1
[Type here]
BAB II
KERANGKA TEORITIK
KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR
1.1. Kerangka Teoritik
1.1.1. Teori Keadilan
Para filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebajikan
individual (individual virtue). Apabila terjadi tindakan yang dianggap tidak adil
(unfair prejudice) dalam tata pergaulan masyarakat, maka hukum sangat berperan
untuk membalikan keadaan, sehingga keadilan yang telah hilang (the lost justice)
kembali dapat ditemukan oleh pihak yang telah diperlukan tidak adil (dizalimi,
dieksploitasi), atau terjadi keadilan korektif menurut Aristoteles.1 Keadilan yang
mesti dikembalikan oleh hukum menurut istilah John Rawls adalah “reasonably
expected to be everyone’s advantage”. 2
Berdasarkan teori keadilan dalam pemberian bagi hasil Pajak Hotel dan
Restoran yaitu keadilan sebagai suatu yang didambakan dalam hukum terutama
ketika berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam hubungan bernegara.
Mengingat dinyatakan dalam Dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila,
pada Sila Kedua menyebutkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta Sila
1B. Arief Sidharta, Meuwissen, 2007, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 93. 2John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge.
Massachusetts, h. 60.
2
[Type here]
Kelima menyebutkan “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Beberapa teori mengenai
keadilan diharapkan dapat terwujud bagi daerah penerima maupun dirasakan juga oleh daerah
yang memberikan bagi hasil pajak di kabupaten/kota oleh Provinsi Bali.
Pembicaraan tentang keadilan telah dimulai sejak Aristoteles sampai dengan saat ini.
Bahkan para ahli mempunyai pandangan yang berbeda tentang esensi keadilan. Teori yang
mengkaji dan menganalisis tentang keadilan dari sejak Aristoteles sampai saat ini, disebut dengan
teori keadilan. Teori keadilan dalam bahasa Inggris disebut dengan theory of justice, sedangkan
dalam bahasa Belandanya disebut dengan theorie van rechtvaardigheid terdiri dari dua kata, yaitu:
Teori dan Keadilan.3
Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan seperti diikuti, L.J. Van Apeldorn
yaitu:
Keadilan distributif dan keadilan commutatief. Keadilan distributif yaitu keadilan yang
memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan keadilan commutatief
adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat
jasa-jasa perseorangan.4
Demikian juga Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu keadilan
umum (justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak
undang-undang yang harus dijalankan untuk kepentingan umum. Sedangkan keadilan khusus
adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan
menjadi:
1). Keadilan distributif (justitia distributiva):
2). Keadilan komutatif (justitia commutativa):
3). Keadilan vindikatif (justitia vindicativa)
3 H. Salim, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Desertasi dan Tesis, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, h.25. 4 L.J. Van Apeldorn, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h.13.
3
[Type here]
Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional ditetapkan dalam lapangan
hukum publik secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seorang menjadi
hakim apabila orang itu memiliki kecakapan untuk menjadi hakim. Keadilan komutatif adalah
keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi. Sedangkan keadilan
vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak
pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan sesuai dengan besarnya hukuman yang
telah ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukannya.5
Pada abad modern salah seorang yang dianggap memiliki peran penting dalam
mengembangkan konsep keadilan adalah John Borden Rawls. Rawls6 berpendapat bahwa keadilan
hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang
hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan dasar (basic liberties) dan
perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat
yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan
serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.
Pandangan mengenai keadilan, teori keadilan Rawls dibagi dalam beberapa bagian antara
lain: pertama, sebuah telaah yang mencoba mengelaborasi secara singkat konsep keadilan Rawls
yang disebut fairness. Diskusi keadilan ini diawali dengan kritiknya terhadap utilitarisme dan
intuisionisme. Kritik atas kedua paham tersebut membawanya kepada keyakinan bahwa konsep
keadilan yang ditawarkannya merupakan konsep yang memadai karena bertumpu pada konsep
person moral. Kedua, sasaran pokok dari seluruh proyek Rawls adalah membangun sebuah teori
keadilan yang diharapkan mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam
5 Darji Darmnodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
h.156-157. 6 Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, website http://www.file://localhost/D:/Filsafat Manusia, diakses
tanggal 29 Oktober 2014.
4
[Type here]
suatu masyarakat yang teratur. Konsep keadilan seperti itu bisa dicapai atau dirumuskan apabila
ada kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair. Fokusnya pada kondisi
hipotetis demi suatu prosedur yang fair, yang oleh Rawls disebut “posisi asali”. Posisi ini secara
khusus ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas, dan kesamaan hak. Serta bagian ketiga, yaitu
prinsip kebebasan yang sama bagi semua orang dan prinsip diferen yang merupakan prinsip-
prinsip pertama keadilan.7 Selanjutnya sumbangan pokok Rawl sehubungan relasi mendasar antara
prinsip-prinsip konstitusional dan prinsip-prinsip moral serta semangat solidaritas sosial sebagai
basis kerja sama sosial.8
Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, mengemukakan pemikiran
tentang konsep keadilan, Hans Kelsen menganut aliran positifisme yang mengakui kebenaran dari
hukum alam. Oleh karena itu pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme
antara hukum positif dan hukum alam. Hal ini dapat disimak dalam pendapat Hans Kelsen,9
sebagai berikut:
Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam
mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari
filsafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik
mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda: yang pertama adalah dunia kasat
mata yang dapat ditangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang
tidak tampak
Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen: pertama tentang keadilan
dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui
pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya
menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat
7 Andre Ata Ujan, 2001, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik John Rawl, Kanisius, Yogyakarta,
h. 25. 8 Ibid, h. 145. 9 Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa
Media, h. 14.
5
[Type here]
dicapai melalui suatu tatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan
kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian
bagi semua kepentingan.10
Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari
suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas.
Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia benar-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan
umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain
yang serupa.11
Berdasarkan pemaparan beberapa teori keadilan diatas, sehubungan dengan disertasi
Kepastian Hukum Pembagian Hasil Pajak Hotel dan Restoran dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Suatu Studi Di Provinsi Bali), penulis cenderung lebih dekat teori keadilan
yang diungkapkan John Rawls sebagai cerminan keadilan dalam pembagian hasil Pajak Hotel dan
Restoran di Provinsi Bali, dalam memberikan analisasi dan jawaban atas rumusan masalah ketiga.
1.1.2. Teori Kewenangan
Teori Kewenangan dipilih dalam penelitian ini sehubungan dengan hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat, sebagai konsekuensi otonomi daerah. Termasuk diantaranya dalam
pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran daerah kabupaten/kota oleh Provinsi Bali. Bagaimana
kewenangan pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran kabupaten/kota oleh pemerintah daerah.
Di Indonesia dasar kewenangan menurut asas legalitas adalah merupakan prinsip negara
hukum, sehingga semua tindakannya ditentukan dalam undang-undang. Asas legalitas merupakan
prinsip negara hukum yang sering dirumuskan Hetbeginsel van wetmatigheid van bestuur yakni
10 Ibid, h.16. 11 Ibid
6
[Type here]
prinsip keabsahan pemerintahan. HD Stout dengan mengutip pendapat Verhey, mengemukakan
Hetbeginsel van wetmatigheid van bestuur mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu: (1) aspek negatif
(het negatieve aspect), (2) aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect), (3) aspek materiil
positif (het materieel-positieve aspect). Pertama, aspek negatif menentukan tindakan pemerintah
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintahan tidak sah jika
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, aspek formil positif
menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau
berdasarkan undang-undang. Ketiga, aspek materiil positif menentukan undang-undang memuat
aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti kewenangan itu harus
memiliki dasar perundang-undangan dan juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya
oleh undang-undang.12
Henc van Maarseveen menggunakan dua istilah menjelaskan konsep kewenangan, yakni
ketika menganalisis UUD sebagai document van atribute, digunakan istilah kekuasaan (power)
sedangkan dalam menganalisis “pendelegasian” digunakan istilah wewenang (authority). Ia juga
mengemukakan ada dua konsep kekuasaan, yaitu kekuasaan yang tidak terkait dengan hukum
disebut blotemacht atau dalam Bahasa Inggris neck power. Di sisi lain kekuasaan yang berdasarkan
pada hukum disebut wewenang.13
Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh
melalui 3 (tiga) cara yaitu, Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat), hal
12 HD. Stout mengutip pendapat Verhey, dalam Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cet.7,
Grafindo Persada, Jakarta, h.90-92. 13 Suwoto, 1990, Kekuasaan dan Tanggungjawab Presiden RI Suatu Penelitian segi-segi Teoritik dan Yuridis
Pertanggungjawaban Kekuasaan, Disertasi Fakultas Pascasarjana Unair, h.30., di dalam Lukman Hakim, 2012,
Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah, Setara Press, Malang, h.74.
7
[Type here]
ini juga sesuai dengan pendapat H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt.14 Menurut H.D van
Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
- Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan.
- Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya.
- Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya.
