17
BAB II
ANALISIS STRUKTUR
ROMAN ANAK PERAWAN DI SARANG PENYAMUN
Karya sastra merupakan sebuah totalitas. Sebagai sebuah totalitas, karya
sastra terdiri atas unsur-unsur, bagian-bagian, yang berkaitan satu dengan yang
lain dan menjalin ketergantungan. Unsur-unsur pembangun karya sastra itu
kemudian dikelompokkan menjadi dua bagian, unsur intrinsik dan ekstrinsik
(Nurgiyantoro, 2005:23).
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur
intrinsik dapat dijumpai dengan membaca karya sastra. Dalam penelitian ini,
unsur intrinsik berfungsi menguraikan isi roman secara sistematis ke dalam unsur-
unsur yang telah ditentukan dengan tujuan mempermudah pelaksanaan penelitian
psikologi sastra sebagai fokus utama. Unsur intrinsik menjangkau banyak hal dan
batasnya adalah seluas karya sastra sebagai objek. Penelitian ini secara khusus
membatasi unsur-unsur yang dikaji dalam penokohan, alur, dan latar sebagai fakta
cerita. Analisis unsur intrinsik ini menjadi signifikan terhadap analisis psikologi
sastra yang dilakukan dalam bab selanjutnya.
2.1 Analisis Struktur
Analisis struktur dalam penelitian ini merupakan kajian awal sebelum
melaksanakan analisis psikologi sastra. Teeuw (2015:119) berpendapat bahwa
analisis struktur tidak mutlak harus dilakukan, tetapi memang penting dan perlu
sebagai upaya menyistematikkan proses membaca dan memahami karya sastra.
Pendekatan struktural terhadap karya sastra pada dasarnya bertujuan
18
mempermudah penelitian terhadap karya sastra dengan mengelompokkan unsur-
unsur karya sastra secara eksplisit.
Karya sastra berdasarkan analisis struktural terdiri atas unsur-unsur yang
memiliki keterkaitan antarhubungan satu-sama lain. Kaitan antarhubungan itu
memiliki pertalian yang erat. Meskipun terpisah dan mempunyai batasan masing-
masing, unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari situasi
rumit dan dari hubungannya dengan unsur lain. Dalam memahami karya sastra
terlebih dahulu haruslah memperhatikan jalinan antarunsur sebagai bagian dari
keseluruhan (Pradopo, 2011:142).
Dalam penelitian ini diuraikan unsur-unsur intrinsik karya sastra yang
mencakup: penokohan, alur, dan latar. Analisis struktural dilaksanakan sebagai
upaya mempermudah pengungkapan nilai psikologis yang terdapat dalam roman
Anak Perawan di Sarang Penyamun.
2.1.1 Penokohan
Dalam pembicaraan fiksi, penokohan merupakan salah satu unsur yang
paling penting, khususnya karya sastra dengan medium roman, penokohan
menjadi posisi strategis sebagai sebuah ide yang hidup. Penokohan atau secara
khusus tokoh diaktualisasikan dalam plot dengan serangkaian insiden yang terjadi,
dan latar menjadi penegas diimplementasikannya plot dalam cerita (Nurgiyantoro,
2005:164).
Definisi mengenai penokohan sering membias karena pengertian
perwatakan dan karakterisasi. Meskipun tidak menunjuk pada pengertian yang
19
terlalu berbeda, dalam penelitian ini digunakan istilah penokohan terhadap
analisis tokoh-tokoh roman dengan rujukan pernyataan Jones (dalam
Nurgiyantoro, 2005:165) yang berpendapat bahwa penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Menurut Lajos Egri (dalam Sukada, 1987:135) perwatakan memiliki tiga
dimensi sebagai struktur pokoknya, yakni: fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Ketiga dimensi tersebut dalam psikologi menjadi bagian dari “teori perkembangan”
khususnya “teori konvergensi” di satu pihak, dan teori mengenai perasaan emosi,
khususnya “teori kepribadian” di pihak lain. Wellek dan Warren menyebut ketiga
dimensi tersebut dengan istilah block characterization.
Pada penelitian ini secara khusus, analisis tokoh akan menggunakan tiga
dimensi penokohan Lajos Egri. Dimensi fisiologis merupakan ciri-ciri fisik yang
terdapat dalam tokoh. Hal ini merupakan aspek yang digambarkan dapat
diobservasi secara indrawi. Dimensi sosiologis berhubungan dengan keadaan
sosial seorang tokoh, di antaranya agama, pendidikan, pekerjaan, kedudukan
sosial, suku, dan sebagainya. Dimensi psikologis adalah aspek mentalitas tokoh.
Kondisi kejiwaan tokoh dipaparkan melalui dimensi psikologis dengan
berdasarkan pada watak yang disandang tokoh tersebut.
Nurgiyantoro (2005:176) mengelompokkan tokoh berdasarkan tingkat
kepentingannya menjadi dua kelompok. Tokoh utama dan tokoh tambahan.
Analisis penokohan di dalam penelitian ini menggunakan rujukan pernyataan
Nurgiantoro dengan membatasi ulasan pada tokoh utama saja. Tokoh utama
20
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
2.1.1.1 Sayu
Sayu merupakan tokoh utama yang menjadi judul roman Anak Perawan
Di Sarang Penyamun. Berdasarkan dimensi fisiologis, tokoh sayu digambarkan
sebagai seorang gadis belia pada umur belasan, berparas cantik dan menawan.
Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Melihat api itu rupanya perempuan muda itu sangat cemas, sehingga ia
berdiri dan berteriak minta tolong.
Memandang perawan remaja itu, medasing raja penyamun yang tak tahu
iba-kasihan usahakan kasih-sayang itu, terhenti sejurus tak dapat maju
melangkah, laksana orang yang kena pesona. (hlm. 26)
Sudut pandang penilaian kecantikan Sayu tidak objektif. Kecantikan sayu
digambarkan melalui sudut pandang tokoh laki-laki, yakni Medasing dan Samad.
Tokoh penyamun lain tidak menampakkan implikasi ketertarikan kepada Sayu.
