1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kiribati adalah negara kepulauan yang terletak di tengah Lautan Pasifik,
antara 173 dan 177 derajat Garis Bujur Timur. Kiribati berada pada bentangan
khatulistiwa dan berdekatan dengan Garis Waktu Internasional (International Date Line).
Republik ini terdiri dari tiga kepulauan utama, yaitu Kepulauan Gilberts, Kepulauan
Phoenix, dan Kepulauan International Line atau Kepulauan Caroline.
Negara ini memiliki topografi yang unik, yakni daerah daratan yang landai, tidak
berbukit, tidak bergunung, dan juga bukan daratan tinggi, sehingga tidak ada yang
menghalangi pandangan mata ke matahari. Daratan di kepulauan itu dikelilingi lautan
yang luas yang berjarak ribuan mil dengan daratan lainnya. Seluruh daratan di kepulauan
itu paling tinggi mencapai 8 meter di atas permukaan laut, kecuali Pulau Banaba, dengan
luas keseluruhan kurang lebih 6 kilometer persegi. Kondisi alam semacam inilah di
Kepulauan Kiribati tidak ditemukan di seluruh tempat di muka bumi dan menjadi
kekhususan tersendiri.
Iklim yang kurang bersahabat diakibatkan oleh daerah yang dilalui angin timur,
sehingga pulau-pulau memiliki iklim khatulistiwa maritim, dengan kelembapan tinggi
selama musim hujan sekitar bulan November sampai dengan April. Meskipun pulau
tersebut terletak di luar sabuk badai tropis, terdapat angin kencang sesekali dan bahkan
tornado. Curah hujan bervariasi dari rata-rata 102 cm yang dekat dengan ekuator hingga
2
305 cm yang merupakan angka ekstrim di wilayah utara dan selatan. Kekeringan yang
parah juga bisa terjadi di Kiribati. Rata-rata terdapat kurang dari 1% variasi antara bulan
dingin dan panas, tapi suhu harian berkisar dari 25 derajat Celcius dengan suhu rata-rata
tahunan sebesar 27 derajat Celcius.
Kemiskinan tanah yang ekstrim dan variabilitas curah hujan yang tinggi membuat
budidaya tanaman mustahil dilakukan di wilayah tersebut. Hanya Babai (semacam
tumbuhan jenis talas), pohon kelapa, dan pohon pandan paling mudah tumbuh di pulau-
pulau di Kiribati. Babi dan unggas juga banyak terdapat di Kiribati, namun bukan satwa
asli. Hewan-hewan tersebut diperkenalkan oleh orang Eropa pada masa kolonial. Namun,
negara ini memiliki aneka satwa laut yang melimpah dan beraneka ragam seperti
layaknya negara kepulauan lainnya.1
Memang terdengar asing ketika mendengar Negara Kiribati di telinga kita. Karena
memang Negara Kepulauan Kiribati tidak sering dieskpos oleh media baik cetak maupun
elektronik. Namun Negara Kiribati ini mulai mencuat ke media ketika negara tersebut
menjadi negara pertama yang diprediksikan akan tenggelam terlebih dahulu akibat
dampak pemanasan global yang terjadi.
Negara ini merupakan negara yang paling menderita dan menjadi negara pertama
yang rusak akibat perubahan iklim global. Salah satu akibat dari pemanasan global telah
mengambil sebagian lahan negara yang terletak di tengah-tengah Lautan Pasifik tersebut.
Air laut yang meninggi telah menyentuh wilayah pemukiman warga. Hal ini
menimbulkan problema besar bagi negara kecil berpenghuni 113.000 orang tersebut,
1 Kepulauan Pasifik di Khatulistiwa Dapat Menjadi Tempat Pengungsian Terumbu Karang Dalam Iklim yang Menghangat Karena Perubahan Arus Samudera http://www.faktailmiah.com/2012/05/06/kepulauan-pasifik-di-khatulistiwa-dapat-menjadi-tempat-pengungsian-terumbu-karang-dalam-iklim-yang-menghangat-karena-perubahan-arus-samudera.html Diakses pada 24 September 2012
3
karena mereka tidak punya pulau lain di negara mereka yang dapat dipakai untuk
pindah.2
Untuk menyikapi problema besar ini, sang presiden sebelumnya telah
memperhitungkan sebuah rencana besar untuk membangun pulau buatan baru yang dapat
dihuni. Tetapi, entah karena biaya yang terlalu besar atau alasan lain, rencana ini
dibatalkan. Kini solusi mereka tertuju kepada sebuah upaya baru agar mereka diizinkan
untuk membeli daratan seluas 5000 are di wilayah pemerintahan militer Fiji, tepatnya di
Pulau Utama Fiji, Vanua Levu. Jika diperbolehkan, maka pemerintah Kiribati akan
segera memindahkan warganya ke tempat tersebut sedikit demi sedikit.3
Menurut laporan PBB, untuk negara-negara Kepulauan Pasifik Berkembang
(1992), masalah lingkungan yang paling signifikan yang dihadapi bangsa-bangsa di
daerah ini di dunia adalah pemanasan global dan naiknya permukaan laut. Variasi dalam
tingkat laut dapat merusak hutan dan daerah pertanian dan mencemari persediaan air
tawar dengan air garam.
