BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dinyatakan bahwa:
Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Sementara itu dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dua ketentuan ini memberi ruang bagi terselenggaranya pemerintahan daerah
yang beragam di Indonesia, termasuk pemerintahan terendah. Pemerintahan terendah
merupakan basis awal pembangunan bangsa yang harus dibenahi dan mendapat
perhatian serius. Oleh sebab itu pemerintahan terendah harus dikonsep sesuai
kebutuhan dan kondisi sosiologis masyarakatnya. Dengan negara yang berbhinneka
tentu masyarakatnya memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda yang tidak mungkin
diseragamkan.
Namun di era orde baru ada usaha pemerintah untuk menyeragamkan sistem
pemerintahan terendah dengan menerapkan desa sebagai pemerintahan terendah secara
adminitratif yang dilegalisasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Hal ini yang kemudian membuat kesatuan masyarakat
hukum adat yang telah terbentuk jauh sebelum negara ini berdiri berangsur angsur
lenyap eksistensinya. Ini dibuktikan mulai berkurang bahakan hilangnya fungsi nagari
di Sumatera Barat, marga di Sumatera Selatan atau banjar di Bali.
Khusus di Sumatera Barat konsep desa pada prinsipnya tidak cocok dengan
kondisi sosiologis dan kultural masayarakatnya. Namun konsep desa tetap dipaksakan
pemberlakuannya pada tahun 1983 melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor
162/GSB/1983 yang menyatakan Jorong/Korong yang merupakan bagian dari Nagari
dinyatakan sebagai desa.1
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diganti
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah
memberi peluang kembalinya sistem pemerintahan nagari sebagai sistem pemerintahan
terendah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
diatur tentang penataan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 200 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004:
(1) Dalam Pemerintahan daerah dibentuk kabupaten/kota dibentuk pemerintahan
desa yang terdiri dari desa dan badan permusywaratan desa.
(2) Pembentukan, penggabungan dan/pengahapusan desa dengan memperhatikan
asal usulnya atas prakarsa masyarakat.
Dalam Pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dijelaskan tentang kewenangan pemerintahan desa atau nama lain, yaitu:
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa.
3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota
1 Musyair Zainuddin, Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal Usul Adat Minangkabau,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak,2010), hlm 2
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan
kepada desa.
Pengaturan lebih lanjut tentang penataan desa diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, khususnya terkait pembentukan Desa sebagaimana diatur
dalam Pasal 2:
(1) Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan
kondisi social budaya masyarakat setempat.
(2) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. jumlah penduduk;
b. luas wilayah;
c. bagian wilayah kerja;
d. perangkat; dan
e. sarana dan prasarana pemerintahan.
(3) Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
penggabungan beberapa desa atau bagian desa yang bersandingan atau pemekaran
dari satu desa menjadi dua desa atau lebih atau pembentukan desa di luar desa yang
telah ada.
(4) Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pemekaran nagari yang secara massif terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan Sejak
tahun 2009 sampai tahun 2013 jelas-jelas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, karena belum mencapai
masa 5 tahun pemerintahan nagari hasil pemekaran tahun 2009, kemudian nagari hasil
pemekaran tahun 2009 kembali dimekarkan.
Pada perkembangannya muncul ide untuk membentuk undang-undang
tersendiri tentang desa yang sejalan dengan semangat untuk memecah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 menjadi tiga undang-undang. Pengaturan tentang desa
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan
lahirnya Undang-Undang ini maka Desa sebagai struktur pemerintahan terendah dan
kesatuan masyarakat hukum adat diatur lebih komprehensif dan diharapkan mampu
mengakomodasi kepentingan desa sebagai garda terdepan pembangunan nasional.
