Download - BAB 2 LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2015-1-00122-MN Bab2001.pdf · BAB 2 LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian

Transcript

BAB 2

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

2.1 Pengertian Management

Secara etimologis kata manajemen berasal dari bahasa Perancis Kuno

ménagement, yang berarti seni melaksanakan dan mengatur.Sedangkan secara

terminologis para pakar mendefinisikan manajemen secara beragam, diantaranya:

Follet yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1) mengartikan manajemen sebagai

seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Menurut Stoner yang dikutip

oleh Wijayanti (2008: 1) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan

sumber daya-sumber daya manusia organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi

yang telah ditetapkan. Gulick dalam Wijayanti (2008: 1) mendefinisikan manajemen

sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk

memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk mencapai

tujuan dan membuat sistem ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.

2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

1. Menurut Newman dan Hodgetts (2007:4), “Human Resources Management

(HRM) is the process by which organizations ensure the effective use of their

associates in the pursuit of both organizational and individual goals”.

“Manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses yang dilakukan suatu

organisasi atau perusahaan untukmemastikan bahwa sumber daya manusia yang

ada digunakan secara efektif dalam usaha mencapai tujuan organisasi atau

perusahaan serta tujuan individu”

2. Sementara itu Dessler (2009:2) mengatakan, “Human resources management

refers to the policies and practices one need to carry out the people or human

resources aspects of a management job”. “Manajemen sumber daya manusia

mengarah pada kebijakan dan tindakan yang dibutuhkan seseorang (manajer)

untuk mengatur atau melaksanakan aspek sumber daya manusia dalam suatu

tugas manajemen” Dessler (2009:9)

Jadi, manajemen sumber daya manusia merupakan manajemen yang menitik

beratkan perhatiannya kepada faktor produksi manusia dengan segala kegiatannya untuk

mencapai tujuan perusahaan.Sumber daya manusia merupakan investasi yang

memegang peranan penting bagi perusahaan. Tanpa adanya sumber daya manusia,

faktor produksi lain tidak dapat dijalankan dengan maksimal untuk mencapai tujuan

perusahaan.

2.2 Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional

2.2.1 Pengertian Kepemimpinan

Soerkarso, et al (2010), menyatakan kepemimpinan (leadership) merupakan proses

pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang memengaruhi kehidupan lain, kekuatan

yang memengaruhi prilaku orang lain kearah pencapaian tujuan tertentu.

Menurut Yukl (2010) mendefinisikan kepemimpinan adalah proses untuk

mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui kebutuhan yang harus

dipenuhi dan cara melakukannya, serta proses memfasilitasi individu dan kelompok

berusaha mencapai tujuan bersama.

Veithzal Rivai (2006:3) mengatakan: “kepemimpinan adalah kemampuan untuk

memengaruhi, memberi inspirasi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok

untuk mencapai tujuan yang diharapkan”. Kepemimpinan adalah proses pengarahan dan

memengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas anggota kelompok. Tiga implikasi

penting yang terkandung dalam hal ini ialah:

1 Kepemimpinan melibatkan orang lain, yang berkedudukan sebagai bawahan atau

pengikut.

2 Perbedaan distribusi kekuasaan, misalnya kekuasaan legalitas untuk pemimpin

formal atau kekuasaan paksaan untuk manajer, dan sebagainya.

3 Kemampuan dalam menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk memengaruhi

perilaku bawahan.

2.2.2 Pengertian Gaya Kepemimpinan

Menurut Hasibuan (2011), gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin

mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif

untuk mencapai tujuan organisasi.

Menurut Robbins (2010), gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan

seseorang untuk mempengaruhi kelompok menuju tercapainya sasaran.

Menurut Mifta Thoha (2010: 49) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku

yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku

orang lain seperti yang ia lihat.

2.2.3 Fungsi Kepemimpinan

Menurut Nawawi dan Hadari (2014: 74) kepemimpinan yang efektif hanya akan

terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu

berhubungan langsung dengan sistuasi sosial dalam kehidupan kelompok/ organisasi

masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan

bukan di luar situasi itu.Pemimpin harus berusaha agar menjadi bagian di dalam situasi

sosial kelompok/ organisasinya.

Fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi sebagai berikut:

1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction)

dalam tindakan atau aktivitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan orang-

orang yang dipimpinnya.

2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan

orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/

organisasi, yang dijabarkan dan dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan

dan kebijakan-kebijakan pemimpin.

