7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Konsep Evaluasi dan Evaluasi Program
2.1.1 Konsep Evaluasi
Pengertian evaluasi menurut Charles O. Jones
dalam Aprilia (2009) adalah “evaluation is an activity
which can contribute greatly to the understanding and
improvement of policy development and implementation”
(evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dapat
mengandung pengertian yang besar nilainya serta dapat
membantu dalam penyempurnaan pelaksanaan
kebijakan beserta perkembangannya). Pengertian
tersebut telah menjelaskan bahwa kegiatan evaluasi
dapat mengetahui apakah pelaksanaan sebuah program
telah sesuai dengan tujuan utama, yang kemmudian
kegiatan evaluasi tersebut akan dapat menjadi patokan
atau tolak ukur mengenai apakah suatu kebijakan atau
kegiatan dapat dikatakan layak diteruskan atau perlu
diperbaiki atau dihentikan kegiatannya.
Evaluasi merupakan bagian dari suatu sistem
manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan,
monotoring dan evaluasi. Tanpa adanya evaluasi, tentu
tidak akan diketahui bagaimana keadaan/kondisi objek
evaluasi tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta
juga dengan hasilnya. Sedangkan menurut Arikunto
(2010) evaluasi merupakan sebuah proses untuk
menentukan hasil yang telah dicapai dari beberapa
kegiatan yang direncanakan dan digunakan untuk
mendukung tercapainya sebuah tujuan. Kemudian
8
menurut Arifin (2010) menyatakan evaluasi adalah suatu
proses bukan suatu hasil (produk). Hasil yang diperoleh
dari kegiatan evaluasi adalah kualitas, sesuatu, baik
yang menyangkut tentang nilai atau arti, sedangkan
kegiatan untuk sampai pada pemberian nilai dan arti itu
adalah evaluasi. Dari beberapa pengertian serta
penjelasan mengenai evaluasi yang telah dikemukakan
oleh beberapa ahli diatas maka dapat ditarik sebuah
benang merah tentang evaluasi yakni evaluasi
merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh
seseorang guna bertujuan untuk melihat sejauh mana
keberhasilan suatu program. Keberhasilan program itu
sendiri dapat dilihat dari dampak ataupun hasil yang
telah dicapai oleh program tersebut.
2.1.2 Konsep Program
Menurut Tayibnapis (2008) Program adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dengan harapan
akan mendatangkan pengaruh atau hasil. Jones 1996
menambahkan dengan definisi program yaitu ’’A
programme is collection of interrelated project designed to
harmonize and integrated various action an activities for
achieving averral policy objectives’’, yaitu bahwa suatu
program merupakan sekumpulan dari proyek-proyek
yang saling berhubungan yang telah disusun guna
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan
secara integrated bertujuan untuk mencapai sasaran
kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan.
Berdasarkan penjelasan dan uraian diatas maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa program adalah
suatu kesatuan kegiatan yang saling berhubungan yang
9
dilakukan oleh beberapa atau sekelompok orang yang
saling terkait dalam melaksanakan kebijakan untuk
mencapai sasaran tersebut secara keseluruhan.
2.1.3 Konsep Evaluasi Program
Evaluasi program adalah sebuah proses penetapan
yang secara sistematis tentang nilai, tujuan, efektifitas
atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ralp Tyler
dalam Karding (2008) mendefinisikan bahwa evaluasi
program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan
program sudah dapat terealisasi. Sedangkan Wahab
(1997) mengemukakan bahwa evaluasi program
merupakan proses penetapan secara sistematis tentang
tujuan, nilai dan efektifitas atau kecocokan sesuatu
sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Proses penetapan keputusan itu didasarkan
atas perbandingan secara hati - hati terhadap data yang
diobservasi dengan menggunakan standard tertentu yang
telah dibakukan. Dari berbagai definisi yang telah
dipaparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan evaluasi program adalah kegiatan
untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya
suatu program pemerintah, yang mana selanjutnya
informasi tersebut akan digunakan untuk menentukan
pilihan yang tepat dalam mengambil atau menentukan
sebuah keputusan yang akan diambil.
2.2. Tujuan Evaluasi Program
Sudjana (2006), menyebutkan bahwa terdapat 6
(enam) hal tujuan khusus evaluasi program, yaitu:
10
a. Memberikan masukan bagi perencanaan suatu program;
b. Menyediakan masukan bagi pengambil
keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, penerusan, perluasan atau penghentian suatu program;
c. Memberikan masukan bagi pengambilan keputusan tentang perbaikan atau
pengembangan sebuah program ; d. Memberikan masukan yang berkenaan
mengenai faktor penunjang ataupun faktor
pendukung serta faktor penghambat program tersebut;
e. Memberikan masukan untuk kegiatan pembinaan (supervisi, pengawasan dan monitoring) dan motivasi bagi penyelenggara,
pelaksana ataupun pelaksana program; f. Menyajikan data mengenai konsep dasar
keilmuan bagi evaluasi program pendidikan
di luar sekolah.