Kenaikan permukaan laut untuk negara-negara dengan dua kaki (60 cm) akan
menenggelamkan Kiribati yang dihuni pada tahun 1996, seperti kenaikan ini diperkirakan
sebagai suatu kemungkinan pada tahun 2100. Kiribati bersama negara-negara lain di
daerah itu, rentan terhadap gempa bumi dan aktifitas gunung berapi. Akan tetapi, bangsa
ini juga memiliki fasilitas memadai untuk penanganan limbah padat, yang telah menjadi
perhatian lingkungan utama sejak tahun 1992, terutama di pusat populasi yang lebih
besar di Kiribati.
2 Kiribati Negara Pertama Korban Perubahan Iklim http://iklimkarbon.com/2012/03/14/kiribati-negara-pertama-korban-perubahan-iklim/ Diakses pada 25 September 2012 3 Ibid
4
Kesengsaraan yang dialami oleh penduduk negara Kepulauan Kiribati yang paling
utama dihadapi ialah air minum dan hasil kebun dirusak oleh air laut, ditambah dengan
badai yang menyebabkan erosi di sepanjang pantai. Kesengsaraan ini membuat para i-
Kiribati, demikian warga Kiribati dipanggil, sangat khawatir dengan kelangsungan
budaya mereka sehubungan dengan kepindahan yang nantinya ke Negara Kepulauan Fiji
di Vanua Levu. Dan yang dipindahkan terlebih dahulu ialah generasi muda yang sebagai
generasi penerus Kiribati dan berperan menjaga kelestarian budaya mereka.4
Keadaan ini diperburuk oleh buruknya higienis dan sanitasi akibat kekurangan air
yang menyebabkan melonjaknya angka kematian anak di Kiribati. Menurut Pelapor
Khusus mengenai hak atas air dan sanitasi PBB, Catarina del Albuquerque mengatakan
tindakan mendesak perlu dilakukan untuk mengatasi kekurangan air di antara 113.000
populasi negara itu. Ditambah lagi, Catarina de Albuquerque menyatakan bahwa situasi
yang terjadi seperti ini dikarenakan kurangnya fasilitas sanitasi yang semestinya.
Kemudian ia menyarankan pemerintah Kiribati perlu menciptakan sebuah departemen
khusus untuk mengatasi isu tadi dan menerapkan berbagai program untuk melakukan hal-
hal seperti meningkatkan kapasitas menampung air hujan dan memproduksi air yang
terjangkau oleh rakyat dari pabrik-pabrik desalinasi. De Albuqueque juga mencatat
bahwa negara dataran rendah tadi kewalahan untuk mengatasi perubahan iklim dan
kenaikan level air laut telah mencemari sejumlah sumber air tanah. Ia juga menegaskan
bahwa komunitas internasional, khususnya negara-negara yang paling bertanggung jawab
4 Seluruh Penduduk Kiribati Akan Dipindahkan Karena Negara Mereka Terancam Tenggelam
http://www.idbite.com/artikel/1842/seluruh-penduduk-kiribati-akan-dipindahkan-karena-negara-mereka-terancam-
tenggelam Diakses pada 25 September 2012
5
atas perubahan iklim, memiliki kewajiban untuk membantu Kiribati mengatasi masalah
airnya. 5
Karena kondisi Negara Kepulauan Kiribati yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan, maka diprediksikan Kiribati adalah negara pertama di dunia yang akan
melakukan relokasi sehubungan dengan perubahan iklim ke Kepulauan Fiji. Oleh karena
itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ”Perlindungan Hukum
Terhadap Penduduk Negara Kepulauan Kiribati Sebagai Pengungsi Akibat
Perubahan Iklim Dan Dampak Pemanasan Global”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa perubahan iklim bisa menjadi penyebab adanya pengungsi yakni
penduduk Negara Kiribati yang akan direlokasikan ke Vanua Levu, Kepulauan
Fiji?
