11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1. Kajian Pustaka
Sampai saat ini, belum ada penelitian tentang keberadaan perempuan Bali
dalam industri pariwisata khususnya di kapal pesiar. Kajian perempuan Bali dalam
industri kapal pesiar menarik untuk dibahas karena keterlibatan perempuan dalam
sektor pariwisata dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Berikut
dikaji beberapa penelitian yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian.
Penelitian Wilkinson dan Pratiwi (1995) berjudul “Gender and Tourism in
an Indonesian Village” menyebutkan bahwa keadaan kemiskinan, ketiadaan
pekerjaan pilihan, kebijakan pengembangan yang tidak memihak masyarakat
lokal, ketiadaan kuasa politik lokal, adanya perbedaan struktur kelas dan
pandangan terhadap gender membuat perempuan semakin termarginalisasi.
Masyarakat pendatang yang lebih bermodal, lebih terampil di bidang pariwisata
menyebabkan mereka merasakan manfaat ekonomi lebih besar dibandingkan
masyarakat lokal Pengandaran-Indonesia. Kondisi tersebut perlu mendapat
perhatian serius dari pemerintah maupun pelaku pariwisata agar masyarakat lokal
khususnya perempuan dapat merasakan manfaat lebih dari pengembangan
pariwisata. MacDonald dan Jolliffe (2003); Nunkoo dan Gursoy (2012)
menyatakan dalam pengembangan pariwisata perlu mempertimbangkan peran
12
budaya dan memberdayakan sumber daya manusia lokal dalam menyusun
kerangka dasar pengembangan pariwisata (Canada; Mauritius).
Dalam studi Kalpika (1999) yang berjudul “Perempuan dalam Industri
Pariwisata: Studi Kasus di Kawasan Wisata Kuta, Ubud, dan Kintamani”
dijelaskan bahwa pariwisata telah menggeser pola kerja dalam rumah tangga
masyarakat Kuta, Ubud, dan Kintamani. Alasan-alasan rasional, praktis dan
ekonomis telah masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Terlibatnya istri pada
sektor publik di hotel, rumah makan, dan toko cenderamata, membuat para suami
mulai memberikan perhatian serta ikut mengerjakan berbagai pekerjaan yang
terkait dengan urusan rumah tangga. Pekerjaan di sektor publik tidak lagi
monopoli laki-laki/suami, sebaliknya pekerjaan domestik tidak hanya menjadi
beban istri, akan tetapi keduanya merupakan tanggungjawab bersama secara
seimbang.
Dalam penelitian Sari (2008) berjudul “Motivasi Pekerja Perempuan Bali
pada Hotel Melati di Kawasan Pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali”
mengkaji motivasi pekerja perempuan Bali bekerja pada hotel melati, posisi yang
diraih perempuan Bali serta pengaruh faktor umur, pendidikan, pendapatan
keluarga, status perkawinan, kepemilikan aset dan kondisi kerja terhadap motivasi
perempuan Bali pada hotel melati di kawasan pariwisata Ubud. Dalam penelitian
ini diuraikan bahwa motivasi perempuan Bali bekerja pada hotel melati di
kawasan pariwisata Ubud mayoritas adalah untuk menambah penghasilan keluarga
(69,9%), karena desakan ekonomi 18,9%, meningkatkan status sosial 4,6%, untuk
aktualisasi diri 4,1%, menghilangkan kebosanan dari rutinitas pekerjaan rumah
13
1,5%, dan karena dekat dengan rumah 1,0%. Posisi perempuan Bali yang bekerja
pada hotel melati mayoritas (86,7%) sebagai staf, sebagai lower manager 11,2%,
middle manager 2,1%, top manager 13,3%. Selanjutnya disebutkan pula bahwa
variabel umur, pendidikan, pendapatan keluarga, status perkawinan,
kepemilikan aset dan kondisi kerja berpengaruh nyata terhadap motivasi kerja
perempuan Bali bekerja pada hotel melati di kawasan pariwisata Ubud,
Gianyar, Bali.
Selanjutnya dalam penelitian Sadia dan Oka (2012) yang berjudul “Motivasi
kerja tenaga kerja Bali bekerja di Kapal Pesiar Mediterranean Shipping Company
Cruise” disebutkan bahwa motivasi kerja tenaga kerja Bali untuk bekerja dalam
industri pariwisata kapal pesiar Mediterranean Shipping Company Cruise yaitu
dominan karena motivasi ekonomi yaitu sebesar 91,58% sedangkan motivasi non
ekonomi yaitu sebesar 8,42%. Secara detail disebutkan pula bahwa tenaga kerja
Bali yang bekerja di kapal pesiar Mediterranean Shipping Company Cruise karena
alasan desakan ekonomi keluarga sebesar 72,79%, untuk meningkatkan
pendapatan keluarga sebesar 15,79 %, untuk meningkatkan status sosial diri dan
keluarga sebesar 6,32%, serta mereka bekerja untuk meneruskan hobinya yaitu
sebesar 2,11%. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara parsial variabel umur,
pendidikan, lama kerja dan pendapatan keluarga memiliki korelasi negatif
terhadap motivasi kerja tenaga kerja Bali untuk bekerja di kapal pesiar
Mediterranean Shipping Company (MSC) Cruise.
Kajian-kajian yang dikemukakan dalam paparan sebelumnya dipakai
sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian ini secara umum memiliki
14
persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu, namun demikian
keorisinilan dari penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Persamaannya adalah karena sama-sama menjadikan perempuan yang terlibat
dalam sektor pariwisata sebagai subjek penelitian. Perbedaan mendasar dari
penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada cakupan kajiannya.
Penelitian ini mengkaji keberadaan perempuan Bali yang bekerja dalam industri
pariwisata kapal pesiar dilihat dari aspek kekuatan, kelemahan, peluang, dan
ancaman yang dihadapinya, faktor-faktor yang memotivasi perempuan Bali untuk
bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar, serta implikasi ekonomi, sosial, dan
budaya perempuan Bali untuk bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar
terhadap lingkungan kehidupannya.
2.2 Konsep
Dalam mengkaji keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata
kapal pesiar, dideskripsikan beberapa konsep yang terkait dengan penelitian, yaitu
industri pariwisata, kapal pesiar, kesetaraan jender, dan perempuan Bali.