Sedangkan menurut Arifin (2010) menyatakan
bahwa tujuan evalusi program adalah supaya agar
dapat diketahui dengan pasti apakah pencapaian hasil,
kemajuan dan hambatan yang dijumpai dalam
pelaksanaan program dapat dinilai dan dipelajari untuk
perbaikan pelaksanaan program dimasa yang akan
mendatang. Dari penjelasan tersebut dapat di intisarikan
bahwa evaluasi program bertujuan untuk memberikan
rekomendasi atau memberikan beberapa pertimbangan
bagi pengambil keputusan dengan masukan hasil dari
evaluasi program yang sedang dilaksanakan atau telah
dilaksanakan untuk melaksanakan kegiatan perbaikan
yang lebih lanjut.
11
2.3. Manfaat Evaluasi Program
Menurut Arikunto (2014) manfaat dari evaluasi
program yaitu a) menghentikan program karena
dipandang bahwa program tersebut tidak berguna atau
kurang bermanfaat; b) merevisi program pada bagian-
bagian yang tidak sesuai dengan harapan; c)
melanjutkan program karena pelaksanaan program
sudah memberikan hasil atau menunjukkan bahwa
segala sesuatunya sudah sesuai dengan harapan; d)
menyebarluaskan program karena program telah
berhasil dilaksanakan dan sesuai dengan harapan maka
akan sangat baik jika program tersebut dapat
diimplementasikan di tempat lain.
Ruswati (2008) menambahkan dan menjelaskan
bahwa manfaat dari evaluasi program adalah; a)
Memberitahukan prosedur mana yang perlu diperbaiki;
b) Memberikan masukan tentang suatu program bahwa
apakah program/proyek tersebut hendak akan
diteruskan atau dihentikan; c) Memeberikan
masukanapakah program yang sama dapat
diimplementasikan atau diterapkan ditempat lain; d)
Memberitahukan teknik atau strategi mana yang pelu
diganti atau dihapus; e) memberikan masukan apakah
pendekatan/teori tentang suatu program dapat diteima
atau ditolak; f) Mmeberikan masukan kearah mana dana
harus dialokasikan.
Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi program
bermanfaat untuk memberikan rekomendasi atau
memberikan beberapa pertimbangan bagi pengambil
12
keputusan dengan masukan hasil dari evaluasi program
yang sedang dilaksanakan atau telah dilaksanakan.
2.4. Model Evaluasi
2.4.1 Pengertian Gap Analysis
Secara harafiah kata “gap” mengindikasikan
adanya suatu perbedaan (discrepancy) antara satu hal
dengan hal lainnya. Model Evaluasi Discrepancy/
Kesenjangan (Provus, 1971 dalam Suciptoardi, 2011)
merupakan suatu model evaluasi program yang
menekankan pentingnya pemahaman sistem sebelum
evaluasi. Model ini merupakan suatu prosedur problem-
solving untuk mengidentifikasi kelemahan (termasuk
dalam pemilihan standar) dan untuk mengambil
tindakan korektif. Dengan model ini, proses evaluasi
pada langkah-langkah dan isi kategori sebagai cara
memfasilitasi perbandingan capaian program standar,
sementara di waktu yang sama mengidentifikasi standar
untuk digunakan untuk perbandingan di masa depan.
Dapat diambil kesimpulan mengenai GAP analysis,
bahwa secara umum gap analysis dapat didefinisikan
sebagai suatu metode atau alat yang digunakan untuk
mengetahui tingkat kinerja suatu lembaga atau institusi.
Dengan kata lain, gap analysis merupakan suatu metode
yang digunakan untuk mengetahui kinerja dari suatu
sistem yang sedang berjalan dengan system standar.
GAP analysis sering digunakan di bidang
manajemen dan menjadi salah satu yang digunakan
untuk mengukur kualitas pelayanan (quality of services)
dan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kinerja penyedia layanan. Analisis GAP
13
(Kesenjangan) adalah suatu metode/alat yang membantu
suatu lembaga membandingkan performansi actual
dengan performansi potensi. Operasionalnya dapat
diungkapkan dengan dua pertanyaan berikut: “Di mana
kita sekarang?” dan “Apa yang kita inginkan?” Model
yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan
Berry (1985) salah satu dari lima GAP (kesenjangan),
yaitu: kesenjangan antara standar pelayanan lembaga
dan pelayanan yang diberikan, kaitan dalam penelitian
ini adalah, bagaimana pelaksanaan Sertifikasi guru pada
Sekolah dasar. Dengan menggunakan GAP analysis
dapat diketahui semakin kecil kesenjangan tersebut,
semakin baik kualitas pelayanan. Gap akan bernilai (+)
positif bila nilai aktual lebih besar dari nilai target,
sebaliknya bernilai (-) negative apabila nilai target lebih
besar dari nilai aktual. Apabila nilai target semakin besar
dan nilai aktual semakin kecil maka akan diperoleh gap
yang semakin melebar.
