1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepribadian seseorang akan dilihat dari bahasa yang digunakan. Bahasa
dapat mengungkapkan kepribadian seseorang melalui tindak tutur, baik verbal
maupun nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-
kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa
yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak tubuh, sikap, atau perilaku yang
mendukung pengungkapan kepribadian seseorang (Pranowo, 2012: 3).
Kesantunan dalam berbahasa merupakan salah satu bagian dari
kepribadian seseorang yang baik maka perlu dikembangkan dalam kehidupan
sehari-hari. Kesantunan menurut Fraser (dalam Dwipayana, 2007:22) adalah
terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Kontrak
percakapan itu ditentukan oleh hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat di
dalam kegiatan bertutur itu. Selain itu, kontrak percakapan juga ditentukan oleh
peserta pertuturan terhadap faktor-faktor kontekstual yang relevan.
Menurut Simpen (2008a:1) kesantunan berbahasa merupakan salah satu
aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya
karena di dalam komunikasi penutur dan petutur tidak hanya dituntut
menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga
keharmonisan hubungan. Keharmonisan hubungan penutur dan petutur tetap
2
terjaga apabila kepribadian masing-masing penutur dengan petutur berbudi luhur
dan tidak saling mempermalukan.
Perngembangan kepribadian seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
media komunikasi. Media tersebut misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi,
dan film (layar lebar). Media-media tersebut memengaruhi kepribadian seseorang,
khususnya dalam berbahasa. Media komunikasi yang masih tetap digemari oleh
masyarakat sampai saat ini salah satunya adalah film.
Film merupakan produk budaya yang di dalamnya terdapat banyak nilai
yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Nilai-nilai tersebut di antaranya
adalah nilai edukasi, estetika, etika, dan ideologi yang mengandung ajaran-ajaran
luhur (Mona, 2009: 2). Itulah sebabnya perlu mempelajari atau memahami norma-
norma budaya dan mempelajari bahasa. Tatacara berbahasa yang mengikuti
norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa. Selain budaya,
faktor-faktor sosial, seperti status sosial, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
dan hubungan kekerabatan juga memengaruhi pembentukan kesantunan
berbahasa.
Film Habibie & Ainun adalah drama Indonesia yang dirilis pada 20
Desember 2012 berdurasi 2 jam 1 menit, dan digarap oleh sutradara Faozan Rizal.
Film ini diperankan oleh Reza Rahardian sebagai Habibie, Bunga Citra Lestari
sebagai Ainun, Esa Sigit sebagai Habibie muda, Marsha Natika sebagai Ainun
muda, Tio Pakusadewo sebagai Presiden Soeharto, Mike Lucock sebagai Ilham
Akbar Habibie, Christoffer Nelwan sebagai Ilham Akbar Habibie kecil, Radytia
Argoebie sebagai Thareq Kemal Habibie, Ratna Riantiarno sebagai R.A. Tuti
3
Marini Puspowardojo (Ibu Habibie), dan Bayu Oktara sebagai Fanny Habibie
(adik Habibie). Film ini diangkat dari sebuah buku berjudul Habibie & Ainun
yang ditulis tahun 2012. Buku tersebut Habibie persembahkan kepada istrinya
yang sudah meninggal dunia, akibat menderita kanker ganas. Penulis buku
tersebut adalah Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia tidak menyangka bahwa bukunya
menjadi salah satu buku terlaris. Buku tersebut diangkat ke dalam sebuah film
layar lebar dengan judul yang sama.
Penelitian ini mengkaji bahasa yang digunakan pada film Habibie &
Ainun. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah bahasa dan penggunaannya, maka
kajian ini termasuk dalam kajian makrolinguistik, yaitu pada bidang ilmu
pragmatik. Hal itu karena bahasa yang diamati adalah cara penggunaannya
sehingga dapat menghasilkan tuturan yang santun.
Pemakaian bahasa yang santun dalam berkomunikasi erat kaitannya
dengan ilmu pragmatik. Leech (1993:16) membagi pragmatik menjadi dua, yaitu
pragmatik linguistik dan sosiopragmatik. Penelitian ini menggunakan kajian
sosiopragmatik. Penelitian mengenai kesantunan khususnya dalam perfilman dari
segi sosiopragmatik, masih perlu dilakukan karena dapat berdampak positif bagi
masyarakat yang menonton.