2.2.1. Industri Pariwisata
Pengertian industri pariwisata dalam penelitian ini adalah kumpulan dari
bermacam-macam perusahaan, baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
dibutuhkan oleh para wisatawan selama melakukan perjalanan wisata ke destinasi
pariwisata. Gee & Sola (1997: 161-162) menyebutkan industri pariwisata
melibatkan berbagai perusahaan jasa terutama yang terkait dengan kebutuhan
wisatawan selama melakukan perjalanan wisata seperti hotel, perusahaan
15
penerbangan, dan daya tarik pariwisata. Selanjutnya dalam Undang-Undang
Nomor: 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan industri pariwisata
adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan
barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam
penyelenggaraan pariwisata (Sunaryo, 2013: 193).
Dengan demikian dapat dikatakan dalam industri pariwisata diperlukan
beberapa perusahaan yang dibutuhkan oleh para wisatawan selama melakukan
kegiatan pariwisata ke daerah tujuan pariwisata. Perusahaan-perusahaan yang
diperlukan para wisatawan selama melakukan perjalanan mulai dari negara asal
wisatawan sampai mereka kembali kembali ke negara asalnya.
Perusahaan-perusahaan yang termasuk industri pariwisata, menurut Leiper
(dalam Pitana dan Diarta, 2009: 63-65) terdiri atas tujuh sektor, yaitu sektor
pemasaran (the marketing sector), sektor perhubungan (the carrier sector), sektor
akomodasi (the accommodation sector), sektor daya tarik atraksi wisata (the
attraction sector), sektor tour operator (the tour operator sector), sektor
pendukung/rupa-rupa (the miscellaneous sector), dan sektor pengkoordinasi (the
coordinating sector).
Adapun ciri-ciri dari industri pariwisata (Suwena dan Widyatmaja, 2010:
72-74), dibedakan menjadi enam katagori, yaitu:
a. Service Industry. Pariwisata disebut sebagai industri jasa karena masing-masing
perusahaan yang membentuk industri pariwisata adalah perusahaan jasa yang
masing-masing bekerja sama menghasilkan produk (goods and service) yang
dibutuhkan wisatawan selama melakukan perjalanan wisata.
16
b. Labor intensive. Industri pariwisata mampu menumbuhkan dan menciptakan
kesempatan kerja, baik langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan
keperluan wisatawan dalam melakukan perjalanan wisata. Oleh sebab itu,
sektor pariwisata tergolong sebagai kegiatan padat karya. Mulai dari usaha biro
perjalanan wisata, akomodasi perhotelan, daya tarik wisata, dan restoran yang
secara langsung menciptakan lapangan kerja.
3. Capital intensive. Untuk membangun sarana dan prasarana industri pariwisata
diperlukan modal yang besar untuk investasi, di mana dalam pengembalian
modal yang diinvestasikan tersebut relatif lebih lama dibandingkan dengan
industri manufaktur.
4. Sensitive. Industri pariwisata sangat rentan terhadap keadaan sosial, politik, dan
keamanan. Situasi sosial, politik, dan keamanan yang stabil, baik di negara asal
wisatawan maupun di negara yang dikunjungi, menjadi faktor penentu bagi
wisatawan untuk mengambil keputusan dalam menentukan pilihan.
5. Seasonal. Terjadi fluktuasi atau naik atau turunnya permintaan untuk
berkunjung pada destinasi pariwisata tertentu. Akibat terjadinya fluktuasi
tersebut pada musim ramai dirasakan kekurangan sarana atau tenaga yang
melayani wisatawan, sedangkan pada musim sepi terjadi sebaliknya.
6. Quick yielding industry. Dengan mengembangkan pariwisata sebagai industri,
devisa akan lebih cepat bila dibandingkan dengan kegiatan ekspor yang
dilakukan secara konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sejak wisatawan
menginjakkan kakinya di negara yang dikunjungi, karena saat itu wisatawan
membayar kebutuhannya, mulai dari hotel, restoran, transportasi, dan lain-lain.
17
2.2.2 Kapal Pesiar
Kapal pesiar (cruise ship) merupakan akomodasi yang dikelola secara
komersial yang menggunakan perahu/kapal laut sebagai fasilitas untuk
mendapatkan pelayanan penginapan, makan dan minum, serta jasa-jasa lain bagi
wisatawan yang tinggal dalam periode tertentu. Industri pariwisata kapal pesiar
dikatagorikan ke dalam hotel mewah yang bisa dijumpai di laut/samudra, yang
sering disebut dengan cruiser, marine hotel atau floating hotel. Kini kapal pesiar
merupakan akomodasi favorit yang banyak diminati oleh wisatawan dalam
menikmati liburannya.
Perwani (1997: 6) menyatakan hotel terapung (floating hotel) merupakan
bentuk akomodasi yang terdapat pada daerah sungai, terusan atau laut dengan ciri-
ciri khusus, antara lain menggunakan perahu atau kapal laut yang berlayar dari
satu tempat ke tempat lain, dan memiliki jumlah tamu tertentu selama perjalanan
yang sudah ditentukan. Sementara Bagyono (2012: 65), menyebutkan bahwa kapal
pesiar (marine hotel) adalah hotel terapung yang menyediakan fasilitas kamar,
restoran dan bar yang mirip dengan hotel berbintang. Ini berarti bahwa aktivitas
pelayanan para karyawan terhadap wisatawan yang tinggal di kapal pesiar tidak
jauh berbeda dengan aktivitas pelayanan yang terjadi pada hotel-hotel berbintang
lainnya di darat (resort). Bedanya wisatawan yang tinggal di hotel bintang, mereka
dapat melakukan atau menikmati aktivitas entertainment yang terjadi di dalam
maupun di luar hotel, seperti ke destinasi pariwisata. Sedangkan wisatawan yang
tinggal di kapal pesiar, mereka hanya dapat menikmati entertainment di
18
lingkungan kapal pesiar tersebut dalam periode tertentu.
