5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Siklus Rankine (PLTU)
Dalam Termodinamika dikenal siklus Rankine yang merupakan gambaran
prinsip kerja dari siklus PLTU ideal. Ideal disini berarti tidak terdapat rugi-rugi
akibat perubahan energi kinetic dan energi potensial, serta gesekan diabaikan.
Skema siklus rankine dapat di tunjukkan padagambar berikut :
Gambar 2.1 Siklus Rankine Sederhana
Sumber : PLN Corporate University, 2015.
Penjelasan gambar 2.1. diatas, siklus rankine ideal terdiri dari 4 proses :
1 – 2 merupakan proses kompresi isentropik dengan pompa.
2 – 3 Penambahan panas dalam boiler pada P = konstan.
3 – 4 Ekspansi isentropik kedalam turbin.
4 – 1 Pelepasan panas didalam kondenser pada P = konstan.
Dengan memperhatikan gambar di atas, maka prinsip kerja dari PLTU
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Air masuk pompa pada kondisi 1 pada fase cair jenuh (saturated liquid) dan
dikompresi sampai tekanan operasi boiler. Temperatur air akan meningkat
selama kompresi isentropik yang disebabkan oleh terjadinya penurunan
6
volume spesifik air. Jarak vertikal antara 1 - 2 pada T-S diagram tersebut
dilebih-lebihkan supaya dapat dilihat dengan jelas.
b. Air memasuki boiler sebagai cairan terkompresi pada kondisi 2 dan akan
menjadi uap superheated pada kondisi 3. Dimana panas diberikan oleh boiler
ke air pada tekanankonstan (isobar). Boiler dan seluruh bagian yang
menghasilkan uap ini disebut sebagai steam generator.
c. Uap superheated pada kondisi 3 kemudian akan memasuki turbin untuk
diekspansi secara isentropik dan akan menghasilkan kerja untuk memutar shaft
yang terhubung dengan generator listrik sehingga dihasilkanlah listrik.
Tekanan dan temperatur uap akan turun selama proses ini menuju keadaan 4
dimana uap akan masuk kondenser dan biasanya sudah dalam fase campuran
jenuh (liquid–vapor mixture).
d. Uap yang masuk ke kondensor akan dikondensasikan pada P konstan didalam
kondenser dan akan meninggalkan kondenser sebagai cairan jenuh yang akan
masuk pompa kembali, begitu seterusnya.
2.1.1 Siklus Rankine Superheat
Gambar 2.2 Diagram T-s Siklus Rankine Dengan Superheater
Sumber : PLN Corporate University, 2015.
Untuk meningkatkan efisiensi siklus, maka ketel - ketel modern dilengkapi
dengan pemanas lanjut uap (Superheater) untuk menaikkan tempeartur uap yang
keluar dari ketel. Dengan cara ini maka kandungan energi panas dalam uap yang
akan masuk turbin menjadi lebih tinggi. Proses yang terjadi didalam superheater
7
sendiri adalah proses kenaikan temperatur melalui penambahan fraksi panas
superheat yang berlangsung secara Isobar. Adapun tampilan siklus Rankine
Superheat dapat dilihat gambar 2.2.
Dari gambar , terlihat bahwa unsur-unsur dalam siklus adalah sebagai
berikut :
Kalor Masuk (Qin) = (h4 – h3) + (h3 – h2) = (h4 – h2)
Kalor Keluar (Qout) = h5 – h1
Kerja Pompa (WP) = h2 – h1
Kerja Turbin (WT) = h4 – h5
Kerja Bersih (Wnet) = Qin – Qout = (h4 – h2) – (h5 – h1)
atau = WT – WP = (h4 – h5) – (h2 – h1)
Dengan demikian efisiensi Rankine dapat dihitung :
2.2 Proses Produksi Pada PLTU Tenayan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tenayan adalah pembangkit listrik
berbahan bakar batu bara sebagai bahan baku utamanya. Memanfaatkan air sungai
siak yang merupakan sungai terdalam di Indonesia. Air sungai siak diolah menjadi
uap untuk menggerakan turbin uap. PLTU Tenayan berlokasi di Provinsi Riau, Kota
Pekanbaru, Kecamatan Tenayan Raya, Kelurahan Industri Tenayan. PLTU ini
memiliki luas lebih kurang 40 Hektar dengan kapasitas 2 x 110 MW, dan menjadi
Pembangkit Listrik terbesar di Provinsi Riau. PLTU Tenayan menyumbang 31%
energi listrik di Provinsi Riau (penyangga kelistrikan di sumatera bagian tengah)
dan 4% di Pulau Sumatera.
8
Gambar 2.3 PLTU Tenayan 2 x 110 MW
Sumber : Plant Project PLTU Tenayan , 2013
Dalam proses produksi PLTU Tenayan terdapat 4 siklus utama, yaitu :
a. Siklus pengolahan air baku.
b. Siklus bahan bakar minyak dan batubara.
c. Siklus udara bakar dan udara buang.
d. Siklus air dan uap.
2.2.1 Siklus Pengolahan Air Baku
Di PLTU Tenayan terdapat 2 sistem pengolahan air yaitu Pretreatment
Plant dan Water Treatment Plant atau disebut WTP yang masing masing fungsinya
adalah :
1. Pretreatment Plant : menghasilkan air untuk bahan baku WTP, menghasilkan
air untuk fire fighting (sistem pemadam kebakaran) dan air domestik untuk
kebersihan
2. Water treatment plant : Menghasilkan air yang berkualitas untuk bahan baku
Boiler.
9
Gambar 2.4 Siklus Pengelolaan Air Baku
Sumber : P&ID PLTU Tenayan , 2016
Pada gambar 2.4 dijelaskan tentang siklus pengolahan air sungai menjadi
air industrial atau raw water . Sumber air diambil dari sungai Siak kemudian
dipompakan oleh intake water pump menuju mechanical clarifier yang berfungsi
untuk memisahkan kandungan lumpur pada air. Di mechanical clarifier ini diinjeksi
oleh bahan kimia berupa PAC (Poly Alluminium Chloride) dan PAM
(Polyacrylamide) untuk membentuk flok sehingga mudah untuk dipisahkan oleh
air. Setelah flok berhasil dipisahkan, air yang bersih menuju ke grafity tank yang
bertugas untuk menyaring ulang air tersebut menggunakan berat jenis atau dengan
sistem natural.
Air keluar dari garafity tank system akan menuju ke industrial pool dan
juga bisa digunakan untuk pengisian absorbing well sebagai penambah pendinginan
untuk condenser. Setelah semua proses selesai air yang ditampung di industrial
pool yang kemudian akan digunakan untuk bahan baku pembuatan air murni atau
make up water boiler. Di dalam industrial pool juga digunakan untuk bahan baku
fire fighting system.
10
Gambar 2.5 Siklus Water Treatment Plant
Sumber : DCS PLTU Tenayan , 2016
Air yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan make up water
dipompakan oleh clean water pump menuju cation exchanger kemudian menuju
anion exchanger dan terakhir menuju mixed bed yang berupa campuran resin anion
dan cation. Dalam proses ini air dipisahkan dari kandungan mineral atau disebut
demineralized sehingga menjadi air murni dengan conductivity <1 µs/cm yang
ditampung di demin water tank.
2.2.2 Siklus Bahan Bakar Minyak dan Batubara
Untuk memudahkan penjelasan maka siklus bahan bakar dibagi dua jalur,
yaitu jalur bahan bakar minyak (solar) dan jalur batubara. Jalur bahan bakar cair
(solar) hanya digunakan pada saat start awal PLTU yang kemudian untuk sistem
pembakaran diambil alih oleh batubara sebagai bahan bakarnya. Transfer minyak
dimulai dari pengiriman bahan bakar solar melalui jalur darat oleh pihak Pertamina.
Solar kemudian ditampung di HSD storage tank. Ketika digunakan solar akan
dipompakan oleh forwarding pump langsung menuju burner oil. Burner oil adalah
alat yang berfungsi sebagai nosel untuk menyemprotkan bahan bakar solar di ruang
bakar boiler. Burner oil hanya bekerja pada saat start awal sampai beban mencapai
11
30% load, atau juga ketika kinerja boiler tiba- tiba turun 30% load. Selain itu
(ketika beban normal 100% load) yang bekerja adalah burner batubara.
a. Jalur Bahan Bakar Minyak (High Speed Diesel)
Gambar 2.6 Jalur Bahan Bakar Minyak
Sumber : DCS PLTU Tenayan , 2016
Alat- alat yang dilalui oleh jalur bahan bakar cair ini adalah :
1. Fuel Oil Tank (HSD Storage Tank)
Fuel oil tank adalah bak penampungan bahan bakar cair (solar) dari truk
pengirim bahan bakar.
