17
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PERKARA PERCERAIAN
A. Pengertian, Dasar Hukum dan Alasan Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian berasal dari kata cerai, yang berarti pisah dan talak,
kata cerai berarti berpisah, sedang kata talak artinya sama dengan cerai.
Kata mentalak berarti menceraikan.1 Jadi kata talak sama artinya dengan
cerai atau menceraikan istilah talak, dan cerai itu dalam bahasa Indonesia
sudah umum dipakai oleh masyarakat Indonesia dengan arti yang sama.
Talak berasal dari kata ��������� ��� ���� yang berarti��� ��� ������
�� ������ (melepaskan).2 Jadi mentalak istri berarti melepaskan isteri dari
ikatan perkawainan.
Perceraian dalam bahasa Arab disebut “talak” atau “furqah”.
Adapun talak berarti “membuka ikatan”, membatalkan perjanjian,
sedangkan furgah berarti “bercerai”, lawan dari “berkumpul” kemudian
dua kata itu dipahami oleh para ahli fiqh sebagai istilah yang berarti
perceraian antara suami isteri.3
1 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976,
hlm. 20, 998. 2Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku Ilmiah dan Keagamaan, 1984, hlm. 532. 3Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Yogyakarta: Bulan
Bintang, 1993, hlm. 156.
18
Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah, menjelaskan
bahwa talak menurut istilah syara’ adalah: “melepaskan tali perkawinan
dan mengakhiri hubungan perkawinan suami istri”4
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974, dan BW tidak disebutkan apa
yang dimaksud dengan perceraian, hanya pengertian perceraian itu
dijumpai dalam pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden
Nomor 1 tahun 1990) yaitu: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan
dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, 131.5
2. Dasar Hukum Perceraian
Islam mensyariatkan agar perkwainan itu dilaksanakan selama-
lamanya, diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai. Islam juga
mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara waktu yang
tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja.6
Syari’at yang dibangun Islam di atas dalam kenyataannya, hal
tersebut tidaklah mudah diwujudkan. Dalam melaksanakan kehidupan
rumah tangga tidak mustahil apabila akan terjadi salah paham antara
suami isteri, salah satu atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban,
tidak saling percaya dan sebagainya, sehingga menyebabkan
ketidakharmonisan dalam rumah tangga dikarenakan tidak dapat
4Sayid Sabiq,Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Beirut: Daar al-Fikr, 1992, hlm. 206 5Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 112. 6Kamal Mukhtar, Op.cit, hlm. 157.
19
dipersatukan lagi persepsi dan visi antara keduanya, keadaan seperti ini
adakalanya dapat diatasi dan diselesaikan, sehingga hubungan suami
isteri baik kembali. Namun adakalanya tidak dapat diselesaikan atau
didamaikan. Bahkan kadang-kadang menimbulkan kebencian dan
pertengkaran yang berkepanjangan.
Ketika ikatan perkawinan sudah tidak mampu lagi untuk
dipertahankan, rumah tangga yang mereka bina tidak lagi memberi rasa
damai terhadap pasangan suami isteri, maka Islam mengatur tata cara
untuk menyelesaikan dari keadaan seperti itu yang disebut dengan talak
atau perceraian. Ketentuan Perceraian itu didasarkan pada al-Qur’an dan
al-Hadits.
a. Dasar Al-Qur’an perceraian sebagai berikut :
������������������������������������ ��� !������"#$�%�&��'()*+�
Artinya : “Keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunianya, dan Allah Maha Kuat (karunianya) lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Nisa’: 130).7
Ayat di atas menjelaskan jika memang perceraian harus
ditempuh sebagai alternatif atau jalan terakhir, maka Allah akan
mencukupkan karunianya kepada masing-masing keduanya.(suami
istri).Walaupun pasangan suami istri sudah di akhiri dengan
perceraian, namun Islam tetap memberikan jalan kembali bila kedua
belah pihak menghendakinya, dengan catatan talak yang di lakukan
7Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989,
hlm 144.
