10
BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini menjelaskan konsep dasar stroke, pengetahuan, keluarga, pengetahuan keluarga
terkait stroke, perilaku pencarian pengobatan, hasil penelitian terkait dan kerangka teori.
2.1. Konsep Dasar Stroke
2.1.1. Definisi.
Stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan defisit neurologis serebral
fokal atau global yang berkembang secara cepat dan berlangsung selama
minimal 24 jam yang disebabkan oleh kejadian vaskular, baik perdarahan
spontan pada otak (stroke hemoragik) maupun suplai darah inadekuat pada
bagian otak (stroke iskemik) sebagai akibat aliran darah yang rendah,
trombosis atau emboli yang berkaitan dengan penyakit pembuluh darah (arteri
dan vena), jantung dan darah (Ropper & Samuel dalam Setiati et al., 2015).
Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan
neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian
otak dengan jenis utama yaitu iskemik dan hemoragik (Black & Hawks,
2014).
11
Stroke (Cerebral Vascular Accident, CVA atau serangan otak) adalah kondisi
kedaruratan ketika terjadi defisit neurologis akibat dari penurunan tiba-tiba aliran darah
ke area otak yang terlokalisasi, penyebabnya dapat iskemik (suplai darah ke otak
terganggu oleh trombus, embolus, atau stenosis vaskular), atau hemoragik (ketika
pembuluh darah mengalami ruptur) (LeMone et al., 2016).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa stroke adalah suatu kondisi
kedaruratan dimana terjadi perubahan neurologis akibat gangguan suplai oksigen dan
nutrisi ke jaringan otak disebabkan oleh iskemik serebral atau hemoragik serebral
selama minimal 24 jam yang dapat menyebabkan disabilitas bahkan kematian sehingga
harus ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan dengan cepat dan tepat.
2.1.2. Klasifikasi.
Klasifikasi stroke berdasarkan patologi serangan menurut LeMone et al. (2016) dan
Brunner & Suddarth (2014) meliputi :
2.1.2.1. Stroke iskemik.
Sumbatan dapat terjadi dari bekuan darah (trombus maupun embolus) atau
stenosis pembuluh darah akibat plak. Sumbatan pembuluh darah besar biasanya
akibat trombus. Stroke pembuluh darah kecil hingga sangat kecil menimbulkan
infark di pembuluh dalam. Klasifikasi dibedakan menurut perjalanan penyakit
atau stadiumnya :
12
1) Serangan Iskemik Transien (Transient ischemic attack, TIA), terkadang
disebut stroke kecil karena periode iskemik singkat, terlokalisasi dan secara
klinis kembali normal dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.
2) Stroke Pembuluh Darah Besar (Trombosis), disebabkan oleh oklusi trombus
pada pembuluh darah serebral besar dan sering terjadi pada lansia yang
istirahat/tidur dikarenakan menurunnya tekanan darah turun dan darah tidak
mampu melalui lumen arteri yang telah sempit. Stroke ini biasanya
mengenai arteri serebral tunggal yang menyuplai korteks serebral,
menyebabkan afasia, sindrom pengabaian, dan hemianiopia.
3) Stroke Pembuluh Darah Kecil (Infark Lakunar), terjadi di bagian terdalam
otak atau batang otak dari oklusi cabang kecil arteri serebral besar.
Manifestasi mencakup hemiplegia dan disartria.
4) Stroke Embolik Kardiogenik, terjadi ketika bekuan darah dari fibrilasi atrial,
trombi ventrikel, infark miokard, penyakit jantung kongestif, aterosklerosis
masuk dan menyumbat sistem sirkulasi serebral.
2.1.2.2. Stroke hemoragik.
Perdarahan jaringan otak sering terjadi pada pasien hipertensi dan
aterosklerosis serebral yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah. Perdarahan
dapat terjadi akibat patologi arteri, tumor otak dan penggunaan obat seperti
antikoagulan oral. Perdarahan sering terjadi pada lobus serebral, basal ganglia,
talamus, pons, dan serebelum (Hickey dalam Brunner & Suddarth, 2014).
Klasifikasi stroke hemoragik, antara lain:
13
1) Perdarahan Intraserebral, merupakan dilatasi dinding arteri serebral yang
berisiko mudah rapuh. Penyebab aneurisma belum diketahui pasti, namun
mungkin disebabkan oleh aterosklerosis. Peningkatan TIK yang terjadi cepat
dapat mengakibatkan kematian mendadak.
