1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sarana komunikasi yang paling penting bagi manusia tidak lain adalah
bahasa. Karena kedudukannya yang penting tersebut menyebabkan bahasa tidak akan
pernah lepas dari kehidupan manusia, dan selalu menyertai setiap aktivitas dan
perbuatannya. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran,
pendapat, pengalaman, berita, pesan-pesan, harapan, dan sebagainya. Keinginan
untuk selalu mengadakan hubungan dengan orang lain inilah menyebabkan bahasa
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (1984) mengatakan bahwa
bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk
berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sehubungan
dengan definisi bahasa di atas, fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat
komunikasi (Alwasilah, 1993: 8). Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga
berfungsi sebagai alat kebudayaan (Pateda, 1990: 12). Masyarakat yang rendah
peradabannya mempunyai bahasa yang sederhana. Hal ini disebabkan mereka hanya
memerlukan simbol-simbol untuk menyatakan perasaan serta pikirannya. Sebaliknya
masyarakat modern banyak menggunakan bahasa sebagai sarana untuk memperlancar
segala aktifitasnya di berbagai bidang.
2
Pemakaian bahasa secara aktual bervariasi dari satu kelompok ke kelompok
yang lain, dari penutur satu ke penutur yang lain, berdasarkan pelafalan, pilihan
kata, arti kata, dan bahkan dalam pemakaian konstruksi sintaksis (Akmajian dkk,
1990:229). Variasi pemakaian bahasa dapat terjadi karena adanya perbedaan bahasa
berdasarkan profesi, misalnya variasi yang digunakan oleh ABRI, Hakim, Jaksa,
Mahasiswa, dan Guru. Juga terdapat variasi bahasa berdasarkan kelas sosial ekonomi,
yaitu variasi yang dipergunakan oleh pekerja kasar, penjaja makanan, dan buruh
kecil. Variasi lainnya misalnya variasi kelompok kelas menengah. Yakni para
pegawai menengah dan usahawan menengah. Selain itu terdapat juga variasi yang
dipergunakan oleh orang-orang kaya (Kartamihardja, 1998).
Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi
juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor nonlinguistik yang
berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain adalah faktor sosial dan faktor
situasional. Karena kedua faktor itulah, variasi bahasa timbul. Variasi bahasa adalah
bentuk-bentuk bagian / varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang
menyerupai pola umum bahasa induknya. Wujud varian-varian tersebut dapat berupa
ideolek, dialek, ragam bahasa, register maupun unda usuk (Suwito, 1985: 23,
Poedjosudarmo, 1976:2).
Ragam bahasa juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan suasana
dan berdasarkan bentuk komunikasinya. Berdasarkan suasananya, bahasa dibedakan
menjadi ragam santai (informil), ragam resmi (formil), dan ragam indah (letterer).
Sementara itu, berdasarkan bentuk komunikasinya, bahasa dibedakan menjadi bentuk
3
ringkas (restricted) dan bentuk terbatas (elaborated). Bernstein menyebutnya sebagai
kode ringkas (restricted code) dan kode lengkap (elaborated code).
Menurut Bernstein dalam Wardaugh (1986), variasi bahasa itu ada dua macam
berdasarkan penggunaannya di dalam masyarakat. Variasi bahasa itu adalah variasi
kode lengkap (Elaborated code) dan variasi kode terbatas (Restricted code). Variasi
kode lengkap menggunakan konsep hirarki yang lengkap. Poedjosudarmo
menambahkan, kelengkapan itu ditunjukkan oleh kesesuaian kaidah sintaksis yang
ada. Ungkapan-ungkapannya dinyatakan dengan jelas. Perpindahan kalimat terasa
runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor ekstralinguistik yang aneh-aneh
(1986:8). Sementara itu, kode terbatas memiliki sifat yang sangat berbeda dengan
kode lengkap, misalnya sering menggunakan kalimat yang pendek atau tidak
menggunakan konsep hirarki yang lengkap. Hal ini disebabkan karena kode ini biasa
digunakan dalam suasana informal. Peserta tutur sering menggunakan kalimat-
kalimat pendek, kata-kata dan ungkapan biasa yang maknanya hanya dimengerti
oleh perserta percakapan itu. Orang luar mungkin mendapatkan kesulitan untuk
memahami makna tutur yang ada, sebab tuturan itu sangat dipengaruhi antara lain
oleh faktor-faktor ekstra-linguistik yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan
tersebut berlangsung. Mereka menggunakan idiom-idiom khusus yang hanya
dipahami oleh peserta tuturan itu.
Bernstein (dalam Wardaugh) berpandangan bahwa setiap penutur bahasa pasti
dapat menggunakan kode terbatas (Restricted Code), sebab semua pemakai kode ini
mempunyai kesempatan yang pasti, misalnya dalam bahasa keakraban. Akan tetapi
4
tidak semua kelas sosial dapat menggunakan kode lengkap, khususnya masyarakat
kelas bawah.
Beberapa contoh variasi dalam bahasa Jawa dapat ditampilkan berikut ini.
Untuk menyebut kata „biyen‟, mereka menyebutnya menjadi „bingen‟ atau „bingek‟
ataupun „biyek‟, „mengko disik‟, „ngko sik‟, mengko sikik, dan „mengko simik‟. Pada
tataran fonologi, bunyi [f, v, z] akan melemah menjadi [p, s, j, y], contohnya variasi --
- pariasi, TV --- tipi, kemudian zakat --- jakat / yakat. Pada tataran morfologi kata
pemerintah --- pemrentah, dombe, dumbah, deman, dan lain-lain.
Pada tataran morfologi juga ditemukan variasi penggunaan verba seperti
[ŋəpɛ?, ŋəmɛ?, apɛ?, amɛ?, gopɛ?, dan gomɛ?]. Dimikian juga dengan bentuk
nyeneni „memarahi‟ terdapat bentuk nyengeni, dan dalam bentuk pasif terdapat
bentuk diseneni dan disengeni. Prefix /di-/ mendapat tambahan kata dasar yang
diawali dengan vokal akan menjadi /dha-, dhi-, dhu-, dho-/diarak/dharak,
diamuk/dhamuk; diidak/dhidak, diitung/dhitung; diumbah/dhumbah, diurus/dhurus;
dan diomong/dhomong. Pada tataran Krama terdapat bentuk „Redikidul, Prambetan,
Kilenpragi, dan wedos‟. Pada tataran sintaksis terdapat variasi kalimat pendek,
sederhana dan dengan informasi lepas, tetapi juga ditemukan kalimat yang lengkap
dan deskriptif.
