhan siang dan pagi hari. Siang itu
Ibu, Wilis dan Mbok Rus pembantunya sedang membuat roti dan bercanda di
dapur.
Kutipan:
“Ayo, sakiki Wilis ora pareng ngrusuhi. Cuk ben rotine enggal rampung, ya."
Mripat suci bening isih kraket mrepegi ibune....”(ACMA hal 57).
Terjemahan:
“Ayo, sekarang tidak boleh menganggu. Supaya rotinya cepat selesai, ya.”
Mata suci bening masih melekat diingatan ibunya....” (ACMA hal 57).
48
Wilis yang kelelahan membantu ibunya membuat roti membuatnya jatuh
sakit dan pada pagi harinya dia dibawa ibuya kerumah sakit.
Kutipan:
“Esuk iku mruput lunga dhokter langganane. Iba kagete nalika dhokter iku
mrayogakake supaya langsung rumah sakit....”(ACMA hal 60).
Terjemahan:
“Pagi itu pergi ke dokter langganannya. Betapa kagetnya ketika dokter itu
menyarankan supaya langsung ke rumah sakit...”(ACMA hal 60).
(c) Setting peristiwa
Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah latar agama
Nasrani. Cerkak ini digambarkan bagaimana mereka menyambut hari Natal dan
betapa religinya tokoh Wilis, ibu dan suaminya yang iklas dengan pilihan jalan
dari Tuhan. Wilis yang masih kecil berusia kurang dari lima tahun sudah
memahami hari Natal dan mengetahui cerita Tuhan Yesus dan Ibu Maria.
Kutipan:
“Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria,
bapak dadi Bapak Yusup, lan aku.... hahak ... dadi Gusti Yesus.”
Guyu renyah cilik iku njalari kentir melu ngguyu. Wong loro katon gayeng.
Saka mburi Mbok Ru, mencungul terus ndeprok ana sandhinge” (ACMA hal
58).
Terjemahan:
“Kalau, Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu
Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Tuhan
Yesus.”
Tertawa renyah kecil itu membuat gila ikut tertawa. Mereka berdua terlihat
asik. Dari belakang Mbok Ru, datang kemudian duduk disebelahnya”(ACMA
hal 58).
b. Sarana-sarana Sastra
49
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih
dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode
semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta
melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut
sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47).
(1) Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan
karakter, latar, dan tema.Judul cerkak ini menggambarkan tentang titipan dari
Tuhan yaitu anak yang tidak mau dirawat atau meninggal. Anak merupakan harta
yang berharga dan anak tersebut hanyalah titipan (gadhuhan) dari Tuhan. Sesuai
hal tersebut cerkak ini mengisahkan anak yang meninggal.
(2) Sudut Pandang
Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang
menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan
orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai
orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan
dipikirkan oleh satu karakter saja.
(3) Gaya dan Tone
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas
sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana meski
terdapat beberapa perumpamaan.
Kutipan:
“Arep pamer bandha sing paling pengaji” (ACMA hal 57).
Terjemahan:
50
“Ingin pamer harta yang paling berharga” (ACMA hal 57).
Tone yang digunakan pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang
digambarkan penuh dengan amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan
pasrah.
Kutipan:
“Kaya Ibu Maria wae.”
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel
kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah
kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
Terjemahan:
“Seperti Ibu Maria saja.”
Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa.
Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa
menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62).
(4) Simbolisme
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi
tampak nyata. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya:
(a) Barang gadhuhan pengaji
Barang gadhuhanpengaji di sini digunakan untuk menggambarkan harta
yang paling berharga yaitu seorang anak.
Kutipan:
“Nanging, garis wates mung tekan kono. Barang gadhuhan pengaji iku bali
marang sing kagungan” (ACMS hal 61).
Terjemahan:
51
“Namun, garis batas hanya sampai di sana. Barang titipan itu kembali kepada
yang punya” (ACMA hal 61).
(b) Benang sutra
Benang sutra di sini digambarkan ikatan batin antara seorang ibu dan anak.
Kutipan:
“Nanging ing slempitane atine sing lanang ora ngerti. Tandang gawe kaya
ngono iku ateges njalari tabet lawas. Ana rasa gemes sing mrambat ing
dhadha. Ana rasa jengkel sing nyenengake. Ana rasa sing gumandheng ing
alam sing angel digambarake. Kabeh sinambung kanthi benang sutra sing ora
kasat mata” (ACMA 59).
Terjemahan:
“Akan tetapi dalam hatinya suaminya tidak tahu. Pekerjaan membuat kue
seperti itu yang membuka luka lama. Dahulu pekerjaan seperti ini ada suara
anak kecil yang hangat menyentuh hati. Ada rasa jengkel yang menyenangkan.
Ada rasa yang bergandengan di alam yang susah digambarkan. Semua
disambung dengan benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA hal 59).
(5) Ironi
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika suaminya menyuruh
untuk membuat roti untuk perayaan Natal. Meski mengiyakan namun hatinya
sangat sakit teringat dahulu waktu Wilis masih hidup pasti anak membuat suasana
menjadi ramai.
Kutipan:
“Dheweke banjur ndungkluk. Saben-saben mengkono carane sing lanang yen
ngakon. Ora tau cumeplos. Iku sing njalari atine sumanggem. Kaya wektu iku.
Nanging ing slempitane atine sing lanang ora ngerti. Tandang gawe kaya
ngono iku ateges njalari tabet lawas. Ana rasa gemes sing mrambat ing
dhadha. Ana rasa jengkel sing nyenengake. Ana rasa sing gumandheng ing
alam sing angel digambarake. Kabeh sinambung kanthi benang sutra sing ora
kasat mata” (ACMA 59).
Terjemahan:
52
“Dirinya langsung merunduk. Ketika seperti itu cara suaminya menyuruh.
Tidak pernah terucap. Itu yang membuat hatinya mengiyakan. Seperti waku
itu.
“Akan tetapi dalam hatinya suaminya tidak tahu. Pekerjaan membuat kue
seperti itu yang membuka luka lama. Dahulu pekerjaan seperti ini ada suara
anak kecil yang hangat menyentuh hati. Ada rasa jengkel yang menyenangkan.
Ada rasa yang bergandengan di alam yang susah digambarkan. Semua
disambung dengan benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA hal 59).
c. Tema
Tema pada cerkak Banda Gadhuhan ini adalah religi. Religiusitas tersebut
mewujudkan kepercayaan adanya kekuatan adikodrati, kekuatan yang menguasai
manusia dan alam semesta. Cerkak yang menggambarkan unsur religi ini
merupakan ciri khas dari seorang pengarang yang bernama Ariesta Widya yang
mempunyai latar belakang penganut agama Nasrani (Katolik) yang taat.
Seorang anak perempuan yang sangat manis sedang bermanja-manja
membantu ibunya yang sedang membuat roti. Anak yang bernama Wilis ini
bercengkerama dengan ibu dan pembantunya membahas penyambutan datangnya
Natal. Dengan daya khayal seorang anak kecil, Wilis berkhayal dalam
pertunjukan nanti ayahnya akan berperan sebagai Bapak Yusup, Ibunya akan
menjadi Ibu Maria, dan Wilis sendiri berperan sebagai Tuhan Yesus.
Kutipan:
“Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane
krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape
deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen,
genti driji panuduh lan panunggul.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum
anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh.
“Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria,
bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal
58).
53
Terjemahan:
“Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang gemira
mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua tangan
seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan
menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum
melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi.
“Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu
Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti
Yesus” (ACMA hal 58).
Khayalan tersebut musnah karena tiba-tiba Wilis sakit panas dan
kemudian dibawa ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Wilis diopname, ibunya
yang khawatir menghibur anaknya. Dengan kepolosan dan hati yang masih suci
Wilis mengatakan sesuatu yang membuat hati bergetar.
Kutipan:
“Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.”
“Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu
lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61).
Terjemahan:
“Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air
matanya tidak bisa ditahan”.
“Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar
dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61).
Beberapa hari dirawat di poliklinik, Wilis meninggal dan membuat ibunya
sedih berlarut-larut. Namun suaminya menasehatinya dengan mengisahkan cerita
Ibu Maria.
Kutipan:
54
“Kaya Ibu Maria wae.”
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel
kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah
kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
Terjemahan:
“Seperti Ibu Maria saja.”
Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa.
Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa
menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62).
d. Keterkaitan Antarunsur
Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Banda Gadhuhan karya
Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini
meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau
setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya
dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh
sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita.
Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting
dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema
tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang
diangkat. Tema cerkak Banda Gadhuhan adalah tentang religi. Secara spesifik
55
mengacu pada religiusitas tokoh Ibu dalam menjalani hidupnya, yaitu dengan
bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya
dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya
sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang
digunakan penulis dalam cerkak Banda Gadhuhan karya Ariesta Widya adalah
sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne dalam
bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang mengacu
pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja.
Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri
dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Banda Gadhuhankarya
Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
1. Cathetan Desember
a. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut:
56
(1) Alur
(a) Alur awal
Tahap ini, pengarang bercerita tentang kesibukan Lusia Renwarin sebagai
anggota koor di salah satu gereja di Maluku. Kesibukan tersebut, anaknya
dititipkan kepada adiknya. Kutipannya sebagai berikut:
“Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi
lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit
klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng
Menado....” (ACMA hal 87).
Terjemhan:
“Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi
solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa.
Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, lulusan seminari Pineleng
Manado....” (ACMA hal 87).
(b) Alur tengah
Lusia Renwari berlatih hingga sore hari, dia lupa bahwa harus segera
bertemu dengan anaknya. Setelah pulang dia menemukan anaknya terbaring sakit,
dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Kutipannya sebagai berikut:
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.”
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?”
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
57
“Hidup itu penuh cobaan. Banyak salib. Siapa yang tidak sedih. Namun tidak
cukup seperti itu karena akan merugi saja”.
“Memang, tetapi siapa yang bisa menghilangkan ini?”
“Kita sendiri harus bisa seperti Ibu Maria, disaat melihat anaknya disalib.
Menerima dengan iklas yang harus dijadikan contoh” (ACMA hal 92).
(c) Alur akhir
Menggunakan alur mundur atau flash back, cerita ini diakhiri dengan
berpasrah kepada Tuhan dan mencoba melupakan kejadian yang terjadi satu tahun
lalu. Kutipannya sebagai berikut:
“Krungu tembunge sing lanang lambene blangkeman. Tembung iku nunjem
atine. Banjur pupus. Lelakon sing mungkur setaun iku dicoba dikipatake”
(ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Mendengar perkataan suaminya mulutnya terdiam. Perkataan yang mengena
hati. Kemudian selesai. Mencoba melupakan kejadian yang sudah terjadi satu
tahun yang lalu” (ACMA hal 92).
(d) Konflik
Konflik pada cerkak ini adalah ketika Aldo jatuh sakit kemudian Lusia
membawanya ke klinik.
Kutipan:
“Aldo ngapa?”
Sing ditakoni isih njethu ana pawon. Banjur nalika krungu pitakon, atine
sakala trataban. Mau pancen bocah iku awake rada anget.” (ACMA hal 91).
58
Terjemahan:
“Aldo kenapa?”
Yang dipertanyai masih diam di dapur. Kemudian ketika mendengar
pertanyaan, hatinya bergetar. Tadi anak ini agak hangat” (ACMA hal 91).
(e) Klimaks
Konflik utama semakin meningkat yaitu ketika Aldo jatuh sakit kemudian
dibawa ke klinik, namun setelah itu Aldo meninggal.
Kutipan:
“Sidane bengi iku ndekem ana poliklinik susteran. Lan ya mung sewengi.
Marga esuke kudu bali kanthi ati sing ajur mumur. Aldo wis adhem. Adhem
banget. Lan omah iku dadi rame dadakan. Nanging kerameyan iku ndadekake
atine bungah. Kepara suwalike. Nyedhihake” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Jadinya malam itu menginap di poliklinik suster. Dan hanya satu malam.
Karena paginya harus pulang dengan perasaan yang hancur. Aldo sudah dingin.
Dingin sekali. Dan rumah itu menjadi ramai. Tetapi keramaian itu membuat
hati sedih. Karena sebaliknya. Menyedihkan” (ACMA hal 92).
(2) Tokoh atau Karakter
(a) Lusia Renwarin
Seorang ibu yang sangat bertanggungjawab dengan pekerjaannya yaitu
menjadi anggota koor sebuah gereja di Manado. Seperti hari itu Lusia pulang sore
karena latihan koor dan menitipkan anakanya kepada adiknya.
Kutipan:
59
“Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyan sing dipasrahake wis
rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh
ubarampe ditata....” (ACMA hal 90).
Terjemahan:
“Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang dikerjakannya sudah selesai.
Kemudian pikirannya teringat kalau harus mencari Aldo. Semua peralatan
ditata....” (ACMA hal 90).
Lusia juga seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya Aldo. Sore
setelah pulang dari pekerjaannya, Lusia terkejut melihat anakanya yang sakit,
cepat-cepat dia membawa anaknya ke poliklinik untuk mendapatkan pertolongan.
Kutipan:
“Ana rasa bingung sing teka dadakan. Sakala nyandhak lendhang. Aldo
disaut. Ing batin mung kepengin enggal tekan poloklinik. Karo suster kepala
poloklinik iku tepung becik....” (ACMA hal 91).
Terjemahan:
“Ada perasaan bingung datang tiba-tiba. Tanpa pikir panjang mengambil
selendang. Aldo digendong. Di dalam hati hanya ingin segera sampai
poloklinik. Dia kenal baik dengan suster....” (ACMA hal 91).
Kematian anaknya Aldo, Lusia menjadi Ibu yang kuat. Dia mengiklaskan
kematian anaknya dan memasrahkan semuaya kepada Tuhan.
Kutipan:
“Krungu tembunge sing lanang lambene blangkeman. Tembung iku nunjem
atine. Banjur pupus. Lelakon sing mungkur setaun iku dicoba dikipatake”
(ACMA hal 92).
60
Terjemahan:
“Mendengar perkataan suaminya mulutnya terdiam. Perkataan yang mengena
hati. Kemudian selesai. Mencoba melupakan kejadian yang sudah terjadi satu
tahun yang lalu” (ACMA hal 92).
(b) Aldo
Merupakan anak yang patuh dan sangat dekat dengan Ibunya. Hari itu
Aldo seperti biasanya bermanja-manja dengan ibunya, namun karena ibunya
berlatih koor dia bermain dengan temannya.
Kutipan:
“Ayo dolan sik.”
Suwarane sereng. Sing diatag panggah meneng.
“Cepet dolan sik. Kana lho dienteni Beni.”
Sikile jumangkah nyampar-nyampar jogan saka watu karang sing durung
diejur. Bola-bali mripate nyawang ibune, nanging disawang api-api ora
ngerti....” (ACMA hal 89).
Terjemahan:
“Ayo bermain dulu.”
Suaranya serak. Yang diajak bicara terdiam.
“Sana bermain dulu. Itu ditunggu Beni.”
Kakinya berjalan menendang lantai yang terbuat dari karang yang belum halus.
Bolak-balik matanya melihat ibunya, namun yang dilihat tidak mengerti....”
(ACMA hal 89).
(c) Adik Lusia
Seorang bibi yang sayang terhadap keponakannya, dia juga orang yang
bertanggungjawab.
Kutipan:
“Aldo manthuk. Sirahe banjur diselehake ing pundhake. Piring iku babarpisan
ora kalong....” (ACMA hal 91).
61
Terjemahan:
“Aldo menunduk. Kemudian kepala Aldo didekapkan di pundaknya. Piring itu
tidak berkurang sama sekali...” (ACMA hal 91).
(d) Suami Lusia
Seorang suami yang kuat menghadapi kenyataan bahwa anaknya telah
meninggal. Dia suami yang sabar, iklas dan pasrah mempercayakan semuanya
kepada Tuhan.
Kutipan:
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.”
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?”
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih.
Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.”
“Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?”
“Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu
nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92).
(3) Latar/ Setting
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
(a) Setting tempat
Cerkak ini mempunyai setting tempat di Manado.