Kewenangan sebagaimana dikemukakan oleh Indroharto yaitu kewenangan dalam arti
yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.15 Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang
diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut;
wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru
oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan
suatu wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang
telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang
secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Jadi, suatu delegasi
didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang
satu kepada yang lain.16
14 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta (Selanjutnya disebut
Ridwan HR I), h.102. 15 Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta (Selanjutnya disebut Indroharto I), h.68. 16 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta (Selanjutnya disebut Indroharto II), h.90.
8
[Type here]
Pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran daerah kabupaten/kota oleh Provinsi Bali lebih
dekat pada pandangan Verhey, dimana kebijakan pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran yang
dilakukan berdasarkan freies Ermessen tetap tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
1.1.3 Teori Manfaat
Eksistensi hukum bertujuan untuk memberikan keamanan dan ketertiban serta menjamin
adanya kesejahteraan yang diperoleh masyarakat dari Negara sebagai payung bermasyarakat.
Kaidah hukum di samping kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga
mengatur hubungan di antara manusia17. Masyarakat yang berkembang pesat dalam bernegara,
dipengaruhi oleh perkembangan jaman, sehingga kebutuhan harus dipenuhi sesuai jamannya.
Untuk itu perlu hukum yang kontekstual dalam arti dapat mengakomodir praktik-praktik sosial di
masyarakat dengan diatur oleh norma hukum. Ajaran-ajaran hukum yang dapat diterapkan agar
tercipta korelasi antara hukum dan masyarakatnnya, yaitu hukum sosial yang lebih kuat dan lebih
maju daripada ajaran-ajaran yang diciptalan oleh hukum perseorangan.18 Artikulasi hukum ini
akan menciptakan hukum yang sesuai cita-cita masyarakat karenanya muara hukum tidak hanya
keadilan dan kepastian hukum, akan tetapi aspek kemanfaatan juga harus terpenuhi. Penganut
mazhab utilitarianisme memperkenalkan tujuan hukum yang ketiga, disamping keadilan dan
kepastian hukum. Dilanjutkannya, tujuan hukum itu adalah untuk kemanfaatan bagi seluruh orang.
Kemanfaatan merupakan hal yang paling utama didalam sebuah tujuan hukum, mengenai
pembahasan tujuan hukum terlebih dahulu diketahui apakah yang diartikan dengan tujuannya
sendiri dan yang mempunyai tujuan hanyalah manusia akan tetapi hukum bukanlah tujuan
manusia, hukum hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Tujuan hukum bisa terlihat dalam fungsinya sebagai fungsi perlindungan kepentingan
17 Sudikno Mertokusumo, 2011, Teori Hukum, Cetakan ke 1, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h. 11. 18 Alvin S. Johnson, 2006, Sosiologi Hukum, Cetakan ke 3, Asdi Mahastya, h. 204.
9
[Type here]
manusia, hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.19 Jika kita lihat defenisi manfaat dalam
kamus besar bahasa Indonesia manfaat secara terminologi bisa diartikan guna atau faedah.20
Dalam hal teori utilitarianisme,21 merupakan aliran yang meletakan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya
bagi orang-orang. Penilaian baik buruk, adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum
mampu memberikan karena utilitarianisme meletakan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari
hukum, sehingga diharapkan budaya hukum mempunyai korelasi dalam pembentukan hukum.
Penganut aliran utilistis adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.
Jeremy Bentham (1748-1832) salah satu tokoh yang mengemukakan aliran utilitarianisme,
Bentham menerapkan salah satu prinsip aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hidup, yaitu
manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi
penderitaan. Ukuran baik-buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah perbuatan
tersebut mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Pembentuk undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan
berpegang pada prinsip tersebut, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagian
terbesar bagi sebagain besar masyarakat (the greates happiness for the greatest number).22
Tujuan perundang-undangan menurut Bentham adalah untuk menghasilkan kebahagiaan
bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan,
yaitu:23
a) To provide subsistence (untuk memberikan nafkah hidup);
19 Said Sampara dkk, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Total Media, Yogyakarta, h. 40. 20 KBBI, http://kbbi.web.id/manfaat, diakses tanggal 10 Desember 2017. 21 Moh. Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h. 179.
22 H. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2012, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 60-
61. 23 Teguh Prasetyo, 2013, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan
dan Bermartabat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 112.
10
[Type here]
b) To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah);
c) To provide security (untuk memberikan perlindungan);
d) To attain equity (untuk mencapai persamaan).
Menurut Montesquieu, para legislator dalam membentuk hukum harus seperti tabib yang
mendiagnosis penyakit pasiennya kemudian memberikan resep. 24Legislator harus mendiagnosis
di masyarakat kebutuhan atau elemen-elemen apa saja yang dapat di implementasikan saat
diberlakukannya peraturan perundang-undangan. Hal mendasar yang tidak dapat dipisahkan
adalah inherenisasi antara pembuatan peraturan dengan pelaksana peraturan. Sinergitas keduanya
merupakan barometer terciptanya negara yang aman dan tertib sehingga kondusifitas dapat selalu
terjaga.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang umum,
bahwa perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi akan gejala sosial.25 Eksistensi masyarakat,
sejatinya dapat mempengaruhi lahirnya produk hukum, karena norma tersebut yang akan dirasakan
secara langsung oleh masyarakat holistik. Kealpaan legilslator dalam memerhatikan norma di
masyarakat saat mengadakan kompromi-kompromi regulasi menghambat pembangunan hukum
dan/atau pembangunan masyarakat. Cita-cita hukum pun tidak terwujudkan dengan baik, karena
objek dari hukum tidak merasakan fungsi dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk.
Sejatinya hukum berperan sebagai instrument yang memberikan manfaat kepada masyarakat
holistik
Dengan demikian tujuan hukum, bagi penganut teori utilitas atau teori kemanfaatan adalah
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi individu yang sebanyak-banyaknya. Adagiumnya dalam
24 Montesquieu, 2013, The Spirit of Laws, Cetakan ke 6, Nusa Media, Bandung, h. 17. 25 Soerjono Soekanto, 2003, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 370.
11
[Type here]
Bahasa Inggris “the greatests happiness the greatest number”. 26 Berdasarkan pandangan Bentham
ini sehingga pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran dianalisa berdasarkan kemanfaatannya
terhadap lebih banyak masyarakat di Provinsi Bali tidak hanya terfokus di wilayah Kabupaten
Badung maupun Denpasar, dan pandangan ini sebagai jawaban atas pertanyaan filosofi perlunya
pembagian hasil dan eksistensinya yang merupakan permasalahan pertama dan kedua disertasi ini.
1.2. Kerangka Konseptual
1.2.1. Konsep Negara Hukum
Sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menentukan negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).27 Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dalam perubahan keempat pada tahun 2002, konsepsi
Negara hukum atau rechtstaat yang sebelumnya tercantum dalam Penjelasan UUD NRI 1945,
dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum.” Dalam konsep Negara hukum itu diidealkan bahwa yang harus dijadikan
panglima dalam dinamika kehidupan bernegara adalah ‘hukum’, bukan politik atau ekonomi. Jadi
hukum sebagai sistem bukan orang perorangan yang bertindak hanya sebagai wayang dari skenario
sistem yang mengaturnya. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara hukum ialah
Negara yang berdiri dan menjunjung tinggi hukum dan menjamin keadilan untuk warga negaranya.
Dengan demikian keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup serta disertai
dengan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga Negara yang baik, demikian pula
26 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Malang
(selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II), h. 37. 27 Jimly Ashiddiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Kontitusi Press, Jakarta, h. 151
12
[Type here]
peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan
bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,28 negara hukum adalah Negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warganya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.
Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Sunaryanti Hartono lebih memilih memakai istilah rule of law bagi negara hukum agar
supaya tercipta suatu negara yang berkeadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan
the rule of law itu harus diartikan dalam arti yang materi.29 Sudargo Gautama senada dengan
sunaryanti Hartono menyamakan rule of law bagi negara hukum ia mengemukakan: “Bahwa
dalam suatu negara hukum, terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara
tidak maha kuasa, tidak bertindak sewenang-wenang tindakan-tindakan negara terhadap warganya
dibatasi oleh hukum inilah apa yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai the rule of law.30
Unsur-unsur negara hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel
Kant adalah:
1) Berdasarkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia.
2) Untuk dapat melindungi hak asasi dengan baik maka penyelenggaraan negara harus
berdasarkan trias politica.
3) Pemerintah berdasarkan undang-undang.
28 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN-
FHUI, Jakarta, h.153. 29 Swaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Bandung, Alumni, 1976, h. 35. 30 Sudargo Gautama, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung, Alumni, h. 8.