Pemerintahan Nagari yang terintegrasi dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Dengan telah diundangkannya undang-undang ini tentu
membawa dampak terhadap pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Pengaturan
tentang nagari secara spesifik yang sampai saat ini masih diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Nagari dan kemudian diatur pula dalam berbagai peraturan daerah
kabupaten di Sumatera Barat, harus segera menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada prinsipnya peraturan daerah
ini dan peraturan daerah yang kemudian akan dibentuk sejalan dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memberi ruang penerapan kembali ke nagari pada
semua kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat, namun dalam implementasinya
sampai saat ini hanya kabupaten saja, kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang
melaksanakan kembali nagari, sementara untuk kota masih menggunakan sistem
pemerintahan terendah kelurahan dan desa.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini, dalam Pasal 7
diatur tentang penataan desa. Bentuk penataan tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (4),
yaitu:
a. Pembentukan;
b. Penghapusan;
c. Penggabungan;
d. Perubahan status;
e. Penetapan desa
Penetapan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf e adalah
penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan desa adat yang telah ada untuk pertama
kali oleh Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.2 Dalam konteks Sumatera Barat dalam berbagai diskursus,
menginginkan nomenklatur Nagari tidak hanya dimaknai sebagai pemerintahan
administratif, tetap juga nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
kemudian perlu ditetapkan menjadi Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Undnag-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun, di Kabupaten Pesisir Selatan keinginan untuk menjadikan Nagari
sebagai nomenklatur desa di Sumatera Barat yang tidak hanya berfungsi sebagai bentuk
pemerintahan terendah tetapi juga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,
mengalami beberapa kendala. Pemekaran nagari di Pesisir Selatan yang dilaksanakan
secara masif sejak tahun 2009 tidak lagi memenuhi syarat-syarat pendirian nagari
sebagai masyarakat hukum adat berdasarkan tambo adat Minangkabau. Nagari di
Kabupaten Pesisir Selatan yang semula berjumlah 36 Nagari pada awal agenda
“babaliak ka nagari”, saat ini berkembang menjadi 182 nagari hasil pemekaran.3 Syarat
pendirian nagari menurut tambo antara lain4: basasok bajurami, balabuah batapian,
barumah batanggo, bakorong bakampuang, basawah baladang, babalai bamusajik,
bapandam pakuburan.
Syarat-syarat menurut tambo tersebut tidak begitu diperhatikan dalam
pemekaran nagari di Kabupaten Pesisir Selatan. Dengan begitu masifnya pemekaran
2Penjelasan Pasal 7 ayat (4) huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 3 www.pesisir selatankab.go.id, diakses pada tanggal 28 Januari 2014 4 Amir M.S., Panduan Pengelolaan Suku dan Nagari di Minangkabau, (Jakarta: Citra Harta Prima, 2012), hlm.
27
nagari, bahkan sampai ada satu nagari yang kemudian dimekarkan menjadi 20 nagari.
Tentu hal ini mengakibatkan aset nagari seperti balai adat dan mesjid nagari menjadi
tidak jelas statusnya.
Apalagi sejak diterbitkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan
Nomor 2 Tahun 2016 tentang Nagari yang dibuat sebelum Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari
diubah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Perda ini
telah “mengharamkan” pemekaran nagari adat dengan pembentukan Kerapatan Adat
Nagari baru. Sehingga kebijakan ini secara tidak langsung mereduksi peran kesatuan
masyarakat hukum adat dalam pengelolaan aset dan ulayat nagari hasil pemekaran. Hal
ini disebabkan wilayah nagari adat dan nagari administrasi pemerintahan tidak berada
dalam satu kesatuan wilayah.
Untuk itu, dengan momentum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa dan semangat untuk mengembalikan marwah nagari sebagai kesatuan adat
di Sumatera Barat, maka perlu dilakukan penataan dalam sistem pemerintahan nagari
khususnya untuk daerah-daerah yang telah terlanjur melakukan pemekaran nagari
secara masif. Penataan ni diperlukan sebelum nagari-nagari tersebut ditetapkan menjadi
nagari yang berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan terendah dan nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat.
Penelitian ini akan mengkaji penataan nagari di Kabupaten Pesisir Selatan yang
dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan
proses penataan yang bisa dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Penataan pascaberlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 dapat dilakukan karena telah terbentuknya Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir
Selatan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Desa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan sebelumnya, yang menjadi pokok
permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah:
1. Bagaimana bentuk penataan wilayah adat nagari hasil pemekaran di Kabupaten
Pesisir Selatan?
2. Bagaimana bentuk penataan kelembagaan adat nagari hasil pemekaran di
Kabupaten Pesisir Selatan?
3. Bagaimana bentuk penataan pembagian ulayat dan kekayaan di nagari hasil
pemekaran di Kabupaten Pesisir Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk penataan wilayah adat nagari hasil pemekaran di
Kabupaten Pesisir Selatan.