2. Bagaimana perlindungan hukum nasional terhadap pengungsi yang terjadi di
Kiribati? Apabila hukum nasionalnya tidak bisa memberikan perlindungan
terhadap penduduknya, apa opsi perlindungan lainnya?
3. Institusi atau lembaga manakah yang berwenang menangani pengungsi akibat
perubahan iklim khususnya pada penduduk Negara Kiribati? Apabila bukan
5 Kekurangan Air Sebabkan Kematian Anak-Anak di Kiribati
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/08/07/67343/kekurangan_air_sebabkan_kematian_anakana
k_di_kiribati/#.UG299UDrqAp Diakses pada 24 September 2012
6
UNHCR, apakah ada lembaga lain yang dapat memberikan perlindungan terhadap
penduduk Negara Kiribati?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tugas obyektif dan subyektif sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
Tujuan Obyektif dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perubahan iklim yang kemudian
mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk Negara Kiribati yang akan
direlokasikan ke Vanua Levu, Kepulauan Fiji.
b. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum nasional yang diberikan
terhadap penduduk Negara Kiribati yang menjadi pengungsi akibat perubahan
iklim.
c. Untuk mengetahui institusi atau lembaga atau organisasi internasional mana yang
berwenang memberikan perlindungan hukum terhadap pengungsi akibat
perubahan iklim.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif dari adanya penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data yang
diperlukan sebagai bahan untuk penulisan hukum yang sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada.
7
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, baik untuk manfat akademis
maupun untuk manfaat praktis.
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan dan pengayaan dalam Hukum
Pengungsi untuk mengetahui dan membandingkan mengenai keberadaan status
pengungsi akibat perubahan iklim yang baru-baru ini muncul serta perbandingan
antara definisi pengungsi yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Jenewa 1951
Mengenai Status Pengungsi dengan pengungsi akibat perubahan iklim yang saat
ini lagi mencuat di dunia internasional. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan pada
pengayaan ilmu pada Hukum Internasional khususnya Hukum Pengungsi.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mampu memberikan sumbangan pikiran guna
mengetahui pengayaan dan penerapan Hukum Pengungsi. Dan masukan dalam
hal perlindungan penduduk yang sekarang ini banyak menjadi pengungsi akibat
perubahan iklim, khususnya penduduk negara Kiribati yang diprediksikan
menjadi negara pertama di dunia yang akan direlokasi ke Kepulauan Utama
Negara Fiji yakni di Vanua Levu. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dampak pemanasan global
yang semakin hari semakin mengkhawatirkan dan berpotensi besar merusak
keseimbangan ekosistem di seluruh belahan dunia, sehingga diharapkan dapat
8
menimbulkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam menjaga keseimbangan
ekosistem dan melestarikan lingkungan dunia dalam mencegah mengurangi
pemanasan global bersama.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan hukum yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap
pengungsi akibat perubahan iklim ini, metode penelitian yang penulis gunakan adalah
metode normatif empiris yakni menganalisis penerapan prinsip dalam Hukum
Pengungsi Internasional, khususnya prinsip non-refoulement dalam kaitannya dengan
penduduk negara Kiribati yang menjadi pengungsi akibat perubahan iklim, dan
prinsip-prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional khususnya yang ada dalam
Deklarasi Stockholm 1972, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim 1992,
Protokol Kyoto 1997, Bali Roadmap 2007 dan Doha Climate Getaway 2012 yang
berkaitan dengan lingkungan dan perubahan iklim.
2. Metode Penelitian dan Data
Dalam hal mencari penerapan prinsip-prinsip dalam Hukum Pengungsi
Internasional yang berkaitan dengan pengungsi akibat perubahan iklim serta prinsip-
prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional yang berkaitan dengan lingkungan
dan perubahan iklim, penulis menggunakan metode penelitian “literature research”
atau penelitian yang didasarkan pada literatur atau pustaka yang memfokuskan pada
9
primary sources (sumber primer), subsidiary/secondary sources (sumber sekunder)
serta tertiary sources (sumber tersier)6 yang menunjang sumber primer dan sumber
sekunder.
Dalam mendapatkan data sekunder, penulis melakukan studi pustaka di
perpustakaan yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kemudian sumber hukum (khususnya sumber hukum
dalam Hukum Internasional) yang digunakan akan diklasifikasikan ke dalam tiga
kategori yakni, primer, sekunder dan tersier.