Kesantunan pada film Habibie & Ainun dapat dilihat dari tuturan yang
digunakan. Salah satu contoh tuturan santun pada film ini adalah sebagai berikut.
H : Maaf Ainun kalo saya mau ngajak kamu jalan-jalan boleh? Ya, untuk
saya mencari udara segar di Bandung untuk penyembuhan.
A : (tersenyum)
4
Cara bertutur dengan meminta maaf merupakan hal yang santun dalam setiap
budaya bahasa. Strategi dengan meminta maaf merupakan strategi kesantunan
yang paling penting. Strategi memohon maaf dilakukan dengan cara
menyampaikan keseganan penutur atau rasa maafnya kepada petutur. Maksud
tuturan ini adalah penutur (Habibie) ingin mengajak petutur (Ainun) untuk jalan-
jalan tanpa pemaksaan. Dengan bertutur meminta maaf, lawan tutur akan merasa
dihargai dan dihormati.
Dalam film Habibie & Ainun hubungan antara penutur dan petutur yang
asimetris, yaitu dilihat dari segi status, umur, dan jenis kelamin. Karena memiliki
hubungan asimetris, maka adanya tingkat bahasa dalam film Habibie & Ainun,
yaitu salah satunya kesantunan berbahasa. Film Habibie & Ainun merupakan
salah satu film yang menceritakan kisah orang ternama di Indonesia, yaitu
Presiden ke-3 Indonesia bernama Bacharuddin Jusuf Habibie maka bahasa yang
digunakan dalam film tegolong santun. Film Habibie & Ainun menarik diteliti
tidak hanya dari kesantunan berbahasanya, tetapi menampilkan tuturan berupa
dialog yang tentunya relevan dengan fokus penelitian ini. Selain itu, kesantunan
pada film Habibie & Ainun belum pernah dikaji.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat dua rumusan masalah dalam
penelitian ini. Adapun masalah tersebut, yaitu sebagai berikut.
1) Strategi kesantunan berbahasa apakah yang digunakan dalam film Habibie &
Ainun?
5
2) Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi terjadinya kesantunan berbahasa
dalam film Habibie & Ainun?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas ada dua jenis tujuan yang hendak
dicapai. Adapun tujuan penelitian ini adalah tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesantunan apa
yang terkandung dalam film Habibie & Ainun. Hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi mengenai pemakaian bahasa yang diindikasi pada
kesantunan berbahasa dalam perfilman. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan
untuk memberikan pemahamaan berbahasa santun dalam perfilman.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
a) Untuk mengetahui strategi kesantunan berbahasa dalam film Habibie &
Ainun.
b) Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kesantunan
berbahasa dalam film Habibie & Ainun.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca, baik secara teoretis maupun secara praktis. Adapun manfaatnya adalah
sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
memperkaya kajian linguistik. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat
menunjang perkembangan penelitian yang sejenis dalam bidang bahasa terutama
pada bidang pragmatik.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
informasi tentang kesantunan berbahasa dari segi fungsi dan maknanya. Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi acuan kesantunan berbahasa untuk menjaga
hubungan sosial setiap penutur bahasa.
1.5 Kajian Pustaka, Konsep, dan Landasan Teori
1.5.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai kesantunan berbahasa dalam film Habibie & Ainun
ini menggunakan beberapa pustaka atau penelitian terdahulu yang terkait sebagai
acuan. Beberapa pustaka atau penelitian yang menyangkut kesantunan berbahasa,
yaitu sebagai berikut.
7
Penelitian Dwipayana (2007) dalam skripsinya yang berjudul
“Kesantunan Tuturan dalam Wacana Strip Komik Benny & Mice pada Harian
Kompas” mengkaji jenis kesantunan tuturan dan pelanggaran prinsip kesantunan
dalam wacana strip komik Benny & Mice. Teori yang digunakan, yaitu teori
kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Lakoff (1973), teori kesantunan
Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Tuturan dalam
wacana strip komik Benny & Mice. Jenis kesantunan yang dipakai adalah
kesantunan positif dan kesantunan negatif. Selain itu, dalam wacana strip komik
Benny & Mice ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan yaitu maksim
kebijaksanaan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim
penghargaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim),
maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympahty
maxim). Tulisan ini relevan dengan penelitian ini karena sama-sama meneliti
kesantunan. Perbedaannya adalah bahwa Dwipayana (2007) mengkaji tuturan
Wacana Strip Komik Benny & Mice pada Harian Kompas, sedangkan penelitian
ini mengkaji tuturan film Habibie & Ainun.