2. Untuk mengetahuibentuk penataan kelembagaan adat nagari hasil pemekaran di
Kabupaten Pesisir Selatan.
3. Untuk mengetahuibentuk penataan pembagian ulayat dan kekayaan di nagari hasil
pemekaran di Kabupaten Pesisir Selatan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis:
a. Untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala berpikir penulis
serta melatih kemampuan dalam melakukan penelitian hukum dan
menuangkannya dalam bentuk tulisan.
b. Untuk memperkaya khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara,
serta dapat menerapkan ilmu yang telah didapat selama perkuliahan dan dapat
berlatih dalam melakukan penelitian yang baik.
c. Penelitian ini khususnya juga bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka
menganalisa dan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan masalah
dalam penelitian. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam memberikan
kontribusi pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum.
2. Manfaat Praktis
Memberikan kontribusi serta manfaat bagi individu, masyarakat maupun
pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah pengetahuan yang
berhubungan dengan reformulasi pemerintahan nagari pasca pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Pengertian Teori
Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat
dimaklumi, karena batasan dan sifat hakiki dari suatu teori adalah:5
“...Seperangkat konstruk (konsep) batasan, dan proposisi yang menyajikan
suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-
hubungan antar variable dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu
”.
Rumusan diatas mengandung tiga hal, pertama teori merupakan seperangkat
5Amirudin dan Zainal Asikin, Penghantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004),
hlm.42.
proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefinisikan dan saling
berhubungan. Kedua teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dan
dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena
fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Akhirnya, suatu teori
menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara
rinci variabel-variabel tertentu yang berkait dengan variabel-variabel tertentu
lainnya.
Rumusan teori yang dikemukakan oleh Kerlinger diatas masih terlalu abstrak,
demikian Soerjono Soekanto agar lebih konkret, beliau mengajukan kriteria
teori yang ideal seperti yang dikemukakan oleh James A. Black dan Dean J.
Champion, sebagai berikut :6
1. Suatu teori secara logis harus konsisten, artinya tidak ada hal-hal yang saling
bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan.
2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala
tertentu, pernyataan-pernyataan mana mempunyai interelasi yang serasi.
3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori harus mencakup semua unsur
gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat tuntas.
4. Tidak ada pengulangan atau duplikasi di dalam pernyataan-pernyataan
tersebut.
5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian. Mengenai hal ini ada asumsi-
asumsi tertentu, yang membatasi diri pada pernyataan, bahwa pengujian
tersebut senantiasa harus bersifat empiris.
b. Beberapa Teori dalam Penelitian Hukum
6Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.123-124.
Tidak diperlukan untuk mengemukakan semua teori yang berkaitan dengan
bidang hukum, tetapi hanya beberapa saja yang secara kebetulan dipergunakan
sebagai contoh. Misalnya, teori hukum murni Hans Kelsen, Jean Jaques
Rousseau dan teori bekerjanya hukum dari Robert Seidmen. Tentunya masih
banyak teori-teori yang relevan dipergunakan dalam penuyusunan kerangka
teoritis. Teori- teori tersebut dapat diperoleh dari berbagai buku “ilmu hukum”
dan hasil-hasil penelitian.7
Pada penelitian hukum yang sosiologis, teori-teori yang dapat dirujuk antara lain
teori bekerjanya hukum atau berlakunya hukum dari Robert Seidmen. Untuk
menentykan teorinya, Seidmen membuat model bekerjanya hukum sebagai
berikut8:
1. Setiap peraturan hukum memberitahu seseorang tentang bagaimana
seseorang pemegang peran (role occupant) itu diharapkan bertindak.
2. Bagaimana seseorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu
respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga
pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lain-
lainya mengenai dirinya.
3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons
terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks
kekuatan politik, sosial dan lain-lain mengenai diri mereka serta umpan
balik yang datang dari pemegang peran.
7Amirudin dan Zainal,Op.Cit, hlm. 44. 8 Robert B. Seidmen dalam ibid. Hlm. 46
4. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-
sanksinya, politik, ideologis, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta
umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.
Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat)
ciri yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d)
ulasan para pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya. Keempat
ciri khas teori hukum tersebut, dapat dituangkan dalam penulisan kerangka
teoritis dan/atau salah satu ciri tersebut.9 Kerangka teori yang akan menjadi
landasan dalam penelitian ilmiah ini yaitu:
a. Teori Otonomi
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata
yaitu autos yang berarti sendiri dan namos berarti undang-undang atau
peraturan. Sehingga otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Otonomi bermakna membuat
perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya
konsep otonomi daerah juga mengandung arti pemerintahan sendiri10.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi diartikan sebagai
pemerintahan sendiri. Apabila dikaitkan dengan daerah, maka otonomi daerah
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku11.C.W.
9 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) , hlm. 79 10 Helmy Panuh, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi Pemerintahan di Sumatera Barat,
(Jakarta:Rajawali Pers, 2012), hlm. 160
Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding
(menjalankan rumah tangganya sendiri)12.
b. Teori Desentralisasi
Menurut RDH Koesoemahatmadja sebagaimana dikutip Helmy
Panuh13, secara harfiah desentralisasi berasal dari dua penggalan kata bahasa
latin yakni: de berarti lepas dan centrum berarti pusat. Makna harfiah dari
desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Dalam makna ketatanegaraan,
menurut Laica Marzuki, desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan
pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah. Desentralisasi merupakan
staatkundig decentralisatie (desentralisasiketatanegaraan), atau lebih sering
disebut dengan desentralisasi politik, bukan ambtelijke desentralisatie, seperti
halnya dekonsentra14. Benyamin Hossein, sebagaimana dikutip Siswanto
Sunarno15,mengemukakan bahwa desentralisasi adalah pembentukan daerah
otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah
pusat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa desentralisasi merupakan asas pokok
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Philip Mawhol16 menyatakan
desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh
kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang
masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara.
11Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional. 12 Helmy Panuh, op. cit., hlm 160 13 Ibid., hlm. 157. 14 M. Laica Marzuki, dlm ibid. hlm. 158. 15 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 13. 16Ibid..
Berdasarkan definisi yang diberikan pakar diatas, Jayadi N.K.
menyimpulkan bahwa desentralisasi mengandung empat pengertian: pertama,
desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom
yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga,
desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat;
keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok
masyarakat tertentu.Sedangkan Juniarto17 mendefinisikan desentralisasi adalah
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk
mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya
sendiri. Irwan Soejito sebagaimana dikutip Helmy Panuh18mengartikan
desentralisasi sebagai pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain
untuk dilaksanakan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa membagi desentralisasi dalam dua bentuk19:
a. Dekonsentrasi yang juga disebut desentralisasi administratif.
b. Devolusi yang juga sering disebut desentralisasi demokrasi atau politik,
yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan
perwakilan yang dipilih melalui pemilu lokal.
Dalam sistem desentralisasi dikenal ada tiga ajaran yang menentukan
pembagian penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu20:
1. Ajaran Rumah Tangga Materil
17 Juniarto, dlm ibid. 18Ibid. 19Ibid.,hlm. 14 20 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (PT Bhuana Ilmu Popular, 2007), hlm 424.
Menurut ajaran rumah tangga materil, untuk mengetahui urusan yang
termasuk urusan rumah rumah tangga daerah dan pusat, kita harus melihat
kepada materi yang menentukan urusan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Masing-masing tingkat pemerintahan hanya akan mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu dengan baik. Pemerintah
pusat dinilai tidak akan mampu melakukan suatu urusan karena urusan itu
termasuk materi yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah.
Sebaliknya pemerintah daerah dinilai tidak akan mampu
menyelenggarakan suatu urusan karena dianggap urusan itu dianggap
termasuk materi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dalam praktiknya, ajaran rumah tangga materil dapat dipertahankan
sepanjang sifat pemerintahan daerah masih sederhana.
2. Ajaran Rumah Tangga Formil
Untuk mengatasi kekurangan ajaran rumah tangga materil yang hanya
dapat dipertahankan pada sifat pemerintahan yang masih sederhana , maka
muncul ajaran rumah tangga formil. Ajaran rumah tangga formil memberi
penegasan kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat formil yang
mengatur bahwa suatu hal itu merupakan urusan rumah tangga pemerintah
pusat dan hal lain sebagai urusan daerah. Pengaturan tersebut didasarkan
atas daya guna pemerintahan masing-masing. Jika urusan pemerintahan
tersebut dianggap lebih membawa manfaat besar pada pemerintah daerah,
maka urusan tersebut menjadi urusan pemerintahan daerah. Penyerahan
urusan pemerintahan tersebut dilakukan dengan peraturan perundang-
undangan sehingga hal-hal yang menjadi urusan pemerintahan daerah
dipertegas rinciannya.
