105
BAB 5
PEMBAHASAN
Bab ini memaparkan hasil penelitian yang dikaitkan dengan
pembahasan pengembangan sumber daya manusia dan berbagai bidang yang
memiliki kontekstual.
5.1 Pembahasan Hipotesis 1
H1: Taktik pengaruh proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan
transformasional lebih baik dibandingkan dengan taktik pengaruh
proaktif subjek dengan tipe kepemimpinan transaksional.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 1 didukung oleh bukti
empiris dalam penelitian ini. Bahwa pemimpin yang memiliki tipe
kepemimpinan transformasional, memiliki pengaruh lebih baik terhadap
strategi taktik pengaruh proaktif dibanding dengan pemimpin yang
menggunakan dengan tipe kepemimpinan transaksional. Temuan penelitian
menunjukkan subjek dengan pemimpin transformasional mengalami
perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan baik,
menunjukkan proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan
komitmen yang diungkapkan benar-benar dilakukan. Subjek mendapatkan
sapaan kata-kata proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki
kesan positif terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses sapaan
berjalan dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi untuk meningkatkan
kinerjanya. Subjek menjawab dengan semangat, hal tersebut terbukti dalam
jangka waktu menjawab yaitu memiliki jeda yang pendek. Subjek merespon
dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna semangat.
Selain itu, subjek juga mengatakan bahwa perusahaan memiliki kepedulian
kepada karyawan, merasa lebih diperhatikan, memberi semangat, dan
motivasi.
Kondisi sebaliknya terjadi pada pemimpin transaksional, temuan
penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami tekanan dikarenakan
106
proses sapaan selalu menekankan hasil yaitu delivery order ataupun surat
pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah dengan tulisan yang
menggunakan huruf kapital. Subjek merasa pemimpin tidak sopan, sedang
dalam kondisi marah, tidak menghargai usahanya, mengajak konfrontatif
sehingga menganggap sapaan ini hanyalah sebagai reminder atau pengingat
bahwa subjek memiliki target, bahkan mendesak untuk menyelesaikan target.
Selain hal itu, subjek merasakan tidak adanya perubahan perilaku yaitu
ketika melakukan keputusan yang berkaitan dengan strategi taktik pengaruh
proaktif dari menggunakan argumen logis dan bukti faktual yang
menunjukkan bahwa permintaan layak dan relevan untuk kepentingan dalam
mencapai tujuan (rational persuasion).
Temuan ini mengkonfirmasi temuan-temuan penelitian bahwa kinerja
yang baik merupakan suatu langkah menuju tercapainya tujuan organisasi
(Hughes et al., 2002; Yukl, 2005:7). Prananta (2008) memberi bukti empiris
bahwa kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.
Northouse (2001) mengemukakan salah satu karakteristik perilaku seseorang
pemimpin transformasional yaitu memberdayakan pengikutnya atau
bawahannya untuk melakukan apa yang terbaik bagi kepentingan organisasi.
Sapaan yang dilakukan memberikan pemberdayaan kepada bawahan karena
mendapatkan dukungan, motivasi, dan merasakan adanya kepedulian dari
pimpinan. Produktifitas selalu membedakan antara mereka yang sukses dan
yang tidak. Produktivitas juga menjadi garis pembatas dalam kepemimpinan.
Hal ini juga menjadi garis kualifikasi untuk menjadi pemimpin. Pemimpin
sejati tahu cara untuk menjadi produktif dan mengajarkan cara itu pada
orang-orangnya. Ucapan didukung dengan tindakan. Kepemimpinan
bertahan karena kinerja. Pemimpin yang produktif dan meraih prestasi selalu
memengaruhi orang lain yang bekerja bersama untuk dirinya. Pemimpin
yang produktif adalah contoh bagi orang-orang yang dipimpin dan
produktivitas menjadi standar bagi tim saat seorang pemimpin produktif, dan
orang-orangnya pun akan produktif. Seorang pemimpin menjadi produktif
karena memberikan hasil baik dari diri sendiri maupun dari tim. Pemimpin
107
membuka jalan dan yang lain mengikuti. Pemimpin yang baik terus
mengomunikasikan gambaran akan masa depan organisasi. Pemimpin terus
melakukannya dengan jelas dan kreatif.
Berdasarkan respon dari subjek, maka proses kepemimpinan
transformasional berhasil. Subjek merespon sesuai dengan kalimat yang
diberikan oleh tim ILDC. Ada perbedaan yang signifikan, yaitu pemimpin
dengan tipe kepemimpinan transformasional, para subjeknya menjawab
dengan penjelasan berupa proses dan rencana tindakan. Selain itu, subjek
juga menjelaskan dengan antusias, bahkan menunjukkan action plan-nya,
meskipun jawabannya singkat. Evaluasi yang dipaparkan semua mengatakan
bahwa model pemimpin yang transformasional memberikan manfaat,
mengingatkan, dan menambah semangat melakukan jualan.
Dalam berbagai literatur bahwa tipe kepemimpinan memiliki
pengaruh dalam kepemimpinan. Jika seseorang bisa meningkatkan
pengaruhnya dalam diri orang lain, maka pemimpin bisa memimpin dengan
lebih efektif. Kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan jabatan.
Kepemimpinan yang baik bukan mengenai pengembangan diri sendiri,
melainkan mengenai pengembangan tim. Memimpin orang lain dengan baik
dan membantu anggota tim menjadi pemimpin yang efektif, berdampak pada
karier yang sukses.
Praktik kepemimpinan adalah tindakan yang mungkin mendatangkan
hasil dalam keadaan atau kondisi tertentu namun tidak bisa diterapkan dalam
keadaan lain, yang artinya memiliki karakteristik yang situasional. Namun,
prinsip seorang pemimpin adalah kebenaran eksternal yang dapat dipercayai.