Simpen (2008b) dalam disertasinya yang berjudul “Kesantunan Berbahasa
pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur” menyatakan bahwa tujuan
melakukan kajian terhadap kesantunan berbahasa adalah untuk menemukan,
mendeskripsikan, dan menganalisis satuan verbal yang digunakan sebagai
kesantunan, makna kesantunan, dan unsur suprasegmental yang memengaruhi
kesantunan. Landasan teorinya beranjak dari teori linguistik kebudayaan dan teori
sosiopragmatik. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesantunan bahasa
8
dipengaruhi oleh faktor status, jenis kelamin, usia, dan hubungan kekerabatan.
Tulisan ini relevan dengan penelitian ini karena sama-sama meneliti kesantunan.
Perbedaannya adalah bahwa penelitian Simpen (2008) mengkaji pertuturan
bahasa Kambera di Sumba Timur, sedangkan penelitian ini mengkaji tuturan
dalam film Habibie & Ainun.
Sosiowati (2013) dalam disertasinya yang berjudul “Kesantunan Bahasa
Politisi dalam Talk Show di Metro TV” membahas ciri-ciri satuan verbal, faktor-
faktor yang melatarbelakangi pelanggaran dan ketaatan kesantunan, serta ideologi
yang tersirat di balik perilaku berbahasa mereka. Landasan teori yang digunakan
untuk menganalisis kesantunan bahasa adalah sosiopragmatik karena ilmu ini
mempelajari bagaimana bahasa, termasuk kesantunan, diaplikasikan secara
berbeda dalam situasi yang berbeda. Selain itu, teori pragmatik juga digunakan
dalam penelitian ini karena teori tersebut mendukung unsur pengancaman muka,
prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, implikatur percakapan, dan paradoks
kesantunan. Tulisan ini relevan dengan penelitian ini karena sama-sama meneliti
kesantunan. Perbedaannya adalah bahwa Sosiowati (2013) meneliti bahasa yang
digunakan oleh politisi dalam Talk Show di Metro TV.
1.5.2 Konsep
1.5.2.1 Kesantunan
Kesantunan berbahasa menurut Crystal (dalam Simpen, 2008a:16)
merupakan bagian pragmatik, yaitu kajian yang berkaitan dengan faktor-faktor
yang mengendalikan pilihan bahasa dalam interaksi sosial. Di dalamnya juga
9
tercakup dampak pilihan pemakaian bahasa, baik bagi pembicara maupun
pendengar.
Kata kesantunan berasal dari bentuk dasar santun, yang berarti halus dan
baik budi bahasanya. Kata santun sering bergabung dengan bentuk sopan dalam
sopan santun. Bentuk kesantunan berkaitan dengan segala hal yang berhubungan
dengan penggunaan bahasa yang baik atau budi bahasa yang baik, sedangkan
sopan lebih memengaruhi perilaku/tindakan secara fisik dan nonfisik. Itu artinya,
sopan atau kesopanan dapat berupa tindakan/perilaku verba atau tindakan
nonverba, sedangkan santun atau kesantunan lebih menitikberatkan pada perilaku
verba (kebahasaan) (Simpen, 2008a:17 ).
Kesantunan menurut Fraser (dalam Dwipayana, 2011: 22) merupakan
tindakan untuk memenuhi persyaratan sebuah kontrak percakapan. Kontrak
percakapan itu ditentukan oleh hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat di
dalam kegiatan bertutur itu. Selain itu, kontrak percakapan juga ditentukan
penilaian peserta pertuturan terhadap faktor-faktor kontekstual yang relevan.
Singkatnya, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur penuh pertimbangan etika
berbahasa.