Ketertarikan dua tokoh laki-laki ini menyebabkan penggambaran tokoh Sayu
berlebihan. Perhatikanlah sudut pandang Medasing di dalam kutipan berikut.
Sinar ke-merah2an jatuh ke muka gadis yang kuning jelita itu, sehingga
hampir menyerupai loyang yang baharu digosok. Rambutnya yang lebat,
sebagai terurai kemuka melampaui bahunya dan sebahagian kebelakang
sampai kebalik lututnya. (hlm. 26)
Berdasarkan dimensi sosiologis, tokoh Sayu merupakan putri seorang
saudagar asal kota Pagar Alam, Sumatera Barat. Predikat haji pada ayah Sayu
mengindikasikan kuatnya keyakinan keluarga Sayu pada agama Islam. Sebagai
seorang putri saudagar, Sayu mendapatkan pendidikan sebagaimana keturunan
seorang pemuka masyarakat. Simaklah kalimat dibawah ini.
21
Sebagai seorang anak yang taat beribadat dari kecil, segala kewajiban
agama itu telah menjadi darah dagingnya. Dan sekarangpun dalam
perasingannya ditengah hutan, jauh dari kaum-kerabatnya dan segala
manusia, taklah ia hendak meninggalkan pekerjaan yang dianggapnya
kewajiban yang pertama (hlm.63)
Sayu diimplikasikan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama islam.
Meskipun tinggal di sarang penyamun, Sayu digambarkan taat menjalankan
ibadah. Keteguhan hati Sayu pada moral dapat dilihat di dalam interaksinya
dengan Samad. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Sebagai seorang yang dari kecilnya diajar mengerjakan dan menghormati
suruhan agama, pedih hati perawan itu mendengar laki2 itu bersumpah,
sebab telah pasti di hatinya, bahwa bagaimana sekalipun, perkataan Samad
tiada boleh dipercaya, bahwa sekaliannya itu, sampai ke sumpahnya, tak
lain dari pada penutup sesuatu yang rendah, yang tak dikatakannya. (hlm.
61)
Sayu secara psikis berwatak penyabar dan pasrah. Di tahap awal alur cerita,
tokoh Sayu lebih sering meratapi kemalangan nasibnya, kemudian perlahan
berkembang bersamaan dengan konfrontasinya dengan berbagai tokoh. Meskipun
menyimpan dendam dan benci kepada para penyamun, perilaku Sayu cenderung
pasif dan kooperatif. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Maka ter-sedu2lah ia; kalau diturutkannya hatinya hendak ia meraung se-
kuat2nya, tetapi ia takut jabalan yang tidur itu terbangun, datang memaksa
ia menutup mulut.
Gemetar dan mengigil pula badannya memikirkan tangan mereka yang
kasar dan rupa mereka yang buas. Sekarang ia terserah kepada mereka,
tiada dapat berbuat suatu apapun. (hlm. 31)
Pada kutipan diatas digambarkan Sayu dalam kesedihannya. Reaksi Sayu
terhadap penyamun ketika disandera awalnya menunjukkan penolakan. Ia merasa
benci dan jijik kepada para penyamun yang menyanderanya, sebagaimana
terdapat pada kutipan berikut.
22
Tiada beberapa jauh dari padanya terletak sebuah lembing dan iapun
mengulurkan tangan akan mengambilnya. Tetapi saat itu juga ditariknya
kembali tangannya itu; meremang bulu kuduknya melihat darah berlumur
pada tangkai dan mata lembing itu. Selangkah2, amat hati2, penuh jijik
dan benci pada manusia binatang itu, berjalanlah ia ke arah tangga. (hlm.
31)
Kebencian Sayu kepada penyamun lama kelamaan menjadi pudar. Sayu
mulai menerima kehidupannya di hutan. Ketabahan Sayu tercermin pada
usahanya menempatkan diri dalam lingkungan sosial penyamun dengan
membantu mereka. Perhatikanlah kutipan berikut.
Hari itu pertama kali ia menyediakan makanan bagi kawan penyamun dan
dengan hal yang demikian mulailah ia menyelakan dirinya di penghidupan
raja2 rimba yang kukuh dan kuasa, buas dan ganas, yang sangat
berlawanan dengan badannya yang lemah dan pekertinya yang lembut.
(hlm. 64)
Kebesaran hati Sayu membuat ia dapat menerima kehidupannya sebagai
bagian dari para penyamun. Meskipun cara hidup penyamun bertentangan dengan
moralnya, Sayu menerimanya dengan tulus. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
Sayu segera menutup pondok. Meskipun telah beberapa kali ia tinggal
seorang diri ditengah rimba yang lebat itu, takutnya belum juga lenyap2
Pintu dan jendela dikuncinya erat2 dan iapun pergilah merebahkan dirinya
di tempat tidur yang teruntuk baginya. (hlm. 70)
Tokoh Sayu dibentuk dalam tiga dimensi penokohan yang kuat.
Berdasarkan pada hubungan yang dimunculkan aspek sosiologis dan psikologis,
penokohan tokoh Sayu dekat dengan realitas. Pengarang menempatkan Sayu pada
posisi seorang putri saudagar, maka dengan sendirinya tokoh Sayu memiliki
kecenderungan pada keterdidikan dan kemuliaan. Hubungan yang muncul antara
tokoh dengan plot mengalami keterkaitan tanpa bisa dilepaskan satu dengan yang
23
lain, karena interaksi tokoh dalam cerita hanya mungkin terjadi akibat adanya
kesenjangan antara golongan satu tokoh (penyamun) dengan yang lain (saudagar).
2.1.1.2 Medasing
Medasing merupakan tokoh utama roman Anak Perawan di Sarang
penyamun. Ia menjadi tokoh yang paling sering dijadikan sudut pandang cerita
dari keseluruhan bab dalam roman ini.
Berdasarkan dimensi fisiologis, Medasing digambarkan sebagai pria
bertubuh besar dan kokoh. Diceritakan bahwa udara hutan yang bersih dan
suasana yang damai menyuburkan pertumbuhan Medasing. Hal ini digambarkan
dalam kutipan berikut.