Sumber primer (primary sources) yang dimaksud adalah sumber hukum
internasional yang mengacu pada Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional yakni :
1. Perjanjian internasional (baik yang bersifat umum maupun khusus)
2. Kebiasaan internasional (international custom)
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-
negara beradab
4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah
diakui kepakarannya (teachings of the most highly qualified publicists)
merupakan sumber tambahan hukum internasional.
Penulis akan menganalisis mengenai sumber hukum primer yaitu perjanjian
internasional yang relevan dalam penulisan hukum ini, yakni Universal Declarations
on Human Rights 1948, Geneva Convention 1951 Relating on International Refugees,
6 Basics of Legal Research, Cornell University Law Library, 2011
http://library.lawschool.cornell.edu/WhatWeDo/ResearchGuides/Basics.cfm Diakses pada 12 Juli 2013 pkl.
11.19
10
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966, Protocol
1967 Relating on International Refugees, Stockholm Declarations 1972, United
Nations Framework Convention on Climate Change 1992, Kyoto Protocol 1997, Bali
Roadmap 2007, dan Doha Climate Getaway 2012. Selain itu penulis juga akan
membahas mengenai prinsip non-refoulement.
Bahan hukum sekunder adalah materi mengenai hukum yang digunakan untuk
menjelaskan, menafsirkan, mengembangkan, menempatkan atau menunjang bahan
hukum primer dalam penelitian hukum ini. Dalam penulisan hukum ini akan merujuk
kepada Wagiman, Daniel Murdiyarso dan Achmad Romsan.
Bahan hukum tersier yang dimaksud adalah kamus yang digunakan untuk
membantu mencari definisi atau pengertian secara spesifik mengenai terminologi-
terminologi yang dicari dalam menunjang bahan hukum primer dan sekunder.
Contohnya Black’s Law Dictionary sebagai bahan hukum tersier.
3. Metode Analisis
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Dengan data yang telah dikumpulkan, penulisan hukum ini akan
mengidentifikasi apakah Konvensi Jenewa 1951 Mengenai Status Pengungsi dan
Protokol 1967 dapat mengakomodir keadaan pengungsi akibat perubahan iklim dalam
hal pemberian perlindungan hukum atau tidak.
11
F. Definisi Operasional
1. Pengungsi
Berdasarkan Pasal 1 (A) poin (1) dan (2) 1951 Convention Relating to the Status of
Refugees (Konvensi 1951 Mengenai Status Pengungsi) yang dimaksud dengan
Pengungsi ialah :
A. For the purposes of the present Convention, the term “refugee” shall apply to any person who : (1) Has been considered a refugee under the Arrangement of 12 May 1926 and
30 June 1928 or under the Conventions of 28 October 1933 and 10 February 1938, the Protocol of 14 September 1939 or the Constitution of the International Refugee Organization; Decisions of non-eligibility taken by the International Refugee Organization during the period of its activities shall not prevent the status of refugee being accorded to persons who fulfill the conditions of paragraph 2 of this section;
(2) As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well-founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return it. In the case of a person who has more than one nationality, the term “the country of his nationality” shall mean each of the countries of which he is a national, and a person shall not be deemed to be lacking the protection of the country of his nationality if, without any valid reason based on well-founded fear, he has not availed himself of the protection of one of the countries which he is a national.
Yang artinya adalah sebagai berikut :
A. Untuk maksud-maksud Konvensi ini, istilah “pengungsi” akan berlaku bagi
seseorang yang :
(1) Telah dianggap sebagai pengungsi menurut Pengaturan-pengaturan 12 Mei
1926 dan 30 Juni 1928 atau menurut konvensi-konvensi 28 Oktober 1933 dan
12
10 Februari 1938. Protokol 14 September 1939 atau Konstitusi Organisasi
Pengungsi Internasional :
Keputusan-keputusan tentang tidak dapat diakuinya seseorang sebagai
pengungsi yang diambil oleh Organisasi Pengungsi Internasional dalam
periode kegiatan-kegiatannya tidak akan menghalangi pemberian status
pengungsi kepada orang-orang yang memenuhi syarat-syarat ayat 2 bagian
ini;
(2) Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan
yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan
persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara
kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak
mau memanfaatkan perlindungan negara itu; atau seseorang yang tidak
mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia
sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa
termaksud, tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke
negara itu.
Dalam hal seseorang mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan, istilah
“negara kewarganegarannya” akan berarti masing-masing negara di mana ia
adalah warga negara, dan seseorang tidak akan dianggap tidak memperoleh
perlindungan negara kewarganegarannya jika, tanpa alasan yang sah yang
berdasarkan kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar, ia tidak
13
memanfaatkan perlindungan salah satu negara di mana ia adalah warga
negara.