Berkenaan dengan etika berbahasa, kesantunan dalam kaitannya dengan
bahasa merupakan hal yang berhubungan dengan bagaimana bahasa tersebut
digunakan dalam komunikasi. Etika berbahasa lebih berkenaan dengan perilaku
atau atau tingkah laku di dalam bertutur. Menurut Greertz (dalam Chaer, 2010:6),
sistem tingkah laku berbahasa yang berkenaan dengan norma-norma budaya
bersangkutan disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
10
1.5.2.2 Berbahasa
Kajian kesantunan berbahasa termasuk kajian dalam ranah fungsional
karena melihat apa yang dapat dilakukan oleh penutur dengan menggunakan
bahasa. Kesantunan berbahasa termasuk bidang penggunaan bahasa, yaitu tindak
tutur (speech acts) (Simpen, 2008b:18 ).
1.5.2.3 Faktor
Perilaku kesantunan berbahasa mencerminkan pula sikap penutur yang
ingin memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap seseorang yang
dianggap layak dihormati. Penghormatan itu diwujudkan dengan menggunakan
satuan verba yang khas atau lazim disebut honorifik (bentuk-bentuk hormat). Di
samping itu, kesantunan berbahasa menurut pandangan Hymes (dalam Simpen,
2008b:223—224) menyatakan tindak tutur (perilaku berbahasa) harus
mencerminkan kemampuan berbahasa seseorang secara pragmatik.
Salah satu kemampuan berbahasa seseorang secara pragmatis adalah
mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi tindakan itu. Kesantunan
berbahasa pada penutur film Habibie & Ainun dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor yang dimaksud mencakup status, umur, dan jenis kelamin.
1.5.2.4 Film
Film merupakan salah satu media komunikasi yang mengandung banyak
nilai yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sebagai media komunikasi,
11
film memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa
(Mona, 2009: 2).
Film merupakan sistem tanda, artinya ada pesan-pesan yang termuat
dalam film tersebut, pemirsa tidak hanya sekadar menyaksikan adegan atau
kejadian secara mentah seperti apa adanya, tetapi juga perlu memperhatikan pesan
yang terkandung dari adegan film dan kejadian tersebut. Khalayak diharapkan
dapat membaca tanda atau simbol serta dapat menginterprestasikannya. Film
dapat dipakai sebagai sarana dialog untuk pembuat film dengan penontonnya,
yang paling berperan dalam dialog ini adalah bahasa. Peranan bahasa sebagai alat
ekspresi dan representasi seolah-olah diabdikan kepada peranannya sebagai alat
komunikasi. Film yang dibuat hanya sebagai ekspresi diri dan representasi tanpa
bermaksud menyampaikan apa yang diekspresikan kepada orang lain sangat
jarang terjadi. Melalui film, pembuat film mengajak penontonnya menerima data,
fakta, dan gagasan, pandangan pikiran, cita-citanya, dan saling berbicara
tentangnya (Shahab, 2010:6).
1.5.3 Landasan Teori
Dalam suatu penelitian, teori merupakan tumpuan dan pembimbing dalam
pengkajian objek. Teori berperan sebagai unsur pokok penelitian untuk
merumuskan dan menjawab masalah. Penelitian ini menggunakan teori
sosiopragmatik sebagai tumpuan dalam menganalisis data. Teori sosiopragmatik
adalah ilmu yang mempelajari di antaranya pragmatik, kesantunan berbahasa, dan
konteks situasi.
12
1.5.3.1 Pragmatik
Pragmatik menurut Leech (1993:8) merupakan studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsur-
unsur penutur dan petutur, konteks, tujuan, tuturan, tindak ilokusi, waktu dan
tempat. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa
secara eksternal, yakni bagaimana satuan bahasa itu digunakan di dalam
komunikasi (Wijana, 1996:1).
Yule (dalam Putri, 2013: 29) menyebutkan empat definisi pragmatik.
Kutipan beberapa definisi pragmatik tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. bidang yang mengkaji makna penutur;
b. bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
c. bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna
yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
d. bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi
participant yang terlibat dalam percakapan tertentu.