Kapal pesiar merupakan hotel terapung yang menyediakan pelayanan
akomodasi, makanan dan minuman serta jasa lain, termasuk di dalamnya
entertainment yang dikemas dalam satu paket tur. Pekerjaan yang dilaksanakan
oleh para petugas yang bekerja di kapal pesiar, meliputi pelayanan pembersihan
kamar, pelayanan makanan dan minuman di restoran, pelayanan hiburan, dan
sebagainya. Kendali dari aktivitas kapal adalah kepala kapal (ship commandand)
sedangkan urusan pelayanan bagi para wisatawan yang tinggal di kapal pesiar oleh
para karyawannya, menjadi tanggungjawab manajer hotel (hotel manager). Ada
beberapa perusahaan kapal pesiar besar yang umumnya sudah dikenal di dunia,
antara lain: Mediterranean Shipping Company, Carnival Cruise Line, dan Star
Cruise. Jenis-jenis kapal tersebut termasuk ke dalam chartered lines yaitu adalah
kapal-kapal yang biasa digunakan khusus untuk pesiar (cruises). Jenis kapal pesiar
ini dilengkapi dengan segala macam fasilitas sehingga para penumpang kerasan,
karena itu sering disebut hotel terapung (floating hotel) yang dapat memberikan
pelayanan segala macam keperluan para penumpangnya.
2.2.3 Perempuan Bali
Perempuan Bali dalam industri pariwisata terkait penelitian ini adalah
kaum perempuan etnis Bali yang beragama Hindu yang pernah/masih bekerja
dalam industri pariwisata kapal pesiar. Mereka saat ini terus memperjuangkan
keadilan dan persamaan peran dalam dimensi keseharian di bidang pariwisata.
Triguna (2002: 32) menyatakan bahwa perjuangan untuk mendapatkan keadilan
19
dan persamaan peran di bidang pariwisata merupakan tantangan bagi perempuan
Hindu Bali ke depan. Kekalahan perempuan bukan semata-mata disebabkan oleh
kemampuan yang dimiliki, tetapi oleh sebuah kondisi bahwa perempuan harus
menerima kekalahan. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan kemampuan, maka
kekalahan tersebut harus diterima oleh perempuan Hindu, yakni tidak kalah dalam
tataran keadilan, tetapi diterima dengan sebuah kepasrahan. Oleh karena itu
perempuan Bali terus berjuang untuk mendapatkan haknya yaitu setara dengan
laki-laki dalam bidang pariwisata seperti di kapal pesiar.
Ketidakadilan dalam struktur sosial, kemudian termanifestasikan melalui
kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat. Ketidakadilan yang
dialami perempuan dalam masyarakat pada akhirnya merangsang lahirnya gerakan
emansipatoris yang selanjutnya disebut gerakan feminisme. Karenanya hubungan
feminisme dan kearifan lokal harus dipahami dalam upaya membongkar konsep
patriarki yang ada dalam agama, adat/kebiasaan masing-masing (Arniati, 2012).
Dengan demikan hubungan antara feminisme dan kearifan lokal bisa berupa
hubungan saling mendukung (mutualisme). Dalam hubungan ini, feminisme dapat
menjadi paradigma dalam melakukan dekonstruksi terhadap budaya patriarki.
Perempuan Bali sudah bangkit dengan potretnya yang sudah ikut terlibat
langsung dalam berbagai aktivitas yang terkait dengan pariwisata. Perempuan Bali
dengan etos kerja yang tinggi mampu menyaingi kaum laki-laki dalam prestasi di
sekolah. Namun sayang dalam meraih kedudukan, baik dalam kehidupan rumah
tangga, di masyarakat, legislatif maupun eksekutif masih didominasi oleh kaum
laki-laki (Geriya, 2006). Ini merupakan tantangan bagi perempuan Bali khususnya
20
perempuan Hindu dalam usaha untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan dalam
meraih kedudukan dalam bidang pekerjaan, termasuk pekerjaan yang berkaitan
dengan industri pariwisata. Dalam pekerjaan industri pariwisata khususnya kapal
pesiar, membutuhkan kualifikasi kompetensi yang lebih ketat. Oleh karena itu
perempuan Bali harus lebih menyiapkan diri baik dari segi soft skill maupun hard
skill dalam usaha merebut posisi/jabatan yang tersedia dalam industri pariwisata
kapal pesiar.
2.2.4 Kesetaraan Gender
Pakar etnometodologi membuat perbedaan penting teoretis antara jenis
kelamin (pengenalan biologis sebagai lelaki atau wanita), kategori jenis kelamin
(pengenalan sosial sebagai sebagai lelaki atau wanita), dan gender (perilaku yang
memenuhi harapan sosial untuk lelaki atau wanita). Gender tidak melekat dalam
diri seseorang tetapi dapat dicapai melalui interaksi dalam waktu tertentu (Ritzer
dan Goodman, 2012).
Dalam konsep gender berbeda dengan seks yang merujuk pada perbedaan
jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki
dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, berlaku universal
dan tidak dapat diubah. Namun dalam pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan
dikonstruksikan oleh faktor sosial budaya, yakni relasi kuasa (power relation)
yang secara turun-temurun dipertahankan oleh laki-laki. Nilai-nilai tersebut
21
menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi dan bidang
kehidupan dalam masyarakat (Marhumah, 2011).
Chafetz (dalam Ritzer dan Goodman, 2012: 411) memusatkan perhatian
pada masalah cara mencapai kesetaraan gender, mencoba mengetahui persoalan
struktur kunci yang dapat diubah sehingga memperbaiki kondisi yang dialami
perempuan. Melalui pandangan proaktifnya untuk mencapai kesetaraan laki-laki
dan perempuan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan keadilan bagi kaum
perempuan dalam kehidupan di masyarakat.
Disadari bahwa gender dalam diri seseorang tidak melekat secara
permanen melainkan mengalami perubahan melalui interaksi yang terjadi secara
berkesinambungan dalam lingkungan sosial di mana mereka berada. Kesetaran
gender dalam kehidupan masyarakat mengalami perubahan seiring dengan terus
berkembangnya pemahaman masyarakat terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, termasuk perkembangan dalam aktivitas pariwisata. Oleh karena itu
kesetaraan gender yang dimaksud dalam konteks pariwisata adalah tercapainya
keadilan dan persamaan peran dalam dimensi keseharian antara perempuan dan
laki-laki di industri pariwisata kapal pesiar baik dalam posisi, upah dan lain-lain.
Beberapa penelitian berikut menunjukkan bahwa sektor pariwisata ikut
memberi andil dalam perubahan peran gender. Pariwisata terbukti telah mampu
memperluas kesempatan kerja perempuan untuk lebih berperan baik di bidang
ekonomi, bidang sosial, bahkan di bidang politik. Hal ini didukung fakta yang
menunjukkan bahwa sejak tahun 1980, lebih dari 50% perempuan bekerja di luar
rumah. Partisipasi perempuan sebagai kekuatan pekerja diharapkan secara
22
berkelanjutan meningkat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Perubahan
besar ini umumnya terjadi di beberapa aspek seperti di lembaga pelatihan maupun
industri pariwisata. Perempuan berhasil menduduki posisi manager sebesar 41%
bekerja di bagian food service dan 51% di penginapan (Barraws, 2009: 43-45).