Dengan hal yang sedemikian besarlah ia didalam hutan yang sunyi
ditengah perampok itu. Penghidupannya yang berat menyebabkan ia biasa
akan sengsara dan kuat bekerja. Udara hutan yang segar seakan-akan
menyuburkan badannya. Lambat-laun ia menjadi seorang bujang yang
kukuh dan bidang dan masa itulah ia mulai pula menurut pergi menyamun.
(hlm. 7)
Tokoh Medasing digambarkan dengan kebugaran fungsi fisik dan mental.
Medasing merupakan salah seorang penyamun dengan ciri-ciri yang mencolok,
sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut.
Lama-kelamaan, oleh karena tak lain yang dilihat dan didengarnya, tak
lain pula kerjanya, maka iapun menjadi seorang penyamun sejati pula.
Pekerjaan menyamun yang mula2 amat ngeri pada matanya, kesudahannya
menjadi biasa dan matilah per-lahan2 hasrat didalam hatinya untuk
meninggalkan penghidupan yang tiada halal itu. Lambat laun iapun
menjadi kejam dan ganas, seperti sekalian penunggu hutan yang dahsyat2
itu.
Ketika itulah ia makin lama makin dihormati kawan2nya, karena badannya
teguh, pikirannya tajam dan ia pandai berjuang dan berani, se-akan2 badan
dan nyawanya tiada berharga sedikit juapun baginya. (hlm. 8)
24
Secara sosiologis Medasing merupakan kepala dari para penyamun.
Meskipun ia cenderung asosial, para penyamun sebenarnya memiliki lingkungan
sosialnya sendiri di dalam hutan. Medasing semula berasal dari tanah Pasemah. Ia
diimplikasikan menganut agama Islam. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Ia berasal dari sebuah dusun kecil, jauh sebelah selatan tanah Pasemah.
Dahulu dusun itu ternama kayanya dan pada suatu ketika ia diserang oleh
sekawan penyamun gagah-perkasa. Sekalian penduduk itu melarikan
dirinya, masing2 melindungkan diri supaya jangan dimusnahkan oleh
kumpulan perampok yang kejam itu. (hlm. 7)
Selain mengandalkan perbekalan yang dibawa oleh Samad secara teratur,
para penyamun juga mencari makan dengan berburu di hutan. Medasing berburu
rusa dan ikan. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Di dekat pondok dan terutama sekali dekat mereka menghidupkan api
amat banyak tulang dan bekas kulit binatang. Untuk makan se-hari2
penyamun2 itu sering pergi berburu rusa, napuh dan binatang hutan yang
lain. (hlm. 12)
Sebagai seorang perampok, Medasing mempunyai mental yang berbeda
dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Berdasarkan dimensi psikologis
Medasing diceritakan berwatak tidak mempunyai rasa takut, sombong, kejam, dan
pemarah.
Medasing mengangkat tangannya seketika dan senjatanya disusunnya di
tanah; maka berkatalah ia sambil memandang ber-ganti2 kepada sekalian
teman2nya itu: ,,Takutkah kita dibuat serupa itu? Boleh kubakar rumahnya
di Pulau Pinang dan kubunuh sekalian anak-isterinya.” (hlm. 13)
Kondisi psikis tokoh Medasing berubah sebagai persona yang berbeda
pada bagian terakhir sebagai pesirah Karim. Ia diceritakan berbudi luhur, taat
beragama, ramah, pemurah, dan penuh kasih-sayang.
Siapakah yang tidak tahu akan pesirah Karim yang ramah2 kepada segala
orang, baik kaya maupun miskin? Yang telah ber-tahun2 memerintah di
25
Pagar Alam dan sekitarnya, senantiasa memikirkan nasib rakyat yang
terserah kepadanya, sebagai seorang bapa yang bersedih hati apabila
anaknya bersedih hati, dan bersukacita apabila anaknya bersukacita. (hlm.
102)
Watak tokoh Karim digambarkan berlawanan dengan wataknya sebagai
Medasing. Karim berwatak luhur dan tersohor dengan kasih sayangnya,
sebagaimana digambarkan kutipan di bawah ini.
Dari sapinya itu pesirah karim berjalan per-lahan2 menuju ke balai yang
ketika itu telah gelap oleh sebab pelita yang terletak di-tengah2nya hampir
padam. Lantai bambu yang beralaskan tikar itu ber-derit2 diinjaknya,
tetapi ketika ia ingat, bahwa di balai itu tempat anak buahnya tidur,
ditahannyalah langkahnya, sebab ia tidak hendak membangunkan mereka.
(hlm. 106)
Pengarang menempatkan Medasing sebagai tokoh yang tidak terlalu
banyak memberi pendapat, fungsinya memberikan sudut pandang yang jelas
terhadap pembaca. Penokohan Medasing bertujuan agar pembaca menciptakan
simpati dan empati terhadap tokoh utama, terlepas dari jarak realitas dengan
bacaan.
2.1.1.3 Samad
Samad merupakan salah satu aggota komplotan penyamun. Samad bekerja
sebagai mata-mata bagi Medasing dengan menyediakan informasi untuk
rombongan yang akan melalui jalur Lahat-Pasemah. Secara fisiologis, Samad
digambarkan sebagai lelaki bertubuh besar dan kukuh, menyerupai kawannya,
sebagaimana terdapat dalam kutipan di bawah ini.
Se-konyong2 kedengaran diantara pohon2 kayu di sekeliling mereka bunyi
orang melangkah dan tiada berapa lama antaranya, tampillah kemuka
seorang laki2 memikul keruntung di belakangnya. Laki2 itu besar kukuh
26
pula seperti penyamun2 berlima itu dan dibahunya disandangnya sebuah
senapan lantak yang tua.(hlm. 13)
Samad tinggal di dusun Tanjung Pinang. Secara sosiologis, Samad tinggal
di dua lingkungan sosial, yakni di kota dan di hutan. Di kota, ia bekerja sebagai
pedagang hasil jarahan para penyamun. Sebagai bagian dari para penyamun,
Samad dipercaya oleh kawannya menjadi mata-mata di kota, sekaligus bertugas
membawakan komplotannya perbekalan untuk hidup di hutan. Perhatikanlah
kutipan di bawah ini.