Prinsip itu penting karena berfungsi sebagai peta yang membuat seseorang
dapat mengambil keputusan yang bijaksana. Bagaimanapun juga jika
seseorang menerima sebuah prinsip dan menjadikannya sebagai bagian dari
pola pikir dan tindakan, prinsip itu pun akan menjadi bagian dari nilai
seorang pemimpin. Saat pemimpin menyukai orang lain dan memperlakukan
seakan-akan bernilai, maka dapat mulai dikembangkan pengaruh dalam diri
108
orang tersebut. Seorang pemimpin dapat menyukai orang lain tanpa
memimpin, namun pemimpin tidak dapat memimpin orang lain dengan baik
jika pemimpin tidak menyukai orang-orang tersebut. Para pemimpin yang
baik tidak hanya sekedar menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan,
pemimpin bisa menjadi orang yang mendorong terjadinya perubahan. Para
pemimpin menjadi besar bukan karena kekuasaan, melainkan karena
kemampuan memberdayakan orang lain Seseorang yang penuh rasa hormat,
menyenangkan, dan produktif dapat memberikan pengaruh besar dalam diri
orang lain dan memperoleh pengikut dengan sangat mudah. Hal tersebut
sangat tampak dalam relasi antara pemimpin transformasional yang mampu
mendorong suatu perubahan perilaku terhadap timnya meski tidak sebesar
yang diharapkan.
Pemimpin dengan tipe kepemimpinan transaksional memiliki
kecenderungan fokus pada hasil dan hanya sekedar memberi keyakinan
terhadap hasil. Jawaban singkat dan lugas, bahkan pada awalnya tidak
merespon. Orientasi pada angka atau hasil serta jangka pendek. Proses
motivasi hanya dianggap sebagai pengingat untuk mencapai target, bukan
sebagai penggerak untuk perubahan perilaku. Jawaban-jawaban juga
terprovokasi dalam proses email dengan tulisan huruf besar (kapital).
Sebagian menyatakan tidak nyaman tidak sesuai kaidah, dianggap tidak etis
dan seolah-olah sedang dalam kondisi marah. Saat pemimpin yang
mengandalkan jabatannya meminta tambahan usaha atau waktu pada timnya,
biasanya pemimpin tidak memerolehnya. Jabatan adalah satu-satunya
tingkatan yang tidak membutuhkan kemampuan dan usaha untuk meraihnya.
Siapa pun dapat ditunjuk untuk mengisi jabatan.
Hasil dari hipotesis 1 bahwa kepemimpinan transformasional tanpa
executive coaching lebih baik atau efektif dibanding dengan kepemimpinan
transaksional tanpa executive coaching, hal ini secara praktik ditemukan
dalam wajah-wajah pemimpin di tempat penelitian. Para direktur, chief
executive officer, dan kepala divisi yang menggunakan kepemimpinan
109
transformasional dapat dirasakan oleh karyawannya dan bahkan hasilnya
lebih bagus dari sisi target baik profit maupun penjualannya. Para pemimpin
yang menggunakan kepemimpinan transaksional, cenderung para
bawahannya stres, turn over karyawannya lebih tinggi dan hasilnya tidak
maksimal. Bahkan menurut para karyawan “jika bisa, papasan pun
dihindari”. Data yang ada di ILDC bahwa para pimpinan tersebut juga sangat
minim untuk mengikuti pelatihan yang berkesinambungan, dengan suatu
konsep “bahwa pelatihan itu dianggap membuang uang dan waktu”, para
pimpinan tidak melihat sebagai investasi. Demikian pula, para pimpinan
wilayah di salah satu anak perusahaan memiliki kemiripan bahwa yang
menggunakan kepemimpinan transaksional hasilnya paling bawah di antara 4
wilayah lainnya, bahkan dalam kurun 2 tahun berturut-turut mengalami
defisit dan stoknya masih tersisa banyak. Hal ini didukung oleh riset Salma
(2015) yang mengatakan bahwa dalam bidang perdagangan pemimpin yang
menggunakan tipe kepemimpinan transformasional lebih efektif dibanding
dengan tipe kepemimpinan transaksional.
Menurut Becker (1993), kegiatan investasi yang terpenting setelah
pendidikan adalah pelatihan yang merupakan alat utama perusahaan untuk
mengembangkan modal manusia yang dimiliki oleh karyawan berupa
keahlian (skill), pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude) yang
dibutuhkan dalam pekerjaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
kompetensi karyawan dengan standar yang sama maka dilakukan dua sistem
pelatihan yaitu pengembangan pribadi dan pengembangan bisnis.
Pengembangan pribadi dengan menggunakan pelatihan yang bersifat
managerial dan leadership yang meliputi personal leadership, coaching for
great performance, business manager leader, dan leading an speed of trust.
Pengembangan bisnis dengan menggunakan dua training yaitu business
model canvas dan the art of execution (The 4DX).
110
5.2 Pembahasan Hipotesis 2
H2: Taktik pengaruh proaktif subjek di bawah tipe kepemimpinan
transformasional dengan menggunakan executive coaching lebih baik
dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa
menggunakan executive coaching.
Hasil hipotesis 2 yaitu tipe kepemimpinan transformasional dengan
executive coaching memiliki dampak terhadap taktik pengaruh proaktif
dalam dimensi rational persuasion, collaboration dan consultatif. Hal ini
menarik karena keselarasan dua keterampilan tersebut tidaklah mudah untuk
dipraktikkan. Dimensi rational persuasion memiliki lonjakan yang sangat
signifikan dari 59.58 (sedang) setelah dilakukan executive coaching menjadi
78.08 (tinggi) hal ini disebabkan bahwa prinsip coaching adalah memberikan
kesempatan kepada coachee memberdayakan diri dan tugas coach menggali
pikiran coachee untuk menemukan alternatif-alternatif baru, sehingga
kemampuan coachee menggunakan argumen yang logis mengalami kenaikan
dari sedang ke tinggi. Coach berhasil mengeksplorasi pikiran coachee
sehingga ide-idenya yang dituangkan dalam action plan benar-benar masuk
akal, relevan dan mampu mencapai tujuan. Dimensi collaboration meski
naik dari 81.25 menjadi 86.63 namun masih dalam range yang sama yaitu
tinggi. Hal ini terjadi karena tipikal seorang pemimpin transformasional
sudah memiliki sikap individualized consideration yang dinyatakan dalam
relasi dengan bawahan sebagai makluk yang dimanusiakan. Pemimpin yang
memerhatikan, mendengarkan, memahami kebutuhan bawahannya,
mengembang-kan potensinya dan membimbing kapada tujuannya.