Kutipan:
“Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi
lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit
62
klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng
Menado....” (ACMA hal 87).
Terjemhan:
“Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi
solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa.
Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, keluaran dari seminari Pineleng
Manado....”(ACMA hal 87).
Pulang berlatih, Lusia menemukan anaknya yang sedang sakit kemudian
dia membawanya ke poliklinik.
Kutipan:
“Ana rasa bingung sing teka dadakan. Sakala nyandhak lendhang. Aldo
disaut. Ing batin mung kepengen enggal tekan poliklinik. Karo suster kepala
poliklinik iku tepung becik. Tepung wiwit isih ana vonis. Karana iku nalika
teka poliklinik terus njujug kantor” (ACMA hal 91).
Terjemahan:
“Ada rasa bingung yang datang tiba-tiba. Kemudian langsung mengambil
selendang. Aldo digendong. Dalam hati hanya ingin cepat sampai poliklinik.
Dengan suster kepala poliklinik sudah kenal baik. Perkenalannya dari dulu
waktu masih di vonis. Karena itu ketika sampai poliklinik langsung ke
kantor”(ACMA hal 91).
(b) Setting waktu
Setting waktu pada cerkak Cathetan Desember ini diawali di siang hari.
Saat itu Lusia berlatih dengan teman-temannya. Karena anakanya ikut maka dia
menyuruhnya untuk bermain dengan teman-temannya.
63
Kutipan:
“Ayo, Aldo dolan sik, ta. Ja ngrusuhi mama. Ngko ra dadai kukis.”
Nangging bocah iku durung gelem mingket. Malah lendhet-lendhet ibune.
Banjur sepisan maneh tembunge metu.
“Ayo, dolan sik.”
Suwarane sereng. Sing diatag panggah meneng.
“Cepet dolan sik. Kana lho dienteni Beni” (ACMA hal 89).
Terjemahan:
“Ayo, Aldo main dulu. Jangan menganggu mama. Nanti jadi kukis.”
“Ayo, main dulu.”
Suwaranya meninggi. Yang diajak bicara langsung diam.
“Cepat main dulu. Itu ditunggu Beni” (ACMA hal 89).
Sore hari Lusia pulang setelah pekerjaannya selesai semua.
Kutipan:
“Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyane sing dipasrahake wis
rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh
ubarampe ditata. Sawise nginep lawang mburisemperat lunga nyabrang
lapangan....”(ACMA hal 90).
Terjemahan:
“Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang diberikan sudah selesai.
Kemudian pikirannya baru ingat harus mencari Aldo. Semua peralatan ditata.
Setelah menutup pintu belakang lalu pergi menyebrang lapangan....”(ACMA
hal 90).
(c) Setting peristiwa
Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah penganut Nasrani.
Nasrani yang taat, sampai mengorbankan waktu untuk mengabdi di gereja. Meski
sedih karena kehilangan anak laki-lakinya Aldo dia kemudian mengiklaskan
anaknya dengan mengingat cerita Ibu Maria yang juga kehilangan anaknya Yesus.
64
Kutipan:
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.”
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?”
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92)
Terjemahan:
“Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih.
Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.”
“Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?”
“Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu
nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92)
b. Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih
dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode
semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta
melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut
sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47).
(1) Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan
karakter, latar, dan tema.Judul cerkak ini menggambarkan tentang catatan bulan
Desember. Dimana pada bulan ini orang-orang Katholik di Maluku sedang
mempersiapkan perayaan Natal dengan berlatih koor. Lusia Renwari yang aktif di
gerejanya tiba-tiba kehilangan seorang anaknya yang bernama Aldo. Hal ini
menjadikannya sebuah Catatan di bulan Desember, yaitu kehilangan anak
bernama Aldo.
(2) Sudut Pandang
65
Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang
menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan
orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai
orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan
dipikirkan oleh satu karakter saja.
(3) Gaya dan Tone
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas
sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana dan
menggunakan bahasa Jawa ngoko.
Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita .
tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis,
misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan
pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan
amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah.
Kutipan:
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.”
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?”
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih.
Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.”
“Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?”
“Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu
nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92).
(4) Simbolisme
66
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi
tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki
kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada
beberapa simbol yang menarik, diantaranya:
(a) Adem
Adem di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan Aldo yang sudah
meninggal yaitu dingin pucat.
Kutipan:
“Sidane bengi iku ndekem ana poliklinik susteran. Lan ya mung sewengi.
Marga esuke kudu bali kanthi ati sing ajur mumur. Aldo wis adhem. Adhem
banget. Lan omah iku dadi rame dadakan. Nanging kerameyan iku ndadekake
atine bungah. Kepara suwalike. Nyedhihake” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Jadinya malam itu menginap di poliklinik suster. Dan hanya satu malam.
Karena paginya harus pulang dengan perasaan yang hancur. Aldo sudah dingin.
Dingin sekali. Dan rumah itu menjadi ramai. Tetapi keramaian itu membuat
hati sedih. Karena sebaliknya. Menyedihkan” (ACMA hal 92).
(b) Kebak salib
Kebak salib di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan yang
banyak cobaan, banyak rasa sakit. Seperti penggambaran dalam cerkak ini di
mana banyak sekali cobaan hidup seperti kehilangan seorang anak.
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.”
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?”
67
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92)
Terjemahan:
“Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih.
Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.”
“Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?”
“Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu
nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92).
(5) Ironi
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika suaminya menyuruh
untuk membuat roti untuk perayaan Natal. Meski mengiyakan namun hatinya
sangat sakit teringat dahulu waktu Wilis masih hidup pasti anak membuat suasana
menjadi ramai.
Kutipan:
“Dheweke banjur ndhungkluk. Saben-saben mengkono carane sing lanang yen
ngakon. Ora tau cumeplos. Iku sing njalari atine sumanggem. Kaya wektu iku.
Nanging ing slempitane atine sing lanang ora ngerti. Tandang gawe kaya
ngono iku ateges njalari tabet lawas. Ana rasa gemes sing mrambat ing
dhadha. Ana rasa jengkel sing nyenengake. Ana rasa sing gumandheng ing
alam sing angel digambarake. Kabeh sinambung kanthi benang sutra sing ora
kasat mata” (ACMA 59).
Terjemahan:
“Dirinya langsung merunduk. Ketika seperti itu cara suaminya menyuruh.
Tidak pernah terucap. Itu yang membuat hatinya mengiyakan. Seperti waku
itu.
“Akan tetapi dalam hatinya suaminya tidak tahu. Pekerjaan membuat kue
seperti itu yang membuka luka lama. Dahulu pekerjaan seperti ini ada suara
anak kecil yang hangat menyentuh hati. Ada rasa jengkel yang menyenangkan.
Ada rasa yang bergandengan di alam yang susah digambarkan. Semua
disambung dengan benang sutra sing ora kasat mata” (ACMA hal 59).
c. Tema
68
Menceritakan sebuah keluarga di Maluku, keluarga tersebut kehilangan
seorang anak laki-laki yang bernama Aldo. Lusia Renwarin, ibu dari Aldo
merupakan anggota koor di gereja kecil di Maluku.
Kutipan:
“Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi
lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit
klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng
Menado....” (ACMA hal 87).
Terjemhan:
“Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi
solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa.
Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, keluaran dari seminari Pineleng
Manado....” (ACMA hal 87).
Rasa tanggungjawab dengan gerejanya membuat dia berlatih sampai sore
menjelang. Dia lupa bahwa anaknya Aldo sedang menunggu kepulangannya.
Kutipan:
“Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyane sing dipasrahake wis
rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh
ubarampe ditata. Sawise nginep lawang mburisemperat lunga nyabrang
lapangan....”(ACMA hal 90).
Terjemahan:
“Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang diberikan sudah selesai.
Kemudian pikirannya baru ingat harus mencari Aldo. Semua peralatan ditata.
69
Setelah menutup pintu belakang lalu pergi menyebrang lapangan....”(ACMA
hal 90).
Sampai di rumah Lusia dikagetkan oleh kondisi Aldo yang sakit panas.
Cepat-cepat dia membawa anaknya ke poliklinik, kemudian Aldo dirawat inap
disana. Aldo dirawat di poliklinik hanya satu hari. Karena keesokan harinya harus
pulang dengan hati yang hancur. Aldo memang sudah tidak panas lagi, Aldo
sudah dingin, dingin sekali, dan rumah tersebut dadakan menjadi ramai. Namun
keramaian tersebut menandakan hatinya sedih, karena Aldo meninggal. Hidup
memang banyak cobaan, banyak salib, siapa orang yang tidak sedih, namun tidak
cukup hanya bersedih saja, karena hal tersebut sangatlah rugi. Semua harus bisa
seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu adalah ajaran yang bisa
dijadikan cermin. Dari cerkak ini bisa kita petik hikmahnya bahwa kita harus iklas
dan percaya kepada Tuhan. Semua milik Tuhan dan akan kembali kapada-Nya.
Kutipan:
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine”.
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet iku?”
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Hidup itu penuh cobaan. Banyak salib. Siapa yang tidak sedih. Namun tidak
cukup seperti itu karena akan merugi saja”.
“Memang, tetapi siapa yang bisa menghilangkan ini?”
“Kita sendiri harus bisa seperti Ibu Maria, disaat melihat anaknya disalib.
Menerima dengan iklas yang harus dijadikan contoh” (ACMA hal 92).
d. Keterkaitan Antarunsur
Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Cathetan Desember karya
Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait
70
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini
meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau
setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya
dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh
sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita.
Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting
dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema
tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang
diangkat. Tema cerkak Cathetan Desemberadalah tentang religi. Secara spesifik
mengacu pada religiusitas tokoh Lusia Renwarin dalam menjalani hidupnya, yaitu
dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya
dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya
sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang
digunakan penulis dalam cerkak Cathetan Desember karya Ariesta Widya
adalahsudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne
dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang
mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja.
Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri
dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Cathetan Desember karya
71
Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
4. Ganda Semboja
a. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut:
(1) Alur
Alur pada cerkak Ganda Semboja ini adalah alur maju.
(a) Alur awal
Tahap ini bercerita tentang kebaikan seorang ibu tiri terhadap anak-anak
tirinya. Ayah kandung mereka sudah meninggal, namun ibu tirinya masih saja
mengasihi anak-anaknya. Kutipannya sebagai berikut:
“Sanadyan bapakmu wis ora ana aja banjur ngowah-owahi. Omah iki ya
omahe bapakmu. Kebon mburi sekolahan kae. Apamaneh tegalan sing
rambutan lan durene sing nyenengake. Kabeh kuwi darbekmu. Aku wis
nglenggana.”
“Akh, Ibu, ra sah ngendika ngono,” adhine sing dadi Kepala Sekolah
ngrangkul karo prembik-prembik.
“Tilikana aku. Ra sah kokoleh-olehi. Oleh-olehana katresnan sing salawase iki
tinalenan. Aja nganti rantas” (ACMA hal 95).
Terjemahan:
“Walaupun bapakmu sudah tidak ada jangan dirubah. Rumah ini rumahnya
bapakmu. Kebun belakang sekolah itu. Apalagi ladang yang rambutan dan
durennya menyenangkan. Semua itu milikmu. Saya sudah jujur.”
72
“Akh, Ibu, jangan berbicara seperti itu,” adiknya yang menjadi Kepala Sekolah
memeluk dengan mata berkaca-kaca.
“Jenguklah saya. Tidak perlu kalian membawakan oleh-oleh. Bawalah kasih
sayang yang kekal ini terjalin. Jangan sampai putus” (ACMA hal 95).
(b) Alur tengah
Menceritakan ibu tirinya yang jatuh sakit dan dibawa ke rumah sakit.
Ibunya kemudian meninggal dan membuat anak-ankanya bersedih. Kutipannya
sebagai berikut:
“Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah.
Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki.
Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98).
Terjemahan:
“Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa
kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga.
Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98).
(c) Alur akhir
Tahap ini menceritakan anaknya yang bersedih dengan meninggal ibunya.
Setelah bercengkerama dengan sahabatnya dan berbagi pengalaman hidup, anak
tersebut sadar dan memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Kutipannya sebagai
berikut:
“Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryanti
sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer
loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ana tegese.”
Tembung-tembunge mlebu prungone. Cetha. Cetha banget.
“Matur nuwun.”
Ukarane cekak. Bubar iku wong loro dadi amem. Sareyan wis mungkur.
Gandane kembang semboja wis ora nyogok irung....” (ACMA hal 99).
Terjemahan:
73
“Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti
yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua.
Hidup saya seperti tidak ada artinya.
Kata-kata yang masuk dalam pendengarannya. Jelas. Jelas sekali.
“Terima kasih.”
Kalimat pendek. Setelah itu mereka terdiam. Pergi dari pemakaman. Bau
kamboja sudah tidak menyenggat dihidung....” (ACMA hal 99).
(d) Konflik
Menceritakan sang anak mendapatkan kabar bahwa ibunya masuk rumah
sakit.
Kutipan:
“Nanging Kemis awan bali ponakane teka menggeh-menggeh. Ngandhakake
yen wong wadon sing nggulawenthah iku mlebu rumah sakit” (ACMA hal 97).
Terjemahan:
“Namun Kamis siang kembali keponakannya datang terengah-enggah.
Mengatakan bahwa perempuan yang merawatnya masuk rumah sakit” (ACMA
hal 97).
(e) Klimaks
Konflik yang memuncak yaitu setelah ibunya masuk rumah sakit satu
minggu kemudian beliau meninggal.
Kutipan:
“Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah.
Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki.
Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98).
Terjemahan:
74
“Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa
kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga.
Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98).
(2) Tokoh atau Karakter
(a) Ibu
Seorang Ibu tiri yang sangat menyayagi anak-anak tirinya. Dia adalah
orang yang taat kepada Tuhan, dia meyakini cara dia berbakti kepada Tuhan
adalah dengan menyayangi anak-anak tirinya.
Kutipan:
“Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran
ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi
sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih.
Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa
gothang...” (ACMA hal 95).
Terjemahan:
“Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita
yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang
memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu
seperti kosong....” (ACMA hal 95).
(b) Sadmoko
Dia adalah anak yang sangat sayang kepada ibunya dan paling bersedih
saat ditinggal ibu tirinya.
Kutipan:
“Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah.
Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki.
Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98).
Terjemahan:
75
“Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa
kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga.
Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98).
Dia juga merupakan orang yang sabar, iklas, dan pasrah yakin akan jalan
yang diberikan Tuhan.
Kutipan:
“Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryati
sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer
loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ono tegese.
Tembung-tembung mlebu prungone. Cetha. Cetha banget”(ACMA hal 90).
Terjemahan:
“Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti
yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua.
Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang menusuk hati. Jelas. Jelas
sekali” (ACMA hal 90).
(b) Maryati
Merupakan teman yang baik, mau berbagi kisah hidupnya yang kehilangan
orang-orang yang disayanginya. Dia mempunyai sifat sabar, iklas, dan pasrah
dalam menghadapi problematika hidup.
Kutipan:
“Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryati
sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer
loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ono tegese.
Tembung-tembung mlebu prungone. Cetha. Cetha banget”(ACMA hal 90).
76
Terjemahan:
“Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti
yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua.
Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang masuk dalam
pendengarannya. Jelas. Jelas sekali” (ACMA hal 90).
(3) Latar/ Setting
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
(a) Setting tempat
Setting tempat pada cerkak ini adalah di Semarang yaitu di rumah. Setelah
ayahnya meninggal anak-anaknya pulang kerumah masing-masing, beliau
berpesan untuk selalu menjenguk ibunya.
Kutipan:
“Sanadyan bapakmu wis ora ana aja banjur ngowah-owahi. Omah iki ya
omahe bapakmu. Kebon mburi sekolahan kae. Apamaneh tegalan sing
rambutan lan durene sing nyenengake. Kabeh kuwi darbekmu. Aku wis
nglenggana” (ACMA hal 95).