SAMBIL berjalan menuju ke pondok, Samad tidak ber-henti2 memikirkan
maksud yang timbul dihatinya, sejak mendengar cerita Sayu dan
permintaannya akan pertolongan.
Di dusun Pulau Pinang ia telah beristeri dan mempunyai dua orang anak.
Tetapi hal itu tidaklah dapat menahan cinta-birahinya kepada Sayu yang
amat cantik terpandang kepada matanya. (hlm. 36)
Berdasarkan dimensi psikologis, tokoh Samad diceritakan berwatak
pengecut, penuh tipu muslihat, dan ambisius. Oleh karena itu, Samad tidak pernah
ikut dalam penyamunan, sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut.
Maka sekejap bangkitlah pula sangkaan dalam hatinya, bahwa yang
dilihatnya tadi itu tak benar, bahwa ia telah diperdayakan matanya: Dari
mana pulakah yang datang seorang perempuan dalam pondok penyamun
itu?
Ketika itu bangkitlah takutnya, sebab ia teringat akan setan iblis, penunggu
hutan yang sering didengar ceritanya, tetapi belum pernah ditemuinya
selama ia selalu ber-ulang2 masuk rimba seorang diri. (hlm. 34)
Ketertarikan Samad kepada Sayu berubah menjadi obsesi. Sejak
pertamakali melihatnya, Samad berusaha melarikannya Sayu dari hutan.
Perhatikanlah kutipan berikut.
Ketika selesailah cerita Sayu, Keyakinannya telah pasti: Perawan yang
secantik itu takkan dibiarkannya dengan kawan penyamun. Dengan segala
usahanya akan dicobanya membawanya ke tempat yang lain. (hlm. 35)
27
Samad selalu berusaha bersikap manis pada Sayu untuk dapat
mempengaruhi hatinya. Ketakutan Samad pada Medasing dan kecurigaan Sayu
akhirnya membuat Samad melakukan segala cara untuk menyingkirkan kawan
penyamunnya demi mendapatkan Sayu.
Demikianlah sepanjang jalan Samad tak ber-henti2 mencari akal,
bagaimana nanti ia akan menerangkan kepada Sayu, apa sebabnya maka ia
tiada kembali menemuinya dibawah pohon akan memulangkannya kepada
orang tuanya. Ia belum putus asa, perawan cantik yang telah percaya
kepadanya itu, tidak akan mudah dilepaskan. (hlm. 43-44)
Pengarang menempatkan samad dalam posisi tokoh antagonis. Hal yang
menarik adalah ketidakmampuan Samad dalam melakukan kekerasan pada Sayu
meskipun ia–boleh dituding sebagai–seorang kriminal. Samad dibangun sebagai
individu yang tidak bertanggungjawab secara sosial, sehingga dalam masyarakat
yang menjunjung adat, perilaku seperti Samad akan cenderung dijauhi. Pengarang
berusaha mengambil kemampuan pembaca dalam mengasosiasikan dirinya
terhadap Samad sebagai tokoh antagonis.
2.1.2 Alur
Plot secara tradisional diartikan sebagai alur atau jalan cerita. Alur
sesungguhnya tidak sekadar cerita. Aristoteles (dalam Butcher, 1902:25)
berpendapat bahwa plot adalah arrangement of incidents atau rangkaian peristiwa.
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:91) mengemukakan bahwa alur adalah sebuah
urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu.
Atmaja (1986:48) mengemukakan bahwa plot mampu mengontrol
kecepatan dan mengatur penekanan, serta memberikan pemahaman variasi yang
28
dimunculkan pengarang untuk pembaca. Plot menjadi aksi dari bahasa. Upaya
memahami plot juga merupakan upaya memahami gagasan utama yang terdapat
dalam keseluruhan cerita karya sastra.
Untuk memeroleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles (dalam
Nurgiyantoro, 2005:142) mengemukakan bahwa sebuah cerita harus terdiri dari
tiga tahapan, yakni: tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap
akhir (end). Ketiga tahapan ini menunjukkan keutuhan cerita. Petronius (dalam
Fananie, 2002:93) juga mengemukakan pendapat yang searah. Ia membagi
tahapan alur dalam tiga bahasan. Pertama, eksposisi (setting forth of the begining).
Kedua, konflik (a complication that moves to climax). Ketiga, Peleraian atau
Denouement (literally, “unknotting”, the outcome of the conflict; the resolution).
Dalam penelitian ini akan digunakan sistematika alur cerita Aristoteles dalam
mengurai keutuhan unsur alur roman Anak Perawan di Sarang Penyamun.
Analisis alur cerita dalam penelitian ini membutuhkan uraian perkembangan
tokoh bersamaan dengan berkembangnya cerita. Pembagian tahap cerita
Aristoteles digunakan karena mampu mengungkapkan gradasi perkembangan
tokoh di dalam cerita.
2.1.2.1 Tahap Awal
Tahap awal merupakan tahap perkenalan dalam cerita. Dalam tahapan ini,
terdapat banyak informasi tentang tokoh, latar belakang dan penyudutpandangan
untuk membangun empati pembaca. Alur cerita tahap awal dimulai dengan
ekposisi tentang tokoh komplotan penyamun yang tinggal di hutan. Pengetahuan
29
awal untuk dapat memahami latar, suasana, dan gagasan utama cerita muncul
pada bagian ini. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Ditengah rimba yang lebat itu mengalir sebuah anak air, jernih dan deras
diantara batu yang besar2. Sebelah hilir, sungai kecil itu melintas tebing
dan disana ia jatuh ber-derai2 sebagai pecahan kaca, sambil menyerakkan
bunyi yang gemuruh (hlm. 5)
Kutipan di atas menggambarkan latar. Fungsinya mengenalkan pembaca
pada latar tempat cerita terjadi. Dengan penggambaran yang rinci, pengarang
berupaya membuat pembaca menghayati cerita.
Penganalan pada tokoh dilakukan dengan asosiasi terhadap nilai-nilai
kebuasan. Para penyamun digambarkan dengan kegagahannya, sebagaimana
terdapat dalam kutipan di bawah ini.