2. Pompa Bahan Bakar( Forwarding Pump )
Pompa bahan bakar digunakan untuk memompakan bahan bakar solar dari fuel
tank menuju burner.
3. Burner Oil
Burner oil adalah alat yang berfungsi sebagai nosel untuk menyemprotkan
bahan bakar solar di ruang bakar boiler. Burner oil terdiri dari 2 layer yang
disebut underbed burner dan onbed burner, dan pada masing- masing layer
terdapat 4 nozel / burner. Jadi jumlah totalnya ada 8 buah burner oil tiap unit.
12
b. Jalur Bahan Bakar Batubara
Gambar 2.7 Jalur Bahan Bakar Batubara
Sumber : DCS PLTU Tenayan , 2016
Batubara dari kapal tongkang dikeruk menggunakan ship unloader dengan
sistem chain bucket kemudian ditransfer menuju chute (tempat untuk memasukkan
batubara ke conveyor) untuk selanjutnya dibawa oleh belt conveyor C01 menuju
transfer tower 1. Dari transfer tower 1 batubara dibawa kembali oleh conveyor C5
menuju Stacker Reclaimer yang berfungsi untuk menata batubara di coal yard.
Sistem loading batubara adalah menyalurkan batubara dari coalyard
menuju coal bunker. Batubara dari coalyard bisa dikeruk menggunakan stacker
reclaimer ataupun bisa juga menggunakan jalur underground hooper di C06.
Setelah batubara sampai di transfer tower 1 batubara disalurkan melalui C02
menuju ke Coal Crusher untuk dihancurkan sesuai ukuran yang diijinkan masuk ke
boiler.
Batubara halus disalurkan melalui C03 menuju C04 yang akan dibagi
menjadi 4 triper untuk 4 coal feeder.
13
2.2.3 Siklus Udara Bakar dan Gas Buang
a. Siklus Udara Bakar
Gambar 2.8 Siklus Udara Pembakaran
Sumber : DCS PLTU Tenayan , 2016
Udara berfungsi untuk proses pembakaran bahan bakar sehingga disebut
udara pembakaran. Terdapat 2 buah Fan yang digunakan untuk udara pembakaran
yaitu Primary Air Fan (PAF) Dan Secondary Air Fan (SAF). Udara berasal dari
atmosfir dihisap oleh PA fan dan dialirkan ke air heater. Udara panas dari air heater
kemudian masuk kedalam windbox dan selanjutnya didistribusikan ke nozzle
dibawah boiler yang berguna sebagai bubbling bed material atau pasir yang
berguna sebagai media penukar panas.
Sedangkan SA Fan berguna sebagai udara pembakaran yang melalui air
heater langsung menuju ke boiler. SAF sangat berpengaruh terhadap temperature
furnace
14
b. Siklus Gas Buang
Gambar 2.9 Siklus Gas Buang
Sumber : DCS PLTU Tenayan , 2016
Gas panas hasil pembakaran atau disebut gas buang (flue gas) berfungsi
sebagai sumber energi panas. Gas panas dari ruang bakar dialirkan ke pipa-pipa
superheater I ke economizer, dan ke air heater. Dari air heater gas masuk ke alat
penangkap abu (ESP). dan dari ESP gas dihisap oleh ID fan untuk selanjutnya
dibuang ke atmosfir melalui cerobong.
Peralatan yag termasuk dalam sistem gas buang meliputi Air heater (AH),
Electrostatic Precipitator (ESP), dan induced draft fan (IDF).
Air heater berfungsi untuk memanaskan udara pembakaran dengan panas
gas buang.
Electrostatic Precipitator (ESP) berfungsi untuk menangkap abu dan debu
yang terbawa dalam gas sebelum dibuang ke atmosfir.
Induced Draft Fan (IDF) berfungsi untuk menghisap gas dan membuang
ke atmosfir melalui cerobong. IDF juga berfungsi mengontrol tekanan ruang bakar
agar selalu pada kondisi vacuum.
15
2.2.4 Siklus Air dan Uap
Gambar 2.10 Siklus Air dan Uap
Sumber : DCS PLTU Tenayan , 2016
Siklus air di PLTU dimulai dari make up tank yang diisi oleh air murni
dari demin water tank. Dari make up tank ini dipompakan oleh CTP (Condensate
Transfer Pump) sebagai air penambah di hotwell. Hotwell adalah tempat
penampungan air yang sudah digunakan untuk memutar Turbin kemudian
dipompakan oleh Condensate Pump menuju LP heater (Low Pressure Heater)
untuk pemanasan awal. Media pemanasnya adalah uap yang diambil dari Low
Pressure Turbine.
Prinsip kerjanya adalah air pengisi dialirkan di dalam pipa, dan uap panas
mengalir di luar pipa. Setelah dipanasi di LP Heater air pengisi kemudian dialirkan
menuju deaerator untuk proses penghilangan unsur oksigen yang masih terkandung
dalam air pengisi. Didalam deaerator terjadi kontak langsung antara air pengisi dan
uap oleh karena itu disebut open feed water. Uap akan memisahkan gas dari air
pengisi untuk kemudian gas- gas tersebut bergerak dengan cepat ke bagian atas
daearator dan selanjutnya dibuang ke atmosfir. Uap yang digunakan berasal dari
ekstraksi uap HP Turbine. Setelah dari daearator air langsung dipompakan oleh
boiler feed pump menuju ekonomiser. Tapi sebelum ke economizer air terlebih
dahulu dilewatkan HP heater untuk memanaskan air pengisi. Prinsip kerja dari HP
heater sama dengan LP heater, bedanya hanya pada tekanan dan temperaturnya. Di
HP heater tekanan dan temperaturnya lebih tinggi dibandingkan tekanan dan
16
temperatur di LP heater. Setelah melewati HP heater air kemudian masuk ke
economizer untuk dipanaskan lagi sebelum masuk ke steam drum.
Steam drum adalah alat yang digunakan untuk menampung sekaligus
memisahkan air pengisi boiler yang masih berbentuk air dengan yang sudah
berbentuk uap basah. Prinsip kerjanya secara alami, maksudnya adalah air yang
sudah menjadi uap akan berada di atas, dan yang masih berwujud berwujud air akan
berada di bagian bawah steam drum. Uap akan langsung dialirkan ke superheater,
sementara air akan turun melewati water wall untuk diuapkan dan kemudian
dialirkan ke superheater. Di superheater uap basah dari steam drum dan water wall
akan dipanaskan lagi menjadi uap panas lanjut. Uap panas lanjut ini kemudian
dialirkan ke HP turbine untuk memutar sudu- sudu HP turbine.Setelah digunakan
di HP turbine uap akan mengalami ekspansi (tekanan dan temperatur uap turun).
Uap tidak dipanaskan lagi, tapi langsung dialirkan ke LP turbine untuk memutar
sudu- sudu LP turbine. Terakhir uap yang keluar dari LP turbine kemudian
dialirkan di kondensor untuk di kondensasikan menjadi air pengisi. Proses
kondensasi uap menggunakan media air sungai setelah diproses di Pretreatment
system sebagai pendinginnya yang dipompakan oleh CWP (Circulating Water
Pump). Air kondensat ini kemudian digunakan lagi sebagai air pengisi boiler
dengan proses yang sama. Begitulah siklus air dan uap yang terjadi di PT. PJB UBJ
O & M PLTU Tenayan.
17
Gambar 2.11 Siklus Produksi PLTU Tenayan
Sumber : P&ID PLTU Tenayan, 2017
18
2.3 Sistem Boiler
Boiler merupakan peralatan utama dari sebuah PLTU yang berfungsi
untuk memanaskan air menjadi uap dengan tekanan dan temperatur tertentu,
melalui proses pembakaran bahan bakar di ruang bakar (furnace ).
Pada Boiler CFB (Circulating Fluidized Bed) terdiri dari 3 perlatan utama
yaitu furnace , cyclone dan back pass. Furnace berfungsi sebagai tempat
terjadinya pembakaran bahan bakar. Komponen yang terdapat di furnace yaitu
wall tube, panel evaporator dan panel super heater.
