BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Rematik
2.1.1. Definisi Demam Rematik
Demam rematik merupakan penyakit autoimun yang menyerang
multisistem akibat infeksi dari Streptokokus β-hemolitikus grup A pada faring
(faringitis) yang biasanya menyerang anak dan dewasa muda. Demam rematik
menyebabkan terjadinya peradangan yang biasanya terjadi pada jantung, kulit dan
jaringan ikat. Pada daerah endemik, 3% pasien yang mengalami faringitis oleh
Streptokokus berkembang menjadi demam rematik dalam 2 - 3 minggu setelah
infeksi saluran nafas bagian atas tersebut (RHD Australia, 2012).
2.1.2. Etiologi Demam Rematik
Streptokokus adalah bakteri gram positif yang ciri khasnya berpasangan
atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Terdapat sekitar dua puluh
spesies Streptokokus, termasuk Streptococcus pyogenes (grup A), Streptococcus
agalactie (grup B) dan Enterococci (grup D). Secara morfologi, Streptokokus
merupakan bakteri berbentuk batang atau ovoid dan tersusun seperti rantai yang
membentuk gambaran diplokokus atau terlihat seperti bentuk batang. Panjang
rantai sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Brooks et.al.,
2004).
Dinding sel Streptokokus mengandung protein (antigen M, R, dan T),
karbohidrat (spesifik untuk tiap grup), dan peptidoglikan. Pada Streptokokus grup
A, terdapat juga pili yang tersusun dari sebagian besar protein M yang dilapisi
asam lipoteikoat. Pili ini berperan penting dalam perlekatan Streptokokus ke sel
epitel (Brooks et.al., 2004).
Banyak Streptokokus mampu menghemolisa sel darah merah secara in
vitro dengan berbagai derajat. Apabila Streptokokus menghemolis sempurn sel
darah merah yang ditandai dengan adanya area yang bersih (clear zone) disebut
sebagai β-hemolitikus. Sedangkan apabila hemolisa dari sel darah merah tidak
Universitas Sumatera Utara
sempurna dan menghasilkan pigmen berwarna hijau disebut α-hemolitikus. Dan
Streptokokus lain yang tidak mengalami hemolisa disebut γ-hemolitikus (Brooks
et.al., 2004).
Streptokokus β-hemolitikus grup A, seperti Steptococcus pyogenes
merupakan agen pencetus yang menyebabkan terjadinya demam rematik akut.
Tidak semua serotip Streptokokus grup A dapat menimbulkan demam rematik.
Serotip tertentu Streptokokus β-hemolitikus grup A, misalnya serotip M tipe 1, 3,
5, 6, 18, 24 lebih sering diisolasi dari penderita dengan demam rematik akut.
Namun, karena serotip tidak diketahui pada saat diagnosis klinis faringitis
Streptokokus, klinisi harus menganggap bahwa semua Streptokokus grup A
mempunyai kemampuan menyebabkan demam rematik, karena itu semua episode
faringitis Streptokokus harus diobati (Todd, 2000).
Protein M merupakan faktor virulensi utama dari Streptococcus pyogenes.
Apabila tidak ada antibodi spesifik tipe-M, organisme ini mampu bertahan
terhadap proses fagositosis oleh polimorfonuklear. Protein M dan antigen pada
dinding sel Streptokokus memiliki peranan penting dalam patogenesis demam
rematik (Brooks et.al., 2004; Todd, 2000).
2.1.3. Patogenesis Demam Rematik
Terdapat tiga hal yang berperan penting dalam terjadinya demam rematik,
yakni agen penyebab penyakit yaitu Streptokokus β-hemolitikus grup A, host
(manusia), dan faktor lingkungan (Raju & Turi, 2012).
Streptokokus akan menyerang sistem pernafasan bagian atas dan melekat
pada jaringan faring. Adanya protein M menyebabkan organisme ini mampu
menghambat fagositosis sehingga bakteri ini dapat bertahan pada faring selama 2
minggu, sampai antibodi spesifik terhadap Streptokokus selesai dibentuk (Raju &
Turi, 2012).