Didalam pondok itu terlentang lima orang laki2 , sekaliannya kukuh-besar,
lebih dari manusia biasa. Ke-lima2nya tiada berbaju, hanya memakai
secamping kain sampai hingga pinggang. Dari badan mereka mengalir
peluh amat banyak, sebab hari itu tiada ter-kata2 panasnya. (hlm.5)
Perkenalan tokoh dilakukan secara lebih rinci melalui perilakunya dalam
cerita. Pada bagian awal muncul narasi yang mendeskripsikan rincian fisiologis
atau perwatakan. Perhatikanlah kutipan ini.
Sekalian penyamun yang lain melihat kepadanya. Teman2nya sekaliannya
tahu, bahwa kadang2 agak sombong bunyi cakap kepalanya itu. Tetapi hal
itu tiada terasa benar kepada mereka, sebab menilik kepada badannya,
kepada ilmunya, Medasing sebenarnya bukan manusia biasa. (hlm. 13)
Dalam roman Anak Perawan di Saarang Penyamun, yang terdiri atas 19
bab, 7 bab pertama merupakan tahapan perkenalan cerita. Masing-masing bab
mempunyai penekanan. Meskipun tiap-tiap bab menggunakan sudut pandang
karakter yang berbeda, tetapi hubungan kejadian-kejadian yang membentuk plot
mengalir menuju arah yang jelas.
30
2.1.2.2 Tahap Tengah
Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian. Pada tahapan ini konflik
meningkat dan berkembang sebagaimana telah diperkenalkan pada tahap
sebelumnya. Pada tahap ini juga cerita banyak berkembang dan menjadi bagian
penting dalam memberikan hubungan sebab akibat pada alur cerita.
Konflik yang berkembang bermula pada saat Sayu berinteraksi dengan
Samad. Ketidakpercayaan Sayu berkembang semakin kuat ketika Sayu melihat
Samad mencoba mencurangi kawan penyamunnya. Sedangkan upaya Samad yang
tidak menyerah untuk merayu Sayu malah memperkuat kecurigaan dan
ketidakpercayaan.
Waktu itu pulalah bangkit disisi benci dan dendam didalam hatinya
perasaan takut. Samad senantiasa melihat kepadanya; lagi pula nyata benar
ia selalu men-cari2 jalan akan bercakap, akan ber-ramah2 dengan dia. (hlm.
58)
Upaya Samad yang senantiasa bersabar akhirnya tidak membuahkan hasil
yang diharapkan. Sayu yang semula takut pada kawanan penyamun mulai terbiasa
dan menyesuaikan kehidupannya dengan mereka. Perhatikanlah kutipan berikut.
Sementara itu bagi dirinya sendiri didalam pondok itu dibuatnya sebuah
ruang, agar ia terpisah dari laki2 bertiga itu.
Oleh pekerjaan yang tak habis2, yang tiap2 hari tetap memakai tenaga dan
minatnya agak terlelanglah hatinya. (hlm. 67)
Setelah lama tinggal di hutan, Sayu mulai merasa nyaman. Perlahan-lahan
kebiasaan hidup di sarang penyamun menyebabkan Sayu menganggap dirinya
sebagian dari komplotan penyamun, sebagaimana terdapat dalam kutipan di
bawah ini.
31
Dalam ber-bulan2 itu makin lama makin biasalah terasa kepadanya
penghidupan ditengah raja2 hutan dan kesunyian itu. Lambat-laun
sesungguhnya dengan tiada diketahuinya dianggapnya dirinya sebahagian
dari kawan penyamun itu. (hlm. 66)
Samad yang kehabisan akal mencoba menjebak para penyamun. Di kota ia
mendengar bahwa sepasukan tentara akan melalui jalur Lahat-Pasemah. Simaklah
kutipan berikut.
Pada suatu hari ia pergi pula ke Lahat. Disana didengarnya berita, bahwa
dua hari lagi akan bertolak beberapa buah gerobak ke Pagar Alam
membawa makanan, alat senjata dan keperluan lain. Gerobak itu akan
diiringkan oleh sepasukan serdadu, sebab sekalian yang dibawanya ialah
untuk keperluan militer di daerah Pasemah. (hlm. 68)
Samad menunjukkan bahwa dalam memenuhi keinginannya ia rela
melakukan segala cara. Dengan maksud menumbalkan kawan-kawannya, Samad
membohongi Medasing dan menceritakan akan ada saudagar kaya melalui jalur
Lahat-Pasemah. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Mendengar khabar itu terpikir sekali kepadanya sebuah akal yang pasti
segera akan menyampaikan cita2 yang telah lama diidamkannya itu.
Setelah ditimbangnya masak2, pergilah ia keesokan harinya ber-gesa2 ke
rimba tempat pondok itu. Se-hari2an itu tiada ber-henti2 ia berjalan dan
pada petang hari sampai pulalah ia pada kawan2nya. Diceritakannya,
bahwa keesokan harinya akan bertolak dari Lahat seorang Pasemah yang
kaya di rantau….. (hlm. 69)
Tidak disangka oleh Samad, karena kekurangan tenaga, Medasing
mengajak Samad menyamun. Penyamunan berakhir dengan kegagalan. Tusin mati
tertembak dan Samad melarikan diri dari hutan.
Setelah upaya perampokan gagal, Samad tidak pernah kembali dan salah
satu di antara mereka meninggal tertembak. Tinggal Medasing, Sanip, dan Sayu
yang tinggal di hutan. Perhatikanlah kutipan berikut.
32
SUNYI bertambah sunyi dalam pondok tempat penyamun itu; mereka
yang dahulu berlima sekarang hanya tinggal berdua lagi.
Pada suatu hari Medasing dan Sanip pergi berburu beberapa jauh, masing2
menyandang tombak dan pada pinggang mereka ter-buai2 parang dalam
sarung kayunya. (hlm. 79)
Konflik mengalami stagnasi. Ketiadaan Samad menurunkan intensitas
konflik dalam cerita.
Pada sebuah perburuan, Sanip meninggal dan Medasing terluka parah.