1.5.3.2 Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa dalam penelitian ini dilihat berdasarkan teori
kesantunan yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson (dalam Chaer,
2010:49—52). Menurut Brown dan Levinson teori tentang kesantunan berbahasa
itu berkisar atas nosi muka atau (face), yaitu “citra diri/harga diri” yang bersifat
umum dan selalu ingin dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Muka itu harus
dijaga, dipelihara, dan dihargai. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia
13
seperti „kehilangan muka‟, „menyembunyikan muka‟, dan „menyelamatkan
muka‟, merupakan hal yang berkaitan dan tentunya dapat menjelaskan konsep
muka dalam kesantunan berbahasa.
Muka ini meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu muka positif
dan muka negatif. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang
berkeinginan agar apa yang dilakukan dan dimilikinya atau apa yang merupakan
nilai-nilai yang diyakini, sebagai maksud apa yang dilakukan dan dimilikinya itu,
diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai.
Misalnya orang memiliki mobil BMW (salah satu mobil mahal) yang baru
bertemu dengan temannya. Temannya berkata „Ah, baru BMW, belum Rolls
Royce‟. Orang tersebut dapat saja merasa bahwa apa yang dimilikinya itu (yang
tidak semua orang mampu memilikinya) tidak dihargai orang. Muka positif
terancam jatuh. Tindak tutur mengkritik dapat juga mengancam muka seseorang.
Hal ini terjadi karena dengan mengkritik kita tidak menghargai atau tidak
mengakui apa yang telah dilakukan orang yang kita kritik itu sebagai sesuatu yang
baik, benar, yang patut dihargai, dan sebagainya (Chaer, 2010:51).
Muka negatif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan
agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan
sesuatu. Bila tindak tutur bersifat direktif (misalnya perintah atau permintaan)
yang terancam adalah muka negatif. Hal ini terjadi karena dengan memerintah
atau meminta seseorang melakukan sesuatu, kita sebenarnya telah menghalangi
kebebasannya untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan. Misalnya, ada
seseorang yang sedang duduk-duduk asyik membaca koran terus seseorang
14
menyuruh untuk mengerjakan sesuatu. Ini sama artinya dengan tidak
membiarkannya melakukan dan menikmati kegiatannya itu (Chaer, 2010:49—51).
Brown dan Levinson (1987) (dalam Chaer, 2010:51—52) menyatakan
bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal. Namun, secara alamiah
terdapat juga berbagai macam tuturan yang cendrung merupakan tindakan yang
tidak menyenangkan disebut Face Theatening Acts (FTA) yang berarti tindakan
yang mengancam muka. Cara mengurangi ancaman FTA dalam berkomunikasi
kita perlu menggunakan sopan santun itu. Ada dua sisi muka yang terancam, yaitu
muka positif dan muka negatif, kesantunan pun dibagi menjadi dua, yaitu
kesantunan positif untuk menjaga muka positif dan kesantunan negatif untuk
menjaga muka negatif. Kesantunan ini dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk
menghindari konflik antara penutur dan petutur di dalam proses komunikasi.
Sebenarnya tidak hanya petutur yang dapat terancam mukanya, tetapi
penutur juga terancam mukanya. Misalnya seorang pemuda (sebagai penutur)
dapat melindungi mukanya dari ancaman itu dengan menggunakan tindak tutur
tidak langsung. Jadi penggunaan tuturan “Malam Minggu punya acara apa?”
daripada menggunakan tindak tutur langsung “Mari nonton film malam Minggu
ini” (misalnya dituturkan oleh seorang pemuda kepada gadis yang ditaksirnya)
dapat ditafsirkan sebagai strategi untuk melindungi muka. Kalau ajakan itu ditolak
si pemuda dapat menyelamatkan mukanya (apalagi kalau di tempat umum)
dengan bertutur “Siapa yang mengajak nonton? saya kan hanya bertanya apakah
kamu punya acara”. Dengan demikian, ancaman terhadap muka penutur dapat
terhindarkan (Chaer, 2010:52).
15
Brown dan Levinson (1987) (dalam Chaer, 2010:52) juga mengusulkan
untuk menghindarkan ancaman terhadap muka itu, caranya penutur harus
“memperhitungkan” derajat keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan
dituturkan) dengan mempertimbangkan di dalam situasi yang biasa, faktor-faktor
tersebut, yaitu (1) jarak sosial di antara penutur dan petutur; (2) besarnya
perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya; (3) status relatif tindak
tutur dalam kebudayaan yang bersangkutan (artinya, ada tindak tutur yang di
dalam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka dan
sebagainya). Berdasarkan perkiraan itu, si penutur memilih strategi.