Cyclone berfungsi untuk memisahkan batubara yang belum terbakar
dengan abu (ash) sisa pembakaran dan mengembalikannya ke furnace . Komponen
utama cyclone yaitu wall tube dan sealpot.
Backpass berfungsi sebagai ruang pemanfaatan kalor yang terdapat dalam
flue gas. Komponen utama di backpass adalah final superheater, superheater,
economizer dan air preheater.
Gambar 2.12 Konfigurasi CFB Boiler
Sumber : Greenfield Research Incorporated, 2017.
19
2.4 Sistem Fluidized-Bed Combustion
Pembakaran dengan system Fluidized Bed Combustion (FBC) memiliki
kelebihan dan keuntungan bila dibanding sistem pembakaran yang konvensional,
diantaranya adalah proses pembakaran yang sempurna dan berkurangnya emisi
polutan yang merugikan seperti SOx dan NOx. Sistem FBC adalah sistem
pembakaran yang tertutup, sehingga seluruh batubara yang masuk ke dalam dapur
api akan terbakar sempurna, sebelum habis terbakar batubara akan terperangkap di
dalam pasir silica yang bergerak, dengan demikian efficiency boiler menjadi tinggi.
Batu bara yang digunakan dalam sistem FBC sangat flexible, dapat menggunakan
batubara rendah kalori, dengan ukuran 0 ~ 15 mm. Spesifikasi Batu bara tersebut
adalah yang paling murah dan paling banyak tersedia di Indonesia.
Bila udara atau gas telah terdistribusi secara merata, maka akan dilewatkan
keatas melalui bed partikel padat seperti pasir. Begitu kecepatan udaranya
berangsur-angsur naik, terbentuklah suatu keadaan dimana partikel tersuspensi
dalam aliran udara sehingga bed tersebut terfluidisasikan. Dengan kenaikan
kecepatan udara selanjutnya, maka terjadi pembentukan gelembung, turbulensi
yang kuat, pencampuran cepat dan pembentukan permukaan bed yang rapat. Bed
partikel padat menampilkan sifat cairan mendidih dan terlihat seperti fluida yang
disebut bubbling fluidized bed.
Jika partikel pasir dalam keadaan terfluidisasikan dipanaskan hingga ke
suhu nyala batubara, dan batubara diinjeksikan secara terus menerus ke bed, maka
batubara akan terbakar dengan cepat dan bed mencapai suhu yang seragam.
Pembakaran dengan fluidized bed (FBC) berlangsung pada suhu sekitar 840°C
hingga 950°C. Karena suhu ini jauh berada dibawah suhu fusi abu, maka pelelehan
abu dan permasalahan yang terkait didalamnya dapat dihindari. Suhu pembakaran
yang lebih rendah tercapai disebabkan tingginya koefisien perpindahan panas
sebagai akibat pencampuran cepat dalam fluidized bed dan ekstraksi panas yang
efektif dari bed melalui perpindahan panas pada pipa dan dinding bed. Kecepatan
gas dicapai diantara kecepatan fluidisasi minimum dan kecepatan masuk partikel.
Hal ini menjamin operasi bed yang stabil dan menghindari terbawanya partikel
dalam jalur gas.
20
2.5. Circulating Fluidized-Bed (CFB) Combustion
Dalam sistem sirkulasi, parameter bed dijaga untuk membentuk padatan
melayang dari bed. Padatan diangkat pada fase yang relatif terlarut dalam
pengangkat padatan dan sebuah down-comer dengan sebuah cyclone merupakan
aliran sirkulasi padatan. Tidak terdapat pipa pembangkit steam yang terletak dalam
bed. Pembangkitan dan pemanasan berlebih steam berlangsung di bagian konveksi,
dinding air, pada keluaran pengangkat/riser. Boiler CFB pada umumnya lebih
ekonomis daripada boiler lainnya. Untuk unit yang besar, semakin tinggi
karakteristik tungku boiler CFBC akan memberikan penggunaan ruang yang
semakin baik, partikel bahan bakar lebih besar, waktu tinggal bahan penyerap untuk
pembakaran yang efisien dan penangkapan SO2 yang semakin besar pula, dan
semakin mudah penerapan teknik pembakaran untuk pengendalian NOx daripada
pembangkit steam lainnya.
2.6. Material Pendukung CFB
Refractory bisa didefinisikan sebagai material non logam yang dapat tahan
pada temperatur tinggi. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumya, refractory
merupakan jenis ceramic materials. Karena merupakan ikatan ionic dan covalent,
ceramic mempunyai sifat yang keras namun mudah patah (brittle). Sehingga tanpa
dikombinasi dengan material lain, sangat jarang digunakan untuk material
struktural. Keuntungan yang utama adalah ketahanan terhadap temperatur tinggi.
Pada dasarnya refractory digunakan dalam konstruksi CFB mempunyai
dua fungsi yaitu sebagai (1) Insulasi untuk mencegah komponen tertentu
overheated dan mencegah kehilangan energy dengan perpindahan panas dari proses
pembakaran. (2) Berfungsi mencegah terjadinya erosi/abrasi/korosi pada
komponen lain seperti tubing wall tubes. Refractory digunakan di beberapa bagian
CFB sebagaimana terlihat pada Gambar 2.13. Gambar 2.14. menunjukkan area
tertentu dalam CFB boiler yang memerlukan refractory dengan kemampuan tahan
terhadap erosi antara lain di furnace, cyclone, dan sealpot. Area ini merupakan area
dengan kecepatan relative lebih tinggi dari area yang lain.
21
Gambar 2.13 Penggunaan Refractory Pada CFB Boiler
Sumber : P. Basu, S.A. Fraser, Circulating Fluidized Bed Boilers, Springer, 1991.
Gambar 2.14 Beberapa Area Yang Memerlukan Erosion Resistance Refractory.
Sumber : P. Basu, S.A. Fraser, Circulating Fluidized Bed Boilers, Springer, 1991.
2.7. Jenis dan Material Refractory
2.7.1 Definisi Refractory
Refractory adalah suatu material bukan logam, digunakan pada suatu
konstruksi yang beroperasi pada temperatur tinggi untuk waktu yang lama, seperti
konstruksi dapur. Meskipun fungsi utamanya adalah tahan terhadap temperatur
tinggi, namun dalam aplikasinya material refractory ini harus menekan hilangnya
22
panas dari komponen (heat loss), tahan terhadap abrasi, tekanan, serangan kimiawi,
serta perubahan-temperatur yang sangat cepat, sehingga dapat menahan kestabilan
temperatur dari equipment.
2.7.2 Sifat Sifat Refractory
Seperti pada umumnya material industri terutama yang bekerja pada
temperatur tinggi, perubahan cepat pada temperatur, serta bersinggungan dengan
fenomena mekanik, maka pada material tersebut dituntut sifat-sifat yang sesuai :
1. Cold Crushing Strength – CCS.
Merupakan besarnya beban yang dibutuhkan untuk menghancurkan
material refractory per satuan luas. Satuan yang digunakan : kg/cm2 ; N/mm2; MPa,
Psi. Sifat CCS ini dapat diketahui dengan melakukan pengujian berdasarkan ASTM
C-133; 1402-6. Pada umumnya semakin tinggi nilai CSS suatu material refractory,
maka akan semakin tinggi pula ketahanannya ter hadap abrasi.
2. Modulus of Rupture – MOR
Menunjukkan kemampuan suatu material refractory terhadap beban
bending per satu satuan luas. Satuannya adalah : kg/cm2 ; N/mm2; MPa, Psi. Salah
satu metoda pengujiannya : ASTM C-133, 1402-6. Secara general semakin besar
MOR, material refractory semakin tahan terhadap thermal shock dan crack.
3. Bulk Density
Menyatakan perbandingan antara berat (massa) dan volume material, dan
dinyatakan dalam satuan pound per cubic feet [lb/ft3], atau kilogram per meter
kubik [kg/m3], atau gram per centimeter kubik [g/cm3]. Berat material yang
digunakan adalah berat material dalam kondisi kering, setelah di drying pada
temperatur 110 OC dan 815 OC. Standar pengujiannya dan penyusutannya ASTM C-
134 dan EN 1402-6. Untuk jenis castable padat, semakin tinggi density nya maka
kekuatan mekaniknya semakin tinggi (CCS dan MOR), demikian juga ketahanan
terhadap abrasi serta volume stability meningkat. Untuk insulating castable
material, semakin rendah density nya semakin bagus (thermal conductivity semakin
rendah).