Meskipun dengan susah payah Medasing berhasil kembali ke pondok, namun
kehilangan kesadarannya. Terlepas dari kebenciannya kepada penyamun, Sayu
merawat Medasing dengan tulus. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Selama ia mengerjakan pekerjaan itu, taklah ia ingat akan suatu apa. Yang
tampak dimukanya hanya laki2 yang pingsan, yang segera harus
ditolongnya. Sebab kalu laki2 itu mati apakah jadinya, seorang diri
ditengah rimba yang lebat dan sunyi-senyap? (hlm. 86)
Konflik meningkat kembali seiring dengan tumbuhnya keterikatan antara
Medasing dengan Sayu. Rasa benci Sayu, bercampur dengan ketidakberdayaan
Medasing mengarahkan plot pada bagian klimaks.
Oleh sebab tiap2 hari merawati penyamun itu, lambat-laun hilang takut
Sayu kepadanya. Demikianlah pada suatu hari diberanikannya hatinya
bertanya kepada Medasing, dimana Sanip ditingalkannya. Ketika itulah
didengarnya cerita perburuan yang sial itu dari mula sampai akhirnya.
(hlm. 88)
Meskipun telah lama tinggal di sarang penyamun diimplikasikan bahwa
Sayu tetap membenci Medasing. Hal yang membuat sayu tinggal dan tetap
merawat Medasing adalah keteguhannya pada moralitas, sebagaimana terdapat
dalam kutipan berikut.
Kalau ditinggalkannya medasing seorang diri di rimba itu, sebenarnya tak
seorang juapun dapat menghalanginya. Tetapi apakah yang akan terjadi
atas dirinya, sebab ia tiada tahu jalan sedikit juapun dalam hutan yang
33
lebat itu. Tentu akhirnya ia akan dimusnahkan oleh binatang hutan atau
mati kelaparan seorang diri didalam sunyi-senyap. (hlm. 88)
Ketulusan Sayu menyebabkan Medasing membuka diri. Medasing mulai
menceritakan asal-usulnya ketika disandera oleh penyamun. Penilaian Sayu
terhadap Medasing berubah, ia memutuskan membujuknya pergi dari sarang
penyamun. Simaklah kutipan ini.
Didalam hatinya terpikir kepadanya betapakah baiknya kalau ia dapat
menggerakkan hati penyamun itu pulang ber-sama2 dengan dia ke Pagar
Alam, ke rumah ayah-bundanya. Dengan jalan yang serupa itu akan
terpisahlah ia dari kesunyian ditengah hutan yang jauh dari tempat
kediaman manusia itu. (hlm. 89)
Plot mengalami klimaksnya ketika Medasing memutuskan menyerah dari
pekerjaannya sebagai penyamun. Sayu dan Medasing memutuskan untuk pergi
dari hutan menuju Pagar Alam. Perhatikanlah kutipan berikut.
Maka ujarnya pula menyambung kata yang mula2: ,,Baiklah kita
meninggalkan hutan ini, kembali ke Pagar Alam, kalau tidak pastilah kita
mati kelaparan.
Sambil berkata, dengan tiada terasa kepadanya, mengalirlah di pipinya
yang halus air mata tak ber-henti2. Dari matanya air yang jernih itu
menyisi hidung sampai ke bibir dan ketika terasa kepadanya sayup2 suara
segala orang yang mengelilinginya dari kecilnya. (hlm. 90)
Sesampainya di Pagar Alam, Sayu dan Medasing menemuui Nyi haji
Andun. Nyi Haji Andun meninggal ketika melihat Sayu. Medasing yang tersentuh
oleh kematian Nyi Haji Andun memutuskan bertaubat dari kehidupan penyamun,
sebagaimana terdapat pada kutipan di bawah ini.
Berpuluh kali ia telahmenghadapi orang memutus nyawa . . . luka
berlumur darah, hancur-remuk badannya, ber-teriak2 . . . . Tetapi belum
pernah sesesak itu dadanya, ketika ia melihatperempuan, kulit melekat
pada daging itu, menghembuskan napasnya yang penghabisan, tak
bergerak, tak berbunyi, lemah-lembut seperti kanak2 yang terlelap.
Jauh didalam hatinya menyayat dan membakar keinsyafan akan dosa yang
tak ada bandingannya! (hlm. 100)
34
Bagian pertikaian ini terhitung berjumlah 10 bab dari keseluruhan 19 bab
yang terdapat dalam roman. Klimaks cerita ditandai oleh perubahan nilai yang
dianut oleh Medasing. Bagian klimaks sekaligus memberikan tendensi pada tema
pokok yang dibangun perlahan dalam keseluruhan cerita, yakni pertaubatan.
2.1.2.3 Tahap Akhir
Tahap akhir cerita merupakan bagian yang menampilkan sesuatu yang
terjadi sebagai akibat dari klimaks. Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:146)
membagi bagian akhir sebuah cerita menjadi dua kemungkinan: akhir bahagia
(happy end) dan akhir sedih (sad end).
Roman Anak perawan di Sarang Penyamun mengarahkan penyelesaian
ceritanya menuju akhir bahagia (happy end). Medasing muncul sebagai persona
baru dengan nama Karim yang telah berupaya menebus dosanya sebagai
penyamun. Gagasan yang hidup dalam Karim merupakan tema pokok dalam
keseluruhan roman Anak Perawan di Sarang Penyamun, yakni nilai pertaubatan
yang tanpa batas. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Tetapi bukan kekuatannya yang ditakuti orang, bukan pikirannya yang
tajam dan bukanlah kekayaannya yang banyak yang menyebabkan orang
senegerinya, sampai2 jauh di bahagian Pasemah yang lain, hormat, malu
dan segan kepadanya, yang menyebabkan ia berbahagia dalam hidupnya.
Dalam ketaatan akan ibadat, sifat pengasih dan pemurah dan budi yang
halus, yang meninggalkan derajat ditengah manusia dan menetapkan
tempat yang terpilih di akhirat yang esa, sekaliannya Sayulah yang
membangkitkan didalam jiwanya. Sebab lain dari pada segala yang fana
itu ada yang lebih berharga, yang tiada turut terkubur dengan bungkusan
hayat. (hlm. 110)
35
Penyelesaian cerita menunjukkan bahwa Medasing dan Sayu telah
menikah dan mempunyai keturunan. Setelah melaksanakan ibadah haji Medasing
hendak pulang ke Pagar Alam. Ketika bermalam di Lembah Endikat ia bertemu
dengan Samad. Merasa sepenanggungan, Medasing menawarkan bantuan hidup,
Samad yang rendah diri menolak dan pergi, sebagaimana digambarkan dalam
kutipan di bawah ini.
