7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Hakikat Matematika SD
2.1.1 Pengertian Matematika
Menurut Ahmad Susanto (2014:185) mengemukakan bahwa “matematika
merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir
dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-
hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Hans Freudental dalam Ahmad Susanto (2013:189) mengatakan :
Matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus
dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian, matematika merupakan ilmu
berpikir logis yang dipresentasikan dalam bilangan, ruang dari bentuk
dengan aturan-aturan yang telah ada dan tak lepas dari aktivitas insani
tersebut. Pada hakikatnya, matematika tidak terlepas dari kehidupan
sehari-hari dalam arti matematika memiliki kegunaan yang praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Semua masalah kehidupan yang membutuhkan
pemecahan secara cermat dan teliti mau tidak mau harus berpaling
kepada matematika.
Menurut Ahmad Susanto (2013:183) mengatakan :
Bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan
membantu dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari
yang berhubungan dengan hitung menghitung atau yang berkaitan
dengan angka-angka berbagai macam masalah yang memerlukan suatu
keterampilan dan kemampuan untuk memecahkannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika
adalah pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir logis individu
dalam penyelesaian atau pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Dimana pemecahan masalah tersebut membutuhkan kemampuan dan
keterampilan serta ketelitian yang dapat meningkatkan pengetahuan yang dimiliki
individu itu sendiri.
8
2.1.2 Kompetensi Pembelajaran Matematika SD
Dalam kurikulum Depdiknas 2004 dalam Ahmad Susanto (2014:184)
disebutkan bahwa :
Standar kompetensi matematika di sekolah dasar yang harus dimiliki
siswa setelah melakukan kegiatan pembelajaran bukanlah penguasaan
matematika, namun yang diperlukan ialah dapat memahami dunia
sekitar, mampu bersaing dan berhasil dalam kehidupan. Standar
kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum ini mencakup
pemahaman konsep matematika, komunikasi matematis, penalaran, dan
pemecahan masalah, serta sikap dan minat yang positif terhadap
matematika.
Adapun standar kompetensi lulusan untuk setiap tingkatan sekolah dasar
menurut dokumen pada KTSP mengenai standar kompetensi lulusan tersebut
dalam Ibrahim dan Suparni (2012:37) adalah sebagai berikut :
a. Memahami konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan
sehari-hari.
b. Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur-unsur dan sifat-sifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan
sehari-hari.
c. Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam
pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.
d. Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.
e. Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), serta mengurutkan data, rentangan data,
rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah
kehidupan sehari-hari.
f. Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan.
g. Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif.
2.1.3 Pembelajaran Matematika SD
Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar bertujuan untuk mempersiapkan
siswa agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan di dalam kehidupan dan
dunia yang sedang berkembang. Menurut Ibrahim dan Suparni (2012:35)
menyenbutkan bahwa “mata pelajaran matematika di Sekolah Dasar diberikan
9
kepada siswa dengan tujuan agar siswa memiliki kemampuan berpikir logis,
analisis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama”.
Dalam kurikulum Depdiknas (2006) menjelaskan bahwa “pembelajaran
matematika di Sekolah Dasar ditujukan pula agar siswa memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi, untuk bertahan hidup pada
keadaan yang selalu berubah-ubah, tidak pasti dan kompetitif”. Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar matematika dalam kurikulum disusun sebagai
landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan
kemampuan memecahkan masalah, menyelesaikan masalah dan menafsirkan
solusinya.
Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar merupakan salah satu kajian
yang menarik karena adanya perbedaan karakteristik antara hakikat siswa dan
hakikat matematika. Matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup
dalam lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk
mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Manfaat matematika bagi siswa SD adalah
sesuatu yang jelas dan tidak perlu dipersoalkan, lebih lagi pada era pengembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini.