2. Perubahan Iklim
Berdasarkan Pasal 1 poin (2) United Nations Framework Convention on Climate
Change (Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB/UNFCCC) yang dimaksud
dengan perubahan iklim adalah :
“means a change of climate which is attributed directly or indirectly to human activity that alters the global atmosphere and which is in addition to natural climate variability observed over comparable time periods”
Yang artinya adalah “perubahan pada iklim yang disebabkan langsung atau tidak
langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer
global”
G. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa referensi yang berkaitan dengan penulisan hukum ini. Di bawah
ini penulis akan menyebutkan referensi yang didapat dan perbedaannya dengan penulisan
hukum ini.
1. Wagiman, 2012. Hukum Pengungsi Internasional. Diterbitkan oleh Sinar Grafika,
Jakarta.
Buku ini memfokuskan pada perkembangan Hak Asasi Manusia Internasional,
dinamika masyarakat internasional dan implikasinya bagi migrasi penduduk,
perkembangan, kedudukan, dan ruang lingkup hukum pengungsi internasional serta
membahas kejadian dan praktik penanganan pengungsi di berbagai negara. Dalam
14
buku ini juga membahas mengenai prinsip suaka, prinsip non-refoulement sebagai jus
cogens dan prinsip non-ekstradiksi. Wagiman dalam bukunya membahas secara
komprehensif mengenai prinsip non-refoulement dan ada beberapa poin penting yang
penulis setuju terhadap tulisannya yakni :
a. bahwa prinsip non-refoulement adalah jaminan suatu negara untuk tidak akan
mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun ke negara
asalnya dimana kehidupan dan kebebasannya terancam.
b. Prinsip non-refoulement merupakan prinsip hukum pengungsi internasional dan
oleh karenanya mengikat semua negara, meskipun bukan merupakan negara
peserta Konvensi Jenewa 1951 Mengenai Status Pengungsi.
c. Prinsip non-refoulement dikategorikan sebagai ius cogens.
Sayangnya, dalam buku ini tidak menyebutkan beberapa hal mengenai :
a. Permasalahan baru mengenai pengungsi akibat perubahan iklim.
b. Peran prinsip non-refoulement terhadap pengungsi akibat perubahan iklim.
c. Lembaga atau organisasi internasional yang berwenang menangani masalah
pengungsi iklim.
Penulis mengutip dari referensi ini dan apa yang tidak disebutkan dalam bukunya
Wagiman dalam 3 poin di atas, akan penulis bahas dalam penulisan hukum ini.
15
2. Daniel Murdiyarso, 2003. Protokol Kyoto : Implikasinya bagi Negara Berkembang.
Diterbitkan oleh Kompas, Jakarta
Sesuai dengan judulnya, buku ini memfokuskan pada Protokol Kyoto. Dimulai
dengan apa yang dimaksud dengan Protokol Kyoto, efektivitas dan status ratifikasi
Protokol Kyoto, peranannya terhadap negara berkembang dan negara maju,
mekanisme untuk memenuhi komitmen dalam Protokol Kyoto, sampai membahas
kelembagaan yang diatur dalam Protokol Kyoto. Penulis mendukung dan setuju
dengan apa yang ditulis oleh Daniel Murdiyarso ini, karena jelas dalam bukunya
menyindir negara-negara yang belum mau berkomitmen menjalankan Protokol Kyoto
seperti Amerika Serikat dengan alasan akan berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan CO2 menurut undang-undang AS, ‘Clean Air Act’ tidak
dianggap sebagai pencemar sehingga secara domestik tidak perlu diatur emisinya.
Penulis mendukung kritisasi Daniel Murdiyarso terhadap negara maju seperti
Amerika Serikat yang tidak mau menurunkan emisi gas CO2, akan tetapi terkait
dengan lingkungan dan perubahan iklim dan telah diatur oleh beberapa aturan
internasional yang tidak hanya Protokol Kyoto saja. Instrumen internasional lainnya
ialah Deklarasi Stockholm 1972, Konvensi PBB Kerangka Kerja Perubahan Iklim
1992 dan tentunya karena buku ini diterbitkan pada tahun 2003, maka pembahasan
mengenai Bali Roadmap 2007 serta Doha Climate Getaway 2012 belum ada.
Oleh karena itu, penulis akan turut membahas lebih lanjut beberapa aturan
internasional di atas terkait lingkungan dan perubahan iklim dalam penulisan hukum
ini.