20
bukan bain kubro, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 249 sebagai berikut :
��%��,�- %.���/�� ��,�0�%��1���. ��2�&��"#3 45&��'678+� Artinya : “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara baik.” (Q.S. al-Baqarah: 249).8
Ayat di atas menerangkan bahwa ketentuan talak yang
masih dapat dirujuk oleh suami adalah sebanyak dua kali, maka
apabila suami mentalak lagi (ketiga kalinya) maka tidak halal lagi
baginya (suami) untuk merujuk isterinya lagi, kecuali si isteri telah
menikah lagi dengan orang lain dan telah bercerai.9 Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 65 :
��3��&���9:�����;.��&��<94�1�$�%�&��=�4����>���5�&���;��"#2�&��'?@+� Artinya : “Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Q.S. al-Thalaq: 65).10
Ayat di atas menjelaskan ketentuan waktu mentalak yaitu
ketika si isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri atau
dinamakan talak suni.
b. Al- Hadist
�A�B�C D����<���.� ��������E����;�B�����F�� �B��,������5B��B���G&�>��B�H�I&���,�� �B�JK%1�=�������B����A�L����J9����;B
8Ibid., hlm. 55. 9Muhammad Ali al-Sabuni, Rawa’I al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, T.tp: Dar al-Fikr, t.th.,
hlm. 321. 10Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 655.
21
.�A����;�%��&�=M��;�N� ��1�O ��=�������B����A�L����J9���J�41�� ;�G��1�P�����Q5������$�R�������,�G%���KSE��=M� ;.�=M�C �T.�=M
$�%�&���;&���.�����E�T5����� ���A�&��3��&�"�
Artinya : “Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a. Katanya, “Sesungguhnya dia telah menceraiakn isterinya dalam keadaan haid, kasus itu terjadi pada zaman Rasulullah S.a.w., kemudian masalah itu dinyatakan oleh Umar bin Khattab kepada rasulullah s.a.w., lalu berliau bersabda “Perintahkan supaya dia rujuk (kembali kepada isterinya, kemudian menahannya sampai isterinya suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi, kemudian apabila ia mau, dia dapat menahannya atau menceraikannya, asal dia mencampurinya, itulah tempo iddah yang diperintahkan oleh Allah yang Maha Mulia lagi Maha Agung bagi wanita yang diceraikan”.11
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9
tahun 1975 hanya mengatur perceraian secara umum yaitu pada pasal
38 tentang sebab-sebab putusanya perkawinan, pasal 39 jo pasal 14-
36 PP Nomor 9 tahun 1975 mengatur tentang tata cara perceraian, dan
pasal 41 mengatur tentang akibat putusnya perceraian. Sedangkan
Perceraian di Indonesia secara umum diatur dalam undang undang
Nomor 1 tahun 1974 pasal 38 – 44, PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 14
– 36, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 113 sampai dengan pasal
148.
3. Alasan-alasan Perceraian
Setiap pasangan pada mulanya mengharapkan sebuah rumah
tangga yang ideal, abadi namun harapan itu kadangkala tidak dapat
11Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Kitab at-Thalaq, Bab Sunnah Talak, Beirut: Dar Al-Fikr,
t.th., hlm. 268.
22
terealisasi, dan diakhiri dengan perceraian. Tentunya ada beberapa faktor
yang menyebabkan perceraian. Dari faktor-faktor tersebut dapat
dijadikan alasan bagi mereka untuk mengajukan perceraian ke
Pengadilan Agama, karena dalam pasal 39 UU No. 1 tahun 1974
disebutkan bahwa “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa suami isteri itu tidak dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri.12
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk bercerai
telah dirinci secara limitatif dalam menjelaskan pasal 39 ayat (2) UU
No. 1 tahun 1974 jo pasal 19 PP 9 tahun 1975 yang terdiri dari :
a. Salah satu pihak pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri.
12Undang-undang Perkawinan, Surabaya: Penerbit Artha Perkasa Nusantara, t.th., hlm 55
23
f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.13
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 selain
secara lengkap memuat alasan-alasan cerai seperti tersebut di atas, dan
ada alasan lain yang ditambahkan yaitu :
a. Suami melanggar ta’lik talak.