Zaibaski (2010) berpendapat bahwa tujuan
analysis gap adalah untuk mengidentifikasi gap antara
alokasi optimis dan integrasi input, serta ketercapaian
sekarang. Analisis gap membantu organisasi/ lembaga
dalam mengungkapkan yang mana harus diperbaiki.
Proses analysis gap mencakup penetapan, dokumentasi,
dan sisi positif keragaman keinginan dan kapabilitas
(sekarang). Tujuan dilakukan gap analisis adalah untuk
melihat sejauh mana kesesuaian system yang sedang
dijalankan dengan standar terkait yg harus dipenuhi.
Secara singkat, GAP analysis bermanfaat untuk :
14
a. Menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja
aktual dengan suatu standar kinerja yang diharapkan.
b. Mengetahui peningkatan kinerja yang diperlukan
untuk menutup kesenjangan tersebut,dan
c. Menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan
terkait prioritas waktu dan biaya yang dibutuhkan
untuk memenuhi standar pelayanan yang telah
ditetapkan.
Untuk terlaksananya suatu program, maka
instansi menetapkan kegiatan-kegiatan yang merupakan
penuangan dari program. Untuk menilai berhasil
tidaknya suatu kegiatan maka penilaian dilakukan
terhadap indikator kinerja kegiatan. Langkah analisis
kesenjangan pada level indikator kinerja kegiatan sama
dengan langkah yang dilakukan pada analisis indaktor
kinerja program. Analisis kesenjangan (GAP analysis)
bertumpu pada evaluasi diri dan observasi subyek untuk
mendapatkan gambaran bagaimana kondisi dan
kenyataan dilapangan.
Dalam melakukan gap analysis, menurut Zaibaski
(2010) terdapat beberapa langkah utama yang perlu
dilakukan yaitu sebagai berikut ini.
1) Identifikasi komponen program yang akan dianalisis.
Program yang akan dianalisis dapat berupa program
secara umum ataupun program tertentu, misalnya
program di bidang pendidikan atau kesehatan, atau
program yang lebih spesifik.
15
2) Penentuan standar evaluasi program pelayanan.
Standar evaluasi program dapat dijabarkan ke dalam
beberapa indikator terkait dengan tujuan dan manfaat
dari program yang akan di evaluasi.
3) Penyebaran kuesioner atau wawancara terfokus
Isi kuesioner dan wawancara disesuaikan dengan
desain gap analysis yang hendak dilakukan.
Pertanyaan wawancara dan kuesioner mencakup
aspek dan dimensi yang akan diukur. Dimensi
pelayanan misalnya adalah dimensi: fisik, dimensi
keterlibatan, dimensi ketepatan, dimensi keterjaminan
dan dimensi empati. Untuk memudahkan pengukuran
secara kuantitatif, maka setiap dimensi yang dinilai
diberi skala atau skor. Hasil kuesioner yang menarik
perlu dibahas melalui wawancara atau diskusi
kelompok terfokus guna memperoleh data yang lebih
lengkap sekaligus memvalidasinya.
4) Analisis Data
Dengan menggunakan statistic deskriptif dapat
diketahui: rata-rata skor untuk setiap pasangan faktor
yang sedang dikalkulasi kesenjangan. Selain itu juga
untuk perhitungan kesenjangan untuk masing-masing
dimensi.
Perhitungan kesenjangan dimensi masing-masing
menggunakan formula:
Kesenjangani (Gi) = Rata-rata expected servicei – Rata-
rata perceived servicei
16
Kriteria analisis kesenjangannya:
Jika Ḡ >Gi = kualitas yang diharapkan masyarakat
lebih tinggi daripada kualitas
pelayanan yang dirasakan
masyarakat, maka instansi terkait
perlu meningkatkan kinerja dan
kualitas pelayanan publik.
Jika Ḡ <Gi = kualitas yang diharapkan masyarakat
lebih rendah daripada kualitas
pelayanan yang dirasakan
masyarakat, maka instansi terkait
telah dianggap memberikan kinerja
dan kualitas pelayanan publik yang
baik.
Jika Ḡ =Gi = kualitas yang diharapkan masyarakat
sama dengan kualitas pelayanan yang
dirasakan masyarakat, maka instansi
terkait telah memberikan pelayanan
yang baik namun perlu peningkatan.