5
1.2 Perumusan Masalah
Untuk mengetahui bagaimana penggunaan variasi bahasa pada masyarakat
kelas bawah, perlu diteliti hal-hal yang terkait di bawah ini:
1. Bagaimanakah variasi fonologi pada pemakaian bahasa masyarakat kelas
bawah?
2. Bagaimakanakah variasi gramatikalnya?
3. Bagaimanakah variasi leksikalnya?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan variasi fonologi
2. Mendeskripsikan variasi gramatikal
3. Mendeskripsikan variasi leksikal
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini secara teoretis diharapkan berguna untuk memahami aspek
pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah yang nantinya dapat digunakan sebagai
data penyusunan teori pemakaian variasi bahasa yang lebih umum. Manfaat lain
yang juga diharapkan berguna adalah sebagai sumbangan terhadap perkembangan
teori linguistik, khususnya dalam disiplin Sosiolinguistik.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam
hal meningkatkan pemahaman dalam berkomunikasi dengan masyarakat kelas
6
bawah. Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna untuk membantu memahami
variasi bahasa berdasarkan penggunaannya dalam masyarakat. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi data bagi penelitian lebih lanjut sebagai
penelitian tingkat kedua.
1.5 Kajian Pustaka
Sunarso (1994) telah melakukan penelitian bahasa Jawa di Banyumas.
Penelitiannya berjudul “Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyumas di
Kabupaten Banyumas.” Pemakain tingkat tutur krama dan krama inggil
dibandingkan menurut kelompok sosial berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, dan usia. Kajiannya bersifat sosiolinguistik.
Sementara itu Ida Zulaiha dalam tesisnya (2000) melakukan penelitian
tentang “Pemakaian Bahasa Jawa Kabupaten Semarang dengan kajian
Sosiodialektologi.” Kajiannya berisi tentang pemakaian bahasa yang ditinjau dari
aspek fonetik-fonologi, morfologi, sintaksis, dan tingkat tutur dengan variabel kota-
desa, pekerjaan, pendidikan, dan usia. Dalam penelitiannya ditemukan pemakaian
variasi fonologi seperti penggunaan kata /getih/ menjadi /getɛh/, perih/ dan /perɛh/,
buruh/ dan /burϽh/. Variasi konsonan seperti terdapat pada pemakaian kata /gurung/
dan /guŋrʊŋ/. Pada tataran morfologi ditemukan pemakaian akhiran yang tidak
membedakan kelas kata, seperti terlihat pada contoh berikut: /jəmpϽl/ dan /jəmpϽlan/,
/jənti?/ dan /jənti?an/. Pada variasi sintaksis ditemukan pemakaian kata depan pada
7
strukutur frasa yang menyatakan kepemilikan seperti terlihat pada penggunaan kata
/ňang/, /ana/, dan /naŋgon/. Pada tataran leksikon ditemukan variasi penggunaan
kata-kata „bulu kuduk‟ dan „gigi rusak berwarna hitam‟ yang direalisasikan secara
bervariasi menjadi /wulu kalϽŋ/, /wulu giṭϽk/, /rambut cəŋəl/, dan kata/ gigІs/,
/sisІk/, /griwІŋ/, /krϽpϽs/, dan /krϽwϽŋ/.
Dalam tesisnya Sri Waljinah (2003) juga melakukan penelitian yang berjudul
“Pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Boyolali” dengan kajian Sosiodialektologi.
Dalam penelitiannya ditemukan bahwa bahasa Jawa di Boyolali mempunyai
beberapa variasi. Variasi yang ditemukan adalah variasi fonologi, morfologi,
sintaksis, kosa kata, dan unda usuk. Variasi fonologi yang ditemukan adalah
terdapatnya pemakaian kata-kata seperti /getih/ menjadi /gətɛh/, /ragil/ menjadi
/wragІl/, /malih/ menjadi /malɛh/, dan kata /jawah/ menjadi /jawϽh/. Pada tataran
morfologi terdapat bentuk variasi /grono/ menjadi /grϽnϽng/ dan /mbarəp/ menjadi
/pəmbarəp/. Penambahan tersebut tidak mengubah kelas kata. Sementara pada tataran
sintaksis terdapat pemakaian variasi kalimat imperative dengan akhiran /-na/ dan
/-en/ sebagai penanda verba imperative. Kemudian, terdapat pemakaian akhiran /-nen/
dan /-a/ yang menyatakan konsep penegas imperative /-lah/ seperti dalam bahasa
Indonesia.
Kajian mengenai variabel /-iŋ/ dan /-in/ di kota New York, pernah
dilakukakn oleh William Labov. Menurutnya, kelompok sosial tingkat atas dan
kelompok sosial tingkat bawah akan mengucapkan secara berbeda dalam
8
penggunaan kata seperti sleeping dan swimming (Holmes, 1992:152). Kata
sleeping dan swimming diucapkan secara benar oleh masyarakat kelas atas, sementara
itu kelompok masyarakat kelas bawah mengucapkan secara berbeda yaitu menjadi
sleepin dan swimmin. Selanjutnya, Labov juga telah melakukan penelitian tentang
variabel /r/ di kota New York (Wardaugh, 1988: 157-163). Salah satu temuannya
adalah kata car dan guard diucapkan dengan /r/ yang tinggi. Ucapan yang seperti ini
diasosiasikan dengan kelas menengah atas, meskipun mayarakat kelas menengah
atas tersebut tidak menggunakannya dalam setiap kesempatan. Penelitian serupa juga
telah dilakukan olah Trudgil (1974) dalam Sunarso (1997:83). Kajiannya menemukan
bahwa terdapat korelasi langsung antara kelas sosial penutur dalam penggunaan /s/
sebagai penanda verba simple present tense untuk orang ketiga tunggal.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Variasi Bahasa
Kridalakasana 1984:204 menyatakan variasi adalah wujud pelbagai
manivestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan; konsep yang
menyangkut variabel dan varian. Senada dengan pendapat di atas Ohoiwutun
(1997:46-47) mengatakan bahwa variasi bahasa adalah suatu wujud perubahan atau
perbedaan dari pelbagai manivestasi kebahasaan, namun tidak bertentangan dengan
kaidah kebahasaan. Variasi merupakan perubahan atau perbedaan yang
dimanifestasikan dalam ujaran seseorang atau penutur-penutur di tengah masyarakat
bahasa tertentu.