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.14
Ta’lik talak adalah hal- hal atau syarat syarat yang diperjanjikan
itu, yang apabila terlanggar oleh si suami terbukalah kesempatan
mengambil inisiatif untuk talak oleh pihak si istri kalau dia menghendaki
demikian itu.15 mengenai isi dari ta,lik talak adalah sebagai berikut :
Sesudah akad nikah, saya …. bin … berjanji dengan sesungguh
hati. bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami,
dan akan saya pergauli istri saya bernama … binti … dengan baik
(muasyarah bi al-ma’ruf) menurut ajaran syariat Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighot taklik talak atas isri saya
sebagai berikut
Sewaktu waktu saya :
a. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut turut,
13 Ibid., hlm33 14Abdul Gani Abdullah, op. cit., hlm. 111. 15Sayuti Talib,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Penerbit UI, 1986, hlm. 106
24
b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
c. Atau saya menyakiti badan /jasmani istri saya itu,
d. Atau saya membiarkan (tidak memperdilikan )istri saya itu enam
bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridla dan mengadukan halnya kepada
pengadilan agama, atau petugas yang di beri hak mengurus pengaduan
itu, dan pengaduannya dibenarkan serta di terima oleh pengadilan atau
petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar 1.000, (seribu
rupiah )sebagai iwadl (pengganti ) kepada saya, maka jatuhlah talak saya
kepadanya kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan
untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian
memberikannya untuk ibadah sosial.16
Tambahan kedua alasan ini sangat tepat apabila dihubungkan
dengan konteks perceraian ditinjau dari hukum Islam, penambahan ini
tidak berlebihan dan tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 1 tahun
1974 juga pasal 14 PP No. 9 tahun 1975. Dan alasan-alasan cerai yang
disebut di atas bukan bersifat kumulatif, namun bersifat alternatif,
pemohon dapat memilih salah satu diantaranya sesuai dengan fakta yang
mengenainya dalam kangkreto.
Sekiranya pemohon mengajukan alasan yang komulatif tidak
dilarang, dan jika demikian halnya tidak wajib bagi pemohon untuk
16 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm
155-156.
25
membuktikan setiap alasan, salah satu alasan saja dapat dibuktikan,
sudah cukup menjadi dasar pertimbangan untuk mengabulkan
permohonan.17
Lain halnya dalam fiqih Islam, perceraian dapat di lakukan
walaupun tanpa adanya sebab yang mendasar antara kedua belah pihak
yang berperkara (suami istri). asalkan salah satu pihak bersikeras untuk
bercerai.
B. Jenis-Jenis Perkara
Untuk memulai dan menjelaskan pemeriksaan persengketaan
perkara perdata yang terjadi diantara para pihak, salah satu pihak yang
bersengketa harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada pengadilan.
Hal ini ditegaskan pasal 55 UU No. 7 tahun 1989, menurut pasal
tersebut, tiap pemeriksaan perkara di pengadilan, dimulai sesudah diajukan
suatu “permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasarkan permohonan atau
gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 55 UU No.7 tahun 1989,
dihubungkan dengan penjelasan pasal 60 UU No.7 1989, di lingkungan
Peradilan Agama dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan
pemeriksaan perkara kepada pengadilan yang pertama disebut “permohonan”
17M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU Nomor 7
tahun 1989, Jakarta: PT. Garuda Metropolitan Press, 1990, hlm. 233.
26
yang kedua disebut “gugatan”. Dalam bahasa sehari-hari sering disebut
gugatan sehingga dikenal “gugatan permohonan dan gugat biasa”.18
1. Permohonan
Permohonan dalam bahasa hukum Islam disebut al-dakwah kata
dakwah ini rupanya dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana, dapat
diketahui, dakwa perdata atau dakwa pidana tergantung dengan bentuk
kalimat.
Dalam tata hukum Indonesia, kata gugatan atau permohonan
hanya dipakai dalam kaitan acara perdata, lagi pula dibedakan maksud
dan artinya.
Apa yang dituntut penggugat disebut gugatan, sedangkan apa
yang diminta oleh pemohon disebut permohonan.19
Adapun bagi orang yang memohon disitu disebut dengan istilah
“pemohon” atau “introductif reguest” (Belanda) atau “alUMudda’y”
(Arab).
Untuk peradilan perdata yang menyelesaikan perkara
permohonan seperti di atas, disebut Jurisdictio valuntaria atau peradilan
yang tidak sesungguhnya. Dikatakan peradilan yang tidak sesungguhnya
karena pengadilan diketika itu sebenarnya hanya menjalankan fungsi
executive power.