13
[Type here]
4) Apabila pemerintah yang berdasarkan undang-undang masih dirasa melanggar hak asasi
manusia maka harus diadili dengan peradilan administrasi.31
Sementara itu perkembangan negara hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 (lima)
tahapan, antara lain:
Tahap pertama, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 sampai awal tahun 1950-an. Gagasan
tentang negara hukum (rechtsstaat) dapat dikemukakan dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dalam naskah Penjelasan UUD
1945, yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)
dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Masa ini dapat dikatakan sebagai
masa pencarian, karena pada awal proklamasi selama lima tahun bangsa Indonesia fokus berjuang
mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda.32
Tahap kedua, berlangsung sejak 1950 sampai dengan 1965. Pada dasawarsa ini, orientasi
pemikiran negara hukum Indonesia berada dalam dua pusaran perdebatan tentang dasar negara,
yaitu Pancasila berhadapan dengan Islam. Hal ini berkaitan dengan wacana yang berkembang
dalam persidangan Konstituante (1955-1958) yang gagal membahas penetapan satu di antara dua
pilihan tersebut. Akhirnya, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mencanangkan Dekrit
Presiden yang membubarkan Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 untuk
menggantikan UUDS 1950. Pada masa itu, aliran pemikiran Pancasila memainkan peran sentral.
Pemikir hukum Indonesia terkemuka, Notonagoro (UGM) meletakan fondasi Pancasila sebagai
falsafah negara meresapi tata hukum Indonesia.33
31 Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, h. 274. 32 I Dewa Gede Atmadja, 2015, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Setara Press, Malang
(Selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja I), h. 149. 33 Ibid, h. 150.
14
[Type here]
Tahap ketiga, berlangsung selama tiga dekade, yakni masa Orde Baru yang berkuasa
selama 32 tahun. Pada awal orba, terjadi perubahan jalannya negara hukum Indonesia. Saat itu,
hukum diabadikan untuk melayani pembangunan dengan pertumbuhan ekonominya. Dalam
konteks gagasan negara hukum, pada waktu itu, mulai diperkenalkan istilah rule of law. Hal itu
ditandai dengan adanya beberapa penelitian mengenai rule of law, seperti: (i) penelitian Sunaryati
Hartono yang dibukukan dengan judul “ Apa Rule of Law itu?” (1974); (ii) penelitian International
Comission of Jurists (ICJ) yang mengevaluasi 20 tahun rule of law pada masa Orde Baru (1987);
dan (iii) penelitian Todung Mulya Lubis di Universitas Harvard (1990). Penelitian-penelitian
tersebut bukan lagi berorientasi pada fondasi ideologi negara hukum, tetapi diwarnai hal-hal yang
empiris, dari praktek kekuasaan negara seperti perlindungan HAM baik hak asasi politik, hak asasi
ekonomi dan sosial-budaya, maupun hak asasi di bidang pembangunan.34
Tahap keempat, masa reformasi adalah implementasi negara hukum berpaham rule of law.
Disini, rule of law maknanya bukanlah hanya sebagai padanan kata atau terjemahan dari negara
hukum, tetapi sebagai sebuah konsep yang fondasinya dibangun menurut budaya masyarakat Barat
(khususnya negara penganut sistem common law seperti Inggris dan Amerika) yang liberal-
individualistik. Implementasi rule of law dilakukan secara “instrumental” melalui pembaruan
legislasi, penegasan sepration of power dengan check and balances, pengadopsian constitutional
review (judicial review) dan pembentukan lembaga-lembaga negara independen (auxialliray state
agencies). Jimly Asshiddiqie, sebagai pemikir yang berkonstribusi dalam tahapan ini, bahkan
memperluas ranah kajian rule of law dalam ranah lingkungan hidup dengan menerbitkan buku
“Green Constitution” dan dalam ranah ekonomi dalam bukunya berjudul “Konstitusi Ekonomi”.35
34 Ibid, h. 150. 35 Ibid, h. 151.
15
[Type here]
Tahap kelima, ditandai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo dengan gagasan “hukum
progresif” yang bergema sampai sekarang. Pemikirannya yang menonjol yakni karakter berhukum
yang “interaksionis” dengan mengimbangi arus pemikiran “instrumental” yang didominasi
pemikiran reformasi hukum yang dimotori Jimly Asshiddiqie yang fokus pada perombakan
legislasi (peraturan perundang-undangan) dan pembenahan institusi (kelembagaan negara).36
Menyimak tulisan-tulisan Satjipto Rahardjo tentang negara hukum dalam bukunya berjudul
“Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” (2008) maka dapat dikemukakan ada 7 (tujuh)
kunci pokok pemikirannya sebagai berikut:37
a. Kritik terhadap negara hukum liberal, baik rechtsstaat maupun rule of law yang berwatak
liberal-kapitalistik karena kelahiran rechtsstaat dan rule of law dalam masyarakat Eropa
pada abad ke-18 sejalan dengan berkembangnya nasionalisme, demokrasi dan kapitalisme.
b. Menolak penerapan negara hukum liberal atau transplantasi hukum karena menunjukkan
bukti-bukti kegagalan di negara-negara non-Eropa termasuk Indonesia. Ia menggagas
dibangunnya negara hukum dari bawah (the rule of law from below).
c. Membangun negara hukum bukan hanya fokus pada hukum negara (legislasi dan institusi),
tetapi juga memasukkan hukum rakyat(hukum adat dan hukum kebiasaan) sebagai fondasi
negara hukum. Ini berarti negara hukum (formal-institutional) tidak mencukupi untuk
mencapai tujuan bersama. Hukum rakyat (cultural-interactional) harus dilibatkan secara
bersama-sama. Dengan perkataan lain, pluralisme hukum masuk dalam wacana negara
hukum.
d. Perlu peran aktif negara untuk mewujudkan negara hukum yang membahagiakan
rakyatnya. Negara hukum harus menjadi negara yang baik (benevolence state) yang
36 Ibid, h. 151. 37 Ibid, h. 152.
16
[Type here]
memiliki kepedulian. Bukan negara yang netral, tetapi negara yang bernurani (a state with
conscience), dalam arti negara dikelola dengan praktek-praktek kebajikan (practical
wisdom) dan moralitas kebajikan (moral virtue) dari penyelenggara negara. Mirip dengan
pendapat Aristoteles.
e. Manusia diutamakan terkait dengan tujuan hukum untuk mengabdi kepada kepentingan
manusia (human dignity), bukan sebaliknya. Nuansa antroposentris ini adalah jantung dari
negara hukum Indonesia. Berbeda negara hukum Kelsenian, yang berfokus pada bentuk
dan struktur logis-rasional negara hukum yang mengedepankan susunan hirarkhis
peraturan perundang-undangan sebagai penentu (dominan). Di balik itu, inti gagasan
negara hukum Satjipto Raharjo adalah suatu bangunan nurani, sehingga segala hal yang
berkaitan dengan negara hukum dilekatkan pada nurani sebagai penentu, bukan peraturan
perundang-undangan.
f. Diperlukan negara hukum substantif, bukan negara hukum formal. Negara hukum formal
mengutamakan sendi-sendi: (a) pembatasan kekuasaan negara; (b) pemerintahan
berdasarkan hukum; dan (c) pemerintahan dipilih secara demokratis. Selain itu, negara
hukum substantif mengutamakan (a) pemenuhan hak-hak asasi; (b) pengutamaan
kemanusiaan dan keadilan (human dignity and justice); dan (c) kesejahteraan warga.
Dengan perkataan lain, negara hukum substantif adalah negara hukum yang
membahagiakan rakyatnya.
g. Tidak menafikan eksistensi hukum tertulis seperti konstitusi, namun konstitusi tertulis itu
seyogyanya dibaca secara bermakna agar bisa memahami nilai moral yang tersirat di balik
konstitusi tertulis. Gagasan ini mengacu pada pandangan Ronald Dworkin (Amerika)
tentang the moral reading of the constitution.
17
[Type here]
Menyimak spirit pemikiran Satjipto Rahardjo, bahwa jantung dari gagasan negara hukum
yang ditawarkan adalah negara yang bernurani atau negara yang membahagiakan rakyatnya. Jika
dimaknai dalam konteks ke Indonesiaan, maka pemikiran negara hukum Satjipto Rahardjo dapat
ditempatkan pada wujud empirik pemikiran tentang “Negara Hukum Pancasila”.38
Jika mengkaji Negara Indonesia, yang merupakan negara hukum yang berdasarkan
Pancasila. Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila, yaitu:39
1) Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;
2) Adanya pembagian kekuasaan;
3) Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu berdasarkan
atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
4) Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang khusus untuk Mahkamah Agung
harus juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.
Adapun ciri negara hukum yaitu adanya pembagian kekuasaan dan pemencaran kekuasaan
(scheiding en spreiding van machten). Pembagian dan pemencaran itu merupakan upaya
mencegah bertumpuknya kekuasaan pada satu pusat pemerintahan, sehingga beban pekerjaan yang
dijalankan Pemerintah Pusat menjadi lebih ringan. Adanya pemencaran kekuasaan itu juga pada
hakikatnya dalam rangka check and balances penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.40
38 Ibid, h. 154. 39 Astim Riyanto, op.cit, h. 277. 40 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk
Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, h. 47.