Sedangkan dimensi Consultation dari 78.33 menjadi 84.13 dalam range
tinggi juga menampakkan kenaikan yang signifikan hal ini dipengaruhi
karakter kepemimpinan transformasional dalam hal intellectual simulation
yaitu pemimpin yang senantiasa menstimulus hadirnya perspektif atau
paradigma yang baru, cara-cara yang baru yang dihasilkan dari diskusi,
sehingga mendorong bawahannya berani menyampaikan ide-ide baru. Jadi
111
ketiga dimensi taktik pengaruh proaktif meningkat karena terintegrasinya
antara peran executive coaching dengan dimensi kepemimpinan
transformasional. Inspiration appeal tidak meningkat meskipun dilakukan
coaching, karena kepala penjualan adalah tipe orang yang sudah memiliki
komitmen untuk mencapai target, karena target adalah kesempatan
mendapatkan bonus, jalan-jalan keluar negeri dan naik pangkat. Hal inilah
yang menyebabkan tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah di coaching.
Executive coaching mengubah perilaku kepala penjualan dari yang
kurang menjadi baik ataupun yang sudah baik menjadi lebih baik dan hal ini
sesuai dengan konsep coaching dari International Coach Federation
(pramudianto, 2015) yaitu menstimulus coachee untuk menemukan
solusinya dengan peran coach yang memberdayakan pikiran dan mengajak
menari dalam paradigma yang baru sehingga mampu mengoptimalkan
kemampuan secara pribadi maupun organisasi. Keterampilan coaching
tersebut menjadi alat untuk mencapai tujuan organisasi khususnya
perusahaan yang diteliti, oleh karena itu, budaya yang telah dibangun sangat
menunjang pelaksanaan tersebut. Nilai pertama yang sangat penting dan
menjadi dasar adalah integritas dan kejujuran yang merupakan keselarasan,
kerendahan hati, dan keberanian. Keselarasan: hidup dengan nilai-nilai dan
keyakinan dan melakukan apa yang dikatakan. Rendah hati: berpegang teguh
pada prinsip, terutama di saat–saat sulit. Lebih mementingkan hal yang benar,
daripada menjadi pihak yang paling benar. Keberanian: bertindak sesuai dengan
prinsip. Anda melakukan hal yang benar, terutama ketika hal itu sangat sulit
dilakukan. Nilai integritas dan kejujuran adalah melakukan kegiatan atau
tindakan dengan penuh komitmen, konsisten, tanggung jawab dan jujur,
meskipun berada dalam keadaan sulit dengan berfokus pada perusahaan sesuai
dengan kebijakan perusahaan yang berlaku.
Temuan riset menunjukkan subjek dengan pemimpin transfor-
masional mengalami perubahan perilaku yaitu mampu melakukan
komunikasi dengan baik, menunjukkan proses yang dilakukan dalam
112
mencapai tujuan dan bahkan komitmen yang diungkapkan benar-benar
dilakukan, hal tersebut sesuai dengan penelitian Bono et al. (2009) yang
memberi bukti empiris bahwa psikologi dalam executive coaching berperan
penting dalam perubahan perilaku manajer sebagai sumber daya manusia di
organisasi. Subjek mendapatkan sapaan dan pertanyaan dengan kata-kata
proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki kesan positif
terhadap subjek tersebut. Kondisi ini menyebabkan proses sapaan/pertanyaan
berfungsi dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi, merasa terstimulus,
tertantang untuk mengungkapkan ide-ide dan rencana menjalankan
komitmennya sehingga mampu untuk meningkatkan kinerjanya. Subjek
menjawab dengan semangat, smart dan mengarah pada solusi, hal tersebut
terbukti dalam jangka waktu menjawab memiliki jeda yang pendek. Subjek
merespon dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna
semangat, jelas (tidak multi tafsir atau ambigu) subjek mengatakan bahwa
perusahaan memiliki kepedulian kepada karyawan, merasa lebih
diperhatikan, memberi semangat, dan motivasi. Hal tersebut sejalan dengan
riset dari Gundersen, Hellesoy, dan Raeder (2012) bahwa tipe kepemimpinan
transformasional di lingkungan kerja yang dinamis memberikan dampak
kinerja yang efektif bagi karyawan dan efektivitas bagi organisasi. Kepala
cabang di perusahaan otomotif sangat merasakan hasil dari executive
coaching terhadap para kepala penjualan di Indonesia.
Tujuan perusahaan adalah peningkatan omset dan supaya hal tersebut
tercapai maka perlu meningkatkan promosi. Padahal keberhasilan dan
kegagalan bisnis tidak hanya ditentukan oleh promosi. Promosi memang
penting, tetapi bukan satu-satunya yang akan meningkatkan omset.
Meningkatkan omset bukan hanya promosi yang harus diperbaiki, tetapi
seluruh aspek yang memengaruhi bisnis. Perbaikan bukan hanya strategi,
taktik, sumber daya, tetapi juga harus memperbaiki orang-orang dalam bisnis
tersebut, dan bukan hanya masalah sikap dan keterampilan, tetapi masalah
mental dan energi yang tidak terlihat. Ada hal-hal yang tidak “terlihat” yang
akan menentukan keberhasilan bisnis dalam sebuah perusahaan. Melalui
113
proses executive coaching mampu memberikan kesadaran kepada para
kepala penjualan untuk tidak fokus pada hal-hal yang terlihat saja namun
juga memperhatikan mental dan spiritualnya. Hal itu terbukti para kepala
penjualan semangat untuk mengikuti training-training yang diadakan,
pengembangan knowledge manajemen dan mengadakan kegiatan-kegiatan
kebersamaan diantara mereka dengan para tenaga penjualan.