3. Ajaran Rumah Tangga Riil
Urusan rumah tangga riil adalah urusan rumah tangga yang didasarkan
pada kebutuhan riil atau keadaan nyata. Dalam kondisi riil, bisa saja
terjadi penambahan dan pengurangan wewenang pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Hal ini tentu didasarkan pada perkembangan
nyata di lapangan. Pengurangan dan penambahan wewenang ini dilakukan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan
dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu21:
1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara
("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat,
bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-
undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas
maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik
desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
c. Teori tentang Desa
Dilihat dari asal-usulnya desa dapat dilihat dari empat kategori22:
i. Desa yang lahir, tumbuh, dan berkembang berdasarkan hubungan
kekerabatan sehingga membentuk persekutuan hukum genealogis atau
seketurunan;
ii. Desa yang muncul karena adanya hubungan tinggal dekat sehingga
membentuk persekutuan hukum teritorial;
iii. Desa yang muncul karena adanya tujuan khusus seperti kebutuhan yang
ditentukan oleh faktor-faktor ekologis;
iv. Desa yang muncul karena adanya kebijakan dari atas seperti titah raja,
ordonansi pemerintah jajahan, atau undang-undang pemerintah desa
seperti desa perdikan pada zaman kerajaan atau desa transmigrasi pada
zaman sekarang.
21 www.wikipedia.org, diakses tanggal 2/4/2013 22 Hanif Nurcholis, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011),
hlm. 5
d. Teori Pemerintahan
Pemerintahan dalam konteks penyelenggaraan negara menunjukkan
adanya badan pemerintahan (institusional) kewenangan pemerintah (authority)
cara memerintah (methods), wilayah pemerintahan (state, local, district, rural
dan urban) dan sistem pemerintahan dalam menjalankan fungsi
pemerintahannya. Pemerintahan tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan
pemerintah untuk memerintah yang merupakan keharusan untuk melaksanakan
sesuatu sesuai dengan tujuan pemerintahan.
Suryaningrat menjelaskan bahwa unsur yang menjadi ciri khas
mendasar memerintah atau perintah adalah: 1) adanya keharusan yang
menunjukkan kewajiban apa yang diperintahkan; 2) adanya dua pihak, yaitu
yang memberi perintah dan menerima perintah; 3) adanya hubungan fungsional
antara yang memberi dan menerima perintah; 4) adanya wewenang atau
kekuasaan untuk memberi perintah. Sedangkan Rasyid mengatakan bahwa
pemerintahan mengandung makna mengatur, mengurus, dan memerintah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan bagi kepentingan rakyat.23
Pemerintahan pada prinsipnya mengandung makna penyelenggaraan
urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat bersumber
pada pemerintahan demokratis, pemerintahan otoriter, pemerintahan sentralistis
dan pemerintahan desentralistis, pemerintahan diktator, pemerintahan monarkhi
dan lain sebagainya. Pemerintahan secara filosofis mengandung unsur yang
23 Rasyid, Muhammad Ryaas. 1996. Makna Pemerintahan: Tinjauan Dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta:
PT. Yarsif Watampone, hlm. 27
berkaitan erat dengan badan publik (pemerintah) yang sah secara konstitusional;
kewenangan untuk melaksanakan pemerintahan; cara dan sistem pemerintahan
dan fungsi pemerintahan yang sesuai dengan kewenangan urusan pemerintahan
serta dalam lingkup wilayah pemerintahan.
Strong memberikan makna pemerintahan sebagai berikut:
”Government in the broad sence is charge with the maintenance of the peace
and society of state within and wihtout. Its is must therefore, have firt, militery
power the control or the control of armed forces, secondary, legislative power
or the mean of making law, thirdly, from the community to defray cost of
depending the state and the of enforcing the law it make`s behalf “.