Bentuk strategi itu, tergantung pada jenis kesantunannya, yaitu kesantunan
positif (afirmatif) atau kesantunan negatif (deferensial). Kesantunan positif
menurut Brown dan Levinson (1987) dalam Chaer (2010:52—55), yaitu sebagai
berikut:
a. memberi perhatian pada petutur dengan memperhatikan kesukaan, keinginan,
dan kebutuhan petutur;
b. membesar-besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur;
c. mengintensifkan perhatian penutur dengan mendramatisasikan peristiwa dan
fakta;
d. menggunakan penanda identitas kelompok seperti bentuk sapaan, dialek,
jargon atau slank;
e. mencari dan mengusahakan persetujuan dengan topik yang umum atau
mengulang sebagian atau seluruh ujaran lawan tutur;
16
f. menghindarkan ketidaksetujuan dengan pura-pura setuju, persetujuan yang
semu (psedo agreement), menipu untuk kebaikan (white lies), atau pemagaran
opini (hedging opinion);
g. menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa-basi
(small talk) dan pranggapan (presuppasition);
h. menggunakan lelucon;
i. menyatakan paham atau mengerti akan keinginan petutur;
j. membuat tawaran atau janji dengan tujuan memuaskan muka positif petutur;
k. menunjukkan rasa optimis, beranggapan bahwa petutur menginginkan atau
membantu penutur mencapai keinginan penutur;
l. berusaha melibatkan penutur dan petutur dalam suatu kegiatan tertentu dengan
penggunaan kata „kita‟ atau „ayo‟;
m. memberikan pertanyaan atau meminta alasan dengan melibatkan petutur
dalam suatu kegiatan yang dikehendaki penutur;
n. mengharapkan atau menuntut timbal balik; dan
o. memberikan hadiah atau penghargaan (barang, simpati, perhatian, kerja sama)
kepada petutur.
Strategi-strategi untuk kesantunan negatif yang diangkat menurut Brown
dan Levinson (1987) dalam Chaer (2010:52—53, yaitu sebagai berikut:
a. menggunakan tuturan tidak langsung untuk menghindari gangguan terhadap
muka;
b. menggunakan pagar (hedge);
17
c. tunjukkan sikap pesimis dengan cara bersikap hati-hati dan jangan terlalu
optimis;
d. meminimalkan paksaan terhadap petutur dengan mengurangi daya ancam
terhadap muka petutur;
e. memberikan rasa hormat;
f. menggunakan permohonan maaf;
g. pakailah bentuk impersonal, yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan
petutur; dan
h. ujarkan tindak tutur itu sebagai kesantunan yang bersifat umum.
1.5.3.3 Konteks Situasi
Penelitian ini menelaah kesantunan berbahasa dalam sebuah film.
Kesantunan berbahasa tersebut tentunya tidak terlepas dari konteks sosial di mana
bahasa digunakan. Terjadinya komunikasi (berbahasa) menurut Hymes (dalam
Sulatra, 2012:27) ditentukan oleh beberapa unsur yang disingkat menjadi akronim
SPEAKING, yaitu sebagai berikut.
1) Setting and scene (latar dan suasana). Latar dan suasana mengacu pada waktu,
tempat, dan suasana terjadinya komunikasi.
2) Participant (peserta tutur). Peserta wicara adalah individu-individu yang
terlibat dalam komunikasi. Peserta wicara memegang peranan penting dalam
komunukasi.
3) Ends (tujuan). Tujuan mengacu pada hasil akhir yang diharapkan oleh peserta
wicara.
18
4) Act sequence (amanat). Amanat adalah pesan sebuah pembicaraan.
5) Keys (cara). Makna sebuah tuturan dapat ditentukan dari cara bagaimana
seseorang menyampaikan tuturannya. Apakah dengan cara serius, santai,
keras, lembut, hormat, tidak hormat, langsung, dan tidak langsung.
6) Instrumental (media).bagian ini mengacu pada media yang digunakan dalam
penyampaian pesan tuturan, misalnya secara lisan atau tulisan.