18Ibid., hlm. 185. 19Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 61.
27
Karena peradilan yang tidak sesungguhnya maka produk
pengadilan adalan penetapan atau beschikking (Belanda) atau Al Isbat
(Arab).
Termohon sebenarnya dalam arti “asli” bukanlah sebagai pihak
tetapi hanya perlu dihadirkan di depan sidang untuk didengar
keterangannya untuk kepentingan pemeriksaan, karena termohon
memiliki atau mempunyai hubungan hukum langsung dengan pemohon.
Jadi dalam arti asli, termohon tidak imperatif hadir di depan sidang seperti
halnya tergugat, artinya sekalipun termohon tidak hadir bila mana
permohonannya cukup beralasan (terbukti) maka permohonannya akan
dikabulkannya dan kalau tidak terbukti akan ditolak.20
Bentuk dan isi surat permohonan pada prinsipnya adalah tidak
mempunyai lawan, lain dengan surat gugatan, tetapi sebagaimana di
ketahui bahwa di muka Pengadilan Agama ada perkara yang sepertinya
voluntaria tetapi kenyataannya adalah contetiosa, sehingga dalam
keadaan seperti ini, walaupun namanya permohonan namun bentukya
seperti gugatan.
Surat permohonan dalam pengertian asli supaya di buat sesuai
dengan prinsipnya, yaitu tidak ada lawan, itulah yang pokok. jadi
bentuknya tidak jauh dari surat gugatan, tapi tidak ada lawan. dengan
demikian identitas, pihak, hanyalah pemohon saja, bagian positanya
20Roihan A. Rasyid, op.cit., hlm. 57.
28
adalah tentang situasi hukum atau peristiwa hukum yang di jadikan dasar
terhadap apa yang di mohonkan oleh pemohon dalam bagian petita.
Jadi secara nyata perbedaan inti surat gugatan dan surat
permohonan adalah: Bahwa pada surat permohonan tidak di jumpai
kalimat ”berlawanan dengan” kalimat“ Duduk perkaranya “dan kalimat
“permintaan membayar biaya perkara pada pihak lawan “21
Mengenai perkara permohonan, dan gugatan. Dalam perkara
perceraian di Pengadilan Agama telah di kenal dua corak. Yaitu
permohonan talak, dan gugat cerai. Namun setelah terbitnya Undang-
undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, istilah tersebut telah
berubah menjadi istilah baru. Adapun perubahan tersebut adalah, Pertama
permohonan talak di ganti dengan istilah cerai talak, yang kedua gugat
cerai di ganti dengan istilah cerai gugat.
Mengingat kompetensi relatif yang ada, Perubahan istilah ini
memang ada benarnya, sebab dengan istilah baru ini Pengadilan Agama
dapat memecahkan masalah berdasarkan putusan Pengadilan Agama
sesuai dengan hukum Islam. adapun bentuk pertama yang di sebut cerai
talak adalah, pemecahan perkawinan atau perceraian dalam bentuk talak
yang datang dari pihak suami, sedangkan cerai gugat ialah pemecahan
perkawinan atau perceraian yang di ajukan oleh pihak istri. Memang
21 Ibid., hlm. 64.
29
hasilnya sama sama perceraian. Tapi prosedur dan prosesnya menurut
hukun Islam adalah berbeda .22
2. Gugatan
Gugatan menurut syara’ ialah memberi tahu bahwa (penggugat)
mempunyai hak tertentu, begitu pula syarat bagi setiap gugatan
hendaknya diajukan secara terperinci apa yang digugatnya, sehingga tidak
dianggap sah gugatan kecuali dengan adanya dalil atau bukti yang jelas
tentang hak itu.23
Penggugat adalah orang yang menuntut sesuatu hak, apabila dia
menghentikan gugatan berarti dia telah melepaskan haknya, sedang
tergugat ialah orang yang dituntut dengan suatu hak, apabila dia diam dia
belum terbebaskan dari gugatan.24
Jadi penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka
pengadilan perdata, penggugat ini disebut aiser (Belanda) atau al Muda’I
(Arab). Penggugat mungkin sendiri dan mungkin gabungan dari beberapa
orang sehingga muncullah istilah penggugat satu, penggugat dua, dan
penggugat tiga dan seterusnya, penggugat dapat memakai kuasa sehingga
ditemui istilah kuasa penggugat satu, dan seterusnya, lawan dari penggugat
disebut tergugat, atau gedagde (belanda) atau al mudaa alaih (Arab)
gabungan penggugat atau tergugat seperti di atas di sebut kumulasi subyektif
22 M. Yahya harahap, Op.cit, hlm .207. 23Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Acara Islam,
Jakarta: Depag RI, 1994, hlm. 97-98. 24 Ibid., hlm. 100.