Terjemahan:
“Walaupun bapakmu sudah tidak ada jangan merubahnya. Rumah ini
rumahnya bapakmu. Kebun belakang sekolah itu. Apalagi ladang yang
rambutan dan durennya menyenangkan. Semua itu milikmu. Saya sudah
jujur”(ACMA hal 95).
77
Setting tempat pada cerkak ini adalah di rumah sakit. Ibunya yang sakit
dibawa ke rumah sakit dimana ibu kandung dan ayah kandungnya juga meninggal
di rumah sakit tersebut.
Kutipan:
“... Yen ibune wis pindhah panggonan. Dipindhah mlebu ICCU. Dadakan
atine trataban. Bubar saka pagaweyan terus bablas. Lontrang-lontrang rumah
sakit iku wis apal banget. Wiwit rumah sakit iku isih kuna tinggalan zaman
Landa....”(ACMA hal 98).
Terjemahan:
“... Jika ibunya sudah pindah ruangan. Dipindah masuk ICCU. Tiba-tiba
hatinya deg-degan. Setelah pulang kerja kemudian pergi. Kesana-kesini rumah
sakit itu sudah hafal sekali. Dari rumah sakit itu masih kuno tinggalan zaman
Belanda....”(ACMA hal 98).
Setting tempat selanjutnya adalah di makam. Ketika ibunya meninggal Nur
mengantarkan pemakaman ibunya dan merasa kosong hatinya melihat dan
mencium bau kembang kamboja.
Kutipan:
“Wong-wong ing sareyan wis entek. Ora krasa wong-wong sing padha
nglancangi laku”(ACMA hal 98)
Terjemahan:
“Orang-orang di makam sudah tidak ada. Tidak terasa orang-orang yang sudah
mendahului jalan”(ACMA hal 98).
78
(b) Setting waktu
Setting waktu pada cerkak ini adalah pada pagi hari. Saat itu anak pertama
melamun di depan rumahnya.
Kutipan:
“Mau bengi lek-lekan. Sakjane bisa ninggal. Wong kangmas sing wis ora
ngasta wis ngganteni tengah wengi. Akh, ati iki sing menging.”
“Ngebyar ya, mas?”(ACMA hal 94).
Terjemahan:
“Tadi malam begadang. Sebenarnya bisa pergi. Kakak yang tidak bekerja
sudah menggantikan tengah malam. Akh, hati ini yang menolak.”
“Sampai pagi ya mas?” (ACMA hal 94).
(c) Setting peristiwa
Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah keluarga yang
religius beragama Nasrani yang taat. Meski banyak cobaan dengan adanya
peristiwa ditinggal mati orang-orang yang dicintainya. Meski ganda semboja atau
bau kematian masih jelas melekat, gambaran orang-orang baik dan jahat ketika
mati.
Kutipan:
“Tumlawang donga ilang kabuncang bebarengan gandaning kembang
semboja. Pang-pange kaya wewangunan tangan-tangan ngranggeh langit.
Banjur wit-wite memangung wong-wong sing polah marga lagi nandhang
kalaran.”
“Pikirane mabur menyang langit sap pitu. Apa kaya ngono iku wong-wong
sing nampa pasiksan ing genining neraka marga urip sing ora mapan. Urip
sing nalisir saka tataning kabecikan. Banjur mung bisa polah sarta pangrintih
bebarengan suwara sing nyedhihake. Sedhih, pangrintih sing nuwuhake ati
miris sing ora ngerti kapan wusanane. Tanpa sengaja pangangkluhe kawetu.
Marga kaya-kaya dhirine sing tetangisan ing antarane wewayangan ing
tengahing geni sing tansah murup” (ACMA hal 94).
79
Terjemahan:
“Terdengar doa hilang samar-samar bersamaan dengan bau bunga kamboja.
Ranting-ranting seperti tangan-tangan yang menggapai langit. Kemudian
pohon-pohonnya seperti orang-orang yang bergerak karena sedang mengalami
kesakitan.”
“Pikirannya terbang ke langit tujuh. Apa seperti itu orang-orang yang
menerima siksaan di api neraka karena hidup yang tidak baik. Hidup yang jauh
dari kebaikan. Sedih, rintihan yang membuat hati miris yang tidak tahu kapan
selesainya. Perkataan di dalam hatinya tanpa sengaja keluar. Karena seperti
dirinya yang menangis di antara keadaaan di tengah api yang selalu menyala”
(ACMA hal 94).
b. Sarana-sarana Sastra
(1) Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan
karakter, latar, dan tema. Ganda semboja memiliki arti bau kamboja yang
menandakan tentang kesedihan dengan adanya kematian. Cerkak ini bercerita
tentang kesedihan karena kematian ibu tiri yang baik. Penggambaran tersebut
sesuai dengan judul cerkak yaitu ganda semboja (bau atau kesedihan karena
kematian).
(2) Sudut Pandang
Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas.
Pengarang menggunakan kata –ne yang dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang
menyatakan orang ketiga. Pengarang membuat beberapa karakter melihat,
mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir.
(3) Gaya dan Tone
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas
sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana namun ada
beberapa perumpamaan dalam cerkak ini.
80
Kutipan:
“Tumlawung donga ilang kabuncang bebarengan gandaning kembang
semboja. Pang-pange kaya wewangunan tangan-tangan ngranggeh langit.
Banjur wit-wite memangung wong-wong sing polah marga lagi nandhang
kalaran.”
“Pikirane mabur menyang langit sap pitu. Apa kaya ngono iku wong-wong
sing nampa pasiksan ing genining neraka marga urip sing ora mapan. Urip
sing nalisir saka tataning kabecikan. Banjur mung bisa polah sarta pangrintih
bebarengan suwara sing nyedhihake. Sedhih, pangrintih sing nuwuhake ati
miris sing ora ngerti kapan wusanane. Tanpa sengaja pangangkluhe kawetu.
Marga kaya-kaya dhirine sing tetangisan ing antarane wewayangan ing
tengahing geni sing tansah murup” (ACMA hal 94).
Terjemahan:
“Terdengar doa hilang samar-samar bersamaan dengan bau bunga kamboja.
Ranting-ranting seperti tangan-tangan yang menggapai langit. Kemudian
pohon-pohonnya seperti orang-orang yang bergerak karena sedang mengalami
kesakitan.”
“Pikirannya terbang ke langit tujuh. Apa seperti itu orang-orang yang
menerima siksaan di api neraka karena hidup yang tidak baik. Hidup yang jauh
dari kebaikan. Sedih, rintihan yang membuat hati miris yang tidak tahu kapan
selesainya. Perkataan di dalam hatinya tanpa sengaja keluar. Karena seperti
dirinya yang menangis di antara keadaaan di tengah api yang selalu menyala”
(ACMA hal 94).
Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita .
tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis,
misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan
pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan
amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah.
(4) Simbolisme
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi
tampak nyata. Ada beberapa simbol yang menarik, diantaranya:
81
(a) Gandha kembang semboja
Ganda di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan yang sedih
karena sebuah kematian.
Kutipan:
“Ukarane cekak. Bubar iku wong loro dadi amem. Sareyan wis mungkur.
Gandane kembang semboja wis ora nyogok irung...” (ACMA hal 99).
Terjemahan:
“Kalimat pendek. Setelah itu mereka berdua jadi diam. Pergi dari pemakaman.
Bau bunga kamboja sudah tidak tercium lagi...” (ACMA hal 99).
(b) Mambu ati
Mambu ati digunakan untuk menggambarkan tentang perasaan yang masih
menyukai.
Kutipan:
“Akh, aja ngendhika ngono, Mas. Sapa ngerti bubar saka kondur iki bisa
mucuki nyerat manh. Akh, aku melu seneng. Seneng banget.” Sadmoko ora
wangsulan. Mung mesem sing diempet. Isih mambu ati” (ACMA hal 100).
Terjemahan:
“Akh, jangan berkata seperti itu, Mas. Siapa tahu setelah pulang ini bisa
kembali mengarang. Akh, saya ikut senang. Senang sekali.” Sadmoko tidak
menjawab. Hanya senyum yang ditahan. Perasaan itu masih ada” (ACMA hal
100).
82
(5) Ironi
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika Maryati bertanya
tentang kegemarannya menulis, sebenarnya Sadmoko senang dengan perkataan
Maryati yang senang jika ia menulis kembali, namun hal tersebut ditahan karena
masih menyipmpan perasaan.
Kutipan:
“Akh, aja ngendhika ngono, Mas. Sapa ngerti bubar saka kondur iki bisa
mucuki nyerat maneh. Akh, aku melu seneng. Seneng banget.” Sadmoko ora
wangsulan. Mung mesem sing diempet. Isih mambu ati” (ACMA hal 100).
Terjemahan:
“Akh, jangan berkata seperti itu, Mas. Siapa tahu setelah pulang ini bisa
kembali mengarang. Akh, saya ikut senang. Senang sekali.” Sadmoko tidak
menjawab. Hanya senyum yang ditahan. Masih menyukai” (ACMA hal 100).
c. Tema
Orang-orang yang menerima siksaan di api neraka karena hidupnya
melenceng dari tata kehidupan yang baik digambarkan seperti pohon kamboja
dimana ranting-rantingnya seperti tangan yang menggapai langit dan merasa
kesakitan. Gambaran seperti ini ada dalam cerkak Ganda Semboja.
Kutipan:
“Tumlawung donga ilang kabuncang bebarengan gandaning kembang
semboja. Pang-pange kaya wewangunan tangan-tangan ngranggeh langit.
Banjur wit-wite memangung wong-wong sing polah marga lagi nandhang
kalaran.”
“Pikirane mabur menyang langit sap pitu. Apa kaya ngono iku wong-wong
sing nampa pasiksan ing genining neraka marga urip sing ora mapan. Urip
sing nalisir saka tataning kabecikan. Banjur mung bisa polah sarta pangrintih
bebarengan suwara sing nyedhihake. Sedhih, pangrintih sing nuwuhake ati
83
miris sing ora ngerti kapan wusanane. Tanpa sengaja pangangkluhe kawetu.
Marga kaya-kaya dhirine sing tetangisan ing antarane wewayangan ing
tengahing geni sing tansah murup” (ACMA hal 94).
Terjemahan:
“Terdengar doa hilang samar-samar bersamaan dengan bau bunga kamboja.
Ranting-ranting seperti tangan-tangan yang menggapai langit. Kemudian
pohon-pohonnya seperti orang-orang yang bergerak karena sedang mengalami
kesakitan.”
“Pikirannya terbang ke langit tujuh. Apa seperti itu orang-orang yang
menerima siksaan di api neraka karena hidup yang tidak baik. Hidup yang jauh
dari kebaikan. Sedih, rintihan yang membuat hati miris yang tidak tahu kapan
selesainya. Perkataan di dalam hatinya tanpa sengaja keluar. Karena seperti
dirinya yang menangis di antara keadaaan di tengah api yang selalu menyala”
(ACMA hal 94).
Cerkak ini menceritakan kesedihan yang mendalam seorang anak dengan
kematian. Setelah ditinggal mati ibu kandungnya, dia dan kedua adiknya ditinggal
mati pula ayah kandungnya. Sebelum ayah mereka meninggal, dia meninggalakan
seorang ibu tiri yang sangat baik. Dia merawat anak-anaknya sampai mereka
menjadi orang yang sukses. Namun, suatu hari sang anak mendengar kabar buruk
yaitu kematian sang ibu tiri. Perasaannya sangat sedih dan sangat terpukul.
Kutipan:
“Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran
ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi
sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih.
Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa
gothang...” (ACMA hal 95).
Terjemahan:
“Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita
yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang
memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu
seperti kosong....” (ACMA hal 95).
Dia sangat menyesali kematian ibunya, namun dia disadarkan oleh seorang
sahabatnya yang menceritakan kehidupannya yang ditinggal mati oleh anak-
84
anaknya. Hidup ini tidak berarti setelah ditinggal mati orang-orag yang disayangi,
namun hidup harus dijalani dan jangan sampai berlarut-larut dalam kesedihan
karena sebuah kematian.
Kutipan:
“Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryanti
sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer
loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ana tegese.”
Tembung-tembunge mlebu prungone. Cetha. Cetha banget.
“Matur nuwun.”
Ukarane cekak. Bubar iku wong loro dadi amem. Sareyan wis mungkur.
Gandane kembang semboja wis ora nyogok irung....” (ACMA hal 99).
Terjemahan:
“Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti
yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua.
Hidup saya seperti tidak ada artinya.
Kata-kata yang masuk dalam pendengarannya. Jelas. Jelas sekali.
“Terima kasih.”
Kalimat pendek. Setelah itu mereka terdiam. Pemakaman sudah pergi. Bau
kamboja sudah tidak menyenggat lagi....” (ACMA hal 99).
d. Keterkaitan Antarunsur
Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Ganda Semboja karya
Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini
meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau
setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya
dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh
sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita.
Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting
dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar
85
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema
tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang
diangkat. Tema cerkak Ganda Sembojaadalah tentang religi. Secara spesifik
mengacu pada religiusitas tokoh Sadmoko dalam menjalani hidupnya, yaitu
dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya
dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya
sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang
digunakan penulis dalam cerkak Ganda Sembojakarya Ariesta Widya adalahsudut
pandang orang ketiga tidak terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne yang
dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang
membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat tidak ada
satu karakter pun hadir.
Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna
tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Ganda
Sembojakarya Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
5. Oh Renan, Oh Yaman
a. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
86
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut:
(1) Alur
Cerkak ini menggunakan alur flash back.
(a) Alur awal
Tahap ini bercerita tentang awal bertemunya Albert dan Rebeka.
Kutipannya sebagai berikut:
“Tetepungan iku mucuki laku sing jablas nganti saiki iki. Cathetan wengi saka
datasemen nggungah rasa lanange kepingin mecaki dalan penguripan
bebarengan. Nanging....” (ACMA hal 129).
Terjemahan:
“Perkenalan itu yang berlanjut hingga sekarang. Catatan malam dari pertemuan
membuat rasa laki-lakinya ingin membina rumah tangga. Namun....” (ACMA
hal 129).
(b) Alur tengah
Tahap ini menceritakan orangtua Albert yang mendengar kabar buruk di
luar tentang anakanya.
Kutipan:
“Bert, Albert. Aku lan bapakmu kepriye wae rak ya melu cawe-cawe yen ing
njaba kabar-kabar sing rinasa ora kepenak.” Ibune omong sareh, ngendeh
tembunge bapake. Kanthi ati adem, sing ditakoni mbacut kandha” (ACMA hal
130).
87
Terjemahan:
“Bert, Albert. Sayadan bapakmu bagaimanapun megikutimu jika di luar ada
kabar yang tidak enak.” Ibunya berkata lirih, menghindari perkataan ayahnya.
Dengan hati yang dingin, yang ditanyai kemudian menjawab” (ACMA hal
130).
(c) Alur akhir
Tahap ini diakhiri dengan Albert dan Rebeka yang memutuskan untuk
menikah dan meninggalkan rasnya masing-masing. Mereka pergi menjauh dari
lingkungan asal mereka untuk meredam masalah. Kutipannya sebagai berikut:
“Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing
panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan.
Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning
Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain,
untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati
dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131).
(d) Konflik
Konflik mulai terjadi, Albert dan Rebeka mulai jatuh cinta, namun
perbedaan ras mereka membuat keduanya tidak bisa bersama. Kutipannya sebagai
berikut:
“Albert, Albert anakku. Aku sing luput. Aku sing luput. Saupama aku ora lair
saka trah sing diingggati ing pasrawungan yaiku mbedak-mbedakake,
88
mesthine sing kokrasakake iku ora bakal dadi pepalang. Ora kalebu trah sing
dianggep asor, trah in-reri” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Albert, Albert anak saya. Saya yang salah. Saya yang salah. Jika saya tidak
lahir dari ras yang dihindari dalam masyarakat yaitu membeda-bedakan,
harusnya yang kamu rasakan sekarang tidak akan menjadi penghalang. Tidak
termasuk yang dianggap rendah, ras in-reri” (ACMA hal 130).