2.2.4 Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional

Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2013, p.378) kepemimpinan

transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan

intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma.

Kreitner dan Kinicki (2010, p.485) menyatakan bahwa pemimpin

transformasional munimbulkan kepercayaan, mencari dan mengembangkan jiwa

kepemimpinan dalam diri orang lain, bersedia berkorban dan memiliki moral untuk

melayani, memfokuskan diri dan bawahannya pada tujuan yang melampaui kebutuhan

yang lebih mendesak dari kelompok kerja. Kepemipinan transformasional

mentransformasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi lebih dari kepentingan

pribadi.

Menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson (2013, p.462) kepemimpinan

transformasional meliputi menginspirasi pengikut untuk berkomitmen terhadap visi

bersama yang memberi arti untuk pekerjaan mereka sementara juga sekaligus

merangkap sebagai panutan yang membantu pengikut mengembangkan potensi dan

melihat masalah mereka sendiri dari perspektif baru. Pemimpin transformasional dapat

menghasilkan perubahan organisasi yang signifikan dan hasil kinerja karena bentuk

kepemimpinan mendorong tingkat yang lebih tinggi dari motivasi intrinsik, kepercayaan,

komitmen, dan loyalitas dari bawahan.

Pemimpin transformasional mentransformasi dan memotivasi para pengikut

dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu

pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada

kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang lebih

tinggi.

Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan

transformasional adalah pemimpin yang mampu mentransformasi atau melakukan

perubahan terhadap bawahannya untuk mencapai tujuan melalui kharisma yang

dimilikinya, fokus dan memperhatikan kebutuhan bawahan, menginspirasi dan

memotivasi karyawannya secara individual, serta menjadi panutan dalam organisasi

sehingga bawahannya bisa percaya, kagum, dan setia kepada pemimpin yang

bersangkutan.

2.2.5 Peran Pemimpin Transformasional

Menurut Setiawan dan Muhith (2013, p.116) peran pemimpin transformasional

adalah sebagai berikut:

1) Envisioning, pemimpin menstimulus terbentuknya visi baru organisasi yang lebih

maju;

2) Energizing, berarti kekuatan karakter yang menjadi sumber energi (spirit) bagi

anggota untuk memiliki gairah kerja dalam mewujudkan cita-cita organisasi;

3) Enabling, pemimpin bekerja bersama dengan anggota sehingga memberikan

keyakinan akan terwujudnya cita-cita organisasi (bukan cita-cita individu).

2.2.6 Dimensi Kepemimpinan Transformasional

Bass dalam robbins and judge (2013, p379) mengusulkan empat dimensi

kepemimpinan transformasional dalam kadar kepemimpinan seseorang, yaitu:

a) Pengaruh Ideal (Idealized Influence)

Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin.

Pemimpin dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi

dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan.

b) Motivasi yang Inspiratif ( Inspirational Motivation)

Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan

cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu

mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, menggunakan

simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan tujuan-

tujuan penting secara sederhana.

c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation)

Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong

bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih

rasional dalam pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan

permasalahan yang ada.

d) Perhatian yang bersifat Individual (Individualized Consideration)

Pemimpin memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti

memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan

kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada

bawahannya.

2.2.7 Perbandingan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional

Menurut Afsaneh Nahavandi dikutip dari Setiawan dan Muhith (2013, p.107)

kepemimpinan transaksional didasarkan pada konsep pertukaran antara pemimpin dan

para pengikut. Pemimpin menyediakan pengikutnya sumber daya dan penghargaan

dalam pertukaran untuk motivasi, produktivitas, dan pencapaian tugas yang efektif.

Kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai

ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak

yang telah mereka setujui bersama, atau pemimpin yang memotivasi bawahannya

melalui pemberian imbalan atas apa yang telah mereka lakukan, sebab pemimpin

mengasumsikan bahwa bawahan mampu untuk melakukan pekerjaannya.

Kepemimpinan transaksional menekankan pada “reward” (imbalan) dan “punishment”

(hukuman).

Menurut Bass dan Rigio dalam Setiawan dan Muhith (2013, p.110) aspek-aspek

dalam kepemimpinan transaksional adalah sebagai berikut:

1) Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward)

Menjalankan pertukaran kontraktual antara penghargaan dan usaha, menjanjikan

penghargaan untuk kinerja yang baik dan mengakui pencapaian yang diperoleh.

2) Manajemen Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active)

Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta

melakukan tindakan-tindakan perbaikan.