23
4. Apparent Porosity
Merupakan banyaknya pori terbuka yang dapat dilewati oleh cairan
(liquid), ditunjukkan dengan besarnya fraksi volume yang ditempati, satuan %.
Salah satu pengujian untuk pengetahui sifat ini ada di C20, ASTM C830.
5. Abrassive Resistance.
Abrasi terjadi karena beberapa hal tergantung pada kondisi saat operasi
dimana material refractory berada seperti akibat tumbukan material berat yang
dituangkan dalam dapur, abrasi akibat materi metalik dan non metalik, atau juga
karena hantaman langsung debu abrasif dan aliran gas abu berkecepatan tinggi.
Untuk menahan beban mekanik tersebut biasanya brick refractory merupakan
pilihan yang tepat karena kuat dan daya ikat yang bagus. Semakin kuat brick,
semakin tinggi ketahanan abrasinya. Dalam hal ini nilai MOR atau CCS merupakan
indikasi ketahanan abrasinya. Uji abrasi ditentukan dengan mengetahui ketahanan
material terhadap erosi jika dikenai hantaman karbida silikon halus pada temperatur
kamar. Prosedur pengujian ditunjukkan pada ASTM C704.
6. Thermal Expansion
Jika selama pemanasan hingga dibawah fired temperatur nya dia tidak
terjadi perubahan permanen, fired refractories akan kembali ke dimensi semula
pada saat pendinginan. Sifat ini disebut “reversible thermal expansion” Gambar
2.15 dan Gambar 2.16 menunjukkan nilai reversible thermal ekspansion fired brick.
Gambar 2.15 Reversibel Thermal Expansion Brick
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
24
Gambar 2.16 Reversibel Thermal Expansion Brick
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
Lain halnya perilaku thermal expansion material unfired refractories yang
lebih kompleks dibanding material fired refractories. Selama awal pemanasan,
dapat terjadi ekpansi atau kontraksi pada material unfired refractories sebagai
akibat dari perubahan struktur pada ikatan, perubahan minerologi, dan pengaruh
sintering. Karateristik thermal expansion pada sejumlah cement-bonded
refractories selama pemanasan awal ditunjukkan pada Gambar 2.17. Terjadi
penyusutan (shringkage) pada kisaran temperatur antara 400oF dan 600oF (205oC
dan 315oC), yang berkaitan dengan penguraian (decomposition) semen. Besarnya
penyusutan yang terjadi sebanding dengan jumlah semen yang digunakan.
Pertambahan penyusutan terjadi pada temperatur diatas temperatur 1800oF
hingga 2000oF (980oC hingga 1090oC) berkaitan dengan effect sintering. Thermal
expansion ditentukan oleh karakteristik aggregate. Penyusutan yang terjadi selama
pemanasan awal pada temperatur 2600oF (1430oC) merupakan gejala alami dan
biasanya sebesar 0,2 % hingga 1,5 %. Untuk thermal expansion plastic refractories
ditunjukkan pada Gambar 2.18.
25
Gambar 2.17 Reversibel Thermal Expansion Berbagai Castable Refractories
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
Gambar 2.18 Reversibel Thermal Expansion Berbagai Plastic Refractories
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
7. Permanen Linear Change-PLC.
Menyatakan perubahan dimensi material refractory akibat penyusutan
(karena pemanasan dan pendinginan) pada pemanasan hingga temperatur tertentu,
dinyatakan dalam % pertambahan/pengurangan panjang terhadap panjang awal.
Besarnya PLC diketahui melalui pengujian dengan standar ASTM C-113; EN 1402-
6. Pada umumnya pemanasan 100oC (green to dried) dan dried to fired (temperatur
815oC, 1000oC, 1200oC, 1300oC, ...). Yang dimaksud green pada umumnya
ditujukan untuk lining yang baru saja selesai dipasang (sebelum proses dry out).
26
8. Thermal Conductivity – K value
Tabel 2. 1 K-Values for Refractory Brick at Various Mean
Temperatur, Btu.in/ft3.hr.oF
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
Sifat yang menunjukkan jumlah panas yang dihantarkan oleh material
refractory dari permukaan panas menuju permukaan dingin tiap derajat perubahan
temperatur per satu satuan Panjang. Satuannya : BTU/ft3.hr.F. Pengujian unuk
mengetahui sifat ini dapat dilakukan dengan menggunakan standar ASTM C201/C
417, EN 993-14. Tabel 2.1. menunjukkan harga K refractories pada berbagai
temperatur.
9. Creep dan Thermal Expansion selama pembebanan (ASTM C832)
Saat service, material refractory harus tahan beban, minimal adalah
besarnya beban berat tekanan yang terjadi tergantung pada ketinggian lining dan
berat jenis material (Gambar 2.19.)
27
Gambar 2.19 Creep Measurement Of Various High-Alumina Refractories Under 25
Psi Load At 2600 oF For 0 – 100 Hrs.
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
10. Pyrometric Cone Equivalent – PCE
Merupakan kecenderungan suatu material refractory (komposisi alumina-
silica dan fireclay) untuk melunak (softening) pada temperatur tinggi. Prosedur
pengujiannya ASTM C-24. Material dasar yang akan diuji dicetak menjadi bentuk
kerucut (cone), dipasang pada plak keramik, terdiri dari beberapa seri standar
pyrometric cone (bernomor) yang memiliki batas temperatur softening yang
berbeda. Selanjutnya plak dipanaskan dengan laju tetap hingga test spesimen
berbentuk cone tersebut melunak sampai ujungnya melengkung. Nomor standar
cone yang ujungnya melengkung hingga menyentuh plak merupakan besarnya nilai
PCE dari spesimen cone yang diuji.
11. Maximum Servive Temperatur - MST
Pada umunya digunakan pada monolithic refractory.
12. Chemical composition
Merupakan persentase mineral penyusun. Standar pengujian : ASTM 1172/
ASTM E 1184, EN ISO 12677. Untuk high alumina refractory, semakin rendah
kandungan mineral Fe2O3 nya, maka material tersebut semakin bagus.
Secara umum material refractory harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
28
o Tahan terhadap temperatur tinggi.
o Daya isolator tinggi.
o Tahan terhadap perubahan suhu secara mendadak (thermal shcock resistance).
o Volume stability yang bagus.
o Tahan beban pada temperatur tertentu.
o Dapat menghemat panas.
o Non-polluting to final product.
o Tahan terhadap serangan abrasi dan korosi.
o Tahan terhadap gas panas, glass, logam cair (good spalling resistance).
2.7.3 Klasifikasi Refractory
Material refractory berkembang untuk memenuhi sifat-sifat khusus yang
dibutuhkan pada saat operasi pada suatu proses manufacture. Sifat-sifat khusus
pada kelompok kelompok refractory tersebut merupakan fungsi berdasarkan
bahan-bahan dasar dan metoda/cara yang digunakan untuk membuat refractory
tersebut, seperti diungkapkan dalam skema Gambar 2.20. Memperbaiki material
refractory untuk meningkatkan efisiensi energi.
Gambar 2.20 Memperbaiki Material Refractory Untuk Meningkatkan Efisiensi.
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
Klasifikasi refractory dapat dilakukan berdasarkan temperatur
operasinya, sifat kimia material dasar pembentuknya, dan berdasarkan bentuknya.
29
1. Klasifikasi refractory berdasarkan temperatur
Dalam proses manufaktur, refractories digunakan pada proses pemanasan
dimana temperatur rata-ratanya lebih dari 1000 oF, bahkan bisa mencapai 3000
oF. Dari tuntutan tersebut, berdasarkan temperatur refractories dibedakan menjadi
3 kelompok :
a. Normal Refractory, jenis tipikalnya adalah fireclay, dimana temperatur
aplikasinya hingga 1780 oF. Contoh pemakaiannya pada proses peleburan
aluminium.
b. High refractory, type ini adalah cromite-based refractories dimana temperatur
aplikasinya dari 1780 oF hingga 2000
oF, seperti pada proses peleburan
tembaga.
c. Super sonic refractory, digunakan pada temperatur melebihi 2000 oF, seperti
pada proese peleburan besi.