Dalam setiap pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan
mengajukan masalah kontekstual secara bertahap dibimbing untuk menguasai
konsep matematika. Untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran maka dituntut
untuk menggunakan alat atau media pembelajaran yang dapat membantu proses
dan keberhasilan pembelajaran. Selain itu, dalam pembelajaran matematika juga
dituntut menerapkan sebuah model pembelajaran yang tepat, sehingga pada
akhirnya pembelajaran matematika dapat diserap dengan baik oleh siswa. Begitu
juga dengan pembelajaran pada materi konsep pecahan, seorang guru harus bisa
menggunakan media pembelajaran yang tepat dan efektif. Dalam
mengembangkan kreatifitas dan potensi siswa, maka guru hendaknya dapat
menyajikan pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan kurikulum dan
pola pikir siswa. Dalam mengajarkan matematika, seorang guru harus memahami
10
bahwa kemampuan setiap siswa itu berbeda-beda serta tidak semua siswa
menyenangi mata pelajaran matematika.
2.1.4 Penilaian Matematika SD
Menurut Permendikbud No 81A Tahun 2013 tentang Pedoman Umum
Implementasi Kurikulum 2013 dalam Eko Putro Widoyoko (2014:4),
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh,
menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar
peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan,
sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan
keputusan.
Semetara itu Adi Suryanto,dkk dalam Eko Putro Widoyoko (2014:4)
mengartikan penilaian (assessment) sebagai “kegiatan untuk mengumpulkan
informasi hasil belajar siswa yang diperoleh dari berbagai jenis tagihan dan
mengolah informasi tersebut untuk menilai hasil belajar dan perkembangan
belajar siswa”. The Task Group on Assessment and Testing (TGAT) dalam Eko
Putro Widoyoko (2014:3) mendeskripsikan asesmen sebagai “semua cara yang
digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok”. Sedangkan
penilaian dalam dalam konteks hasil belajar menurut Eko Putro Widoyoko
(2014:4) diartikan sebagai “kegiatan menafsirkan atau memaknai data hasil
pengukuran tentang kompetensi yang dimiliki siswa setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran”.
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa assessment
atau penilaian dapat diartikan sebagai kegiatan menafsirkan atau memaknai data
hasil suatu pengukuran berdasarkan kriteria, standar, maupun aturan-aturan
tertentu. Penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat
penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana proses penilaian atau
ketercapaian kompetensi siswa.
11
2.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
2.2.1 Pengertian Problem Based Learning (PBL)
Menurut Duch dalam Aris Shoimin (2014 : 130) Problem Based Learning
(PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah “model pengajaran
yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta
didik belajar berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta
memperoleh pengetahuan”.
Menurut Finkle dan Torp dalam Aris Shoimin (2014:130) menyatakan
bahwa:
PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang
mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-
dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta
didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang
tidak terstruktur dengan baik.
2.2.2 Kakateristik Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu dalam Aris
Shoimin (2014:130) menjelaskan karakteristik dari Pembelajaran Berbasis
Masalah, yaitu:
a. Learning is student-centered Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitik beratkan kepada
siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh
teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat
mengembangkan pengetahuannya sendiri.
b. Authentic problem form the organizing focus for learning Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang autentik
sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta
dapat menerapkannya di dalam kehidupan profesionalnya nanti.
c. New information is acquired through self-directed learning Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum
mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya sehingga
siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku
atau informasi lainnya.
d. Learning occurs in small groups Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha
membangun pengetahuan secara kolaboratif, PBM dilaksanakan dalam
kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang
jelas dan penetapan tujuan yang jelas.
12
e. Teachers act as facilitators Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Meskipun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas
siswa dan mendorong mereka agar mencapai target yang hendak dicapai.
2.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based
Learning (PBL)
Menurut Aris Shoimin (2013 : 132) terdapat beberapa kelebihan dari model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) antara lain sebagai berikut.
a. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata.
b. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas belajar.
c. Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa.
d. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok. e. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari
perpustakaan, internet, wawancara dan observasi.
f. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri. g. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam
kegiatan diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.
h. Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok dalam bentuk peer teaching.
Sedangkan kelemahan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
menurut Aris Shoimin (2013 : 132) yaitu:
a. PBM tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk
pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan
pemecahan masalah.
b. Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.