3) Manajemen Pengecualian-pasif (Management by Exception-Passive)

Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai.

4) Laissez-faire

Melepas tanggung jawab dan menghindari pengambilan keputusan.

Sedangkan pada konteks kepemimpinan tranformasional dinyatakan bahwa

untuk menjadi pemimpin yang sukses, ia harus membangkitkan komitmen pengikutnya

untuk dengan kesadarannya membangun nilai-nilai organisasi, mengembangkan visi

organisasi, melakukan perubahan, dan mencari terobosan-terobosan baru dalam

meningkatkan produktivitas organisasi.

2.3 Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan

manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu

perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para

karyawan yang melaksanakan proses produksi tersebut. Lingkungan kerja yang

memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan

kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja

yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi

kerja karyawan.

Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia

dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian

lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi

lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu

yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang

efisien.

Menurut Sedarmayati (2009:21) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai

berikut: “Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi,

lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan

kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”.

Menurut Supardi dalam Subroto, (2005:34) “ lingkungan kerja merupakan

keadaaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat

memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja

Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja

merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang

berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat

mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja.

2.3.1 Jenis Lingkungan Kerja

Sedarmayanti (2009:21) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan

kerja terbagi menjadi 2 yakni : (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan kerja non

fisik.

A. Lingkungan kerja Fisik

Menurut Sedarmayanti (2009:22), “lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan

berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi

karyawan baik secara langsung maupun scara tidak langsung.”

Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :

1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja,

kursi, meja dan sebagainya)

2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan

kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :temperatur, kelembaban,

sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna,

dan lain-lain.

Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap karyawan, maka

langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai fisik dan tingkah

lakunya maupun mengenai fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan

lingkungan fisik yang sesuai.

B. Lingkungan Kerja Non Fisik

Menurut Sadarmayanti (2009:31), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua

keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan

atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”.

Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak

bisa diabaikan. Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung

kerja sama antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang

sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan,

komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.

Pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim dan suasana

kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama.

Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan

kreativitas. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk

bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja non

fisik adalah kondisi lain dari lingkungan kerja fisik yang berkaitan dengan hubungan

kerja karyawan yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Berikut ini penjelasan mengenai

unsur-unsur lingkungan kerja non fisik : 1. Hubungan Atasan dengan Bawahan

Hubungan atasan dengan bawahan terjadi saat atasan memberikan tugas-tugas untuk

dikerjakan bawahannya. penyampaian informasi dari pimpinan ke bawahan bisa

meliputi banyak hal seperti tugas-tugas yang harus dilakukan bawahan, kebijakan

organisasi, tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan adanya perubahanperubahan kebijakan.

Hubungan atau interaksi antara atasan dengan bawahan harus di jaga dengan

harmonis dan saling menjaga etika serta menghargai satu sama lain agar terciptanya

lingkungan kerja yang nyaman. Lingkungan kerja yang nyaman akan membuat kedua

belah pihak antara atasan dan bawahan dapat saling meningkatkan kinerjanya. 2.

Hubungan antar Karyawan Hubungan antar karyawan dalam lingkungan kerja dalam

perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan sebab yang mana akan

menimbulkan tingkat kepuasan kinerja karyawan. situasi lingkungan dalam

menyelesaikan pekerjaan dan interaksi antar karyawan demi untuk menciptakan

kelancaran kerja.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam menciptakan suasana lingkungan kerja

yang baik yaitu menciptakan hubungan / interaksi antar karyawan yang baik pula agar

suasana kerja yang tercipta akan lebih nyaman dan harmonis sehingga karyawan akan

lebih semangat dalam meningkatkan kinerjanya

2.3.2 Dimensi Lingkungan Kerja

Menurut Sedarmayanti (2009: 34) yang dapat mempengaruhi terbentuknya kondisi

lingkungan kerja yang dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah :

1. Penerangan di tempat kerja

Penerangan sangat besar manfaatnya bagi karyawan guna mendapatkan

keselamatan dan kelancaran kerja, oleh sebab itu perlu diperhatikan adanya

penerangan (cahaya) terang tetapi tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas

(kurang cukup) mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas, sehingga

pekerjaan akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada akhirnya

menyebabkab kurang efisien dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga tujuan

organisasi sulit tercapai. Pada dasarnya cahaya dapat dibedakan menjadi empat

yaitu :

a) Cahaya langsung

b) Cahaya setengah langsung

c) Cahaya tidak langsung

d) Cahaya setengah tidak langsung

2. Temperatur di tempat kerja

Dalam keadaan normal, tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur

yang berbeda. Tubuh manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keadaan

normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi diluar tubuh. Tetapi

kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya, yaitu bahwa tubuh

manusia masih dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika

perubahan temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20% untuk kondisi panas dan

35% untuk kondisi dingin, dari keadaan normal tubuh.