2. Klasifikasi Refractory berdasarkan sifat kimiawi
Berdasarkan komposisi kimia penyusunnya, refractory dibedakan dalam
empat kelompok : Basic refractories, Acid refractories, Neutral Refractories, dan
Special Refractories
Basic Refractories
Tabel 2.2 Bahan Refractory Bersifat Basa
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
30
Material refractory ini tersusun terutama oleh dead burned magnesite or
magnesia, seringkali ditambahakan mineral yang lain sebagai, seperti bijih krom,
karbon, spinel (mineral MgO.Al2O3) (Tabel 2.2.) paduan untuk untuk
memperoleh sifat tertentu dalam aplikasinya. Seperti halnya namanya, sifat utama
dari basic refractories ini adalah basa, tahan terhadap serangan kimiawi yang
bersifat basa.
Acid Refractories
Sesuai namanya, kelompok refractory ini tahan terhadap serangan (debu,
gas, maupun cairan) yang bersifat asam. Bahan dasar acid refractory ditunjukkan
pada Tabel 2.3. Contoh beberapa refractories yang bersifat asam : fireclay
refractories, silica refractories.
Silica Refractories
Beberapa sifat-sifat penting dari silica refractory adalah temperatur leleh
yang cukup tinggi yaitu antara 3080 oF (1695
oC) dan 3110
oF (1710
oC),
ketahanan terhadap tekanan 25-50 lb/inch2, tahan terhadap asam, volumenya
konstan hingga temperatur diatas 1200 oF (650
oC) dan bebas thermal spalling di
atas temperatur 1200 oF (650
oC). Pada temperatur di bawah 1200
oF (650
oC)
silica brick kurang memiliki ketahan terhadap thermal shock. Pada temperatur
tinggi dan udara reduktor silica refractory tidak tahan terhadap serangan kimia
basa dan oksida besi. Keunggulan sifat silica brick adalah tidak melunak saat
dikenai beban yang tinggi bahkan pada temperatur mendekati temperatur lelehnya.
Fireclay Refractories
Refractory jenis ini pada prinsipnya tersusun atas Hydrated aluminium
silicates (Al2O3.2SiO2.2H2O) dengan sedikit mineral yang lain. Komposisi dari
aluminium silicate adalah 39,5% alumina, 46,5% silica dan 14% air, sejumlah
unsur lain terkandung didalamnya seperti Fe, Ca, Mg, Ti, Na, K, Li, dan sejumlah
kecil silica bebas. Kaolinite merupakan type yang paling dikenal. Pada temperatur
tinggi, air yang terkandung dalam refractory ini akan menguap, sehingga secara
teoritis alumina silicate mengandung 45,9% alumina dan 54,1% silica. Beberapa
type penting dari jenis refractory ini adalah flint clay dan semi-flint clay, plastic
31
clay dan semi plastic clay, dan kaolin.
Tabel 2.3 Bahan Dasar Refractory Yang Bersifat Asam.
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
Neutral Refractories
Material refractory yang tidak bersifat asam maupun basa, atau sebaliknya
material ini dapat bereaksi dengan asam, dan dapat bereaksi dengan basa pada
kondisi yang berbeda. Contoh umum refractory kelompok ini adalah high alumina
refractories.
High Alumina refractories
Refractories jenis ini tersusun oleh mineral alumina dengan jumlah lebih
besar atau sama dengan 47,5 %. Hal ini untuk membedakannya dari refractory
lainnya, seperti clay, yang juga mengandung alumina, namun lebih kecil dari
47,5 %. Pada umumnya high alumina refractories ini diklasifikasikan lagi
(menurut ASTM) pada kelompok 50 %, 60 %, 70 % dan 80 %. Berat jenis alumina
3,6 gr/cm3. Creep atau load resistance nya tergantung pada titik leburnya, yang
berarti tergantung pada prosentase kandungan aluminanya. Terdapat beberapa
kelompok spesial produk high alumina refractories yang penting, yaitu:
Mullite brick, terutama mengandung fasa mineral mullite (3Al2O3.2SiO2)
32
yang tersusun oleh 71,8 % berat Al2O3 dan 28,2 % SiO2.
Chemically-bonded brick, biasanya phosphat-bonded brick dimana kandungan
alumina antara 75 % hingga 85 %. Sementara itu aluminum orthophospat bond
(AlPO4) dapat dibentuk pada temperatur relatif rendah.
Alumina-chrome brick, merupakan tipikal high alumina refractory yang
memiliki kemurnian tinggi, tersusun oleh alumina dan oksida krom (Cr2O3). Pada
temperatur tinggi alumia dan chromia membentuk suatu larutan padat (solid
solution) yang meningkatkan kualitas refractory.
Alumina-carbon brick-high alumina brick (biasanya diikat dengan
menggunakan resin), mengandung karbon diantaranya grafit.
Special refractories
Karena tuntutan, beberapa proses industri membutuhkan satu atau dua sifat
yang melebihi dari sifat yang dimiliki oleh material refractory pada umumnya.
carbon dan grafit, karbida silika (silicon carbide), fused silica, fued cast, zircon
dan zirconia, serta insulating brick adalah beberapa special refractories yang
memiliki sifat ektra ordinary untuk aplikasi khusus.
Insulating bricks
Tersusun oleh berbagai oksida, pada umumnya fireclay atau silica. Karakter
unggulannya yang melebihi refractory lain adalah ringan (density kecil) dan
konduktivitas panas rendah sebagai akibat dari derajat-porositasnya yang tinggi
dan kapasitas panas yang lebih rendah dari refractory lain.
Insulating bricks dapat di cast atau di pres kering (dry pressed).
ASTM mengelompokkan fireclay dan high alumina insulating ke dalam urutan
nomor 16, 20, 23, 26, 28, 30, dan 33. Jika angka angka tersebut dikalikan 100 akan
merupakan besarnya temperatur nominal service. Tabel 2.4 menunjukkan beberapa
material refractory untuk isolasi berserta sifat-sifat fisiknya.
Emissivity merupakan salah satu sifat penting pada insulating material.
Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyerap panas dan memancarkannya.
Sifat emissivity ini merupakan sifat inherent dari material refractory dan tidak
berubah, namun sifat ini dipengaruhi oleh temperatur material tersebut (Gambar
2.21).
33
Tabel 2.4 Physical Properties of Insulating Materials
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
3. Klasifikasi Refractory berdasarkan bentuknya
Berdasarkan bentuknya refractory diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:
a) Shaped refractory : brick, refractory yang pada umumnya berbentuk batu bata
b) Unshaped refractory : refractory yang memiliki bentuk setengah jadi berupa
butir butir halus dengan ukuran tertentu (seperti pasir). Kelompok ini
dibedakan lagi menurut sifat unggulannya atau metoda
pemasangannya/instalasinya meliputi mortar, plastic, gunning, ramming, dan
castable.
c) Bentuk spesial, bentuk khusus sesuai tujuan tertentu, misalnya cassete
refractory, shroud.
Gambar 2.21 Emisivitas Material Refractory Pada Temperatur Yang Berbeda.
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
34
Diagram Fasa System SiO2-Al2O3
Material campuran dari beberapa oksida dapat mencair (leleh) pada
kisaran temperatur tertentu. Temperatur leleh material refractory jenis terebut
tergantung pada karakter masing- masing material penyusun dan komposisi
kimianya. Range temperatur leleh campuran oksida serta perubahan fasa yang
dialami dituangkan dalam diagram fasa ekuilibrium. Gambar 2.22. menunjukkan
diagram ekuilibrium system material alumina-silica. Dengan memanfaatkan
diagram tersebut dapat menentukan perilaku refractories pada temperatur tinggi.
Perhatian khusus supaya diberikan jika kondisi service memungkinkan bagi silica
untuk menguap, yaitu pada udara reduktor (reducing atmosphere) atau pada
temperatur sekitar 3270 oF (1800
oC) atau di atasnya. Interpretasi reaksi dan
aplikasi diagram system tersebut harus lebih teliti terutama untuk komposisi kimia
yang mengandung alumina lebih dari 55 %.
Gambar 2.22 Diagram Fasa Ekuilibrium System Al2O3-SiO2
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
Temperatur leleh silica adalah 3133 oF (1723
oC) dengan bertambahnya
alumina pada campuran silica-alumina akhir temperatur lelehnya turun hingga
2903 oF (1595
oC) tepat pada komposisi 5,5 % alumina. Titik ini diesbut titik
eutetik, dan komposisi tersebut (campuran 5,5 % alumina dan 94,5 % silica)
35
merupakan material campuran dengan titik leleh terendah. Mullite merupakan
kristal hasil reaksi antara alumina dan silica yang memiliki formula kimia
3Al2O3.2SiO2 (komposisi 71,8 alumina dan 28,2 % silica). Temperatur leleh
mullite adalah 3362 oF (1850
oC).