30
artinya subyek hukum yang tergabung dalam berperkara. Sedangkan suatu
perkara perdata yang terdiri dari dua pihak yaitu penggugat dan tergugat yang
berlawanan, disebut jurisdictio contentiosa atau peradilan yang sesungguhnya,
karena peradilan yang sesungguhnya maka produk pengadilan adalah putusan
atau vonis (Belanda) atau al qada’u (Arab).25 Adapun bentuk dan isi surat
gugatan secara garis besar nya terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1. Identitas Pihak-pihak.
Identitas pihak pihak memuat nama berikut gelar atau alias atau
julukan, bin/bintinya, umur, agama, peker jaan, tempat tinggal terakhir
dan statusnya sebagai penggugat/tergugat.
2. Fakta fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak,
biasa di sebut bagian posita (jamak ) atau petitum (tunggal )
Dalam bagian ini hendaknya singkat, kronologis dan jelas tepat
dan sepenuhnya terarah untuk mendukung isi tuntutan. Kalimat pertama
daribagian posita berbunyi :”duduk perkaranya.”yang diletakkan dala
baris tersendiri ditengah tengah. Kalimat terakhir dalam bagian positanya
biasanya di dahului oleh kalimat “ berdasar kan uraian di atas, dengan
segala kerendahan hati penggugat mohon kepada pengadilan agama
untuk “ susudah kaliat ini, gugatan masuk ke bagian petita.
3. Isi tuntutan yang biasa di sebut bagian “petitum “.
Butir pertama dari bagian petita selalu tentang formal perkara,
belum boleh langsung ke loncat ke materi perkara butir pertama ini
25 Roihan A. Rasyid, Op.cit, hlm. 57.
31
berbunyi momohon agar Pengadilan Agama menerima gugatan
penggugat; butir terakhir dari bagian petita selalu tentang permintaan
agar pihak lawan selalu di bebankan biaya perkara.26
Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut:
1. Pada permohonan tidak ada pihak termohon yang secara langsung
memberikan jawaban bantahan atau tantangan permohonan terhadap
pemohon. Sebagai contoh adalah permohonan pembatalan perkawinan
sebagai mana tersebut dalam pasal 25 Undang-Undang Perkawinan atau
permohonan pengesahan nikah (bagi perkawinan yang dilakukan sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan).
Sedangkan gugatan terdapat dua pihak yang berhadapan satu
sama lainnya yaitu penggugat dan tergugat, tergugat dapat secara langsung
mengemukakan jawaban-jawaban bantahan dan tantangan terhadap
gugatan penggugat Bahkan dia berhak pula mengajukan gugatan
rekonvensi (gugatan balasan) sebagai contoh ada gugatan nafkah dari
isteri kepada suaminya.
2. Permohonan disesuaikan dengan suatu ketetapan (beschikking)
pengadilan, sedang gugatan disesusikan dengan putusan (vonis)
pengadilan, kecuali permohonan pembatalan perkawinan yang harus
diputus oleh pengadilan dan disesuaikan dengan suatu putusan (pasal 37
dan 38 PP Nomor 9 tahun 1975).