Menurut para ahli penelitian, untuk berbagai tingkat temperatur akan

memberikan pengaruh yang berbeda. Keadaan tersebut tidak mutlak berlaku

bagi setiap karyawan karena kemampuan beradaptasi tiap karyawan berbeda,

tergantung di daerah bagaimana karyawan dapat hidup.

3. Kelembaban di tempat kerja

Kelembaban adalah banyaknya air yang tergantung dalam udara, biasa

dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi

oleh temperatur udara, dan secara bersama – sama antara temperatur,

kelembaban, kecepatan udara bergerak dan radiasi panas dari udara tersebut

akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia pada saat menerima atau

melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan dengan temperatur udara sangat

panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh

secara besar-besaran, karena sistem penguapan. Pengaruh lain adalah makin

cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk

memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu berusaha untuk

mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu disekitarnya.

4. Sirkulasi udara di tempat kerja

Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga

kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolism. Udara di sekitar dikatakan

kotor apabila kadar oksigen dalan udara tersebut telah berkurang dan telah

bercampur dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh.

Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman di sekitar tempat

kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia.

Dengan cukupnya oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh

secara psikologis akibat adanta tanaman disekitar tempat kerja, keduanya akan

memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk dan segar

selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat lelah

setelah bekerja.

5. Kebisingan di tempat kerja

Salah satu polusi yang cukup menyibukkan para pakar untuk mengatasinya

adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak

dikehendaki, terutama jangkan panjang bunyi tersebut dapat mengganggu

ketenagan bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan

komunikasi, bahkan menurut penelitian, kebisingan yang serius bisa

menyebabkan kematian. Karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka

suara bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan

dengan efisien sehingga produktivitas kerja meningkat.

Ada tiga aspek yang menentukan kualitas suatu bunyi, yang bisa menentukan

tingkat gangguan terhadap manusia, yaitu :

a) Lamanya kebisingan

b) Intensitas kebisingan

c) Frekuensi kebisingan

Semakin lama telinga mendengar kebisingan, akan semakin buruk akibatnya,

diantaranya pendengaran dapat makin berkurang.

6. Getaran mekanis di tempat kerja

Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis, yang

sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh karyawan dan dapat menimbulkan

akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada umumnya sangat

mengganggu tubuh karena ketidakteraturannya, baik tidak teratur dalam

intensitas maupun frekuensinya. Gangguan terbesar terhadap suatu alat dalam

tubuh terdapat apabila frekuensi ala mini beresonansi dengan frekuensi dari

getaran mekanis. Secara umum getaran mekanis dapat mengganggu tubuh dalam

hal :

a) Konsentrasi bekerja

b) Datanganya kelelahan

c) Timbulnya beberapa penyakit, diantaranya gangguan terhadap mata,

syaraf, peredaran darah, otot, tulang, dan lain-lain.

7. Bau-bauan di tempat kerja

Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran,

karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan bau-bauan yang terjadi

terus-menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian “ air

condition” yang tepat merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk

menghilangkan bau-bauan yang mengganggudi sekitar tempat kerja.

8. Tata warna di tempat kerja

Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaik-

baiknya. Pada kenyataannya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan

dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh besar

terhadap perasaan. Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa

senang, sedih, dan lain-lain. Karena dalam sifat warna dapat merangsang

perasaan manusia.

9. Dekorasi di tempat kerja

Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena itu dekorasi

tidak hanya berkaitan dengan hasil ruang kerja saja tetapi berkaitan juga dengan

cara mengatur tata letak, tata warna, pelengkapan, dan lainnya untuk bekerja.

10. Keamanan di tempat kerja

Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja dalam keadaan aman maka

perlu diperhatikan adanya keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga

keamanan di tempat kerja, dapat memanfaatkan tenaga Satuan Petugas

Keamanan (SATPAM).