2.2.4 Langkah-langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning
(PBL)
Adapun langkah-langkah pada model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) menurut Aris Shoimin (2014:131) yaitu:
a. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi
siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
13
berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas,
jadwal, dan lain-lain).
c. Membimbing penyelidikan individual atau kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
d. Mengembangkan dan menyajikan karya. Guru membantu siswa dalam merencanakan serta menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses-proses yang meraja gunakan.
Perencanaan pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) melibatkan penyusunan pemetaan sintak dan langkah-langkah
pembelajaran di kelas berdasarkan standar proses. Adapun pemetaan sintak dan
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran
matematika dengan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
dipaparkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1
Pemetaan Sintak Problem Based Learning (PBL)
No. Sintak
Standar Proses
Awal Inti Penutup
Pen
dah
ulu
an
Ek
splo
rasi
Ela
bora
si
Kon
firm
asi
Pen
utu
p
1 Mengorientasikan peserta didik terhadap
masalah √
2 Mengorganisasi peserta didik untuk
belajar √ √
3 Membimbing penyelidikan individual
maupun kelompok
√
4 Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya
√
5 Menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah
√ √
14
Prosedur pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat dijelaskan pada tabel 2
berikut.
Tabel 2
Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Aktivitas Guru Tahapan Kegiatan Aktivitas Siswa
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran dan sarana atau
logistik yang dibutuhkan, dan
memotivasi siswa untuk
terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah nyata
yang dipilih atau ditentukan.
Mengorientasikan
peserta didik
terhadap masalah
Siswa menyimak tujuan
pembelajaran yang harus
diketahui dan dipahami
oleh siswa, sehingga siswa
dapat terlibat dalam
aktivitas pemecahan
masalah.
Guru membantu siswa
mengorganisasi tugas yang
berhubungan dengan masalah
yang sudah diorientasikan
pada tahap sebelumnya.
Mengorganisasi
peserta didik untuk
belajar
Siswa mengorganisasi
tugasnya yang berhubungan
dengan masalah yang harus
diselesaikan.
1.Guru meminta siswa
membentuk kelompok
dengan jumlah anggota 4
atau 5 secara heterogen.
2.Guru membagikan (Lembar
Diskusi Siswa) LDS pada
tiap kelompok.
3.Guru menjelaskan tata cara
pengisian LDS.
4.Guru meminta kelompok
berdiskusi.
5.Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai dengan
permasalahan.
Membimbing
penyelidikan
individual maupun
kelompok
1.Siswa membentuk
kelompok beranggotakan 4
atau 5 orang.
2. Siswa mendengarkan
tatacara pengisian LDS.
3. Siswa berdiskusi dengan
kelompoknya (dengan
bimbingan guru)
Guru membantu siswa untuk
berbagi tugas dan
menyiapkan karya yang
sesuai sebagai hasil
pemecahan masalah.
Mengembangkan
dan menyajikan
hasil karya
Siswa menyampaikan hasil
karya kelompok di depan
kelas sebagai hasil
pemecahan masalah.
Guru bersama siswa
melakukan refleksi dan
evaluasi terhadap proses
pemecahan masalah.
Menganalisis dan
mengevaluasi
proses pemecahan
masalah
Siswa dibantu guru
melakukan evaluasi
terhadap proses pemecahan
masalah yang dilakukan.
15
2.3 Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
2.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Nurhadi dalam Rusman (2014 : 189) mengatakan :
Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.
Menurut Jumanta Hamdayama (2014 : 51), Aris Shoimin (2013 : 41), dan
Zainal Aqib (2014 : 1) menyatakan bahwa :
Contextual Teaching Learning adalah konsep belajar dimana guru
menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan
dalam kehidupan sehari-hari, siswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilan dalam konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari
proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal dalam memecahkan
masalah kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan sebuah strategi model pembelajaran yang dianggap tepat
untuk saat ini karena materi yang diajarkan oleh guru selalu dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari siswa. Dengan menggunakan pembelajaran kontekstual,
materi yang disajikan guru akan lebih bermakna. Siswa akan menjadi peserta aktif
dan membentuk hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan
mereka.