Elmas (2007: 302-312) menyatakan bahwa terjadi perubahan paradigma
pekerja perempuan, sejak daerah Cappadocia-Turkey dikembangkan menjadi
daerah industri pariwisata. Kebanyakan pekerja perempuan mendapatkan manfaat
lebih dalam kehidupannya yang secara bersama-sama juga terjadi keberlanjutan
perubahan peran gender sehingga perempuan memiliki peluang sama dengan laki-
laki di pasar kerja. Perubahan budaya melalui aktivitas pariwisata tidaklah
sederhana yang tampak, tetapi perlu dilihat secara mendalam proses perubahan
sebagai manifestasi dari paradigma sosial, ekonomi dan budaya.
Selanjutnya Ishii (2012) menguji tentang manfaat ekonomi dari pariwisata
terhadap rumah tangga yang memengaruhi mengenai pola pembagian kerja dan
dinamika gender di mana masyarakat lokal yang minoritas mulai bekerja pada
industri pariwisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pariwisata telah
mampu meningkatkan pendapatan masyarakat lokal seperti penduduk asli Akha di
Thailand, di mana orang-orang minoritas dan perempuan memperoleh pendapatan
yang paling tinggi walaupun secara budaya menganut sistem patrilinier tradisional.
Sukeni (2006) menyatakan bahwa pariwisata telah menggeser peranan
gender masyarakat Bali di mana perempuan/istri yang dikontruksi oleh sosial
budaya berperan di rumah tangga (domestik), telah bergeser ke peran publik,
karena istri juga berperan sebagai (pencari nafkah). Hal ini terjadi karena
23
tersedianya peluang kerja yang disediakan oleh industri pariwisata. Selanjutnya
dikatakan bahwa pariwisata telah membantu mewujudkan kesetaraan gender,
karena pembagian kerja antara suami di sektor publik dan istri di sektor domestik
sudah tidak kaku lagi, melainkan sudah membaur, karena dituntut oleh situasi,
kondisi keluarga maupun lingkungan dan kesadaran masing-masing pihak untuk
harmonisnya keluarga dan masyarakat.
2.3 Landasan Teori
Ada beberapa teori yang dipakai dalam menganalisis permasalahan yang
terkait dengan topik perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar. Secara
garis besarnya, penelitian ini menggunakan teori motivasi, teori feminisme, teori
dekonstruksi, dan teori perencanaan strategis. Beberapa teori ini dipilih karena
relevan dengan permasalahan yang dibahas yaitu memahami tentang keberadaan
perempuan Bali di kapal pesiar ditinjau dari aspek kekuatan (strengths),
kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) yang
dihadapi; faktor-faktor yang memotivsi perempuan Bali untuk bekerja di kapal
pesiar; serta implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali bekerja dalam
industri pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya.
2.3.1 Teori Motivasi
Motivasi adalah hasil proses-proses yang bersifat internal atau eksternal
bagi seseorang individu yang menimbulkan sikap entusias dan persistensi untuk
mengikuti arah tindakan-tindakan tertentu. Faktor-faktor dalam diri seseorang
24
dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman dan pendidikan atau berbagai
harapan/cita-cita yang menjangkau ke masa depan. Faktor dari luar diri seseorang
misalnya lingkungan tempat tinggal mereka (Winardi, 2002). Selanjutnya
disebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi motivasi adalah; (1)
kebutuhan-kebutuhan pribadi, (2) tujuan-tujuan dan persepsi orang atau kelompok
yang bersangkutan, (3) cara dengan apa kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuan
tersebut akan direalisasikan. Dengan terpenuhinya faktor-faktor tersebut seseorang
akan merasa terdorong dan berkeinginan untuk melakukan kegiatan dengan
memberikan yang terbaik dari dirinya. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang
menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Kuat atau lemahnya motivasi kerja
seseorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasi.
Faktor-faktor ekonomis memainkan bagian yang penting yang tidak
diragukan lagi bagi seseorang mengambil keputusan untuk bekerja dalam suatu
industri. Faktor-faktor ekonomis bukan merupakan satu-satunya perangsang bagi
seseorang untuk bekerja, melainkan juga dibarengi oleh faktor non ekonomis
seperti keinginan untuk meningkatkan gengsi/status sosial. Pentingnya faktor-
faktor non ekonomis diperoleh melalui studi wawancara yang digambarkan oleh
Morse dan Weiss (dalam Moekijat, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa bekerja
dapat dipahami sebagai manifestasi atas kesadarannya sebagai makhluk individu,
sosial dan ciptaan Tuhan, sehingga mampu memberikan sumbangan nyata dan
bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat, maupun
bangsa.
25
Hasibuan (2005: 216) menyatakan motivasi tenaga kerja untuk bekerja
dalam industri sering diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan tersebut
merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motivasi menjadi
suatu (driving force) yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku, dan
dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Motivasi kerja, mendorong
gairah kerja para bawahan agar tenaga kerja mau bekerja keras dengan
memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan
industri.
Maslow (1943) menyatakan bahwa kebutuhan dan kepuasan kerja identik
dengan kebutuhan biologis dan psikologis, yaitu berupa materil maupun non
materil. Dasar teori ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki
keinginan tidak terbatas atau tanpa henti. Alat motivasinya adalah kepuasan yang
belum terpenuhi serta kebutuhannya berjenjang. Jenjang tersebut dapat
digambarkan dari kebutuhan yang paling rendah sampai pada kebutuhan yang
paling tinggi, yaitu: (1) Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik fisiologis
(physiological needs); (2) Kebutuhan-kebutuhan keamanan (safety needs); (3)
Kebutuhan sosial (social needs); (4) Kebutuhan akan penghormatan (esteem
needs; dan (5) Kebutuhan mempertinggi aktualisasi diri (self actualization).
Herzberg (dalam Hasibuan, 2005: 229) mengatakan bahwa orang dalam
melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan
kebutuhan, yaitu maintenance factors dan motivation factors. Maintenance factors
adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia
yang ingin memeroleh ketenteraman badaniah. Kebutuhan ini merupakan
26
kebutuhan yang berlangsung terus menerus, karena akan kembali ke titik nol
setelah dipenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan menurut Herzberg meliputi gaji,
kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan dan lain-
lain. Faktor-faktor pemeliharaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari
pimpinan agar kepuasan dan kegairahan kerja karyawan dapat ditingkatkan.