Pemerintahan menujukkan bahwa pemerintah mempunyai kewenangan
yang dapat digunakan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara baik
ke dalam maupun ke luar. Untuk melaksanakan itu, pemerintah harus
mempunyai kekuatan tertentu dibidang milier atau kemampuan untuk
mengendalikan angkatan perang, kekuatan legislatif atau pembuatan UU serta
kekuatan finansial atau kemampuan untuk mencukupi keuangan pemerintahan
dalam membiayai keberadaan negara untuk pelaksanaan peraturan, semua
kekuatan tersebut dilakukan dalam rangka kepentingan negara.
Menurut Ermaya bahwa pemerintahan terdapat dua pengertian yaitu
pemerintahan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Pemerintahan dalam arti
luas adalah seluruh kegiatan pemerintah (badan publik atau pemerintah) baik
yang menyangkut kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha
mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti sempit adalah segala kegiatan
badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif. Pemerintahan berkaitan
erat dengan kewenangan pihak badan publik yang terpercaya atau sah untuk
menyelenggarakan fungsi dalam urusan pemerintahan kepada pihak lainnya
yaitu usaha swasta dan masyarakat atas dasar hubungan timbal balik secara
fungsional dalam mencapai tujuan negara.
Pemerintahan pada suatu negara sebagai bentuk kontrak sosial atau
perjanjian masyarakat melalui pendekatan ilmiah. Pemerintahan dari pandangan
atau pendekatan filosofis harus dilihat dari keajegan (consistency) dan
kebenaran secara ilmiah dari pengetahuan, metode dan fenomena serta fakta
empirisnya. Dalam arti bahwa pemerintahan harus mempunyai taraf keajegan
ilmiah dengan memenuhi persyaratan yang bermuatan ontologi (keberadaan),
epsitemologi (pengetahuan) dan aksiologi (penerapannya/aplikasinya).
Manifestasi muatan pemerintahan sebagai kebenaran ilmiah mencerminkan
makna secara koherensi, korespondensi dan pragmatis dalam berbagai peristiwa
pemerintahan.24
Suatu pandangan filosofis yang dikemukakan pemikir aliran filsafat
rasionalisme yaitu Descrates bahwa agar pengetahuan mencapai kebenaran
ilmiah berkaitan dengan fokus dan obyeknya (obyek forma dan materia) baik
pengetahuan yang bersifat sosial, alam maupun humaniora, tidak harus semata-
mata dikembangkan berdasarkan pengalaman, tetapi harus dikembangkan
secara metodologis berdasarkan evidiensi empiris, sehingga bermanfaat dan
berguna bagi kepentingan umat manusia.
Mengkaji pemerintahan mempunyai relevansi yang signifikan dengan
negara. Negara dibentuk atas dasar kontrak sosial. Pemerintahan negara bentuk
organisasi masyarakat yang terbesar. Pemerintahan suatu negara mencakup
berbagai dimensi baik demografis, geografis politik, hukum, ekonomi, sosial,
budaya, agama maupun pertahanan keamanan yang bersifat lingkungan
24 Makka, A. Makmur. 2006. Reformasi Birokrasi. Jakarta: The Habibie Center, hlm 16
pemerintahan (environmental) dan integral. Dalam konsep negara,
pemerintahan (badan dan urusan) menjadi persyaratan unsur strategis dan
penting bersamaan dengan unsur wilayah, penduduk, pengakuan negara lain.
Pemerintahan dalam arti urusan, badan, teknik atau cara serta sistem
pemerintahan. Pemerintahan pada dasarnya berkaitan erat dengan sistem,
bentuk, prinsip, azas, fungsi, badan, urusan, teknik dan cara pemerintahan
dalam rangka memerintah yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat atau
masyarakat pada suatu negara.
2. Kerangka Konseptual
a. Konsep Penataan
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini, dalam
Pasal 7 diatur tentang penataan desa. Bentuk penataan tersebut diatur dalam
Pasal 7 ayat (4), yaitu:
a. Pembentukan;
b. Penghapusan;
c. Penggabungan;
d. Perubahan status;
e. Penetapan desa
b. Konsep Desa
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Desa dinyatakan bahwa desa adalah
desa dan desa adat ataunyang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
c. Konsep Nagari
Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Daerah (Provinsi) Sumatera Barat
Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari:
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-
batas wilayah tertentu dan berwenang untuk mengatur kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal
usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah provinsi Sumatera Barat.
d. Pengertian Pemerintahan Nagari
Pemerintahan Nagari adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari dan Badan Permusyawaratan
Nagari berdasarkan asal usul Nagari di wilayah Propinsi Sumatera Barat
yang berada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Pasal 1 angka 8 Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun
2007).
