14
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Pendidikan Nilai dan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Nilai dan Karakter
Pendidikan memiliki fungsi mempersiapkan sekaligus memberikan bekal
pada generasi muda agar siap terjun ke lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Melalui pendidikan, generasi muda akan memperoleh bekal berupa pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skill), serta nilai-nilai untuk hidup (value). Melalui
pendidikan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari
aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik berusaha dikembangkan. Tidak
mengherankan apabila pendidikan memiliki makna yang lebih luas daripada
pengajaran. Namun, perlu dipahami bahwa pengajaran merupakan sarana yang
efektif dalam menyelenggarakan pendidikan.
Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
menyebutkan bahwa, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan
pendidikan nasional tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan
nilai dan karakter bangsa, sehingga tidak sekedar melahirkan dan membentuk
15
manusia yang cerdas, namun juga berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia dan ajaran agama.
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab (Yudi Hartono,
2012: 55). Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja,
akan tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai
(enkulturasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang
menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup
sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin
pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur
serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada
kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin
pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan
kompetensi kinestetis.
Ada tiga sifat penting pendidikan menurut Nana Syaodih (2013: 58-59)
antara lain; pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan
nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan
pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat.
Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat
nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina dan mengembangkan
nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan di masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan di
16
masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada di
masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi di
masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai karyawan. Ketiga, pelaksanaan
pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat
pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses
pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat.
Proses pendidikan merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat,
penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-
lain. Berikut merupakan gambaran konsep mengenai internalisasi nilai-nilai yang
perlu ditanamkan pada siswa berdasarkan pusat kurikulum.
Gambar 2.1. Konsep Internalisasi Nilai-Nilai Yang Ditanamkan Pada Siswa SMP
(Sumber: Pusat Kurikulum, 2011)
17
Setiap lingkungan masyarakat memiliki kecenderungan sosial budaya yang
berbeda (relatif). Sistem ini mampu mengatur pola kehidupan dan hubungan antar
anggota masyarakat, antar anggota dan lembaga, serta antar lembaga dan lembaga.
Oleh karena itu, upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-
cita nasional, memerlukan evaluasi maupun refleksi terhadap sistem pendidikan
dan paradigma pendidikan Indonesia. Pembelajaran di sekolah perlu difokuskan
pada pengembangan kemampuan intelektual secara sosial dan kultural yang
mendorong siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri dalam konteks
sosial yang dimulai dari pengetahuan awal mengenai perspektif budaya.
Kesemuanya itu akan terangkum sesuai dengan 3 aspek penting perkembangan
individu yakni perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Melalui
pendidikan formal maupun informal, konsep pendidikan yang bersifat universal
harus sesuai dengan karakteristik budaya dan nilai-nilai sistem sosial setempat
(lokal) untuk dijadikan sebagai landasan dan acuan.
Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial-budaya adalah
tatanan nilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan, hukum,
moral yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku warga masyarakat. Nilai-
nilai tersebut bersumber dari agama, budaya, kehidupan politik, maupun dari segi-
segi kehidupan lainnya. Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri siswa
harus berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional. Sejalan dengan
perkembangan masyarakat dan zaman, maka nilai-nilai itu pun selalu berkembang
dan mungkin pada suatu saat perkembangannya begitu drastis, sehingga tidak
jarang menimbulkan konflik nilai karena adanya perbedaan sudut pandang atau
18
variasi sumber-sumber nilai. Namun, secara spesifik terdapat nilai moral
individual dan sosial.
Nilai moral individual menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan
diri pribadi sendiri atau cara manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral
tersebut mendasari dan menjadi panduan hidup manusia sebagai arah dan aturan
yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya. Adapun nilai moral individual
yang dimaksud meliputi: kepatuhan, pemberani, rela berkorban, jujur, adil dan
bijaksana, menghormati dan menghargai, bekerja keras, menepati janji, tahu balas
budi, baik budi pekerti, rendah hati, dan hati-hati dalam bertindak. Nilai moral
sosial, terkait dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap orang perlu memahami norma-norma yang berlaku agar
hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Setiap
orang seharusnya mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain. Adapun nilai-nilai moral
sosial tersebut meliputi; bekerjasama, suka menolong, kasih sayang, kerukunan,
peduli nasib orang lain, dan suka mendoakan orang lain (Nilawati Syahrul, 2013:
105). Variasi nilai-nilai tersebut tercermin melalui karakter yang terdapat dalam
diri setiap individu. Oleh karena itu, karakter dapat dibangun melalui media
pendidikan, baik formal maupun non formal.
Karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti mengukir.
Sifatnya yakni melekat terhadap benda yang diukir. Menghilangkan ukiran sama
dengan menghilangkan esensi benda yang diukir, karena ukiran harus melekat dan
menyatu dengan bendanya. Secara sederhana, karakter dapat dimengerti sebagai
19
pegangan dalam berperilaku positif dalam masyarakat yang karena berbagai hal
telah terdegradasi oleh pengaruh eksternal (globalisasi). Istilah “karakter”, selalu
digunakan untuk merujuk pada hal yang positif. Artinya, jika seseorang dikatakan
berkarakter, maka orang tersebut bisa dipastikan memiliki sikap maupun perilaku
yang baik.
Jadi, pendidikan nilai dan karakter dapat dimengerti sebagai suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter khususnya kepada siswa, yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut. Sehingga, karakter bangsa merupakan kondisi watak yang
merupakan identitas bangsa atau identitas nasional. Identitas nasional bisa
dimengerti sebagai jati diri atau kepribadian nasional. Jati diri nasional suatu
bangsa tentu berbeda dengan jati diri bangsa lain karena adanya perbedaan latar
belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografis. Jati diri nasional bangsa
Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang
sama sehingga menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang pada akhirnya
melahirkan identitas nasional. Fungsi dari pendidikan nilai dan karakter tersebut
antara lain:
1) Pengembangan : mengembangkan potensi siswa agar berkepribadian baik yang
mampu mencerminkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2) Perbaikan : memperkokoh peran pendidikan nasional sebagai bagian dari
tanggung jawab dalam memperbaiki kondisi bangsa;
3) Penyaring : menyaring budaya sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai
dengan kepribadian Indonesia akibat pengaruh derasnya arus globalisasi.
20
Upaya membudayakan pendidikan karakter di lingkungan sekolah juga
membutuhkan peranan berbagai pihak. Pendidikan karakter harus dibangun sedini
mungkin. Konsep ini menjelaskan bahwa pendidikan karakter itu tidak sekedar
dibangun, namun juga dibiasakan sehingga membudaya. Keluarga merupakan
sekolah pertama bagi anak. Oleh karena itu harapan besar bertumpu pada
keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, serta pemerintah sebagai pembuat
kebijakan. Keteladanan orang-orang terdekat menjadi aspek yang sangat penting
bagi kepribadian anak, selain juga didasari atas nilai-nilai yang terkandung dalam
agama, Pancasila, budaya luhur bangsa Indonesia, serta tujuan pendidikan
nasional.
Gambar 2.2. Grand Desain Pendidikan Karakter
(Sumber: Pusat Kurikulum, 2011)
21
b. Nilai Kearifan Lokal
Kearifan lokal secara etimologis terdiri dari dua kata. Kearifan dapat
dimengerti sebagai kemampuan manusia dalam menggunakan akal dan
perasaannya dalam menyikapi suatu kejadian, obyek, atau situasi dengan cara
yang bijaksana. Sedangkan lokal, merujuk pada ruang interaksi dimana peristiwa
atau situasi itu terjadi. Terdapat beberapa istilah konseptual yang dipakai dalam
mengasumsikan kearifan lokal. Avonia dan Sudikan (dalam I Nyoman Suaka,
2013: 49) mengungkapkan bahwa terdapat tiga istilah yang sering digunakan
secara tumpang tindih, yaitu pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal
(local wisdom), dan kecerdasan setempat (local genius) yang memiliki tempat dan
penggunaan berbeda.
Nakorntap (dalam Mungmachon, 2012: 176) menjelaskan bahwa kearifan
lokal adalah pengetahuan dasar manusia untuk memperoleh keseimbangan hidup
dengan alam yang berhubungan dengan akumulasi budaya serta turun-temurun
pada suatu komunitas. Kearifan lokal bisa tidak kasat mata maupun sebaliknya,
akan tetapi yang paling penting adalah pembentukan karakter dari suatu
kebenaran maupun pengalaman manusia tentang kehidupan seperti menekankan
nilai-nilai moralitas yang berdasarkan pada pengalaman hidup manusia itu sendiri.
Irmayanti Meliono (2011: 227) menjelaskan; kearifan lokal merupakan
bentuk ekspresi dari etika masyarakat Indonesia yang berdasarkan ide atau
gagasan yang mengarah pada aktivitas tertentu. Kearifan lokal dikenal sebagai
suatu sistem proses sosial dari masyarakat komunal yang terdiri dari tiap individu.
Kearifan lokal terbangun secara alamiah oleh suatu komunitas masyarakat tertentu
22
sebagai upaya untuk berinteraksi dengan sesamanya maupun beradaptasi dengan
lingkungan setempat. Kearifan lokal dapat berupa ide/pemikiran, sikap, maupun
perilaku. Kebiasaan tersebut berkembang, kemudian diwariskan pada generasi
selanjutnya sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang mencakup pada daerah
atau lokalitas tertentu. Secara umum kearifan lokal bisa terdiri dari hal yang tidak
kasat mata (intangible) dan hal yang kasat mata (tangible). Wujud nyata kearifan
lokal yang tidak kasat mata berupa ide, gagasan, atau pemikiran dalam
membangun aktualisasi diri, pemikiran visioner, dan berkarakter mulia.
Sebaliknya, kearifan lokal berupa fisik atau kasat mata seperti situs-situs
bersejarah masa lampau, kesenian, rumah, senjata, alat musik, dan pakaian
tradisional yang pada umumnya mewakili suatu lokalitas tertentu, serta memiliki
makna filosofis dan nilai-nilai positif yang tertuang secara simbolik sebagai
pembelajaran masyarakat.
Kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, mengandung unsur-
unsur sebagai berikut. Pertama, unsur religi, kearifan lokal ini berhubungan
dengan sikap serta perilaku secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kedua, unsur diri sendiri (subyek), yakni managemen diri agar dapat menerima
dan diterima pribadi lain di luar diri sendiri. Ketiga, unsur komunitas, kemampuan
beradaptasi dengan masyarakat luas dimana diri sendiri menjadi bagian darinya.
