BAB II
MANAJEMEN ASSET GEREJA
2.1. Manajemen Asset
Manajemen adalah bagaimana mencapai tujuan organisasi dengan
menyelesaikan persoalan bersama-sama dengan orang lain dimana
memahami bahwa setiap aktivitas manusia membutuhkan manajemen yang
baik (Aryanto, 2013). Menurut Stoner (dalam Tunggal, 2002), manajemen
sebagai suatu proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan
mengendalikan pekerjaan dari anggota dalam suatu organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi tersebut. Dari pemahaman diatas, dapat
dipahami bahwa manajemen memiliki struktur yang tertata mulai awal
hingga pada akhirnya di dalam proses pencapaain tujuan sebuah
organisasi. Menurut siswanto, manajemen memiliki fungsi manajemen yang
harus di jalankan agar tercapai tujuan dari manajemen tersebut, fungsi itu
kemudian dibagi kedalam dua kelompok besar yaitu; yang pertama, fungsi
manajemen dari sudut proses dengan deskripsi fungsi yaitu perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian sedangkan yang kedua,
fungsi manajemen berdasarkan spesialis kerja dengan deskripsi fungsi
yaitu fungsi keuangan, fungsi ketenagakerjaan / SDM, fungsi pemasaran
dan Fungsi produksi (Siswanto, 2006).
Setiap organisasi baiknya memiliki laporan keuangan untuk menata
sistem keuangan dalan organisasi tersebut, serta untuk menyediakan
informasi keuangan mengenai suatu organisasi. Informasi dalam laporan
keuangan ini diharapkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan
ekonomi (Harnanto, 1994). Hal ini kemudian dikuatkan kembali oleh Nizar
(2000) bahwa memberikan informasi keuangan kepada pihak lain secara
berkala untuk membantu dalam pengendalian atau pengambilan
keputusan. Manajemen aset merupakan suatu proses perencanaan,
pengadaan, pengelolaan dan perawatan, hingga penghapusan suatu sumber
daya yang dimiliki individu atau organisasi secara efektif dan efisien dalam
rangka mencapai tujuan individu atau organisasi tersebut.
2.2. Tata Kelola Gereja
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
mendefinisikan tata kelola sebagai:
“… satu set hubungan antara manajemen perusahaan,
dewan, pemegang saham, dan pemangku kepentingan
lainnya. Tata kelola perusahaan menyediakan struktur bagi
penetapan tujuan perusahaan dan sarana-sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan eserta pemantauan kinerjanya.”
Sedangkan The Australian Securities Exchange Corporate Governance
Council mendefinisikan tata kelola sebagai:
“. … sistem dimana perusahaan diarahkan dan
dikelola. Ini mempengaruhi bagaimana tujuan perusahaan
ditetapkan dan dicapai, bagaimana risiko dipantau dan dinilai,
dan bagaimana kinerja dioptimalkan”.
Dalam banyak kasus, ada indikasi bahwa tata kelola adalah sebuah proses
atau sistem, dan tidak bersifat statis. Dengan ini, dapat dipahami bahwa
setiap organisasi memiliki sistem dalam pengelolahan organisasinya
sendiri-sendiri sesuai dengan aturannya.
Landasan mengenai firman Allah kepada praktek ekonomi di dalam
manajemen gereja di tegaskan oleh Pollatu (2012) yaitu berpusat pada
konsep christopreneurship, konsep ini menjelaskan bahwa
christopreneurship adalah suatu keyakinan yang berbasis pada ajaran
Kristus yang kegiatannya berorientasi pada pelayanan sosial-ekonomi-
spriritual yang memanfaatkan SDM untuk menciptakan nilai,
memanfaatkan peluang, tantangan dan kebutuhan dalam lingkungan
organisasi dengan berpusat pada ajaran Allah. Hal yang sama dijelaskan
juga oleh Tata Gereja GPIB (2010) dalam peraturan mengenai
penatalayanan gereja yaitu dengan memberdayakan warga jemaat untuk
menata asset gereja dengan memberikan pembinaan dan pendidikan di
dalam manajemen asset gereja agar dapat menata dengan baik sesuai
dengan panggilan dan pengutusan Allah sebagai gereja misioner.