2.8. Konstruksi Refractory
2.8.1 Berbagai Bentuk Anchor
Dalam proses pembuatan atau pemasangan pada komponen boiler, selain
refractory dibutuhkan material lain yaitu ankur (anchor) yang berfungsi mengikat
agar susunan refractory kuat dan solid. Pemilihan bentuk dan pemakaian anchor
harus memperhatikan refractory yang digunakan, teknik instalasi (gunite, cast,
rammed), konfigurasi lining (single, dual, multiple, etc), temperatur operasi dan
interface, geometri dari komponen boiler dimana refractory dipasang, serta
sambungan dan penetrasi. Pada dasarnya terdapat 3 system ankur yaitu (Gambar
2.23.)
Gambar 2.23 Berbagai Bentuk Ankur (Anchor)
Sumber : Harbison-Walker, Handbook of Refractory Practice, 2005.
1. Wall support system-castings and fabricated stainless steel.
2. Ankur metalik (paduan), terbuat dari besi tuang (tahan hingga 1000 oF)
atau baja tahan karat (tahan hingga 2100 oF, tergantung pada grade)
3. Ankur keramik (ceramic tile anchor) (dapat tahan hingga 3000 oF)
36
2.8.2 Metoda Instalasi
Gunning
Gunning merupakan penempatan refractory kering dialirkan (lewat alat
yang disebut Gun) ke permukaan dimana refractory dipasang (surface to be lined)
dengan menggunakan udara yang ditekan bersama dengan air yang biasanya
ditambahkan di nozzle. Metoda instalasi ini sangat tergantung pada ketrampilan
operator (gun operator / nozzleman). Hampir semua refractory pada CFB Boiler
dapat di pasang dengan menggunakan metoda ini. Keuntungan dari teknik ini
yaitu meningkatnya density, mengurangi refractory yang terbuang karena tidak
menempel (rebound), dan mengurangi adanya debu. Pengontrolan rebound material
yang tidak lebih dari 10-15 %, akan menurunkan biaya (cost) CFB.
Gunning direkomendasikan untuk instalasi lapisan refractory isolator
pada CFB, tetapi bukan metoda yang direkomendasikan untuk refractory yang
harus tahan terhadap abrasi, kecuali untuk ruang combustor bagian bawah
(lower combustor). Material hasil gunning biasanya tidak diterima untuk aplikasi
di cyclone dan loop seals. Gunning merupakan salah satu jalan untuk menekan
harga CFB karena merupakan proses instalasi yang cepat dan murah (cost
effective).
Casting
Metoda ini dilakukan dengan menuangkan, meletakkan, atau
menumbukkan castable refractory yg telah dicampur ke tempatnya dimana
refractory ini harus berada, bisa dibantu juga dengan vibrasi. Castable adalah
kombinasi butir-butir refractory dan zat pengikat yang sesuai (suitable bonding
agent). Jika castable ini dicampur dengan cairan akan memudahkannya untuk
ditempatkan sesuai bentuk maupun dimensi dimana campuran ini akan
ditempatkan untuk membentuk refractory atau struktur sesuai desain, yang
selanjutnya akan mengeras karena reaksi kimia. Campuran yang tepat dapat
segera di test/cek dengan menggunakan “bola di tangan” (“ball in hand”), yaitu
segenggam campuran castable dibentuk bola, lalu dilempar ke udara setinggi 6-12
inch, lalu ditangkap. Material refractory yang semula berbentuk bola harus
37
membentuk sesuai genggaman tangan dan tidak boleh ada material yang
mengalir diantara jari-jari tangan (yang berarti campuran terlalu banyak air) atau
hancur (crumble) yang berarti air terlalu sedikit.
Casting yang dibantu dengan vibrasi akan meningkatkan density
(material refractory terbentuk semakin padat) dan mengurangi pori yang
terkandung (porosity). Material cetakan sebaiknya bukan material yang menyerap
air dari campuran refractory selama proses pengeringan (curing) karena akan
menurunkan kekuatan refractory tersebut.
Ramming
Metoda ini biasanya untuk material plastic refractory. Pada dasarnya
material ini adalah pre-fired refractories yang dipersiapkan terlebih dahulu oleh
pemasok refractory yang selanjutnya membawa langsung ke lokasi untuk
dipasang tanpa harus dicampur terlebih dahulu. Material ini dipasang dengan cara
memukul pukul (ramming) dengan bantuan palu pneumatik yang ditahan dengan
menggunakan tangan (hand held pneumatic hammer) atau mallets. Plastik yang
mengandung material tahan abrasi akan terbentuk dan memadat. Material harus
diatur dan dijalin bersama. Dalam hal ini pemakaian palu yang memiliki
cekungan (notched hammer) yang berfungsi untuk mengaitkan antar material,
dengan demikian menghindari laminasi (laminations).
2.9. Teori Perpindahan Panas
Perpindahan panas adalah perpindahan energi karena adanya perbedaan
temperatur. Ada tiga bentuk mekanisme perpindahan panas yang diketahui, yaitu
konduksi, konveksi, dan radiasi.
38
2.9.1 Konduksi
Gambar 2.24 Perpindahan Panas Konduski Dari Udara Hangat ke Kaleng
Minuman Dingin Melalui Dinding Aluminum Kaleng.
Sumber : Cengel, Yunus A., 2003. “Heat Transfer : A Practical Approach
Second. Edition,” McGraw-Hill. New York.
Konduksi merupakan perpindahan panas dari tempat yang bertemperatur
tinggi ke tempat yang bertemperatur rendah di dalam medium yang bersinggungan
langsung. Jika pada suatu benda terdapat gradien suhu, maka akan terjadi
perpindahan panas serta energi dari bagian yang bersuhu tinggi ke bagian yang
bersuhu rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa energi akan berpindah secara
konduksi, laju perpindahan kalornya dinyatakan sebagai
Dimana :
q = laju perpindahan kalor
𝜕𝑇𝜕𝑥⁄ = gradien suhu perpindahan kalor
k = konduktifitas thermal bahan (W/m.K)
A = luas bidang perpindahan kalor (m2)
2.9.2 Konveksi
Konveksi merupakan perpindahan panas antara permukaan solid dan
berdekatan dengan fluida yang bergerak atau mengalir dan itu melibatkan pengaruh
konduksi dan aliran fluida.
39
Gambar 2.25 Perpindahan Panas Dari Plat Panas
Sumber : Cengel, Yunus A., 2003. “Heat Transfer : A Practical Approach Second.
Edition,” McGraw-Hill. New York.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa kecepatan fluida yang mengalir di
permukan plat panas mempengaruhi temperatur disekitar permukaan plat tersebut.
Laju perpindahan kalor secara konveksi dapat dinyatakan sebagai :
q = h.A (Ts - T∞)
Dimana :
h = Koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.K)
A = Luas penampang (m2)
Ts = Temperatur plat (K)
T∞ = Temperatur fluida yang mengalir dekat permukaan (K)
2.9.3 Radiasi
Radiasi, merupakan perpindahan energi karena emisi gelombang
elektromagnet atau photons.
Gambar 2.26 Perpindahan Panas Secara Radiasi
Sumber : Cengel, Yunus A., 2003. “Heat Transfer : A Practical Approach Second.
Edition,” McGraw-Hill. New York.
40
Laju perpindahan kalor secara radiasi dapat dinyatakan sebagai :
Dimana :
ε = Emisivitas, sifat radiasi pada permukaan
A = Luas permukaan (m2)
Σ = Konstanta Stefan – Boltzman (5,67.108 W/m2.K4)
TS4 = Temperatur absolute permukaan (K4)
Tsur4 = Temperatur sekitar (K4)
2.10 Teori Fishbone Diagram
Diagram tulang ikan atau fishbone adalah salah satu metode / tool di dalam
meningkatkan kualitas. Sering juga diagram ini disebut dengan diagram sebab-
akibat atau cause effect diagram. Penemunya adalah seorang ilmuwan jepang pada
tahun 60-an. Bernama Dr. Kaoru Ishikawa, ilmuwan kelahiran 1915 di Tikyo
Jepang yang juga alumni teknik kimia Universitas Tokyo. Sehingga sering juga
disebut dengan diagram ishikawa. Metode tersebut awalnya lebih banyak
digunakan untuk manajemen kualitas. Yang menggunakan data verbal (non-
numerical) atau data kualitatif. Dr. Ishikawa juga ditengarai sebagai orang pertama
yang memperkenalkan 7 alat atau metode pengendalian kualitas (7 tools).
yakni fishbone diagram, control chart, run chart, histogram, scatter diagram,
pareto chart, dan flowchart.