(e) Klimaks
Konflik utama mulai memuncak yaitu Rebeka dibuang oleh keluarganya
dan rasnya karena lebih memilih Albert.
Kutipan:
“Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.”
“Tenan, tenan kuwi?”
Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok
dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.”
“Benar, benar itu?”
Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang
biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA
hal 131).
89
(2) Tokoh atau Karakter
(a) Albert
Seorang pemuda yang baik, dengan keyakinannya kepada Tuhan dia
berani mengambil resiko dengan menikahi Beka yang berbeda ras dengannya.
Meski menimbulkan masalah besar tapi dia mempercayakan semuanya kepada
Tuhan.
Kutipan:
“Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket
dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan
sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi
Pangandikane Gusti.”
“Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis
gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu
ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan
tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai
pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih
meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.”
“Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang
terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya
dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130).
Albert memiliki sifat yang sabar, iklas, dan pasrah dibuktikan dengan
dirinya yang kemudian menikah dan hidup jauh dari rasnya dengan memasrahkan
semuanya kepada Tuhan.
Kutipan:
“Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing
panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan.
Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning
Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131).
90
Terjemahan:
“Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain,
untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati
dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131).
(b) Rebeka
Seorang gadis yang mempunyai keberanian untuk melangkah kepelamina
meski tidak mendapatkan restu orang tuanya. Dia juga merupakan orang yang
percaya akan takdir dari Tuhan sehingga dia mempercayakan semuanya kepada
Tuhan.
Kutipan:
“Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.”
“Tenan, tenan kuwi?”
Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok
dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.”
“Benar, benar itu?”
Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang
biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA
hal 131).
(c) Ayah Albert
Seorang ayah yang baik dan percaya dengan semua keputusan anaknya.
Dia juga seorang ayah yang pengertian, memberikan restu kepada anaknya meski
hal tersebut akan menjadi masalah besar karena perbedaan ras.
91
Kutipan:
“Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket
dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan
sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi
Pangandikane Gusti.”
“Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis
gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu
ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Renan dan Yaman. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat
dengan tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus
mempunyai pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya
masih meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.”
“Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang
terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya
dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130).
(d) Ibu Albert
Seorang ibu yang baik dan juga sabar, mencoba untuk bertanggungjawab
akan anaknya yang menjalin cinta dengan ras lain.
Kutipan:
“Bert, Albert. Aku lan bapakmu kepriye wae rak ya melu cawe-cawe yen ing
njaba kabar-kabar sing rinasa ora kepenak.” Ibune omong sareh, ngendeh
tembunge bapake. Kanthi ati adem, sing ditakoni mbacut kandha” (ACMA hal
130).
Terjemahan:
“Bert, Albert. Saya dan bapakmu bagaimanapun megikutimu jika di luar ada
kabar yang tidak enak.” Ibunya berkata lirih, menghindari perkataan ayahnya.
Dengan hati yang dingin, yang ditanyai kemudian menjawab” (ACMA hal
130).
92
(3) Latar/ Setting
(a) Setting tempat
Setting tempat pada cerkak Oh Renan, Oh Yaman ini adalah di Manado,
tepatnya di rumah.
Kutipan:
“Anggone ngenam gagasan wis wiwit esuk mau. Banjur metu ing tritisan karo
nyawang wit cemara gunung sing ngadeg renteng-renteng mbanjeng ing
pinggir lapangan. Dadakan saka njero bojone nyusul ngadeg ing lambe
lawang karo ngucap” (ACMA hal 126).
Terjemahan:
“Caranya merencanakan gagasan sudah dari tadi pagi. Kemudian keluar di
pinggiran dengan melihat pohon cemara gunung yang berdiri berjajar di
pinggir lapangan. Tiba-tiba dari dalam istrinya menyusul berdiri di bibir pintu
dengan berbicara” (ACMA hal 126).
Setting tempat lainnya berada di jalan, dimana Albert dan Rebeka mulai
bertemu, berkenalan, dan mulai tumbuh rasa cinta.
Kutipan:
“Sakiki lakune wis ora kaya wong wadon mlaku bebarengan. Apamaneh sing
mlaku bebarengan iku wadon lan lanang. Nalika anggone mlaku wis rada
adoh lan jangkahe kaya wong balapan lagi kawetu tembunge alon” (ACMA
hal 128).
Terjemahan:
“Sekarang jalannya sudah tidak seperti perempuan berjalan bersama. Apalagi
yang berjalan bersama itu perempuan dan laki-laki. Ketika berjalan sudah
93
sedikit jauh dan langkahnya seperti orang balapan baru keluar perkataan pelan”
(ACMA hal 128).
(b) Setting waktu
Setting waktu pada cerkak ini adalah pada malam hari. Dimana Albert dan
Rebeka bertemu. Kutipannya sebagai berikut:
“Nalika iku lakune arep ngliwati jaratan lakune sajak aweh sasmita. Marga
gandane kembang semboja sing ngambar nerak-nerak wengi. Anggone mlaku
wis reruntungan tanpa ukara. Nalika jaratan wis kliwatan kemput lakune lagi
kaya ...” (ACMA hal 129).
Terjemahan:
“Ketika itu jalannya akan melewati jaratan langkahnya mulai waspada. Karena
bau bunga kemboja yang menggambarkan suasana malam. Langkah kakinya
sudah bergandengan tanpa ukara. Ketika jaratan sudah terlewati langkahnya
baru seperti ...” (ACMA hal 129).
Selain itu setting waktu lainnya adalah pada siang hari. Kutipannya
sebagai berikut:
“Anggone ngenam gagasan wis wiwit esuk mau. Banjur metu ing tritisan karo
nyawang wit cemara gunung sing ngadeg renteng-renteng mbanjeng ing
pinggir lapangan. Dadakan saka njero bojone nyusul ngadeg ing lambe
lawang karo ngucap” (ACMA hal 126).
Terjemahan:
“Caranya merencanakan gagasan sudah dari tadi pagi. Kemudian keluar di
pinggiran dengan melihat pohon cemara gunung yang berdiri berjajar di
94
pinggir lapangan. Tiba-tiba dari dalam istrinya menyusul berdiri di bibir pintu
dengan berbicara” (ACMA hal 126).
(c) Setting Peristiwa
Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini dipengaruhi oleh
kebudayaan masyarakat Minahasa yang masih dibeda-bedakan anatara ras satu
dengan yang lain. Dua insan manusia menjalin hubungan dengan rasa yang
berbeda, maka akan dikucilkan oleh masyarakatnya. Hal itu tidak sesuai dengan
ajaran agama Katholik yang tidak membeda-bedakan umatnya. Albert dan
Rebeka mengambil keputusan untuk menikah dan memasrahkan semuanya
kepada Tuhan. Kutipannya sebagai berikut:
“Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket
dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan
sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi
Pangandikane Gusti.”
“Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis
gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu
ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan
tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai
pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih
meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.”
“Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang
terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya
dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130).
b. Sarana-sarana Sastra
(1) Judul
Menceritakan tentang pertentangan pernikahan karena perbedaan ras.
Namun, Renan dan Yaman atau ayah dan ibu memberikan restu kepada anaknya
untuk menikah, maka dari itu cerkak ini sesuai dengan judul yang dibuat. Karena
95
terjadi di Minahasa, maka bahasa yang digunakanpun menggunakan bahasa
Minahasa.
(2) Sudut Pandang
Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang
menggunakan kata –ne dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan
orang ketiga. Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai
orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan
dipikirkan oleh satu karakter saja.
(3) Gaya dan Tone
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang sedikit rumit untuk
bahasa yang digunakan pada judul, namun untuk bahasa cerita lugas sehingga
mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana namun ada beberapa
perumpamaan dalam cerkak ini.
Kutipan:
“Urip iki kaya prau ing tengahing segara” (ACMA hal 127).
Terjemahan:
“Hidup ini seperti perahu di tengah laut” (ACMA hal 127).
Perumpaan ini digunakan untuk menjelaskan tentang kehidupan Albert
dan Rebeka yang penuh dengan kesulitan terombang-ambing oleh kerasnya
kehidupan.
Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita .
tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis,
misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan
96
pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan
amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Berikut kutipannya:
“Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing
panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan.
Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning
Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain,
untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati
dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131).
(4) Simbolisme
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi
tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki
kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada
beberapa simbol yang menarik, diantaranya:
(a) Lambe lawang
Lambe lawang di sini digunakan untuk menjelaskan posisi istrinya yang
sedang berdiri di pinggir pintu.
Kutipan:
“Dadakan saka njero bojone nyusul ngadeg ing lambe lawang karo ngucap”
(ACMA hal 126).
Terjemahan:
“Tiba-tiba dari dalam istrinya datang berdiri di bibir pintu dengan mengucap”
(ACMA hal 126).
97
(b) Adu swara
Adu swara di sini digunakan untuk menggambarkan suara lonceng yang
nyaring.
Kutipan:
“Gumlonthanging lonceng kaya adu swara” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Suara lonceng yang nyaring seperti beradu suara” (ACMA hal 131).
(5) Ironi
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika Albert menanyakan
keputusan Rebeka, meski senang bisa bersama laki-laki yang disayangi yaitu
Albert namun, kenyataan lain yang membuat Rebeka sedih adalah Rebeka
dibuang oleh keluarga dan rasnya.
Kutipan:
“Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.”
“Tenan, tenan kuwi?”
Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok
dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.”
“Benar, benar itu?”
Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang
biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA
hal 131).
98
c. Tema
Menceritakan kisah cinta yang berbeda status sosial, hampir seperti
keadaan kasta di Bali. Keadaan ini dianggap tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.
Latar cerkak ini berada di Manado, Maluku. Suatu ketika AURI yang mempunyai
lapangan yang luas dan besar kedatangan rombongan seniman dari Jakarta.
Rombongan tersebut mengadakan pertunjukan untuk tempat-tempat terpencil,
sehingga para warga berkumpul untuk melihatnya. Berawal dari pertunjukan
inilah yang menjadikan keduanya saling bertemu dan jatuh cinta, laki-laki yang
berasal dari kampung Ohoijong yaitu Albert Henan dan perempuan yang berasal
dari kampung Langgur yaitu Beka Renwarin. Albert yang berasal dari kasta
rendah dan Beka yang berasal dari kasta tinggi menjadikan percintaan mereka
terhalang.
Kutipan:
“Albert, Albert anakku. Aku sing luput. Aku sing luput. Saupama aku ora lair
saka trah sing diingggati ing pasrawungan yaiku mbedak-mbedakake,
mesthine sing kokrasakake iku ora bakal dadi pepalang. Ora kalebu trah sing
dianggep asor, trah in-reri” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Albert, Albert anak saya. Saya yang salah. Saya yang salah. Seandainya saya
tidak lahir dari garis keturunan yang dihindari dalam masyarakat yaitu
membeda-bedakan, harusnya yang kamu rasakan sekarang tidak akan menjadi
penghalang. Tidak termasuk yang dianggap rendah, ras in-reri” (ACMA hal
130).
99
Albert mengambil keputusan untuk menentang perbedaan garis keturunan
di Maluku, karena bagi Albert yang beragama Katholik perbedaan ras tersebut
tidak sesuai dengan ajaran agamanya.
Kutipan:
“Renan lan Yaman. Anggonku wiwit ngingati rak merga Beka banget kaiket
dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan
sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi
Pangandikane Gusti” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan
tata cara adatnya. Harapanku. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai
pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih
meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan” (ACMA hal 130).
Albert dan Beka kemudian menikah, mereka yakin cinta yang dibangun
dengan hati dan tujuan yang baik diberikan jalan yang terbaik dari Tuhan. Dan
merekapun hidup bahagia dengan berkat dari Tuhan.
Kutipan:
“Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindakake ing
panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan.
Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning
Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131).
100
Terjemahan:
“Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain,
untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati
dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131).
d. Keterkaitan Antarunsur
Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Oh Renan, Oh Yaman karya
Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling mengkait
antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam cerbung ini
meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan latar atau
setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, simbolisme, gaya
dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu kesatuan yang utuh
sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan cerita.
Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting
dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema
tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang
diangkat. Tema cerkak Oh Renan, Oh Yaman adalah tentang religi. Secara
spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Albert dan Rebeka dalam menjalani
hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya
dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya
sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah
101
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang
digunakan penulis dalam cerkak Oh Renan, Oh Yaman karya Ariesta Widya
adalahsudut pandang orang ketiga terbatas. Pengarang menggunakan kata –ne
dalam bahasa Indonesia berarti –nya yang menyatakan orang ketiga. Pengarang
mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu karakter saja.
Adanya sarana-sarana sastra memberikan nuansa keindahan serta warna tersendiri
dalam sebuah cerita. Unsur struktural dalam cerkak Oh Renan, Oh Yaman karya
Ariesta Widya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain serta membentuk satu kesatuan yang utuh.
6. Ing Citarum Mecaki Urip
a. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagai berikut:
(1) Alur
Cerkak yang berjudul Ing Citarum Mecaki Urip menggunakan alur maju.
102
(a) Alur awal
Tahap ini diawali dengan Ibu Mari berdoa untuk kelancaran malam nanti
untuk mengantar suaminya Pak Wid cek up ke rumah sakit Citarum. Kutipannya
sebagai berikut:
“Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing
ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka
paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal
166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada
Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA
hal 166)
(b) Alur tengah
Pada tahap ini Ibu Mari pergi mengantar Pak Wid cek up di rumah sakit
Citarum. Berikut kutipannya:
“Bangku dawa ngarepan, ngarepane praktik daklungguhi. Jam lagi nuduhake
jam pitu luwih seprapat. Yen kahanan normal mesthine rawuhe dhokter
Arwedhi setengah wolu. Jam mrambat nganti jam wolu” (ACMA hal 168).
Terjemahan:
“Bangku panjang di depan, duduk di depan tempat praktik. Waktu baru
menunjukkan jam tujuh lebih lima belas menit. Apabila keadaan normal
harusnya datangnya dokter Arwedhi pukul setengah delapan. Waktu berjalan
sampai pukul delapan” (ACMA hal 168).
103
(c) Alur akhir
Setelah menjenguk teman-temannya yang sakit, Ibu Mari dan Pak Wid
merasa lebih beruntung. Mereka lebih memasrahkan kepada Tuhan. Kutipannya
sebagai berikut:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, lha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
(d) Konflik
Tahap ini bercerita tentang keadaan suaminya yang kurang baik. Ginjalnya
mulai melemah. Kutipannya sebagai berikut:
“Sedaya sae. Nanging sajakipun radi lemah, nggih?”. “Inggih, Dhok. Saking
ruang HI prayoganipun 55 kilo. Lha, kok...” (ACMA hal 169).
Terjemahan:
“Semua baik. Namun sepertinya sedikit lemah, ya?”. “Iya, Dok. Dari ruang HI
seharusnya 55 kg. Namun,...” (ACMA hal 169).
(e) Klimaks
Konflik mulai memuncak ketika menjenguk temannya yaitu Pak Marjo,
cobaan yang dialami oleh Bu Marjo dan Pak Marjo membuat Ibu Mari merasa
bersyukur atas kehidupan yang diberikan.
104
Kutipan:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
(2) Tokoh atau Karakter
(a) Ibu Mari
Seorang Katolik yang taat, dia tidak pernah mengeluh, selalu sabar, iklas
akan cobaan yang dihadapinya yaitu suaminya mengidap penyakit ginjal.
Kutipan:
“Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing
ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka
paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal
166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada
Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA
hal 166).
105
Ibu Mari mempunyai jiwa sosial yang tinggi, meski dirinya sedang
mendapatkan cobaan yang besar dia masih mau menjenguk bahkan mendoakan
teman-temannya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Kutipan:
“Mas Wid dakajak tumuju ruange Pak Ngationo. Saelingku nomor 4. Tenan
gumantung jeneng iku. Lawang dakthothok. Menga” (ACMA hal 169).
Terjemahan:
“Mas Wid saya ajak menuju ruangan Pak Ngationo. Seingatku nomor 4. Benar
terpasang nama itu. Pintu saya ketuk. Terbuka” (ACMA hal 169).