5) Follow Up
Dengan berdasarkan hasil analisis tersebut, kita dapat
mengetahui kinerja pelayanan yang diberikannya.
Selanjutnya lembaga yang bersangkutan dapat
menyusun kebijakan yang diperlukan untuk menutupi
kesenjangan tersebut.
Adapun penggunaan gap analysis diarahkan
untuk mengevaluasi proses pelaksanaan program
sertifikasi guru di Kabupaten Wonosobo, hasil
pelaksanaan program sertifikasi guru, dan faktor-faktor
17
yang mempengaruhi pelaksanaan program sertifikas
guru. Berikut bagan gap analysis dalam penelitian ini.
2.5. Pengertian Sertifikasi
Menurut National Commission on Educational
Services (NCES), “Certification is a procedure whwreby the
state evaluates and reviews to teacher condidate’s
credentials and provides him or her a license to teach.
Pengertian ini lebih bersifat umum di mana sertifikasi
merupakan prosedur untuk menentukan apakah seorang
calon guru layak diberikan izin dan kewenangan untuk
mengajar. Menurut UU RI No.14 Tahun 2005 sertifikasi
adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru
dan dosen. Pengertian sertifikasi ini lebih spesifik yang
ditekankan pada suatu proses pemberian pengakuan
bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk
melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan
pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang
diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Dengan kata
lain, sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang
dirancang untuk mengungkapkan penguasaan
kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian
sertifikat pendidik (Mulyasa, 2008).
Sertifikasi guru merupakan pemenuhan
kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional.
Oleh karena itu, proses sertifikasi dipandang sebagai
STANDAR/ JUKNIS
PROGRAM
SERTIFIKASI GURU
IMPLEMENTASI
PROGRAM
SERTIFIKASI
GURU
GAP
18
bagian esensial dalam upaya memperoleh sertifikat
kompetensi sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Sertifikasi guru merupakan proses uji
kompetensi bagi calaon atau guru yang ingin
memperoleh pengakuan dan atau meningkatkan
kompetensi sesuai profesi yang dipilihnya. Representasi
pemenuhan standar kompetensi yang telah ditetapkan
dalam sertifikasi kompetensi adalah sertifikat
kompetensi pendidik. Sertifikat ini sebagai bukti
pengakuan atas kompetensi guru atau calon guru yang
memenuhi standar untuk melakuakn pekerjaan profesi
guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Dengan
demikian dapat dipahami sertifikasi adalah bukti formal
sebagai pengakuan yang diberikan guru dan dosen
sebagai tenaga profesional.
2.6. Tujuan dan Manfaat Sertifikasi
Menurut Wibowo dalam Mulyasa (2004) sertifikasi
bertujuan sebagai berikut:
a. Melindungi profesi pendidik dan tenaga kependidikan
b. Melindumgi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan
c. Membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu-rambu dan instrumen untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten
d. Membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
e. Memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
19
Sedangkan menurut Mulyasa (2007) sertifikasi
pendidik mempunyai manfaat sebagai berikut:
a. Pengawasan mutu 1) Lembaga sertifikasi yang telah mengidentifikasi
dan menentukan seperangkat kompetensi yang bersifat unik
2) Untuk setiap jenis profesi dapat mengarahkan para praktisi untuk mengembangkan tingkat kompetensinya secara berkelanjutan
3) Peningkatan profesionalisme guru melalui mekanisme seleksi, baik pada waktu awal masuk organisasi profesi maupun pengembangan karier selanjutnya
4) Proses seleksi yang lebih baik, program pelatihan yang lebih bermutu maupun usaha belajar secara mandiri untuk mencapai peningkatan profesionalisme.
b. Penjaminan mutu 1) Adanya proses pengembangan profesionalisme
dan evaluasi terhadap kinerja praktisi akan menimbulkan persepsi masyarakat dan pemerintah menjadi lebih baik terhadap organisasi profesi beserta anggotanya.
2) Sertifikasi menyediakan informasi yang berharga bagi para pelanggan/pengguna yang ingin memperkerjakan orang dalam bidang keahlian dan ketrampilan tertentu.
Dari pendapat para ahli tersebut, maka dapat
diketahui bahwa program sertifikasi guru bermanfaat
dan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan
dengan jalan meningkatkan profesionalitas pendidik dan
dapat disimpulkan bahwa sertifikasi guru pada akhirnya
berorientasi pada pencapaian dan peningkatan mutu
pendidikan. Selain itu juga menjadi penjamin mutu
pendidikan yakni dengan melakukan seleksi khusus
terhadap guru-guru yang profesional, serta dapat
memicu bertambahnya jumlah guru yang profesional
20
sehingga berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan.