9
Variasi bahasa juga dimaknai sebagai seperangkat permasalahan linguistik
dengan distribusi yang mirip (Wardhaugh, 1988:22). Pateda (1987:52) juga
mengatakan bahwa variasi bahasa adalah pola bahasa atau ujaran yang cukup
homogen yang dapat dianalisis dengan teknik deskripsi sinkronik yang ada yang
mempunyai elemen repertoar luas yang dibatasi oleh makna untuk berkomunikasi.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah wujud
pemakaian bahasa yang berbeda-beda karena faktor-faktor tertentu.
Poedjosoedarmo, (1983: 175-176) mengatakan bahwa di dalam variasi
bahasa terdapat 3 kelas varian. Varian tersebut adalah (1) dialek yang berupa ideolek
dan dialek ( geografi sosial, usia, jenis kelamin, aliran, suku, dan lain-lain) ; (2)
unda-usuk (hormat, nonhormat, dan lain-lain); (3) ragam (santai/informal,
resmi/formal, indah/literer).
Variasi pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah termasuk dalam variasi
ekstrasistemik/varisasi eksternal. Variasi ekstrasistemik/eksternal yaitu variasi bahasa
yang terjadi karena faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri. Variasi ini
mencakup variasi geografis, variasi sosial, variasi fungsional, variasi kronologis,
variasi kultural, dan variasi individual. Variasi geografi memunculkan dialek,
sementara itu variasi sosial memunculkan sosiolek.
Trudgill (1974:43-44) dalam Sunarso (1997:82) mengatakan bahwa bahasa
mencerminkan perbedaan internal masyarakat. Kelompok sosial yang berbeda akan
menggunakan variasi yang berbeda. Dalam penelitiannya, ditemukan pertalian
antara pemakaian bahasa dengan kelas sosial. Pengguanaan /-s/ sebagai penanda
10
verba simple present tense untuk orang ketiga tunggal menjadi konsentrasi
penelitiaannya. Penelitian yang dilakukan di Detroit dan East Angilia menunjukkan
bahwa bentuk kosonan /-s/ tersebut kadang-kadang tidak muncul, setidak-tidaknya
pada penuturan beberapa orang. Artinya bentuk seperti “She like him very much, It go
so fast” pernah digunakan oleh penutur. Bahasa Inggris standar pada umumnya
dihubung-hubungkan dengan kelompok sosial tinggi. Dari sini dapat diduga bahwa
terdapat korelasi antara kelas sosial dengan penggunaan bentuk /-s/ tersebut. Dugaan
tersebut ternyata benar. Ini dibuktikan dengan adanya korelasi yang jelas antara kelas
sosial penutur dalam penggunaan /-s/. Di dua tempat tersebut ditemukan bukti bahwa
semakin tinggi kelas sosial masyarakat, semakin sedikit verba yang tidak memakai
/-s/ atau sebaliknya, semakin rendah kelas sosial masyarakat semakin banyak verba
yang tidak memakai /-s/. Yang perlu dicatat di sini adalah informan dalam penelitian
tersebut dibagi menjadi kelas menengah-menengah, menengah-bawah, kelas pekerja
atas, pekerja- menengah, dan kelas pekerja- bawah.
1.6.2 Kode Lengkap dan Kode Terbatas
Bernstein (1977 dan Lee (1981) membedakan kode dalam dua jenis yaitu
kode ringkas dan kode lengkap. Kode ringkas mempunyai ciri-ciri: (1) makna ujaran
tergantung pada konteks, yang merupakan makna partikularistik, makna ujaran
dapat dipahami bila dihubungkan dengan konteks situasi, konteks budaya, dan
konteks pelaku ujaran. Makna partikularistik adalah makna yang dapat dipahami oleh
orang-orang tetentu yang sama-sama memahami konteks situasi dan konteks budaya.
11
(2) jumlah alternatif leksikal dan pola-pola gramatikal relatif terbatas, sehingga
makna dan pola-polanya mempunyai probabilitas yang tinggi untuk bisa
diprediksikan, (3) ujaran bersifat konkrit, deskriptif, dan naratif, (4) fungsi utama
kode utama terbatas adalah menguatkan bentuk hubungan sosial. Maka dari itu sarana
pengonstruksian dan pemakaiannya menggunakan simbol-simbol sosial, (5) prinsip
yang digunakan adalah prinsip implisit, yakni maksud pembicara sering tidak
diwujudkan di dalam ujaran, sehingga kalimat yang dibentuk tidak lengkap
strukturnya. Namun demikian kalimat tersebut sudah lengkap berdasarkan fungsi
komunikasinya dikarenakan sudah komunikatif untuk ukuran hubungan antar
kelompoknya, (6) struktur gramatikal pada umumnya sederhana.
Kode lengkap (elaborated code) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)
makna ujaran tidak tergantung pada konteks lebih merupakan makna universalistik.
Makna ujaran dapat dipahami secara lengkap hanya dengan melihat teks. Konteks
situasi, budaya, dan pelaku ujaran tidak perlu diperhatikan. Makna universalistik
adalah makna yang dapat ditangkap atau dipahami oleh siapa saja hanya dengan
mendengar atau membaca teks, (2) jumlah leksikal dan pola-pola gramatikal relatif
bervariasi sehingga probabilitasnya rendah, (3) ujaran bersifat abstrak, analitis , dan
argumentative, (4) fungsi utama kode lengkap adalah sebagai sarana individual, (5)
prinsip-prinsip digunakan secara eksplisit yang berarti maksud penutur ditampilkan
atau diujarkan. Maka dari itu kalimat yang dihasilkan adalah kalimat yang lengkap
secara struktur dan lengkap fungsinya di dalam komunikasi, (6) struktur
gramatikalnya cenderung kompleks.