26 Ibid., hlm 62-63
32
3. Bandingan terhadap ketetapan pengadilan dapat diajukan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan yang secara langsung merasa dirugikan oleh
ketetapan tersebut. Sedang bandingan hanya dapat diajukan oleh pihak
penggugat atau tergugat yang tidak puas dengan vonis pengadilan
tersebut.27 Akan tetapi dari beberapa uraian di artas untuk dilingkungan
peradilan Agama, dalam perkara-perkara perkawinan, walaupun
disebutkan “pemohon” atau “termohon” atau permohonan tidaklah mutlak
selalu berarti perkara volunturea sepenuhnya seperti teori umum Hukum
Acara Perdata memahaminya sebagai kontentiosa ataukah sebagai
volunturia, harus melihat konteks.28
Begitu pula dalam hal penetapan dalam bentuk murni volunteria di
lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara dibidang
perkawinan yang produk pengadilan agama berupa penetapan, ada
pemohon dan termohon, tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk
volunturia murni, sehingga penetapan disitu harus dianggap putusan,
pemohon dan termohon harus dianggap sebagai penggugat dan tergugat
sehingga dalam hal ini teori umum penetapan tidak berlaku melainkan
diberlakukan teori umum.29
27Departemen Bimbaga Islam, Pedoman Tata Laksana B adan Peradilan Agama, Jilid I,
Jakarta : Depag RI, 1979, hlm. 128. 28 Roihan A.Rasyid, Op.cit, hlm. 58. 29 Ibid., hlm. 205.
33
C. Tata cara gugatan di Pengadilan Agama
Tata cara mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama
adalah sebagai berikut:
1. Penggugat atau kuasanya datang ke kantor kelurahan untuk memperoleh
surat keterangan tempat tinggal dari lurah (Peraturan Menteri Agama No.
3/1975 pasal 3).
2. Penggugat atau kuasanya dengan membawa surat keterangan lurah datang
ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatannya tertulis atau lisan
kepada panitera sekaligus membayar perskotnya
3. Penggugat dan tergugat atau masing-masing kuasanya menghadiri sidang
berdasarkan surat panggilan panitia.
4. Majelis hakim memeriksa perkara dengan tahapan-tahapan sidang.30
5. Putusan Pengadilan Agama (vonis) dalam hal taklik talak atau perkara
tidak diterima atau ditolak atau digugurkan oleh majelis hakim atau
dicabut dalam persidangan, pengadilan agama mengeluarkan penetapan.
6. Penggugat wajib membuktikan kebenaran dari isi gugatannya berdasarkan
alat-alat bukti, surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak (HIR)
pasal 16.
7. Kepada penggugat dan tergugat diberikan salinan putusan Pengadilan
Agama.
30Maksud tahapan-tahapan sidang adalah: pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat,
replik penggugat, replik tergugat, pemeriksaan alat-alat bukti penggugat dan tergugat dan kesimpulan penggugat dan tergugat dan putusan hakim. HIR pasal 131 dan 132.
34
8. Kepada penggugat dan tergugat diberikan surat keterangan bahwa putusan
Pengadilan Agama telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrah
van gewijsde).
9. Untuk perkara perceraian Pengadilan Agama meminta pengukuhan kepada
PN atas putusannya, akan tetapi tidak berlaku setelah diundang dengan
undang-undang No. 7 tahun 1989.
10. Pihak yang memang perkara yang ada hubungannya dengan hak
kebendaan dengan bantuan pengadilan agama dapat meminta eksecutoir
verklaring kepada pengadilan negeri.31
D. Putusan Perceraian
Sebagaimana diketahui bahwa produk Pengadilan Agama,
penetapan dan putusan. Namun untuk pembahasan kali ini adalah tentang
produk peradilan agama yang berbentuk putusan sebagaimana gugat
contentiosa dimana menurut penjelasan pasal 60 Undang–ndang No 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama diproduksi penyelesaian atau setlement yang
berbentuk putusan.32 Jadi putusan, adalah perbuatan hakim sebagai penguasa
atau pejabat negara yang bersangkutan untuk meneliti dan memeriksanya.33
31 M. Idris Romulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Agama Pengadilan
Agama, Jakarta: Ind Hill Co, 1991, hlm. 205-206.
32 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 307. 33 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002,
hlm. 202.
35
Keputusan menurut bahasa sebagaimana yang dikatakan oleh al-
Kamil al-Haj Ibrahim, bahwa: keputusan atau al-Qadha dibaca bermad
(panjang) artinya adalah menyemprunakan sesuatu danmenetapkan
hukumnya, menyelesaikannya dan memutuskannya.34
Jenis-jenis putusan sebagaimana pasal 185 ayat 1 HIR (pasal 196
ayat 1 RBg) membedakan putusan akhir danputusan yang bukan akhir.