Statistik 2015 tentang penjualan di Indonesia bahwa 44% dari tenaga
penjualan menyerah setelah satu kali penolakan. Rata-rata salesman hanya
melakukan 2 upaya follow up untuk menghubungi prospek. Sementara rata-
rata untuk menghubungi prospek minimum 5 kali follow up baru akan
terhubung. Setelah pertemuan pertama, 80% dari penjualan memerlukan 5
follow up. Penelitian menunjukkan bahwa 35-50% transaksi diberikan
kepada vendor yang merespon paling cepat. Jika tenaga penjualan
menindaklanjuti permintaan dari website dalam waktu 5 menit, maka 9 kali
lebih memberi kemungkinan closing. Jika 63% dari orang yang meminta
informasi tentang perusahaan maka hari ini tidak akan membeli setidaknya
tiga bulan dan 20% akan mengambil lebih dari 12 bulan untuk membeli. Dari
100% database hanya 25% dari data prospek yang sah, lengkap, dan dapat di
follow up. 50% dari lead, memang berkualitas tetapi belum siap untuk
membeli. Lead yang dipupuk akan melakukan pembelian 47% lebih besar
dari lead yang tidak dipelihara. Dari data tersebut maka ditemukan peluang
bagi pemimpin yang mau belajar dan menerapkan teknik executive coaching
dan hasilnya dalam 6-9 bulan menjadi sangat efektif dalam membantu
perusahaan mengembalikan fokus dan menggali potensi sedalam-dalamnya.
Perusahaan sudah memiliki sumber daya untuk sukses, sayangnya, banyak
yang tidak menyadari. Para ilmuwan, filsuf, ahli-ahli, dan miliarder di dunia
pernah mengatakan segala sesuatu terjadi dua kali, pertama di pikiran, kedua
di dunia nyata. Dalam executive coaching memberikan tools berupa
pertanyaan yang membawa klien merasakan goal itu sudah terwujud
sehingga dapat membantu setiap klien dengan lebih cepat. Hal yang menarik,
ketika mampu membayangkan goal terwujud, berarti dapat
114
memvisualisasikan strategi untuk mencapai goal tersebut. Hal tersebut
sejalan dengan Warrenfeltz (2000) bahwa keberadaan executive coaching
mampu mendorong organisasi untuk lebih efisien dan efektif dalam
pengelolaan sumber daya manusia.
Dalam penelitian ini ditemukan karakteristik perubahan perilaku yang
sangat signifikan, khususnya para coachee memiliki hubungan yang lebih
baik terhadap atasan langsung dan dalam levelnya atasan yang lebih tinggi,
serta hubungan dengan para sales menjadi lebih produktif. Kalimat-kalimat
yang dikeluarkan oleh kepala penjualan pada saat briefing dengan para
tenaga penjualan sangat dirasakan berbeda, khususnya tidak menekankan
target saja lebih ada sikap empati dan kerjasama bahkan tiap pagi dilakukan
renungan dengan belajar dari pengalaman orang-orang sukses ataupun
pengalaman sesama karyawan. Proses yang dilakukan kepala penjualan
memberikan dampak kepercayaan yang tinggi dan hal tersebut tampak
kedisiplinan para tenaga penjualan dalam memberikan laporan harian secara
tepat. Kebiasaan para tenaga penjualan datang terlambat dengan berbagai
alasan demikian juga seringkali sore hari tidak kembali ke kantor padahal
masing-masing tenaga penjualan harus melaporkan aktivitas kesehariannya
dalam mencari prospek. Melalui executive coaching yang dilakukan kepala
cabang kepada kepala penjualan memiliki dampak yang sangat baik dalam
perubahan perilaku para tenaga penjualan. Para kepala cabang belajar
mengubah diri, mengubah paradigma berpikir dan berdampak pada
perubahan kepala penjualan yang akhirnya para tenaga penjualan pun
berubah karena pendekatan para kepala penjualan yang berbeda dan lebih
pada sikap empati, menyetuh perasaan para tenaga penjualan. Seorang
pemimpin menjadi produktif yaitu apa yang diucapkan sama dengan pada
yang dilakuan sehingga seluruh karyawannya memiliki figur yang diteladani.
Pemimpin selalu berani membuka jalan, karyawan lain mengikuti dan
bahkan mampu untuk membuka jalan sendiri untuk mencapai tujuannya.
Seorang pemimpin yang mengunakan teknik executive coaching dan
memiliki tipe kepemimpinan transformasional mampu mengomunikasikan
115
gambaran akan masa depan organisasi dengan jelas dan kreatif hal tersebut
akan membantu perusahaan bergerak lebih dinamis. Berdasarkan respon dari
subjek, maka proses kepemimpinan transformasional berhasil. Subjek
merespon sesuai dengan kalimat yang diberikan oleh coach. Ada perbedaan
yang signifikan, yaitu pemimpin dengan tipe kepemimpinan transfor-
masional, para subjeknya menjawab dengan penjelasan yaitu berupa proses
dan rencana tindakan. Subjek menjelaskan dengan antusias, dan
menunjukkan action plan-nya, bahkan jawabannya rinci, kalaupun singkat
tetapi jelas dan padat. Evaluasi yang dipaparkan semua mengatakan bahwa
model pemimpin yang memiliki tipe transformasional memberikan manfaat
dalam membuka paradigma, alternatif baru, mengingatkan, memberdaya-
kan, mengoptimalkan cara berpikir, bertindak dan menambah semangat
dalam melakukan penjualan.
Dalam berbagai literatur bahwa tipe kepemimpinan memiliki
pengaruh dalam kepemimpinan. Jika seseorang dapat meningkatkan
pengaruhnya dalam diri orang lain, maka dapat memimpin dengan lebih
efektif. Kepemimpinan adalah sebuah proses, bukan jabatan. Kepemimpinan
yang baik bukan mengenai pengembangan diri sendiri, melainkan mengenai
pengembangan tim dan bahkan mampu menciptakan pemimpin baru.