Dikatakan Diagram Fishbone (Tulang Ikan) karena memang berbentuk
mirip dengan tulang ikan yang moncong kepalanya menghadap ke kanan. Diagram
ini akan menunjukkan sebuah dampak atau akibat dari sebuah permasalahan,
dengan berbagai penyebabnya. Efek atau akibat dituliskan sebagai moncong kepala.
Sedangkan tulang ikan diisi oleh sebab-sebab sesuai dengan pendekatan
permasalahannya. Dikatakan diagram Cause and Effect (Sebab dan Akibat) karena
diagram tersebut menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan
dengan pengendalian proses statistikal, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk
untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas
(akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu.
41
Diagram Fishbone telah menciptakan ide cemerlang yang dapat membantu
dan memampukan setiap orang atau organisasi/perusahaan dalam menyelesaikan
masalah dengan tuntas sampai ke akarnya. Kebiasaan untuk mengumpulkan
beberapa orang yang mempunyai pengalaman dan keahlian memadai menyangkut
problem yang dihadapi oleh perusahaan Semua anggota tim memberikan
pandangan dan pendapat dalam mengidentifikasi semua pertimbangan mengapa
masalah tersebut terjadi. Kebersamaan sangat diperlukan di sini, juga kebebasan
memberikan pendapat dan pandangan setiap individu. Jadi sebenarnya dengan
adanya diagram ini sangatlah bermanfaat bagi perusahaan, tidak hanya dapat
menyelesaikan masalah sampai akarnya namun bisa mengasah kemampuan
berpendapat bagi orang – orang yang masuk dalam tim identifikasi masalah
perusahaan yang dalam mencari sebab masalah menggunakan diagram tulang ikan.
2.10.1 Manfaat Diagram Fishbone
Fungsi dasar diagram Fishbone (Tulang Ikan) adalah untuk
mengidentifikasi dan mengorganisasi penyebab-penyebab yang mungkin timbul
dari suatu efek spesifik dan kemudian memisahkan akar penyebabnya . Sering
dijumpai orang mengatakan “penyebab yang mungkin” dan dalam kebanyakan
kasus harus menguji apakah penyebab untuk hipotesa adalah nyata, dan apakah
memperbesar atau menguranginya akan memberikan hasil yang diinginkan.
Dengan adanya diagram Fishbone ini sebenarnya memberi banyak sekali
keuntungan bagi dunia bisnis. Selain memecahkan masalah kualitas yang menjadi
perhatian penting perusahaan. Masalah – masalah klasik lainnya juga terselesaikan.
Masalah – masalah klasik yang ada di industri manufaktur khusunya antara lain
adalah : a) keterlambatan proses produksi, b) tingkat deffect (cacat) produk yang
tinggi, c) mesin produksi yang sering mengalami trouble, d) output lini produksi
yang tidak stabil yang berakibat kacaunya plan produksi, e) produktivitas yang
tidak mencapai target, f) complain pelanggan yang terus berulang.
Namun, pada dasarnya diagram Fishbone dapat dipergunakan untuk
kebutuhan-kebutuhan berikut : a) Membantu mengidentifikasi akar penyebab dari
suatu masalah, b) Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah,
c) Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut, d)
42
Mengidentifikasi tindakan (bagaimana) untuk menciptakan hasil yang diinginkan,
e) Membahas issue secara lengkap dan rapi, f) Menghasilkan pemikiran baru. Jadi
ditemukannya diagram Fishbone memberikan kemudahan dan menjadi bagian
penting bagi penyelesaian masalah yang mucul bagi perusahaan.
Penerapan diagram Fishbone dapat menolong kita untuk dapat
menemukan akar “penyebab” terjadinya masalah khususnya di industri manufaktur
dimana prosesnya terkenal dengan banyaknya ragam variabel yang berpotensi
menyebabkan munculnya permasalahan. Apabila “masalah” dan “penyebab” sudah
diketahui secara pasti, maka tindakan dan langkah perbaikan akan lebih mudah
dilakukan. Dengan diagram ini, semuanya menjadi lebih jelas dan memungkinkan
kita untuk dapat melihat semua kemungkinan “penyebab” dan mencari “akar”
permasalahan sebenarnya.
Apabila ingin menggunakan Diagram Fishbone , kita terlebih dahulu harus
melihat, di departemen, divisi dan jenis usaha apa diagram ini digunakan.
Perbedaan departemen, divisi dan jenis usaha juga akan mempengaruhi sebab –
sebab yang berpengaruh signifikan terhadap masalah yang mempengaruhi kualitas
yang nantinya akan digunakan.
2.10.2 Cara Membuat Diagram Fishbone
Dalam hal melakukan Analisis Fishbone, ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan, yakni 1). Menyiapkan sesi analisa tulang ikan. 2). Mengidentifikasi
akibat atau masalah. 3). Mengidentifikasi berbagai kategori sebab utama. 4).
Menemukan sebab-sebab potensial dengan cara sumbang saran. 5). Mengkaji
kembali setiap kategori sebab utama. 6). Mencapai kesepakatan atas sebab-sebab
yang paling mungkin.
Cara yang lain dalam menyusun Diagram Fishbone dalam rangka
mengidentifikasi penyebab suatu keadaan yang tidak diharap adalah sebagai
berikut:
Mulai dengan pernyataan masalah-masalah utama penting dan mendesak untuk
diselesaikan. Tuliskan pernyataan masalah itu pada kepala ikan, yang
merupakan akibat (effect).
43
Tulislah pada sisi sebelah kanan dari kertas (kepala ikan), kemudian
gambarkan tulang belakang dari kiri ke kanan dan tempatkan pernyataan
masalah itu dalam kotak.
Tuliskan faktor-faktor penyebab utama (sebab-sebab) yang mempengaruhi
masalah kualitas sebagai tulang besar, juga ditempatkan dalam kotak. Faktor-
faktor penyebab atau kategori-kategori utama dapat dikembangkan
melalui Stratifikasi ke dalam pengelompokan dari faktor-faktor: manusia,
mesin, peralatan, material, metode kerja, lingkungan kerja, pengukuran, dll.
Atau stratifikasi melalui langkah-langkah aktual dalam proses. Faktor –faktor
penyebab atau kategori-kategori dapat dikembangkan melalui brainstorming.
Berikut beberapa pendekatan yang bisa dijadikan panduan untuk merumuskan
faktor-faktor utama dalam mengawali pembuatan Diagram Cause and Effect :
a) Pendekatan The 4 M’s (digunakan untuk perusahaan manufaktur). Faktor-
faktor utama yang bisa dijadikan acuan menurut pendekatan ini adalah 1)
Machine (Equipment), 2) Method (Process/Inspection), 3) Material (Raw,
Consumables dll.), 4) Man power.
b) Pendekatan The 8 P’s (digunakan pada industri jasa). Menurut pendekatan
ini, ada setidaknya 8 hal yang bisa dijadikan acuan sebagai faktor utama
antara lain 1) People, 2) Process, 3) Policies, 4) Procedures, 5) Price, 6)
Promotion, 7) Place/Plant, 8) Product
c) PendekatanThe 4 S’s (digunakan pada industri jasa). Pendekatan ini
memberikan acuan 4 faktor utama antara lain 1) Surroundings, 2) Suppliers,
3) Systems, 4) Skills.
d) Pendekatan 4 P (pendekatan manajemen pemasaran). Pendekatan yang
menggunakan perspektif manajemen pemasaran untuk memberikan faktor
utama yang bisa dijadikan acuan yakni 1) Price, 2) Product 3) Place, 4)
Promotion
Tuliskan penyebab-penyebab sekunder yang mempengaruhi penyebab-
penyebab utama (tulang-tulang besar), serta penyebab-penyebab sekunder itu
dinyatakan sebagai tulang-tulang berukuran sedang.
44
Tuliskan penyebab-penyebab tersier yang mempengaruhi penyebab-penyebab
sekunder (tulang-tulang berukuran sedang), serta penyebab-penyebab tersier
itu dinyatakan sebagai tulang-tulang berukuran kecil.
Tentukan item-item yang penting dari setiap faktor dan tandailah faktor-faktor
penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap
karakteristik kualitas. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab dari suatu
masalah yang sedang dikaji kita dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan
berikut : Apakah penyebab itu? Mengapa kondisi atau penyebab itu terjadi?