16
H. Landasan Teori
Persoalan pengungsi telah ada sejak abad ke-20. Persoalan tersebut pertama kali
timbul ketika terjadi Perang Rusia (ketika revolusi di Rusia), yaitu ketika para pengungsi
dari Rusia berbondong-bondong menuju ke Eropa Barat. Jutaan anak-anak, pria dan
waita telah menderita akibat eksploitasi konflik etnis agama atau perang saudara. Jumlah
ini dari tahun ke tahun meningkat secara tajam, misalnya dalam kurun waktu 1992-1995
ada 180 juta pengungsi yang disebabkan bencana alam (natural disaster). Melihat hal ini
Majelis Umum PBB telah mencanangkan periode 1990-2000 sebagai “the International
Decade for Natural Disaster Reduction”. Pengaturan tentang pengungsi ini dimulai sejak
adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948. Walaupun, Deklarasi
Universal HAM 1948 bukanlah merupakan hukum yang mengikat, deklarasi ini telah
melandasi pembentukan norma-norma HAM internasional yang diwujudkan dalam
berbagai bentuk perjanjian yang secara hukum mengikat negara-negara pihak. Esensi dari
hukum hak asasi manusia internasional ialah mengatur kemanusiaan universal tanpa
terikat atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat setiap negara
tidak tertutup kemungkinan membicarakan hukum hak asasi manusia dalam konteks
domestiknya. Hak asasi manusia dalam konteks hukum pengungsi setidaknya
berhubungan dengan tiga hal. Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat
konflik bersenjata. Kedua, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk
sipil dalam keadaan biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik Internally
Displaced Person’s/IDP’s maupun pengungsi lintas batas.
Hukum internasional telah meletakkan kewajiban dasar bagi tingkah laku negara
dalam melaksanakan perlindungan internasional. Tindakan yang bertentangan dengannya
17
akan melahirkan tanggung jawab internasional. Tanggung jawab internasional diartikan
sebagai suatu perbuatan salah yang memiliki karakteristik internasional. Tanggung jawab
demikian muncul manakala terdapat pelanggaran yang sungguh-sungguh terhadap hak-
hak yang menyangkut perlindungan atas hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya
hak asasi pengungsi. Pengajuan suaka atau permohonan pengungsi merupakan bagian
dari hak asasi manusia. Tentunya untuk hal tersebut disebutkan dalam Pasal 13 Paragraf 2
Deklarasi HAM PBB 1948 “Everyone has the right to leave any country, including his
own, and to return to his country”. Hak atas kebebasan untuk memilih tempat tinggal
atau negara ini kemudian dipertegas oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang
menyatakan :
(1) Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution.
(2) This right may not be invoked in the case of persecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the purposes and principles of the United Nations.
Penegasan Declaration of Territorial Asylum 1967 kata kunci untuk memohon suaka
adalah adanya ketakutan atau kekhawatiran akan menjadi korban dari suatu penyiksaan
atau penganiayaan di suatu negara sehingga ia memilih untuk mencari perlindungan ke
suatu negara lain. Termasuk di dalamnya mereka yang merupakan pejuang atau orang-
orang yang berjuang melawan kolonialisme. Namun, permohonan suaka ini dibatasi
hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik dan tidak untuk selain itu.
Apabila permohonan tersebut berlawanan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dari
PBB, maka termasuk dalam golongan yang akan ditolak untuk menerima suaka adalah
mereka yang diduga telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang,
dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
18
Batasan dan pembagian bidang, jenis dan macam Hak Asasi Manusia Dunia
mencakup enam kelompok. Pertama, hak asasi pribadi (personal rights). Yang termasuk
dalam kelompok ini adalah hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-
pindah tempat, hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat, hak kebebasan
memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan, serta hak kebebasan untuk memilih,
memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.
Kedua, hak asasi politik (political rights). Yang ke dalam kelompok ini adalah hak untuk
memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan, hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan,
hak membuat dan mendirikan partai politik dan organisasi lainnya, serta hak untuk
membuat dan mengajukan suatu usulan petisi. Ketiga, hak asasi hukum (legal equity
rights). Yang termasuk ke dalam kelompok ini seperti hak mendapatkan perlakuan yang
sama dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk menjadi pegawai negeri sipil, serta hak
mendapat layanan dan perlindungan hukum. Keempat, hak asasi ekonomi (property
rights) seperti hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli, hak kebebasan mengadakan
perjanjian kontrak, hak kebebasan menyelenggarakan sewa, menyewa, utang piutang, hak
kebebasan untuk memiliki sesuatu, serta hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang
layak. Kelima, hak asasi peradilan (procedural rights). Hak-hak tersebut seperti hak
mendapat pembelaan hukum di pengadilan, hak persamaan atas perlakuan
penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum. Keenam, hak
asasi sosial budaya (social culture rights). Hak tersebut mencakup hak menentukan,
memilih dan mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pengajaran, serta hak untuk
mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.