Dalam manajemen gereja, penting adanya sebuah pengelola yang
tidak lain merupakan sumber daya manusia yang berasal dari organisasi
tersebut untuk mengelola aset yang ada sesuai dengan fungsi manajemen
yang dapat mewujudkan tujuan dari organisasi tersebut (Yulk, 1989). Teori
ini pun kemudian dikuatkan kembali oleh Suharto (2008) yang menyatakan
bahwa gereja-gereja yang mandiri telah memenetapkan pengelola gerejanya
masing-masing dan menyebut mereka dengan nama majelis gereja atau
presbiter yang memiliki tugas melayani jemaat serta diharapkan dapat
memberikan partisipasinya secara optimal dalam hal pengelolahan gereja.
Suharto pun menambahkan bahwa, seorang pengelola gereja
membutuhkan pemimpin yang beriman, memiliki kemampuan berpikir,
memiliki kemampuan manajerial yang baik, inisiatif, aktif, berdedikasi, dan
memiliki integritas tinggi.
Pengelolaan gereja yang baik harus dilandaskan pada firman dan urapan
Tuhan, namun demikian manusia juga memiliki peranan di dalamnya
(Suharto, 2008). Firman Tuhan sebagai dasar fondasi dalam melakukan
kegiatan dan dilengkapi oleh kerja sama yang baik antara majelis gereja
dan jemaat merupakan hal yang penting di dalam mewujudkan sebuah
organisasi gereja yang seturut dengan visi dan misi gerejawi (Tata Gereja
GPIB, 2010). Gereja membutuhkan Tata Gereja karena maksud pelayanan
ialah pembangunan Gereja dan jemaat yang sesuai dengan kehendak Allah
yang kemudian di susun melalui sebuah peraturan gereja yang dibuat
dengan landasan firman Allah (End dalam Abineno, 2009). Dengan adanya
peraturan di dalam gereja maka, gereja tersebut dapat terarah. Hal ini pun
ditegaskan oleh peraturan gereja dala tata gereja GPIB dalam pasal 11 dan
pasal 17 yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan penatalayan gereja
dan pembendaharaan gereja dilaksanakan sesuai dengan aturan gereja
dalam tata gereja GPIB secara presbiterial sinodal (Tata Gereja GPIB, 2010).
1.2.1 TATA GEREJA GPIB
Sinode GPIB adalah lembaga tertinggi kepemimpinan dan kewibawaan
dalam pengorganisasian GPIB. Kepemimpinan dan kewibawaan GPIB
sepenuhnya ada di tangan perutusan presbiter Jemaat GPIB yang
dilaksanakan dalam dan oleh Persidangan Sinode GPIB (PKUPPG, 2010).
Persidangan Sinode GPIB merupakan wadah penjelmaan kesatuan dan
persatuan seluruh presbiter GPIB untuk memusyawarahkan
penyelenggaraan panggilan dan pengutusan, serta pengelolaan sumber
daya gereja. GPIB melaksanakan Persidangan Sinode tiap 5 tahun sekali
untuk memilih & menetapkan susunan anggota Majelis Sinode GPIB serta
anggota Badan Pemeriksa Perbendaharaan Gereja (BPPG) GPIB,
menetapkan Pokok-pokok Kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan
Gereja (PKUPPG) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gereja. GPIB juga
rutin setiap tahun mengadakan Konven Pendeta GPIB bersama Suami/Istri
dan Persidangan Sinode Tahunan dengan agenda diantaranya ialah
membahas dan memutuskan Program Kegiatan dan Anggaran GPIB untuk
masa 1 tahun pelayanan (April tahun berjalan - Maret tahun berikutnya).