Faktor- faktor yang terkait dengan lingkungan kerja non fisik yaitu :

1. Hubungan Atasan dengan Bawahan. Hubungan atasan dengan bawahan terjadi

saat atasan memberikan tugas-tugas untuk dikerjakan bawahannya. penyampaian

informasi dari pimpinan ke bawahan bisa meliputi banyak hal seperti tugas-tugas

yang harus dilakukan bawahan, kebijakan organisasi, tujuan-tujuan yang ingin

dicapai dan adanya perubahan-perubahan kebijakan.

2. Hubungan antar Karyawan dalam lingkungan kerja dalam perusahaan merupakan

hal yang tidak dapat dipisahkan sebab yang mana akan menimbulkan tingkat

kepuasan dan kinerja karyawan. situasi lingkungan dalam menyelesaikan

pekerjaan dan interaksi antar karyawan demi untuk menciptakan kelancaran

kerja.

2.4 Pengertian Budaya Organisasi

Menurut G Graham dalam Siswadi (2012:71) budaya organisasi adalah norma,

keyakinan, sikap dan filosofi organisasi. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai,

keyakinan dan norma-norma yang unik yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu

organisasi. Kebudayaan juga menjadi suatu penyebab penting bagi keefektifan

organisasi itu sendiri.

Sedangkan menurut Siswadi (2012:71) budaya organisasi adalah norma,

keyakinan, sikap dan filosofi organisasi. Kebudayaan adalah suatu sistem nilai,

keyakinan dan norma-norma yang unik yang dimiliki secara bersama oleh anggota suatu

organisasi. Kebudayaan juga menjadi suatu penyebab penting bagi keefektifan

organisasi itu sendiri.

Robbins dalam Darmawan (2013: 143), “A system of shared meaning held by

members that distinguishes the organization from other organization”. Budaya

organisasi merupakan suatu sistem dari makna atau arti bersama yang dianut para

anggotanya yang membedakan organisasi dari organisasi lain.

Davis dalam Suharsono (2012: 190), budaya organisasi adalah perilaku

konvensional masyarakatnya dan mempengaruhi perilaku anggotanya meskipun

sebagaian besar tidak disadarinya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan pola

keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang dijiwai oleh seluruh anggotanya dalam

melakukan pekerjaan sebagai cara yang tepat untuk memahai, memikirkan dan

merasakan terhadap masalah-masalah terkait, sehingga akan menjadi sebuah nilai atau

aturan dalam organisasi tersebut.

2.4.1 Fungsi Budaya

Budaya organisasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisasi.

Kreitner dan Kinichi dalam Wibowo (2010: 49), beberapa arti penting budaya organisasi

bagi kehidupan organisasi adalah sebagai berikut:

1. Memberi anggota identitas.

Dengan budaya organisasi yang diciptakan dan diterapkan dalam aktivitas

organisasi maka dianggap khas oleh setiap individu yang menjadi anggota

organisasi itu. Kekhasan itulah yang kemudian menjadi atau memberi identitas

bagi individu.

2. Memfasilitasi komitmen kolektif.

Dengan menerapkan budaya yang khas maka dapat membantu individu secara

kolektif membentuk perilakunya sesuai dengan budaya dalam organisasi itu.

Dengan demikian maka organisasi pada dasarnya memberikan kesempatan

kepada setiap individu untuk membentuk komitmen pribadinya secara kolektif.

Akhirnya setiap anggota merasa bangga menjadi bagian dari organisasi itu.

3. Meningkatkan stabilitas sistem sosial.

Dengan terbentuknya komitmen yang tinggi maka dapat memudahkan

pengelolaan berbagai potensi konflik yang terjadi di organisasi. Dengan adanya

kesepakatan bersama tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dicapai

dalam organisasi itu, membuat lingkungan organisasi dan interaksi antar

individu dalam organisasi itu lebih stabil. Peran budaya sebagai alat untuk

meningkatkan kohesivitas karyawan dan menyatukan berbagai komponen

organisasi yang memiliki cara pandang berbeda.

4. Membentuk perilaku.

Budaya organisasi dapat menjadi alat untuk membentuk perilaku setiap

individu dalam organisasi. Pada dasarnya setiap individu yang menjadi anggota

suatu organisasi harus mengenal, menerapkan dan mengembangkan budaya

organisasinya. Budaya organisasi tidak statis, tetapi dinamis atau berubah

(dapat berubah).