Tidak hanya itu saja Ibu Mari merupakan orang yang pandai bersyukur,
ditengah keadaanya yang sulit dia masih merasa beruntung dibandingkan dengan
temannya Bu Marjo yang memgalami banyak cobaan hidup.
Kutipan:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
(b) Pak Wid
Merupakan orang yang suka bergurau, tidak berlarut-larut dalam
kesedihan dengan penyakit ginjalnya. Penyakit ginjalnya diterima dengan iklas,
sabar, dan memasrahkan kepada Tuhan.
106
Kutipan:
“Aku karo Bu Ngationo umyeng dhewe. Mas Wid gayeng-gayengan karo Pak
Ngationo” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Saya dan Bu Ngationo sibuk sendiri. Mas Wid bercanda dengan Pak
Ngationo” (ACMA hal 170).
(c) Bu Marjo
Sosok ibu dan istri yang kuat, sabar, iklas, dan pasrah. Meski baru saja
mengalami kecelakaan, suaminya sakit keras bahkan anak kesayangannya
meninggal namun dia adalah wanita yang kuat menghadapi semuanya.
Kutipan:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
(3) Latar/ Setting
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
107
(a) Setting tempat
Setting tempat pada cerkak ini adalah di Semarang diawali di jembatan
pasar, di mana tokoh mencari alat transportasi menuju rumah sakit. Kutipannya
sebagai berikut:
“Setengah pitu, mlaku mrambat tekan kreteg pasar mung ana becak siji.
Daktolah-toleh ora ana sing nglakokake. Dadakan saka warung iku, ana nom-
noman metu” (ACM hal 166).
Terjemahan:
“Setengah tujuh, berjalan pelan sampai jembatan pasar hanya ada satu becak.
Sayamenengok sana-sini tidak ada tukang becaknya. Tiba-tiba dari warung itu,
ada pemuda keluar” (ACMA hal 166).
Setting tempat berada di rumah sakit Citarum. Tokoh Ibu Mari mengantar
suaminya Pak Wid memeriksa penyakitnya dan sekaligus menjenguk teman-
temannya yang dirawat di rumah sakit tersebut. Kutipannya sebagai berikut:
“Bangku dawa ngarepan, ngarepane praktik daklungguhi. Jam lagi nuduhake
jam pitu luwih seprapat. Yen kahanan normal mesthine rawuhe dhokter
Arwedhi setengah wolu. Jam mrambat nganti jam wolu” (ACMA hal 168).
Terjemahan:
“Bangku panjang di depan, duduk di depan tempat praktik. Waktu baru
menunjukan jam tujuh lebih seperempat. Apabila keadaan normal harusnya
datangnya dokter Arwedhi pukul setengah delapan. Waktu berjalan sampai
pukul delapan” (ACMA hal 168).
108
(b) Setting waktu
Setting waktu pada cerkak ini pada sore hari, dimana Ibu Mari berdoa
kepada Tuhan agar tidak hujan.
Kutipan:
“Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing
ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka
paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal
166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada
Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA
hal 166).
Setting waktu pada cerkak ini adalah pada malam hari. Kutipannya sebagai
berikut:
“Rumah sakit Citarum daktinggal sawise golek taksi ing ngarepan. Iki wis meh
setengah sepuluh bengi” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Saya meninggalkan Rumah sakit Citarum setelah mencari taksi di depan. Ini
sudah pukul setengah sepuluh malam” (ACMA 170).
(c) Setting peristiwa
Setting peristiwa atau latar sosial pada cerkak ini adalah beragama katholik
yang religius. Pak Wid dan Ibu Mari mempunyai sifat sabar, iklas, dan pasrah
dalam menghadapai problematika hidupnya. Banyak dirundung masalah, Ibu Mari
109
selalu bersyukur melihat keadaan teman-temannya yang juga memiliki
problematika dalam hidupnya.
Kutipan:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
b. Sarana-sarana Sastra
(1) Judul
Keadaan Pak Wid yang menderita sakit ginjal membuatnya sedih istrinya.
Namun, mereka kemudian mendapatkan pelajaran yang berharga setelah
menjenguk teman-temannya yang dirawat disana. Mereka bersyukur dengan
keadaan yang mereka jalani. Mereka harus tetapi menjalani hidup meski harus
melewati perantara Citarum yaitu untuk berobat.
(2) Sudut Pandang
Cerkak ini menggunakan sudut pandang orang pertama-utama. Pengarang
menggunakan kata aku yang menyatakan orang pertama. Pengarang mengacu
sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri.
110
(3) Gaya dan Tone
Gaya pada cerkak ini menggunakan bahasa yang tidak rumit, lugas
sehingga mudah untuk dipahami. Kata-kata yang digunakan sederhana dan tidak
ada perumpamaan
Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita .
tone biasa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis,
misterius, senyap, bagai mimpi, ataupun penuh perasaan. Tone yang digunakan
pengarang adalah penuh perasaan. Cerita yang digambarkan penuh dengan
amanat-amanat baik untuk selalu bersabar, iklas, dan pasrah. Berikut kutipannya:
“Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing
ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka
paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal
166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada
Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA
hal 166).
(4) Simbolisme
Simbol merupakan salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi
tampak nyata. Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki
kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Ada
beberapa simbol yang menarik, diantaranya sebagai berikut:
111
(a) Langite bening
Langite bening di sini digunakan untuk menjelaskan cuaca yang cerah.
Kutipan:
“Sore iku langite bening” (ACMA hal 166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya bening” (ACMA hal 166).
(b) Ngambang
Ngambang di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan Pak Marjo
yang tidak sepenuhnya sadar.
Kutipan:
“Pak Marjo sing sareyan katon pasuryane ngambang” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Pak Marjo yang terbaring terlihat wajahnya mengambang” (ACMA hal 170).
(5) Ironi
Ironi dramatis yang ada di cerkak ini adalah ketika Ibu Mari menjenguk
Pak Marjo, meski ia merasa sedih dengan penyakit suaminya melihat keadaan Pak
Marjo dan Bu Marjo membuat Ibu Mari sangat terpukul, meski di dalam hatinya
terucap rasa syukur tidak mengalami cobaan seberat Pak Marjo. Berikut
kutipannya:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
112
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, lha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
c. Tema
Bercerita tentang kepasrahan kepada Tuhan atas penyakit yang diderita.
Mereka berdoa dan beribadah meminta kesembuhan dan jalan terbaik dari Tuhan.
Sudah lima bulan Ibu Mari tidak mengontrol penyakitnya suaminya, dan sore itu
dia pergi ke rumah sakit Arwendi.
Kutipan:
“Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing
ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka
paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal
166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada
Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA
hal 166)
Penyakit suami Ibu Mari adalah ginjal, dan saat diperiksa oleh dokter
penyakitnya semakin parah. Mendengar perkataan dokter Ibu Mari dan Pak Wid
suaminya terlihat sedih. Mereka keluar dari ruangan dokter menuju lorong pasien,
mereka menjenguk temannya yang sedang dirawat di rumah sakit yaitu Pak
Ngationo. Pak Ngationo sakit demam berdarah dan tipes.
113
Kutipan:
“Piye bal-balane, Pak?” Iku hobine Pak Ngationo bal-balan. Anggone mlebu
Citarum iya lagi mecaki bal-balan,
“Wuah, aku ora ngira. Ya kuwi kaya biasane melu bal-balan. Dadakan awakku
lemes. Mula bablas digawe mrene. Bareng dipriksa jebul kena DB isih
ketambah tipes barang. Lha, iya njur klekaran kaya saiki iki”(ACMA hal 169).
Terjemahan:
“Bagaimana main bolanya, Pak?” Itu hobi Pak Ngationo bermain bola. Alasan
masuk Citarum adalah bermain bola.
“Wuah, saya tidak mengira. Ya itu seperti biasanya ikut bermain bola. Tiba-
tiba badanku lemas. Maka langsung dibawa kesini. Setelah diperiksa ternyata
sakit DB dan masih ditambah sakit tipes. Lha, iya langsung rebahan seperti
sekarang” (ACMA hal 169).
Usai menjenguk Pak Ngationo Ibu Mari dan Pak Wid menuju ruangan
nomor 7. Keduanya masuk dan menjenguk temannya yang sakit juga yaitu Pak
Marjo. Didalam hati Ibu Mari sedih dan sekaligus merasa beruntung daripada Bu
Marjo. Bu Marjo baru saja mengalami kecelakaan, luka-luka akibat kecelakaan
belum sembuh dan bahkan dia harus kehilangan dua jari kaki, sekarang harus
menghadapi suaminya yang terbaring sakit selama 38 hari dan tidak bisa makan
karena sakit ditenggorokannya. Kenyataan lain yang tidak kalah menyakitkan
karena anak kesayangan Ibu Marjo yang berprofesi sebagai dokter meninggal. Ibu
Mari kemudian mengajak semuanya berdoa untuk kesembuahan Pak Marjo dan
Bu Marjo. Dari cerita inilah bisa kita petik bahwa kehidupan tidak selamanya
bahagia, ada kesedihan, ada sakit, ada kehilangan karena ditinggal mati orang
yang disayangi, namun semua dipasrahkan dan diiklaskan kepada Tuhan niscaya
akan diberikan kelapangan dan jalan terbaik.
Kutipan:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
114
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170).
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, lha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
d. Keterkaitan Antarunsur
Unsur struktural yang terdapat dalam cerkak Ing Citarum Mecaki Urip
karya Ariesta Widya menunjukkan adanya hubungan yang erat dan saling
mengkait antara unsur satu dengan unsur yang lain. Unsur struktural dalam
cerbung ini meliputi fakta-fakta cerita yang meliputi alur, tokoh atau karakter, dan
latar atau setting, sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang,
simbolisme, gaya dan tone, serta ironi, dan tema yang dirangkum menjadi satu
kesatuan yang utuh sehingga mampu membentuk makna secara keseluruhan
cerita.
Berdasarkan fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, latar atau setting
dan alur, ketiga unsur ini memiliki hubungan yang erat dan saling kait mengkait
membentuk satu kesatuan yang utuh. Tema akan mempengaruhi karakter, latar
serta alur cerita yang akan disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan tema
tersebut mempengaruhi seorang karakter bertindak sesuai dengan tema yang
diangkat. Tema cerkak Ing Citarum Mecaki Urip adalah tentang religi. Secara
spesifik mengacu pada religiusitas tokoh Ibu Mari dan Pak Wid dalam menjalani
hidupnya, yaitu dengan bersikap sabar, iklas, dan pasrah.
115
Berdasarkan sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya
dan tone, simbolisme, ironi adalah model penulisan khas dari Ariesta Widya
sebagai pengarang dalam menyampaikan gagasannya sehingga menjadi sebuah
cerita. Pengarang menggunakan tone penuh perasaan. Sudut pandang yang
digunakan penulis dalam cerkak Ing Citarum Mecaki Urip karya Ariesta Widya
adalah sudut pandang orang pertama-utama. Pengarang menggunakan kata aku
yang menyatakan orang pertama. Pengarang mengacu sang karakter utama
bercerita dengan kata-katanya sendiri. Adanya sarana-sarana sastra memberikan
nuansa keindahan serta warna tersendiri dalam sebuah cerita. Unsur struktural
dalam cerkak Ing Citarum Mecaki Urip karya Ariesta Widya mempunyai
hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain serta membentuk
satu kesatuan yang utuh.
B. Sosiohistoris dan Ideologi Pengarang
1. Sosiohistoris Ariesta Widya
Lingkungan sosial Ariesta Widya sebagai salah satu pengarang atau
sastrawan mempunyai keterkaitan langsung yang mempengaruhi suatu karya
sastra yang dibuat. Sebuah karya sastra dibuat memiliki kaitan erat dengan
keadaan masyarakat. Seperti yang dilakukan Ariesta Widya sebagai pengarang
membuat gagasan-gagasan pembuatan karya sastranya berasal dari masyarakat
sekitar. Masyarakat Manado dan Semarang yang memiliki tradisi dan sisi
kehidupan yang berbeda, selain itu pengalaman hidup sendiri juga merupakan
gagasan-gagasan beliau menciptakan karyanya. Lingkungan sosial Ariesta Widya
116
dibagi menjadi dua, yaitu afiliasi Ariesta Widya sebagai sastrawan Jawa, dan
lingkungan sosial Ariesta Widya yang berhubungan dengan ACMA.
2. Afiliasi Ariesta Widya
Afiliasi mempunyai arti pertalian sebagai anggota (KBI, 2011: 6). Dalam
sebuah karya sastra afiliasi mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Sebagai
pencipta, dengan ciri-ciri aktivitas kreatif di satu pihak yang lain, maka yang lebih
bermakna adalah latar belakang sebagai akibat afiliasi, sebagai kelahiran yang
kedua. Bentuk afiliasi bermacam-macam, sesuai dengan kompleksitas struktur
sosial, seperti: keluarga, profesi, intelektual, religi, ekonomi, hukum, dan
sebagaimya. Pengarang dapat melepaskan diri dari kelompok asal, terlibat dalam
kelompok lain, demikian seterusnya (Goldmann, 1981: 17).
Ariesta Widya merupakan nama samaran dari Agustinus Moelyono
Widyatama. Lahir di Semarang tanggal 12 April 1938 pada hari Senin Wage.
Beliau seorang penganut agama Katholik, dan sudah berkeluarga dengan Dyah
Maringin, S. H, yang dinikahinya pada tahun 1974 dan dikaruniai seorang anak
perempuan yang bernama Catharina Dimasanti. Riwayat pendidikan beliau
dimulai ketika bersekolah di Sekolah Rakyat dari tahun 1946 dan lulus tahun
1952, dilanjutkan ke SMP bagian B, tamat tahun 1955. kemudian dari SMP
dilanjutkan ke SPG, dan lulus tahun 1958. Pada tahun 1958- 1961 mengajar di
Katolik Langgur, dan pada tahun 1961-1964 Ariesta Widya melanjutkan ke
tingkat Perguruan Tinggi dan lulus sebagai sarjana muda, jurusan Bahasa
Indonesia di IKIP Manado. Tahun 1964-1967 beliau menjadi Kepala Sekolah di
Katolik Langgur. Ariesta Widya dipindah ke SMP Ungaran pada tahun 1978.
117
Keinginannya untuk belajar tidak pernah berhenti, pada tahun 1984 kemudian
Ariesta Widya melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka, jurusan Administrasi
Negara. Untuk mengisi kesibukannya Ariesta Widya sehari-hari selain
menghasilkan tulisan-tulisan, beliau juga menjadi guru di SMA Negeri V di
Semarang. Kegemarannya bermain drama hingga sekarang masih ditekuninya.
Cerita ACMA menurut pengarang ditulis bermula dari suatu keharusan meskipun
kemudian berubah arah. Ketika itu diawali dengan sebuah tugas sekolah pada
tahun 1957, saat itu Ariesta Widya masih duduk di kelas 2 SPG, Don Bosko
Semarang bersama dengan kawan-kawannya mendirikan majalah sekolah,
kemudian oleh sekolahnya dipercayakan untuk mengasuh dan menjalankan agar
majalah tersebut dapat terbit. Ariesta Widya merasakan betapa beratnya
mendirikan majalah sekolah tersebut, karena merasa bertanggung jawab atas
terbitnya Gema Keluarga Don Bosko (nama majalah tersebut), yang merupakan
media komunikasi antarsekolah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Berawal dari keharusan itulah, kemudian terciptalah sebuah karangan yang
berbentuk cerita pendek. Keinginannya yang kuat untuk terus berkarya, membuat
Ariesta Widya selalu bersemangat dan berkembang. Namun, sayang pada waktu
itu belum terbit majalah berbahasa Jawa seperti pada saat ini. Hasil karyanya yang
pertama kali diterbitkan ketika itu adalah naskah puisi anak-anak dimuat di
Pembimbing Putra Jakarta asuhan Pak Pus tahun 1958.