2.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning
(CTL)
Menurut Jumanta Hamdayama (2014:51) ada 8 komponen yang menjadi
karakteristik dalam pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut :
a. Melakukan hubungan untuk menemukan makna (relating) dengan mengaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan pengalamannya sendiri,
kejadian di rumah, informasi dari media massa dan sebagainya, seorang
anak akan menemukan sesuaru yang jauh lebih bermakna dibandingkan
apabila informasi yang diperolehnya di sekolah disimpan begitu saja,
tanpa dikaitkan dengan hal-hal lain. Bila seorang anak merasakan bahwa
16
sesuatu yang dipelajari ternyata bermakna, maka ia akan termotivasi dan
terpacu untuk terus belajar.
b. Melakukan sesuatu yang bermakna (experiencing). Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh guru untuk membuat pelajaran terkait dengan
konteks kehidupan siswa, yaitu sebagai berikut :
a. Mengkaitkan pembelajaran dengan sumber-sumber yang ada di konteks kehidupan siswa.
b. Menggunakan sumber-sumber dari bidang lain. c. Mengaitkan beberapa pelajaran yang membahas topik yang berkaitan. d. Menggabungkan antara sekolah dengan pekerjaan. e. Belajar melalui kegiatan sosial atau bakti sosial.
c. Belajar secara mandiri (self-regulated learning). Kecepatan belajar siswa sangat bervariasi, cara belajar juga berbeda, bakat dan minat juga
bermacam-macam. Perbedaan-perbedaan ini hendaknya dihargai dan siswa
diberi kesempatan belajar mandiri sesuai dengan kondisi masing-masing
siswa.
d. Kolaborasi (collaborating). Setiap makhluk hidup membutuhkan makhluk hidup yang lain, demikian juga pembelajaran di sekolah hendaknya
mendorong siswa untuk bekerja sama dengan temannya.
e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Salah satu tujuan belajar adalah agar siswa dapat mengembangkan potensi intelektual yang
dimilikinya. Pembelajaran di sekolahnya hendaknya melatih siswa untuk
berpikir kritis dan kreatif, juga memberikan kesempatan untuk
mempraktikannya dalam situasi yang nyata.
f. Mengembangkan potensi individu (transfering). Karena tidak ada individu yang sama persis, maka kegiatan pembelajaran hendaknya bisa
mengidentifikasi ptensi yang dimiliki setiap siswa serta memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mengembangkannya.
g. Standar pencapaian yang tinggi (reaching high standard). Pada dasarnya setiap orang ingin mencapai sesuatu yang tinggi, standar yang tinggi akan
memacu siswa untuk berusaha keras dan menjadi yang terbaik.
h. Menggunakan penilain autentik (using authentic assessment). Pencapaian siswa tidak cukup hanya diukur dengan tes saja, hasil belajar hendaknya
diukur dengan asesmen autentik yang bisa menyediakan informasi yang
benar dan akurat mengenai apa yang benar benar diketahui dan dapat
dilakukan oleh siswa atau tentang kualitas program pendidikan.
2.3.3 Kelebihan dan Kelemahan dalam Model Pembelajaran Contextual
Teaching Learning (CTL)
Menurut Hosnan (2014:279) ada beberapa kelebihan dalam model
pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) , yaitu:
a. Pembelajaran menjadi lebih bermakna riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
17
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan
saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional akan tetapi
materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa,
sehingga tidak akan mudah dilupakan.
b. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena model pembelajaran CTL menganut aliran
konstruktivisme di mana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri, melalui landasan filosofis konstruktivisme,
siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”.
Beberapa kelemahan dalam model pembelajaran Contextual Teaching
Learning (CTL) menurut Aris Shoimin (2014:44) yaitu “penerapan pembelajaran
kontekstual merupakan pembelajaran yang kompleks dan sulit dilaksanakan
dalam konteks pembelajaran, selain itu juga membutuhkan waktu yang lama”.
Dari penjelasan di atas maka seorang guru dalam menerapkan model
pembelajaran CTL harus dapat memperhatikan keadaan siswa dalam kelas. Selain
itu, seorang guru juga harus mampu membagi kelompok secara heterogen, agar
siswa yang pandai dapat membantu siswa yang kurang pandai.