2.4.2 Komponen Pembentuk Budaya Organisasi

McKenna dan Beech dalam Darmawan (2013: 150), mengelompokkan variabel-

variabel budaya organisasi sebagai berikut:

1. Artifacts

Adalah hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dirasakan bila seseorang

berhubungan dengan sebuah kelompok baru dengan budaya yang tidak

dikenalnya. Artifacts termasuk stuktur organisasi dan proses yang terlihat,

seperti produk dan perilaku anggota kelompok.

2. Espoused Values

Yaitu alasan-alasan tentang mengapa orang berkorban demi apa yang

dikerjakan. Budaya sebagian besar organisasi dapat melacak nilai-nilai yang

didukung kembali ke penemu budaya, meliputi strategi, sasaran/tujuan dan

filosofi.

3. Basic Underlying Assumption

Yaitu keyakinan dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi. Budaya

menetapkan cara tepat untuk melakukan sesuatu di organisasi yang sering

melalui asumsi yang tidak diucapkan namun anggota organisasi meyakini

ketepatan tindakan tersebut.

Selanjutnya McKenna dan Beech dalam Darmawan (2013: 150) membagi

budaya organisasi ke beberapa komponen pembentuk, sebagai berikut:

1. Filosofi, yang menjadi panduan penetapan kebijakan organisasi yang

berkenaan dengan karyawan maupun klien.

2. Nilai-nilai dominan yang dipegang organisasi.

3. Norma-norma yang diterapkan dalam bekerja.

4. Aturan main untuk berelasi dengan baik dalam organisasi yang harus

dipelajari anggota baru agar dapat diterima organisasi.

5. Tingkah laku khas tertentu dalam berinteraksi yang rutin dilakukan antar

anggota organisasi. Perasaan atau suasana yang diciptakan dalam organisasi.

2.4.3 Dimensi Budaya Organisasi

Robbins dalam Darmawan (2013: 147-148) menyatakan ada tujuh dimensi

budaya organisasi yaitu:

1. Innovation and risk taking (inovasi dan pengambilan resiko), suatu tingkatan

di mana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.

2. Attention to detail (perhatian pada hal detail), di mana pekerja diharapkan

menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal detail.

3. Outcome orientation (orientasi pada hasil), di mana manajemen

memfokuskan pada hasil atau manfaat dari pada sekedar pada teknik dan

proses yang dipergunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut.

4. People orientation (orientasi pada manusia), di mana keputusan manajemen

mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang dalam organisasi.

5. Team orientation (orientasi pada kelompok), di mana aktifitas kerja

diorganisasi berdasarkan tim daripada individual.

6. Agrressiviness (agresivitas), di mana orang cenderung lebih agresif dan

kompetitif dari pada easygoing.

7. Stability (stabilitas), Organisasi menekankan dipertahankannya budaya

organisasi yang sudah baik.

2.4.4 Fungsi Budaya Organisasi

Ada beberapa pendapat para ahli dalam Sembiring, (2012:64-66) tentang fungsi budaya

organisasi:

1. Fungsi Budaya organisasi menurut Robbins.

• Pertama, menetapkan tapal batas; artinya budaya organisasi menciptakan

perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

• Kedua, budaya memberikan rasa identitas ke aggota-anggota organisasi.

• Ketiga, budaya mempermudah komitmen pada sesuatu yang lebih luas

daripada kepentingan diri pribadi seseorang

• Keempat, budaya itu meninggkatkan kemantapan sistem social

(perekat/mempersatukan anggota organisasi). Budaya merupakan perekat

sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan

standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan

dandilakukan oleh para anggota organisasi

• Kelima, budaya organisasi berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna

dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap dan

perilaku para anggota organisasi.

2. Fungsi budaya menurut Ndraha.

• Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas terbentuk dari

berbagai faktor yaitu: sejarah, politik, ekonomi, dan sistem sosial yang

berlaku.

• Sebagai pengikat suatu masyarakat. Kebersamaan adalah faktor yang kuat

untuk mengikat seluruh anggota masyarakat.

• Sebagai sumber. Budaya merupakan sumber inspirasi, kebanggan

dansumber daya.

• Sebagai kekuatan penggerak. Budaya itu dinamis yang terbentuk melalui

proses belajar mengajar.

• Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah. Budaya

ituberhubungan dengan nilai tambah organisasi.

• Sebagai pola perilaku. Budaya berisi norma tingkah laku dan

menggariskan batas-batas toleransi sosial.

• Sebagai warisan. Budaya diajarkan dan disosialisasikan kepada generasi

berikutnya.