Setiap hasil dan keputusan Persidangan Sinode GPIB dilaksanakan dalam
Program Kerja & Anggaran Belanja Sinodal, Mupel GPIB dan Jemaat-jemaat
GPIB (PKUPPG, 2010). Sesuai Tata Gereja GPIB, Pimpinan Sinodal GPIB
berada di tangan Majelis Sinode GPIB, yang dipilih dan ditetapkan oleh
Persidangan Sinode GPIB. Pimpinan di tingkat Jemaat berada di tangan
Majelis Jemaat GPIB yang fungsi & perannya dilaksanakan oleh Pelaksana
Harian Majelis Jemaat (PHMJ), Anggota PHMJ dipilih dalam Sidang Majelis
Jemaat dan ditetapkan oleh Majelis Sinode GPIB melalui Surat Keputusan
telah ditentukan bahwa untuk masa jabatan adalah 2,5 tahun.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pelayanannya di
tengah Jemaat, Majelis Sinode GPIB kemudian menempatkan Pejabat GPIB
(Pendeta, Penatua dan Diaken) dalam Jemaat dengan tugas khusus sebagai
berikut : a. Pendeta : dipercayakan secara khusus melayani pelayanan
Firman dan Sakramen, peneguhan sidi, pemberkatan perkawinan,
peneguhan pejabat dan penggembalaan. b. Penatua : dipercayakan secara
khusus pelaksanaan penggembalaan dan ketertiban pelayanan. c. Diaken :
dipercayakan secara khusus tugas diakonia sosial dan pelayanan kasih.
Bilamana Pendeta di suatu Jemaat berhalangan, Majelis Jemaat setempat
menunjuk salah seorang Penatua untuk melaksanakan tugas khusus
Pendeta dan melaporkannya kepada Majelis Sinode GPIB. Demi menata
kehidupan bergereja untuk melaksanakan pelayanan-nya yang tertib,
teratur dan dinamis maka digariskan oleh sebuah peraturan gereja yang
disebut Tata Dasar atau Tata Gereja GPIB (Tata Gereja GPIB, 2010). Tata
gereja GPIB berisi tentang peraturan atau tata dasar yang berkaitan dengan
kegiatan GPIB. Mulai dari pengakuan, pemahaman iman, wujud, bentuk,
kelembagaan, warga, hubungan dengan gereja lain, panggilan dan
pengutusan, penatalayanan gereja, perlengkapan penatalayanan, dan
pengembalaan. Dalam hal ini, peneliti akan membahas secara khusus
mengenai perbendaharaan serta pengawasan dan pemeriksaan
perbendaharaan GPIB dalam kaitannya dengan penulisan penelitian ini
mengenai manajemen aset GPIB.
Tabel 2.1
Tata Gereja GPIB
Pasal 17
Perbendaharaan
Perbendaharaan GPIB, baik pada lingkup jemaat, maupun Sinodal adalah
milik dan anugerah Tuhan untuk menunjang pelaksanaan panggilan dan
pengutusan Gereja; karena itu harus dikelola secara bertanggung jawab.
1. Perbendaharaan GPIB meliputi Penatalayanan Anggaran,
Perbendaharaan dan Pencatatan pembukuan;
2. Semua harta-milik, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
adalah atas nama GPIB;
3. Pengelolaan perbendaharaan dilakukan secara terpusat, terpadu dan
terbuka;
4. Pemanfaatan dan pengalihan harta-milik tidak bergerak hanya bisa
dilakukan atas persetujuan Persidangan Sinode;
5. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan perbendaharaan
dilakukan secara berkala.
Pasal 18
Pengawasan dan Pemeriksaan Perbendaharaan GPIB
1. Pengawasan
a. Untuk menegakkan dan meningkatkan ketertiban berjemaat dan
bergereja serta pendayagunaan sumber daya gereja secara benar,
tepat dan cermat, dilakukan pengawasan;
b. Tindakan pengawasan dilakukan secara melekat oleh para ketua di
Majelis Sinode pada lingkup Sinodal dan para Ketua di Majelis
Jemaat pada lingkup jemaat.