Tahun 1958, setelah lulus dari SPG rasa pengabdiannya pada masyarakat
semakin tebal. Ketika itu Ariesta Widya memutuskan berangkat ke gugusan
pulau-pulau Kei di Indonesia Timur yaitu tepatnya di Langgur, inilah awal
118
kehidupannya sebagai guru di SMP pada yayasan Katholik. Keinginannya
berkarya di daerah terpencil tidak luntur, tapi sayangnya komunikasi pada waktu
itu tidak lancar, sehingga hasil karyanya banyak yang tidak sampai ke alamat
tujuan apalagi pada waktu itu sisa-sisa gerombolan pengacau Permesta masih
mengancam. Selama di Langgur, hanya sedikit karyanya yang terkirim dan dimuat
di majalah, salah satunya beruba cerkak yang berjudul Rujak, dimuat di majalah
Praba (majalah Katholik berbahasa Jawa) Yogyakarta, pada tahun 1960. Tahun
1961 Ariesta Widya mendapat tugas belajar di IKIP Manado, jurusan Bahasa
Indonesia yang akhirnya berhasil menyandang gelar sarjana muda. Selama tinggal
di Manado dan menjadi mahasiswa, tercatat kegiatannya banyak dilakukan seperti
menulis puisi, mendirikan grup Studi Drama Mahasiswa (SDM), kemudian
menjadi pengarang naskah drama. Tahun 1964, setelah menyelesaikan tugas
belajarnya, Ariesta Widya kembali ke Langgur, dan diangkat sebagai kepala
sekolah di sebuah SMP. Dalam hati kecilnya beliau ingin sekali dapat meneruskan
kuliah hingga lulus, akan tetapi karena tidak lolos dari Inspeksi Pendidikan dan
Kebudayaan Maluku, dengan berat hati beliau terpaksa menerima keputusan
tersebut. Sebagai imbalannya, beliau diangkat menjadi kepala sekolah pada
sebuah SMP. Selama menjadi Kepala Sekolah kegiatannya menulis untuk
sementara dihentikan karena waktunya yang sangat padat. Tahun 1967, Ariesta
Widya kembali ke Pulau Jawa, dan menjadi awal kebangkitannya di dunia karya
sastra. Dengan perhatiannya yang sangat besar terhadap perkembangan dunia
sastra Jawa, maka Ariesta Widya tergugah ingin berkarya melalui media bahasa
Jawa. Sambil menungu Surat Keputusan dari yang berwenang untuk mengajar,
Ariesta Widya telah mencipatkan beberapa karya di antaranya, Angin Lembah
119
Gunung Klabat, Dudu Piwales, Dina-dina Kawuri Ora Bakal Lali yang terakhir
dimuat di mingguan Dharma Kandha Solo.
Tahun 1970 Ariesta Widya menetap di Semarang hingga saat ini,
harapannya ingin melanjutkan ke IKIP Semarang (sekarang berubah menjadi
UNNES), meskipun pada akhirnya tidak dapat tercapai. Untuk mengisi waktu
luangnya, di samping gemar menulis, beliau terjun ke dunia radio sebagai penyiar
radio swasta niaga pada tahun 1970-1974 milik Brigade 17 yang kemudian
karyanya yang berbentuk cerkak dengan judul Pandanaran 17 tercipta. Selain itu
beliau juga mengasuh acara pembacaan puisi dan cerita pendek pada akhir siaran
radio di Brigade 17, tentu saja tidak ketinggalan mengasuh acara geguritan di
akhir siarannya. Karya-karyanya yang mendapat apresiasi anatara lain dari DKS
(Dewan Kesenian Surabaya), yang berjudul Srengenge Tengange tahun 1978, dan
Ing Antarane Ombak-ombak tahun 1979. Kemudian dari Keluarga Penulis
Semarang (KPS) yang berjudul Tempuling tahun 1982, serta dari Lembaga
Javanologi Yogyakarta yang berjudul Dheweke Butuh Katresnan tahun 1983.
Ariesta Widya juga telah menerbitkan naskah drama yang berjudul Di antara
Baku-baku di Solo. Pada bulan April 1998 Ariesta Widya pensiun dari SMA
Negeri V Semarang dan pada tahun 1998-2010 beliau kembali mengajar di SMA
Masehi Semarang. 2010-sekarang berada dirumah karena sakit ginjal, namun
masih aktif berkarya menciptakan berbagai karya sastra berupa prosa maupun
puisi.
Latar belakang kehidupan sosial pengarang perlu untuk diketahui, karena
hal itu tentunya akan mewarnai hasil karyanya. Pengarang seperti halnya anggota
masyarakat yang lain, tidak lepas dari sistem stratifikasi sosial dalam
120
masyarakatnya. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pengarang berasal dari
kalangan stratifikasi sosial menengah ke atas, hal ini dapat diketahui berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan. Lebih jauh Soerjono Soekanto (1990: 231)
berpendapat bahwa barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga di dalam
jumlahnya yang banyak, akan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang
menduduki lapisan atas. Dilihat dari latar kehidupan pengarang, tentu sikapnya
lebih terbuka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan diri dengan
perubahan sosial dan keadaan sosial tertentu. Karena kebudayaan di kota
menciptakan pergaulan hidup yang setiap individu diserahkan untuk mengurus
nasibnya sendiri-sendiri. Ariesta Widya yang dilahirkan sebelum jaman
kemerdekaan tentunya boleh disebut ikut mengalami masa penjajahan serta
revolusi fisik, meskipun saat itu masih kecil, sedikit banyak ikut mewarnai hasil
karyanya.
Sejak kecil Ariesta Widya telah menunjukkan kegemarannya dalam hal
tulis menulis (mengarang). Pada mulanya karangan yang digemarinya berupa
cerita cekak, geguritan, puisi, cerita landhung. Antara lain yang sudah diterbitkan
melalui majalah Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Jaya Baya. Karyanya yang
berupa cerkak dengan judul Setoran dimuat pada majalah Dharma Kandha Sala
tahun 1979, bahkan mendapat perhatian yang cukup besar dari seorang kritikus
sastra Jawa Murya Lelana. Cerita ini dengan berani mengisahkan jatuhnya
seorang punggawa (Pamong) atau Lurah, karena berkaitan dengan masalah
korupsi, yaitu seorang Lurah yang menyelewengkan setoran “Bimas” dari
masyarakat. Menurut Ariesta Widya masalah ini timbul karena masalah sosial
budaya pada masa itu, yaitu adanya ungkapan melik nggendhong lali, dan
121
kebetulan terjadi pada diri seorang Lurah yang dipecat dari jabatannya. Ariesta
Widya mengakui akan kekurangannya, yakni tidak semuanya disusun berupa file,
karena sebelumnya ia sering berpindah tempat tinggal.
3. Ideologi Pengarang Ariesta Widya
Marx (1947: 167) disebutkan bahwa dalam pengertian ideologi termuat
segi memenuhi kebutuhan. Belum tentu kebutuhan tertentu itu diutarakan secara
eksplisit dalam ideologi, yang sering dan biasanya berupa sistem gagasan
penggambaran dunia atau pengungkapan patokan-patokan dan perasaan. Ideologi
atau gagasan-gagasan pengarang Ariesta Widya berasal dari realitas kehidupannya
dan juga masyarakat sekitar yang dijadikannya pedoman dan cita-cita hidup.
“Sebenarnya kitab Injil dan Serat Ranggawarsita memiliki isi yang sama
tentang manusia yang harus sabar, iklas, dan pasrah kepada Tuhan. Sebagai
Katholik saya ingin menjadi Katholik yang taat dan menjadi orang Jawa yang
baik pula sesuai yang dicantumkan pada Serat Ranggawarsita”(hasil
wawancara dengan Ariesta Widya tanggal 2 Mei 2015).
a. Wengi Saya Larut
Pengalaman pribadi pengarang Ariesta Widya dituangkan dalam cerkak
yang berjudul Wengi Saya Larut. Pengarang mengalami tragedi kehidupan seperti
yang diceritakan dalam cerkak ini. Kehilangan seorang ibu di umurnya yang
masih kecil. Kesedihan seorang ayah yang kehilangan seorang istri dan
mempunyai anak yang masih kecil, membuat cerkak ini terlihat tragis. Kejadian
yang ingin merayakan sunatan anaknya menjadikannya masalah dan membuat
ayahnya bersedih berlarut-larut. Namun, semuanya diyakini bahwa kehilangan itu
bukanlah akhir segalanya, Tuhan mempunyai rencana lain yang lebih indah. Hal
ini sesuai dengan dengan ideologi pengarang Ariesta Widya.
122
Kutipan:
“Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anak-
anake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA
hal 53).
Terjemahan:
“Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila
anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya”
(ACMA hal 53).
b. Bandha Gaduhan
Melihat masyarakat di Kei Langgur Minahasa yang selalu berantusias
merayakan Natal, pengarang Ariesta Widya mendapatkan gagasan menciptakan
cerkak Bandha Gaduhan. Menceritakan sebuah keluarga yang kehilangan seorang
anak yang cantik bernama Wilis. Meski nama yang digunakan bukanlah nama
orang Minahasa melainkan nama Jawa, tetapi hal ini terjadi di Minahasa. Wilis
yang dalam arti Jawa hijau tua, menandakan bahwa seorang Wilis adalah anak
yang pintar seperti rumput yang tumbuh subur berwarna hijau tua. Seperti dalam
kutipan berikut, meski Wilis masih kecil tapi cara dia berbicara mencerminkan
anak yang pintar.
Kutipan:
“Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.”
“Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu
lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61)
123
Terjemahan:
“Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air
matanya tidak bisa ditahan”.
“Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar
dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61).
Perayaan Natal di Minahasa kebanyakan menampilkan teater yang
mengisahkan Yesus dan Ibu Maria, maka dari itu Wilis juga berencana merayakan
Natal dan membuat pertunjukan tentang Yesus dan Ibu Maria. Cerita ini sesuai
dengan ideologi pengarang Ariesta Widya. Hal tersebut dijelaskan pada kutipan
berikut:
“Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria,
bapak dadi Bapak Yusup, lan aku.... hahak ... dadi Gusti Yesus.”
Guyu renyah cilik iku njalari kentir melu ngguyu. Wong loro katon gayeng.
Saka mburi Mbok Ru, mencungul terus ndeprok ana sandhinge” (ACMA hal
58).
Terjemahan:
“Kalau, Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu
Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Tuhan
Yesus.”
Tertawa renyah kecil itu membuat gila ikut tertawa. Mereka berdua terlihat
asik. Dari belakang Mbok Ru, datang kemudian duduk disebelahnya”(ACMA
hal 58).
c. Cathetan Desember
Pengarang Ariesta Widya menciptakan cerkak ini berasal dari
kehidupannya di Manado, Maluku. Setting tempat cerkak Cathetan Desember
berada di Manado, Maluku. Hal ini dibuktikan dengan kutipan berikut:
“Lusia Renwarin suwarane pancen ungkung. Iku sing njalari banjur dadi
lengganan solise greja cilik sing dumunung ing teluk sing dipayungi wit-wit
124
klapa. Banjur solise putra Thomas Rahaded, jebolan seminari Pineleng
Menado....” (ACMA hal 87).
Terjemhan:
“Lusia Renwarin suaranya memang bagus. Itu yang membuat dirinya menjadi
solis gereja kecil yang berada di teluk yang dipayungi pohon-pohon kelapa.
Kemudia solis putra adalah Thomas Rahaded, keluaran dari seminari Pineleng
Manado....”(ACMA hal 87).
Nama-nama yang dipakai sebagai peraga adalah nama-nama orang
Maluku, seperti Lusia Renwarin, Aldo, Anastasia Kelanit, Thomas Anastasia, dan
Beni. Ariesta Widya merupakan seorang Katholik sehingga cerkak ini juga
menggunakan istilah-istilah seperti seminari yang mempunyai arti sekolah untuk
calon-calon pastur, novis yang mempunyai arti calon suster atau biarawan,
novisiat yang mempunyai arti tempat atau asrama calon suster. Pengarang
mendapatkan ide membuat cerkak ini, karena melihat lingkungan di Maluku
banyak sekali kejadian orang-orang yang aktif di gereja kehilangan anak-anaknya,
sehingga terciptalah cerkak Cathetan Desember.Cerita ini sesuai dengan ideologi
pengarang Ariesta Widya.
d. Ganda Semboja
Ide pembuatan cerkak ini berasal dari pengalaman pengarang sendiri.
Kesedihan akan kematian ayah, ibu kandung, dan ibu tirinya, membuat pengarang
bersedih berlarut-larut hingga membuat kisahnya sendiri menjadi sebuah cerkak
yang sangat bagus. Cerita ini menceritakan kisahnya di Semarang yang
kehilangan ibu tirinya, sehingga setting dalam cerita ini adalah di Semarang.
Amanat yang disampaikan merupakan pedoman hidup pengarang, gagasan-
125
gagasan pembuatan cerkak ini berasal dari pedoman hidup pengarang Ariesta
Widya.
“Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran
ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi
sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih.
Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa
gothang...” (ACMA hal 95)
Terjemahan:
“Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita
yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang
memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu
seperti kosong....” (ACMA hal 95).
e. Oh, Renan, Oh, Yaman
Istilah yang digunakan pengarang ini sangat asing, Oh, Renan, Oh, Yaman,
bukan istilah dari Jawa melainkan berasal dari Kota yang bernama Kei di
Minahasa. Kata-kata tersebut mempunyai arti Oh, Ibu, Oh, Bapak. Potret
masyarakat Minahasa dalam cerkak digambarkan dari sudut sosial dan budaya
suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa unsur, misalnya unsur ras, akan dapat
menimbulkan konflik sentimen, sehingga akan mempengaruhi suatu tata
kehidupan bermasyarakat. Bahwa masyarakat Minahasa sejak dulu merupakan
campuran dari berbagai pendatang yang berasal dari daerah sekitarnya. Seperti
halnya kasta di Langgur yang menjadi kasta-kasta yang berbeda di sana tidak
dapat menikah. Namun setelah agama Katholik masuk ke Langgur hal tersebut
dapat dicegah, karena menurut agama Khatolik manusia tidak dibeda-bedakan
karena suatu ras. Nama-nama tokoh juga terinspirasi dari nama-nama orang
Minahasa seperti Albert dan Rebeka. Setting tempat juga berada di Kei Langgur
tempat pengarang hidup di Minahasa.
126
f. Ing Citarum Mecaki Urip
Pengalaman pribadi pengarang Ariesta kembali dituangkan dalam cerkak
ini. Nama-nama tokoh adalah nama yang sebenarnya, nama Ibu Mari adalah
anama istrinya sendiri yaitu Dyah Maringin, nama tokoh Pak Wid adalah nama
asli pengarang yaitu Agustinus Moelyono Widyatama, dan nama-nama seperti
Pak Marjo dan Bu Marjo merupakan nama asli sahabat dari pengarang yang
mempunyai cerita sama dengan cerita, serta nama Pak Ngationo juga merupakan
nama asli dari sahabat pengarang Ariesta Widya. Cerita yang dituangkan
merupakan kisah nyata yang dihadapi pengarang dan sahabat-sahabatnya.
Pengarang memiliki ideologi dari kisah realita hidupnya sendiri dan melihat
masyarakat sekitar
.
C. Pandangan Dunia Pengarang
Karya sastra sebagai struktur bermakna itu mewakili pandangan dunia
(vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai wakil
golongan masyarakatnya (Goldmann: 1981).
Goldmann mengembangkan konsep tentang pandangan dunia (vision du
monde, world vision) yang terwujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang
besar. Yang dimaksud dengan pandangan dunia pengarang ialah suatu struktur
global yang bermakna. Suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba
menangkap maknanya, dengan segala kerumitannya dan keutuhannya. Pandangan
dunia ini, tidaklah sama dengan ideologi, bukan juga merupakan fakta empiris
yang langsung, tetapi esensinya merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan
127
perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan kelompok
sosial yang lain. Pendeknya: pandangan dunia itu merupakan abstraksi yang akan
konkret dalam karya sastra dan filsafat.