Unsur yang ketiga ini berkaitan dengan rasa keadilan, toleransi dan empati yang
bermuara pada bagaimana diri ini mampu menyenangkan perasaan orang lain agar
dapat diterima sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, unsur sikap
dan perilaku anggota keluarga (kerabat) yang berhubungan dengan diri pribadi.
23
Kearifan lokal ini berkaitan dengan etos belajar dan etos bekerja yang akan
mengantarkan menjadi insan yang kreatif dan produktif. Kelima, unsur
lingkungan setempat yang memberikan rasa aman dan nyaman karena lingkungan
yang terjaga dan terpelihara akan memberi manfaat positif pada kehidupan
(Sutarto dalam I Nyoman Suaka, 2013: 49).
Uraian para ahli di atas memberikan setidaknya tujuh konsep, antara lain; a)
kearifan lokal dalam sebuah komunitas masyarakat diperoleh dari proses
pengalaman panjang, b) kearifan lokal berhubungan erat dengan lokalitas tertentu,
c) kearifan lokal digunakan manusia untuk beradaptasi, d) kearifan lokal
merupakan produk budaya yang diwariskan pada generasi selanjutnya, e) kearifan
lokal bersifat relatif, f) pada umumnya bersifat tradisional dan memiliki semangat
dalam menjaga lingkungan sekitar, g) kearifan lokal membentuk keseimbangan
hidup manusia dalam arus globalisasi sehingga tercapai kehidupan yang harmoni.
Mengingat derasnya pengaruh arus globalisasi di zaman IT seperti saat ini,
maka penanaman nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kearifan lokal bangsa
Indonesia merupakan suatu keharusan. Usaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur
budaya dan kearifan lokal bangsa tersebut tidak lain adalah melalui pendidikan.
Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal ini diharapkan akan
mampu membentuk siswa berkarakter yang mampu beradaptasi di tengah arus
globalisasi. Selain itu, harapannya kepada generasi muda agar tidak meninggalkan
rasa cintanya terhadap budaya lokal di era yang serba canggih seperti ini.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan kearifan lokal
yakni dengan menjadikan sumber inspirasi dalam pembelajaran sosial-budaya di
24
sekolah. Sistem pendidikan berbasis kearifan lokal yang berhubungan dengan
pembentukan kepribadian warga negara, akan mampu menghadapi tantangan
globalisasi. Guru sebagai fasilitator di kelas harus mampu mengintegrasikan nilai-
nilai kearifan lokal tersebut dalam muatan pembelajaran. Pengintegrasian ini
tentunya harus disesuaikan dengan materi yang disampaikan, tingkat
perkembangan siswa, termasuk metode yang digunakan. Sehingga keberagaman
serta makna nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inspirasi dalam
pembelajaran di sekolah mampu membentuk karakter siswa dan mampu
melestarikan kearifan lokal bangsa Indonesia yang seiring waktu semakin
terdegradasi.
c. Pendekatan Kontekstual
Kontekstual berarti berkenaan atau berkaitan secara langsung dengan
sesuatu. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa, serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai diri pribadi,
anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara. Siswa akan memiliki
kemudahan belajar apabila disertai dengan contoh nyata di lapangan. Contoh
nyata tersebut akan memberikan inspirasi maupun membawa imajinasi yang
positif terhadap siswa, pembelajaran pun tidak bersifat kosong, akan tetapi lebih
bermakna sekaligus memberikan keteladanan.
Menurut Wina Sanjaya (2010: 255-256) terdapat tiga hal yang harus
dipahami dalam konsep pembelajaran kontekstual. Pertama, CTL (Contextual
25
Teaching and Learning) menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL (Contextual Teaching and
Learning) tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi
proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL (Contextual
Teaching and Learning) mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan. Ketiga, CTL (Contextual Teaching and Learning) mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL (Contextual Teaching and
Learning) bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi
sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata
Melalui konsep belajar Contextual Teaching and Learning (CTL), akan
membantu guru memberikan pembelajaran yang bermakna pada siswa di kelas.
Harapan yang ingin dimunculkan yakni siswa mampu menyerap pembelajaran
dengan baik karena konteks pembelajaran tidak jauh dari kehidupan sehari-hari.
26
d. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Nilai-nilai karakter bangsa yang dapat diintegrasikan dalam muatan mata
pelajaran di sekolah antara lain;
1) Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan, yakni religius.
2) Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri, antara lain; jujur
bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha,
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, dan sebagainya.
3) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama, antara lain; sadar akan hak
dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai
karya dan prestasi orang lain, santun, demokratis dan sebagainya.
4) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan antara lain; peduli sosial
dan lingkungan, melestarikan lingkungan, nilai kebangsaan, nasionalis,
menghargai keberagaman, patriotis, dan sebagainya
Menurut Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2010) nilai-nilai karakter perlu
dikembangkan dalam pendidikan insan Indonesia yang tercermin melalui empat
sumber berikut, antara lain;
1) Agama : Manusia Indonesia semenjak masa pra aksara sekalipun memiliki
sikap religiusitas sebagai sebuah kepribadian yang sudah mendarah daging.
Secara politis dalam kehidupan bernegara, konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia juga mengakui dan menjamin nilai-nilai keagamaan atau
religiusitas.
27
2) Pancasila : NKRI secara politis memiliki dasar negara Pancasila. Satu-satunya
ideologi kebangsaan dan ketatanegaraan di dunia dari, oleh, dan untuk
Indonesia. Rumusan Pancasila digali dari kepribadian masyarakat asli
nusantara, serta dibangun oleh para pendiri bangsa. Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia mengandung nilai-nilai yang mengatur
kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan sebagainya
yang berfungsi membentuk generasi penerus bangsa agar menjadi warga
negara yang baik. Nilai-nilai luhur Pancasila lebih lanjut dijabarkan dalam
pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
3) Budaya : keberadaban suatu komunitas masyarakat dapat dilihat dari
budayanya. Meskipun budaya di setiap wilayah bernilai relatif, akan tetapi
budaya dianggap sebagai sesuatu yang diakui nilainya dalam berkehidupan.
Budaya Indonesia sebagai budaya ketimuran berkesan sopan santun, ramah,
lemah lembut, murah senyum, menghargai dan sebagainya, merupakan sumber
nilai dalam membentuk karakter bangsa.
4) Tujuan Pendidikan Nasional : memuat berbagai nilai-nilai luhur manusia yang
harus dimiliki warga negara Indonesia. Pembentukan rumusan kualitas
(karakter) manusia Indonesia dikembangkan pada satuan pendidikan di
berbagai jenjang dan jalur. Nilai-nilai yang dikembangkan antara lain; religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, berprestasi, bersahabat
(komunikatif), cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggungjawab.
28
e. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran
Model pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah bisa berupa: 1)
otonomi mata pelajaran sendiri, 2) integrasi, terpadu dengan mata pelajaran lain,
3) suplemen berupa kegiatan tambahan yang bersifat ekstrakurikuler atau
kemitraan dan, 4) kolaborasi, berupa kegiatan gabungan dari ketiga model
pendidikan (Nuraini Asriati, 2012: 113). Melihat karakteristik K13 saat ini, maka
pendidikan karakter sejatinya dapat diintegrasikan pada setiap disiplin mata
pelajaran, termasuk ilmu-ilmu eksakta sekalipun. Namun, secara umum jika
melihat konteks pembelajaran di sekolah terutama jenjang menengah (SMP),
maka pembelajaran yang paling berperan dalam pembentukan karakter setidaknya
ada tiga, antara lain Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan.
Melihat ketiga disiplin ilmu tersebut, hanya IPS yang merupakan mata
pelajaran tematik atau terintegrasi yang berkorelasi dengan disiplin ilmu sosial
lain seperti geografi, ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Melalui komposisi tersebut,
maka sudah sewajarnya IPS memiliki porsi lebih dalam ranah pembentukan
karakter siswa. Selain itu, konteks integrasi pendidikan nilai dan karakter yang
lebih spesifik dalam penelitian ini (sikap demokratis) di SMP juga terangkum
dalam mata pelajaran IPS.
2. Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai Kearifan Lokal Desa Pancasila
a. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa
(subyek pebelajar) yang direncanakan, didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi
29
secara sistematis agar subyek pebelajar dapat mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran secara efektif dan efisien. Menurut Hasnawati (2006: 55)
pembelajaran merupakan suatu padanan dari kata instruction yang berarti proses
membuat orang belajar yang bertujuan membantu orang belajar, atau
memanipulasi lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar.
Menguatkan uraian di atas, Max Darsono (2002: 65) menyebutkan ciri-ciri
pembelajaran adalah sebagai berikut:
1) Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncana secara sistematis.
2) Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar.
3) Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang
bagi siswa.
4) Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan
menyenangkan siswa.
5) Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan
menyenangkan bagi siswa.
6) Pembelajaran dapat membuat siswa menerima pelajaran, baik secara fisik dan
psikologi.
Implementasi di lapangan yakni guru sebagai manager bertindak sebagai
fasilitator, mengelola berbagai sumber dan fasilitas belajar bagi siswa, terutama
yang berhubungan dengan penggunaan pengembangan teknologi sebagai bahan
belajar. Sedangkan siswa yang diposisikan sebagai subyek belajar memegang
peran penting dalam aktivitas belajar, kreatif, serta penuh dengan rasa ingin tahu.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu usaha
30
sadar yang dilakukan oleh guru agar tercipta situasi yang memungkinkan
terjadinya kegiatan belajar mengajar sehingga memungkinkan perubahan tingkah
laku pada siswa. Pada perkembangannya, pengertian istilah pembelajaran tidak
hanya berkenaan dengan siswa sebagai subyek pebelajar agar menunjukkan
perubahan tingkah laku ke arah positif. Akan tetapi, istilah ini juga menunjukkan
bahwa guru juga mengambil manfaat (belajar) dari aktivitas di kelas maupun luar
kelas bersama dengan siswa untuk mengevaluasi kegiatan belajar dan mengambil
tindakan selanjutnya. Jadi, dalam proses pembelajaran baik guru maupun siswa
pada dasarnya sama-sama belajar.
Teori belajar yang saat ini banyak dianut adalah konstruktivisme. Teori
belajar konstruktivisme memiliki pandangan bahwa proses belajar mengajar
menitikberatkan pada siswa untuk membangun sendiri pengetahuan yang akan
dipelajari dengan memperhatikan pengetahuan awal siswa. Teori ini merupakan
hasil revisi serta pengembangan lebih lanjut dari teori-teori belajar yang telah
dirumuskan sebelumnya, yakni teori belajar Behaviorisme dan teori Kognitivisme.
Teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu diangun oleh pikiran individu,
sehingga hasil konstruksi pengetahuan bersifat subyektif. Pengetahuan dianggap
sebagai sesuatu yang tidak statis, akan tetapi secara terus-menerus tumbuh dan
berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman barunya.
Tujuan pembelajaran konstruktivistik yang diungkapkan oleh Yatim
Riyanto (2012: 144) menekankan tentang bagaimana yang dimaksud dengan
belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif
produktif dalam konteks nyata yang mendorong pebelajar untuk berpikir dan
31
berpikir ulang lalu mendemonstrasikannya. Konstruktivisme merupakan kerangka
berpikir filosofis pembelajaran kontekstual yang menjelaskan bahwa pengetahuan
manusia dibangun secara bertahap. Pengetahuan bukan sekedar seperangkat fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Konstruktivisme
berangkat dari filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan
merefleksikan pengalaman, kita membangun atau mengkonstruksi pengetahuan
pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup (Suyono dan Hariyanto, 2012:
105).
Manusia sebagai makhluk pebelajar harus mengkonstruksi pengetahuan itu
dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Teori belajar ini menekankan
agar siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, serta mampu bergelut dengan berbagai ide yang muncul.
Syaiful Sagala (2009: 88) berpendapat bahwa esensi dari teori kontruktivisme
adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu
informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi
milik mereka sendiri. Pembelajaran ini memperhatikan pada strategi memperoleh
pengetahuan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat
pengetahuan, sehingga guru harus mampu memfasilitasi hal tersebut.
Brooks dan Brooks (1999) mengungkapkan prinsip-prinsip penuntun untuk
terciptanya lingkungan pembelajaran konstruktivis, antara lain: 1) menghadirkan
masalah-masalah yang semakin kuat relevansinya kepada siswa; 2) menyusun
pembelajaran di seputar konsep-konsep pokok; 3) mencari tahu dan menghargai
sudut pandang siswa; 4) mengadaptasikan kurikulum untuk memperhatikan
32
asumsi-asumsi siswa; dan 5) menilai pembelajaran siswa dalam konteks
pengajaran. Sedangkan prinsip-prinsip konstruktivisme yang dikembangkan pada
pembelajaran terpadu menurut Abdul Majid (2013: 118) yaitu:
1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri;
2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan
keaktifan siswa sendiri untuk menalar;
3) Siswa akan mengkontruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, dan sesuai dengan konsep
ilmiah;
4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses
konstruksi siswa berjalan mulus.
Pada dasarnya, pembelajaran terpadu dikembangkan untuk menciptakan
pembelajaran yang di dalamnya siswa sendiri aktif secara mental membangun
pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimiliki.
Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan
tentang belajar dan mengajar lebih berfokus pada suksesnya siswa mengorganisasi
pengalaman mereka, bukan ketepatan siswa dalam melakukan replikasi atas apa
yang dilakukan pendidik.
b. Model Pembelajaran
Secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman untuk melakukan suatu kegiatan. Model
pembelajaran adalah kerangka konseptual dan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
33
berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran, serta para guru dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Abdul Majid, 2013:
13). Sedangkan John Dewey (1986) mendefinisikan model pembelajaran sebagai
suatu rencana atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang tatap muka di
kelas, atau pembelajaran tambahan di luar kelas dan untuk menajamkan materi
pengajaran.
Uraian para ahli tersebut memberikan pemahaman bahwa model
pembelajaran merupakan sebuah petunjuk bagi guru dalam mempersiapkan
rencana pembelajaran, materi pembelajaran, media sebagai alat bantu belajar agar
tersampainya sebuah pesan dalam pembelajaran, termasuk evaluasi dalam
mencapai tujuan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas.
Joice, Weil, dan Calhun (2011) mengemukakan tentang lima aspek penting
dari model pembelajaran, antara lain;
1) Syntac (sintak), merupakan langkah operasional pembelajaran atau urutan
kegiatan yang biasa disebut dengan istilah fase;
2) Social System (sistem sosial), dimengerti sebagai sebuah norma yang berlaku
dalam pembelajaran, mengarah pada peranan guru dan siswa, serta jenis aturan
yang diperlukan;
3) Principles of reaction (prinsip reaksi), yakni memberi gambaran terhadap guru
mengenai bagaimana memandang, memperlakukan, serta merespon pertanyaan
siswa;
4) Support system (sistem pendukung), yaitu segala alat, fasilitas sarana,
lingkungan belajar yang mendukung model pembelajaran tersebut;
34
5) Instructional and nurturent effect (dampak instruksional dan pengiring), yakni
hasil yang akan dicapai siswa setelah mengikuti pembelajaran.
Model-model pembelajaran menurut Joice, Weil, dan Calhun (2011) dapat
diklasifikasikan menjadi empat rumpun, antara lain; (1) rumpun pengajaran sosial
(2) rumpun memproses informasi (3) rumpun pengajaran personal (4) rumpun
sistem perilaku. Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Desa Pancasila ini mengarah kepada perlunya mengembangkan sikap sosial
dalam lingkungan pergaulan, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan
masyarakat yang lebih luas. Tolok ukur (indikator) keberhasilan uji coba produk
program pembelajaran dapat diperhatikan dari desain pengembangan produk yang
salah satunya dikemukakan oleh Dick dan Carey.
Martinis Yamin (2011: 69), menyebutkan terdapat 10 langkah (komponen)
dalam model desain rancangan pembelajaran Dick dan Carrey, antara lain;
1) Mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran (Kurikulum 2013 – Menentukan
Kompetensi Inti);
2) Melaksanakan analisis pembelajaran (Kurikulum 2013 – Menentukan
Kompetensi Dasar);
3) Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa (Kurikulum
2013 – Merumuskan Indikator);
4) Merumuskan tujuan performansi (Kurikulum 2013 – Merumuskan Tujuan
Pembelajaran);
5) Mengembangkan butir–butir tes acuan patokan (Kurikulum 2013 –
Mengembangkan butir-butir soal);
35
6) Mengembangkan strategi pembelajaran (Kurikulum 2013 – Mengembangkan
Pendekatan, model, dan metode pembelajaran);
7) Mengembangkan dan memilih materi pembelajaran (Kurikulum 2013 –
Mengembangkan Materi, Alat, dan media pembelajaran);
8) Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif (Kurikulum 2013 – Desain
Evaluasi Formatif);
9) Merevisi bahan pembelajaran;
10) Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif
Bagan 2.1. Modifikasi Model Desain Intruksional
Dick and Carrey (2011)
Menentukan
Kompetensi
Inti
Revisi Pembelajaran
Mengembangkan dan
Memilih Bahan, Alat,
dan Media
Pembelajaran
Mengembangkan
Pendekatan, Model, dan
Metode Pembelajaran
Mengembangkan
Butir-Butir Soal
Menetapkan
Tujuan
Pembelajaran
Menentukan
Kompetensi
Dasar
Merumuskan
Indikator
Mendesain dan
Melaksanakan
Evaluasi Formatif
Melaksanakan
Evaluasi Sumatif
36
Agar dapat mengembangkan model pembelajaran yang efektif maka setiap
guru harus memiliki pengetahuan yang memadai berkaitan dengan konsep dan
cara-cara mengimplementasikan model-model tersebut dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Model pembelajaran yang efektif memiliki keterkaitan dengan
tingkat pemahaman guru terhadap perkembangan dan kondisi masing-masing
siswa di kelas. Demikian juga pentingnya pemahaman guru terhadap ketersediaan
sarana prasarana dan fasilitas sekolah yang tersedia., kondisi kelas, dan berbagai
faktor lain yang melingkupinya. Selain itu, pengembangan berbagai model
pembelajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi
belajar siswa, agar tidak merasa jenuh dengan dengan proses belajar yang sedang
berlangsung. Oleh karena itu, guru mutlak harus memiliki pemahaman yang baik
tentang siswa-siswanya, keragaman kemampuan, motivasi, minat, dan
karakteristik pribadi lainnya.
c. Langkah-Langkah Pengembangan Model Pembelajaran
Sugiyono (2011: 298) menjelaskan bahwa terdapat sepuluh langkah dalam
penelitian pengembangan, antara lain; (1) potensi dan permasalahan, (2)
pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji
produk, (7) revisi produk, (8) uji pemakaian, (9) revisi produk, dan (10) produksi
massal. Agar lebih mudah memahami bagaimana langkah-langkah dalam
penelitian pengembangan (Research and Development) tersebut, maka akan
ditunjukkan melalui bagan berikut ini.
37
Bagan 2.2. Langkah-langkah Penggunaan Metode Research & Development
(R&D) menurut Sugiyono
Langkah-langkah dalam penelitian pengembangan ini tidak digunakan
seluruhnya melainkan terdapat keterbatasan, sehingga model pengembangan ini
merupakan model pengembangan Borg & Gall yang telah termodifikasi.
Berdasarkan hal tersebut, untuk kepentingan tesis ini akan digunakan
penyederhanaan tahap-tahap penelitian dan pengembangan menjadi tiga yaitu 1)
penelitian pendahuluan, 2) pengembangan model, dan 3) uji efektivitas model.
d. Pembelajaran Kooperatif
Para pakar pendidikan yang memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan pembelajaran kooperatif adalah John Dewey dan Herbert Thelan.
Menurutnya, kelas merupakan simulasi kehidupan bermasyarakat yang lebih luas
Potensi
dan
Masalah
Revisi
Produk
Desain
Produk
Pengumpulan
Data
Produksi Massal
Revisi
Produk
Uji
Produk
Revisi
Desain
Uji
Pemakaian
Validasi
Desain
38
sehingga membutuhkan pengembangan prosedur yang sesuai untuk membantu
siswa bekerja secara berkelompok. Senada dengan pendapat tersebut, Anita Lie
(2005: 28) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif didasarkan atas
falsafah homo homini socius yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang membutuhkan kerja sama bagi kelangsungan hidupnya. Artinya,
prinsip pembelajaran tersebut sesuai dengan falsafah gotong royong yang ada di
lingkungan masyarakat Indonesia. Model tersebut dikembangkan untuk mencapai
hasil belajar yang berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan
pengembangan keterampilan sosial (Agus Suprijono, 2013: 61). Pembelajaran
sistem ini mengutamakan kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan
cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif,
beranggotakan 4 sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat
heterogen.