18
[Type here]
Philipus M Hadjon memberikan ciri negara hukum Pancasila, bukan lagi negara hukum
yang berdasarkan atas Pancasila. Ciri negara hukum Pancasila menurut Philipus M Hadjon adalah
sebagai berikut:41
1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menurut Arief Sidharta, Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan
asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut:42
1) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam
penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2) Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian
hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam
masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas
kepastian hukum itu adalah:
a) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b) Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah
dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c) Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih
dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
41 Philipus M Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina Ilmu Surabaya, h.90. 42 B. Arief Sidharta, November 2004, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, dalam Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, h.124-125.
19
[Type here]
d) Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi;
e) Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya
tidak ada atau tidak jelas;
f) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-
undang atau Undang-Undang Dasar.
3) Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law). Dalam Negara
Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau
mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a)
adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b)
tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
4) Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut
serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk
itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
a) Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;
b) Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan
perwakilan rakyat;
c) Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;
d) Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;
e) Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f) Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
20
[Type here]
g) Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat
secara efektif.
5) Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan.
Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a) Asas-asas umum pemerintahan yang layak;
b) Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin
dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;
c) Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan
berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif
dan efisien.
Bahwa kaitannya Kepastian Hukum Pembagian Hasil Pajak Hotel dan Restoran Daerah
Kabupaten/Kota dengan Konsep Negara Hukum, berdasarkan unsur negara hukum bahwa
pemerintahan berdasarkan undang-undang. UUD NKRI Tahun 1945 menentukan bahwa
pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Pasal 18 ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945
menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Serta Dalam
Pasal 18A ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945, yang menentukan bahwa hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang. Mengingat Bagi Hasil Pajak Hotel dan Restoran sebagai konsekuensi asas otonomi daerah
kabupaten/kota di Provinsi Bali, daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri pelaksanaannya
21
[Type here]
tetapi sudah sepatutnya diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-
undang.
Dengan demikian penerapan konsep negara hukum ini dapat menjawab permasalahan
mengenai dasar pertimbangan pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran serta juga permasalahan
terakhir yaitu bagaimana mewujudkan adanya kepastian hukum dalam pembagian hasil Pajak
Hotel dan Restoran.
1.2.2. Konsep Negara Kesejahteraan
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah (kecuali urusan pemerintah yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat) diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat. Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 memberikan dasar hukum pembentukan
Pemerintahan Daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.
Melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Demikian halnya digunakannya konsep negara kesejahteraan terkait
pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali, sebagai
kewenangan otonom daerah menyangkut pemerataan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Bali,
sehubungan manfaat yang dirasakan terhadap hasil Pajak Hotel dan Restoran di daerah penghasil
yang mendistribusikan potensi yang dimiliki kepada daerah lainnya di Provinsi Bali dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
22
[Type here]
Tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok43, Pertama, negara harus memberikan
perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara mendukung atau langsung
menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik
dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam
hubungan kemasyarakatan. Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu
Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan umum
untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan
dalam suatu Negara Hukum.44
Esping-Andersen sebagaimana dikutip oleh Darmawan Triwibowo, Negara kesejahteraan
bukanlah satu konsep dengan pendekatan baku. Negara kesejahteraan lebih sering ditengarai dari
atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial yang disediakan oleh negara (c.q
pemerintah) kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, transfer pendapatan, pengurangan
kemiskinan, sehingga kedua-nya (negara kesejahteraan dan kebijakan sosial) sering diidentikkan.
Hal itu tidaklah tepat karena kebijakan sosial tidak mempunyai hubungan implikasi dengan negara
kesejahteraan. Kebijakan sosial bisa diterapkan tanpa keberadaan negara kesejahteraan, tapi
sebaliknya negara kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung
keberadaannya.45
Konsep negara kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan fungsi pemerintah
(bestuursfunctie) dalam negara-negara modern. Negara kesejahteraan merupakan antitesis dari
43 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia Widiarsana
Indonesia, Jakarta, h.1. 44 Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, h. 110. 45 Darmawan Tri Wiowo, 2006, Mimpi Negara Negara Kesejahteraan, LP3ES, Jakarta, H. 8.
23
[Type here]
konsep negara hukum formal (klasik), yang didasari oleh pemikiran untuk melakukan pengawasan
yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara, khususnya eksekutif yang pada masa
monarkhi absolut telah terbukti banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.46
Paham negara kesejahteraan memperkenalkan konsep mengenai peranan negara yang lebih
luas. Menurut Utrecht, lapangan pekerjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat luas.
Pemerintah suatu negara hukum modern bertugas menjaga keamanan dalam arti seluas-luasnya,
yaitu keamanan sosial di segala lapangan masyarakat. Dalam suatu welfare state, masa ekonomi
liberal telah lampau dan ekonomi liberal itu telah diganti oleh suatu ekonomi yang lebih dipimpin
oleh pusat (centraalgeleide economie). Staatsonthouding telah diganti oleh Staatsbernoeienies,
pemisahan antara negara dan masyarakat ditinggalkan.47
Apabila semula negara hanya dipandang sebagai instrument of power, maka mulai timbul
aliran-aliran yang menganggap negara sebagai agency of service. Maka timbullah konsep welfare
state yang terutama memandang manusia tidak hanya sebagai individu, akan tetapi juga sebagai
anggota atau warga dari kolektiva dimana manusia bukanlah semata-mata merupakan alat
kepentingan kolektiv saja akan tetapi juga untuk tujuan dirinya sendiri. Ciri-ciri yang pokok dari
suatu welfare state ini adalah sebagai berikut:48
1) Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak prinsipil lagi.
Pertimbangan-pertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada pertimbangan-
pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan organ-organ eksekutif lebih penting dari
46 W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya, Yogyakarta (Selanjutnya
disebut W.Riawan Tjandra I), h.1. 47 E. Utrecht,1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h.27. 48 Soerjono Soekanto, 1967, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia,
UI-Press, Jakarta, h. 68-69.
24
[Type here]
sudut politis dan peranan organ-organ eksekutif lebih penting daripada organ-organ
legislatif.
2) Peranan negara tidak terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban saja akan tetapi negara
secara aktif berperanan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang-bidang sosial,
ekonomi dan budaya, sehingga perencanaan (planning) merupakan alat yang penting dalam
welfare state.
3) Welfare state merupakan negara hukum materiil yang mementingkan keadilan sosial dan
bukan persamaan formil.
4) Sebagai konsekuensi hal-hal tersebut di atas, maka dalam welfare state hak milik tidak lagi
dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, yang
berarti adanya batas-batas dalam kebebasan penggunaannya.
5) Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin
mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan
negara dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya.
Model ini telah menjadi obsesi yang kuat bagi pendiri republik Indonesia, dengan Bung
Hatta sebagai figur sentralnya, UUD 1945 mengandung semangat ke arah model ini. Tujuan pokok
negara kesejahteraan ini antara lain adalah : (i) Mengontrol dan mendayagunakan sumber daya
sosial ekonomi untuk kepentingan publik; (ii) Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan
merata; (iii) Mengurangi kemiskinan; (iv) Menyediakan asuransi sosial (pendidikan, kesehatan)
bagi masyarakat miskin; (v) Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantage
people, (vi) Memberi proteksi sosial bagi tiap warga negara.49
49 W. Riawan Tjandra I, Op.cit, h. 5-6.
25
[Type here]
Negara kesejahteraan merupakan negara hukum yang memperhatikan pada upaya
mewujudkan kesejahteraan orang banyak. UUD 1945 baik dalam Pembukaan maupun Batang
Tubuh memuat berbagai ketentuan yang meletakkan kewajiban pada negara atau pemerintah untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi orang banyak. Bahkan sila Kelima Pancasila dengan tegas
menyatakan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia”. Konsekuensinya, diperlukan
perangkat pemerintahan terdekat yang dapat memahami maupun menyelesaikan persoalan-
persoalan rakyat dengan cepat.50
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa dapat menjawab permasalahan filosofi
dalam penelitian ini yaitu dasar pertimbangan perlunya pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran,
sebagai rumusan permasalahan pertama. Selain itu permasalahan kedua mengenai eksistensi
pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran juga menjadi aspek yang dapat dianalisa menggunakan
konsep negara kesejahteraan.
1.2.3. Konsep Kepastian Hukum
Rumusan permasalahan ketiga dalam disertasi ini menganalisa urgensi mewujudkan
adanya kepastian hukum dalam Pembagian Hasil Pajak Hotel dan Restoran Daerah, sehingga salah
satu konsep yang digunakan dalam membahasnya adalah tentang konsep kepastian hukum.
Kedudukan wewenang pemerintahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tidak bisa
dilepaskan kaitannya dengan penerapan asas legalitas dalam sebuah konsepsi negara hukum yang
demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum. Asas legalitas merupakan salah
satu prinsip utama yang dijadikan sebagai pijakan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan di setiap negara yang menganut konsepsi negara hukum.