2.3.4 Langkah-langkah Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning
(CTL)
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan guru pada penerapan model
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) dalam proses kegiatan
belajar mengajar menurut Rusman (2014:192) adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
menkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang
dimilikinya.
b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan menemukan sendiri masalah untuk semua topik yang diajarkan.
c. Mengembangkan sikap ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
d. Menciptakan masyarakat belajar seperti melalui kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.
e. Mengahdirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.
f. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
18
g. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.
Perencanaan pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran Contextuan
Teaching Learning (CTL) melibatkan penyusunan pemetaan sintak dan langkah-
langkah pembelajarn di kelas. Adapun pemetaan sintak dan langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dipaparkan pada tabel 3
berikut.
Tabel 3
Pemetaan Sintak Contextual Teaching Learning (CTL)
No. Sintak
Standar Proses
Awal Inti Penutup
Pen
dah
ulu
an
Ek
splo
rasi
Ela
bora
si
Kon
firm
asi
Pen
utu
p
1 Mengkonstruksi pengetahuan
sendiri √
2 Menemukan penyelesaian dari
permasalahan yang diberikan
√
3 Pertanyaan dari siswa √
4 Membimbing kelompok bekerja
dan belajar (diskusi)
√
5 Pemanfaatan media √ √
6 Refleksi √ 7 Evaluasi √
19
Prosedur pelaksanaan pembelajaran matematika dengan model
pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dapat dijelaskan pada tabel 4
berikut.
Tabel 4
Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model
Pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
Aktivitas Guru Tahapan Kegiatan
Aktivitas Siswa
Guru mengarahkan siswa
untuk sedemikian rupa dapat
mengembangkan
pemikirannya untuk
melakukan kegiatan belajar
yang bermakna, berkesan,
baik dengan cara meminta
siswa untuk bekerja sendiri
dan mencari serta menemukan
sendiri jawabannya, kemudian
memfasilitasi siswa untuk
mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya dan
keterampilannya yang baru
saja ditemuinya.
Mengkonstruksi
pengetahuan
sendiri
Siswa mengembangkan
pemikirannya untuk
melakukan kegiatan belajar
yang bermakna, berkesan,
baik dengan cara bekerja
sendiri dan mencari serta
menemukan sendiri
jawabannya,
mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya dan
keterampilannya yang baru
ditemuinya.
Guru membimbing siswa
untuk menemukan suatu fakta
dari permasalahan yang
disajikan guru/dari materi
yang diberikan guru.
Menemukan
penyelesaian
dari
permasalahan
yang diberikan
Siswa menemukan suatu
fakta dari permasalahan
yang disajikan guru/dari
materi yang diberikan guru.
Memancing reaksi siswa
untuk melakukan pertanyaan-
pertanyaan dengan tujuan
untuk mengembangkan rasa
ingin tahu siswa.
Pertanyaan dari
siswa Siswa memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang
sesuai dengan tujuan untuk
mengembangkan rasa ingin
tahu siswa. Guru membentuk kelas
menjadi beberapa kelompok
untuk melakukan diskusi, dan
tanya jawab.
Membimbing
kelompok
bekerja dan
belajar (diskusi)
Siswa membentuk menjadi
beberapa kelompok untuk
berdiskusi dan tanya jawab.
Guru mendemonstrasikan
ilustrasi/gambaran materi
dengan model atau media
yang sebenarnya.
Pemanfaatan
media Siswa memperhatikan
demontrasi atas materi yang
disampaikan guru.
Guru bersama siswa
melakukan refleksi atas
kegiatan yang telah dilakukan.
Refleksi Siswa dengan dibimbing guru melakukan refleksi
atas kegiatan yang telah
dilakukan. Guru melakukan evaluasi,
yaitu menilai kemampuan
siswa yang sebenarnya.
Evaluasi Siswa mengerjakan evaluasi yang diberikan guru.