2.7. Permasalahan yang Muncul dalam Sistem
Sertifikasi Guru
Berikut ini adalah permasalahan yang muncul
dalam proses sertifikasi guru menurut Mulyasa (2004)
permasalahan tersebut terbagi dalam 2 kategori yaitu
permasalahan secara khusus dan secara umum. Pada
permasalahan secara khusus meliputi masih panjangnya
birokrasi proses sertifikasi guru dan masih kurang
terbukanya proses sertifikasi guru. Sedangkan
permasalah umum meliputi hal berikut.
1) Anggaran dana
Anggaran dana yang belum memadai menyebabkan
setiap tahun jumlah guru yang ikut sertifikasi
dibatasi.
2) Pengisian portofolio
Bagi guru-guru yang ada di daerah terpencil, mungkin
akan mengalami kesulitan untuk menyusun portofolio,
sebab mereka tidak pernah mengikuti seminar,
pelatihan yang menjadi salah satu komponen
portofolio. Bahkan berbagai kegiatan yang mereka
lakukan mungkin juga tidak ter-SK-kan sebagai bukti.
Disisi lain guru-guru di daerah terpencil waktunya
mungkin juga dihabiskan untuk mengajar dan
mencari penghasilan tambahan, karena sering kali di
daerah-daerah tersebut jumlah guru tidak sebanding
dengan jumlah murid dan kelas (kekurangan guru),
sehingga mereka harus merangkap. Kesibukan
21
mengajar dan mencari tambahan pendapatan
mengakibatkan mereka tidak sempat melakukan
pengembangan diri, dengan membuat penelitian atau
berbagai desain pembelajaran.
3) Ketidaktertiban dalam administrasi, serta rendahnya
budaya menulis dan meneliti (budaya akademis).
Kebiasaan tidak tertib administrasi, mengakibatkan
banyak dokumen yang hilang, sehingga pada saat
akan dipakai tidak ada. Rendahnya budaya menulis
dan meneliti di kalangan guru, mengakibatkan karya-
karya ilmiah mereka sangat minim. Akibatnya pada
komponen karya ilmiah ini sering kali tidak banyak
dimiliki oleh para guru. Padahal besarnya harapan
untuk memperoleh tunjangan profesi di satu sisi, dan
banyaknya kendala dalam menyusun (mengumpulkan)
portofolio, mengakibatkan sebagian guru mengambil
jalan pintas dengan melakukan tindak kecurangan,
yang bukan hanya melanggar etika akademis, tetapi
juga moralitas sebagai pendidik.
4) Belum semua guru yang ada di Indonesia memenuhi
standar jenjang pendidikan berdasarkan standarisasi
guru yang layak (memenuhi kompetensi) hanya sekitar
47%. Dari segi kualifikasi akademik, baru sekitar
sepertiga guru di Indonesia yang berpendidikan
sarjana (Kompas, 10 Maret 2008).
5) Sertifikasi dengan cara portofolio menghasilkan guru
yang berkualitas rendah daripada sertifikasi dengan
cara pelatihan
22
Sertifikasi dengan cara pelatihan (PLPG)
menjadikan guru lebih terlatih dan memiliki peningkatan
kemampuan pedagogik, kepribadian, profesional, dan
sosial daripada sertifikasi dengan cara portofolio. Hal ini
disebabkan karena dengan cara pelatihan, seorang guru
mendapatkan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan
untuk menjadi seorang guru yang profesional.
Sedangkan sertifikasi dengan cara portofolio, guru hanya
berkewajiban memenuhi segala persyaratan yang
dibutuhkan tanpa adanya pembekalan.
2.8. Perkembangan Pelaksanaan program sertifikasi
guru dari tahun 2007 sampai tahun 2014
Pelaksanaan program sertifikasi guru telah
berjalan beberapa tahun, berikut adalah penjelasan
secara umum dari perjalanan pelaksanaan program
sertifikasi guru.
a. Tahun 2007. Kemendikbud memulai pelaksanaan
sertifikasi bagi 200.450 orang guru melalui sistem
portofolio dan PLPG. Landasan hukum yaitu fatwa
hukum dari menteri hukum dan HAM. Pada
pelaksanaan ini, ditetapkan 31 rayon LPTK
penyelenggara sertifikasi guru untuk jangka waktu 2
tahun. (Juknis Program Sertifikasi Guru Tahun 2007)
b. Tahun 2008. Kemendikbud menyelenggarakan
sertifikasi bagi 200.000 orang guru dengan pengetatan
dalam penilaian portofolio. Pada tahun ini juga
pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah (PP)
nomor 74 tahun 2008. (Juknis Program Sertifikasi
Guru Tahun 2008)
23
c. Tahun 2009. Sertifikasi mulai berpedoman pada PP
nomor 74 tahun 2008 dengan pola portofolio, PLPG
dan pemberian sertifikat pendidik secara langsung
(PSPL). Pada tahun ini pengawas mulai disertifikasi.