50 I Made Arya Utama, Loc.cit.
26
[Type here]
Keberadaan asas legalitas menurut H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt pada mulanya
dikenal dalam hal penarikan pajak oleh negara sehingga di Inggris dikenal adanya sebuah
ungkapan yang menyatakan, bahwa tidak ada penarikan pajak tanpa adanya suatu representasi atau
persetujuan dari parlemen (no taxation without representation of parliament). Hal yang sama
dikenal pula di Amerika dengan suatu ungkapan yang menegaskan pentingnya sebuah dasar
penarikan pajak yakni, bahwa pajak tanpa disertai dengan persetujuan adalah sebuah perampokan
(taxation without representation is robbery). Hal tersebut dapat pula diartikan bahwa penarikan
pajak yang dilakukan oleh pemerintah atas nama negara hanya boleh atau dapat dilakukan setelah
adanya suatu dasar untuk menarik atau memungut pajak dalam bentuk undang-undang.51
Dalam perkembangannya lebih lanjut asas legalitas digunakan juga dalam bidang hukum
administrasi (negara) sebagaimana dikemukakan oleh H.D Stout yang menyatakan pemerintah
harus tunduk kepada undang-undang (is dat het bestuur aan de wet is onderwerpen). Dengan kata
lain, bahwa dengan adanya asas legalitas menetapkan semua ketentuan yang mengikat warga
negara haruslah didasarkan pada undang-undang (het legaliteits beginsel houdt in dat alle
(algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten). Selain itu, dengan
kehadiran konsepsi negara hukum maka asas legalitas ini dijadikan sebagai pilar dasar dan
merupakan prinsip negara hukum yang sering kali dirumuskan dalam sebuah pernyataan yakni,
pemerintahan harus berdasarkan pada hukum (rechtmatigheid van bestuur, goverment based on
the law).52
Dalam penyelenggaraan pemerintahan asas legalitas menjadi acuan dasar bagi pemerintah
dalam bertindak atau berbuat. Dalam arti, bahwa pemerintahan harus dijalankan berdasarkan
ketentuan undang-undang. Konsep ini kemudian ditetapkan menjadi sebuah asas dalam
51 Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan,Prenadamedia Group, Jakarta, h.93. 52 Ibid, h. 94-95.
27
[Type here]
penyelenggaraan pemerintahan, yakni asas pemerintahan berdasarkan undang-undang
(wetmatigheid van bestuur). Keberadaan asas ini terkait erat dengan konsepsi negara hukum yang
berkembang dari pemikiran hukum abad ke-19, khususnya yang berkaitan dengan konsepsi negara
hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatsidee). Pemikiran hukum pada
masa itu sangatlah didominasi dan dikuasai oleh pemikiran hukum legalistik-positivistik, terutama
pengaruh aliran atau ajaran hukum legisme, yang menganggap hukum apa yang tertulis dalam
undang-undang. Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama dalam konsep
penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penerapan asas legalitas dalam konsep
atau gagasan negara hukum liberal memiliki kedudukan sentral, atau sebagai suatu fundamen dari
sebuah konsepsi negara hukum (als een fundamenten van de rechtsstaat).53
Prinsip dasar dalam sebuah konsepsi negara hukum menetapkan, bahwa setiap tindakan
atau perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah (bestuurshandelingen) haruslah berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan atau berdasarkan adanya suatu legitimasi atau kewenangan,
sehingga tindakan atau perbuatan pemerintah tersebut dipandang absah adanya. Dalam praktik
bernegara penerapan dari prinsip tersebut sering kali berbeda-beda antara satu negara dan negara
lainnya. Ada negara yang begitu ketat berpegang teguh pada prinsip tersebut, namun ada pula
negara yang tidak begitu ketat dalam menerapkannya. Dalam arti, bahwa untuk hal-hal atau
tindakan-tindakan (perbuatan) pemerintah yang tidak begitu fundamental sifatnya, maka sering
kali penerapan prinsip tersebut dapat diabaikan.54
Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam
masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang
tinggi. Dimana belum tercerminnya prinsip kepastian hukum dalam pelaksanaan Pembagian Hasil
53 Ibid, h.95 54 Ibid, h.96-96.
28
[Type here]
Pajak Hotel dan Restoran Kabupten/Kota di Bali. Pelaksanaan Pembagian Hasil Pajak Hotel dan
Restoran belum didasarkan atas undang-undang, khususnya mengenai angka persentase tertentu
bagi hasil sesuai disyaratkan UU Pemerintahan Daerah serta prinsip kepastian hukum yang
diamahkan dalam UUD NKRI 1945.
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.55 Hukum secara
hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu
harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan
dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah
sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak
pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum sama sekali.
Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).56 Hukum adalah
kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat
dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi.57Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian
akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi
jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).58
Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu
sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa
hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua,
55Cst Kansil, Christine S.t Kansil, Engelien R,palandeng dan Godlieb N mamahit, 2009, Kamus Istilah
Hukum, Jala Permata Aksara, Jakarta, h., 385. 56Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, PT Revika Aditama, Bandung,
h.79-80. 57Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, h.24. 58Ibid., hal 82.
29
[Type here]
bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang
nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu
harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di
samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.59
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang
apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam
membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan
tersebut menimbulkan kepastian hukum.60
Konsep-konsep kepastian hukum sebagaimana telah dijelaskan digunakan untuk
menganalisa dan memberikan jawaban atas rumusan masalah ketiga yaitu urgensi mewujudkan
adanya kepastian hukum dalam pembagian Hasil Pajak Hotel dan Restoran.
1.2.4. Asas Desentralisasi
Ketentuan Umum Penjelasan UU Pemerintahan Daerah menyebutkan, Pemberian otonomi
yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam
negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan
tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada
Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan
59Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta (selanjutnya disebut Satjipto
Rahardjo I), h. 135-136. 60 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki II), h.158.
30
[Type here]
Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan
dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh
Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada
bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk
mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung
pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
Demikian halnya dipilihnya konsep hukum otonomi daerah pada penelitian kepastian
hukum pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran pada daerah kabupaten/kota di Provinsi Bali
dalam hal sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang
mengatur dan mengurus daerahnya, sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional
dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk
mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk
kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk
kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga
memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara
kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal
dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pasal 1 angka 2 UU Pemerintahan Daerah menyebutkan, Pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat
daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
31
[Type here]
Kemudian angka 3 melanjutkan, yang merupakan Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Pasal 1 angka 6 UU Pemerintahan Daerah menyebutkan, Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Selanjutnya angka 12 menyebutkan, Daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan pengaturan urusan daerah diatur dalam Pasal 9 UU Pemerintahan
Daerah, menyatakan bahwa:
(1) Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
(2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
(3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota.
(4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan
otonomi daerah.
32
[Type here]
(5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.
Sehingga berdasarkan UU Pemerintahan Daerah klasifikasi urusan pemerintahan terdiri
dari tiga urusan yakni:61
1) Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat.
2) Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah
pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
3) Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
presiden sebagai kepala pemerintahan, pelaksanaannya dilimpahkan kepada gubernur dan
bupati/walikota di wilayahnya masing-masing, misalnya urusan menjaga 4 pilar negara.
Untuk melaksanakan urusan pemerintah umum, gubernur, bupati/walikota dibantu oleh
perangkat pemerintah pusat dan dibentuk forum koordinasi pimpinan daerah dan forum
koordinasi kecamatan. Pendanaan dibebankan kepada APBN.
Secara epistimologi, otonomi berarti pemerintahan sendiri yang merupakan kesatuan dari
dua kata yaitu auto yang berarti sendiri dan nomes berarti pemerintahan. Dalam bahasa Yunani,
otonomi berasal dari autos yang berarti sendiri dan nemein yang berarti kekuatan mengatur sendiri.
Dengan demikian secara maknawi (begrif) otonomi mengandung makna kemandirian dan
kebebasan daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri.62
Definisi otonomi daerah bukanlah definisi yang tunggal, karena banyak sarjana yang
memberikan definisi tersendiri:
61 Sirajuddin dkk, 2016, Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, Setara Press, Malang, h. 85. 62 Hendra Karianga, 2013, Politik Hukum Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Prenadamedia Group,
Jakarta, h.76., dikutip dari Widarta, 2001, Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama,
Yogyakarta, h.2.
33
[Type here]
- Menurut C.W. Van Der Pot, memahami konsep otonomi daerah sebagai menjalankan
rumah tangga sendiri (eigen houshounding). Selain itu, otonomi juga diartikan sebagai
suatu hak rakyat untuk mengatur pemerintahan di daerah dengan caranya sendiri sesuai
dengan hukum, adat dan tata kramanya. Otonomi yang demikian disebut sebagai otonomi
yang mendasar dan indigenous.63
- Ni’matul Huda, mengatakan bahwa otonomi adalah tatanan yang bersangkutan dengan
cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Ini berarti bahwa konsep otonomi daerah yang
diartikannya merupakan pembagian wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan
rumah tangga daerahnya sendiri dengan tetap memperhatikan aturan yang telah diatur oleh
pemerintah pusat.64
- Syarif Saleh, mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri,
atas inisiatif dan kemauan sendiri di mana hak tersebut diperoleh dari pemerintah pusat.