Protein M, faktor virulen yang terdapat pada dinding sel Streptokokus,
secara immunologi memiliki kemiripan dengan struktur protein yang terdapat
dalam tubuh manusia seperti miokardium (miosin dan tropomiosin), katup jantung
(laminin), sinovial (vimentin), kulit (keratin) juga subtalamus dan nukleus
Universitas Sumatera Utara
kaudatus (lysogangliosides) yang terdapat diotak (Joseph, 2010). Adanya
kemiripan pada struktur molekul inilah yang mendasari terjadinya respon
autoimun yang pada demam rematik. Kelainan respon imun ini didasarkan pada
reaktivitas silang antara protein M Streptokokus dengan jaringan manusia yang
akan mengaktivasi sel limfosit B dan T. Sel T yang telah teraktivasi akan
menghasilkan sitokin dan antibodi spesifik yang secara langsung menyerang
protein tubuh manusia yang mirip dengan antigen Streptokokus. Seperti pada
korea Sydenham, ditemukan antibodi pada nukleus kaudatus otak yang lazim
ditemukan terhadap antigen membran sel Streptokokus (Behrman, 1996). Dan
ditemukannya antibodi terhadap katup jantung yang mengalami reaksi silang
dengan N-acetylglucosamine, karbohidrat dari Streptokokus grup A,
membuktikan bahwa antibodi bertanggung jawab terhadap kerusakan katup
jantung (Carapetis, 2010).
Genetik juga berperan terhadap kerentanan terjadinya demam rematik,
namun mekanisme yang pasti belum diketahui. Resiko terjadinya demam rematik
setelah faringitis oleh Streptokokus, pada mereka yang mempunyai kerentanan
secara genetik, adalah sekitar 50% dibandingkan dengan mereka yang tidak rentan
secara genetik (Robert, 2012). Telah diidentifikasi suatu alloantigen pada sel B
dari 75% penderita demam rematik, sedangkan hanya didapatkan 16% pada yang
bukan penderita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa antigen HLA-DR
merupakan petanda PJR (Fyler, 1996).
Akhirnya, faktor lingkungan berhubungan erat terhadap perkembangan
demam rematik. Kebersihan lingkungan yang buruk, kepadatan tempat tinggal,
sarana kesehatan yang kurang memadai juga pemberian antibiotik yang tidak
adekuat pada pencegahan primer dan sekunder demam rematik, meningkatkan
insidensi penyakit ini (Raju & Turi, 2012).
2.1.4. Manifestasi Klinis Demam Rematik
Terdapat periode laten selama 3 minggu (1-5 minggu) antara infeksi
Streptokokus dengan munculnya manifestasi klinis demam rematik. Namun pada
korea dan karditis, periode latennya mungkin memanjang sampai 6 bulan. Gejala
Universitas Sumatera Utara
faringitis Streptokokus umumnya tidak spesik, hanya dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan antibodi terhadap Streptokokus. Manifestasi klinis demam rematik
yang paling sering dijumpai adalah demam dan poliarthritis. Poliarthitis didapati
pada 60-75% kasus dan karditis pada 50-60% . Prevalensi terjadinya korea
bervariasi antar populasi, yakni antara 2-30%. Sedangkan eritema marginatum dan
nodulus subkutan jarang dijumpai, sekitar kurang dari 5% kasus demam rematik
(Carapetis, 2010).
2.1.4.1. Manifestasi Mayor Demam Rematik
1. Karditis
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam rematik akut
dan menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. 40-60%
pasien demam rematik akut berkembang menjadi PJR (Raju & Turi, 2012).
Karditis ini mempunyai gejala yang nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia,
demam ringan, mengeluh nafas pendek, nyeri dada dan arthalgia. Karena
manifestasi yang tidak spesifik dan lamanya timbul gejala, setiap pasien yang
datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan
adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan
ekokardiografi harus selalu dilakukan. Pasien yang pada pemeriksaan awal tidak
dijumpai adanya karditis harus terus dipantau sampai tiga minggu berikutnya.
Jikalau karditis tidak muncul dalam 2-3 minggu pascainfeksi, maka selanjutnya ia
jarang muncul. (Wahab, 1994).
Miokardium, endokardium dan perikardium juga sering terlibat dalam
karditis. Miokarditis biasanya terjadi dengan adanya takikardi, pembesaran
jantung dan adanya tanda gagal jantung. Perikarditis sering dialami dengan
adanya nyeri pada jantung dan nyeri tekan. Pada auskultasi juga sering dijumpai
adanya bising gesek yang terjadi akibat peradangan pada perikardium parietal dan
viseral. Bising gesek ini dapat didengar saat sistolik maupun diastolik (Carapetis,
2010).
Universitas Sumatera Utara
Diagnosa karditis ditegakkan dengan menemukan 1 dari 4 kriteria dibawah
ini: (1) Bising jantung organik. Pemeriksaan ekokardiografi yang menunjukkan
adanya insufisiensi aorta atau insufisiensi mitral saja, tanpa adanya bising jantung
organik tidak dapat disebut sebagai karditis. (2) Perikarditis (bising gesek, efusi
perikardium, nyeri dada, perubahan EKG). (3) Kardiomegali pada foto toraks, dan
(4) Gagal jantung kongestif (Madiyono et.al., 2005).