19
Konvensi tahun 1951 berikut Protokolnya tahun 1967 secara substansial melindungi
hak asasi manusia pada pengungsi. Dengan demikian Konvensi tersebut dikategorikan
sebagai jenis-jenis HAM yang perlu dilindungi, khususnya bagi pengungsi. Konvensi
Jenewa 1951 Mengenai Status Pengungsi Mengenai Status Pengungsi mencantumkan
daftar hak dan kebebasan asasi yang sangat dibutuhkan oleh pengungsi. Negara peserta
Konvensi wajib melaksanakan hak-hak dan kewajiban tersebut. Pertama, pengungsi yang
masuk ke suatu negara tanpa dokumen lengkap tidak akan dikenakan hukuman, selama
mereka secepat-cepatnya melaporkan diri kepada pihak-pihak berwenang setempat.
Biasanya di setiap negara terdapat processing centre sendiri yang tidak dicampur dengan
karantina imigrasi walaupun keduanya diurus oleh instansi yang sama yang khusus
menangani orang asing.
Kedua, adanya larangan bagi negara pihak untuk mengembalikan pengungsi atau
mereka yang mengklaim dirinya sebagai pencari suaka ke negara asal secara terpaksa.
Hal ini berhubungan dengan prinsip, yang mutlak harus dipatuhi oleh negara pihak yaitu
tidak mengembalikan pengungsi ke negara asal dimana ia merasa terancam keselamatan
dan kebebasannya (prinsip non-refoulement). Selain yang mutlak seperti itu, terdapat pula
yang kondisionil berupa pengusiran yang berarti pengembalian ke negara asal atau dapat
ke negara mana saja. Negara pihak hanya boleh melakukan pengusiran apabila dilakukan
atas pertimbangan keamanan nasional dan ketertiban umum. Contoh mengganggu
ketertiban umum, misalnya pengungsi tersebut melakukan teror terhadap sebagian warga
negara pihak maka baru dapat dilakukan pengusiran. Pengusiran baru dapat diberlakukan
20
apabila yang bersangkutan terbukti sebagai tindak pelaku kejahatan dari negara asalnya
atau melakukan kejahatan di negara yang dituju atau dimana ia berada7.
Perubahan Iklim
Salah satu isu lingkungan hidup yang memberikan pengaruh siginifikan terhadap
semua komponen kehidupan dan sistem kehidupan banyak kalangan saat ini adalah
mengenai fenomena perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim hadir sebagai
suatu bentuk fenomena kerusakan lingkungan yang memiliki dampak pada hampir setiap
bidang kehidupan yang mengancam eksistensi kehidupan manusia baik pada tataran
lokal, nasional dan juga pada tataran global.
Permasalahan seputar perubahan iklim telah menyentuh suatu kondisi yang
multidimensional dengan kompleksitas yang tinggi di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi
dan keadilan. Saat ini perhatian banyak dituangkan dalam dampak perubahan iklim
terhadap sektor ekonomi dan ilmu pengetahuan, namun pembahasan dalam perspektif
keadilan terhadap kondisi iklim jarang mendapat perhatian yang serius. Konsep keadilan
dalam dimensi lingkungan hidup menjadi suatu pembahasan yang bersifat lintas sektoran
dan lintas kepentingan. Dalam perspektif keadilan lingkungan, kondisi geografis setiap
negara merupakan suatu ketentuan yang harus diperlakukan bijaksana dan hak untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.
Perubahan iklim telah memperumit isu-isu tentang pembagian sumber daya di antara
generasi-generasi masa kini dan juga generasi yang akan datang. Ketika jalan satu-
satunya menuju sumber daya yang dapat diperbaharui adalah lewat pengelolaaan dan
7 Wagiman, 2012. Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika : Jakarta. hlm. 27-31
21
pemeliharaannya di dalam kondisi yang dapat diperbaharui, ekosistem hutan kini sedang
dihancurkan oleh hujan asam dan pemanasan global. Pengendalian emisi karbon
antropogenik jelas memerlukan solusi internasional untuk menghindarkan malapetaka
utama dan mencegah subversi kepada ekosistem yang sudah tua. Pelaksanaan komitmen
ini secara nyata mengharuskan semua negara menurunkan emisi yang ada, pada saat yang
bersamaan negara-negara yang sedang berkembang dapat mengklaim secara rasional
bahwa masalah muncul sebagian besar disebabkan dari negara-negara maju yang selama
ini menggunakan energi yang memicu emisi untuk maksud-maksud praktis.