2. Pemeriksaan
a. Untuk memperoleh hasil guna yang tepat dan optimal atas
pengelolaan dan pengelolaan sumber daya harta milik yang
selanjutnya digunakan secara benar dan sah dalam pelaksanaan
tugas dan panggilan, dilaksanakan pemeriksaan;
b. Persoalan-persoalan yang timbul di dalam Jemaat berhubungan
dengan pemeriksaan diselesaikan oleh Majelis Jemaat dan bila tidak
berhasil hal itu diserahkan kepada Majelis Sinode;
c. Pemeriksaan dilakukan oleh pemeriksa eksternal yaitu Badan
Pemeriksa Perbendaharaan Gereja disingkat BPPG pada lingkup
Sinodal dan Badan Pengawas dan Pemeriksa Perbendaharaan Jemaat
disingkat BBPJ di lingkup Jemaat.
Tinjauan tata gereja GPIB mengenai perbendaharaan serta pengawasan
dan pemeriksaan perbendaharaan GPIB disebutkan secara jelas dalam tata
gereja GPIB dalam pasal 17 dan pasal 18. Sistem keuangan GPIB ialah
sentralisasi (Maleakhi 3:10a). Melalui kedua pasal ini, jemaat dalam hal ini
majelis sinode (MS) melandaskan pemahamannya dalam mengelolah
keuangan gereja. isi dari pasal 17 dan 18 akan dipaparkan di dalam tabel
sederhana sesuai dengan tata gereja GPIB (2010). Lebih lanjut, di dalam
tata gereja GPIB secara khusus dibahas kembali mengenai Perbendaharaan
GPIB dalam peraturan nomor 6 Tata Gereja GPIB isi dari peraturan ini
menyangkut sistem pengelolaan keuangan gereja tingkat lokal namun tetap
bersifat sentralisasi (lampiran).
2.3. Manajemen Aset terhadap Tata Kelola Gereja
Penelitian ini menguraikan sistem manajemen aset yang dilakukan
oleh Gereja. Gereja dalam hal ini merupakan sebuah institusi nirlaba (non-
profit), yang memiliki sistem presbiterial sinodal dimana segala sesuatu
yang menyangkut pelayanan dan penataan di dalam gereja berpusat disatu
tempat yaitu Sinode yang dalam hal ini dikelola oleh Majelis Sinode.
Penatalayanan gereja yang di maksud oleh peneliti yaitu mengenai
manajemen aset yang ada di dalam sistem organisasi gereja secara
keseluruhan. Penatalayanan atau manajemen aset ini dapat dilakukan
berdasarkan cara manajemen aset yang baik dengan dua sisi yaitu internal
dan eksternal. Manajemen aset secara internal dalam hal ini merupakan
sebuah sistem atau tata peraturan yang berasal dari dalam organisasi. Sisi
internal berpatokan kepada Majelis Sinode sebagai “manager” dalam
pengelolaan aset Gereja. Pengelola dari keseluruhan aset Gereja ialah
Majelis Sinode dengan arahan Tata Gereja GPIB. Sedangkan sisi eksternal
yaitu dari penerapan standar akuntansi dalam pembelian, pemeliharaan
dan penjualan aset hingga pada pencatatan atau pendataan aset yang
dimiliki sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku dalam hal ini sistem
pengelolaan keuangan yang dipakai oleh organisasi tersebut.
Untuk menjalankan tugas-tugas pelayanan secara optimal, gereja
membutuhkan SDM yang handal, yaitu warga jemaat yang berkualitas dan
memiliki kemampuan di bidangnya dalam jabatan di organisasi gereja, hal
ini diupayakan agar dapat memaksimalkan kinerja organisasi secara
khusus kepada hal yang juga penting yaitu mengenai penatalayanan aset
gereja (Prodjowijono, 2008). Majelis Sinode GPIB diharapkan memiliki
kemampuan dan pengetahuan yang cukup dalam membuat laporan
keuangan yang sesuai dengan sistem yang berlaku yaitu Tata Gereja GPIB.