Motivation factor adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis
seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Faktor motivasi
ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung
berkaitan dengan pekerjaan, misalnya kursi yang empuk, ruangan yang nyaman,
dan lain-lain.
Perbedaan Maslow’s Need Hierarchy Theory dengan Herzberg’s Two
Factors Motivation Theory, yaitu: (1) Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan-
kebutuhan manusia itu terdiri lima tingkat (physiological needs, safety needs,
social needs, esteem needs, dan self actualization), sedang Herzberg
mengelompokkan atas dua kelompok (satisfiers dan dissatisfier); (2) Menurut
Maslow semua tingkatan kebutuhan itu merupakan alat motivator, sedang
Herzberg (gaji, upah, dan sejenisnya) bukan alat motivasi, hanya merupakan alat
pemeliharaan (dissatisfiers) saja; yang menjadi motivator (satisfiers) ialah yang
berkaitan langsung dengan pekerjaan itu.
Berpedoman pada pendapat Maslow dan Herzberg di atas, maka ciri-ciri
motivasi adalah ganda, dalam suatu perbuatan tidak hanya mempunyai satu tujuan
tetapi beberapa tujuan yang berlangsung secara bersama-sama. Misalnya
seseorang tenaga kerja yang bekerja dalam industri pariwisata, mereka melakukan
27
pekerjaan dengan sangat sungguh-sungguh, tidak hanya karena ingin mendapat
upah yang tinggi, tetapi juga ingin diakui dan dipuji, dan motivasi tenaga kerja
bisa berubah-ubah. Hal ini disebabkan karena keinginan manusia juga berubah-
ubah sesuai dengan kebutuhannya. Pada waktu tertentu tenaga kerja menginginkan
gaji mereka yang tinggi, namun pada waktu yang lain mereka menginginkan
pimpinan yang baik atau kondisi kerja yang menyenangkan.
Tujuan dari aplikasi teori motivasi dalam penelitian ini karena motivasi
setiap perempuan berbeda-beda ketika bekerja dalam industri pariwisata kapal
pesiar. Dua orang perempuan Bali yang melakukan pekerjaan yang sama di kapal
pesiar, ternyata memiliki motivasi yang berbeda. Misalnya yang satu orang
menginginkan upah/gaji kerja yang tinggi, sedangkan yang lain menginginkan
kondisi kerja yang menyenangkan. Dalam aktivitas bekerja yang dilakukan
perempuan mengandung unsur kegiatan sosial, menghasilkan sesuatu dan pada
akhirnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian di balik dari
tujuan yang tidak langsung tersebut, perempuan bekerja juga untuk mendapatkan
imbalan hasil kerja berupa finansial yaitu berupa upah atau gaji dari hasil kerjanya.
Perempuan bekerja tidak hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
tetapi juga bertujuan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.
2.3.2 Teori Feminisme
Feminisme menurut berbagai sarjana adalah teori yang bertujuan untuk
memperjuangkan kaum perempuan untuk mendapatkan hak sesuai dengan
fungsinya dalam kehidupan masyarakat modern. Teori feminis menurut Ritzer dan
28
Goodman (2012: 403-404) merupakan sebuah generalisasi dari berbagai sistem
gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan
dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori feminis dikembangkan oleh
pemikir kritis dari aktivis atau pejuang demi kepentingan perempuan yang
mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan, dengan
demikian menurut para pemikir kritis, perjuangan tersebut adalah untuk
kemanusiaan.
Brooks (2004: 98) menyebutkan feminisme merupakan teori yang
mempelajari posisi perempuan dalam masyarakat di mana mereka berada, dan
memajukan kepentingan-kepentingan perempuan sendiri. Teori-teori yang
menyatakan metanarasi kuasa laki-laki, gagal untuk menunjukkan persoalan
perempuan yang marginal atau dibingkai sebagai sang lain dalam wacana feminis
arus utama. Posisi seperti itu mengabaikan kenyataan bahwa perempuan sendiri
memegang kuasa atas perempuan yang lain berdasarkan kelas, rasisme, orientasi
seksual, atau pelayanan domestik.
Dominasi laki-laki melalui wacana oleh Bourdieu (dalam Haryatmoko,
2003: 17) disebutkan bahwa kekerasan simbolis atau kekerasan yang tidak kasat
mata. Kekerasan semacam ini oleh korbannya (kaum perempuan) bahkan tidak
dilihat atau tidak dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sesuatu yang alamiah dan
wajar. Pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidaktahuan dan
pengakuan dari yang ditindas. Sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena
prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun
yang dikuasai. Prinsip simbolis ini berupa bahasa, gaya, cara berpikir, cara
29
bertindak, kepemilikan khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.
Disadari dominasi laki-laki terhadap perempuan juga terjadi dalam sektor
pariwisata. Hal ini bisa dilihat dari masih minimnya perempuan menduduki posisi
dalam industri pariwisata. Minimnya perempuan menduduki posisi dalam industri
pariwisata, tidak hanya karena adanya sistem sosial budaya yang mengikat
perempuan, tetapi juga karena adanya kecenderungan dari pihak manajemen
industri pariwisata untuk mengurangi merekrut tenaga kerja perempuan.
Alasannya pihak manajemen industri pariwisata, karena perempuan memiliki hak-
hak khusus sebagai pekerja seperti adanya hak untuk cuti hamil, dan tidak boleh
dipekerjakan pada shift malam (23.00-07.00 WITA).
Pertanyaan teoretis mendasar feminisme menghasilkan perubahan
revolusioner dalam pemahaman tentang kehidupan sosial. Pengetahuan yang
absolut dan universal tentang kehidupan sosial ternyata adalah pengetahuan yang
berasal dari pengalaman dari bagian masyarakat yang berkuasa, yakni dari lelaki
sebagai “tuan”. Penemuan ini menimbulkan pertanyaan mengenai segala sesuatu
yang semula telah diketahui mengenai masyarakat. Penemuan ini dan implikasinya
merupakan intisari dari arti penting teori feminisme masa kini bagi teori sosiologi
(Ritzer dan Goodman, 2012: 406).