Kondisi ekosistem bumi yang tidak terikat pada suatu batas administratif wilayah
serta keterkaitan antara kondisi saat ini dengan proyeksi keadaan iklim ke depan
menjadikan konsep keadilan lingkungan bertitik tumpu pada 2 (dua) konsep utama yaitu
keadilan inter generasi dan keadilan antar generasi. Terdapat 2 (dua) relevansi penting
dalam pembahasan mengenai keadilan inter generasi oleh pakar dalam bidang ekologi
manusia, yaitu hubungan antara manusia dengan spesies makhluk hidup lainnya dan
hubungan antara manusia dengan sistem lingkungan dengan manusia terdapat di
dalamnya. Terciptanya keadilan lingkungan secara umum dalam lintasan pemikiran
filosofis membutuhkan suatu netralitas sebagai dasar pemikiran utama. Oleh karena itu,
pembahasan mengenasi keadilan inter generasi tidak hanya berukutat pada kenyataan
perlindungan generasi yang akan datang untuk mendapatkan hak terhadap lingkungan
yang layak semata, namun juga menyentuh pembahasan mengenai kondisi bumu yang
proporsional sebagai kaidah dasar moral.
Konsep keadilan inter generasi telah berkembang dalam pergumulan hukum
internasional pada umumnya. Hal ini dapat diindikasi dalam Pembukaan dalam Universal
22
Declaration of Human Rights yakni “Whereas recognition of the inherent diginity and of
the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of
freedom, justice and peace in the world.” Terminologi “all members” yang digunakan
dalam kalimat di atas tentu tidak hanya terbatas pada kondisi saat ini namun juga bersifat
pemikiran ke depan dan cita-cita dari hukum internasional yang hendap dicapai.
Konsep keadilan inter generasi dalam perkembangan hukum lingkungan internasional
pada khususnya, mulai dibicarakan pada saat persiapat Stockholm Conference on the
Human Environment tahun 1972 sebagai pertemuan internasional pertama kali yang
membicarakan eksistensi manusia dan lingkungan hidup. Dalam kalimat pembukaan
konvensi, beberapa kali ditegaskan secara eksplisit bahwa tujuan yang hendak dicapai
dalam konvensi ini adalah terciptanya kondisi lingkungan yang layak untuk saat ini dan
masa yang akan datang. Secara umum, setiap generasi memiliki 2 (dua) kewajiban utama
yang diemban untuk generasi selanjutnya, yaitu pertama, kewajiban untuk menghadirkan
kondisi lingkungan hidup yang layak untuk dinikmati oleh generasi yang akan datang
sebagaimana digunakan pada saat ini dan kedua,berkewajiban untuk memperbaiki
kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat perbuatan generasi terdahulu
sebagai upaya untuk menjamin keberlanjutan lingkungan. Pada tataran paling lemah,
setiap generasi dibebani kewajiban moral untuk dapat mewariskan kondisi lingkungan
hidup paling tidak sama dengan kondisi yang dinikmati saat ini dari generasi terdahulu.
Kemudian konsep keadilan intra generasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu
pemahaman bahwa setiap orang yang berada dalam lingkup satu generasi yang sama
memiliki hak dan akses yang sama untuk memperoleh manfaat dari sumber alam yang
ada serta dapat memperoleh kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengertian
23
lain mengenai konsep keadilan inter generasi hadir sebagai bentuk pemenuhan segala
kebutuhan dasar dari manusia yang meliputi lingkungan hidup yang sehat, ketersediaan
makanan dan tempat tinggal yang layak serta pemenuhan kebutuhan spiritual dan budaya.
Dalam pelaksanaan kebutuhan tersebut, konsep transfer kesejahteraan dan transfer
teknologi dari negara kaya kepada negara miskin menjadi salah satu alternatif yang dapat
dilakukan. Kehadiran konsep keadilan iklim saat ini mutlak untuk diperhatikan dan
dijadikan sebagai landasan idealis untuk perumusan sumber hukum lingkungan
internasional. Perjanjian internasional yang hadir dalam rangka kepentingan perubahan
iklim saat ini dapat dikatakan sangat minim dalam upaya menciptakan keadilan
lingkungan baik dalam tataran keadilan inter generasi maupun dalam tataran intra
generasi.8
8 Perspektif Keadilan Iklim dalam Instrumen Hukum Lingkungan Internasional Tentang Perubahan Iklim, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 11 No. 2, Mei 2011, hlm. 286 - 297