Adapun menurut Wayong, bahwa otonomi daerah itu merupakan suatu kebebasan untuk
memelihara dan memajukan kepentingan daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan
hukum sendiri dan berpemeritahan sendiri.65
Otonomi dapat ditentukan berdasarkan teritorial (otonomi teritorial) ataupun berdasarkan
fungsi pemerintahan tertentu (otonomi fungsional) sehingga keduanya lazim disebut desentralisasi
teritorial dan desentralisasi fungsional. Berdasarkan desentralisasi teritorial negara sebagai satu
kesatuan teritorial dibagi dalam satuan-satuan pemerintahan teritorial yang lebih rendah yang
63 Yusnani Hasyimzoem, dkk., 2017, Hukum Pemerintahan Daerah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 15. 64 Ibid. 65 Ibid.
34
[Type here]
dinamakan daerah otonom. Daerah otonom dibentuk sebagai subsistem dari negara kesatuan
(decentralized unitary state).66
Desentralisasi juga dikaitkan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam pembentukan
peraturan daerah sebagaimana pengertian desentralisasi yang dikemukakan Hans Kelsen sebagai
berikut:
The decentralization refers only to certain subject matters of special local interest; and the
scope of municipal authority is restricted to the stage of individual norms. But sometimes
the elected administrative body, the municipal council, is competent to issue general
norms, so-called autonomous statutes; but these statutes have to stay within the framework
of central statutes, issued by the legislative organ of the state.
Sehingga dimaksudkan bahwa desentralisasi hanya menunjuk pada perihal subyek tertentu
dari kepentingan khusus daerah; dan lingkup kewenangan daerah dibatasi oleh kuatnya norma
individu, namun terkadang dewan perwakilan rakyat terpilih berkompetensi untuk mengeluarkan
norma umum, yang disebut peraturan daerah; namun peraturan ini harus tetap berada di dalam
kerangka kerja peraturan pusat yang dikeluarkan oleh badan legislative negara.67 Asas otonomi
daerah akan memberikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan dilakukannya pembagian hasil
Pajak Hotel dan Restoran serta juga menyangkut keberadaan atau eksistensi pembagian hasil Pajak
Hotel dan Restoran khususnya di kabupaten/kota di Provinsi Bali.
1.2.5. Konsep Perimbangan Keuangan
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat diartikan
sebagai suatu system yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi di antara berbagai
tingkat pemerintah, serta bagaimana cara mencari sumber-sumber pembiyaan daerah untuk
menunjang kegiatan-kegiatan sektor publiknya. Hubungan keuangan ini merupakan salah satu isu
disamping isu lainnya seperti pembagian kewenangan, pengawasan, dan sebagainya yang cukup
66 I Gede Pantja Astawa, 2009, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Alumni, Bandung, h.54. 67 Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, h. 314.
35
[Type here]
mengemuka dalam negara kesatuan, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
menganut sistem desentralisasi. Hubungan keuangan demikian itu tidak lain merupakan
konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.68
Dalam sistem perundang-undangan Indonesia, hubungan keuangan antara pusat dan daerah
“diatur dan dilaksanakan secara adil” ini dimaknai sebagai “permbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Berdasarkan Pasal 1 angka 30 UU Pemerintahan
Daerah, pengertian hubungan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah adalah “suatu
sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan
bertanggungjawab”.69
Konsep Hukum Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah
berkaitan dengan pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran daerah kabupaten/kota di Provinsi
Bali dalam hal pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. Dengan demikian dapat menjawab
permasalahan bagaimana ekstistensi pembagian hasil Pajak Hotel dan Restoran oleh
kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Pasal 1 angka 3 UU Perimbangan Keuangan menyebutkan, Perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
68 Sirajuddin dkk, op.cit, h. 102. 69 Sirajuddin dkk, op.cit, h. 103.
36
[Type here]
Pemerintah daerah membutuhkan pemerintah dan pemerintahan daerah yang kuat dan yang
mampu menjaga hubungan keuangan yang sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat. Esensi dasar otonomi daerah untuk mendekatkan fungsi pemerintahan dan pelayanan
publik kepada masyarakat daerah harus dianggap sebagai salah satu cara mencapai tujuan
bernegara. Hal ini dapat dilakukan pemerintah dan pemerintahan daerah dengan tiga tindakan yang
dapat dilakukan bersamaan yaitu:
1. Desentralisasi, yaitu penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi, seperti disebutkan dalam Pasal 1 angka 8
UU Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi dipahami sebagai “as the transfer of power to different sub national
levels government by the central government”. Kebijakan desentralisasi terkait dengan
besarnya jumlah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah lokal dan kaitannya
dengan pemerintah daerah lainnya. Spesifikanya berdasarkan kepentingan nasional
tujuan utama dari desentralisasi adalah: a) untuk mempertahankan dan memperkuat
integrasi bangsa; b) sebagai sarana untuk training bagi calon-calon pemimpin nasional;
dan c) untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Sedangkan sisi kepentingan daerah, tujuan utama dari desentralisasi meliputi antara
lain: a) untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal (political equality, local
accountability, dan local responsiveness; b) untuk meningkatkan pelayanan publik; c)
untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
pembangunan daerah.70
70 Nurliah A. Wahyudin, 2009, Hubungan antar Pemerintah dalam Meningkatkan Ivenstasi Daerah dalam
buku Pemerintahan Daerah di Indonesia, MIPI, Jakarta, h.315.
37
[Type here]
Livack dalam membedakan konsep desentralisasi, menyatakan menjadi tiga bentuk,
yaitu:
a) Desentralisasi politik, melimpahkan kepada daerah kewenangan yang lebih besar
menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standard
an berbagai peraturan.
b) Desentralisasi administrasi, merupakan redistribusi kewenangan, tanggung jawab
dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai
disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan syarat agar hal
ini bisa efektif.
c) Desentralisasi fiskal, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih
tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.71
Pembagian ketiga desentralisasi pada hakikatnya tidak mengubah hakikat dari
desentralisasi yakni kesejahteraan rakyat sehingga ketiganya tidak bisa dilihat secara
berdiri sendiri tetapi merupakan tiga bentuk desentralisasi yang berkaitan satu dengan
yang lainnya. Konsep desentralisasi fiscal tidak bisa dilepaskan dari konsepsi
desentralisasi sehingga apabila desentralisasi merupakan disribusi kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka desentralisasi fiscal pun demikian
adanya tetapi khusus untuk anggaran.
The Liang Gie mengemukan alasan mengapa diperlukannya sistem desentralisasi dari
beberapa sudut pandang, yaitu:72
71 Hendra Karianga, op.cit., h. 123.
72 The Liang Gi, 1979, Teori-Teori Keadilan, Subur, Yogyakarta, h.27.
38
[Type here]
1) Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak yang pada akhirnya dapat menimbulkan
tirani.
2) Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
mempergunakan hak-hak demokrasi.
3) Dari sudut teknik organisasi pemerintahan, alasan mengadakan desentralisasi adalah
semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih
utama untuk diurus oleh pemerintah pusat.
2. Dekonsentrasi, adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat,
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali
kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum, seperti disebutkan dalam
Pasal 1 angka 9 UU Pemerintahan Daerah.
Ada dua konsep dekonsentrasi yaitu:73
1) Konsep statis, suatu keadaan dalam organisasi negara proses pengambilan
kebijakan berada di puncak hirarki organisasi, tetapi proses pelaksanaan kebijakan
terbesar di luar puncak hirarki organisasi atau tersebar di seluruh pelosok wilayah
negara.
2) Konsep dinamis, suatu proses penyebaran kekuasaan (wewenang) untuk
mengimplementasikan kebijakan di luar puncak organisasi atau di seluruh pelosok
wilayah negara.
73 Sirajuddin dkk, op.cit, h. 55.
39
[Type here]
Penyelenggaraan asas dekonsentrasi menciptakan Field adminstration dan/atau local
state government. Hubungan antara aparatur pemerintah yang melaksanakan kebijakan
dan pembentuk kebijakannya dalam dekonsentrasi adalah intra organisasi. Dalam segi
pemerintahan daerah dikenal dua model field administration. Kedua model tersebut
adalah fragmented field admnistration dan integrated field aministration. Model
pertama yang berbasis fungsi, membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari
perangkat departemen dilapangan (instansi vertikal) secara berbeda menurut
perimbangan fungsi dan organisasi departemen induknya. Model kedua yang berbasis
wilayah, mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas wilayah kerja
(yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar daerah (wilayah) administrasi
dibawah wakil pemerintah.74
Menurut Irawan Soejito terdapat dua pandangan mengenai hubungan desentralisasi dan
dekonsentrasi. Pertama, pandangan menganggap dekonsentrasi sebagai salah satu
bentuk desentralisasi. Kedua, pandangan yang menganggap dekonsentrasi adalah
sekedar pelunakan sentralisasi menuju arah desentralisasi.75
Secara politis, eksistensi dekonsentrasi akan dapat mengurangi keluhan-keluhan daerah
dan protes-protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat dengan menjauhkannya
dari ibukota, sehingga dampaknya dapat dialokasikan pada daerah-daerah tertentu saja.