20
2.4 Hasil Belajar Matematika
2.4.1 Pengertian Hasil Belajar
Menurut Nawawi dalam Ahmad Susanto (2014:5) “hasil belajar diartikan
sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah
yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah
materi pelajaran tertentu”. Sedangkan menurut Ahmad Susanto (2013:5) “hasil
belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa baik yang
menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan
belajar”.
Secara sederhana yang dimaksud dengan hasil belajar siswa adalah
kemampuan yang didapat siswa setelah melalui kegiatan belajar dimana terjadi
perubahan perubahan pada diri siswa.
2.4.2 Pengukuran Hasil
Menurut Aunurrahman (2010 : 207) “pengukuran adalah proses pemberian
angka atau memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan dimana seorang
peserta didik telah mecapai karakteristik tertentu”. Sedangkan Wand & Brown
dalam Aunurrahman (2010 : 207) mengemukakan “pengukuran adalah suatu
tindakan atau proses untuk menentukan luas atau kuantitas pada sesuatu”.
Grondlund & Linn dalam Eko Putro Widoyoko (2014:3) mengartikan
pengukuran sebagai “deskripsi kuantitatif siswa, maka dari itu hasil pengukuran
selalu dinyatakan dalam bentuk angka” (the term of measurement is limited to
quantitative descriptions of pupils; that is the result of measurement are always
expressed in numbers). Sedangkan Mansyur, dkk dalam Eko Putro Widoyoko
(2014:3) mengartikan pengukuran sebagai “proses pemberian angka kepada suatu
atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau objek tertentu
menurut aturan atau formulasi yang jelas”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pengukuran adalah penetapan angka
tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu.
Pengukuran dan penilaian memang berbeda, namun kedua hal tersebut tidak dapat
dipisahkan, antara pengukuran dan penilaian terdapat hubungan yang sangat erat,
21
sebab untuk dapat melakukan penilaian yang tepat terhadap sesuatu terlebih
dahulu harus didasarkan atas pengukuran-pengukuran.
2.4.3 Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu seperti penelitian yang
dilakukan oleh Putu Diantari, Wayan Wiarta, Gusti Agung Oka Negara (2014)
dengan judul penelitian Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning
Berbasis Hypnoteaching terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD
dimana permasalahan yang dihadapi adalah mata pelajaran matematika banyak
ditakuti siswa atau menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang disukai oleh
siswa. Di sini hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan hasil belajar Matematika siswa yang dibelajarkan melalui model
pembelajaran Problem Based Learning berbasis hypnoteaching dengan siswa
yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional. Dibuktikan dari hasil
analisis diperoleh thitung = 2,25 > ttabel = 2,000 dengan dk= 71 dan taraf
signifikan 5%. Dengan nilai rata-rata kelas eksperimen yang dibelajarkan melalui
model problem based learning berbasis hypnoteaching lebih dari kelas kontrol
yang dibelajarkan melalui pembelajaran konvensional yaitu : 80,3 > 77,23.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based
Learning berbasis hypnoteaching berpengaruh terhadap hasil belajar Matematika
siswa kelas V SD Gugus I Kuta Utara Tahun Pelajaran 2013/2014.
Selain itu, penelitian juga dilakukan oleh Eka Zuliana (2013) dengan judul
penelitian Pengaruh Model Problem Based Learning Berbantuan Kartu Masalah
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran
matematika menggunakan model PBL berbantuan kartu masalah berpengaruh
positif terhadap hasil belajar matematika, dilihat dari hasil analisis regresi linear
diperoleh nilai hitung F = 44,232 dengan siginifikansi 0,000 < 5%, persamaan
regresi linear Ŷ=37,227+0,584X dan koefisien determinasi 59,6%.