e. Walinagari dan Badan Permusyawaratan Nagari
a. Walinagari
Menurut Pasal 1 angka 9 Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 2
Tahun 2007:
Walinagari adalah pimpinan pemerintahan nagari.
b. Badan Permusyawaratan Nagari
Menurut Pasal 1 angka 11 Perda Provinsi Sumatera Barat Tahun 2007:
Badan Permusyawaratan Nagari yang selanjutnya disebut Bamus Nagari
adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintah nagari sebagai unsur penyelenggaraan
Pemerintahan Nagari.
f. Kerapatan Adat Nagari (KAN)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Perda Provinsi Sumatera Barat
Nomor 2 Tahun 2007, Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah lembaga
kerapatan dari ninik mamak yang telah yang telah ada dan diwarisi secara
turun temurun sepanjang adat dan berfungsi memelihara kelestarian adat
serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako.
g. Konsep Hak Ulayat Nagari
Menurut Budi Harsono, hak ulayat adalah hak yang melekat sebagai
kompetensi khas pada masyaralat hukum adat, berupa kewenangan/kekuasaan
mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya ke dalam maupun keluar.25
Secara etimologi, istilah hak ulayat masih mengandung perdebatan. Hak
ulayat awalnya memang hanya dan lebih populer di masyarakat adat
Minangkabau. Pada daerah lain di Indonesia, masyarakat menyebutnya dengan
berbagai istilah dan konteks berbeda; sebagai milik, patuanan (Ambon); sebagai
daerah penghasil makanan, panyampeto (Kalimantan); sebagai lapangan yang
terpagar, pawatasan (Kalimantan), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali);
sebagai tanah terlarang buat orang lain, tatabuan (Bolaang Mangondow).
Selanjutnya juga ada istilah torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), nuru
25 Pusat Studi Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Laporan Penelitian Otonomi
Nagari dalam Penguasaan Sumber Daya Alam Nagari, (Padang: PUSaKO Fakultas Hukum Universitas
Andalas,2011)hlm. 27
(Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan ulayat (Minangkabau) (Ter Haar
1981:85). Sekarang, mungkin karena pengaruh UUPA, istilah hak ulayat sudah
dipakai oleh banyak masyarakat hukum adat pada berbagai daerah di Indonesia.
Biasanya, istilah itu dipakai dalam memperjuangkan atau menuntut hak-hak
mereka terhadap pihak-pihak yang “merampas” tanah dan sumber daya alam
yang dikuasai oleh masyarakat. 26
Hak ulayat sebagai hak yang melekat pada masyarakat hukum adat
diakui keberadaannya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisonal nya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang. Kemudian Pasal 28I ayat (3) yang menyebutkan identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
peradaban.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria, pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan setidaknya dua
persyaratan yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya.
Eksistensi dalam artian bilamana warga masyarakat yang bersangkutan masih
ada. Sedangkan dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi.
26 Kurnia Warman, Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk, Dinamika Interaksi Hukum Adat dan Hukum
Negara di Sumatera Barat, (Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV Jakarta, 2010), hlm. 39
Ruang lingkup hak ulayat di Minangkabau tidak bisa dipisahkan antara
tanah, air dan sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun,
penyebutan istilah tanah merupakan penyebutan paling lazim.27
Tanah ulayat di Minangkabau dapat diklasifikasikan:
1. Tanah ulayat kaum, dibawah pengawasan mamak kepala waris
2. Tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu suku.
3. Tanah ulayat nagari, dibawah pengawasan penghulu-penghulu yang
bernaung di dalam kerapatan nagari.28
Ulayat nagari adalah tanah kekayaan nagari di luar ulayat kaum dan suku
yang pemanfaataannya ditujukan untuk kepentingan anak nagari. Ulayat nagari
dimiliki dan dikuasai oleh seluruh suku yang terdapat dalam nagari
(Firmansyah, 2007:15). Proses timbulnya ulayat nagari dapat terjadi karena :
1. Belum diolahnya tanah oleh suku atau kaum (biasanya masih berupa
hutan)
2. Tanah tersebut pernah diolah tetapi kemudian ditinggalkan dan kembali
menjadi hutan.