Sistem pembelajaran ini berusaha mengelola suasana kelas yang
menyenangkan. Siswa yang sebelumnya terbiasa bersikap pasif setelah
menggunakan pembelajaran kooperatif akan “terpaksa” berpartisipasi secara aktif
agar bisa diterima oleh anggota kelompoknya. Pembelajaran kooperatif adalah
model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik
(academic skill) sekaligus keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal
skill (Yatim Riyanto, 2012: 267).
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk menciptakan situasi, yaitu
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok.
Jenis-jenis pembelajaran kooperatif antara lain; STAD, TGT, Jigsaw, GI, NHT,
39
Think-Pair-Share, Mind Mapping atau Concept Mapping, Snowball Throwing,
DUTI-DUTA, TITO, Debate, Picture and Picture, CIRC, SFE, Cooperative Script,
dan sebagainya.
Jadi, Cooperative Learning hakikatnya merupakan suatu pendekatan yang
menekankan kerjasama antar siswa dalam suatu kelompok untuk saling
berinteraksi dan berpartisipasi. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami
bahwa pembelajaran kooperatif siswa memiliki tanggung jawab belajar untuk
dirinya sendiri dan membantu sesama anggota untuk belajar. Pertanggungjawaban
individu terhadap kelompok tergantung dengan cara belajar perseorangan dari
seluruh anggota kelompok. Pertanggungjawaban memfokuskan aktivitas
kelompok dalam menjelaskan konsep pada satu orang, dan memastikan bahwa
setiap orang dalam kelompok siap menghadapi aktivitas dimana siswa harus
menerima tanpa pertolongan anggota kelompok. Kemampuan sosialisasi adalah
kemampuan bekerjasama yang biasa dikerjakan dalam kelompok. Kelompok tidak
akan berjalan efektif apabila setiap anggota kelompok tidak memiliki kemampuan
bersosialisasi yang dibutuhkan. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk
bertemu muka dan berdiskusi. Pembelajaran kooperatif merefleksikan manusia
untuk belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil
membantu siswa belajar keterampilan sosial, sementara itu secara bersamaan
mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan berpikir logis.
e. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Istilah Jigsaw dilihat dari sisi etimologis berasal dari Bahasa Inggris yang
berarti gergaji. Ada yang menyebut dengan istilah Fuzzle, yaitu sebuah teka teki
40
dengan cara menyusun (menggabungkan) potongan gambar. Model ini meniru
pola kerja sebuah gergaji (Jigsaw), yaitu siswa melakukan sesuatu kegiatan
belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan
bersama.
Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi model
Collaborative Learning yaitu proses belajar kelompok dimana setiap anggota
menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan
keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan
pemahaman seluruh anggota. Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson,
kemudian digunakan oleh Slavin dan rekannya. Jigsaw merupakan salah satu jenis
pembelajaran Cooperatif Learning. Menurut Robert Slavin (2005: 237) model
ini sesuai untuk subyek pembelajaran ilmu sosial, literatur, sebagian pelajaran
pengetahuan alam, dan bidang lain yang tujuan pembelajarannya mengarah pada
penguasaan konsep daripada penguasaan kemampuan.
Model pembelajaran Jigsaw merupakan strategi yang menarik untuk
digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian
dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi
ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus
mengajarkan kepada orang lain (Zaini Hisyam, 2008: 56). Sebagaimana dengan
pendekatan pembelajaran yang lebih mengedepankan pada aktivitas siswa secara
optimal, Jigsaw merupakan salah satu bentuk inovasi dalam memperbaiki kualitas
proses belajar mengajar yang bertujuan membantu siswa agar bisa belajar mandiri
41
dan kreatif sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang menunjang terbentuknya kepribadian yang mandiri.
Secara umum langkah-langkah pembelajaran dengan metode Jigsaw
menurut Slavin (2005: 237) adalah sebagai berikut:
1. Pembagian kelas ke dalam kelompok-kelompok (masing-masing
beranggotakan 5-6 orang).
2. Penunjukan ketua kelompok dari masing-masing kelompok yang telah
terbentuk untuk menjadi kelompok ahli (expert group).
3. Pemberian tugas yang berbeda (learning task) dari sebuah materi ajar kepada
masing-masing kelompok.
4. Penjelasan ringkas mengenai tugas kepada masing-masing kelompok.
5. Kelompok-kelompok diberi waktu untuk mempelajari tugas-tugas yang
diberikan.
6. Penjelasan khusus kepada kelompok ahli mengenai materi yang ditugaskan.
7. Kelompok ahli berpencar menuju ke kelompok asal masing-masing.
8. Masing-masing anggota dari kelompok ahli berusaha memberi pendapat yang
sifatnya memotivasi dan mengarahkan kelompoknya menjawab soal-soal
yang diberikan dalam tugas kelompok sambil berlatih untuk tampilan
kelompok nanti.
9. Guru berjalan berkeliling memastikan proses diskusi kelompok berjalan
lancar.
10. Penampilan masing-masing kelompok dengan hasil diskusi kelompoknya
masing-masing.
42
11. Penyimpulan hasil diskusi kelompok menjadi hasil diskusi kelas.
12. Penilaian (authentic assessment) dilakukan baik dalam bentuk on-going
process evaluation atau kuis untuk mengetahui sejauh mana tujuan
pembelajaran tercapai.
f. Teknik Penanaman Nilai
Nilai merupakan pondasi penting dalam menentukan karakter suatu
masyarakat dan suatu bangsa. Nilai tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi
melalui proses penyebaran dan penyadaran, yang salah satunya melalui
pendidikan di sekolah. Berkaitan dengan penanaman nilai dalam proses
pembelajaran di sekolah, terdapat beberapa macam teknik pembelajaran yang
berorientasi pada nilai menurut Noeng Muhadjir dalam Muhaimin (2002) antara
lain; teknik indoktrinasi, teknik moral reasoning (pemikiran moral), teknik
meramalkan konsekuensi, teknik internalisasi, dan teknik klarifikasi.
Teknik indoktrinasi terdiri dari tiga tahap, pertama brainwashing, yakni guru
mulai menanamkan nilai dengan cara mengacaukan terlebih dahulu tata nilai yang
sudah mapan dalam diri siswa, sehingga mereka tidak mempunyai pendirian.
Metode yang dapat digunakan dalam brainwashing, yakni dengan tanya jawab,
wawancara mendalam dengan teknik dialektik, dan sebagainya. Kedua fanatisme,
yakni guru menanamkan ide-ide baru yang dianggap benar, sehingga nilai-nilai
yang ditanamkan dapat masuk kepala anak tanpa melalui pertimbangan rasional
yang mapan. Ketiga, doktrin. Guru hanya mengenalkan satu nilai kebenaran yang
disajikan, dan tidak ada alternatif lain.
43
Teknik moral reasoning (pemikiran moral) terdiri dari beberapa tahap;
pertama, penyajian dilema moral. Kedua, setelah disajikan problematik dilema
moral, dilanjutkan dengan pembagian kelompok diskusi. Ketiga, membawa hasil
diskusi kelompok ke dalam diskusi kelas, dengan tujuan untuk klarifikasi nilai,
membuat alternatif dan konsekuensinya. Keempat, setelah siswa berdiskusi secara
intensif dan melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang
ajukan, selanjunya siswa dapat mengorganisasikan nilai-nilai yang terpilih
tersebut ke dalam dirinya.
Teknik meramalkan konsekuensi. Adapun langkah-langkah yang digunakan
adalah sebagai berikut: pertama, siswa diberikan suatu kasus melalui cerita.
Kedua, siswa diberi beberapa pertanyaan melalui beberapa pertanyaan yang
berhubungan dengan nilai-nilai yang pernah dia lihat, ketahui, dengarkan, dan
rasakan. Ketiga, upaya membandingkan nilai-nilai yang terdapat dalam kasus itu
dengan nilai lain yang bersifat kontradiktif. Keempat, adalah kemampuan
meramalkan konsekuensi yang akan terjadi dari pemilihan dan penerapan suatu
tata nilai tertentu.
Teknik Klarifikasi atau biasa disebut dengan VCT (Value Clarification
Technique) yaitu sebuah teknik pengajaran yang membantu siswa dalam mencari
dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam
diri siswa (Wina Sanjaya dalam Gahnis, 2013: 391-392). Langkah-langkah dalam
Value Clarification Technique menurut Jarolimek dalam Nunuk Suryani (2013:
44
215) terdiri dari tujuh langkah yang terbagi dalam tiga tingkat. Antara lain
kebebasan memilih (freely), menghargai (prizing), dan bertindak (acting).
Teknik internalisasi. Tahap-tahap dari teknik internalisasi ini adalah (1)
tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar mentransformasikan nilai-
nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa melalui komunikasi verbal. (2)
tahap transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan
komunikasi dua arah yang bersifat interaksi timbal balik. (3) tahap
transinternalisasi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi
sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadiannya).
Kelebihan metode penanaman nilai yaitu siswa dapat memastikan dan
menentukan nilai yang akan diimplementasikan dalam kehidupannya. Nilai dan
moralitas yang dimaksud akan berkembang menjadi kebiasaan yang akhirnya
terpola menjadi suatu budaya. Dengan demikian pendidikan moral melalui metode
penanaman nilai diharapkan dapat menyemaikan kultur yang berakar pada nilai
dan moralitas.
Aspek perkembangan moralitas dalam penelitian ini menggunakan teori
perkembangan moral Kohlberg. Kohlberg dalam Rita dkk (2008: 110-111)
menyatakan terdapat enam tahap perkembangan moral yang terjadi pada tiga
tingkatan, antara lain: 1) pra-konvensional, 2) konvensional, dan 3) pasca
konvensional. Pada tahap pertama (pra), latar belakang budaya yang dijadikan
pedoman dalam pembentukan suatu peraturan, bagi anak memiliki kepekaan
tentang penilaian baik-buruk maupun benar-salah. Seorang anak tidak perlu atau
lebih tepatnya hanya mampu menafsirkan dari sudut pandang dampak yang
45
ditimbulkan dari melanggar suatu peraturan. Oleh karena itu mereka hanya
mengikuti sebuah aturan serta belum mampu berpikir atas dasar apa peraturan itu
dibuat dan dampak lebih lanjutnya seperti apa.
Pada tahap konvensional, sudah tampak adanya pemenuhan terhadap
harapan keluarga, kelompok, masyarakat, dan agama sebagai sebuah sesuatu yang
berharga bagi dirinya. Terlihat dalam tahapan ini anak ingin dihargai dan
menginginkan loyalitas. Misalnya anak ingin memenuhi harapan orang tua agar di
sekolah dia mampu berprestasi dalam hal akademik maupun non akademik. Anak
ingin dianggap baik di mata masyarakat, oleh karena itu dia berpikir untuk tidak
perlu melanggar peraturan agar mereka mendapat pengakuan, dan sebagainya.