Memimpin orang lain dengan baik dan membantu anggota tim menjadi
pemimpin yang efektif, berdampak pada karier bawahan menjadi sukses.
Praktik kepemimpinan adalah tindakan yang mungkin mendatangkan
hasil dalam keadaan atau kondisi tertentu namun tidak bisa diterapkan dalam
keadaan lain, yang artinya memiliki karakteristik yang situasional. Namun,
prinsip seorang pemimpin adalah kebenaran eksternal yang bisa dipercayai.
Prinsip itu penting karena berfungsi sebagai peta yang mengambil keputusan
yang bijaksana. Bagaimanapun juga jika menerima sebuah prinsip dan
menjadikannya sebagai bagian dari pola pikir dan tindakan, prinsip itu pun
akan menjadi bagian dari nilai seorang pemimpin. Saat pemimpin menyukai
orang lain dan memerlakukan seakan-akan bernilai, pemimpin mulai
116
mengembangkan pengaruh dalam diri orang tersebut. Seorang pemimpin
dapat menyukai orang lain tanpa memimpin, namun pemimpin tidak dapat
memimpin orang lain dengan baik jika pemimpin tidak menyukai orang-
orang tersebut. Para pemimpin yang baik tidak hanya sekedar menciptakan
lingkungan kerja yang menyenangkan, pemimpin bisa menjadi orang yang
mendorong terjadinya perubahan. Para pemimpin menjadi besar bukan
karena kekuasaan, melainkan karena kemampuan memberdayakan orang lain
Seseorang yang penuh rasa hormat, menyenangkan, dan produktif dapat
memberikan pengaruh besar dalam diri orang lain dan memperoleh pengikut
dengan sangat mudah. Hal tersebut sangat nampak dalam relasi antara
pemimpin transformasional yang mampu mendorong suatu perubahan
perilaku terhadap timnya dan semakin besar perubahannya bahkan
melampaui harapan ketika menggunakan teknik executive coaching.
Executive coaching suatu keterampilan dan harus bersinergi dengan
kepemimpinan yang memiliki integritas dalam praktiknya. Budaya yang
terbangun sangatlah memengaruhi praktik executive coaching di perusahaan
yang diteliti membuat sinergi antara executive coaching, kepemimpinan, dan
budaya. Integritas dan kejujuran tidak hanya berkaitan dengan material, namun
juga berkaitan dengan time management. Kerja keras adalah kegiatan yang
dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah atau berhenti sebelum
target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau memerhatikan kepuasan
hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Kerja keras dapat diartikan bekerja
mempunyai sifat yang bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran yang ingin
dicapai. Pemimpin dapat memanfaatkan waktu optimal sehingga kadang-kadang
tidak mengenal waktu, jarak, dan kesulitan yang dihadapainya. Pemimpin sangat
bersemangat dan berusaha keras untuk meraih hasil yang baik dan maksimal.
Pemimpin perusahaan yang mampu menyelaraskan antara executive
coaching, kepemimpinan transformasional, dan budaya organisasi mendapatkan
hasil yang maksimal bahkan mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga.
Hasil yang dirasakan masyarakat yaitu pelayanan yang terbaik dan berdampak
117
pada perbaikan-perbaikan terus menerus, membuahkan inovasi-inovasi baru.
Hubungan antara pimpinan sangat terbuka, dari desain ruangan saja antardireksi
tidak ada sekat, para chief executive officer dan kepala divisi menempati ruang
kaca, dan kapanpun bisa ditemui untuk berdiskusi. Seperti tidak ada jarak antara
karyawan dengan para pimpinan. Kenyataannya budaya coaching mulai
bertumbuh bahkan tidak lagi satu tahun pimpinan menjalankan executive
coaching dua kali, kapan saja karyawan dapat datang untuk mendapatkan
coaching dengan atasannya. Secara perlahan budaya coaching mulai
terimplementasikan dan pimpinan tidak lagi memanggil karyawan untuk
dicoaching, melainkan karyawan aktif minta dicoaching jika mengalami
kesulitan atau ingin meningkatkan performance nya.
Program executive coaching membantu membangun perilaku/ habit
baru di dalam organisasi dan membawa organisasi kepada sustainable
superior performances. Sebagai pemimpin membantu pemimpin lain dalam
memimpin proses yang membuat tim dan organisasi mampu mencapai hasil
yang hebat dan belum pernah dicapai sebelumnya. Executive coaching
membantu mengarahkan dan mengubah cara pemimpin dalam memimpin
untuk mengikut sertakan timnya, supaya mampu meningkatkan hasil yang
dicapai. Sebagai individu mengerti apa yang harus dikerjakan untuk
mencapai tujuan bersama, menjadi karyawan yang lebih produktif dengan
fokus kepada pekerjaan yang mendukung pencapaian tujuan organisasi.
Belajar menggunakan proses dan sistem untuk fokus kepada pencapaian
tujuan, membawa ide baru yang lebih baik kepada tim dan organisasi
sehingga terjadi proses perbaikan secara terus menerus.
5.3 Pembahasan Hipotesis 3
H3 Taktik pengaruh proaktif subjek yang memiliki tipe kepemimpinan
transaksional dengan menggunakan executive coaching lebih baik
dibandingkan dengan taktik pengaruh proaktif subjek tanpa
menggunakan executive coaching.