Menurut Sonny, S. (2009). Manajemen keuangan adalah aktivitas
perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana memperoleh dana,
menggunakan dana, dan mengelola asset sesuai dengan tujuan perusahaan
secara menyeluruh. Selanjutnya dikatakan bahwa manajemen keuangan
adalah tindakan yang diambil dalam rangka menjaga kesehatan keuangan
organisasi. Untuk itu, dalam membangun sistem manajemen keuangan
yang baik perlulah untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip manajemen
keuangan yang baik. Ada Tujuh prinsip dari manajemen keuangan yang
harus diperhatikan. Yang pertama, Konsistensi (Consistency) yaitu sistem
dan kebijakan keuangan dari organisasi harus konsisten dari waktu ke
waktu. Ini tidak berarti bahwa sistem keuangan tidak boleh disesuaikan
apabila terjadi perubahan di organisasi. Pendekatan yang tidak konsisten
terhadap manajemen keuangan merupakan suatu tanda bahwa terdapat
manipulasi di pengelolaan keuangan. Kedua, Akuntabilitas (Accountability)
adalah kewajiban moral atau hukum, yang melekat pada individu,
kelompok atau organisasi untuk menjelaskan bagaimana dana, peralatan
atau kewenangan yang diberikan pihak ketiga telah digunakan. Organisasi
harus dapat menjelaskan bagaimana menggunakan sumberdayanya dan
apa yang telah di capai sebagai pertanggungjawaban kepada pemangku
kepentingan dan penerima manfaat. Semua pemangku kepentingan berhak
untuk mengetahui bagaimana dana dan kewenangan digunakan.
Ketiga, Transparansi (Transparency) dalam hal ini Organisasi harus
terbuka berkenaan dengan pekerjaannya, menyediakan informasi berkaitan
dengan rencana dan aktivitasnya kepada para pemangku kepentingan.
Termasuk didalamnya, menyiapkan laporan keuangan yang akurat, lengkap
dan tepat waktu serta dapat dengan mudah diakses oleh pemangku
kepentingan dan penerima manfaat. Apabila organisasi tidak transparan,
hal ini mengindikasikan ada sesuatu hal yang disembunyikan. Keempat,
Kelangsungan Hidup (Viability) dimana agar keuangan terjaga, pengeluaran
organisasi di tingkat stratejik maupun operasional harus
sejalan/disesuaikan dengan dana yang diterima. Kelangsungan hidup
(viability) merupakan suatu ukuran tingkat keamanan dan keberlanjutan
keuangan organisasi. Manager organisasi harus menyiapkan sebuah
rencana keuangan yang menunjukan bagaimana organisasi dapat
melaksanakan rencana stratejiknya dan memenuhi kebutuhan
keuangannya. Kelima, Integritas (Integrity) yaitu Kepercayaan dalam
melaksanakan kegiatan operasionalnya, individu yang terlibat harus
mempunyai integritas yang baik. Selain itu, laporan dan catatan keuangan
juga harus dijaga integritasnya melalui kelengkapan dan keakuratan
pencatatan keuangan. Keenam merupakan Pengelolaan (Stewardship)
Organisasi harus dapat mengelola dengan baik dana yang telah diperoleh
dan menjamin bahwa dana tersebut digunakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
Secara praktek, organisasi dapat melakukan pengelolaan keuangan
dengan baik melalui: berhati-hati dalam perencanaan stratejik, identifikasi
resiko-resiko keuangan dan membuat sistem pengendalian dan sistem
keuangan yang sesuai dengan organisasi. Dan yang terakhir ialah, Standar
Akuntansi (Accounting Standards) yaitu merupakan Sistem akuntansi dan
keuangan yang digunakan organisasi harus sesuai dengan prinsip dan
standar akuntansi yang berlaku umum. Hal ini berarti bahwa setiap
akuntan dapat mengerti sistem yang digunakan oleh organisasi.
�
Top Related