2. Arthritis
Arthritis merupakan manifestasi yang paling sering dari demam rematik,
terjadi pada sekitar 70% pasien demam rematik. Arthritis menunjukkan adanya
radang sendi aktif yang ditandai nyeri hebat, bengkak, eritema dan demam. Nyeri
saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas.
Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti, sendi lutut,
pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Arthritis rematik bersifat
asimetris dan berpindah-pindah (poliarthritis migrans). Peradangan sendi ini dapat
sembuh spontan beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang
lain. Pada sebagian besar pasien, arthritis sembuh dalam 1 minggu dan biasanya
tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Arthritis demam rematik ini berespon
baik dengan pemberian asam salisilat (Wahab, 1994; Essop & Omar, 2010).
3. Korea Sydenham
Korea Sydenham terjadi pada 13-34% kasus demam rematik dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses
radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak.
Periode laten dari korea ini cukup lama, sekitar 3 minggu sampai 3 bulan dari
terjadinya demam rematik. Gejala awal biasanya emosi yang labil dan iritabilitas.
Lalu diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan dan
inkoordinasi muskular. Semua otot dapat terkena, namun otot wajah dan
ekstremitas adalah yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan
adanya stress dan kelelahan namun menghilang saat pasien beristirahat (Essop &
Omar, 2010). Emosi pasien biasanya labil, mudah menangis, kehilangan
Universitas Sumatera Utara
perhatian, gelisah dan menunjukkan ekspresi yang tidak sesuai. Apabila proses
bicara terlibat, pasien terlihat berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak.
Meskipun tanpa pengobatan, korea dapat menghilang dalam 1- 2 minggu. Namun
pada kasus berat, meskipun diobati, korea dapat bertahan 3 – 4 bulan bahkan
sampai 2 tahun (Wahab, 1994).
4. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada demam rematik yang
terjadi kurang dari 10% kasus (Essop & Omar, 2010). Ruam ini tidak gatal,
makular, berwarna merah jambu atau kemerahan dengan tepi eritema yang
menjalar dari satu bagian ke bagian lain, mengelilingi kulit yang tampak normal.
Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, dengan bagian tengah yang terlihat lebih
pucat, muncul paling sering pada batang tubuh dan tungkai proksimal namun
tidak melibatkan wajah. Eritema biasanya hanya dijumpai pada pasien karditis,
seperti halnya nodulus subkutan (Wahab, 1994).
5. Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus
terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan
persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala dan di atas kolumna
vertebralis (Carapetis, 2010). Ukuran nodul bervariasi antara 0,5 – 2 cm, tidak
nyeri, padat dan dapat bebas digerakkan. Kulit yang menutupinya dapat bebas
digerakkan dan pucat, tidak menunjukkan tanda peradangan. Nodul ini biasanya
muncul pada karditis rematik dan menghilang dalam 1-2 minggu (Essop & Omar,
2010).
2.1.4.2.Manifestasi Minor Demam Rematik
Demam hampir selalu terjadi pada poliarthritis rematik. Suhunya jarang
mencapai 40O C dan biasa kembali normal dalam waktu 2 – 3 minggu, walau
tanpa pengobatan. Arthralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif
Universitas Sumatera Utara
(misalnya nyeri, merah, hangat) juga sering dijumpai. Arthalgia biasa melibatkan
sendi-sendi yang besar (Essop & Omar, 2010).
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam rematik akut dengan gagal
jantung oleh karena distensi hati. Anoreksia, mual dan muntah juga sering
muncul, namun kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan
salisilat. Epistaksis berat juga mungkin dapat terjadi (Wahab, 1994).
Pada penderita yang belum diobati, biakan usapan faring sering positif
bakteri Streptokokus hemolitikus. Titer antisteptolisin-O (ASTO) akan meningkat.
Kadar antibodi ini akan mencapai puncak sekitar satu bulan pascainfeksi dan
menurun sampai normal setelah sekitar 2 tahun, kecuali pada insufisiensi mitral
yang dapat bertahan selama beberapa tahun. Laju endap darah juga hampir selalu
meningkat, begitu juga dengan protein C-reaktif (Fyler, 1996).
Pada pemeriksaan EKG, sering menunjukkan sinus takikardia, namun
terkadang dapat dijumpai normal. Pemanjangan interval P-R terjadi pada 28-40%
pasien. Pemanjangan interval P-R ini tidak berhubungan dengan kelainan katup
atau perkembangannya (Miller et.al., 2011).