Selanjutnya, tahap pasca konvensional. Tahap ini ditandai dengan usaha
jelas dalam mengartikan alasan nilai moral yang dilaksanakan dalam
kehidupannya. Mereka tidak perlu berpikir apakah peraturan tersebut terbatas
pada kelompok tertentu atau tidak. Jika itu peraturan yang dianggap baik, maka
mereka mengikutinya meskipun mereka bukan bagian dari suatu kelompok yang
lain. Artinya, mereka sudah mampu berpikir jauh alasan mengapa peraturan
tersebut dibuat, perlu dilaksanakan, dan tak boleh untuk dilanggar.
g. Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Pancasila Lamongan
Desa Pancasila sendiri pada awalnya merupakan istilah yang berkembang
pada masa Orde Baru. Istilah tersebut mengarah pada desa-desa yang “dianggap”
mampu mengimplementasikan ideologi kebangsaan Pancasila (versi pemerintah
Orde Baru) yang saat itu gencar dipublikasikan melalui P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Terlepas pro-kontra mengenai P4 yang
46
digunakan sebagai alat dalam melegitimasi kekuasaan, Desa Pancasila Lamongan
yang merupakan sebutan bagi Desa Balun patut dijadikan sebuah referensi
miniatur kehidupan Indonesia yang ideal. Desa yang berada di Kecamatan Turi
Kabupaten Lamongan ini mulai sering disebut sebagai Desa Pancasila sejak
tahun 1990-an dan beberapa kali dijadikan kajian studi oleh FKUB (Forum
Kerukunan Umat Beragama) dari Jakarta. Bagi sebagian masyarakat, istilah Desa
Pancasila masih menjadi polemik sebagai ekses negatif terhadap pemerintah Orde
Baru. Namun di sisi lain, terdapat nilai-nilai positif yang mampu diambil dari
keberadaan desa tersebut.
Desa Pancasila (Desa Balun) memiliki keterkaitan penting dengan sisi
sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Lamongan. Kata “Balun” diambil dari
kosakata “Mbah Alun” (Sunan Tawang Alun I) yang merupakan raja Blambangan
sekaligus ulama yang menyebarkan agama Islam di daerah bonorowo, istilah
untuk sebuah daerah yang merupakan kawasan penuh dengan rawa. Kompleks
pemakaman Mbah Alun terletak lebih kurang 20 meter sebelah utara Masjid
Miftahul Huda. Kata “Alun” dimaknai sebagai “gelombang”, yakni sebuah
gelombang atau arus dalam memperjuangkan kebenaran di suatu daerah. Tidak
heran apabila setiap peringatan HUT Kabupaten Lamongan, Bupati beserta staf
berziarah ke kompleks makam Mbah Alun sekaligus nguri-nguri sejarah
perkembangan Kabupaten Lamongan dari masa ke masa.
Masyarakat Desa Pancasila Balun memiliki kearifan dalam berkeyakinan
(agama), yakni di desa ini tumbuh subur kehidupan tiga agama, antara lain; Islam,
Kristen, dan Hindu. Simbolisme keagamaan yang berupa tempat ibadah masing-
47
masing terletak berdekatan dan masih dalam lingkup satu kompleks. Masjid
Miftahul Huda bersebelahan dengan Pura Sweta Maha Suci di sebelah selatan,
sedangkan Gereja Kristen Jawi Wetan terletak di sebelah timur berhadapan
dengan masjid yang dipisahkan dengan tanah lapang.
Sejarah berkembangnya masyarakat lintas agama di desa ini bermula dari
masuknya agama Kristen dan Hindu dalam tempo yang hampir bersamaan.
Sebelum kedua agama tersebut masuk, agama Islam sudah sejak lama dipeluk
oleh mayoritas masyarakat desa setempat. Agama Kristen masuk ke Desa Balun
sekitar tahun 1966 hingga 1967. Martin Badi (alm) merupakan seorang yang
disebut berjasa dalam menyebarkan agama Kristen di Desa Balun. Martin Badi
merupakan penduduk asli Desa Balun yang sekaligus pernah menjabat sebagai
kepala desa. Pada masa periode kepemimpinannya sebagai Kepala Desa Balun,
atas inisiatifnya dibangunlah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) bertempat
menghadap ke arah barat dengan status tanah kas desa (Octavian Hendra, 2014:
106).
Pembangunan tempat ibadah ini mendapat respon positif dari masyarakat,
sehingga dirasa semangat demokrasi serta nilai-nilai toleransi antar umat
beragama benar-benar mampu diaplikasikan secara utuh oleh masyarakat Desa
Balun. Selain itu, dukungan dari pihak pemerintah yang mengakui keberadaan
agama ini merupakan sebuah spirit tersendiri dalam upaya menjaga kelestarian
umat Kristiani tidak hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas. Adanya
GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) di Desa Balun, benar-benar mampu
mengakomodir aktivitas peribadatan dan peringatan hari keagamaan umat
48
Kristiani. Pada dekade yang sama, menurut penuturan Adi Wiyono yang juga
merupakan tokoh umat Hindu, corak ke-Hindu-an turut serta dalam meramaikan
suasana keberagaman masyarakat Desa Balun.
Nilai-nilai kearifan setempat ditunjukkan dalam berbagai aktivitas, baik
aktivitas kemasyarakatan maupun peribadatan. Misalkan saja, pada saat Bulan
Ramadhan waktu Shalat Tarawih bagi umat muslim adalah sudah pasti setelah
Shalat Isya’ (tidak bisa diundur). Waktu sembahyang bagi umat Hindu di Desa
Balun juga demikian. Akan tetapi, bagi pihak Hindu, waktu sembahyang sehabis
Isya’ bukanlah suatu keharusan (jadwal waktu ibadah bisa dirubah). Tanpa pihak
muslim mengingatkan pihak Hindu, dengan kesadaran mereka sendiri, umat
Hindu melaksanakan ibadah setelah maghrib dengan tujuan agar tidak menggangu
waktu ibadah saudara muslim. Sebaliknya, pada saat Hari Raya Nyepi umat
Hindu, umat Islam memiliki kesadaran untuk mematikan lampu serta
mengheningkan suara (menghormati). Termasuk tidak menggunakan micropone
masjid untuk kepentingan peribadatan sekalipun. Hal tersebut dikarenakan lokasi
antara Pura Sweta Maha Suci dengan Masjid Miftahul Huda yang berdekatan.
Begitu pula umat Kristiani, ketika memperingati hari raya (Natal), umat
tersebut tidak lupa mengundang saudara-saudaranya (baik muslim maupun Hindu)
termasuk pihak pemerintah desa. Pada saat acara sakral (aktivitas peribadatan)
berlangsung di Gereja, hanya umat Kristiani yang berkepentingan, namun setelah
acara tersebut selesai, barulah pihak muslim, Hindu, maupun perangkat desa
berbaur dalam acara selanjutnya.
49
Selain itu, kerukunan juga dapat dilihat dalam aktivitas kemasyarakatan
secara umum. Pertama, dapat dilihat bahwa satu keluarga bisa dihuni tiga agama.
Adanya perbedaan keyakinan tersebut biasanya terjadi karena masalah
pernikahan. Perbedaan tersebut tidak lantas membuat atau memunculkan konflik.
Kedua, masing-masing pihak tokoh agama juga mengedepankan pemerintahan
desa. Ketika ada suatu permasalahan tertentu yang menyangkut kemasyarakatan,
tokoh-tokoh ini selalu berembug dengan pihak pemerintah desa, bukan hanya dari
kalangannya (umat tertentu) untuk menemukan solusi. Ketiga, apabila terdapat
acara baik itu hajatan keluarga maupun acara peringatan hari besar di desa, kepala
desa selalu hadir untuk memberikan sambutan, bahkan untuk musyawarah tingkat
RT pun, selalu mengundang kepala desa selaku pihak pemerintah desa setempat.
Kenyataan lain yang cukup menarik adalah masalah perawatan dan
pemakaman jenazah. Perawatan jenazah baik itu dari kalangan agama apapun,
warga yang bertempat satu RT memiliki kewajiban lebih dalam mengurus jenazah
sebelum dimakamkan, sedangkan masalah doa bagi jenazah hanya yang
berkepentingan saja dan menyesuaikan dari agama yang bersangkutan. Area atau
lokasi pemakaman bertempat di sebelah utara Masjid Miftahul Huda. Karena
sepanjang lokasi masjid, pura, gereja, maupun sekolah (SD/MI) tersebut masih
berstatus tanah kas desa.
Pada saat penelitian ini berlangsung, pemakaman Islam dengan Hindu
masih dijadikan satu lokasi meskipun telah ada rencana untuk mengkondisikan
masing-masing pemakaman umat beragama pada lokasi yang berbeda (khusus),
seperti halnya pemakaman umat Kristen. Perihal masalah pemakaman, bagi umat
50
Hindu tidak ada ketentuan bagi jenazah yang dimakamkan harus menghadap ke
arah mana. Prosedur yang disepakati yakni apabila ada seseorang yang meninggal
dari kalangan agama tertentu, kemudian dimakamkan di area makam muslim,
maka harus mengikuti ketentuan pemakaman (jenazah harus menghadap kiblat),
begitu pula sebaliknya. Apabila diperhatikan, sepintas makam-makam tersebut
(Islam dan Hindu) tidak ada perbedaan mendasar, kecuali umat Kristiani yang
memakai tanda salib sebagai identitas agamanya. Akan tetapi, jika diperhatikan
dengan seksama, ciri dari makam umat Hindu ialah adanya tanda “Om” pada batu
nisan yang merupakan identitas penunjuk keyakinan.
h. Pembelajaran IPS di SMP Kurikulum 2013
Perkembangan mata pelajaran IPS dalam kurikulum pendidikan di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas social studies (studi sosial) yang
ada di Amerika Serikat. Paham maupun gerakan social studies di Amerika Serikat
mampu memberikan pengaruh terhadap keberadaan Ilmu Pengetahuan Sosial
yang ada di Indonesia. Keilmuan di bidang sosial sering menyajikan beberapa
istilah yang membuat masyarakat umum menjadi rancu. Istilah-istilah tersebut
meliputi Ilmu Sosial (social sciences), Studi Sosial (social studies), dan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
IPS cenderung sebagai bidang kajian, bukan merupakan suatu disiplin ilmu
seperti halnya ilmu sosial (Irma Yurni 2012: 20). Bidang yang dikaji IPS meliputi
masalah kemasyarakatan dengan prinsip keterpaduan. Pengajaran IPS yang
diaplikasikan di sekolah tidak bersifat keilmuan, akan tetapi bersifat pengetahuan.
