BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan reproduksi di Indonesia saat ini masih belum seperti yang
diharapkan dibandingkan dengan keadaan di negara-negara ASEAN lain. Indonesia
masih tertinggal dalam banyak aspek kesehatan reproduksi. Ketertinggalan
Indonesia dalam hal kesehatan reproduksi dapat terlihat dengan masih tingginya
angka kematian ibu bila dibandingkan dengan Negara-negara sedang berkembang di
Asia Tenggara lainnya. Salah satu masalah reproduksi wanita di Indonesia adalah
kanker leher rahim (Erik, 2008).
Kanker leher rahim mempunyai insiden yang tertinggi di negara berkembang
dan di Indonesia khususnya. Tahun 2010 di Indonesia diperkirakan 52 juta
perempuan berisiko terkena kanker, sementara sebanyak 18.72 juta atau 36 persen
perempuan dari seluruh penderita kanker adalah pasien kanker leher rahim.Setiap
tahunnya di Indonesia terdapat 15.000 kasus baru kanker leher rahim dengan angka
kematian 7.500 kasus. Frekuensi kanker leher rahim paling tinggi diantara kanker
yang ada di Indonesia. Penyebarannya terlihat bahwa sebanyak 48,04 juta (92,4%)
terakumulasi di Jawa dan Bali (FKUI, 2010). Kasus kanker leher rahim di Provinsi
Bali pada tahun 2010 sebanyak 1076 kasus sedangkan di Kabupaten Gianyar insiden
kanker leher rahim pada tahun 2010 terdapat 91 kasus. Sepanjang tahun 2013, dari
91 kanker leher rahim di Kabupaten Gianyar sebanyak 25 kasus kanker leher rahim
(27,47%) terdapat di Kecamatan Payangan (Dinkes Propinsi Bali, 2011).
Penyebab utama kanker leher rahim belum diketahui secara pasti.Lebih sering
akibat infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Hampir 90% kanker leher rahim jenis
2
skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50% kanker leher rahim berhubungan
dengan HPV tipe 16 (Sarwono, 2006). HPV adalah kelompok virus yang dapat
menginfeksi sel-sel pada permukaan kulit. Tipe yang paling berbahaya adalah jenis
HPV tipe 16 dan 18 yang menyebabkan 70% penyakit kanker serviks (Rasjidi, 2007).
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker leher rahim salah
satunya adalah perkawinan usia dini dimana perkawinan di usia dini pada
perempuan meningkatkan resiko kanker leher rahim karena sel-sel serviks belum
matur termasuk rentan terhadap rangsangan dari luar karena sensitivitasnya tinggi
sehingga bisa mengubah sel-sel mukosa menjadi sel kanker (Diananda, 2007).
Data United Nations International Childrens Emergency Fund (UNICEF)
pada tahun 2011 menunjukkan bahwa wanita di dunia yang menikah dibawah usia
18 tahun mencapai 34 %. Pasangan suami istri di Indonesia masih banyak yang
menikah di usia remaja (16-22 tahun). Berdasarkan data Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50
juta penduduk dengan rata-rata usia perkawinan di Indonesia yakni 19 tahun. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 angka pernikahan usia dini (menikah
sebelum usia 20 tahun) hampir dijumpai diseluruh provinsi di Indonesia yaitu sekitar
22,5 % remaja putri menikah pertama diusia 15-19 tahun. Provinsi Bali
persentasenya sebesar 17,13% menikah pada umur 16-18 tahun, dan sebesar 29 %
menikah pada usia 19-24 tahun. Kabupaten Gianyar memiliki jumlah pernikahan
usia dini sebanyak 14,63% perempuan yang menikah dibawah usia 16 tahun dan
24,75% perempuan menikah diusia 16-18 tahun, jumlah pernikahan usia dini di
kecamatan Payangan tahun 2011 sebesar 15,2% menikah di bawah usia 16 tahun
dan 25,8% perempuan menikah diusia 16-18 tahun.
3
Berbagai upaya pencegahan sekunder dapat dilakukan untuk deteksi dini
adanya lesi prakanker seperti pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat
(IVA), Pap Smear dan kolposkopi. Puskesmas Payangan pada tiga tahun yang lalu
melakukan skrining kanker leher rahim dengan metode IVA terhadap 671 orang
WUS didapatkan 227 orang dengan hasil positif yaitu sebesar 33,8 %. Pihak
Puskesmas akan segera melakukan cryotherafy jika menemukan hasil test IVA
positip dan mengevaluasinya enam bulan berikutnya untuk tes IVA yang kedua oleh
petugas yang sudah terlatih melakukan cryotherafi. Sebaliknya bila pada
pemeriksaan IVA pertama hasilnya negatip, untuk tes IVA selanjutnya dilakukan
setelah satu tahun. Diantara ibu-ibu yang test IVA positif sebagian besar menikah
umur 20 tahun (Dinkes Propinsi Bali, 2011). Menurut Suwiyoga (2010), IVA merupakan cara yang handal untuk
mendeteksi adanya displasia yang mengarah pada kanker leher rahim dengan
sensitifitas dan spesifitas yang tidak jauh berbeda dengan Pap Smear .Tingginya
angka case fatality rate (CFR) kanker leher rahim dan tingginya angka kejadian IVA
positif di Kecamatan Payangan, maka bidan berwenang memberi pelayanan
kesehatan reproduksi melalui deteksi dini dan penyuluhan.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan usia
awal perkawinan dengan kejadian lesi prakanker.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Apakah ada hubungan usia awal perkawinan dengan kejadian lesi prakanker leher
rahim pada wanita usia subur di Kecamatan Payangan Gianyar?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan usia saat
perkawinan dengan kejadian lesi prakanker leher rahim pada wanita usia subur.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi usia awal perkawinan pada wanita usia subur.
b. Mengidentifikasi kejadian lesi prakanker pada wanita usia subur.
c. Menganalisis hubungan usia awal perkawinan dengan kejadian lesi prakanker
leher rahim pada wanita usia subur.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah kasanah ilmu
kebidanan yaitu dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi khususnya
mencegah insiden kanker leher rahim dan dapat dijadikan sebagai bahan
pengembangan teori selanjutnya serta dapat digunakan sebagai data dasar untuk
penelitian selanjutnya tentang faktor usia awal perkawinan yang berkontribusi
terhadap kejadian lesi prakanker leher rahim.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan bahan pertimbangan khususnya
bagi Puskesmas Payangan untuk program pencegahan atau deteksi dini lesi pra
kanker leher rahim.