118
Hasil hipotesis 3 yaitu tipe kepemimpinan transaksional dengan
executive coaching memiliki dampak terhadap taktik pengaruh proaktif
dalam dimensi rational persuasion dan inspirational appeal. Hal ini menarik
karena keselarasan dua keterampilan tersebut tidaklah mudah untuk
dipraktikkan. Dimensi rational persuasion memiliki lonjakan yang sangat
signifikan dari 73.96 (tinggi) setelah dilakukan executive coaching menjadi
80.83 (tinggi) hal ini disebabkan bahwa prinsip coaching adalah memberikan
kesempatan kepada coachee memberdayakan diri dan tugas coach menggali
pikiran coachee untuk menemukan alternatif-alternatif baru, sehingga
kemampuan coachee menggunakan argumen yang logis mengalami kenaikan
dari sedang ke tinggi. Coach berhasil mengeksplorasi pikiran coachee
sehingga ide-idenya yang dituangkan dalam action plan benar-benar masuk
akal, relevan dan mampu mencapai tujuan. Seorang pemimpin tipe
transaksional menekankan pada kebutuhan fisik yang terwarnai dalam proses
tawar menawar antara atasan dan bawahan, sehingg sangat logis jika dimensi
ini awalnya sudah tinggi dan dilakukan coaching dengan nuansa tekanan
yang diwujudkan dalam tulisan yang berbentuk kapital. Dimensi
inspirational appeal meski naik dari 72.92 menjadi 80.42 namun masih
dalam range yang sama yaitu tinggi. Hal ini terjadi karena tipikal seorang
pemimpin transaksional menekankan pada bawahan yang mampu
meminimalkan kesalahan sehingga memfokuskan pada membandingkan
nilai–nilai orang tersebut dan cita-cita untuk membangkitkan emosi agar
mendapatkan komitmen untuk mencapai target yang ditentukan. Sedangkan
dimensi consultation dan collaboration tidak berubah meskipun mendapat-
kan executive coaching. Hal ini dimungkinkan karena tuntutan yang tinggi
terhadap capaian target maka sikap untuk saling menawarkan bantuan
sumberdaya yang ada, mendiskusikan prospek sudah tidak terpikirkan, yang
penting masing-masing dapat mengejar targetnya. Sikap individual/
egosentris mewarnai keperilakuan para kepala penjualan dan berdampak
kepada tenaga penjualan
119
Temuan penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami tekanan
dikarenakan proses pertanyaan selalu menekankan hasil yaitu delivery order
ataupun surat pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah dengan
tulisan yang menggunakan huruf kapital. Subjek merasa pemimpin tidak
sopan, sedang dalam kondisi marah, tidak menghargai usahanya, mengajak
konfrontatif sehingga menganggap sapaan ini hanyalah sebagai reminder
atau pengingat bahwa memiliki target, bahkan mendesak untuk
menyelesaikan target. Selain hal itu, subjek merasakan tidak adanya
perubahan perilaku yaitu ketika melakukan keputusan yang berkaitan dengan
strategi taktik pengaruh proaktif dari menggunakan argumen logis dan bukti
faktual yang menunjukkan bahwa permintaan layak dan relevan untuk
kepentingan dalam mencapai tujuan (rational persuasion).
Pemimpin dengan tipe kepemimpinan transaksional memiliki
kecenderungan fokus pada hasil dan hanya sekedar memberi keyakinan dan
menuntut terhadap hasil. Jawaban singkat dan lugas, bahkan pada awalnya
tidak merespon. Orientasi pada angka atau hasil serta jangka pendek. Proses
motivasi hanya dianggap sebagai pengingat untuk mencapai target, bukan
sebagai penggerak untuk perubahan perilaku. Jawaban-jawaban juga
terprovokasi dalam proses email dengan tulisan huruf besar (kapital).
Sebagian menyatakan tidak nyaman tidak sesuai kaidah, dianggap tidak etis
dan seolah-olah sedang dalam kondisi marah. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Sarah, Elizabeth, and Lauren (2005) dalam penelitian menunjukkan
bahwa teks yang semua ditulis dengan format kapital berpengaruh terhadap
waktu membaca yang lebih lambat, lebih banyak kesalahan dalam menjawab
pertanyaan, dan bentuk yang paling tidak disukai karena sulit untuk dibaca,
hal ini ditekankan oleh Hakki (2013) bahwa tulisan dengan huruf kapital
mempersulit pembaca dan memengaruhi dalam menjawab. Karen (1980)
menjelaskan bahwa penulisan dengan huruf kapital menunjukkan
kesombongan diri, kebanggaan diri yang berlebihan, dan kesadaran diri yang
berlebihan. Sedangkan Annete (2013) menegaskan bahwa penulisan huruf
120
kapital ingin menunjukkan apa yang ditulis adalah penting, penulisnya
emosional dan di sisi lain memiliki percaya diri yang kurang.
Penelitian ini diperkuat oleh teori pertukaran nilai yang dikemukan
Molm dan Cook (1992) bahwa seseorang dalam hal transaksional memiliki
tiga atribut yaitu mengenau hubungan kekuasaan dan ketergantungan,
keperilakuan yang didasarkan keuntungan dan kerugian, serta dipengaruhi
oleh perubahan struktur sosial. Sangat wajar menilik teori Homans (1967)
bahwa sikap orang yang melakukan transaksi adalah berdasarkan ganjaran
dan hukuman, sehingga sikap individualisme terus terpupuk dan
keperilakuan konsultasi dan kolaborasi menjadi hilang dan tidak dibutuhkan.
5.4 Pembahasan Hipotesis 4
Hasil pengujian taktik pengaruh proaktif kepala penjualan dengan
tipe kepemimpinan transformasional yang mendapatkan executive coaching
lebih baik dibandingkan taktik pengaruh proaktif kepala penjualan dengan
tipe kepemimpinan transaksional dengan executive coaching melalui
pengujian komparatif dengan Uji Independent Sample t-Test menghasilkan
nilai signifikansi sebesar 0,000 dimana nilai signifikansi tersebut lebih kecil
dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tipe kepemimpinan
trasnformasional dengan executive coaching secara statistik terbukti
memiliki perbedaan dengan tipe kepemimpinan transaksional dengan
executive coaching.
Pada analisis deskriptif diperoleh nilai rerata untuk kepemimpinan
transformasional dengan executive coaching sebesar 79,95 dan
kepemimpinan transaksional dengan executive coaching sebesar 69,88.