2.1.5. Diagnosa Demam Rematik
Demam rematik dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, dapat
sendiri atau bersama-sama. Tidak ada satu manifestasi klinis atau uji laboratorium
yang cukup khas untuk diagnostik ,kecuali korea Sydenham murni, dan karena
diagnosis harus didasarkan pada kombinasi beberapa temuan. Semakin banyak
jumlah manifestasi klinis maka akan semakin kuat diagnosis (Madiyono et.al.,
2005).
Pada tahun 1994 Dr T Duckett Jones mengusulkan kriteria untuk
diagnostik yang didasarkan pada manifestasi klinis dan penemuan laboratorium
sesuai dengan kegunaan diagnostiknya. Manifestasi klinis demam rematik dibagi
menjadi kriteria mayor dan minor, berdasarkan pada prevalensi dan spesifisitas
dari manifestasi klinis tersebut (Madiyono et.al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Kriteria Jones (revisi) untuk Pedoman dalam Diagnosis Demam Rematik (1992) Manifestasi mayor Manifestasi minor Karditis Klinis Poliarthritis Arthralgia Korea Sydenham Demam Eritema marginatum Laboratorium Nodulus subkutan Reaktans fase akut Laju endap darah (LED) naik Protein C reaksi positif Leukositosis Pemanjangan interval PR pada EKG Bukti adanya infeksi streptokokus Kenaikan titer antibodi antistreptokokus : ASTO dan lain-lain Usapan faring positif untuk streptokokus beta hemolitikus grup A Demam skarlatina yang baru Sumber : Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak, 2005
Dasar diagnosis pada pasien demam rematik : (1) Highly probable (sangat
mungkin) yaitu jika ditemui 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi mayor
ditambah 2 manifestasi minor disertai bukti infeksi Streptokokus β-hemolitikus
grup A yaitu dengan peningkatan ASTO atau kultur positif. (2) Doubtful
diagnosis (meragukan) yakni jika terdapat 2 manifestasi mayor atau 1 manifestasi
mayor ditambah 2 manifestasi minor namun tidak terdapat bukti infeksi
Streptokokus β-hemolitikus grup A. (3) Exception (pengecualian) yakni jika
diagnosis demam rematik dapat ditegakkan bila hanya ditemukan korea saja atau
karditis indolen saja (Madiyono et.al., 2005).
Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan untuk melanjutkan
penggunaan kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk demam rematik
serangan pertama dan serangan rekuren demam rematik pada pasien yang
diketahui tidak mengalami penyakit jantung rematik. Untuk serangan rekuren
demam rematik pada pasien yang sudah mengalami penyakit jantung rematik,
WHO merekomendasikan menggunakan minimal dua kriteria minor disertai
adanya bukti infeksi SGA sebelumnya (Madiyono et.al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones) Kategori diagnostik Kriteria Demam rematik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren Dua mayor atau satu mayor dan dua minor tanpa PJR ditambah dengan bukti infeksi SGA
sebelumnya Demam rematik serangan rekuren Dua minor ditambah dengan bukti infeksi dengan PJR SGA sebelumnya Korea Sydenham Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
bukti infeksi SGA PJR (stenosis mitral murni atau Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk kombinasi dengan insufisiensi mendiagnosis sebagai PJR mitral dan/atau gangguan katup aorta) Sumber : WHO, 2004 2.1.6. Penatalaksanaan Demam Rematik
Semua pasien demam rematik akut harus menjalani tirah baring, jika
mungkin di rumah sakit. Lama dan tingkat tirah baring tergantung pada sifat dan
keparahan serangan. Pasien harus diperiksa setiap hari untuk menemukan
valvulitis dan untuk memulai pengobatan dini apabila terjadi gagal jantung.
Karena karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak awal serangan,
maka pengamatan ketat harus dilakukan selama masa itu (Madiyono et.al., 2005;
Wahab, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Pedoman Tirah Baring dan Rawat Jalan pada Pasien Demam Rematik (Markowitz dan Gordiz, 1972) STATUS KARDITIS PENATALAKSANAAN Tidak ada karditis Tirah baring selama 2 minggu dan sedikit
demi sedikit rawat jalan selama 2 minggu dengan salisilat.