Demikianlah mereka bertolak sama2 meninggalkan lembah Lematang,
masing2 menurut arahnya!
Tetapi seorang di mercu kebesaran dan kemuliaan hidup manusia,
diiringkan oleh ber-puluh2 orang, penuh kegirangan dan bahagia dan yang
seorang lagi lemah-letih, hina-miskin dan sebatang kara menuju harapan
yang tak dapat diharapkan. (hlm. 112)
Bagian akhir terdiri atas 2 bab. Keduanya menceritakan kehidupan baru
Medasing sebagai Karim. Bagian ini mendefinisikan bagaimana masing-masing
tokoh berperilaku setelah mengalami perubahan atas insiden yang terjadi dalam
kehidupan mereka.
2.1.3 Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung (Stanton, 2012:35).
Latar bisa berwujud tempat, waktu, suasana, lingkungan sosial, politik, ekologi,
dan seterusnya. Meskipun tidak secara langsung, latar memberikan bingkai
sebagai batasan ruang berlangsungnya cerita.
Latar menjadi penting sebagai pijakan cerita dalam karya sastra. Proses
penghayatan cerita akan lebih mudah jika pengarang mampu menghadirkan
lingkungan yang khas. Atmaja (1986:52) mengungkapkan bahwa sesungguhnya
36
penggambaran adegan dalam sebuah cerita–yang membutuhkan kemampuan
pelukisan latar–memerlukan intuisi yang tinggi, sehingga penggambaran latar
yang baik akan mampu mendekatkan pembaca pada realitas karya sastra.
Latar roman Anak Perawan di Sarang Penyamun diuraikan dalam tiga
unsur berdasarkan pernyataan Nurgiyantoro (2005:227), yakni: latar tempat, latar
waktu, dan latar sosial. Meskipun memiliki bagian masing-masing, ketiga unsur
latar saling berkaitan satu sama lain.
2.1.3.1 Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa. Latar tempat bisa
merupakan lokasi dengan nama tertentu, atau bisa juga tempat imajinasi hasil
ciptaan pengarang.
Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun berlatar tempat di Pulau
Sumatera. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi secara implisit
terdapat beberapa lokasi yang pada kenyataannya berada pada wilayah Sumatera
yakni Kota Pagar Alam, Bandar, Gunung Dempo, Lembah Endikat, Lembah
Lematang, Palembang, Pulau Pinang, Pasemah, dan Lahat. Salah satu contohnya
dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini.
Sesungguhnya mereka itu sekawan penyamun. Tiap2 saudagar berharta
yang lalu diantara Lahat dan tanah Pasemah, tidak pernah dibiarkan
mereka berjalan dengan sentosa. Orang perjalanan itu diperiksa dan
sekalian yang berharga padanya dirampas mereka. (hlm. 5-6)
Tidak hanya terbatas pada latar tempat yang disebutkan secara spesifik,
tetapi juga terdapat latar tempat yang hanya dilukiskan tanpa lokasi spesifik. Latar
tempat semacam ini memiliki nuansa yang khas. Dalam roman ini terdapat
37
beberapa latar yang digambarkan untuk membangun suasana bacaan.
Perhatikanlah kutipan berikut.
Jalan yang ditempuh penyamun berlima itu amat sempit; daun pohon dan
perdu bertemu dan sebentar2 ber-desau2 bunyinya dilanggar mereka.
Sekali2 mereka menyuruk, berjalan membungkuk dibawah semak yang
rapat yang bertemu diatas kepala mereka sebagai atap yang rendah dan
lengkung. (hlm. 16)
Penggambaran latar di atas mengandalkan kemampuan medium
menghadirkan makna yang bersifat eksklusif pada karya sastra. Pembaca
merasakan kengerian suasana hutan pada malam hari yang disusuri oleh kawanan
penyamun. Pengarang berusaha menyampaikan keberanian para Penyamun,
terlepas dari kerasnya medan kehidupan di hutan.
Dari jalan rumah itu disembunyikan oleh pohon puding merah-kekuningan
dan beberapa pohon sauh yang lebat buahnya. Tiba di pekarangannya
barulah dapat melihat ke serambinya: Tangga yang lebar2 anaknya itu
agak terlampau curam naik dari bawah. Kiri-kanannya ada terali tempat
berpegang, yang berukir dan terbuat dari pada kayu yang indah. (hlm. 45)
Dalam kutipan di atas, pengarang menggambarkan suasana rumah yang
dikelilingi kebun. Tidak hanya pada kutipan ini, pengarang juga menunjukkan
kemampuannya dalam menyajikan suasana latar secara rinci. Salah satu
contohnya, dalam melukiskan latar hutan, pengarang mampu menyajikan
kedamaian pada latar hutan siang hari dan mengundang kengerian pada latar hutan
malam hari.
2.1.3.2 Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 2005:230). Latar waktu
38
biasanya dihubung-hubungkan dengan waktu secara faktual oleh pembaca sebagai
upaya memahami realitas karya sastra.
Terdapat implikasi bahwa peristiwa yang terjadi dalam roman Anak
Perawan di Sarang Penyamun berlatar waktu pra-kemerdekaan Indonesia.
Informasi ini dideduksikan dari keberadaan realitas yang berhubungan dengan apa
yang terjadi pada cerita. Medasing mempunyai senapan tua, bukti dari keberadaan
pengaruh bangsa Eropa (zaman kolonialisme). Simaklah kutipan di bawah ini.
Kelima penyamun itu turun per-lahan2 dari pondok mereka, masing2
membawa senjata. Lembing di tangan dan parang di pinggang. Lain
daripada itu Medasing membawa pistol tuanya.
Hanya Samad yang tinggal tiada mengikut. (hlm. 16)
Para penyamun menggunakan senjata lembing dan parang sebagai alat
berburu dan merampok. Sanip dan Medasing menggunakan senjata tersebut ketika
berburu rusa, sebagaimana tergambar pada kutipan berikut.