Aparat-aparat dekonsentrasi juga sering digunakan untuk mengontrol daerah-daerah.
Melalui kewenangan administrative terhadap anggaran daerah, persetujuan-persetujuan
74 Bhenyamin Hoessein, 2009, Hubungan Pusat dan Daerah dalam Konsteks Pemerintahan Umum dalam
Bukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, MIPI, Jakarta, h.218. 75 Josep Mario Monteiro, 2014, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 14.
40
[Type here]
terhadap peraturan daerah, aparat dekonsentrasi dapat mengendalikan pemerintah
daerah, terutama manakala terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah.76
3. Tugas pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota
untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi. Seperti disebutkan Pasal 1 angka 11 UU Pemerintahan Daerah.
Menurut Koesoemahatmadja, tugas pembantuan (medebewind atau zelfbestuur)
sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah/ pemerintah daerah yang
tingkatnya lebih atas untuk minta bantuan kepada pemerintah/ pemerintah daerah yang
tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga
(daerah yang tingkatannya lebih atas tersebut).77
Tugas pembantuan merupakan asas yang diwariskan oleh Hukum Tata Negara Hindia
Belanda. Dalam Hukum Tata Negara Hindia Belanda tugas pembantuan disebut medebewind yang
pengaturannya tertuang dalam UU Desentralisasi 1903 atau secara lengkap Wethoutdende
Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (S.1903/329).78 Menurut Ateng Syafrudin,
dasar pertimbangan pelaksanaan asas tugas pembantuan antara lain:79
1) Keterbatasan kemampuan pemerintah dana tau pemerintah daerah;
2) Sifat sesuatu yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikutsertakan pemerintah
daerah;
76 Ibid, h. 17-18. 77 Ni’matul Huda, 2014, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Nusa Media, Bandung, h. 39-40. 78 Sirajuddin dkk, op.cit., h. 79 Ateng Syafrudin, 1985, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Badung, h. 42
41
[Type here]
3) Perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan pemerintahan akan lebih
berdaya guna dan berhasil guna apabila ditugaskan kepada pemerintah daerah.
Tujuan diberikannya tugas pembantuan menurut Ateng Syafrudin dibedakan atas 2 aspek
adalah:80
1) Untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pembangunan serta
pelayanan umum kepada masyarakat.
2) Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu
mengembangkan pembangunan daerah sesuai dengan potensi dan karakteristiknya.
Tugas pembantuan diadakan berdasarkan berbagai pertimbangan. Pertama, agar suatu urusan
dapat terselenggara secara efisien dan efektif. Pusat tidak perlu membentuk aparat sendiri di daerah
dan melaksanakan sendiri dari pusat. Pelaksanaan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kedua, dalam pelaksanaan dimungkinkan penyesuaian-penyesuaian menurut keadaan masing-
masing daerah. Tidak diperlukan keseragaman secara nasional. Daerah bebas menentukan cara-
cara melaksanakannya. Sebaliknya, suatu urusan yang memerlukan keseragaman dalam
penyelenggaraannya tidak dapat dilaksanakan dengan tugas pembantuan. Urusan semacam ini
harus dilaksanakan langsung dari pemerintah pusat. Kebebasan melaksanakan ini menunjukkan
ada unsur otonomi dalam tugas pembantuan. Karena itu ada yang memasukkan tugas pembantuan
merupakan bagian dari otonomi. Walaupun tidak mengenai substansi tetapi ada kemandirian
(kebebasan) mengatur dan mengurus tata cara pelaksanaanya, sehingga tidak ada perbedaan yang
mendasar antara rumah tangga otonomi dengan rumah tangga urusan tugas pembantuan. Tugas
pembantuan dapat pula digunakan sebagai cara persiapan sebelum suatu urusan pemerintahan
80 Ibid.
42
[Type here]
diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Disamping itu, tugas pembantuan berfungsi
membantu daerah otonom dengan menyediakan dana fasilitas yang diperlukan.81
Pokok-pokok yang menjadi muatan dalam UU Perimbangan Keuangan sebagaimana
disebutkan pada akhir penjelasan umum sebagai berikut:82
a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan pemerintah dan pemerintahan
daerah sesuai asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
b. Penambahan jenis dana bagi hasil dari sector pertambangan panas bumi, pajak penghasilan
(PPh) Pasal 25/29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21;
c. Pengelompokan dana reboisasi yang semula termasuk dalam komponen dana alokasi khusus
menjadi dana bagi hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian dana alokasi umum;
e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian dana alokasi khusus;
f. Penambahan pengaturan hibah dan dana darurat;
g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme pinjaman daerah;
h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i. Penegasan pengaturan system informasi keuangan daerah; dan
j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam undang-undang ini dipertegas dengan
pemberian sanksi.
UU Perimbangan Keuangan merupakan undang-undang organik yang juga merupakan
undang-undang sectoral dalam mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Di samping
itu ada beberapa undang-undang lainnya yang secara umum dan pokok-pokok saja dalam
81 Bhenyamin Hoessein, 2011, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah dari Era Orde
Baru ke Era Reformasi, DIA FISIP UI, Jakarta, h.169. 82 Sirajuddin dkk, op.cit., h. 106.
43
[Type here]
mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU Pemerintahan Daerah. Pasal 22 ayat (1) UU Keuangan
Negara yang berbunyi: “Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada
Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah”.83
2.2.6. Konsep Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan yang sasaran utamanya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam negara yang bersangkutan biasanya ditentukan oleh bagaimana
melakukan atau melaksanakan azas-azas yang terkandung dalam pemerintahan secara cepat dan
tepat. Pelaksanaan azas pemerintahan yang tidak cepat dan tepat itu pasti kita yakini bahwa tugas-
tugas penyelenggaraan pemerintahan akan mengalami hambatan dan bahkan memungkinkan
kegagalan.84
Dalam lingkup hukum administrasi terdapat asas-asas umum pemerintahan yang baik yang
apabila diterapkan dalam segala aspek kegiatan pemerintahan, apa yang menjadi krisis di negara
ini tidak akan terjadi. Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini sebenarnya berasal dari negeri
Belanda. Di Indonesia sendiri, asas-asas umum pemerintahan yang baik diperkenalkan oleh
Kuntjoro Purbopranoto, asas-asas umum pemerintahan yang baik ini dikategorikan dalam 13 (tiga
belas) asas, yaitu:85
1) Azas kepastian hukum (principle of legal security);
2) Azas keseimbangan (principle of proportionality);
3) Azas kesamaan (principle of equality);
4) Azas bertindak cermat (principle of carefulness);
83 Sirajuddin dkk, op.cit., h. 107. 84 Makmur, 2013, Kriminologi Administrasi dalam Pemerintahan, PT.Refika Aditama, Bandung, h.30. 85 Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi
Negara, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, h. 29-30.
44
[Type here]
5) Azas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation);
6) Azas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence);
7) Azas permainan layak (principle of fair play);
8) Azas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of
arbitrariness);
9) Azas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
10) Azas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing
consequences of an annulled decision);
11) Azas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting
the personal way of life);
12) Azas kebijaksanaan (sopientia);
13) Azas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
Sedangkan pada Pasal 58 UU Pemerintahan Daerah serta penjelasannya, menyebutkan
dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan
pemerintahan negara yang terdiri atas:
1) Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam kebijakan penyelenggara
negara.
2) Tertib penyelenggara negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
3) Kepentingan umum, yaitu yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
45
[Type here]
4) Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5) Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6) Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
7) Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8) Efisiensi, yaitu asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya
dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
9) Efektivitas, yaitu asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
10) Keadilan, yaitu bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan negara harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik muncul dan dimuat dalam suatu undang-
undang, yaitu Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851). Dalam Pasal 3 UU No 28
Tahun 1999 disebutkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yaitu sebagai berikut:
46
[Type here]
1) Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negera hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
3) Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4) Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hal masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan
rahasia negara.
5) Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara.
6) Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas-asas yang tercantum dalam UU N0 28 Tahun 1999 tersebut pada awalnya ditujukan
untuk para penyelenggara negara secara keseluruhan, berbeda dengan asas-asas yang sejak semula
hanya ditujukan pada pemerintah dalam arti sempit, sesuai dengan istilah ‘bestuur’ pada algemeen
beginselen van behoorlijk bestuur, bukan regering atau overheid, yang mengandung arti
47
[Type here]
pemerintah dalam arti luas. Seiring dengan perjalanan waktu, asas-asas dalam UU No 28 Tahun
1999, tersebut diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan proses peradilan
di Pengadilan Tata Usaha Negara, yakni setelah adanya UU No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) point a disebutkan;
“Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik”, dan dalam penjelasannya disebutkan; “Yang dimaksud dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik adalah meliputi atas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas, sebagaimana dimaksud
dalam UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme”. Disamping itu dalam UU Pemerintahan Daerah, asas-asas umum
pemerintahan yang baik tersebut dijadikan asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
sebagaimana tercantum dalam Pasl 20 ayat (1) yang berbunyi; “Penyelenggaraan pemerintah
berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: asas kepentingan umum,
asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi, dan
asas efektifitas”. Berdasarkan rumusan pasal ini tampak bahwa di dalamnya terdapat dua asas
tambahan, yaitu asas efisiensi dan asas efektivitas. Hanya saja kedua asas tambahan ini tidak
terdapat penjelasannya dalam undang-undang tersebut, sehingga tidak atau belum diketahui apa
yang dimaksudkannya.86
2.2.7 Konsep Freies Ermessen
Keberadaan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas (vrije
bevoegdheid) dari pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies Ermessen. Secara bahasa
freies Ermessen berasal dari kata frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies
86 Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Depok
(Selanjutnya disebut Ridwan HR II), h. 241-243.