Artinya, Executive Coaching lebih efektif bila diberikan pada tipe
kepemimpinan transformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan
transaksional.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 4 didukung oleh bukti
empiris dalam penelitian ini. Coachee yang mendapat coaching dengan tipe
121
kepemimpinan transformasional, memiliki pengaruh lebih baik terhadap
strategi taktik pengaruh proaktif dibanding dengan mendapatkan coaching
dengan tipe kepemimpinan transaksional. Temuan penelitian menunjukkan
coachee yang diberikan coaching dengan pemimpin transformasional
mengalami perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan
baik, nampak melakukan bentuk konsultasi secara intensif dengan pimpinan
untuk mendapatkan solusi.
Coaching bagaikan jembatan yang menghubungkan antara bawahan
dan atasan sehingga saling percaya, saling memiliki keterikatan, serta
mengantar pada satu tujuan. Coachee benar-benar menunjukkan proses yang
dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan komitmen yang diungkapkan
benar-benar dilakukan. Subjek diberikan virtual coaching dengan metode
coaching pemimpin transformasional dengan menggunakan kata-kata
proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki kesan positif
terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses coaching berjalan
dengan baik yaitu mendapatkan komitmen dari para coachee. Dalam proses
ini terdapat sebuah perubahan dari see (paradigm) yaitu para coachee
melihat dan merasakan atas komunikasi yang diberikan oleh pimpinan,
membuat mereka merubah peta pikiran terhadap pimpinan maupun
pekerjaannya. Perubahan peta pikir itulah membuat do (behavior)-
melakukan suatu tindakan atau perilaku berdasarkan peta pikir yang baru.
Perilaku yang baru yaitu menggunakan model konsultatif untuk mencapai
tujuan sehingga memasuki tahap get (result), yaitu hasil yang diperoleh
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dalam konsep ini dipahami bahwa
antara coach dan coachee membutuhkan trust yang singkatannya truth,
responsibility, uniqueness, self control dan time (pramudianto, 2015)
sehingga keduanya saling jujur dalam mengemukakan tujuan yang mau
dicapai, saling bertanggungjawab dalam merespon, coach menempatkan
coachee sebagai pribadi yang unik, mampu mengontrol emosi sehingga
dalam proses coaching tidak berubah peran sebagai konsultan, penasihat dan
yang lain. Kemampuan pemimpin untuk memahami waktu berdasarkan
122
momentum membantu coache menemukan solusi dan action plan dengan
tepat sehingga mempercepat pencapaian dan bahkan capaian melebihi
harapan yang telah ditargetkan.
Hasil dari executive coaching yang memiliki tipe kepemimpinan
transformasional memiliki dampak yang luar biasa karena dari 24 subjek
atau kepala penjualan pada tahun 2015 dan 2016 sebagian besar diangkat
menjadi kepala cabang sisanya pindah pekerjaan dan masih menjadi kepala
penjualan senior. Sedangkan dari 24 subjek atau kepala penjualan tipe
kepemimpinan transaksional pada tahun 2015 dan 2016 akhir hanya sedikit
yang menjadi kepala cabang dan sebagian besar keluar dari pekerjaan.
Hal ini menunjukkan bahwa executive coaching dengan
kepemimpinan transformasional membuka peluang keterbukaan antara
pemimpin dengan bawahannya. Keterbukaan ini membawa dampak
hubungan antara pemimpin dan bawahan lebih harmonis sehingga
meminimalkan pemimpin terlambat mendapatkan informasi dan bahkan
pemimpin mampu melakukan tracking terhadap proses performance anak
buahnya. Trust menjadi sesuatu yang vital dalam proses coaching. Coachee
memiliki trust kepada coach, karena ada dua elemen yang penting yaitu
kompetensi dan karakter.
Kondisi sebaliknya terjadi pada coaching dengan tipe kepemimpinan
transaksional, temuan penelitian menunjukkan bahwa coachee mengalami
tekanan dikarenakan proses coaching selalu menekankan hasil yaitu delivery
order ataupun surat pemesanan kendaraan. Tekanan tersebut ditambah
dengan tulisan yang menggunakan huruf kapital. Coachee merasa coach
tidak sopan, sedang dalam kondisi marah, sehingga menganggap coaching
ini hanyalah sebagai reminder atau pengingat memiliki target. Selain hal itu,
coachee merasakan tidak adanya perubahan perilaku yaitu ketika melakukan
keputusan yang berkaitan dengan strategi taktik pengaruh proaktif dari
menggunakan argumen logis dan bukti faktual yang menunjukkan bahwa
permintaan layak dan relevan untuk kepentingan dalam mencapai tujuan
123
(rational persuasion). Bahkan dalam penilaian coachee terhadap
consultation, yaitu meminta orang untuk memberi saran perbaikan atau
membantu merencanakan kegiatan atau perubahan yang diajukan untuk
mendukung tujuan yang diinginkan menjadi minus (-). Hal ini dapat
disimpulkan bahwa coachee mengalami penurunan kepercayaan kepada
coach atau atasannya yang menggunakan tipe kepemimpinan transaksional.
Bahwa kepercayaan adalah pelumas yang memungkinkan organisasi berjalan
sehingga jika dalam organisasi tidak ada pelumas, maka hubungan satu
dengan yang lain tidak akan terjadi hubungan yang harmonis. Bagaikan
masyarakat yang dikenai pajak, namun tidak tahu pajak itu digunakan untuk
apa. Hubungan pimpinan dan bawahan terjadi hanya karena jabatan, bukan
karena saling percaya dan yang terjadi satu dengan yang lain hanya saling
mencurigai.
Temuan ini mengkonfirmasi temuan-temuan penelitian sebelumnya
Sherman dan Freas (2004), tujuan executive coaching adalah untuk
menghasilkan pembelajaran, perubahan perilaku, pertumbuhan coachee dan
Northouse (2001) menekankan bahwa kepemimpinan transformasional
adalah suatu proses yang mengubah dan menstransformasi individu.
Kepemimpinan transaksional menurut Burns (1978) merupakan hubungan
antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas
tawar menawar antarkeduanya dan memiliki karakteristik contingent reward
dan management by-exception. Hal tersebut tampak dalam percakapan antara
coach dan coachee dengan perbedaan tipe kepemimpinan.