Artinya, IPS mengajarkan kepada siswa bukan berupa teori-teori ilmu sosial,
51
melainkan hal-hal yang bersifat praktis dan berguna bagi kehidupannya, baik
kekinian maupun kelak di kemudian hari dalam berbagai lingkungan kehidupan.
Muhammad Numan Soemantri (2001: 92) menjelaskan bahwa mata
pelajaran IPS merupakan perpaduan antara cabang-cabang ilmu sosial dan
humaniora, termasuk di dalamnya juga terdapat unsur agama, filsafat, dan
pendidikan. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan IPS meliputi nilai-
nilai edukatif, praktis, teoritis, filsafat, dan kebutuhan. IPS sebagai satu program
pendidikan di sekolah bukan sekedar menyajikan tentang konsep pengetahuan
semata, namun lebih dari itu bertujuan membina siswa menjadi warga negara
yang baik, serta memiliki rasa tanggungjawab atas kesejahteraan bersama.
Pemaknaan IPS bukan sekedar relevansi konsep antara ilmu pendidikan dan ilmu
sosial, namun bagaimana dapat menghubungkan masalah-masalah
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Substansi IPS secara sederhana
memuat tiga sub tujuan yaitu Pertama, pendidikan kewarganegaraan, Kedua
sebagai ilmu konsep dan menggeneralisasikan ilmu-ilmu sosial, dan Ketiga, ilmu
yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan masyarakat kemudian dikaji
secara reflektif. Mata pelajaran ini cocok apabila diintegrasikan dengan
pendidikan nilai-budaya dan karakter bangsa.
Pengajaran IPS dalam Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah Pertama
dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative social studies, yakni program
pendidikan yang berorientasi aplikatif dalam hal seperti; pengembangan
kemampuan berpikir kritis, kemampuan belajar menanggapi permasalahan, dan
pendidikan karakter seperti rasa ingin tahu, kreatif, jujur, demokratis, bertanggung
52
jawab, toleransi, dan sebagainya. Disamping itu, tujuan pendidikan IPS
menekankan pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat kebangsaaan,
patriotisme pada negara, nasionalisme, sosial-budaya, serta aktivitas masyarakat
di bidang ekonomi dalam wilayah NKRI. Pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif semata, tetapi juga menyentuh pada internalisasi, serta
pengamalan nyata dalam kehidupan siswa sehari-hari di masyarakat.
Jadi, hakikat IPS adalah untuk mengembangkan konsep pemikiran yang
berdasarkan realita kondisi sosial yang ada di lingkungan siswa, sehingga dengan
memberikan pendidikan IPS diharapkan dapat melahirkan warga negara yang
baik dan bertanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya. Pendidikan IPS saat
ini dihadapkan pada upaya peningkatan kualitas pendidikan khususnya kualitas
sumber daya manusia, sehingga eksistensi pendidikan IPS benar-benar dapat
mengembangkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis, serta
menyiapkan anggota masyarakat di masa depan yang mampu bertindak secara
efektif.
i. Ruang Lingkup Pembelajaran IPS
Arnie Fajar (2009: 114-115) mengemukakan ruang lingkup mata pelajaran
IPS di tingkat SMP dan MTs sebagai berikut:
1) Sistem sosial dan budaya, 2) Manusia, tempat, dan lingkungan, 3) Perilaku
ekonomi dan kesejateraan, 3) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan, 4) Sistem
berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut, Arnie Fajar menjabarkan beberapa pengkategorian di atas
yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
53
Tabel 2.1. Aspek dan Sub Aspek Ilmu-Ilmu Sosial
Aspek Sub Aspek
1. Sistem sosial dan
budaya
- Individu, keluarga, dan masyarakat
- Sosiologi sebagai ilmu dan metode
- Interaksi sosial
- Sosialisasi
- Struktur sosial
- Kebudayaan
- Perubahan sosial budaya
2. Manusia, tempat, dan
lingkungan
- Sistem informasi geografi
- Interaksi gejala fisik dan sosial
- Struktur internal suatu tempat/wilayah
- Interaksi keruangan
- Persepsi lingkungan dan kewilayahan
3. Perilaku ekonomi dan
kesejahteraan
- Berekonomi
- Ketergantungan
- Spesialisasi dan pembagian kerja
- Perkoperasian
- Kewirausahaan
- Pengelolaan keuangan perusahaan
4. Waktu, keberlanjutan,
dan perubahan
- Dasar-dasar ilmu sejarah
- Fakta, peristiwa, dan proses
5. Sistem berbangsa dan
bernegara
- Persatuan bangsa
- Nilai dan norma (agama, kesusilaan,
kesopanan dan hukum)
- Hak asasi manusia
- Kebutuhan hidup
- Kekusasan dan politik
- Masyarakat demokratis
- Pancasila dan konstitusi negara
- Globalisasi
(Sumber: Arnie Fajar, 2009: 114-115)
Berkaitan dengan tabel diatas, maka dapat dijadikan gambaran mengenai ruang
lingkup studi ilmu pengetahuan sosial. Pertama, pengenalan dari aspek sistem
sosial dan budaya terbagi pada pembahasan mengenai pola kehidupan di
masyarakat. Dilihat dari substansinya pola masyarakat ini akan terbangun melalui
54
individu yang mengadakan interaksi, sosialisasi baik dengan keluarga dan
lingkungannya secara luas. Lebih lanjut, akan ditemukan pula bagaimana struktur
sosial, perubahan dan budaya yang tetap melekat. Kedua, ranah manusia dan
ligkungannya yang mencakup pada pendadaran interaksi manusia dengan
lingkungan fisiknya. Ketiga, aspek kesejahteraan dengan mengasumsi pada
dinamika bentuk ekonomi dengan memperhatikan peilaku-perilaku ekonomi yang
dijalankan misalnya perkoperasian, kewirausahaan, atau spesialisasi dan
pembagian kerja. Keempat, sistem pembabakan waktu berkelanjutan, yang
orientasinya terhimpun pada peristiwa, fakta-fakta yang ada dan biasanya disebut
sejarah. Kelima, sistem berbangsa dan bernegara yang dalam pembelajarannya,
peserta didik dikontekskan pada masalah-masalah kebangsaan meliputi nilai dan
norma, hak asasi manusia, sikap demokratis dan pengetahuan tentang dasar negara
yakni pancasila, maupun segi perpolitikan.
Sejalan dengan pemikiran ini, konteks pendidikan IPS erat kaitanya dengan
disiplin ilmu-ilmu sosial. Substansi ilmu pengetahuan ini pada kenyataannya akan
mempelajari hubungan masyarakat serta segala perilaku manusia, dan lingkungan
tempat tinggalnya. Ilmu pengetahuan sosial merupakan sebuah ilmu
interdisipliner, sebab adanya berbagai pengintegrasian dari berbagai sudut ilmu
sosial melalui geografi, sosiologi, sejarah, ekonomi dan sebagainya. Abraham
Nurcahyo dan Yudi Hartono (2010: 9-10) mengemukakan bahwa disiplin ilmu
sosial yang termasuk dalam mata pelajaran IPS meliputi; 1) Ilmu geografi, dengan
aspek yang dipelajari mencakup manusia, tempat, dan lingkungannya, 2) Ilmu
sejarah, dengan aspek yang dipelajari mencakup waktu, keberlanjutan, dan
55
perubahan, 3) Ilmu sosiologi, dengan aspek yang dipelajari mencakup sistem
sosial dan budaya, serta 4) Ilmu ekonomi dengan aspek yang dipelajari mencakup
perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
Bagan 2.3. Keterpaduan Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial
(Sumber: Abraham Nurcahyo dan Yudi Hartono, 2010: 10)
Dengan demikian dari percabangan skema ilmu pengetahuan sosial tersebut,
maka akan terbagi menjadi dua skup yaitu social sciences yakni ilmu pengetahuan
sosial yang tujuannya menjadi ahli ilmu sosial (sejarawan, ekonom, dan sosiolog,
antropolog). Sedangkan social studies adalah penyederhanaan social sciences
untuk tujuan kependidikan. Di Indonesia sendiri bila dicermati bahwa IPS yang
diajarkan dan dikembangkan di sekolah cenderung mengarah pada domain social
studies. Konsep tersebut sebenarnya sama seperti yang diajarkan di luar negeri,
namun demikian dari segi isi maupun tema masih tetap disesuaikan dan
dimodifikasi dengan kurikulum Indonesia.
Ilmu
Pengetahuan
Sosial
Filsafat
Psikologi
Sosial
Ekonomi
Ilmu politik
Antropologi
Sosiologi
Geografi
Sejarah
56
3. Sikap Demokratis
Sikap merupakan kondisi mental seseorang untuk mengevaluasi atau
membentuk pandangan (berdasarkan pengalaman) sebagai sebuah kecenderungan
menanggapi respon, obyek, kondisi, maupun manusia lain yang termanifestasikan
dalam bentuk tindakan menyesuaikan diri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, sikap berarti “..perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada
pendirian, keyakinan: rakyat akan selalu mengutuk -- pemimpin-pemimpinnya
yang kurang adil itu..”.
Menurut Yayat Suharyat (2009: 1) sikap merupakan satu dari sekian istilah
bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi maupun tingkah laku. Istilah
“sikap” dalam bahasa Inggris disebut attitude, yang diterjemahkan sebagai cara
merespon untuk menanggapi stimulus. Sikap memiliki kecenderungan untuk
bereaksi terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi, serta melibatkan
beberapa pengetahuan tentang sesuatu. Namun, aspek yang esensial dalam sikap
pada dasarnya adalah perasaan atau emosi. Emosi atau perasaan ini terbentuk dari
aktivitas pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang mengendap, kemudian
diproses dan diolah lebih lanjut dalam pemikiran manusia. Sehingga, pada
akhirnya perasaan atau emosi mampu memainkan perannya dalam memunculkan
reaksi atau respons (kecenderungan untuk berbuat).