• Sebagai subtitusi (pengganti) formalisasi.

• Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan.

• Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara,

sehingga terbentuk nation state.

3. Schein dalam Tika (2008:13) mengemukakan fungsi budaya organisasi dalam

tiga fase yaitu :

• Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suattu organisasi. Pada tahap

ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap

lingkungan maupun terhadap kelompok atau organisasi lain.

• Fase pertengahan hidup organisasi. Pada fase ini budaya organisasi

berfungsi sebagai integrator karena munculnya sub-sub budaya baru,

sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka kesempatan untuk

mengarahkan perubahan budaya organisasi.

• Fase dewasa. Pada fase ini, budaya organisasi dapat berfungsi sebagai

penghambat dalam berinovasi karena berorientasi pada kebesaran dan

kemapanan masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.

2.5 Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Malthis (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari

mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-

harapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum

adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara

supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi

menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri. Tolak

ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu pegawai berbeda

standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini dapat diukur dengan kedisiplinan,

moral kerja, dan labour turnover yang kecil, maka secara relatif kepuasan kerja pegawai

baik tetapi sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja dan labour turnover besar, maka

kepuasan kerja pegawai pada perusahaan dinilai kurang.

Schermerhorn et al, (2011: 71), kepuasan kerja adalah sikap emosional yang

menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Davis dalam Suharsono (2012: 107),

kepuasan kerja diartikan sebagai seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan

atau tidaknya pekerjaan mereka. Robbins dan Judge dalam Wibowo (2014: 131)

memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai

hasil evaluasi dari karakteristiknya.

Kepuasan kerja menurut Handoko (2008:24) adalah Keadaan emosional yang

menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan

kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini dampak dalam sikap

positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan

kerjanya.

Locke (Luthans, 2005) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja

yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa

kepuasan kerja adalah ”keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari

penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Kepuasan kerja adalah hasil dari

persepsi pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang

dinilai penting. Terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan

kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja.

Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja

sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui

harapan. Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.

(Wibowo,2010) Pekerjaan memerlukan inetraksi dengan rekan kerja dan atasan,

mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standar kinerja, hidup dengan

kondisi kerja yang sering kurang ideal dan semacamnya. Kepuasaan kerja

mencerminkan sikap dan bukan perilaku. Kepuasaan kerja merupakan variabel

tergantung utama karena dua alasan, yaitu:

(1) menunjukkan hubungan dengan faktor kinerja

(2) merupakan preferensi nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi

Menurut beberapa definisi mengenai kepuasan kerja tersebut dapat disimpulkan

bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaannya pegawai

merasa senang atau tidak dengan cara memandang pekerjaannya sendiri.

2.5.1 Meningkatkan Kepuasan Kerja

Pada dasarnya ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya rasa

ketidakpuasan dari para karyawan atau kelompok kerja dari suatu perusahaan, misalnya

karena tingkat pengawasan yang kurang baik, kondisi kerja yang kurang nyaman,

konflik dengan rekan kerja, dengan atasan maupun bawahan, perbedaan budaya kerja,

kompensasi yang tidak sesuai dengan harapan karyawan.

Greenberg dan Baron dalam Hartatik (2014: 236-237), ada beberapa pendekatan

sehubungan dengan langkah untuk mengatasi masalah serta memperbaiki rasa

ketidakpuasan kerja apabila faktor penyebab ketidakpuasan telah diketahui sebelumnya,

caranya adalah sebagai berikut:

1. Membuat pekerjaan menyenangkan.

Mereka senang dengan pekerjaan yang membuat mereka gembira daripada yang

membosankan, sehingga menjadi lebih puas dan produktif.

2. Pembayaran gaji berdasarkan kejujuran.

Orang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian yang tidak jujur membuat

karyawan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya.

3. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya.

Semakin banyak orang merasa dapat memenuhi kepentingannya di tempat kerja,

semakin puas ia dengan pekerjaannya.

4. Menghindari kebosanan dan pekerjaan yang berulang-ulang.

Kebanyakan orang cenderung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan

pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang. Orang akan merasa jauh

lebih puas dengan pekerjaan yang menyakinkan bahwa mereka memperoleh

sukses dengan cara mengontrol pekerjaan atas cara mereka sendiri.