Putusan ini ada yang bersifat menghukum (condemnatoir) ada yang bersifat
menciptakan (conshitutif) dan ada pula yang bersifat menerangkan atau
menyatakan (declaratoir).
1. Condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum
pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, di dalam putusan
condemnatoir diakhiri hukuman semacam itu hanya terjadi hubungan
dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang-undang,
yang prestasinya dapat terdiri dari memberi, berbuat dan tidak berbuat,
pada mulanya putusan condemnatoir itu berisi hukuman untuk membayar
sejumlah uang. Karena dengan putusan condemnatoir itu tergugat,
diwajibkan untuk memenuhi perstasi maka hak dari pada penggugat yang
tidak ditetapkan itu dapat dilaksanakan dengan paksa (execution forcee),
jadi putusan condemnatoir kecuali mempunyai kekuatan mengikat juga
memberi atas hak eksekutarial kepada penggugat yang berarti memberi
34 Pendapat tersebut di kutip dalam Kompilasi Hukum Acara Islam ,halaman ,283.
36
hak kepada penggugat yang berarti memberi hak kepada penggugat untuk
menjalankan putusan secar paksa melalui pengadilan.35
Putusan peradilan perdata Pengadilan Agama adalah peradilan
perdata, selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah
untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk
melepaskan sesuatu, menghukum sesuatu, jadi doktrin vonis selalu
bersifat condemnatoir artinya menghukum, atau juga bersifat constitutoir
artinya menciptakan, 36 jadi perlu diperhatikan bahwa setiap gugat yang
bersifat contentiosa pada prinsipnya akan menjadikan putusan pengadilan
yang bersifat condemnatoir dan berkekuatan eksekutorial.
Untuk lebih jelas memahami keputusan pengadilan yang
berbentuk putusan yang bersifat condemnatoir dan eksekutoir, salah satu
cirinya adalah bersifat contradiktoir.
Maksudnya adalah tata cara pemeriksaan perkara dilakukan
dengan cara jawab menjawab secara timbal balik, atau dengan kata lain
bahwa dalam pemeriksaan terjadi dialog langsung dalam bentuk replik
dan duplik. Dan kepada penggugat dihukumi kewajiban untuk
membuktikan dalil gugat, begitu pula sebaliknya kepada tergugat
kemudian kepada para pihak diberi hak untuk mengajukan kongklusi atau
kesimpulan.37Oleh karena apabila asas ini dilanggar, maka undang-
undang memberi pengecualian tentang putusan pengadilan, sebagaimana
35Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 221. 36 Roihan A. Rasyid, op.cit., hlm. 193. 37 M. Yahya Harahap, loc.cit.
37
yang kita kenal yaitu: putusan verstek (putusan di luar hadir) dan putusan
gugur.
a. Putusan verstek adalah putusan dimana tergugat tidak datang setelah
dipanggil dengan patut, baik dirinya sendiri atau kuasa sahnya.
Tentang kapan boleh dijatuhkan putusan verstek ada yang
berpendapat bahwa putusan verstek harus dijatuhkan pada hari sidang
pertama, yang mendasarkan pada kata-kata “ton dage dienende”
dalam pasal 124 HIR (pasal 149 RBg) yang diartikan sebagai hari
sidang pertama, sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kata-kata
“ten dage dienende” dapat pula diartikan “ten dage dat de zaak dient”
yang berarti tidak hanya sidang pertama saja, pasal 126 HIR (pasal
150 RBg) memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi.38
Begitu pula peradilan agama, bahwa panggilan untuk kedua
kalinya sangat dianjurkan, sebab ada kemungkinan panggilan tersebut
kurang benar atau tidak sampai, misalnya kepada kepala desa atau
lurah lupa untuk menyampaikan. Dalam berbagai kitab tentang
hukum Islam memutuskan verstek diperbolehkan dan putusan verstek
itu disebut al-qadha’u ala al-qhaib. Kebolehan itu didasarkan pada
sabda Rasulullah s.a.w., riwayat Bukhari dan Muslim, dari Aisyah r.a
yang berbunyi:
��J9���A�B����!��A,��3� ���V5�B�W�,���<�W�X��W&���VSD�B��B���-�TR�QN�����!���,��������J9����W&�41�=�������B����A�L��� � ,��&������YZX����[����,�A!���A��!�����V4!�&�����A����[�
38 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 102.