Feminisme masa kini, merupakan perubahan pola pikir masyarakat
terhadap perempuan yang bekerja dalam industri pariwisata. Perempuan mendapat
kesempatan yang sama dengan laki-laki ketika mereka bersaing dalam
memperoleh kesempatan kerja dalam industri pariwisata. Tentu saja kesempatan
kerja yang diperoleh perempuan, sesuai dengan kemampuan kompetensi yang
30
dibutuhkan pihak industri pariwisata. Dalam penelitian Petrzelka, et.al (2005)
terungkap bahwa pada masa studi diferensiasi gender memiliki persepsi sikap yang
sepaham terkait dengan pengembangan pariwisata khususnya dalam melestarikan
budaya lokal. Cheong dan Miller (2000) menyatakan aplikasi tripartit sistem
pariwisata (masyarakat, pelaku pariwisata, dan pemerintah) menekankan efek
produktif kekuasaan menjadi prioritas dalam perkembangan kajian pariwisata di
suatu daerah.
Berpedoman pada uraian di atas, teori feminisme merupakan suatu aktivitas
untuk memperjuangkan kepentingan perempuan yang merupakan tindakan atau
aksi yang perlu dilakukan secara berkelanjutan. Dalam memperjuangkan kaum
perempuan diharapkan perempuan benar-benar mendapatkan posisi/hak yang
sepantasnya tanpa mengurangi peranannya sebagai ibu dalam membina rumah
tangga. Posisi/hak yang mereka peroleh atau raih sesuai dengan kemampuan
kompetensi yang dimiliki oleh perempuan dalam menyongsong masa depan yang
lebih baik.
Peneliti menggunakan teori feminisme untuk menganalisis data dari ketiga
permasalahan yang diangkat. Pertama menganalisis tentang permasalahan
keberadaan perempuan Bali yang bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar.
Kedua, teori feminisme dipakai untuk menganalisis masalah tentang faktor-faktor
yang motivasi perempuan Bali untuk bekerja dalam industri pariwisata kapal
pesiar, dari aspek/faktor ekonomi, sosial dan budaya. Ketiga, menganalisis
masalah implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali yang bekerja
dalam industri pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya.
31
2.3.3 Teori Dekonstruksi
Para ahli menyatakan bahwa dekontruksi adalah teori yang mengantarkan
kepada manusia bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak (absolute) atau kekal,
kebenaran akan mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi serta
perkembangan jaman. Derrida (dalam Sutrisno dan Puranto, 2005: 164) sangat
keberatan terhadap para filsuf yang menganggap diri mereka sebagai pengamat
yang objektif. Mereka berpikir bahwa disiplin ilmu mereka mempunyai hak untuk
melemparkan pertanyaan mendasar terhadap disiplin ilmu yang lain. Derrida
mencoba untuk memaparkan kembali gagasan keterbukaan atas keberagaman atas
komunitas pascastrukturalis yang digagas dan menjadi tempat hidup dari
pemikiran Derrida seperti konsep “difference” dan konsep “dekonstruksi”.
Derrida (dalam Lubis, 2006: 103) menyatakan melalui dekonstruksi sedang
mencari dasar sebuah kebenaran sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Derrida termasuk hard liner posmodernist, “strong
posmodernist”, yang mencoba merombak pandangan dunia modern tentang
makna, kebenaran, pengetahuan serta bahasa dengan cara baru. Berkenaan dengan
konsep dekonstruksi, Derrida (dalam Sutrisno dan Puranto, 2005: 173) sekali lagi
mengadakan perubahan dengan sesuatu yang dapat dihasilkannya sendiri, sesuatu
yang tidak sekedar mengambil dari apa yang sudah tersedia dari tradisi pemikiran
yang hendak dikritiknya. Untuk melawan kesewenang-wenangan cara berpikir
yang selalu berusaha menemukan makna tunggal sebuah teks, Derrida berpendapat
bahwa konsep pemikiran sebagai titik berangkat pemikiran dan usaha berpikir
32
masa modern mesti diubah total, dihancurkan atau didekonstruksi. Dekonstruksi
bangunan pemikiran ini lalu membawa sebuah nuansa baru.
Pemikiran Derrida tentang mencari kebenaran secara nyata telah terjadi
dalam kehidupan masyarakat Bali. Fakta ini bisa dilihat dari adanya perubahan
pandangan masyarakat Bali terhadap keberadaan perempuan Bali yang bekerja
dalam industri pariwisata. Perubahan pola pikir ini mengantarkan kepada manusia
bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak atau kekal, yang terjadi adalah kebenaran
tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi serta
kemajuan jaman. Misalnya pada tahun 1970-an masyarakat Bali menganggap tabu
(berpandangan negatif) terhadap perempuan yang bekerja di sektor publik seperti
bekerja dalam industri pariwisata. Namun seiring dengan perkembangan zaman
Guerrier (1994) dalam penelitiannya menyatakan bahwa bekerja di sektor
pariwisata telah menjadi kebanggaan dan memberikan gengsi bagi masyarakat
Bali. Mudita (2003) lebih lanjut menyatakan bahwa tenaga kerja yang bekerja
dalam sektor pariwisata dianggap bekerja dalam lingkungan kerja yang baik dan
menyenangkan.
Tujuan dari aplikasi teori dekonstruksi adalah mengajak perempuan untuk
lebih memahami kembali hakikat diri dari perempuan yang sesungguhnya dalam
kehidupan masyarakat. Perempuan yang masih berjuang agar tidak menjadi
manusia yang tertindas dan manusia yang terpinggirkan dalam masyarakat atau
lingkungan dimana mereka berada. Dalam perjuangan tersebut dengan tegas
disebutkan bahwa ada dua kata yang berperanan yaitu kekuasaan dan pengetahuan.
Dalam masyarakat-masyarakat feodal, Foucault (2002: 154) menegaskan
33
kekuasaan secara esensial menjalankan fungsinya melalui tanda dan pemungutan
pajak. Tanda-tanda kesetiaan kepada para tuan tanah, ritual, upacara, dan
sebagainya dalam bentuk pajak perampasan, perburuan, perang, dan sebagainya.
Foucault (dalam Barker, 2005: 492) mengatakan bahwa pengetahuan adalah
kekuasaan untuk menguasai orang lain, kekuasaan untuk mendefinisikan yang
lain. Pengetahuan tidak lagi membebaskan dan menjadi model pengawasan,
peraturan, dan disiplin. Foucault lebih memusatkan perhatian pada kekuasaan
mikro yang dijalankan di tingkat kehidupan sehari-hari, dan tidak percaya kelas.