Karditis, tidak ada kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 4 minggu
Karditis, dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 6 minggu
Karditis, dengan gagal jantung Tirah baring ketat selama masih ada gejala gagal jantung dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 3 bulan
Sumber : Buku Ajar Kardiologi Anak, 1994 Eradikasi Streptokokus merupakan syarat utama dalam pengobatan demam
rematik akut, sedangkan pengobatan lain bergantung pada manifestasi klinis
penyakit. Pengobatan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan cara
pengobatan faringitis Streptokokus, yakni :
Benzatin penicillin G, dosis tunggal
Untuk BB > 30 kg : dosis 1,2 juta U i.m, dan
Untuk BB < 30 kg : dosis 600.000 U i.m
Jika alergi terhadap benzatin penisilin G :
Eritromisin 40 mg/kgbb/hari dibagi 2-4 dosis selama 10 hari
Alternatif lain :
Penisilin V (Phenoxymethylpenicilin) oral, 2 x 250 mg
Sulfadiazin oral, 1 gr sekali sehari
Eritromisin oral, 2 x 250 mg
Pengobatan antiradang amat efektif dalam menekan manifestasi radang
akut demam rematik. Pada pasien arthritis, manifestasi akan berkurang dengan
pemberian obat antiradang (salisilat atau steroid). Pada pasien karditis terutama
karditis berat, aspirin sering kali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa
tidak enak serta takikardia, sehingga harus ditangani dengan steroid, misalnya
Universitas Sumatera Utara
prednisone (Tabel 2.4). Kriteria beratnya karditis adalah: (1) Karditis minimal,
jika tidak jelas ditemukan adanya kardiomegali. (2) Karditis sedang apabila
dijumpai kardiomegali ringan, dan (3) Karditis berat apabila jelas terdapat
kardiomegali yang disertai tanda gagal jantung (Madiyono et.al., 2005).
Tabel 2.4. Panduan Obat Anti Inflamasi
Arthritis Karditis ringan Karditis sedang Karditis berat
Prednison 0 0 0 2-6 minggu
Aspirin 1-2 minggu 3-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan
Sumber : Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak, 2005
Dosis : Prednison : 2 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis selama 2 minggu
dan diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off ) dengan
pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari.
Bila penurunan ini dimulai, aspirin 75 mg/kgbb/hari dalam
2 minggu dan dilanjutkan selama 6 minggu
Aspirin : 100mg/kgbb/hari dibagi dalam 4-6 dosis; setelah minggu
ke-2 dosis aspirin diturunkan menjadi
60 mg/kgbb/hari.
Pada pasien korea yang ringan, umumnya hanya membutuhkan tirah
baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat
mengendalikan korea. Obat yang paling sering diberikan adalah fenobarbital dan
haloperidol. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8
jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5mg), kemudian dinaikkan
sampai 2,0 mg tiap 8 jam, bergantung pada respon klinis. Pada kasus berat,
kadang diperlukan 0,5 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada
korea, kecuali pada kasus yang sangat berat dapat diberikan steroid (Wahab,
1994).
Universitas Sumatera Utara
2.1.7. Pencegahan Demam Rematik
Pencegahan primer demam rematik berarti mengeradikasi Streptokokus
saat terjadi infeksi saluran pernafasan bagian atas (faringitis) dengan pemberian
antibiotik yang adekuat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya demam rematik
akut. Diagnosis faringitis yang tepat sangat diperlukan untuk dapat memberikan
terapi antibiotik yang tepat juga. Antibiotik akan efektif mengeradikasi
Streptokokus dari saluran pernafasan atas dan mencegah demam rematik, apabila
diberikan dalam 9 hari sejak munculnya gejala faringitis (WHO, 2004).
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya demam
rematik berulang dan penyakit jantung rematik. Pencegahan sekunder ini wajib
dilakukan pada pasien yang pernah mengalami demam rematik baik dengan atau
tanpa adanya gangguan pada katup jantung (WHO, 2004).
Tabel 2.5. Jadwal yang Dianjurkan untuk Pengobatan dan Pencegahan Infeksi Streptokokus
Pengobatan Faringitis Pencegahan Infeksi (Pencegahan Primer) (Pencegahan Sekunder)
1. Penisilin benzatin G IM 1. Penisilin benzatin G IM
a. 600 000-900 000 Unit a. 600 000 Unit untuk pasien untuk pasien <30kg < 30 kg setiap 3-4 minggu b. 1 200 000 Unit IM b. 1 200 000 Unit untuk pasien untuk pasien >30kg > 30 kg setiap 3-4 minggu
2. Penisilin V oral: 2. Penisilin V oral: 250 mg, 3 atau 4 kali sehari 250mg, dua kali sehari selama 10 hari 3. Eritromisin: 3. Eritromisin: 40mg/kgbb/hari dibagi dalam 250mg: dua kali sehari 2-4 kali dosis sehari (dosis maksimum 1g/hari) selama 10 hari 4. Sulfadiazin: a. 0,5 g untuk pasien < 30kg sekali sehari b. 1 gr untuk pasien >30kg sekali sehari
Sumber : Buku Ajar Kardiologi Anak, 1994
Universitas Sumatera Utara
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada
berbagai faktor, yakni: waktu serangan, jumlah serangan demam rematik
sebelumnya, usia pertama kali terkena demam rematik, ada atau tidaknya PJR, ada
atau tidaknya riwayat keluarga yang menderita PJR, tingkat sosioekonomi dan
keadaan lingkungan lainnya (WHO, 2004). Makin muda saat terkena demam
rematik, makin besar kemungkinan kumat, namun setelah pubertas kemungkinan
kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi pada 5 tahun pertama.