Notoatmodjo (2003: 124) menyatakan sikap merupakan suatu reaksi
(respon) yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
Manifestasi sikap tersebut tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan kesiapan
57
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek. Sehingga asumsi dasar mengenai “sikap” dapat dijelaskan melalui
beberapa komponen, antara lain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Komponen
kognitif berupa pengetahuan, kepercayaan, atau pikiran yang didasarkan pada
informasi yang berhubungan dengan objek. Misalkan seseorang tahu bahwa
pendidikan itu penting, karena berguna bagi masa depan. Sikap seseorang tentang
pendidikan tersebut menunjukkan bahwa orang itu tahu seberapa besar pentingnya
pendidikan bagi seseorang. Komponen afektif menunjuk pada dimensi emosional
dari sikap, yaitu emosi yang berhubungan dengan objek. Objek di sini dirasakan
sebagai suatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Misalkan seorang lelaki
menyukai perempuan, hal ini menunjukkan atau menggambarkan perasaan lelaki
tersebut. Komponen konatif atau behavior, yakni melibatkan salah satu
predisposisi untuk bertindak terhadap objek. Misalnya karena uang adalah sesuatu
yang bernilai, orang menyukainya dan mereka berusaha (bertindak) untuk
mendapatkan gaji yang besar.
Terdapat beberapa tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003: 126) antara
lain;
1) Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang di berikan (objek). Misalkan sikap seseorang terhadap kondisi keuangan
(financial), dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang bersangkutan
terhadap pengelolaan dan perencanaan keuangan sejak awal (berhemat).
58
2) Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas
dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide
tersebut.
3) Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya orang tua yang mendidik
anaknya sejak dini untuk berhemat, merupakan suatu bentuk perhatian positif
orang tua dalam menyikapi masalah keuangan (kebutuhan masa depan) anak
agar tidak memiliki gaya hidup royal atau bermewah-mewahan
4) Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang yang
bermatapencaharian sebagai Deep Collector harus siap menerima segala resiko
atau konsekuensi, seperti masalah keselamatan diri, keamanan masalah
keuangan, nasabah yang suka bersembunyi dari kewajibannya, nasabah yang
suka marah, mengelak, mengancam, dan sebagainya.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, “sikap” pada dasarnya ada yang
bersifat positif dan negatif. Sikap positif, kecenderungan tindakan yaitu
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap
negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak
59
menyukai objek tertentu. Semuanya berfungsi sebagai alat adaptasi, alat untuk
mengatur tingkah laku, alat mengatur berbagai pengalaman, dan sebagai
pernyataan yang menunjuk tentang kepribadian seseorang.
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi berarti
pemerintahan oleh rakyat. Abraham Lincoln, mengemukakan pemerintahan
demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (from people, for
people, by people). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi
diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut
serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan atau pandangan hidup
yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama
bagi semua warga negara. Arti “demokratis” tidak dapat dipisahkan dari kata
awalnya yakni “demokrasi”. Akhiran –is yang terdapat dalam kata demokratis
merujuk pada makna sifat yang melekat atau bersifat.
Definisi di atas mencakup atau mengarah pada konteks politik, hukum, atau
ketatanegaraan termasuk dalam pengambilan kebijakan publik. Demokrasi
dilaksanakan atas dasar kehendak rakyat, karena sejatinya negara yang
berdemokrasi adalah negara yang mengakui kedaulatan rakyat dan melaksanakan
aspirasi rakyat, meskipun realitanya terkadang belum sesuai dengan apa yang
diidealkan. Berbagai permasalahan bangsa, seperti sparatisme, SARA, masalah
HAM yang belum terselesaikan, korupsi yang merajalela, merupakan aspek-aspek
penggerus demokrasi yang harus dimengerti oleh generasi muda kita agar tidak
memiliki sikap yang apatis terhadap masalah serius tersebut. Siswa sejak dini
60
harus diajarkan mengenai nasionalisme, toleransi beragama, menghargai hak-hak
orang lain, memiliki sikap demokratis dalam kehidupan sehari-hari dan
sebagainya agar dengan pembiasaan tersebut terbentuk karakter yang diinginkan
dalam diri siswa.
Demokrasi selain dimengerti sebagai sebuah sistem dalam mengelola
negara, juga dikenal sebagai sebuah falsafah yang digunakan sebagai “cara” hidup
manusia dalam keseharian. Dengan memahami arti luas demokrasi, maka sistem
tersebut juga dapat dikontekskan dalam dunia pendidikan. Upaya untuk
mengajarkan sikap yang demokratis sejak dini, dapat dilaksanakan melalui setting
pendidikan formal, bahkan non formal sekalipun. Lingkungan keluarga sebagai
lingkungan pertama yang membentuk kepribadian anak, memiliki peran strategis
dalam menelurkan generasi berkarakter yang memiliki sikap demokratis.
Sedangkan sekolah, sebagai simulasi kehidupan bermasyarakat yang lebih luas,
harus mampu mempertegas nilai-nilai kebangsaan melalui jalur pendidikan
(formal) yang tidak sekedar mentransfer pengetahuan (transfer knowledge), akan
tetapi juga transfer nilai (transfer value) melalui sebuah keteladanan para guru
khususnya. Pakar pendidikan John Dewey (1964) mendefiniskan demokrasi yakni
“Democracy is extension in space of the number of individualis who participate in
a interest”. Artinya, demokrasi memberikan kekuasaan, tempat kepada individu
untuk berperan dalam sebuah minat atau keinginan.
Sekolah sebagai tempat menempuh pendidikan formal memiliki tanggung
jawab dalam membentuk generasi muda yang beriman, bertaqwa, berilmu,
bermoral, dan memiliki sikap demokratis. Sesuai dengan yang termaktub dalam
61
UU Nomor 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan yang bercorak demokratis, dalam konteks pendidikan formal di kelas,
dapat dianalogikan layaknya guru sebagai pemimpin, sedangkan siswa sebagai
“warga negara” yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Seorang guru harus
mampu memfasilitasi siswanya agar mampu menjadi “warga negara” yang baik
dengan cara membuat setting pembelajaran dengan melibatkan partisipasi siswa.
Partisipasi siswa yakni berupa respon umpan balik (feed back) dalam menanggapi
pernyataan guru, kerjasama antara siswa dalam memecahkan masalah, berfikir
kritis, menghargai perbedaan, dan sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari
konteks keterampilan sosial yang disimulasikan dalam pembelajaran di kelas.
Sehingga harapan yang ingin dicapai adalah apa yang diperoleh siswa dalam
pembelajaran formal di kelas, mampu menjadi bekal dalam konteks
kebermaknaan pembelajaran di lingkungan sosial yang lebih luas.
Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu sikap
spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan
bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang
berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Pada jenjang
SMP/MTs, kompetensi sikap spiritual mengacu pada KI-1: Menghargai dan
menghayati ajaran agama yang dianutnya, sedangkan kompetensi sikap sosial
mengacu pada KI-2: Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin,
62
tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan
pergaulan dan keberadaannya.
Beberapa indikator yang mencerminkan sikap demokratis menurut pedoman
penilaian pencapaian kompetensi sikap Kurikulum 2013 pada tataran siswa
menengah pertama antara lain;
1) Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau
golongan.
2) Menghormati teman yang berbeda suku, agama, ras, budaya, dan gender.
3) Memelihara hubungan baik dengan sesama umat ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa
4) Menghormati orang lain yang menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinannya.
5) Toleran atau menghargai serta menghormati pendapat orang lain yang
berbeda.
6) Terbuka menerima pendapat orang lain.
7) Menerima kesepakatan bersama meskipun tidak sesuai dengan pendapatnya.
8) Dapat menerima kekurangan orang lain dan tidak memaksakan pendapat.
9) Dapat memaafkan kesalahan orang lain.
10) Cerdas dan penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan.
11) Menghormati hak orang lain.
12) Menghormati kekuasaan yang sah.
14) Bersikap adil dan tidak diskriminatif.
63
15) Aktif dalam kerja kelompok.
Jadi, dapat dimengerti bahwa secara umum tujuan dari pendidikan yang
bersifat demokratis yakni mampu menghasilkan lulusan yang berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat luas, memiliki sifat-sifat kepemimpinan, serta mempunyai
pengaruh penting dalam pengambilan kebijakan publik. Dengan kata lain,
pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan
akan peran warga dalam masyarakat demokratis baik dari aspek cara berpikir,
bersikap, dan bertindak.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang mengkaji tentang pembelajaran dalam masyarakat multi
budaya telah banyak dilakukan, hal tersebut dikarenakan merupakan isu penting
yang selalu mencuat apabila berbicara tentang konsep ke-Indonesia-an. Kajian
tersebut menjadi penting ketika sering terjadi gejolak masyarakat atau yang sering
disebut sebagai sebuah konflik horisontal. Salah satu strategi yang diterapkan
yakni dengan cara menerapkan konsep pendidikan berbasis budaya (kearifan
lokal) dalam proses pembelajaran di kelas secara formal, dengan tidak
mengesampingkan aspek-aspek lain di luar formalitas.
Karya ilmiah yang mengkaji tentang relevansi pendidikan multikultural
dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks akademis antara lain;
1) Imam Suyitno.Pengembangan Pendidikan Karakter Dan Budaya Bangsa
Berwawasan Kearifan Lokal.Jurnal Pendidikan Karakter. Nomor 01, Volume
2, Februari 2012: 4.
64
Hasil penelitian: dalam pengembangan karakter, perlu diperhatikan bentuk-
bentuk budaya bangsa (pemahaman tentang pengenalan diri, tujuan hidup,
interaksi dengan orang-orang orang-orang di sekiar, dan proses pengambilan
putusan). Metode pengembangan pendidikan karakter dapat dilakukan
dengan (a) proses penyadaran dan pembiasaan; (b) belajar melalui
pengalaman; dan (c) menyesuaikan dengan karakteristik dan hak peserta
didik. Pembentukan karakter bangsa memerlukan (a) peraturan yang
membentuk suatu ulur yang menjaga integritas akademis lembaga
pendidikan; (b) pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir
kritis agar menjadi pelajar yang mampu memaknai berbagai pengetahuan dan
informasi secara baik dan bijak; dan (c) pengembangan desain sistem
evaluasi akademik (tentang kenaikan dan kelulusan) yang mampu menjadi
solusi alternatif sistem penilaian yang benar-benar mampu memotret
kemampuan peserta didik. Pembentukan karakter dimulai dari keinginan
untuk mengetahui serta melakukan hal yang baik agar tercipta kebiasaan,
baik di hati, pikiran, maupun perilaku. Dalam membentuk karakter positif,
peserta didik perlu mengetahui alasan mengapa berbuat baik, merasakan hal
yang baik, dan melakukan hal yang baik. Perlunya lingkungan belajar yang
positif dan peduli yang ditandai dengan penuh kasih sayang, penuh dengan
kepedulian, kompetensi guru dan staf sekolah yang memberikan inspirasi dan
bebas dari berbagai bentuk tindak kekerasan, serta pendidikan yang inklusif.