12
1.6.3 Konsep penggunaan Bahasa
Masalah penggunaan bahasa selalu dikaitkan dengan masyarakat sebagai
pemakai bahasa tersebut. Masyarakat bahasa atau juga disebut sebagai masyarakat
tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu
variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya
(Fishman,1975), mengatakan bahwa masalah penggunaan bahasa adalah bagian dari
kajian sosiolinguistik.
Halliday (1970) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa
dalam kaitannya dengan pemakai bahasa itu sendiri. Hymes (1973) dalam Sumarsono
(2002:2) mengatakan bahwa sosiolinguistik mengacu pada pemakaian data
kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan
sosial, dan sebaliknya, mengacu pada data kemasyarakatan dan menganalisisnya ke
dalam linguistik.
Senada dengan pendapat di atas, Nababan mengatakan bahwa sosiolinguistik
adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai
anggota masyarakat. Sosiolinguistik melihat bahasa dalam kaitannya dengan
masyarakat, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik lebih menekankan pada fungsi
bahasa itu sendiri.
Bahasa juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat
pemakainya. Sudaryanto (1990, 1990:21) mengatakan bahwa bahasa mempunyai
13
fungsi yang sangat khas. Fungsi bahasa dibedakan menjadi (1) pengembang akal
budi, (2) sebagai pemelihara kerja sama, (3) sebagai pewujud saling menjaga sesama.
Penggunaan bahasa (language use) adalah satu bentuk interaksi sosial yang
terjadi dalam situasi konkrit (Appel, 1976:9). Sedangkan Bell dalam Rokhman,
1998:232) mengatakan bahwa, pada dasarnya penggunaan bahasa dalam masyarakat
tidaklah monopolis melainkan variatif. Hal ini dikarenakan bahasa yang hidup
dalam masyarakat selalu digunakan dalam peran sosial.
Berbicara masalah prinsip-prinsip penggunaan bahasa Levinson, (1983)
mengatakan bahwa dalam mengkaji penggunaan bahasa harus memperhatikan
prinsip-prinsip penggunaan bahasa. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) pengetahuan
tentang peran dan status yang meliputi (a) pembicara dan mitra wicara, dan (b)
kedudukan relatif dari masing-masing peran tersebut; (2) pengetahuan tentang ruang
dan waktu pelaksanaan peristiwa tutur; (3) pengetahuan tentang tingkatan formalitas
peristiwa (resmi atau tidak resmi peristiwa tutur); (4) pengetahuan mengenai bahasa
pengantar (bahasa tulis atau lisan dan halus atau kasar); (5) pengetahuan tentang
ketepatan pokok permasalahan yang dibicarakan kaitannya dengan pemakaian
bahasa; (6) pengetahuan tentang ketepatan bidang wewenang atau register bahasa.
Dalam pandangan sosiolinguistik, struktur masyarakat yang selalu bersifat heterogen
(tidak homogen) akan mempengaruhi struktur bahasa. Struktur masyarakat di sini
meliputi faktor who speak, with whom, where, when, dan to what end (Wijana,
1987:110).
14
1.6.4 Ranah Penggunaan Bahasa
Fishman (1978:113) mengatakan bahwa ranah adalah lingkungan
penggunaan bahasa, baik masyarakat maupun pemerintahan. Terdapat empat ranah
penggunaan bahasa yaitu: (1) ranah keluarga (family domain), menunjuk pada
hubungan suami-istri, orang tua dan anak, kakek-nenek-cucu, ana-anak, dan kakak-
adik, (2) ranah ketetanggaan (neighborhood domain), yang menunjuk pada hubungan
kenalan dan pertemanan; (3) ranah kerja (work domain) menunjuk pada hubungan
pekerjaan; (4) ranah kultural/kebudayaan (cultural domain).
1.6.5 Komponen Tutur
Penggunaan bahasa selain ditentukan oleh faktor linguistik juga ditentukan
oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor nonlinguistik berhubungan erat dengan
faktor sosial dan kultural. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatan oleh
Kunjana (2001:27), yang mengatakan bahwa bahasa adalah bagian tak terpisahkan
sistem sosial. Sementara itu Koentjaraningrat (1992) juga mengatakan bahwa bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
bahasa tidak terlepas dari sistem sosial dan sistem budaya.
Faktor nonlinguistik yang merupakan faktor luar bahasa merupakan faktor
penentu dalam komunikasi. Dell Hymes menyebut hal seperti ini dengan istilah
komponen tutur (components of speech). Komponen tutur Dell Hymes biasa
disingkat dengan akronim SPEAKING. Penjelasan akronim tersebut adalah sebagai
berikut:
15
1) Setting dan Scene (S)
Setting mengacu pada latar belakang, tempat dan waktu yang sifatnya konkrit,
dimana proses berbicara dilakukan. Berbeda dengan setting, scene mengacu
pada latar belakang psikologis atau batasan budaya tentang suatu kejadian
sebagai suatu jenis suasana tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang
dengan latar yang sama mungkin mengubah suasana, misalnya saja dari latar
formal menjadi informal, dari serius menjadi santai.
1. Participants (P)
Participants mengacu pada peserta yang terlibat dalam kegiatan
berbicara, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau
pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat
berganti peran sebagai pembicara ataupun pendengar. Namun di dalam
kotbah di masjid, khotib sebagai pembicara tidak dapat bertukar peran
dengan jamaahnya.
2. Ends (E)
Ends mengacu pada maksud atau tujuan personal dari partisipan yang
ingin didapatkannya pada saat tertentu ketika berbicara. Peristiwa tutur
yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud menyelesaikan suatu kasus,
namun partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang
berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, sementara itu
pembela berusaha membuktikan terdakwa tidak bersalah, sedangkan
hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
16
3. Act sequence
Act mengacu pada bentuk dan isi aktual dari apa yang dibicarakannya.
Suatu pidato politik, ceramah keagamaaan, percakapan sehari-hari dan
sebagainya masing-masing merupakan wacana yang berbeda, karena
bentuk bahasa dan isi yang disampaikannya pun berbeda.