Ditetapkan 46 rayon LPTK penyelanggara sertifikasi
guru untuk jangka waktu 2 tahun. (Juknis Program
Sertifikasi Guru Tahun 2009)
d. Tahun 2010. Kemendikbud menyelenggarakan
sertifikasi dengan pola yang sama dengan tahun 2009.
e. Tahun 2011. Kemendikbud mulai menyelenggarakan
sertifikasi guru di LPTK berbasis program studi
dengan pola 1% portofolio, dan 99% langsung PLPG.
Ditetapkan 46 rayon LPTK penyelenggara sertifikasi
guru untuk jangka 2 tahun. (Juknis Program
Sertifikasi Guru Tahun 2010)
f. Tahun 2012. Kemendikbud menyelenggarakan
sertifikasi guru yang diawali dengan pelaksanaan uji
kompetensi awal (UKA). Setiap guru yang akan
mengikuti sertifikasi terlebih dahulu wajib mengikuti
UKA. Adapun pelaksanaan sertifikasinya sama dengan
pola sertifikasi tahun 2011. (Juknis Program
Sertifikasi Guru Tahun 2011)
g. Tahun 2013. Kemendikbud menyelenggarakan
sertifikasi guru dengan pola yang sama dengan tahun
2012. Pemerintah menetapkan 45 Rayon LPTK
penyelenggara sertifikasi guru untuk jangka waktu 3
tahun. (Juknis Program Sertifikasi Guru Tahun 2012)
24
h. Tahun 2014. Kemendikbud merencanakan
pelaksanaan sertifikasi guru melalui PPG dalam
jabatan bagi guru dengan syarat wajib sudah mengajar
sejak Januari 2006. (Juknis Program Sertifikasi Guru
Tahun 2013)
Perkembangan sertifikasi guru dari awal
dicanangkan yakni tahun 2007 hingga saat ini terus
mengalami perubahan. Pada tahun 2007 program
sertifikasi menerapkan seleksi terhadap guru calon
tersertifikasi dengan portofolio dan PLPG. Hal tersebut
terus berjalan dengan penambahan standard an aturan
hingga tahun 2010. Pada tahun 2011, kebijakan system
portofolio mulai dikurangi, hal ini ditujunkkan dengan
penuruna prosentase, seleksi dengan system portofolio
sebanyak 1% dan 99% menggunakan PLPG. Kebijakan
tersebut berubah pada tahun 2012 yakni
penyelenggaraan program sertifikasi guru di awali
dengan Uji Kompetensi Awal (UKA) yang wajib diikuti.
Selanjutnya pada tahun 2014, seleksi program sertifikasi
berkembang menjadi seleksi dengan sistem PPG.
Berkembangnya sistem seleksi program sertifikasi guru
dari tahun ke tahun menunjukkan kepedulian
pemerintah terhadap kesejahteraan guru dan terhadap
peningkatan mutu pendidikan. Mengikuti aturan dari
pemerintah, sistem seleksi program sertifikasi guru pada
Kabupaten Wonosobo saat ini menggunakan sistem PPG
dengan syarat wajib sudah mengajar sejak Januari 2006.
2.9. Standar Sertifikasi Guru
Dalam Undang Undang No. 14/2005 pasal 2,
disebutkan bahwa pengakuan guru sebagai tenaga yang
25
profesional dibuktikan dengan sertifikasi pendidik.
Selanjutnya pasal 11 menjelaskan bahwa sertifikasi
pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi
persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh
perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan
tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Menurut Mulyasa (2008) sertifikasi guru adalah
proses uji kompetensi yang dirancang untuk
mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang
sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik.
Sedangkan menurut Trianto dan Tutik (2007) Sertifikat
pendidik merupakan surat keterangan yang diberikan
suatu lembaga pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi sebagai bukti formal kelayakan profesi
guru, yaitu memenuhi kualifikasi pendidikan minimum
dan menguasai kompetensi minimal sebagai agen
pembelajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Sertifikasi pendidik adalah suatu bukti
pengakuan sebagai tenaga profesional yang telah dimiliki
oleh seorang pendidik dalam melaksanakan pelayanan
pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah
yang bersangkutan menempuh uji kompetensi yang
dilakukan oleh lembaga sertifikasi.