38
����������/� �&��,��&������\ZX�J�41�]̂ ��N����G&�>�A1�A�B�Q;1����BG��,�G�!�"�
Artinya : Dari Aisyah ia berkata: Hindun binti Utbah isteri Abu
Sufyan datang kepada Rasulullah s.a.w. lalu berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang jujur, ia tidak memberi kepada saya nafkah yang mencukupi bagi diri saya dan anak saya, kecuali dari apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah saya berdosa yang demikian itu ? Maka sabda rasulullah ambillah dari hartanya apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut.
Putusan Rasulullah kepada Hindun ini tanpa dihadiri oleh
Abu Sufyan dan Abu Sufyan itu jauh diperantauan, karenanya
dijadikan landasan bolehnya memutus tanpa dihadiri tergugat
(verstek).39� Adapun bila gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu
apabila peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan,
maka gugatan akan dinyatakan tidak diterima (niet ont van kelijk
verklaard) N.O. Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu bila tidak
diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan, maka
gugatan akan ditolak, putusan tidak diterima bermaksud menolak
gugatan di luar pokok perkara, sedang penolakan merupakan putusan
setelah dipertimbangkan mengenai pokok perkara, pada putusan tidak
diterima, tetapi di dalam praktek sekarang ini tidak jarang putusan
tidak dapat diterima dimintakan banding, sedang dalam penolakan
tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut untuk
kedua kalinya kepada hakim yang sama (nebis in idem).
39Roihan A. Rasyid, op.cit., hlm. 103.
39
Oleh karena putusan tidak diterima / N.O,. itu dimaksudkan
menolak gugatan di luar pokok perkara yang berarti bahwa hakim
belum memeriksa pokok perkara, sedangkan dalam putusan
“menolak” hakim sudah memberi pokok perkara, maka logikanya
dalam satu putusan tidak dimungkinkan berisi diktum “tidak
diterima” dan sekaligus juga menolak.40
b. Putusan gugur
Atau putusan digugurkan yaitu apabila penggugat atau
kuasa sahnya tidak hadir meskipun sudah dipanggil dengan patut,
sedangkan tergugat hadir. Penggugat yang tidak hadir ini disebut
dalam kitab fiqih dengan istilah “al-muda al-mudai al-qadha’u al-
masquf”.41
Mengenai penyaksian ikrar talak apabila telah lewat enam
bulan terhitung sejak ditetapkannya hari penyaksian ikrar talak suami,
atau wakilnya tidak hadir juga, sedangkan ia telah dipanggil secara
patut maka kekuatan penetapan bagi penyaksian ikrar talak tersebut
menjadi gugur, dalam hal ini suami tidak boleh lagi mengajukan ikrar
talak dengan alasan yang sama.42
2. Deklaratoir
Putusan deklaratoir adalah putusan yang isinya bersifat
menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang
40Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 102-103. 41 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 306. 42Kompilasi Hukum Acara Islam, op.cit, hlm. 4.
40
menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
sah.43
Putusan deklaratoir adalah hasil dari penetapan yang muncul
sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak
berlawanan, maka diktum penetapan tidak akan berbunyi menghukum,
melainkan hanya bersifat deklaratoir atau menciptakan (konstituoir).44Jadi
ciri-ciri dari penetapan yang muncul sebagai produk pengadilan atas
permohonan adalah :
a. Merupakan gugatan secara sepihak, pihaknya terdiri dari pemohon,
tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.
b. Tidak ditujukan untuk menyelesaikan suatu sengketa, tujuannya hanya
untuk menetapkan suatu keadaan atau status tertentu bagi diri
pemohon.
c. Ciri selanjutnya amar gugat permohonan bersifat deklaratoir, adapun
diantara putusan yang bersifat deklaratoir adalah putusan yang
menolak gugatan
Jadi asas yang melekat pada putusan penetapan hanyalah
melekat pada pemohon, yang kebenarannya tidak menjangkau orang lain.
Sehingga nilai kekuatan pembuktian penetapan tidak mempunyai
kekuatan eksutorial.45
43 Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 222. 44Roihan A. Rasyid, op.cit., hlm. 203. 45 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 306.
Top Related