4. Key (K)
Key mengacu pada nada, sikap, dan jiwa (semangat) dimana sebuah
pesan khusus disampaikan dengan tulus, serius, seksama, mengejek,
tajam, angkuh, dan sebagainya. Kunci tersebut mungkin saja berupa tanda
nonverbal seperti tingkah laku, bahasa tubuh, postur, dan lain-lain.
5. Instrumentalities (I)
Instrumental mengacu pada pilihan jalur untuk menranfer pesan yaitu
secara oral, tertulis, dan telegram, dapat juga mengacu pada bentuk aktual
dari sebuah tuturan, apakah itu bahasa, dialek, kode, atau register yang
dipilih.
6. Norms of Interaction dan Interpretation (N)
Norm mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah kebahasaan
yang harus ditaati oleh anggotanya dan penafsiran terhadap tuturan dari
lawan bicara. Norma-norma itu berupa perilaku yang khas dan sopan
santun tutur yang mengikat yang berlaku dalam masyarakat pemakai
bahasa. Misalnya orang boleh menyela atau dilarang menyela percakapan.
7. Genre (G)
17
Genre mengacu pada jenis-jenis ujaran seperti puisi, peribahasa, teka-teki,
kotbah, doa, kuliah, dan editorial.
Dari apa yang telah dikemukanan oleh Hymes di atas dapat terlihat betapa
kompleksnya peristiwa tutur terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Kedelapan komponen tutur itu menjadi acuan dalam penelitian ini karena
bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dalam masyarakat.
Poedjosoedarmo (1975) menambahkan bahasan tentang komponen tutur.
Konsep Dell Hymes oleh Poedjosoedarmo dikembangkan menjadi tiga
belas (13) butir. Ketiga belas komponen tersebut adalah (1) pribadi si
penutur atau orang pertama, (2) anggapan penutur terhadap orang yang
berkedudukan sosial dan relasinyadengan orang yang diajak bicara, (3)
kehadiran orang ketiga, (4) maksud dan kehendak si penutur, (5) warna
emosi si penutur, (6) nada suasana bicara, (7) pokok pembicaraan, (8)
urutan bicara, (9) relasi antar penutur, (10) bentuk wacana, (11) adegan
tutur, (12) lingkungan tutur, (13) norma kebahasaan lainnya.
1.6.6 Masyarakat Kelas Bawah
1.6.6.1 Definisi Kemiskinan
Masyarakat kelas bawah atau biasa disebut masyarakat miskin adalah suatu
kelompok masyarakat yang kurang beruntung dalam hidupnya. Kemiskinan
merupakan masalah yang sangat kompleks. Wolf Scott dalam Andre Bayo Ala
(1981:5) menjelaskan tentang kemiskinan, yaitu: pertama, kemiskinana dapat
18
didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-
keuntungan nonmaterial yang diterima seseorang. Kemiskinan meliputi kekurangan
atau tidak memiliki pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang dibutuhkan. Kedua,
kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki aset-
aset seperti tanah, rumah, peralatan, emas, kredit, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan
nonmaterial, yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak memperoleh pekerjaan
yang layak, dan hak atas kehidupan yang layak.
Thee Kian Wie ( 1983: 6) mengatakan bahwa di dalam kemiskinan dikenal
istilah kemiskinan absolute dan kemiskinan relative. Kemiskinan absolute adalah
kemiskinan yang ditinjau dari sisi tidak terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari.
Kemiskinan juga dipandang sebagai suatu keadaan ketika tingkat pendapatan
absolute dari seseorang tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok seperti papan,
sandang, pangan , pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan yang dimaksud dengan
kemiskinan relative adalah kemiskinan dalam arti yang luas. Kemiskinan tidak
hanya dipandang dari segi kebutuhan pokok saja, namun juga kebutuhan-kebutuhan
lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan hak-hak politik seseorang.
Sri Edi Swasono (1999) mengungkapkan bahwa kemiskinan tidak cukup
hanya diterangkan sebagai realitas ekonomi saja, dan bukan sekedar gejala
keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat,
tetapi kemiskinan adalah merupakan realitas sistem/ sruktur dan tata nilai
kemasyarakatan.
19
Dalam perkembangangan masyarakat, selalu terdapat kelompok yang karena
keterbatasannya, mereka tidak dapat mensejajarkan diri dengan kelompok yang
lainnya. Mereka tidak dapat menikmati kekayaan atau harta benda yang berharga.
Hal ini disebabkan oleh sistem stratifikasi sosial dan sistem pendistribusian kekuatan
sosial yang ada. Mereka tidak dapat terlibat bersama-sama dengan warga masyarakat
lainnya karena mereka lemah secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya (Andre
Bayo Ala(ed), (1981:13). Kelompok ini di dalam masyarakat berada pada tataran
kelas bawah atau biasa disebut orang miskin.
Koentjaraningkrat (1981:5) menambahkan bahwa dalam kesehariannya
setiap orang memiliki perilaku budaya tertentu baik dalam konteks sosial
kemasyarakatan maupun konteks keluarga dan pribadinya. Perilaku budaya ini
berlangsung secara berulang dan membentuk suatu pranata (institution) yang
dipengaruhi oleh sistem norma atau sistem nilai budaya yang mereka miliki.
Dorojatun Kuncorojati (1986:270 mengatakan bahwa orang-orang miskin dan
keluarga miskin memiliki sistem budaya yang disebut budaya kemiskinan (culture of
poverty). Budaya kemiskinan adalah suatu bentuk budaya yang menghasilkan suatu
keadaan yang menjadikannya miskin. Soelaeman (1986:115) menambahkan bahwa
kemiskinan adalah keadaan seseorang yang pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dan jaminan
kesehatan. Standarnya adalah standar pendapatan rupiah yang ekuivalen dengan nilai
beras 329 kg per tahun (desa) dan 480 kg per tahun untuk kota.