Penelitian juga dilakukan oleh Novisita Ratu dan Eka Sri Juarmi (2012)
dengan judul Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Menggunakan
22
Metode Problem Based Learning (PBL) yang Memanfaatkan Media CD Interaktif
dengan Metode Mekanistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan hasil belajar Matematika siswa kelas V menggunakan metode
Problem Based Learning (PBL) yang memenfaatkan media CD Interaktif dengan
metode mekanistik. Keadaan pembelajaran yang menggunakan metode Problem
Based Learning (PBL) yang memanfaatkan media CD Interaktif siswa menjadi
lebih aktif dalam pembelajaran. Rata-rata tes akhir (post-test) yang di peroleh
siswa kelas eksperimen adalah 87,50 dengan standar deviasi sebesar 8,17
sedangkan nilai rata-rata tes akhir (post-test) kelas kontrol adalah 71,30 dengan
standar deviasi sebesar 9,95. Hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar matematika
siswa menggunakan metode Problem Based Learning (PBL) yang memanfaatkan
media CD Interaktif lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar matematika
siswa menggunakan metode mekanistik. Uji hipotesis menunjukkan bahwa hasil
nilai thitung diperoleh sig.0,000 < dari 0,05 maka disimpulkan bahwa H1 diterima
yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar matematika siswa
menggunakan metode Problem Based Learning (PBL) yang memanfaatkan media
CD Interaktif dengan metode mekanistik.
Penelitian terdahulu juga berhasil membuktikan bahwa model pembelajaran
Contextual Teaching Learning (CTL) efektif digunakan dalam meningkatkan hasil
belajar yaitu dibuktikan dari rendahnya hasil belajar matematika SD Gugus Budi
Utomo Denpasar yang diteliti oleh Pra Pajarini, Semara Putra, Surya Manuaba
(2014) dengan judul Pengaruh Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis
Mind Mapping terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD Gugus Budi
Utomo. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh thit = 2,33 dan ttab pada taraf
signifikansi 5% = 2,000. Hal ini berarti bahwa thit > ttab, sehingga dapat
diinterprestasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara penerapan
pembelajaran Kontekstual berbasis Mind Mapping dengan penerapan
pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD
Gugus Budi Utomo Kesiman. Nilai rata-rata siswa pada kelompok eksperimen
62,03 dan pada kelompok kontrol 53,5 menunjukkan bahwa hasil belajar
Matematika siswa pada kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan
23
siswa pada kelompok kontrol. Hal ini berarti terdapat pengaruh penerapan
pembelajaran kontekstual berbasis Mind Mapping terhadap hasil belajar
Matematika siswa kelas V SD Gugus Budi Utomo Denpasar dengan siswa yang
dibelajarkan secara konvensional.
Penelitian mengenai Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning
juga dilakukan oleh Stef Riko Saputra dan Heribertus Soegiyanto (2012) dengan
judul Pengaruh Penerapan Model Contextual Teaching Learning (CTL) dan
Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar Matematika Soal
Cerita Siswa Kelas V SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa (1) ada pengaruh antara model pembelajaran yang
digunakan dalam pembelajaran. Hasil belajar matematika model pembelajaran
CTL lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional, dengan harga
statistik uji Fa> Fobei, yaitu 4,480 > 3,996 dan rata-rata nilai hasil belajar 76,69 >
72,74. (2) Ada pengaruh signifikan antara tingkat kemampuan membaca
pemahaman siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan harga statistik
uji Fb > FtaM, yaitu 38,428 > 3,996 dan rata-rata hasil belajar 80,68 > 68,25. (3)
Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat
kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa,
dengan dengan harga statistik uji Fa/>< Fm, yaitu 0,206 < 3,996.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka guru harus dapat memilih
model pembelajaran yang tepat sesuai dengan pokok bahasan sehingga
menciptakan pembelajaran yang efektif. Dengan demikian siswa tidak hanya
belajar menghafal tetapi juga dapat memahami materi yang telah diajarkan. Model
pembelajaran yang digunakan oleh guru sangatlah berpengaruh terhadap
efektivitas dalam pembelajaran, karena model yang digunakan oleh guru berkaitan
erat dengan ketercapaian tujuan pembelajaran yaitu kompetensi. Oleh karena itu,
pemilihan model yang salah akan mampu membuat efektivitas dari pembelajaran
menurun, sehingga perlu adanya perhatian terhadap model yang digunakan guru
dalam pembelajarannya. Apabila model yang diterapkan kurang sesuai, akan
terjadi suatu bentuk kebosanan dari siswa dan cenderung untuk mengabaikan
24
pelajaran yang diberikan, pada akhirnya hasil belajar yang diperoleh kurang sesuai
dengan harapan.