48
[Type here]
artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti
mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang
memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah itu
kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan, sehingga freiess Ermessen
(dikresionare power) diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi
pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat
sepenuhnya pada undang-undang. Definisi lain yang hampir senada diberikan oleh Nana Saputra,
yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya
memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan
(doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum, atau kewenangan yang sah
untuk turut campur dalam kegiatan sosal guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan
kepentingan hukum. Bachsan Mustafa menyebutkan bahwa, freies Ermessen diberikan kepada
pemerintah mengingat fungsi pemerintah atau administrasi negara yaitu menyelenggarakan
kesejahteraan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa antar
penduduk. Keputusan pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya
(doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).87
Meskipun pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara
merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara
hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah
mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut:88
a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;
b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administasi negara;
87 Ibid., h. 169-170. 88 Ibid., h. 170.
49
[Type here]
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang
timbul secara tiba-tiba;
f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa maupun secara hukum.
Dalam perspektif negara hukum kesejahteraan, tindakan yang dilakukan oleh pejabat
administrasi negara berdasarkan asas kebebasan bertindak (diskresi atau freies ermessen) tidak
terikat kepada undang-undang. Akan tetapi, tentu saja pejabat administrasi negara yang
bersangkutan tidak boleh melakukan tindakan tanpa pertimbangan-pertimbangan atau dasar
pemikiran tertentu. Dalam perspektif negara hukum, segenap tindakan pejabat administrasi harus
selalu ada batasan dan alasannya. Jika suatu tindakan pemerintahan tidak dapat dinilai berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan hukum, tidak berarti perbuatan tersebut tidak perlu
dipertanggungjawabkan. Tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum harus
dipertanggungjawabkan secara moral dan akal sehat yang ukuran-ukurannya adalah kepatutan
(moral) dan kelayakan (akal sehat). Dalam hubungan itu, Hans J.Wolf, seperti dikutip oleh Markus
Lukman, mengemukakan bahwa freies ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-
akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak dengan sewenang-wenang atau tanpa
dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupun dengan pertimbangan subjektif-
individual.89
Pemberian kewenangan untuk bertindak atas inisiatif sendiri kepada pemerintah (pejabat
administrasi negara) tentu saja harus didasarkan pada beberapa alasan tertentu. Hal ini berarti
89 Hotma P.Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan, Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik, Erlangga, Jakarta, h. 73.
50
[Type here]
bahwa diskresi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Melainkan terikat kepada
persyaratan kondisional, tanpa kehadiran persyaratan kondisional tindakan diskresi tersebut pada
dasarnya tidak boleh dilakukan.
Menurut Ridwan H.R., ada tiga alasan atau keadaan kondisional yang menjadikan
pemerintah dapat melakukan tindakan diskresi atau tindakan atas inisiatif sendiri, yaitu sebagai
berikut:90
1) Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in
concreto terhadap suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang
segera.
2) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan aparat pemerintah telah
memberikan kebebasan sepenuhnya.
3) Adanya delegasi perundang-undangan, yaitu pemberian kekuasaan untuk mengatur sendiri
kepada pemerintah yang sebenarnya kekuasaan ini dimiliki oleh aparat yang lebih tinggi
tingkatannya.
Dalam kondisi yang pertama diatas, diskresi mengandung arti sebagai suatu tindakan
pemerintah yang dilakukan atas inisiatif sendiri akibat terjadi kekosongan hukum (undang-
undang) in concreto. Dalam kondisi tersebut, kekosongan hukum tersebut harus diisi pemerintah
dengan menetapkan sendiri hukum yang berlaku terhadap kasus yang bersangkutan karena belum
ada undang-undang yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah. Namun jika terjadi masalah
baru yang belum ada pengaturannya, pemerintah dapat berpedoman pada asas-asas hukumyang
hidup dalam kesadaran hukum bangsa Indonesia.91
90 Ibid., h. 73. 91 Ibid., h. 74.
51
[Type here]
Dalam hal kondisi kedua diatas, diskresi merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah atas inisiatif sendiri untuk menjalankan suatu undang-undang karena undang-undang
itu sendiri tidak mengatur cara untuk menjalankannya secara khusus. Contohnya, suatu undang-
undang yang tidak menentapkan syarat-syarat untuk memperoleh izin usaha tertentu, jika
pemerintah tidak mengambil tindakan untuk menjalankan undang-undang dengan sendirinya
undang-undang itu tidak dapat dijalankan. Pemerintah harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk
menjalankan perintah undang-undang tersebut, yaitu dengan menetapkan sendiri syarat-syarat
untuk memperoleh izin usaha tersebut. Jika tidak ada patokan yang diberikan oleh undang-undang,
syarat-syarat tersebut dengan sendirinya ditetapkan atas dasar penilaian pemerintah atau pejabat
administrasi negara yang bersangkutan.92
Dalam kondisi ketiga di atas, dikresi merupakan tindakan pemerintahan yang dilakukan
atas inisiatif sendiri karena aparat pemerintah diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri suatu hal
tertentu, meskipun kewenangan untuk mengatur hal tersebut sebenarnya dimiliki oleh aparat yang
lebih tinggi tingkatannya. Dalam kondisi ini kekuasaan yang lebih tinggi menyerahkan
kewenangannya kepada pejabat administrasi negara untuk menjalankan kewenangan tersebut. Jika
terjadi penyerahan kewenangan kepada pejabat administasi negara, pemerintah bertindak seolah-
oleh pembentuk undang-undang.93
Dalam lapangan hukum administrasi negara dikenal dua macam diskresi sebagai bentuk
kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri, yaitu: (a) diskresi bebas; dan (b) diskresi terikat.
Atmosudirjo menyebutkan berdasarkan kriteria (tolok ukur) ruang kebebasan yang diberikan oleh
92 Ibid., h. 75. 93 Ibid., h. 75.
52
[Type here]
undang-undang kepada pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam melakukan tindakan
atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan suatu masalah faktual.94
Menurut Atmosudirjo, dalam diskresi terikat, ruang pertimbangan yang diberikan kepada
pemerintah dibatasi oleh undang-undang sehingga ruang pertimbangan tersebut bersifat terbatas.
Dalam diskresi bebas, ruang pertimbangan tersebut tidak dibatasi secara khusus oleh undang-
undang. Undang-undang hanya menetapkan batas-batas umum sehingga pejabat administrasi
negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui atau melanggar batas-batas
tersebut. Diskresi bebas juga dikenal dengan istilah wewenang bebas. Dalam diskresi atau
wewenang bebas, undang-undang memberikan ruang kebebasan (keleluasaan) yang cukup besar
kepada pejabat administrasi negara mengenai cara-cara melaksanakan kewenangan diskresinya.
Keleluasaan itu terjadi karena undang-undang tidak menentukan kriteria yang harus diperhatikan
oleh pejabat administrasi negara dalam menjalankan kewenangan diskresi tersebut.95
94 Ibid., h. 79. 95 Ibid., h. 80.
53
[Type here]
2.1. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini, dengan memperhatikan Latar Belakang sampai
kerangka berpikir dibawah sebagai berikut :
1. Pertimbangan
perlunya
Pembagian Hasil
Pajak Hotel dan
Restoran Daerah
Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali
Problematika Filosofis:
Kepastian, Keadilan Kemanfaatan
Problematika
Sosiologis: Fakta
Problematika
Yuridis: Rechtvacum
Hasil dan Pembahasan
Latar Belakang Masalah
Metode Penelitian
Kerangka Teoritik Teori
Rumusan Masalah
Teori Kehadilan,
Kewenangan, dan Manfaat,
Konsep negara hukum, Negara Kesejahtraan,
Kepastiam hukum, Asas
Otonomi Daerah,
Perimbangan Keuangan, Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik, dan
Freies Ermessen
Penelitian Hukum
Normatif, pendekatan:
Undang-Undang, Konsep,
Sejarah & Kefilsafatan
Kesimpulan dan Saran
2. Eksistensi
Pembagian Hasil
Pajak Hotel dan
Restoran Daerah
Kabupaten/Kota
di Provinsi Bali
3. Bagaimana
mewujudkan
adanya kepastian
hukum dalam
Pembagian Hasil
Pajak Hotel dan
Restoran Daerah
Top Related