20
Dalam kemiskinan dikenal istilah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Ciri-ciri kemiskinan absolute: 1) tidak mempunyai faktor produksi sendiri ( tanah,
modal, ketrampilan, dan sebagainya; (2) tidak punya kemungkinan aset produksi
dengan kekuatan sendiri; (3) tingkat pendidikannya rendah tidak sampai tamat SD
karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan; (4) kebanyakan
tinggal di desa sebagai pekerja bebas; (5) kebanyakan berusia muda dan tidak
mempunyai ketrampilan bagi mereka yang tinggal di kota (Soelaiman 1986: 135).
Suparlan dkk (1988) menambahkan ciri-ciri kelompok ini adalah: (1) cara
berpikir mereka sangat konkret dan senantiasa dihubungkan dengan pemenuhan
kebutuhan primernya; (2) setiap tindakan dipertimbangkan untung ruginya secara
nyata; (3) tindakannya secara langsung ataupun tidak langsung dilandasi
pertimbangan komersial agar keuntungan jerih payahnya segera dapat dinikmati.
1.6.6.2 Ukuran kemiskinan menurut Pemerintah (BKKBN)
Pemerintah dalam hal ini Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN)
Daerah Istimewa Yogyakarta (2001) mengeluarkan blanko Register Pendataan
Keluarga menetapkan kriteria kemiskinan dengan batasan-batasan ekonomi dan non
ekonomi. Istilah-istilah yang digunakan sangat luas yaitu meliputi Keluarga Pra
Sejahtera dan Sejahtera I, Sejahtera II, juga Sejahtera III+. Yang disebut dengan
Keluarga Pra Sejahtera adalah dari segi ekonomi masuk golongan „Keluarga Miskin
Sekali‟. Sedangkan yang dimaksud keluarga Sejahtera I adalah kelompok yang
secara ekonomi termasuk „Keluarga Miskin‟.
21
Kriteria masing-masing tingkat kesejahteraan tersebut adalah sebagai berikut
ini.
a) Keluarga Prasejahtera (PS)
Keluarga Prasejahtera adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu
atau lebih dari syarat-syarat keluarga Sejahtera I.
b) Keluarga Sejahtera I (SI)
Paling sedikit terdapat dua indikator dalam kriteria Sejahtera I, yaitu:
(1) Alasan Ekonomi:
Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali atau lebih
dalam sehari.
Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di
rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian.
Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
(2) Alasan non-ekonomi
Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama
Apabila anak sakit dan atau pasangan usia subur ikut ber-KB
akan dibawa ke sarana kesehatan.
c) Sejahtera II (S II)
Sejahtera II adalah kelompok keluarga yang mempunyai ciri-ciri keluarga
Sejahtera I ditambah kriteria-kriteria sebagai berikut:
22
1. Paling sedikit, sekali dalam seminggu kelurga ini makan daging
atau telur.
2. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.
3. Setahun terakhir, keluarga memperoleh paling tidak satu setel
pakaian baru.
4. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan
dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing.
5. Ada anggota keluarga umur 15 tahun berpenghasilan tetap.
6. Anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.
7. Anak umur 7-15 tahun bersekolah
8. Pasangan usia subur dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini
memakai kontrasepsi.
9. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur.
d) Sejahtera III (S-III)
Sejahtera III adalah keluarga yang mempunyai syarat S-II ditambah
beberapa kriteria berikut ini:
1) Sebagian penghasilan keluarga ditabung
2) Kebiasaan keluargaa makan bersama paling sedikit, sehari satu
kali dan memanfatkannya untuk berkomunikasi.
3) Keluarga sering kegiatan bermasyarakat di lingkungan tempat
mereka tinggal.
23
4) Keluarga berekreasi ke luar rumah paling sedikit sekali dalam 6
bulan.
5) Keluarga memperoleh berita dari surat kabar, radio, televiasi, atau
majalah.
6) Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi
setempat.
7) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agamanya.
1.6.7 Bahasa dan Kelompok Masyarakat Kelas Bawah
Realisasi budaya keluarga ini ditandai dengan penggunaan kode bahasa yang
sangat terbatas. Keberhasilan sosial anggota masyarakat ujaran dan kemudahan
mendapatkan keistimewaan sosial sangat bergantung pada derajat pengorganisasian
pesan-pesan linguistiknya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kebiasaan ujaran kelompok sosial tertentu ini berbeda dalam sintaksis dan semantik
dengan kelompok sosial lainnya (Bernstein dalam Alwasilah 1985:97).
1.6.7.1 Jenis-jenis Variasi
Berbicara tentang variasi, menurut Poedjosoedrmo (1983:175-176) paling
sedikit terdapat tiga kelas varian bahasa. Varian-varian bahasa tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Dialek yang berupa idiolek dan dialek (geografi, sosial, usia, jenis, aliran, suku,
dan lain-lain).
2) Varian unda- usuk yaitu hormat, nonhormat, dan lain-lain,
24
3) Varian ragam yaitu santai/informal, resmi/formal, indah/literer.
Sedangkan berdasar sumbernya , Nababan (1986:15) menyebutkan bahwa variasi
bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam bentuknya yaitu:
variasi sistemik atau variasi internal adalah variasi bahasa yang terjadi di dalam
lingkup unsur-unsur kebahasaan itu sendiri. Variasi ini dapat terjadi pada unsur
fonem, morfem, dan tata kalimat. Ohoiwutun (1997:47) mengatakan bahwa
variasi-variasi yang termasuk di dalam variasi sistemik adalah variasi fonologis,
dan variasi morfologis.
1.6.7.2 Variasi Fonologi
Variasi fonologi adalah variasi yang terdapat dalam lingkungan yang sama,
terutama dalam kata yang tidak berbeda maknanya. Contoh variasi ini terjadi pada
pasangan telur dan telor, berjuang dan berjoang, lubang dan lobang, langit dan
langet, sebetulnya terdapat perbedaan fonemis antara /u/ dan /o/ demikian juga
dengan pasangan fonem /i/ dan e/. Hanya saja pada pasangan kata-kata tersebut
fonem-fonem tersebut dapat bervariasi secara bebas (free variation, nonfunctional
variation) (Kridalaksana, 1984:204)
Variasi fonetik atau variasi lafal dapat terlihat pada pengucapan /e/ (vokal
tengah tak bundar/pepet) akan berubah menjadi (vokal depan/tawing) biasa diucapkan
oleh etnik Batak, Sumbawa, dan Bima. Orang cenderung mengucapkan /e/ vokal
tengah tak bundar/pepet menjadi /e/ (vokal depan/tawing) sebagai ciri pemakaian
bahasa Indonesia khususnya kota Medan di Sumatra Utara. Demikian juga dengan
25
penggunaan/pengucapan /t/ dental menjadi /T/ postdental menjadi identitas etnik Bali,
Aceh, Pidi, dan Kandangan (Kalimantan Selatan). Sedangkan penambahan bunyi /?/
(glottal stop atau hamzah) pada kata yang berakhir vokal adalah sebagai penanda
pemakaian ragam bahasa yang dipakai oleh penutur yang berbahasa ibu bahasa
Sunda. Pengucapan bunyi /d/ yang terasa berat adalah sebagai penanda pemakaian
bahasa oleh penutur berbahasa ibu bahasa Jawa (Sumarsono dan Partana, 2002:75).