3. Tanah ulayat suku atau kaum yang punah garis keturunan
matrilianialnya.
4. Penyerahan tanah ulayat suku atau kaum kepada nagari untuk kemudian
menjadi ulayat nagari.29
F. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan tahap untuk mencari kembali sebuah
kebenaran. Sehingga akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul
tentang suatu objek penelitian. Penelitian merupakan sarana pokok dalam
27Ibid, hlm 32 28Ibid, hlm 32 29Ibid, hlm. 32
mengembangkan ilmu pengetahuan karena dilakukan secara sistematis, metodologis
dan analisis untuk mendapatkan sebuah kesimpulan.
Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode sebagai berikut:
1. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini pendekatan masalah dilakukan secara yuridis emipiris.
Artinya penulis melihat kenyataan di lapangan tentang kondisi pemerintahan nagari
pascapemekaran dan menghubungkan dengan ketentuan penataan desa dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pelaksanannya merupakan hal
hal yang berkaitan dengan konsep teoritis yang terdapat dalam buku bacaan, undang
undang, pendapat para ahli dan selanjutnya melihat kenyataan di lapangan.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data atau informasi maka data yang penulis gunakan adalah:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang didapat melalui penelitian langsung di
lapangan, guna mendapatkan data yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Data tersebut di kumpulkan melalui studi di lapangan dengan
melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terkait seperti Ketua
Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Bagian Pemerintahan Nagari
Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara
lisan guna memperoleh informasi dari responden yang erat kaitannya
dengan masalah yang di teliti oleh penulis dilapangan.30
b. Data Sekunder
30 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, hlm 67.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan(library research), yaitu terhadap :
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat yang dapat
membantu dalam penelitian, yaitu peraturan perundang-undangan
terkait:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
c) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa
d) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana
Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara.
e) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun
2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari.
f) Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8 Tahun
2007 tentang Pemerintahan Nagari.
g) Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan terkait
pemekaran nagari
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap hukum primer antara lain karya dari kalangan
hukum, teori-teori dan pendapat para ahli, bahan pustaka atau literatur
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan sumber dari
internet.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder , antara lain : Kamus Besar Bahasa Indonesia yang membantu
dalam menerjemahkan istilah-istilah dalam penulisan.
Sumber data yang di peroleh dalam penelitian ini adalah :
a. Penelitian kepustakaan atau library research : bersumber pada buku
atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b. Penelitian lapangan atau field research : Penelitian dilakukan di
lapangan , yaitu di Kenagarian Inderapura Timur.
3. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah seluruh unit individu, objek, gejala atau kejadian yang
memungkinkan memberikan jawaban atas masalah yang ingin dicari atau diteliti.
Populasi dan penelitian ini adalah semua pihak yang terkait terutama dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari di Pesisir Selatan.
b. Sampel
Penarikan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu bagian dari suatu
populasi yang berguna untuk menentukan bagian-bagian dari obyek yang akan
diteliti.
Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakanadalah teknik
purposive sampling, dimana sampel ditentukan sendiri oleh peneliti dengan
maksud agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan
tujuanpenelitian.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah penulis mengumpulkan data data di lapangan, maka penulis akan
mengolah dan menganalisis data tersebut dengan cara cara sebagai berikut :
a. Pengolahan Data
Data yang telah di peroleh di lapangan diolah dengan cara :
1). Editing yaitu data yang diperoleh penulis akan diedit terlebih dahulu
guna mengetahui apakah data data yang di peroleh tersebut sudah cukup
baik dan lengkap untuk mendukung pemecahan masalah yang sudah
dirumuskan.31
2). Data yang telah diedit tersebut kemudian dilakukan coding. Coding yaitu
proses pemberian tanda atau kode tertentu terhadap hasil wawancara
dari responden.32
b. Analisis Data
Dari data yang diolah untuk selanjutnya dilakukan analisis data.Analisis
data yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu data tidak berupa angka
sehingga tidak menggunakan rumus statistik tetapi menilai berdasarkan
logika dan diuraikan dalam bentuk kalimat kalimat yang kemudian
dihubungkan dengan peraturan perundang undangan, pendapat para sarjana
, pendapat pihak terkait dan logika dari penulis.
31 Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum,Radja Grafindo, Jakarta hlm 125.
32 Bambang Sunggono,Ibid, hlm 126.
Top Related