Bertanya “Mengapa” beberapa kali (konsep five whys) sampai ditemukan
penyebab yang cukup spesifik untuk diambil tindakan peningkatan. Penyebab-
penyebab spesifik itu yang dimasukkan atau dicatat ke dalam diagram sebab-
akibat.
2.11 Teori Root Cause and Failure Analysis (RCFA)
Root Cause and Failure Analysis (RCFA) adalah kegiatan penggalian dan
pengumpulan informasi untuk mencari akar penyebab masalah (Failure Cause) dari
suatu mode kegagalan peralatan.
Kegiatan RCFA bertujuan untuk menghasilkan akar penyebab
permasalahan secara pasti dari suatu mode kagagalan / failure mode peralatan dan
menentukan Failure Defense Task (FDT) yang tepat untuk mencegah terulangnya
kembali permasalahan tersebut. Kegagalan sebagaimana dimaksud diatas dapat
berupa :
a) Chronic Problem (permasalahan peralatan yang terjadi berulang dan belum
diketahui akar penyebabnya)
b) Permasalahan peralatan yang berpotensi mengakibatkan unit trip/derating dan
gagal start.
c) Kelanjutan dari workshop Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dimana
tidak diketahui secara pasti penyebab dari failure mode suatu topik peralatan.
d) Kelanjutan dari temuan/identifikasi terjadinya penurunan ketersediaan,
kehandalan dan efisiensi unit dimana belum diketahui akar penyebabnya.
45
e) Kelanjutan dari temuan/identifikasi bidang Predictive Maintenance dimana
hasil dari evaluasi teknologi yang dimiliki (vibrasi, thermography, motor
current signature analysis dan tribology).
Pelaksanaan RCFA dilakukan dalam bentuk workshop dimana bidang
Enjiniring sebagai fasilitator dengan menghadirkan berbagai pihak yang terkait
secara langsung seperti operator yang biasa mengoperasikan, teknisi Pemeliharaan
yang biasa memperbaikinya namun bisa juga menghadirkan pakar yang kompeten.
Bahkan bisa jadi harus dilakukan uji laboratorium untuk menetukan root cause.
Indikator keberhasilan dari aktivitas RCFA dapat diukur melalui FDT
effectiveness, yang ditunjukkan dengan Mean Time Between Failure (MTBF)
menjadi lebih lama, presentase chronic problem mengalami penurunan dan kondisi
peralatan menjadi lebih sehat.
2.12 Simulasi CPFD
Seiring dengan bertambahnya kebutuhan listrik di Indonesia telah
mendorong pertumbuhan proyekproyek PLTU di berbagai wilayah Indonesia.
Sampai tahun 2015 kapasitas terpasang pembangkit listrik Jawa Bali di dominasi
oleh PLTU (sebesar 58,3%) yang menggunakan batu-bara sebagai bahan bakar.
Pembakaran batubara yang dilakukan di dalam furnace dengan teknologi gasifikasi
diklaim sebagai teknologi pembakaran batubara yang bersih dan efisien. Pada awal
abad ke-21, teknologi gasifikasi diperkirakan akan mengeluarkan 99% lebih sedikit
sulfur dioksida (SO2) dan abu terbang,kurang dari 90% nitrogen oksida (NOx),
dapat menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) sekitar 35–40%, buangan padat
sekitar 40–50% dan menghasilkan penghematan biaya daya 10–20% dari pada
PLTU-batubara masa kini.
PLTU-batubara menggunakan tenaga uap yang dibangkitkan oleh boiler
(ketel uap) untuk menggerakkan generator listrik. Boiler yang paling banyak
digunakan saat ini adalah jenis circulating fluidized bed (CFB). Pembakaran yang
terjadi di CFB telah memanfaatkan proses fluidizing. CFB boiler memanfaatkan
inersia termal dari material yang sengaja dimasukkan kedalam furnace/reactor,
yang disebut sebagai bed materials yang biasanya berupa partikel pasir yang
dikategorikan sebagai partikel B dalam klasifikasi Geldart . Partikel pasir ini
46
merupakan material yang paling banyak jumlahnya di dalam sebuah CFB boiler,
dimana bahan bakar dalam sistem hanya sekitar 1-3% berat dari semua benda padat
dalam fluidized bed. Partikel-partikel bed material inilah yang menyebabkan
terjadinya pembakaran batubara secara kontinyu dan menyebabkan terdistribusinya
temperatur dalam furnace secara merata.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu dalam proses
desain dari CFB boiler adalah metode numeris, dimana geometri CFB dimodelkan
menjadi mesh kemudian dengan memanfaatkan governing equation yang memadai
dan memasukkan kondisi batas serta kondisi awal perhitungan dapat diselesaikan.
Governing equation diantaranya adalah persamaan kontinuitas danmNavier-Stokes
yang membutuhkan waktu lamamuntuk diselesaikan secara analitis terutama
untukmgeometri-geometri yang kompleks. Namun denganmseiring perkembangan
komputer, persamaan inimdengan cepat dapat diselesaikan. Metode
yangmsekarang lebih terkenal dengan sebutan Computational Fluid Dynamic
(CFD).
Banyak studi yang telah memanfaatkan CFD dalam analisa fluidized bed.
Namun, permodelan dengan menggunakan CFD memiliki kelemahan yang
diantaranya adalah tidak mampu memodelkan distribusi ukuran partikel. Padahal
particle size distribution (PSD) merupakan suatu parameter yang penting untuk
beberapa kasus dimana terjadi segregasi spesies partikel yang berbeda atau attrition
dari partikel.
Bed material dalam kondisi hidrodinamis dapat diberikan penambahan
atau pengurangan kecepatan udara superfisial yang disemburkan untuk
memfluidisasi. Kondisi hidrodinamis dari CFB boiler menjadi sesuatu yang perlu
dikaji dimana CFB hanya berfungsi dalam kondisi hidrodinamis, yang disebut
sebagai fast bed. Fast bed hanya terjadi pada kecepatan udara superfisial tertentu
dan hanya dapat divalidasi melalui eksperimen. Hanya saja, metode eksperimental
dapat menghabiskan banyak biaya dan membutuhkan waktu relatif lama. Oleh
karena itu, pengujian hidrodinamis CFB boiler lebih menguntungkan jika dilakukan
dengan metode komputasi numeris. Kajian ini menggunakan metode komputasi
47
numeris dengan pendekatan multiphase particle-in-cell (MP-PIC) yang
disimulasikan de-- ngan software CPFD (Computational Particle Fluid Dynamics).
Disisi lain, keberadaan material yang berupa partikel partikel dengan
kecepatan tinggi ini telah menyebabkan masalah pemeliharaan terutama akibat
erosi dinding boiler dan/atau korosi. Erosi pada CFB boiler biasanya terjadi pada
daerah daerah kritis seperti furnace, cyclone dan sealpot. Kajian ini dapat juga
digunakan untuk menentukan lokasi terjadinya erosi dalam CFB akibat pergerakan
relatif partikel-partikel terutama pasir terhadap dinding-dinding refractory. Lokasi
terjadinya erosi yang direpresen-tasikan oleh kecepatan aliran partikel pada dinding
refractory.
Simulasi CPFD adalah simulasi dimana pergerakan partikel solid dan
fluida sama-sama bersifat dominan. Simulasi CPFD lebih sesuai untuk analisa
aliran di boiler CFB karena fraksi partikel cukup besar dan dapat mempengaruhi
aliran fluida. Metodologi simulasi CPFD menggunakan pendekatan Eulerian-
Lagrangian untuk menjelaskan aliran gas-solid dalam tiga dimensi. Fasa gas
dijelaskan sebagai suatu fasa kontinyu yang dipasangkan dengan diskrit fasa solid
dalam persamaan masa dan momentum. Sebagaimana fasa gas dan solid adalah
isotermal dan fasa gas adalah inkompresibel, maka tidak diperlukan persamaan
energi fluida rata-rata volume. Dalam CPFD, konsep partikel numerik dikenalkan
dengan pendekatan yang sama dengan kontrol volume numerik dengan sifat fluida
yang biasa. Fasa solid dimodelkan sebagai sel numerik dengan masing-masing
mengandung sejumlah sifat partikel yang sama (spesies, densitas, ukuran, dan
seterusnya) pada lokasi yang sama. Medan aliran fasa gas dan solid dihitung dengan
persamaan governing terpisah.
Top Related