Dengan perbedaan pemakaian bahasa pada setiap suku bangsa menunjukkan betapa
pluralnya budaya di Indonesia.
1.6.7.3 Variasi Morfofonemis
Variasi morfofonemis atau biasa disebut sebagai morphophonemik variation
adalah perubahan wujud fonemis dari sebuah morfem. Variasi bentuk ini dapat
dilihat pada pemakaian morfem /ber-/ . Morfem /ber-/ dapat berubah menjadi ber-,
be-, dan bel. Perubahan ini terjadi dikarenakan oleh jenis morfem dasar yang
diikutinya (Kridalaksana, 1994:204). Contoh-contoh penggunaannya dapat dilihat
pada data berikut ini:
- ber- + rebut -------berebut
- ber- + ragam _____ beragam
- ber- + ajar -------- belajar
- ber- + angkit -------- berjangkit
- ber- + kasus -------- berkasus
- ber + main ------- bermain
26
1.6.7.4 Variasi Ekstrasistemik/ variasi Ekstrenal
Variasi ekstrasistemik/variasi eksternal adalah variasi bahasa yang terjadi
karena faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri. Variasi ini terjadi desebabkan
karena faktor luar bahasa seperti faktor geografis, kedudukan sosial seseorang, situasi
berbahasa, waktu pemakaian, gaya/style, kultural, dan individual.
Variasi ekstrasistemik tersebut mencakup beberapa macam yaitu variasi
geografis atau biasa disebut variasi regional, variasi sosial, variasi fungsional, variasi
kronologis, variasi kultural, dan variasi individual.
Variasi geografis memunculkan dialek, variasi sosial memunculkan sosiolek,
variasi fungsional memunculkan fungsiolek, variasi kronologis memunculkan
kronolek, dan variasi individual memunculkan idiolek.
I.6.7.5 Munculnya Variasi
Variasi bahasa dapat terjadi dikarenakan bebarapa faktor. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut ini.
1.6.7.5.a Faktor Geografis
Varaiasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan daerah pemakaian bahasa
disebut variasi geografis atau variasi regional. Bentuk pemakaian bahasanya disebut
dialek. Poedjosoedarmo, (1983:35) mengatakan bahwa dialek adalah suatu varian
bahasa yang memiliki bentuk dan penggunaan yang khas karena latar belakang
penuturnya yang khas pula.
27
Meillet (1970:70) menjelaskan tentang ciri-ciri dialek. Ciri-ciri dialek adalah
perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan; seperangkat bentuk
ujaran setempat yang berbeda-beda yang mempunyai ciri-ciri umum dan masing-
masing mempunyai kemiripan dibandingkan dengan ujaran lain dari bahasa yang
sama. Sebuah dialek tidak harus mengambil seluruh bentuk-bentuk ujaran dari
sebuah bahasa.
Poedjosoedarma (1983:43-44) mengatakan bahwa dialek dapat terbentuk
dikarenakan adanya kebersamaan yang dialami oleh masyarakat penuturnya.
Kebersamaan tersebut dikarenakan adanya pengalaman dalam menghadapi tantangan
hidup sehari-hari yang telah mereka dapatkan. Di dalamnya terdapat penghayatan
status sosial, kebersamaan di dalam aspirasi hidup, juga dalam hal idiologi, dan lain-
lain.
Kridalaksana (1984:38-39) mengatakan bahwa dialek dapat dibedakan
menjadi dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dialek regional adalah
variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu. Ciri dialek
ini dibatasi oleh tempat daerah bahasa itu digunakan. Misalnya bahasa Jawa dialek
Solo-Yogyakarta, dan dialek Jawa Timur seperti Surabaya, Malang, Mojokerto,
Pasuruan, dialek Osing (Banyuwangi), dan dialek Banyumas.
Dialek sosial adalah variasi bahasa yang dipakai oleh golongan atau
kelompok sosial tertentu dari suatu kelompok bahasawan. Misalnya bahasa Melayu
yang dipakai oleh para bangsawan.
28
Dialek temporal adalah variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan
yang hidup pada masa tertentu, misalnya bahasa Jawa Kuna, dan bahasa Melayu
Klasik. Sebuah bahasa dapat mengalami perubahan dikarenakan oleh keadaan alam
yang tidak rata, bergunung-gunung , dan adanya laut yang telah memisahkan mereka.
Terjadinya perpindahan kelompok masyarakat ini menyebabkan bahasa berubah.
Bahasa yang tadinya berfungsi sebagai alat komunikasi bersama dan seragam
memunculkan bentuk bahasa yang baru. Hal ini disebabkan adanya rintangan
geografis seperti gunung, sungai, selat, dan lainnya. Dengan keadaan yang demikian
tersebut terjadilah perubahan dalam bahasa. Perubahan (bahasa yang baru) ini
disebut sebagai dialek (Ohoiwutun, 1957:50).
1.6.7.5.b Kedudukan Sosial
Kajian Labov tentang variasi bahasa memperlihatkan bahwa tingkat dan
kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat tutur menimbulkan perbedaan
variasi bahasa, Liliweri (2003). Penelitian yang dilakukan oleh Trudgill yang
dilakukan di India selatan terhadap salah satu kelompok bahasa Dravida juga
menunjukkan hal yang sama.