Pengarang Ariesta Widya mengalami kejadian yang sebenarnya, sehingga
pengarang dapat menulis cerkak ini dengan pemahaman total terhadap dunia yang
mencoba menangkap maknanya, dengan segala kerumitannya dan keutuhannya.
Makna, kerumitan, dan keutuhan tersebutlah yang menjadikan pengarang
mendapatkan gagasan dan aspirasi yang menyatukan suatu kelompok sosial di
hadapan kelompok sosial lainnya.
1. Wengi Saya Larut
Cerita cerkak ini berasal dari pengalaman hidupnya, sehingga pandangan
pengarang tentang cerkak ini sesuai dengan keadaan hidupnya di Semarang.
Pengarang menceritakan pahitnya hidupnya dan keluarganya setelah ditinggal
mati ibunya. Setelah kesedihan ditinggal ibunya, terjadi konflik baru dengan
anaknya karena persoalan sunatan. Keadaan ayahnya pada saat itu digambarakan
dalam cerkak ini. Berikut kutipannya:
“Dina-dina candhake banget nggubet uripe. Saupama ora ngelingi yen anak-
anake butuh panggula wentah mesthi mung kenyut karo lelamunane” (ACMA
hal 53).
128
Terjemahan:
”Hari-hari seperti itu sangat menggangu hidupnya. Kalau tidak ingat apabila
anak-anak membutuhkannya pasti hanya terhanyut dengan lamunannya”
(ACMA hal 53).
Pengarang membuat tokoh Tedi untuk menggambarkan dirinya, sebagai
anak yang menjadi konflik setelah ibunya meninggal. Sebelum ibunya meninggal
beliau mempunyai keinginan untuk merayakan acara sunatannya. Tedi merupakan
anak yang patuh kepada orangtua, terbukti dengan kutipan berikut:
“Wis begjamu. Oh, Ted. Ning kowe rak mesakake bapak, ta?” pangrintihe.
Nanging bocahe panggah kethap-kethip.
“Kowe kepengen sekolah, ta? O, ya, tinimbang dhuwit sing samono dinggo
rame-rame muspro luwih becik dicelengi.”
Kabeh dadi amem. Ora ana sing gelem miwiti omong. Apa maneh anak-anake
sing cilik mung mentheleng ora ngerti playunging rembug.
“Kowe mesakake Bapak, ya? Yen mesakake Bapak kudune ora perlu rame-
rame.”
“Tedi manthuk. Sepisan maneh anake dikekep-kekep. Bali luhe
ambrol...”(ACMA hal 55)
Terjemahan:
“Sudah rejekimu. Oh, Ted. Namun kamu kasihan sama bapak kan?”
rintihannya. Namun anaknya hanya berkedip.
“Kamu ingin sekolah kan? O, ya, daripada uangnya untuk ramai-ramai tidak
ada gunanya lebih baik ditabung.”
“Semuanya jadi diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Apalagi anak-
anaknya yang masih kecil hanya melotot tidak tahu lari pembicaraannya
kemana.
“Kamu mengasihani bapak kan? Jika kasihan sama bapak seharusnya tidak
perlu ramai-ramai.
“Tedi menggangguk. Satu kali lagi anaknya dipeluk erat-erat. Kemudian air
matanya tumpah...”.(ACMA hal 55).
Cerita yang diangkat pengarang ini, sesuai dengan keadaan dirinya dan
ayahnya yang sabar, iklas, dan pasrah ditinggal mati oleh ibunya. Selain itu, untuk
129
mengobati rasa rindu kepada alamarhum ibunya, pengarang menciptakan tokoh
ibu, penggambaran tokoh ibu ini sesuai dengan sifat ibu pengarang sesungguhnya.
Kutipan:
“Ora. Aku pengen mlaku-mlaku wong loro.” Swarane ngambang. Sing lanang
mesem. Esem jero sing angel tanggohane. Banjur kelingan jaman pacaran.
Alemane ngudubilah. Yen wis mlaku-mlaku betahe ora jamak. Banjur
ndheprok pinggir dalan cedak makam pahlawan, warung kacang ijo. Suwene
anggone lungguh karo anggone mangan kacang ijo ora sumbut” (ACMA hal
52).
Terjemahan:
“Tidak. Saya ingin jalan-jalan berdua”. Suaranya mengambang. Suaminya
tersenyum. Senyum yang dalam yang sulit ditemukan. Kemudian ingat saat
pacaran. Manjanya. Kalau sudah jalan-jalan sangat betah. Kemudian duduk
dipinggir jalan dekat makam pahlawan warung kacang hijau. Lebih lama
mereka duduk daripada mereka makan kacang hijau” (ACMA hal 52).
Pengarang mempunyai cita-cita yang agung dalam menciptakan karya
sastranya, selain berbagi kisah hidup dengan pembaca, pengarang menginginkan
pembaca dapat memetik amanat yang baik dalam membaca karyanya dalam hal
ini adalah sabar, iklas, dan pasrah yang dijadikan pengarang Ariesta Widya
sebagai ideologinya menciptakan karya-karyanya.
2. Bandha Gaduhan
Pandangan dunia pengarang tentang cerkak ini, merupakan kedaan
masyarakat Minahasa yang semuanya beragama Katholik. Mempunyai cerita yang
hampir sama dengan cerkak Cathetan Desember, dalam cerkak ini pengarang
memasukkan unsur Jawa. Pengarang memandang nama Wilis merupakan nama
Jawa yang mempunyai filosfi yang bagus. Mempunyai arti hijau tua, pengarang
mendeskripsikan Wilis seperti pohon yang tumbuh dengan baik memiliki daun
yang banyak dan berwarna hijau tua, selain itu melihat warna daun tersebut dapat
130
menentramkan hati, pohon yang mempunyai daun yang rindang berfungsi untuk
berteduh dari panasnya matahari dan menyejukkan yang kepanasan. Sesuai
filosofi yang dibuat pengarang dengan nama tokoh yang bernama Wilis, tokoh
Wilis memiliki watak yang sesuai dengan hal tersebuat yaitu anak yang cerdas,
cerdas dalam banyak hal yang membuat orangtua dan orang disekelilingnya
merasakan bahagia dan menilai berharganya anak yang bernama Wilis tersebut.
Semua keistimewaan tokoh Wilis digambarkan dengan kutipan berikut:
“Sapa wae, Wilis?” tembunge nambuhi. Wilis katon sumringah guwayane
krungu pitakone ibune. Ngadeg nyedaki ibune karo tangane loro kaya patrape
deklamasi. Banjur drijine panuduh sing tengen tumuju jempol tangan tengen,
genti driji panuduh lan panunggul.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dheweke kaya kasertum
anggone nyawang driji lantis-lantis iku. Omongane isih dibacutake maneh.
“Lha, nek Bapak ora kondur, rak Bapak Yusup ora ana. Ibu dadi Ibu Maria,
bapak dadi Bapak Yusup, lan aku ... hahak ... dadi Gusti Yesus” (ACMA hal
58).
Terjemahan:
“Siapa saja, Wilis?” menambahi perkataannya. Wilis dengan gaya yang
gembira mendengar pertanyaan ibunya. Berdiri mendekati ibunya dengan dua
tangan seperti orang yang deklarasi. Kemudian jarinya menunjuk yang kanan
menunjuk jempol tangan kanan, bergantian jarinya menunjuk jari lainnya.
“Bapak Yusup, Ibu Maria, lan .... Gusti Yesus.” Dirinya seperti kesetrum
melihat jari-jari lentik itu. Perkataannya masih diteruskan lagi.
“Lha, jika Bapak tidak pulang, nanti Bapak Yusup tidak ada. Ibu menjadi Ibu
Maria, bapak menjadi Bapak Yusup, dan saya ... hahak ... menjadi Gusti
Yesus” (ACMA hal 58).
Pengarang menggambarkan tokoh Wilis anak yang cerdas, perkatannya
yang lembut dan sangat menyentuh hati. Umurnya masih kecil tapi pengetahuan
dan rasa cintanya kepada agamanya membuat Wilis sangat mengidolakan Bapak
Yusup, Ibu Maria, dan Gusti Yesus. Bahkan, di saat dia sakit dia selalu
menguatkan dirinya dengan mengingat kisah Ibu Maria dan Tuhan Yesus.
Kutipannya sebagai berikut:
131
“Wilis mesem dipeksa. Malah banjur isih ngomong sing njalari luhe ambrol.”
“Gusti Yesus ing kayu salib kae luwih lara, lho, Bu?” wong-wong sing krungu
lan ngerti karepe melu runtuh luhe....”(ACMA hal 61)
Terjemahan:
“Wilis senyum dengan terpaksa. Kemudian masih berbicara yang membuat air
matanya tidak bisa ditahan”.
“Tuhan Yesus dikayu salib itu lebih sakit, Bu?” orang-orang yang mendengar
dan mengerti maksudnya ikut menangis...” (ACMA hal 61).
Pandangan pengarang melihat keadaan orang-orang Katholik yang taat dan
sangat aktif di gereja, mengalami banyak tragedi seperti kehilangan anak
membuat pengarang mendapatkan inspirasi seperti cerita cerkak ini. Pengarang
membuat tokoh Ibu dengan maksud untuk memberikan gambaran bagaimana
menjalani kehidupan yang baik sesuai ajaran agamanya yaitu Katholik. Dalam
menghadapi hidup ini haruslah bersikap sabar, iklas ,dan pasrah kepada Tuhan.
Kutipannya sebagai berikut:
“Kaya Ibu Maria wae.”
Nampa cengering bayi ing palungan. Banjur ing sawijining wektu pinunggel
kanthi peksa. Karo-karone perih ing ati. Nanging kanyatan. Mung rasa pasrah
kang bisa mbirat perihing ati” (ACMA hal 62).
Terjemahan:
“Seperti Ibu Maria saja.”
Menerima lahirnya bayi. Kemudian disalah satu waktu diambil dengan paksa.
Sepeti sakit dihati. Namun kenyataan. Hanya rasa pasrah yang bisa
menghilangkan sakit hati” (ACMA hal 62).
132
Pengarang memiliki pandangan hidup, bahwa sesungguhnya Tuhan
merencanakan hal lain yang lebih baik, meski tidak sesuai dengan keinginan kita.
3. Cathetan Desember
Pengarang Ariesta Widya setelah lulus SPG, rasa pengabdiannya pada
masyarakat semakin tebal. Ariesta Widya memutuskan berangkat ke gugusan
pulau-pulau Kei Manado tepatnya di Langgur, inilah awal kehidupannya sebagai
guru di SMP pada yayasan Katholik. Hidup bertahun-tahun di Manado Ariesta
mengamati dan memahami kehidupan masyarakat Manado. Kehidupan
dilingkunga gereja Langgur, banyak sekali tragedi kehidupan seperti halnya yang
diceritakan pada cerkak ini. Orang-orang Katholik yang taat di Langgur
kebanyakan dari mereka mengalami tragedi yaitu kehilangan seorang anak
dikarenakan sakit. Pengarang mengisahkan cerita ini mewakili kelas sosial di
Langgur Manado. Di dalam cerkak Cathetan Desember menggambarkan keadaan
masyarakat Manado melalui tokoh Lusia Renwarin, Aldo, adik Lusia, dan suami
Lusia. Problematika penting yang dijelaskan dalam cerkak ini yaitu mengenai
tragedi kehidupan dimana tokoh-tokoh digambarkan sebagai orang yang sabar,
iklas, dan pasrah.
Pengarang menciptakan tokoh Lusia Renwarin sebagai tokoh Katholik
yang taat dilihat dari tanggungjawabnya sebagai anggota koor gereja di Langgur.
Pandangan dunia pengarang melalui tokoh Lusia Renwarin mengandung amanat
yaitu sabar, iklas, dan pasrah terhadap tragedi kehidupannya. Seperti hari itu Lusia
pulang sore karena latihan koor dan menitipkan anakanya kepada adiknya.
133
Kutipan:
“Srengenge wis ngglewang ngulon. Pagaweyan sing dipasrahake wis
rampung. Banjur pikirane lagi kelingan yen kudu nggoleki Aldo. Kabeh
ubarampe ditata....” (ACMA hal 90).
Terjemahan:
“Matahari sudah pindah ke barat. Pekerjaan yang dikerjakannya sudah selesai.
Kemudian pikirannya teringat kalau harus mencari Aldo. Semua peralatan
ditata....” (ACMA hal 90).
Rasa tanggungjawab Lusia Renwarin membuatnya berlatih sampai sore
hingga menimbulkan problematika. Anaknya Aldo sakit, cepat-cepat dia
membawa anaknya ke poliklinik untuk mendapatkan pertolongan.
Kutipan:
“Ana rasa bingung sing teka dadakan. Sakala nyandhak lendhang. Aldo
disaut. Ing batin mung kepengin enggal tekan poloklinik. Karo suster kepala
poloklinik iku tepung becik....” (ACMA hal 91).
Terjemahan:
“Ada perasaan bingung datang tiba-tiba. Tanpa pikir panjang mengambil
selendang. Aldo digendong. Di dalam hati hanya ingin segera sampai
poloklinik. Dia kenal baik dengan suster....” (ACMA hal 91).
Aldo anaknya meninggal setelah dibawa ke poliklinik. Kematian anaknya,
Lusia mengalami kesedihan mendalam, namun pengarang membuatnya menjadi
tokoh yang iklas dan pasrah kepada Tuhan dengan perkataan suaminya sebagai
berikut.
134
Kutipan:
“Krungu tembunge sing lanang lambene blangkeman. Tembung iku nunjem
atine. Banjur pupus. Lelakon sing mungkur setaun iku dicoba dikipatake”
(ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Mendengar perkataan suaminya mulutnya terdiam. Perkataan yang mengena
hati. Kemudian selesai. Mencoba melupakan kejadian yang sudah terjadi satu
tahun yang lalu” (ACMA hal 92).
Cerkak ini menggambarkan manusia yang sabar, iklas, dan pasrah dalam
menghadapi tragedi kehidupan. Sesuai dengan hal tersebut, pengarang
menceritakan keadaan masyarakat ketika kehilangan seorang anak dengan
menciptakan tokoh suami Lusia Renwarin. Suami Lusia digambarkan sebagai
seorang Katholik yang taat dengan memasrahkan semua tragedi dalam hidupnya
kepada Tuhan.
Kutipan:
“Urip pancen kebak pacoban. Kebak salib. Sapa wonge sing ora sedhih.
Nanging rak ora cukup ngono thok sing tundhone bakal akeh rugine.”
“Pancen, ning sapa sing bisa ngilangake tabet kui?”
“Awake dhewe iku kudu bisa kaya Ibu Maria, nalika pirsa putrane disalib. Iku
tepa palupi sing kudu dadi kaca benggala” (ACMA hal 92).
Terjemahan:
“Memang hidup banyak cobaan. Banyak salib. Siapa orang yang tidak sedih.
Namun, tidak cukup bersedih saja yang menyebabkan kerugian.”
“Memang, namun siapa yang bisa menghilangkan kesedihan itu?”
“Kita itu harus bisa seperti Ibu Maria, ketika melihat anaknya disalib. Itu
nasehat yang bisa dijadikan contoh baik” (ACMA hal 92).
135
4. Ganda Samboja
Cerkak ini merupakan pengalaman yang dialami pengarang Ariesta Widya
sendiri. Setelah ditinggal mati ibu kandungnya, ayahnya menikah dengan
perempuan yang sekarang menjadi ibu tirinya. Dirinya yang masih kecil
terpengaruhi oleh omongan orang tentang kejamnya ibu tiri. Hal tersebut yang
membuat pengarang berpikir bahwa ibu tirinya adalah ibu yang kejam. Dengan
susah payah pengarang pergi menjauh dari ibu tirinya dengan pergi ke Langgur
Manado. Namun, semua yang dipikirkan oleh pengarang merupakan kesalahan
besar. Ibu tiri yang dianggapnya ibu yang kejam merupakan ibu yang sangat baik
terhadap anak-anaknya. Meski ayah kandungnya meninggal, ibu tirinya tetap
bersikap baik dan menyayangi anak-anaknya. Pengarang menciptakan tokoh ibu
dengan maksud menggambarkan ibu tirinya yang baik, hal ini di gambarakan pada
kutipan berikut:
“Wong wadon sing sakiki sumare pancen dudu wong wadon sing lantaran
ngungak jagad iki. Dudu wong wadon sing ngregiyeg nggembol sangan sasi
sepuluh dina. Dudu wong wadon sing neteki kalane ngelak lan ngelih.