Pasien dengan karditis lebih mudah kumat daripada pasien tanpa karditis (Wahab,
1994).
Tabel 2.6. Durasi Pencegahan Sekunder yang Disarankan
Kategori pasien Durasi Pencegahan Pasien tanpa adanya bukti karditis Selama 5 tahun sesudah serangan
terakhir atau sekurangnya sampai berusia 18 tahun (mana yang lebih lama)
Pasien dengan karditis Selama 10 tahun sesudah serangan (insufisiensi mitral ringan atau terakhir atau sekurangnya karditis yang telah sembuh) sampai berusia 25 tahun (mana yang
lebih lama) Penyakit jantung katup berat lainnya Seumur hidup Setelah operasi katup Seumur hidup Sumber : WHO, 2004
2.2. Penyakit Jantung Rematik
Penyakit Jantung Rematik (PJR) merupakan kerusakan katup jantung yang
disebabkan oleh respon imun abnormal terhadap infeksi Streptokokus yang terjadi
saat demam rematik sebelumnya (Marijon et.al., 2012). PJR lebih sering terjadi
pada pasien yang mengalami keterlibatan jantung berat pada serangan demam
rematik akut. Walaupun karditis dan deman rematik dapat mengenai perkardium,
miokardium dan endokardium, namun kelainan yang menetap hanya ditemukan
pada endokardium, terutama katup jantung. Katup yang sering terkena adalah
katup mitral dan aorta yang kelainannya dapat berupa insufisiensi tetapi bila
penyakit telah berlangsung lama dapat berupa stenosis (Madiyono et.al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Elektrokardiogram
Rekaman aktivitas jantung berperan sangat penting dalam kardiologi.
Pencatatan aktivitas jantung atas dasar perbedaan potensial listrik ini disebut
elektrokardiografi (EKG). Impuls listrik jantung memacu kontraksi berjalan
melalui sistem konduksi khusus yang menimbulkan arus listrik lemah yang
menyebar ke seluruh tubuh. Dengan elektroda yang diletakkan pada beberapa
tempat dipermukaan tubuh dan dengan menghubungkan elektroda tersebut dengan
alat elektrokardiografi, maka arus listrik tersebut dapat terekam pada kertas
elektrokardiogram.
Adapun kegunaan dari EKG adalah sebagai berikut :
1. Dapat menentukan adanya hipertrofi atau pembesaran ruang jantung
2. Dapat menentukan adanya gangguan miokardium
3. Membantu diagnosis spesifik distritmia
4. Membantu diagnosis perikarditis atau efusi pericardium
5. Mengetahui efek berbagai obat terhadap sistem kardiovaskular
6. Dapat menentukan adanya gangguan metabolik atau elektrolit (Wahab, 1994)
2.3.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Konduksi Jantung
Sistem konduksi jantung terdiri dari sel-sel khusus yang berfungsi
meneruskan impuls listrik. Sel-sel ini tidak berperan dalam mekanisme kontraksi,
melainkan berperan dalam pengaturan koordinasi aktivitas jantung. Sistem
konduksi itu berturut-turut adalah:
1. Nodus Sinoatrial (nodus SA), disebut juga sebagai pacu jantung (pacemaker)
merupakan sekumpulan sel yang terletak di sudut kanan atrium kanan dengan
ukuran panjang 10-20 mm dan lebar 2-3 mm. Nodus SA mengatur ritme
jantung (60-100 x/menit) dengan mempertahankan kecepatan depolarisasi dan
mengawali siklus jantung dengan sistolik atrium yang dipengaruhi oleh saraf
simpatik dan parasimpatik (Dharma, 2009; Putra et.al., 1994).