Kekuasaan adalah sesuatu yang tersebar, dan konflik bersifat spesifik, khusus
menurut wilayah kebudayaan dan teknologi yang relevan dengannya.
Dalam penelitian ini teori dekonstruksi relevan digunakan untuk
menganalisis permasalahan keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata
kapal pesiar, faktor-faktor yang memotivasi perempuan Bali bekerja di kapal
pesiar serta implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali yang bekerja
dalam industri pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya. Oleh
karena itu aplikasi teori dekonstruksi akan menghasilkan pemahaman kekinian
tentang keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar.
2.3.4 Teori Perencanaan Strategis
Perencanaan strategis merupakan perencanaan suatu strategi usaha untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya ancaman eksternal dan merebut setiap peluang
yang ada. Perencanaan strategis dilakukan agar para pengelola pariwisata dapat
melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga pengelola
34
dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Rangkuti (2013: 2)
menyatakan analisis perencanaan strategis merupakan salah satu bidang studi yang
banyak dipelajari secara serius di bidang akademis. Hal itu dilakukan karena setiap
saat terjadi perubahan. Perubahan ini bisa dilihat dari adanya persaingan yang
semakin ketat, terjadinya peningkatan inflasi, perubahan teknologi yang semakin
canggih, dan perubahan kondisi demografis, yang mengakibatkan berubahnya
selera konsumen secara cepat.
Selanjutnya Rangkuti (2013: 2-3) menyebutkan pihak manajemen
perusahaan, setiap saat berusaha mencari kesesuaian antara kekuatan-kekuatan
internal yang dimiliki dan kekuatan-kekuatan eksternal (peluang dan ancaman)
suatu pasar. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pengamatan secara hati-hati
mengenai persaingan yang terjadi, peraturan-peraturan, keinginan dan harapan
konsumen, serta faktor-faktor lain yang dapat mengidentifikasi peluang dan
ancaman. Hal tersebut juga terjadi dalam pengembangan dan pengelolaan
pariwisata. Dalam mengembangkan pariwisata tidak bisa dilakukan secara
konvensional, melainkan dilakukan melalui manajemen pengelolaan pariwisata
secara profesional dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi seiring dengan
perkembangan zaman, dan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
hambatan dan tantangan di masa depan.
Dalam manajemen pengelolaan pariwisata membutuhkan suatu
kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak semua
sumber-sumber dan alat-alat (resources) yang tersedia. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa sukses atau tidaknya pengelolaan pariwisata mencapai tujuan
35
yang telah ditentukan sangat tergantung atau kemampuan para pimpinannya untuk
menggerakkan sumber daya dan resources sehingga penggunaannya berjalan
dengan efektif dan efisien. Dalam aplikasi manajemen pengelolaan pariwisata
profesional membutuhkan strategi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
dalam perusahaan.
Fahmi (2013: 2) mendefinisikan strategi merupakan suatu rencana yang
disusun dengan memperhitungkan berbagai sisi dengan tujuan agar pengaruh
rencana tersebut dapat memberikan dampak positif bagi tujuan perusahaan jangka
panjang. Strategi bisnis dapat berupa perluasan geografis, diversifikasi,
pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi
dan joint venture. Sedangkan manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai
suatu seni dan pengetahuan dalam merumuskan, mengimplementasikan, serta
mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional yang memungkinkan suatu
perusahaan untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien.
Hamel dan Prahalad (dalam Umar, 2003: 31) menyatakan bahwa strategi
merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-
menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang yang diharapkan oleh
para pelanggan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan strategi hampir
selalu dimulai dari “apa yang dapat terjadi”, bukan dimulai dari “apa yang terjadi”.
Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola prilaku konsumen
memerlukan kompetensi inti (core competencies) dalam mengantisipasi hal
tersebut.
Pemahaman yang baik mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain
36
yang terkait, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun oleh pihak
pengelola perusahaan. Konsep-konsep tersebut, meliputi: (1) distinctive
competence: tindakan yang dilakukan oleh para pengelola perusahaan agar dapat
melakukan kegiatan lebih baik dan berbeda dengan pesaingnya agar dapat
mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang, untuk menghadapi para
pesaingnya, (2) competitive advantage: kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh
pengelola perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya (David,
2009: 120).
Menurut Andrews (2005: 52), identifikasi distinctive competence dalam
suatu organisasi atau perusahaan meliputi: (a) keahlian tenaga kerja, dan (b)
kemampuan sumber daya. Selanjutnya dikatakan dua faktor tersebut menyebabkan
suatu perusahaan dapat lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya. Keahlian
sumber daya manusia yang tinggi muncul dari kemampuan membentuk fungsi
khusus yang lebih efektif dibandingkan dengan pesaing. Misalnya, memiliki
keahlian/keterampilan yang kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan pesaing
dengan cara memahami secara detail keinginan pelanggan, serta membuat program
pemasaran yang lebih baik daripada program pesaing.
Porter menyatakan ada tiga strategi yang dapat dilakukan pihak perusahaan
untuk memperoleh keunggulan bersaing, yaitu cost leadership, diferensiasi, dan
fokus (Hunger dan Wheelen, 2003: 260). Pihak pengelola dapat memperoleh
keunggulan bersaing yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya jika dapat
memberikan harga jual yang lebih murah daripada harga yang diberikan oleh
pesaingnya dengan kualitas produk yang sama. Harga jual yang lebih rendah
37
diperoleh dengan memanfaatkan skala ekonomis, penggunaan teknologi, dan
kemudahan akses untuk mencapai daerah tersebut. Pihak pengelola dapat
melakukan strategi diferensiasi dengan menciptakan persepsi terhadap nilai
tertentu kepada pelanggannya. Misalnya pelayanan yang lebih baik dan brand
image yang lebih unggul.
Berpedoman pada uraian di atas, sumber daya manusia baik laki-laki
maupun perempuan merupakan komponen vital dalam pengembangan pariwisata.