2.5 Kerangka Pikir
Mengacu pada kajian teori yang dijelaskan di atas, dapat disusun suatu
kerangka pikir guna memperoleh hipotesis antara kesalahan yang muncul. Pada
proses pembelajaran matematika ada beberapa kemungkinan yang mempengaruhi
hasil belajar siswa di antaranya adalah model pembelajaran yang diterapkan guru.
Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Contextual Teaching
Learning (CTL) adalah model pembelajaran di mana peran guru hanya sebagai
fasilitator dalam proses belajar mengajar.
Secara garis besar hasil belajar matematika siswa sekarang ini masih pada
taraf yang rendah. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa, guru
harus bisa mengembangkan kreasi pembelajarn dengan mempraktekan model
dalam pembelajaran matematika yang sesuai dan mengoptimalkan suasana
belajar.
Problem Based Learning (PBL) dan Contextual Teaching Learning (CTL)
adalah model pembelajaran yang menuntun pemikiran siswa ke dalam proses
pembelajaran dan melibatkan siswa secara aktif. Kedua model tersebut juga
merupakan suatu model pembelajaran yang menempatkan realita dan pengalaman
siswa sebagai titik awal pembelajaran, dimana siswa mendapat kesempatan untuk
membangun sendiri pengetahuan matematika melalui masalah-masalah realita
yang ada. Dengan dua model pembelajaran ini, siswa tidak hanya dapat
menguasai konsep dan materi, tetapi juga tidak akan cepat lupa dengan apa yang
telah didapat. Model pembelajaran ini cocok digunakan dalam mengajarkan
konsep-konsep dasar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena hal
tersebut maka model pembelajaran ini dapat dikatakan efektif.
25
Gambar 1
Kerangka Pikir Berdasarkan Sintak Problem Based Learning (PBL)
Berdasarkan gambar 1 kerangka pikir dari sintak PBL, sesuai dengan teori
Advanced Organizer dimana pemberian sejumlah bantuan kepada anak selama
pembelajaran dan kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah
pemecahan, memberikan contoh ataupun yang lainnya yang memungkinkan anak
untuk tumbuh mandiri.
Mengorientasi permasalahan
Mengorganisasi siswa untuk
belajar
Membimbing penyelidikan
individu maupun kelompok
Menyajikan hasil karya
Evaluasi Proses Pemecahan
Masalah
Rasa Ingin
Tahu
Minat siswa
Kritis
Tanggung jawab,
kerjasama
Mandiri,
Komunikatif
Hasil
Belajar
Siswa
26
Gambar 2
Kerangka Pikir Berdasarkan Sintak Contextual Teaching Learning (CTL)
Berdasarkan gambar 2 kerangka pikir dari sintak CTL, sesuai dengan teori
belajar bermakna yang dikemukakan oleh David Ausubel dimana ia
mengedepankan teori yang membandingkan belajar bermakna dengan belajar
hafalan. Dalam pandangannya, untuk belajar bermakna siswa harus
Mengkonstruksi
pengetahuan sendiri
Penemuan fakta
permasalahan
Pertanyaan dari siswa
Diskusi
Pemanfaatan media
Refleksi
Evaluasi
Minat siswa
Kritis
Rasa Ingin
Tahu
Kerjasama
Tanggung
jawab
Komunikatif
Mandiri
Hasil
Belajar
Siswa
27
menghubungkan pengetahuan baru kepada pengetahuan lama yang telah
diketahuinya dalam proses pemecahan masalah.
2.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka di atas maka dirumuskan suatu hipotesis sebagai
berikut:
H0 : Tidak ada perbedaan hasil belajar matematika yang signifikan dalam
penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan
Contextual Teaching Learning (CTL) terhadap siswa SD kelas V Gugus
Hasanudin Salatiga.
Ha : Ada perbedaan hasil belajar matematika yang signifikan dalam penerapan
model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan Contextual
Teaching Learning (CTL) terhadap siswa SD kelas V Gugus Hasanudin
Salatiga.
Top Related