Mengkono sesambungan batin iku ora bisa diinggati. Dina iki rumangsa
gothang...” (ACMA hal 95)
Terjemahan:
“Wanita yang sekarang ini bukanlah wanita yang melahirkannya. Bukan wanita
yang mengandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari. Bukan wanita yang
memberinya asi ketika dia lapar dan haus. Seperti itu kata hatinya. Hari itu
seperti kosong....” (ACMA hal 95).
Kutipan tersebut merupakan curahan hati pengarang setelah ditinggal mati
ibu tirinya. Bahkan setelah ayah kandung pengarang meninggal, pengarang
menggambarkan kasih sayang kepadanya dan adik-adiknya dengan kutipan
berikut:
136
“Sanadyan bapakmu wis ora ana aja banjur ngowah-owahi. Omah iki ya
omahe bapakmu. Kebon mburi sekolahan kae. Apamaneh tegalan sing
rambutan lan durene sing nyenengake. Kabeh kuwi darbekmu. Aku wis
nglenggana.”
“Akh, Ibu, ra sah ngendika ngono,” adhine sing dadi Kepala Sekolah
ngrangkul karo prembik-prembik.
“Tilikana aku. Ra sah kokoleh-olehi. Oleh-olehana katresnan sing salawase iki
tinalenan. Aja nganti rantas” (ACMA hal 95).
Terjemahan:
“Walaupun bapakmu sudah tidak ada jangan diganti-ganti. Rumah ini
rumahnya bapakmu. Kebun belakang sekolah itu. Apalagi ladang yang
rambutan dan durennya menyenangkan. Semua itu milikmu. Saya sudah jujur.”
“Akh, Ibu, jangan berbicara seperti itu,” adiknya yang menjadi Kepala Sekolah
memeluk dengan mata berkaca-kaca.
“Jenguklah saya. Tidak perlu kalian membawakan oleh-oleh. Bawalah kasih
sayang yang kekal ini terjalin. Jangan sampai putus” (ACMA hal 95).
Ariesta Widya menceritakan dirinya lewat tokoh yang dibuatnya, beliau
sangat sedih dengan kematian ibu tirinya. Beliau menggambarkan keadaannya
setelah tragedi kematian ibunya dengan percakapannya dengan temannya,
kutipannya sebagai berikut:
“Anakku mbarep. Durung lawas Dhik Nur. Njenengan mesthi pirsa. Nuryati
sing senengane ndhalang. Bubar iku durung nganti setaun anakku sing nomer
loro. Uripku kayadene kleyang kabur-kanginan. Urip ora ono tegese.
Tembung-tembung mlebu prungone. Cetha. Cetha banget”(ACMA hal 90).
Terjemahan:
“Anak saya yang pertama. Belum lama dik Nur. Kamu pasti tahu. Nuryanti
yang suka mendalang. Setelah itu belum satu tahun anak saya yang nomer dua.
Hidup saya seperti tidak ada artinya. Kata-kata yang menusuk hati. Jelas. Jelas
sekali” (ACMA hal 90).
137
Sesuai dengan kejadian sebenarnya, setelah mangalami tragedi dalam
hidupnya pengarang memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Amanat yang ingin
disampaikan pengarang supaya sabar, iklas, dan pasrah digambarakan dengan
kutipan berikut:
“Setu ngarepake subuh, ibune sida kapundhut. Kabeh mung sumarah.
Tumungkul sedhih. Nanging kabeh kudu dumadi. Kabeh bakal ngawaki.
Sanadyan mung ngenteni wektu wae” (ACMA hal 98).
Terjemahan:
“Sabtu waktu subuh, ibunya meninggal. Semua harus dipasrahkan. Merasa
kesedihan. Namun, semua harus terjadi. Semua akan mengalami juga.
Walaupun hanya menunggu waktu saja” (ACMA hal 98).
Seorang Katholik yang taat beliau ingin menyampaikan bagaimana
menjadi orang Katholik yang taat yang sabar, iklas, dan pasrah menghadapi
tragedi dalam hidup dengan cerkak ini.
5. Oh Renan, Oh Yaman
Potret masyarakat Minahasa dalam cerkak ini digambarkan dari sudut
sosial dan budaya suatu masyarakat dipengaruhi oleh beberapa unsur, seperti
unsur ras, akan dapat menimbulkan konflik sentimen, sehingga akan
mempengaruhi suatu tata kehidupan bermasyarakat. Bahwa masyarakat Minahasa
sejak dulu merupakan campuran dari berbagai pendatang yang berasal dari daerah
sekitarnya. Orang-orang yang berbeda ras tidak bisa menikah kecuali membuang
derajat rasnya ke yang lebih rendah.
138
Pengarang menulis cerkak ini menggunakan istilah Minahasa yaitu di Kei
Langgur. Oh Renan, Oh Yaman mempunyai arti Oh Ibu, Oh Ayah. Penggunaan
istilah ini dipengaruhi oleh bahasa Minahasa. Problematika Minahasa yang
dipengaruhi oleh ras tidak sesuai dengan ajaran Katholik yang tidak pernah
membeda-bedakan umatnya dengan adanya ras. Pengarang membuat tokoh
Albert, Rebeka, ayah, dan ibu untuk manggambarakan perubahan masyarakat
Minahasa setalah agama Katholik masuk.
Keadaan masyarakat Minahasa digambarkan melalui tokoh ayah,
masyarakat Minahasa dibedakan melalui ras-rasa seperti kasta di Bali, sehingga
jika dua manusia memiliki ras yang berbeda tidak dapat menjalin pernikahan.
Kutipannya sebagai berikut:
“Albert, Albert anakku. Aku sing luput. Aku sing luput. Saupama aku ora lair
saka trah sing diingggati ing pasrawungan yaiku mbedak-mbedakake,
mesthine sing kokrasakake iku ora bakal dadi pepalang. Ora kalebu trah sing
dianggep asor, trah in-reri” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Albert, Albert anak saya. Saya yang salah. Saya yang salah. Jika saya tidak
lahir dari ras yang dihindari dalam masyarakat yaitu membeda-bedakan,
harusnya yang kamu rasakan sekarang tidak akan menjadi penghalang. Tidak
termasuk yang dianggap rendah, ras in-reri” (ACMA hal 130).
Melihat keadaan masyarakat Minahasa yang seperti itu pengarang
membuat tokoh bernama Albert yang menggambil keputusan untuk menentang
perbedaan ras tersebut. Meski menimbulkan masalah besar tapi dia
mempercayakan semuanya kepada Tuhan.
139
Kutipan:
“Renan lan Yaman. Anggonku wiwit nginggati rak merga Beka banget kaiket
dening tata carane. Kanggoku, muga akeh nom-noman, kudu nduweni gagasan
sing sakiki iki dadi cekelan urip. Ora malah isih ngugemi sing njalari mancahi
Pangandikane Gusti.” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Ibu dan Bapak. Alasan saya menghindari karena Beka masih terikat dengan
tata cara adatnya. Harapan saya. Semoga banyak anak muda, harus mempunyai
pemikiran yang sekarang menjadi pegangan hidup. Tidak hanya masih
meyakini yang bertentangan dengan perintah Tuhan.” (ACMA hal 130).
Tokoh ayah menyetujui keputusan anaknya untuk menentang perbedaan
garis keturunan tersebut sesuai dengan ajaran agamanya Katholik. Kutipannya
sebagai berikut:
“Pancem kudune trah-trah iku wis kudu ora lumaku kalane dalan padhang wis
gumelar. Ya, wis yen mengkono aku lan ibumu percaya marang caramu
ngadhepi urip, anakku” (ACMA hal 130).
Terjemahan:
“Memang seharusnya ajaran-ajaran ini sudah tidak dijalankan, jalan yang
terang sudah tersedia. Iya, sudah kalau seperti itu saya dan ibumu percaya
dengan caramu menghadapi hidup, anak saya” (ACMA hal 130).
Pandangan dunia pengarang, tentang keadaan masyarakat yang membuang
masyarakatnya yang menikah dengan garis keturunan yang lebih rendah,
digambarkan melalui tokoh Rebeka. Rebeka merupakan seorang gadis yang
mempunyai keberanian untuk melangkah ke pelaminan meski tidak mendapatkan
140
restu orang tuanya. Dia juga merupakan orang yang percaya akan takdir dari
Tuhan sehingga dia mengambil keputusan terberatnya yaitu meninggalkan
keluarga dan rasnya.
Kutipan:
“Iya, aku metu apa diculake kaya dene barang dibuwang.”
“Tenan, tenan kuwi?”
Beka mung manthuk karo ndhungkluk. Kreteg tuwasaka kayu besi sing sok
dienggo mandheg kapal motore misi Katolik ditinggal....” (ACMA hal 131).
Terjemahan:
“Iya. Saya keluar atau dikeluarkan seperti barang yang dibuang.”
“Benar, benar itu?”
Beka hanya mengangguk. Jembatan tuayang terbuat dari kayu besi yang
biasanya dipakai untuk berhenti kapal motornya Katolik ditinggal...” (ACMA
hal 131).
Keputusan Albert, Rebeka, Renan, dan Yaman, membuat Albert dan
Rebeka menikah. Meski harus meningglkan tempat tinggal mereka dan pergi jauh
dari pemukiman agar tidak menimbulkan konflik baru, mereka hidup bahagia
dengan memasrahkan hidupnya kepada Tuhan.Mereka yakin cinta yang dibangun
dengan hati dan tujuan yang baik diberikan jalan yang terbaik dari Tuhan. Berikut
kutipannya:
“Kanggo nginggati kahanan Sakramen Perkawinan ditindhakake ing
panggonan liya kanthi sesidheman, amrih ora gawe laraning atine liyan.
Katresnan sing diwangun kanthi ati lan karep sarta sumarah ing ngarsaning
Gusti kang paring dalan....” (ACMA hal 131).
141
Terjemahan:
“Untuk menghindari keadaan buruk Pesta Perkawinan dilakukan ditempat lain,
untuk tidak membuat sakit hati orang lain. Cinta yang dibangun dengan hati
dan niat ibadah Tuhan yang memberikan jalan....” (ACMA hal 131).
6. Ing Citarum Mecaki Urip
Pengarang mengalami kejadian sebenarnya yaitu sakit dari tahun 2010-
sekarang. Sakit yang diderita pengarang adalah ginjal, oleh karena itu beliau harus
cuci darah setiap hari Senin dan Kamis. Citarum merupakan tempat pengarang
melakukan cek up dan cuci darah. Pengarang membuat nama tokoh sesuai nama
sebenarnya, seperti Pak Wid berasal dari namanya sendiri Widyatama, Ibu Mari
berasala dari nama istrinya Dyah Maringin, serta nama Pak Ngationo, Pak Marjo
dan Bu Marjo.
Biasanya pengarang melakukan cek up di Rumah Sakit Citarum diantar
istrinya Bu Mari. Sore itu sebelum berangkat ke rumah sakit Citarum, istrinya
bedoa:
“Sore iku langite bening. Mau esuk grimise rada deres. Anggone donga ing
ngarsane Gusti ndremimil, “Dhuh Gusti, mugi sonten mangkeh Paduka
paringi terang. Kula namung matur, sedaya wonten asta Paduka” (ACMA hal
166).
Terjemahan:
“Sore itu langitnya cerah. Tadi pagi gerimis saja. Caranya berdoa kepada
Tuhan dengan berbisik, “Oh Tuhan, semoga sore nanti Tuhan memberikan
142
cuaca yang terang. Saya hanya meminta, semua ada ditangan Tuhan” (ACMA
hal 166).
Pengarang menceritakan keadaan sebenarnya tentang penyakit ginjalnya,
dengan membuat tokoh sopir taksi dan bercakap-cakap dengannya:
Kutipan:
“Gerah punapa, ta, Bu?”
“Sakit ginjel criyose dhokter.”
“Kraose kados pundi, Pak?”
“Pripun nggih? Mpun pokoke mboten sekeca.”
Aku nugel rembug.
“Criyose dhokter niku ginjel sampun risak. Lha, risake mboten ngerti. Sedaya
niku awit margi tetedhan makanan” (ACMA hal 167).
Terjemahan:
“Sakit apa, Bu?”
“Kata dokter sakit ginjal.”
“Rasanya seperti apa, Pak?”
“Bagaimana ya? Pokoknya tidak enak.”
Saya memotong pembicaraan.
“Kata dokter ginjalnya sudah rusak. Lha, rusaknya tidak tahu. Semua berawal
karena makanan” (ACMA hal 167).
Pengarang menunjukkan pandangannya mengenai keadaan hidup manusia
yang pasrah. Pandangan pengarang pasrah merupakan harga mahal, harga mati.
Pengarang mengangkat cerita dirinya sendiri agar orang lain dapat memetik ajaran
dalam cerkak ini. Penggambaran ini selain bercerita tentang hidup pribadi
pengarang, terdapat pula cerita dari teman pengarang sendiri. Pak Ngationo yang
mempunyai hobi bermain bola, tiba-tiba masuk rumah sakit. Berikut kutipannya:
“Piye bal-balane, Pak?” Iku hobine Pak Ngationo bal-balan. Anggone mlebu
Citarum iya lagi mecaki bal-balan,
“Wuah, aku ora ngira. Ya kuwi kaya biasane melu bal-balan. Dadakan awakku
lemes. Mula bablas digawe mrene. Bareng dipriksa jebul kena DB isih
ketambah tipes barang. Lha, iya njur klekaran kaya saiki iki”(ACMA hal 169).
143
Terjemahan:
“Bagaimana main bolanya, Pak?” Itu hobi Pak Ngationo bermain bola. Alasan
masuk Citarum adalah bermain bola.
“Wuah, saya tidak mengira. Ya itu seperti biasanya ikut bermain bola. Tiba-
tiba badan saya lemas. Maka langsung dibawa kesini. Setelah diperiksa
ternyata sakit DB dan masih ditambah sakit tipes. Lha, iya langsung rebahan
seperti sekarang” (ACMA hal 169).
Pandangan pengarang mengenai problematika hidup digambarakan dengan
tokoh Ibu Mari, meski beliau mendapatkan cobaan yang besar dengan sakitnya
Pak Wid, tokoh Ibu Mari masih merasa bersyukur dengan hidup yang dijalaninya.
Kutipan:
“Ah, ana rasa ati sing nganjel, ha, piye Bu Marjo lagi mentas wae kacilakan
ditabrak bocah nganti saiki samparane ing dlamakan durung waras. Isih
kelangan driji sikil loro. Nanging kanyatane kudu ngadhepi Pak Marjo sing
ana rumah sakit 38 dina. Putra sing digadhang dadi dhokter dipundhut Gusti.
Aku ngejak ndedonga....” (ACMA hal 170)
Terjemahan:
“Ah. Ada perasaan yang mengganjal, ha, bagaimana Bu Marjo baru saja
kecelakaan ditabrak anak muda sampai kakinya terluka belum sembuh. Masih
kehilangan dua jari kaki. Namun kenyataan harus dihadap Pak Marjo yang
berada dirumah sakit 38 hari. Anak kesayangannya yang menjadi dokter
dipanggil Tuhan. Saya mengajak berdoa....” (ACMA hal 170).
Seperti yang dijelaskan oleh pengarang tentang pasrah merupakan harga
yang mahal, harga mati. Tokoh-tokoh yang ada merupakan penjelasan tentang
keadaan dirinya, dan orang disekelilingnya. Selain itu, pengarang yang beragama
Katholik yang taat selain menggambarkan tentang religiusitasnya, juga
menggambarkan tentang ajaran orang Jawa.
Top Related