2. Jaras internodal atrium (internodal atrial pathway) akan meneruskan impuls ke
nodus atrioventrikular melalui 3 jaras, yakni: (1) Jaras intermodal anterior yang
meneruskan impuls kebagian atrium kiri dan melintasi bagian anterior septum
Universitas Sumatera Utara
atrium. (2) Jaras internodal media yang meninggalkan bagian posterior nodus
SA kemudian ke bagian superior nodus AV, dan (3) Jaras internodal posterior
yang meninggalkan posterior nodus SA menuju bagaian posterior nodus AV.
Ketiga jaras ini akan saling berhubungan dan menghantarkan impus dari nodus
SA ke nodus AV (Putra et.al., 1994).
3. Nodus Atrioventrikular (nodus AV), pada orang dewasa berukuran 2 x 5 mm
dan terletak pada permukaan endokardium pada bagian kanan septum
interatrium. Nodus AV menghasilkan impuls 40-60 x/menit dan kecepatan
konduksi 0,05 meter/detik. Impuls dari atrium ini mengalami perlambatan
selama 0,07 detik di nodus AV (Dharma, 2009).
4. Bundel His bercabang menjadi cabang kiri dan kanan. Cabang bundel kanan
(right bundle branch) menuju septum ventrikel sampai ke dasar muskulus
papilaris anterior. Cabang bundel kiri (left bundle branch) menembus septum
ventrikel dan terbagi menjadi fasikulus anterior yang berperan dalam kontraksi
ventrikel kiri bagian anterior dan superior dan fasikulus posteror yang berperan
dalam kontraksi bagian posterior dan inferior ventrikel kiri (Putra et.al., 1994).
5. Sistem Purkinje. Cabang bundel His akan berakhir pada sistem purkinje di
lapisan subendokardium kedua ventrikel. Serabut purkinje tersebar mulai dari
septum interventrikel sampai ke muskulus papilaris dan mengasilkan impuls
20-40 x/menit dengan kecepatan konduksi 4 meter/detik (Dharma, 2009).
Gambar 2.1. Sistem Konduksi jantung
Sumber : www.nottingham.ac.uk
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Konfigurasi Elektrokardiogram
Gambar 2.2. Konfigurasi Elektrokardiogram dengan Gelombang, Segmen
dan Interval Sumber : www.merckmanuals.com Gelombang P : gelombang pertama kali terlihat. Terjadi defleksi positif
akibat depolarsasi atrium. Interval P-R : waktu antara permulaan gelombang P dengan awal kompleks
QRS. Menunjukkan waktu terjadinya penjalaran gelombang depolarisasi dari atrium ke ventrikel.
Segmen P-R : dibentuk dari akhir gelombang P sampai dengan awal kompleks QRS dan merupakan penentu garis isoelektris
Gelombang Q : defleksi negatif pertama yang terlihat. Gelombang Q tidak selalu nampak, bergantung letak pencatatan dan sifat otot ventrikel
Gelombang R : defleksi positif pertama pada depolarisasi ventrikel Gelombang S : defleksi negatif pertama setelah defleksi positif (R) pada
depolarisasi ventrikel Kompleks QRS : menunjukkan depolarisasi ventrikel (dan kontraksi) Gelombang T : defleksi akibat repolarisasi ventrikel Gelombang U : defleksi setelah gelombang T sebelum gelombang P;
menunjukkan repolarisasi serabut purkinje Interval QRS : waktu depolarisasi ventrikel, diukur dari awal gelombang Q
(atau R bila Q tidak ada) samapi akhir gelombang S.
Universitas Sumatera Utara
Interval Q-T : waktu depolarisasi dan repolarisasi ventrikel; diukur dari awal gelombang Q sampai akhir gelombang T
Segmen S-T : jarak antara akhir dari gelombang S dan awal dari gelombang T; menunjukkan waktu anatara depolarisasi ventrikel dan awal dari repolarisasi ventrikel (Putra et.al., 1994; Jones, 2005)
2.3.3. Gambaran Elektrokardiogram Normal Berdasarkan Dharma (2009) dan Pomedli et.al. (2011), interpretasi
elektrokardiogram dilakukan dengan menentukan :
A. Ritme atau irama jantung
Karakteristik ritme sinus :
- Laju : 60-100x/ menit
- Ritme interval : P-P regular, interval R-R regular.