Kedudukan sosial seseorang di masyarakat sangat berpengaruh pada tingkah
laku berbahasanya. Hal seperti ini sangat terlihat pada kelompok penutur berbahasa
Jawa, Sunda, dan Bali. Perbedaan status sosial ini memunculkan apa yang disebut
variasi sosial. Sedangkan wujud pemakaian bahasanya disebut sosiolek.
29
Berikut ini beberapa di antaranya:
1) Akrolek
Akrolek adalah wujud variasi bahasa yang dianggap lebih bernilai tinggi dari
pada varian yang lain. Contohnya, bahasa Bagongan yang khusus dipakai bangsawan
di kalangan kraton Jawa. Bahasa Bagongan akhir-akhir ini sering dipakai oleh para
pembawa acara pada acara hajatan perkawinan di Yogyakarta.
Di dalam masyarakat Bali juga dikenal salah satu variasi bahasa yang
disebabkan oleh adanya perbedaan kelas dan status sosial masyarakat. Masyarakat
Bali mengenal kasta untuk mengelompokkan anggota masyarakatnya. Terdapat empat
kelas sosial di dalamnya. Kelas sosial tersebut adalah Brahmana, Kesatria, Waisya,
dan Sudra. Kasta Brahmana adalah kelas kasta tertinggi di dalam masyarakat Bali.
Sedangkan kelas kasta terendah adalah Sudra. Perbedaan pemakaian bahasa pada
masyarakat Bali seperti terlihat pada contoh berikut ini. Kata sudah dalam bahasa
Indonesia diucapkan „sudah‟ oleh kasta Brahmana. Sedangkan kasta Sudra
menyebutnya dengan „sub‟ yang juga berarti „sudah‟. Perbedaan tersebut
dikarenakan kelas dan status sosial yang berbeda. Ragam yang berbeda tersebut
adalah ragam halus disebut singgih dan ragam kasar disebut sor.
Suwito (1989:12) mengatakan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat apa yang
disebut dengan tingkat tutur atau unda usuk. Tingkat tutur (unda usuk) adalah sejenis
tingkat tutur yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Tingkat tutur (unda
usuk) dalam bahasa Jawa terdiri atas tingkat tutur sopan ( halus), tingkat tutur
menengah (sedang) dan tingkat tututr rendah (kasar). Unda usuk ini muncul
30
dikarenakan adanya beberapa faktor sosial yang terdapat di masyarakat. Faktor-faktor
tersebut adalah adanya hubungan antara penutur dan lawan tutur di dalam kontak
sosialnya.
Unda usuk di dalam bahasa Jawa adalah krama, madya, dan ngoko. Salah satu
contoh pemakaian variasi bahasa ini adalah pemakaian kata sapaan. Kata sapaan ini
sering sekali digunakan dalam pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah. Sebagai
contoh adalah kata panjenengan /jenengan (krama), sampeyan (madya), dan kowe
(ngoko). Bentuk-bentuk yang berbeda tersebut akan digunakan sesuai dengan siapa
yang diajak berbicara.
2) Basilek
Basilek adalah wujud variasi bahasa yang dianggap kurang bernilai, dan ada
yang menyebutnya bahasa yang rendah. Contoh bahasa yang dianggap rendah ini
adalah dalam pemakaian kata „nun‟ untuk menjawab panggilan dalam bahasa Jawa
ini dianggap sebagai krama ndesa. Jawaban yang dianggap bernilai tinggi adalah
„kula atau dalem‟.
3)Vulgar
Vulgar adalah wujud variasi bahasa yang digunakan oleh penutur yang
kurang terpelajar. Sebagai contoh adalah bahasa-bahasa Eropa hingga abad
pertengahan dianggap vulgar dikarenakan pemakaian bahasa kelompok terpelajar
pada waktu itu menggunakan bahasa Latin.
4) Kolokial
31
Kolokial adalah wujud variasi bahasa yang biasanya digunakan dalam
percakapan sehari-hari.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah dan
beretnik Jawa. Daerah yang menjadi titik pengamatan dalam penelitian ini adalah
kampung Ngaglik kelurahan Giwangan kecamatan Umbulharjo. Di desa ini terdapat
lima keluarga miskin yaitu keluarga bapak Suradi, keluarga bu Cip, keluarga bu
Ngatilah, keluarga bu Herno, dan keluarga bu Genjik. Desa ini adalah desa yang
berbatasan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul. Karena kampung ini
berada di daerah perbatasan, pengentasan kemiskinan belum juga terselesaikan.
Secara geografis berada di Kota tetapi secara administrative mereka berada di
Bantul.
1.7.2 Bahan/ materi Penelitian
Materi penelian ini adalah bahasa yang dipakai oleh masyarakat kelas bawah
yang dikelompokkan berdasarkan variasinya. Variasi yang diambil adalah variasi
fonologi, morfologi, sintaksis, kosa kata, dan krama desa.
1.7.3 Metode Pengumpulan Data
32
Data dalam penenelitian ini berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari
berbagai peristiwa tutur. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode
pengamatan dan wawancara dengan menggunakan teknik simak, baik dengan teknik
simak libat cakap maupun teknik simak bebas libat cakap (Sudaryanto, 1993: 133-
135). Metode pengumpulan data dilakukan dengan alat bantu tape recorder dan
pencatatan lapangan. Data tersebut divalidasi dengan teknik triangulasi , yaitu: teknik
rekam, catatan lapangan, serta wawancara, dan juga pengamatan langsung.
1.7.4 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) analisis selama proses
pengumpulan data (Huberman 1984:21-25; Muhajir 1996:105). Cara pertama adalah
(1) reduksi data, (2) sajian data, (3) pengambilan simpulan. Cara kedua adalah (1)
transkripsi data hasil rekaman, (2) pengelompokan data yang berasal dari perekaman
dan catatan lapangan, (3) pengelompokan wujud variasi, (4) penyimpulan dan
perampatan tentang wujud variasi. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil penafsiran
yang tepat, dilakukan hal-hal berikut: (1) transkripsi data, (2) pengecakan ulang, dan
(3) diskusi.
1.8 Sistematika Penyajian
Analisis dalam penelitian ini akan disajikan dalam sistematika penyajian
berikut ini. BAB I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori,
Top Related