65
2) Akhmad Hidayatullah Al Arifin. Implementasi Pendidikan Multikultural
Dalam Praksis Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan:
Fondasi dan Aplikasi. Volume 1, Nomor 1, Juni 2012: 74.
Hasil penelitian: (a) pendidikan multikultural di Indonesia masih menjadi
wacana baru yang perlu direspon untuk menjaga keutuhan bangsa yang kaya
akan multi kultur, (b) pendidikan multikultural merupakan wujud kesadaran
tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan
atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan
masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat
dijadikan instrumen strategis untuk mengembangkan kesadaran atas
kebanggaan seseorang terhadap bangsanya, (c) dalam menghadapi pluralisme
budaya, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran dan elegan untuk
mencegah dan memecahkan masalah benturan-benturan budaya tersebut,
yaitu perlunya dilaksanakan pendidikan multicultural, (d) oleh karenanya
praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara
fleksibel dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural, (e)
pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di
masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman
akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru
atas keadilan, kesetaraan dan masyarakat yang demokratis.
3) Luthfiah Ayundasari. 2013. Model Pembelajaran Sejarah Berbasis
Kebhinekaan dan Universalisme Islam Untuk Meningkatkan Kesadaran
Harmoni Sosial. Tesis: Pascasarjana Pendidikan Sejarah UNS.
66
Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan rerata tingkat kesadaran harmoni
sosial siswa dengan model PSBKUI dan konvensional karena t hitung > t
tabel (8,223 > 2,042). Terdapat perbedaan tingkat kesadaran harmoni sosial
siswa antara sebelum dan sesudah pemberlakuan model karena –t hitung (-
8,130) < -t tabel (-2,039). Model PSBKUI efektif dalam meningkatkan
kesadaran harmoni sosial siswa karena (a) didukung oleh materi di luar fakta-
fakta sejarah seperti sosiologi dan muatan materi agama Islam; (b)
penggunaan kasus terkini konflik horizontal sebagai cerminan lunturnya
kesadaran kebangsaan yang hal ini bertolak belakang dengan kondisi pada
masa pergerakan dimana terjadi transformasi etnik dan kesadaran kebangsaan
sehingga tercipta rasa persatuan menuju kemerdekaan; (c) penggunaan media
pembelajaran yang mendukung yaitu video keberagaman Indonesia, ceramah
tentang akar toleransi dalam Islam, dan video perjuangan kemerdekaan yang
mencerminkan terlibatnya semua elemen masyarakat; (d) penggunaan teori
pembelajaran kooperatif dan kontekstual sehingga siswa aktif dalam
membangun pengetahuan mereka yang berdampak pada kebermaknaan
materi; (e) penggunaan model yang sesuai dengan tingkat penalaran moral
siswa SMA yaitu tingkat penalaran konvensional dimana pembelajaran nilai
dan moral dilakukan secara rasional; (f) penggunaan pendekatan analisis nilai
yang menekankan agar siswa dapat menggunakan kemampuan berpikir logis
dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan
nilai tertentu.
67
4) Nunuk Suryani. Pengembangan Model Internalisasi Nilai Kharakter Dalam
Pembelajaran Sejarah Melalui Model Value Clarification Technique. Jurnal
Paramita. Nomor 02, Volume 23, Juli 2013: 215.
Hasil penelitiannya yaitu model VCT efektif untuk meningkatkan peran
pembelajaran Sejarah dalam pembentukan karakter siswa yang pada
gilirannya dapat meningkatkan pembentukan karakter bangsa. Model VCT
efektif untuk meningkatkan kualitas proses dan produk pembelajaran nilai
karakter pada mata pelajaran IPS Sejarah SMP khususnya di Solo Raya.
5) Dadang Supardan. 2008. History Learning On The Approach Of
Multicultural And Local, National, Global History Perspective For National
Integration: A Quasi-Experimental Study On Senior High School Student in
Bandung City. Desertasi: UPI Bandung.
Hasil penelitian: (a) penggunaan pendekatan multikultural dalam kegiatan
pembelajaran sejarah berpengaruh signifikan terhadap pengembangan
hubungan inter etnik dan solidaritas nasional, (b) terdapat pengaruh yang
signifikan dengan menggunakan pendekatan sejarah lokal terhadap hubungan
inter etnik dan solidaritas nasional, (c) terdapat pengaruh yang signifikan
antara pembelajaran sejarah nasional terhadap hubungan inter etnik, tetapi
tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pembelajaran sejarah nasional
terhadap pembangunan solidaritas nasional, (d) terdapat pengaruh yang
signifikan antara pembelajaran sejarah global terhadap hubungan inter etnik
dan solidaritas nasional, serta terdapat pengaruh yang signifikan antara
pembelajaran inter etnik dan solidaritas nasional.
68
Beberapa penelitian yang disebutkan di atas belum terdapat penelitian yang
secara spesifik mengintegrasikan antara pembelajaran IPS di jenjang SMP dengan
nilai kearifan lokal Desa Pancasila. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sebuah
model yang akan menghasilkan desain model pembelajaran IPS berbasis nilai-
nilai kearifan lokal Desa Pancasila untuk menumbuhkembangkan sikap
demokratis.
C. Kerangka Berpikir
Indonesia sebagai negara multikultur yang terdiri dari berbagai suku, agama,
dan budaya sangat rentan dengan pertentangan. Pertentangan atau biasa disebut
dengan konflik bisa terjadi secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal
seringkali terkait kasus sparatisme dan terorisme. Secara horisontal, kasus yang
sering terjadi di masyarakat terkait dengan masalah SARA. Jika terjadi secara
vertikal, maka negara tidak boleh absen dalam mengatasi hal tersebut melalui
solusi berupa lobi politik atau pendekatan ekonomi. Namun, jika pertentangan
tersebut terjadi secara horisontal, maka solusi yang dilakukan harus melalui
pendekatan budaya atau yang disebut dengan kearifan lokal.
Era globalisasi saat ini semakin menggerus perilaku positif generasi muda
menuju pada sikap mental yang negatif. Munculnya perilaku negatif pada generasi
muda seperti kurang adanya nilai-nilai toleransi, kurang menghargai antar sesama,
pudarnya budaya gotong royong, egoisme atau tidak adanya semangat demokratis,
mengesampingkan kearifan lokal setempat dengan budaya barat, tawuran, seks
bebas, sikap apatis terhadap masalah bangsa, dan sebagainya merupakan
tantangan berat bagi dunia pendidikan Indonesia masa kini, termasuk juga
69
masalah krisis keteladanan. Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah
dan memiliki budaya yang santun, kini terkesan luntur dengan berbagai contoh
runtuhnya moralitas generasi muda.
Krisis karakter yang terjadi pada generasi muda terkait dengan kurangnya
saling pengertian di lingkungan keluarga yang disebabkan karena disorientasi
masalah ekonomi dan latar belakang pendidikan anggota keluarga. Selain itu arus
globalisasi yang begitu deras mampu membawa nilai-nilai dan norma kehidupan
terdegradasi sehingga didominasi oleh gaya hidup remaja yang hedonis
(materialistis), ditambah dengan tayangan sinetron tidak mendidik yang memuat
gaya hidup jauh dari kearifan lokal masyarakat.
Perlu suatu upaya revitalisasi pembelajaran IPS yakni, pertama sebagai
sebuah pendidikan intelektual. Kedua, pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan,
pendidikan pembinaan moralitas, pendidikan karakter bangsa atau jati diri, serta
nasionalisme. Pembelajaran IPS di tataran SMP mampu mengajak siswa untuk
belajar terhadap lingkungan sekitar yang memberikan makna. Secara teoretis,
pendidikan IPS merupakan program tematik atau terpadu yang materinya
terintegrasi dengan ilmu sosial yang lain. Dalam mata pelajaran IPS, selain
membuka aspek wawasan tentang ke-Indonesia-an, juga mengandung nilai-nilai
luhur dan muatan karakter bangsa dalam bermasyarakat, berbangsa serta
bernegara yang dibingkai dalam keragaman. IPS memberikan konsep nilai moral
dan keragaman dalam berbagai dimensi kehidupan, sehingga harus menjadi
perhatian utama sebagai mata pelajaran yang berkontribusi dalam membentuk
karakter kebangsaan tanpa mengesampingkan mata pelajaran yang lain.
70
Melalui kegiatan pembelajaran IPS, siswa diharapkan menjadi warga negara
yang baik, serta bangga akan jati diri atau identitas dirinya serta mampu
merumuskan apa yang akan mereka capai. Selain itu, diharapkan dengan
mempelajari IPS, siswa mampu mengembangkan dan mengaplikasikan berbagai
nilai positif dalam kehidupan masyarakat, antara lain; menghargai sesama,
menerima keberagaman, berpartisipasi melestarikan budaya lokal, memiliki rasa
empati dan simpati, toleransi, gotong royong, akomodatif, serta inklusif, sehingga
mampu menumbuhkembangkan sikap demokratis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pembelajaran IPS diharapkan mampu mengambil peran tersebut.
71
Kerangka Berpikir
Bagan 2.4 Kerangka Berpikir
1. Pembelajaran IPS
kental dengan
ceramah didaktif.
2. Kecenderungan
pembelajaran IPS
berpusat pada guru.
3. Bahan/materi yang
digunakan guru
kurang bersifat
kontekstual.
1. Siswa kurang aktif
dalam proses belajar
mengajar
2. Belum mencapai
KKM 65 untuk kelas
regular dan KKM 70
untuk kelas
unggulan.
3. Kurang mampu
bekerjasama antar
teman.
1. Pengajaran IPS kurang
bermakna.
2. Stigma membosankan
pelajaran IPS.
3. Belum optimalnya
model pembelajaran
yang bervariatif dan
menarik.
4. Porsi muatan pendidikan
nilai dan karakter yang
besar pada mata
pelajaran IPS.
PERMASALAHAN
GURU SISWA MODEL PEMBELAJARAN
Pengembangan Model
Pembelajaran IPS Berbasis
Nilai Kearifan Lokal Desa
Pancasila
Teori Belajar
Pendidikan Nilai dan
Karakter
Metode Penanaman
Nilai
Pembelajaran IPS
Teori Pengembangan
Model Pembelajaran
Instrumen
Validasi/Evaluasi
Valid/Layak
Produk Model Pembelajaran
IPS Berbasis Nilai Kearifan
Lokal Desa Pancasila
Belu
m L
ayak
Top Related