2.5.2 Dampak Ketidakpuasan Kerja

Dalam suatu organisasi ketidakpuasan kerja dapat ditunjukan melalui berbagai

cara, Robins and Judge dalam Wibowo (2014: 144-145) menerangkan ada empat respon

akibat konsekuensi dari ketidakpuasan kerja tersebut.

1. Keluar (Exit), ketidakpuasan ditunjukkan melalui perilaku diarahkan pada

meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.

2. Aspirasi (Voice), ketidakpuasan ditunjukkan melalui usaha secara aktif dan

konstruktif untuk memperbaiki keadaan, termasuk menyarankan perbaikan,

mendiskusikan masalah denganatasan, dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan.

3. Kesetiaan (Loyalty), ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi

optimistik dengan menunggu kondisi untuk memperbaiki, termasuk dengan

berbicara bagi organisasi dihadapan kritik eksternal dan mempercayai organisasi

dan manajemen melakukan hal yang benar.

4. Pengabaian (Neglect), ketidakpuasan ditunjukkan melalui tindakan

secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau

keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat

kesalahan.

Gambar 2. 1 Respon – Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja

Sumber: Robbins dan Judge dalam Wibowo (2014:145)

2.5.3 Dimensi Kepuasan Kerja

Schermerhorn (2011: 73), mengemukakan bahwa kepuasan kerja meliputi lima

dimensi yaitu:

a. Pekerjaan itu sendiri (work itself)

Salah satu faktor kepuasan kerja adalah pekerjaan yang menantang, bervariasi

dan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menggunakan kemampuan

dan keterampilan yang dimilikinya sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dan

kebosanan bagi karyawan dalam mengerjakannya.

b. Pengawasan (supervision)

Hubungan antara atasan dan bawahan bisa disebut dengan hubungan fungsional

dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana

atasan membantu bawahan, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting

bagi karyawan, misalnya dengan memberikan pekerjaan yang menantang.

Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antarpribadi yang

mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai.

c. Rekan kerja (co-worker)

Rekan kerja yang ramah, hubungan kerja sama dan komunikasi dengan rekan

kerja yang terjalin dengan baik akan mendatangkan kepuasan kerja yang tinggi.

d. Kesempatan untuk maju (advancement opportunities)

Pemberian kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan karirnya.

Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan

atau tidak. Proses kenaikan jabatan yang kurang terbuka dapat mempengaruhi

tingkat kepuasan kerja seseorang.

e. Gaji (pay)

Yaitu sejumlah bayaran yang diterima seseorang akibat dari pelaksanaan kerja

apakah sesuai dengan kebutuhan dan dirasakan adil sesuai dengan keterampilan

dan pengorbanan yang diberikan.

2.6 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penjelasan dari teori- teori diatas, dapat digambarkan kerangka

pemikiran mengenai pengaruh komunikasi organsasi, lingkungan kerja, dan budaya

organisasi terhadap kepuasan kerja adalah sebagai berikut :

Gambar 2. 2Kerangka Pemikiran

Sumber : Peneliti, 2015

2.7 Hipotesis

X1 mewakili gaya kepemimpinan transformasional, X2 mewakili lingkungan

kerja, X3 mewakili budaya organisasi, Y mewakili kepuasan kerja. X1, X2, dan X3

sebagai variabel independen dan Y sebagai variable dependen. Maka dapat dirumuskan

uji hipotesis sebagai berikut.

Hipotesis 1: X1 dan Y

H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan

transformasional (X1) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix

Indonesia

H2 : Ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional

(X1) terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia

H3

H2

H1

H4

Budaya Organisasi (X3)

Lingkungan Kerja (X2)

Gaya Kepemimpinan

Transformasional (X1)

Kepuasan Kerja (Y)

Hipotesis 2: X2 dan Y

H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan lingkungan kerja (X2) terhadap kepuasan

kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia

H2 : Ada pengaruh secara signifikan lingkungan kerja (X2) terhadap kepuasan kerja

(Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia

Hipotesis 3 : X3 dan Y

H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan

kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia

H2 : Ada pengaruh secara signifikan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan kerja

(Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia

Hipotesis 4: X1, X2, X3 dan Y

H1 : Tidak ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan

transformasional (X1), lingkungan kerja (X2) dan budaya organisasi (X3)

terhadap kepuasan kerja (Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia

H2 : ada pengaruh secara signifikan antara gaya kepemimpinan transformasional

(X1), lingkungan kerja (X2) dan budaya organisasi (X3) terhadap kepuasan kerja

(Y) karyawan PT SCG Readymix Indonesia.