Coachee yang memiliki trust kepada atasannya mampu melakukan
transformasi diri, bagaikan dari ulat, kepompong sampai kupu-kupu yang
mampu terbang dengan keindahannya. Coachee tahu apa yang mesti
dijalankan, mampu membangun motivasi dirinya dan timnya. Ungkapan-
ungkapannya menunjukkan selalu bersama dengan timnya untuk bergerak ke
depan, target bukanlah tujuan, melainkan perubahan perilaku sebagai lead
measure yang diyakini berdampak pada hasil.
124
Egan (2013) menyatakan bahwa riset executive coaching berpotensi
untuk dikembangkan dengan mencermati agenda riset Feldman dan Lankau
(2005) serta Joo (2005) bahwa coachee dapat meningkatkan self-ratings
dalam mencapai tujuan dengan mengembangkan relasi dalam executive
coaching. Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan
media telepon memberi hasil peningkatan kinerja (Niemenien et al. 2013;
Kochnowski et al. 2010). Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan
Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa executive coaching bisa
dilakukan berbantuan perangkat virtual. Pengembangan riset coaching
berbasis elektronik (e-coaching) dengan telepon dilakukan oleh Filsinger et
al. (2014). Pelaksanaan coaching dengan menggunakan perangkat email
merupakan salah satu bagian berbasis elektronik atau virtual coaching.
Seifert et al. (2003) menemukan bahwa umpan balik melalui sebuah
lokakarya meningkatkan penggunaan dua taktik inti (consultation dan
collaboration) oleh manajer dalam upaya memengaruhi dengan bawahan.
Hal tersebut tampak dalam pelaksanaan executive coaching dengan
menggunakan kepemimpinan transformasional meningkatkan penggunaan
taktik konsultasi.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis 4 didukung oleh bukti
empiris dalam penelitian ini. Bahwa multisource feedback, keberadaan
executive coaching dengan tipe kepemimpinan transformasional akan
memberikan taktik pengaruh proaktif terbaik. Temuan penelitian
menunjukkan subjek yang dengan pemimpin transformasional mengalami
perubahan perilaku yaitu mampu melakukan komunikasi dengan baik,
menunjukkan proses yang dilakukan dalam mencapai tujuan dan bahkan
komitmen yang diungkapkan benar-benar dilakukan. Subjek diberikan
sapaan kata-kata proaktif dan empati yang meyakinkan sehingga memiliki
kesan positif terhadap subjek terebut, kondisi ini menyebabkan proses sapaan
berjalan dengan baik yaitu subjek memiliki motivasi untuk meningkatkan
kinerjanya. Subjek menjawab dengan semangat, hal tersebut terbukti dalam
jangka waktu menjawab memiliki jeda yang pendek. Subjek merespon
125
dengan cepat dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna semangat,
subjek mengatakan bahwa perusahaan memiliki kepedulian kepada
karyawan, merasa lebih diperhatikan, memberi semangat dan motivasi.
Subjek memiliki daya kreatif yang lebih karena dengan sapaan tersebut
memberikan ide-ide untuk mencapai tujuan dan bahkan perencanaan yang
telah disusun dengan detail untuk mempermudah dalam menjalankan inisiatif
tersebut. Implementasi yang dilakukan subjek menjadi menarik dan dinamis.
Temuan ini mengkonfirmasi temuan-temuan penelitian sebelumnya
Seifert (2003) bahwa pendekatan executive coaching sangat efektif untuk
meningkatkan kinerja dan sejalan riset dari Nieminen et al (2013) yang
menunjukkan bahwa peratingan kepemimpinan secara rata-rata lebih baik
pada manajer dengan executive coaching daripada manajer tanpa executive
coaching.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa executive coaching
dengan tipe kepemimpinan tertentu merupakan perpaduan teknik
pengembangan sumber daya manusia yang memiliki orientasi ke depan.
Peningkatan performa sumber daya manusia, mampu dimaksimalkan
sehingga kontribusi terhadap perusahaan semakin besar dan berdampak pada
produktivitas menjadi maksimal. Dalam penelitian ini yang memiliki dampak
besar dalam executive coaching adalah pimpinan yang memiliki tipe
kepemimpinan transformasional.
Pada hakikatnya, executive coaching memiliki dampak bagi
pengembangan sumber daya manusia di perusahaan yang diteliti sehingga
menjadi kewajiban seluruh pimpinan menguasai teknik coaching. Dirasakan
banyak manfaatnya maka dikembangkan virtual coaching khususnya untuk
para pimpinan di bidang marketing. Marketing yang tersebar di seluruh kota-
kota di Indonesia sangat terbantu karena tidak mudah memiliki kesempatan
tatap muka dengan para tenaga penjualan, efektif, dan efisien. Penyelarasan
terus diupayakan antara executive coaching, kepemimpinan transformasional
dan budaya perusahaan, karena meyakini bila terbentuk sinergi maka
126
hasilnya sangat luar biasa. Tantangannya adalah para pimpinan di bidang
penjualan sebagian terbiasa dengan kepemimpinan transaksional karena
terbentuk pada kondisi yang tertekan oleh target semasa menjadi tenaga
penjualan. Mengubah paradigma itulah perusahaan melakukan berbagai
pelatihan tentang mindset, change management, dan yang lain.
Hasil penelitian ini mengukuhkan bagi perusahaan terhadap apa yang
dilakukan saat ini benar, bagian sumber daya manusia tinggal melanjutkan
proses dan selalu melakukan perbaikan-perbaikan. Setiap langkah selalu
menggunakan proses Plan Do Check Action, sehingga memudahkan
pelaksanaan tracking setiap kegiatan. Hal ini sudah menjadi siklus
Performance Management Process di perusahaan yang meliputi Planning
(goal setting) – Managing (performance monitoring, cotinuous feedback,
coaching & counseling) – Evaluating (mid year, performance review).
Top Related