Dalam setiap komponen industri pariwisata seperti kapal pesiar, memerlukan
sumber daya manusia yang profesional dalam mengendalikan usaha. Dengan kata
lain sumber daya manusia sangat strategis dalam menentukan eksistensi dari
industri pariwisata kapal pesiar. Sebagai salah satu industri jasa, sikap dan
kemampuan para staf berdampak kruisal terhadap pelayanan (service) yang
diberikan kepada wisatawan yang secara langsung akan berdampak pada kepuasan
wisatawan yang dilayani. Oleh karena itu kemampuan kompetensi tenaga kerja
dalam memberikan kepuasan terhadap wisatawan yang dilayani sehingga mereka
selalu tertarik untuk datang kembali. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihak
pelaku pariwisata membutuhkan analisis perencanaan strategis, khususnya dalam
pemberdayaan perempuan dalam industri pariwisata kapal pesiar. Jadi
perencanaan strategis penting dilakukan dalam usaha untuk memperoleh
keunggulan bersaing dan memiliki kualitas sumber daya manusia khususnya
perempuan Bali sesuai dengan standar internasional.
Tujuan aplikasi perencanaan strategis terkait penelitian ini adalah untuk
memeroleh keunggulan kompetitif perempuan Bali yang bekerja di kapal pesiar
38
dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan analisis SWOT,
berikut: (1) apa kekuatan-kekuatan yang dimiliki perempuan Bali; (2) apa
kelemahan dari perempuan Bali; (3) bagaimana peluang perempuan Bali untuk
berkompetisi ke depan; (4) apa ancaman yang dihadapi perempuan Bali dalam
keberlanjutan di masa depan. Jawaban atas semua pertanyaan di atas memerlukan
pengamatan berbagai konsep atau literatur, teknik analisis, temuan-temuan empiris
serta paradigma yang dapat dipakai sebagai landasan untuk menyusun
perencanaan strategis.
2.4 Model Penelitian
Kondisi nyata yang dialami masyarakat Bali dalam berinteraksi di
lingkungan global, membuat mereka semakin menyadari akan keberadaan dirinya.
Adanya pengaruh faktor ekonomi, sosial dan budaya baik yang bersifat internal
maupun eksternal sebagai akibat dari perkembangan pariwisata di Bali menuntut
mereka semakin selektif dalam pergaulan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
perubahan dalam persepsi masyarakat terhadap keberadaan perempuan Bali yang
bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar.
Peran pemerintah, masyarakat, dan penyelenggara wisata memiliki
hubungan yang sinergis untuk lebih mendorong pemberdayaan perempuan Bali
dalam industri pariwisata kapal pesiar. Tujuannya agar perempuan Bali lebih
banyak yang berpartisipasi/bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar serta
untuk memenuhi kualifikasi kompetensi dari industri pariwisata kapal pesiar akan
kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas. Pemerintah diharapkan mampu
39
memberikan akses atau kemudahan bagi perempuan Bali yang tertarik untuk
bekerja di kapal pesiar. Pihak masyarakat dan penyelenggara wisata harus turut
aktif membantu program pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan-
penyuluhan, pelatihan-pelatihan kepada calon tenaga kerja perempuan agar
perempuan Bali mampu bersaing dalam mengisi peluang kerja yang tersedia dalam
industri pariwisata kapal pesiar. Di sisi lain perempuan Bali perlu meningkatkan
diri dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baik melalui pendidikan formal
maupun informal. Dengan demikian perempuan Bali ke depan dapat lebih
memainkan perannya dalam aktivitas pariwisata, sehingga mereka dapat
menikmati manfaat dari pembangunan pariwisata tersebut.
Penelitian ini mengkaji tiga permasalahan, yaitu: (1) keberadaan
perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar dilihat dari aspek kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman yang dihadapi; (2) faktor-faktor yang
memotivasi perempuan Bali untuk bekerja dalam industri pariwisata kapal pesiar;
dan (3) implikasi ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali dalam industri
pariwisata kapal pesiar terhadap lingkungan kehidupannya.
Analisis yang dipergunakan dalam mengkaji keberadaan perempuan Bali
dalam industri pariwisata kapal pesiar dilihat dari aspek kekuatan, peluang, dan
ancaman yang dihadapi yaitu analisis SWOT. Analisis faktor adalah untuk
mengkaji faktor-faktor yang memotivasi perempuan Bali untuk bekerja dalam
industri pariwisata kapal pesiar, dan analisis kualitatif untuk mendapatkan
informasi secara mendalam tentang implikasi ekonomi, sosial dan budaya
40
perempuan Bali yang bekerja dalam industri pariwisata terhadap lingkungan
kehidupannya. Ketiga alat analisis (analisis SWOT, analisis faktor, dan analisis
kualitatif) saling terkait sehingga dapat menghasilkan kesimpulan, sesuai dengan
fakta yang terjadi di lapangan.
Dalam mengkaji keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata
kapal pesiar ini, dipergunakan beberapa konsep yaitu: industri pariwisata, kapal
pesiar, kesetaraan gender, dan perempuan Bali. Selanjutnya dalam membedah
keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata kapal pesiar, faktor-faktor
yang memotivasi perempuan Bali untuk bekerja di kapal pesiar, serta implikasi
ekonomi, sosial, dan budaya perempuan Bali bekerja dalam industri pariwisata
kapal pesiar dipergunakan beberapa teori yang relevan yaitu teori motivasi,
feminisme, dekonstruksi, dan teori perencanaan strategis. Hasil kajian ini dapat
dipergunakan sebagai bahan acuan dalam memberikan rekomendasi kepada pihak
pemerintah, penyelenggara wisata, dan masyarakat guna mampu lebih
memberdayakan perempuan Bali dalam industri pariwisata khususnya di kapal
pesiar.
Dalam membahas keberadaan perempuan Bali dalam industri pariwisata
kapal pesiar, disusun sebuah model penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar
2.1.
41
Gambar 2.1. Model Penelitian
Perempuan Bali dalam
Industri Pariwisata
Kapal Pesiar
Faktor-faktor yang
memotivasi
perempuan Bali untuk
bekerja dalam industri
pariwisata kapal pesiar
Kondisi Masyarakat Bali
(Ekonomi, Sosial, Budaya)
Keberadaan
Perempuan Bali
dalam industri
pariwisata kapal
pesiar
Implikasi ekonomi, sosial, dan
budaya perempuan Bali yang
bekerja dalam industri
pariwisata kapal pesiar terhadap
lingkungan kehidupannya
Rekomendasi
Konsep:
Industri Pariwisata, Kapal
Pesiar, Kesetaraan
Gender, Perempuan Bali
Teori:
Motivasi,
Feminisme, Dekonstruksi,
Perencanaan Strategis
Pemerintah,
masyarakat
Penyelenggara
wisata
Temuan
Analisis Faktor
Analisis SWOT Analisis Kualitatif
Perempuan Bali
Simpulan
Top Related