7) Norms (norma). Norma merupakan kaidah yang dipakai dalam berkomunikasi.
Unsur ini menyangkut perilaku khas dan sopan santun yang mengikat suatu
guyub tuturan tertentu.
8) Genre, mengacu pada kategori bentuk tuturan.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya difokuskan pada kesantunan tuturan dalam film
Habibie & Ainun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi kesantunan
berbahasa dalam film Habibie & Ainun dan untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi terjadinya kesantunan berbahasa dalam film Habibie & Ainun.
1.7 Sumber Data Penelitian
Sumber data merupakan tempat ditemukannya data-data yang diteliti.
Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini mempunyai sumber yang jelas dan
pasti. Sumber data ini berupa film Habibie & Ainun yang diunduh dari youtube 23
Oktober 2014.
19
1.8 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif.
Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang biasanya menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis, peristiwa, perilaku orang yang dapat diamati
(Bogdan dan Taylor dalam Raharjo, 2012: 34)
Penelitian ini bersifat deskriptif karena bertujuan untuk memaparkan atau
memberikan gambaran mengenai tuturan dan kesantunan pada film Habibie &
Ainun. Menurut Gay (dalam Raharjo, 2012:17) deskriptif adalah kegiatan yang
meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab
pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari
pokok suatu penelitian atau bisa dikatakan bahwa deskriptif adalah penelitian
yang menggambarkan atau menguraikan apapun objeknya sejelas mungkin sesuai
dengan sifat alamiah data itu sendiri.
Metode dan teknik merupakan dua konsep yang berhubungan dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Menurut Sudaryanto (1993: 9), metode dan
teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda, tetapi
berhubungan langsung satu dengan yang lainnya. Metode adalah cara yang harus
dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode.
Penelitian ini menggunakan tiga metode dan teknik untuk memperoleh
hasil penelitian, yaitu metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik
analisis data, metode dan teknik penyajian analisis data. Ketiga metode tersebut
dijelaskan di bawah ini.
20
1.8.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam
film. Untuk mendapatkan data tersebut digunakan metode simak, yaitu menyimak
penggunaan bahasa pada film tersebut. Metode simak bisa disejajarkan dengan
metode pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial (Sudaryanto, 1993: 133).
Metode ini dilakukan dengan cara menonton dan menyimak tuturan yang
diucapkan oleh penutur yang ada dalam film Habibie & Ainun.
Metode simak selanjutnya dilengkapi dengan teknik pencatatan dan
pemilahan. Film Habibie & Ainun yang sudah diunduh kemudian ditranskripsikan
ke dalam bentuk tulisan (ortografis). Setelah sumber data dialihkan ke dalam
bentuk tulis, naskah film ini dijadikan sumber data yang kemudian dibaca secara
saksama dan mendetail.
1.8.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan kriterianya,
selanjutnya data dianalisis. Metode dan teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini dilakukan dengan
cara mendeskripsikan fakta-fakta tuturan dan kesantunan kemudian disusul
dengan analisis.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode heuristik,
yaitu jenis tugas pemecahan masalah yang dihadapi penutur dalam
menginterprestasi sebuah tuturan atau ujaran (Leech, 1993:61). Analisis yang
dilakukan dalam penelitian ini berupa identifikasi strategi kesantunan berbahasa
21
dan faktor-faktor terjadinya kesantunan dengan mengujinya berdasarkan data-data
yang tersedia. Apabila proses analisis hipotesis tidak teruji, dibuat hipotesis yang
baru. Seluruh proses ini, terus menerus berulang sampai akhirnya tercapai suatu
pmecahan masalah, yaitu berupa hipotesis yang teruji kebenarannya dan tidak
bertentangan dengan bukti yang ada.
1.8.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data merupakan langkah terakhir yang harus
dilakukan dalam sebuah penelitian sesudah menyelesaikan analisis data. Metode
formal dan informal yang digunakan dalam penyajian hasil analisis data untuk
penelitian ini. Penyajian secara formal dengan merumuskan hasil melalui
pemakaian tanda, angka, dan lambang-lambang, sebaliknya secara informal
dilakukan melalui perumusan analisis dengan deskripsi (Sudaryanto, 1993:145).
Top Related