Proses evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh
mana program sertifikasi yang telah dicanangkan oleh
pemerintah telah berjalan sesuai dengan standar dalam
juknis yang bersumber pada undag-undang sebagai
dasar hukum. Adapun dasar hukum yang digunakan
sebagai acuan dalam pelaksanaan sertifikasi guru dalam
jabatan yakni sebagai berikut :
26
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
74 Tahun 2008 tentang Guru
f. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi dan Kompetensi Guru.
g. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Sertifikasi Guru dalam Jabatan
h. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 76/P/2011 tentang Pembentukan
Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG).
i. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 75/P/2011 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Guru
dalam Jabatan. (Juknis Pelaksanaan Program
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, 2013: 2)
27
Memperhatikan dasar hukum tersebut, maka
untuk mengevaluasi proses dan hasil dari implementasi
program sertifikasi serta faktor-faktor yang
mempengaruhi program sertifikasi guru dan dengan
memperhatikan teori standar evaluasi program (Sanders,
2004) maka dapat ditetapkan beberapa standar
implementasi program sertifikasi sebagai berikut:
a. Kegunaan (utility) program sertifikasi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan;
b. Kelayakan (feasibility) program sertifikasi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan;
c. Kesahihan (propriety) program sertifikasi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan;
d. Ketepatan (accuracy) program sertifikasi guru dalam meningkatkan profesionalisme guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Pada aspek kegunaan, fokusan masalah yang akan
dijabarkan yakni mengenai kegunaan dari program sertifikasi
terhadap peningkatan mutu pendidikan, sehingga dapat
diketahui fungsi atau peran dari program sertifikasi terhadap
peningkatan mutu pendidikan. Selanjutnya pada aspek
kelayakan obyek yang akan dikaji yakni pada kepraktisan,
keefektifan, dan efisiensi program sertifikasi guru terhadap
penigkatan mutu pendidikan. Selanjutnya pada aspek
kesahihan obyek kajiannya mencakup proses pelaksanaan
program sertifikasi dapat terlaksana dengan baik dengan
memperhatikan hak dan kewajiban pihak yang menerima
program sertifikasi ini, serta bentuk tanggung jawab pihak
penerima terhadap program sertifikasi guru. Pada aspek ke
empat yakni aspek ketepatan berfokus pada proses dan hasil
program sertifikasi telah tepat sasaran yakni dengan
meningkatkan profesionalisme guru dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Memperhatikan ke empat aspek tersebut,
28
untuk melakukan evaluasi terhadapa program sertifikasi
guru, maka aspek-aspek tersebut dijabarkan lagi dengan
menambah aspek dampak, keberlanjutan dan prospek.
Ke tujuh aspek tersebut disusun ke dalam kisi-kisi yang
selanjutnya dijabarkan dalam kuesioner yang akan digunakan
sebagai instrumen pengumpulan data dalam peneletian ini.
Penggunaan kuesioner tersebut ditujukan untuk
mengevaluasi proses impelmentasi program sertifikasi, hasil
implementasi program sertifikasi serta faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi program sertifikasi.
2.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Program Sertifikasi Guru
Sebuah program dapat dikatakan berhasil maupun
gagal dalam mencapai tujuan dari program itu sendiri
tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, faktor
penentu dalam keberhasilan program dapat berasal dari
kondisi lingkungan di mana program itu dijalankan dan
dari kondisi program itu sendiri. Dalam hal ini, faktor
penentu keberhasilan program sertifikasi menurut Jalal
(2007) dapat meliputi berikut ini:
a. Konsistensi pemerintah dalam menjalankan program
sertifikasi;
Sebagai suatu kebijakan yang bersentuhan dengan
berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan
berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak
tuntutan dan tantangan akan muncul dari 3 sumber.
Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga
yang berhak melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai
lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya
dari pihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
29
Swasta akan menuntut untuk diberi hak
menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi.
Demikian juga akan muncul tuntutan dari berbagai
LPTK negeri khususnya di daerah luar pulau jawa
yang akan menuntut dengan alasan demi
keseimbangan geografis. Tuntutan ini akan
mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada
objektivitas kemampuan suatu perguruan tinggi.
Konsistensi pemerintah juga diperlukan untuk
menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi
pelaksana Undang-Undang yang muncul dari
kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior atau
mereka para guru yang masih jauh dari persyaratan
akan menentang dan menuntut berbagai kemudahan
agar bias memperoleh sertifikat profesi tersebut.
b. Peraturan hukum yang tegas;
Dalam pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai
penyimpangan dari aturan main yang sudah ada.
Adanya penyimpanagan ini tidak lepas dari adanya
upaya berbagai pihak, khususnya guru untuk
mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas.
Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai
adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar. Oleh
karenanya, begitu ada gejala penyimpangan,
pemerintah harus segera mengambil tindakan tegas.
Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari
lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang
tidak boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain
sebagainya.
30
c. Pelaksanaan aturan / UU yang konsekuen;
Tuntutan dan tantangan juga akan muncul dari
berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat
pendidikan yang relatif tertinggal. Pemerintah harus
konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard
nasional yang harus dipatuhi.
d. Sarana dan prasarana yang memadai baik berupa
anggaran maupun lembaga penyelenggara.