- Gelombang P : Positif (upright) di sadapan I, II, III dan selalu diikuti
kompleks QRS
- PR interval : 0,12-0,20 detik (3-5 kotak kecil) dan konstan
Gambar 2.3. Gambaran Normal Sinus Ritme
Sumber: www.nottingham.ac.uk B. Frekuensi jantung (laju QRS)
Terdapat 3 metode untuk menghitung frekuensi jantung, yaitu:
1. 1500 / jumlah kotak kecil antara R-R
2. 300 / jumlah kotak besar antara R-R
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Cara Menghitung Frekuensi Jantung dengan Metode 300
dibagi dengan Jumlah Kotak Besar dari R-R Sumber: www.nottingham.ac.uk
3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10,
atau dalam 12 detik dikalikan dengan 5
Frekuensi jantung normal : 60-100 x/menit (bradikardi < 60, takikardia >100)
C. Interval
1. P-R interval = 0,12-0,20 detik (3-5 kotak kecil)
2. QRS interval ≤ 0,10 detik (≤ 2.5 kotak kecil)
3. Q-T interval ≤ setengah dari interval R-R, jika frekuensi jantung normal
D. Morfologi gelombang P
Lihat gelombang P pada sadapan II dan V1 untuk melihat kelainan pada
atrium kiri dan kanan.
E. Kompleks QRS
1. Menentukan aksis jantung
Sumbu jantung (aksis) ditentukan dengan menghitung jumlah resultan
defleksi positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu
X dan sadapan aVF sebagai sumbu Y. Aksis normal berkisar antara -30o sampai
+110o. Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis
jantung adalah:
a. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF positif, maka sumbu jantung
Universitas Sumatera Utara
(aksis) berada pada posisi normal.
b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan aVF negatif, jika resultan sadapan
II positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis
ke kiri (LAD= left axis deviation), berada pada sudut -30o sampai -90o.
c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF positif, maka deviasi aksis
ke kanan (RAD= right axis deviation) berada pada sudut +110o sampai
+180o.
d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan aVF negatif, maka deviasi aksis
kanan atas, berada pada sudut -90o sampai +180o.
2. Hitung durasi kompleks QRS
3. Evaluasi apakah ada tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri atau kanan serta
cari apakah terdapat morfologi blok cabang berkas kanan maupun kiri
(bundle branch blocks).
F. Analisis segmen S-T, Gelombang T, interval Q-T dan gelombang U
1. Analisis adanya elevasi segmen S-T :
a. elevasi segemn S-T pada infark miokard akut
b. Perikarditis
2. Analisis adanya segmen S-T depresi dan atau gelombang T inversi:
a. Iskemia miokard
b. Biasanya bersamaan dengan hipertrofi ventrikel atau blok cabang berkas
(bundle branch blocks).
c. Abnormalitas metabolik (hipokalemia atau hiperkalemia)
2.3.4. Gambaran Elektrokardiogram Abnormal
1. Penyakit Jantung Rematik Aktif
Pada PJR aktif, proses radang yang terjadi dapat melibatkan sistem
konduksi, endokardium, miokardium, dan perikardium. Akibatnya, terjadi aritmia
dan dilatasi jantung yang selanjutnya dapat menyebabkan regurgitasi mitral dan/
atau aorta (Wahab, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Kelainan konduksi yang sering terjadi adalah blokade konduksi AV.
Pemanjangan Interval P-R menunjukkan adanya blokade AV derajat I dan
merupakan kriteria minor pada kriteria diagnostik Jones. Adanya keterlibatan
miokardium ditunjukkan dengan gelombang T yang rendah dan depresi S-T
(Wahab, 1993).
Hipertrofi ventrikel dan atrium dapat terjadi karena peradangan dan
regurgitasi mitral dan/atau regurgitasi aorta. Pada pembesaran atrium kiri dapat
dijumpai : (1) durasi gelombang P > 0,11 detik, (2) gelombang P berlekuk
disadapan I, II, aVL yang disebut P mitral, dan (3) Gelombang P bifasik di
sadapan V1 dengan bagian inversi yang dominan. Sedangkan adanya gelombang R
yang tinggi di sadapan V6 menandakan adanya hipertrofi ventrikel kiri (Dharma,
2009).
2. Penyakit Jantung Rematik Kronik
Pada penyakit jantung rematik kronik masalah utama yang muncul adalah
regurgitasi valvula. Bila regurgitasi mitral besar, maka akan terjadi penambahan
beban volume, baik pada atrium kiri maupun pada ventrikel kiri dan terjadi
hipertensi vena pulmonalis (Wahab, 1993).
Penambahan beban (hipertrofi) ventrikel kiri diwujudkan sebagai kompleks
QRS seperti gelombang S yang dalam sadapan V1 dan gelombang R yang tinggi
di sadapan V6. Bila terjadi regurgitasi dan/atau stenosis mitral berat akan terjadi
gambaran hipertropi atrium kiri. Hipertropi atrium kiri yang berat dapat
menyebabkan fibrilasi atrium (Wahab, 1993).
Universitas Sumatera Utara