SUNYI bertambah sunyi dalam pondo tempat penyamun itu; mereka yang
dahulu berlima sekarang hanya tinggal berdua lagi.
Pada suatu hari Medasing dan Sanip pergi berburu beberap jauh, masing2
menyandang tombak dan pada pinggang mereka ter-buai2 parang dalam
sarung kayunya. (hlm. 79)
Jejak kemajuan teknologi diimplikasikan dalam penggunaan senjata api
dalam keperluan militer. Meskipun lingkungan penyamun tidak memberikan
informasi mengenai kemajuan zaman, tetapi keberadaan senjata api memperjelas
kemajuan teknologi militer, mengingat senjata api bukan senjata domestik.
Seorang laki2 yang kukuh yang tak tidur, menjaga teman2nya,
mengeluarkan kepalanya dari pondok seraya menyiapkan senjata apinya
untuk memusnahkan binatang atau manusia yang telah berani mendekati
tempat perhentian mereka. (hlm. 72)
39
Informasi selanjutnya memberikan gambaran teknologi yang berkembang
pada latar waktu karya sastra. Penerangan yang digunakan berupa api, damar dan
obor. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
Akhirnya terpasang jualah pelita damar di tempat yang terlindung dari
pada angin dalam pondok itu. Dalam cahayanya yang bertambah lama
bertambah besar, tampaklah Haji Sahak mandi darah; isterinya tiada ber-
gerak2 dan anaknya yang perawan bergelung di sudut dekat pertemuan
dinding menyembunyikan muka, menanti apa yang akan terjadi atas
dirinya. (hlm. 24)
Alat transportasi jarak jauh belum berupa mesin otomatis, namun masih
mengandalkan hewan tunggangan. Latar waktu menceritakan ketika pengaruh
mesin-mesin belum terlalu besar serta penegakan hukum belum dapat dilakukan
secara optimal. Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
TIGA PULUH pedati menurun tebing yang curam melalui liku jalan.
Roda2 yang besar dan berlumpur, ter-hambung2, ber-degar2 diatas tahah
yang ber-batu2, dalam aluran roda yang dalam. Sapi yang keletihan ber-
busa2 mulutnya, mengangkatkan kepala meng-angguk2, bersetumpu
dengan kukunya yang berbelah di tanah dan batu, menahan dorong pedati
yang berat dari belakang. (hlm. 102)
Menurut keberadaan perusahaan dagang Belanda VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie), terdapat implikasi bahwa latar waktu terjadi antara
tahun 1602 sampai dengan 1942. Periode ini merupakan tahun aktif perusahaan
dagang Belanda VOC. Perhatikanlah kutipan berikut.
,,Pada kompeni?!” Apa yang kita takutkan kepadanya? Ia takkan dapat
mencahari tempat kita, selama masih Medasing namaku. Pagi lusa dapat
kita pindah dari sini ke tempat yang lebih tersembunyi lebih sulit dicari.”
(hlm. 13)
Meskipun tidak terdapat pemaparan secara eksplisit, latar waktu
diinduksikan berdasarkan beberapa informasi khusus yang terurai dalam cerita.
Bukti-bukti yang muncul sebetulnya tidak mengarah pada spesifikasi waktu
40
tertentu, tapi keberadaan hubungan cerita dengan realitas fakta sejarah telah
memberikan kaitan latar dengan periode waktu tertentu. Sebagaimana telah
dikemukakan oleh Abrams (dalam Fananie, 2002:99), untuk mengetahui
ketepatan latar dalam sebuah karya dapat dilihat dari tiga indikator. Pertama,
general locale. Kedua, historical time. Ketiga, social circumstances.
2.1.3.3 Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya sastra
(Nurgiyantoro, 2005:233). Latar sosial memberikan ciri khusus yang berhubungan
dengan identitas suatu tempat. Kelebihannya adalah memberikan sanggahan pada
kedua komponen unsur latar lain dan memberikan warna khas latar yang
menunjang terjadinya sebuah cerita.
Latar sosial yang muncul sebagai peristiwa dalam roman ini merupakan
budaya migrasi darat yang dilakukan masyarakat Sumatera. Iring-iringan Haji
Sahak dari Palembang, merupakan latar sosial masyarakat Sumatera.
Perhatikanlah kutipan di bawah ini.
,,Ah, mengapa begitu? Jadi salah sangkaku?” tanya Samad dengan kecewa,
sebab dari rumah telah di-harap2kannya akan mendapatkan bagainnya dari
barang samunan. ,,Menurut perhitunganku ia sampai di lembah Endikat
waktu senja . . . . , tetapi rupanya masih siang, sehingga dapat berjalan
terus ke Bandar. Kalau begitu malam ini tentu ia bermalam di lembah
Lematang. (hlm. 14)
Dalam kutipan di atas, digambarkan bahwa Samad melakukan
penghitungan jarak waktu tempuh perjalanan. Ia memperkirakan lokasi
peristirahatan berdasarkan pengalamannya sebagai mata-mata.
41
Kemungkinan untuk memata-matai mengimplikasikan bahwa migrasi
yang dilakukan membutuhkan persiapan waktu yang panjang. Mengacu pada
premis sebelumnya maka jarak tempuh migrasi cenderung jauh, maka perjalanan
panjang biasanya dilakukan bersama. Perhatikanlahlah kutipan berikut.
Pada suatu hari ia pergi ke Lahat. Disana didengarnya berita, bahwa dua
hari lagi akan bertolak beberapa buah gerobak ke Pagar Alam membawa
makanan, alat senjata dan keperluan lain. Gerobak itu akan diiringkan oleh
sepasukan serdadu, sebab sekalian yang dibawanya ialah untuk keperluan
militer di daerah Pasemah. (hlm. 68)
Latar sosial yang dihadirkan dalam roman Anak Perawan di Sarang
Penyamun adalah masyarakat Sumatera. Pengarang menyajikan suasana
masyarakat yang terkenal dengan adat istiadatnya dan keteguhannya pada agama.
Pengarang mencoba mengekspos kontras antara penyamun dengan masyarakat
yang religius.
Top Related