Dalam hal ini, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah menyediakan anggaran yang memadai, baik
untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk
pemberian tunjangan dalam hal sarana dan
prasarana.
2.11. Hasil Penelitian yang relevan
a. Siti Rukhayati, 2009, dengan penelitian berjudul
“Kompetensi dan Sertifikasi Guru”, hasil penelitiannya
yaitu; dengan peningkatan status guru menjadi tenaga
profesional, maka kompetensi merupakan langkah
penting yang perlu ditingkatkan. Sertifikasi guru
merupakan pemenuhan kebutuhan untuk
meningkatkan kompetensi profesional. Oleh karena
itu, proses sertifikasi dipandang sebagai bagian
esensial dalam upaya memperoleh sertifikat
kompetensi sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Hal ini merupakan peluang bagi guru-guru
untuk dapat mengembangkan kompetensi. Tetapi
tidak mustahil menjadi hambatan bagi guru-guru yang
memiliki kompetensi rendah. Hasil sertifikasi di
antaranya dapat digunakan sebagai cara untuk
mementukan imbalan yang sesuai dengan prestasinya.
31
Yaitu berupa tunjangan profesi. Tunjangan profesi
merupakan konsekuensi yang menyertai kompetensi
guru.
b. Widiyaka, Netty Herawati, Martoyo, Evaluasi Program
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Sekolah Menengah
Pertama Negeri Di Dinas Pendidikan Kabupaten Kubu
Raya, Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
proses program sertifikasi guru Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan mengkaji secara mendalam
kendala-kendala yang dihadapi dalam proses program
sertifikasi guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
Dinas Pendidikan Kabupaten Kubu Raya. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan menunjukan program
sertifikasi guru Sekolah Menengah Pertama (SMP)
yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
Kubu Raya dari segi proses belum sepenuhnya
terlaksana sesuai dengan prosedur serta fasilitas,
sarana dan prasarana yang digunakan kurang
dimanfaatkan secara maksimal. Hasil penelitian
menunjukan bahwa tahapan pelaksanaan kebijakan
sertifikasi guru dalam jabatan pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Kabupaten Kubu Raya telah
dilakukan melalui tahap sosialisasi kepada guru-guru
dan peran implementor dalam pelaksanaan kebijakan
sertifikasi guru dalam jabatan pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP) di Kabupaten Kubu Raya adalah
sebagai pembina baik secara langsung maupun tidak
langsung telah dilaksanakan dalam rangka
memfasilitasi dan mendorong guru dalam mengikuti
sertifikasi guru dalam jabatan.
32
Dari dua penelitian di atas yang telah di lakukan
terdapat beberapa kesamaan yaitu kedua penelitian
tersebut fokus meneliti pada sertifikasi guru dan
membahas beberapa hambatan dan kendala dalam
sertifikasi guru. Perbedaan dua penelitian di atas adalah
fokus pada obyeknya, penelitian yang dilakukan Siti
Rukhayati fokus kepada obyek guru yang bersertifikasi
secara umum sedangkan penelitian yang telah dilakukan
widiyaka, Netty Herawati dan Martoyo fokus kepada
obyek guru sertifikasi pada jenjang Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Selanjutnya kesamaan penelitian ini
dengan penelitian di atas adalah sama-sama membahas
pada aspek sertifikasi guru dan yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan
diatas adalah penggunaan evaluasi dengan evaluasi
analisis GAP serta fokus pada obyek program sertifikasi
guru pada jenjang guru sekolah dasar negeri (SDN) di
tingkat kabupaten kemudian lokasi dari penelitian juga
ikut membedakan yaitu penelitian ini akan dilakukan di
Kabupaten Wonosobo.
2.12. Kerangka Berpikir
Sertifikasi guru merupakan pemenuhan
kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional.
Oleh karena itu, proses sertifikasi dipandang sebagai
bagian esensial dalam upaya memperoleh sertifikat
kompetensi sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Sertifikasi guru merupakan proses uji
kompetensi bagi calon atau guru yang ingin memperoleh
pengakuan dan atau meningkatkan kompetensi sesuai
profesi yang dipilihnya. Melalui program sertifikasi, dapat
33
dipilih guru-guru yang profesional dan kompeten karena
pemberian sertifikat pendidik melalui sistem seleksi PPG.
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai
program sertifikasi yang telah dijalankan pemerintah
khususnya pada Kabupaten Wonosobo, peneliti
menggunakan model analisis kesenjangan atau GAP
analysis yang terdiri dari 5 tahap yakni: indentifikasi,
penetuan standar, penyebaran kuesioner atau
wawancara, analisis data, dan follow up.
Top Related