2) Perdarahan Sub Arakhnoid (PSA), merupakan perdarahan dalam ruang
subarakhnoid) berasal dari AVM (Arteriovenous Malformations), aneurisma
intrakranial, trauma atau hipertensi. Penyebab tersering adalah pecahnya
aneurisma pada sekitar sirkulasi Willis.
Peter & Justus (2016) menjelaskan salah satu risiko terbesar setelah serangan pertama
stroke adalah stroke sekunder atau stroke berulang, yaitu stroke yang terjadi 24 jam atau
lebih setelah stroke pertama. Stroke sekunder pada umumnya terkait dengan perburukan
fungsional dan peningkatan risiko kematian dibandingkan serangan stroke pertama.
Kejadian stroke berulang bergantung pada jenis stroke awal, usia, penyakit terkait dan
faktor resikonya serta kurun waktu kejadian dari stroke sebelumnya. Dalam waktu 6-12
bulan pasca serangan stroke yang pertama, 1 dari 10 orang bisa terkena serangan stroke
yang kedua (Junaidi, 2011 dalam Safitri, Agustina & Amrullah, 2012).
PERDOSSI (2004 dalam Andromeda, 2014) menjelaskan seseorang dengan riwayat
stroke memiliki faktor resiko terjadinya stroke ulang sebesar 5% - 15% dalam kurun
waktu 1 tahun pasca stroke dan 25% - 40% dalam kurun waktu 5 tahun serta
kemungkinan menyebabkan serangan berulang sampai 9 kali. Fenomena stroke
sekunder dikaitkan dengan ketidakpatuhan pengobatan dan kontrol faktor risiko. Stroke
sekunder dapat dicegah melalui kombinasi perubahan gaya hidup dan intervensi medis.
14
Stroke yang terjadi apabila tidak dikontrol dengan gaya hidup sehat, obat-obatan,
olahraga tentu akan mengakibatkan serangan berulang dimana kajian riwayat stroke
penting dilakukan (Wahyuni, 2012).
2.1.3. Faktor risiko stroke.
Kejadian stroke dan kematian karena stroke secara perlahan menurun di negara-negara
maju dalam beberapa tahun terakhir ini, sebagai akibat dari adanya peningkatan dalam
mengenali dan mengobati fakor-faktor risiko (Black & Hawks, 2014). Arboix (2015)
menjelaskan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :
2.1.3.1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
1) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyakit serebrovaskular.
Seseorang dengan hipertensi (tensi ≥ 140/90 mmHg) berisiko 4x lebih besar
terhadap stroke. Pengaruh hipertensi kronis pada pembuluh darah dan
jaringan juga mendukung fisiopatologis stroke.
2) Penyakit Jantung
Fibrilasi atrium (FA) merupakan bentuk gangguan irama jantung, yang
sering disebut aritmia. Ketidakteraturan denyut jantung yang berbahaya ini
menyebabkan ruang atas jantung (atrium) bergetar dan tidak berdenyut
sebagaimana mestinya, sehingga darah tidak terpompa sepenuhnya,
menyebabkan penggumpalan darah. Gumpalan ini bila terbawa ke otak,
menyumbat dan mengganggu pasokan darah ke otak. Seseorang dengan
aritmia berisiko 2-4% per tahun mengalami stroke.
15
3) Diabetes Mellitus
Dislipidemia, hipertensi dan obesitas merupakan faktor risiko aterogenik
yang sering ditemukan pada pasien DM tipe 2. Pengaruh diabetes terhadap
peningkatan risiko stroke lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Kombinasi hiperkolesterolemia dan hipertensi meningkatkan frekuensi
komplikasi vaskular pada pasien diabetes.
4) Merokok
Perokok aktif berisiko 2x lebih besar mengalami stroke iskemik. Merokok
akan meningkatkan pembentukan thrombus pada pembuluh darah kecil dan
plak. Merokok meningkatkan viskositas darah (kekentalan), fibrinogen dan
agregasi platelet, menurunkan HDL (high density lipoprotein) yang akan
merusak endotelium dan meningkatkan tekanan darah.
5) Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik terjadi apabila ditemukan 3 atau lebih keadaan berikut :
(1) Obesitas, bila lingkar pinggang > 102 cm pada pria dan > 88 cm pada
wanita; (2) Trigliserida ≥ 150 mg/dL; (3) Kolesterol HDL < 40 mg/dL untuk
pria dan < 50 mg/dL untuk wanita; (4) Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg; dan
(5) Gula darah puasa (GDP) ≥ 110 mg/dL. Sindrom metabolik menjadi
penyebab penyakit kardiovaskuler (PJK, stroke) dan penyebab kematian
lainnya.
6) Migrain
Terjadi penurunan aliran darah pada area posterior. Pada pemeriksaan lab,
terjadi peningkatan platelet-leukosit agregasi dan risiko pembentukan emboli
16
bila menyumbat pembuluh darah kecil di otak menyebabkan hipoksia
jaringan bahkan nekrosis jaringan.
7) Obesitas
Seseorang dengan BMI ≥ 30 kg/m2 dikategorikan obesitas karena
ketidakseimbangan jumlah kalori dengan proses metabolik tubuh yang
meningkatkan risiko resistensi insulin dan penyakit vaskuler lainnya.
8) Penyalahgunaan Obat (Narkoba)
Termasuk heroin, kokain, amphetamine teridentifikasi berisiko
menyebabkan stroke dengan mekanisme peningkatan tekanan darah, platelet
agregasi dan viskositas darah.
9) Penyalahgunaan Alkohol
Penggunaan alkohol (> 60 g/d) meningkatkan risiko 1,6x terjadinya stroke
iskemik dan 2,18x stroke hemoragik. Etanol merupakan neurotoksin yang
mempercepat proses neurodegeneratif termasuk demensia.
10) Hiperkolesterol
Penelitian menunjukkan bahwa makanan kaya lemak jenuh dan kolesterol
dapat berpengaruh pada pembentukan aterosklerosis. Nilai kolesterol total >
240-270 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya stroke iskemik.
11) Penggunaan Kontrasepsi Oral
Stroke juga dapat terjadi pada wanita pengguna kontrasepsi oral (estrogen
dosis rendah) diatas usia 35 tahun, perokok aktif, dengan hipertensi,
diabetes, sakit kepala, riwayat tromboemboli.
17
2.1.3.2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Menurut Black & Hawks (2014) antara lain :
1) Usia
Penuaan adalah salah satu dari faktor risiko signifikan dari stroke. Risiko
menjadi dua kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun, dan dua per
tiga kejadian stroke terjadi pada usia lebih dari 65 tahun (lansia).
2) Jenis kelamin
Kejadian stroke lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, yaitu
(133:99/100.000 orang pertahun). Namun, tidak menutup kemungkinan
wanita juga bisa terkena stroke.
3) Riwayat orangtua dengan stroke
Serangan TIA sebelumnya, juga meningkatkan risiko terjadinya stroke.
Framingham Heart Study menyatakan anak dari orangtua yang pernah
mengalami stroke berisiko tiga kali untuk menderita stroke.
4) Suku dan Ras
Orang hispanik berisiko dua kali lipat risiko mengalami stroke seperti orang
kulit putih. Sementara di Indonesia, suku Jawa banyak menderita stroke hal
ini dilihat pada jumlah penderita stroke tertinggi berada di Pulau Jawa.
2.1.4. Etiologi.
Penyebab stroke dibagi menurut Black dan Hawks (2014) sebagai berikut.
2.1.4.1. Trombosis.
Penggumpalan (trombus) mulai terjadi dari adanya kerusakan pada bagian garis
endothelial pembuluh darah.
18
Aterosklerosis menyebabkan zat lemak tertumpuk dan membentuk plak pada
dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan menyebabkan
penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran darah
akibatnya darah akan berputar-putar dibagian permukaan yang terdapat plak,
menyebabkan penggumpalan dimana darah akibatnya sirkulasi akan terhambat
lama kelamaan terjadi iskemik jaringan.
2.1.4.2. Embolisme.
Embolus terbentuk di bagian luar otak, kemudian terlepas dan mengalir melalui
sirkulasi serebral sampai embolus tersebut melekat pada pembuluh darah dan
menyumbat arteri. Embolus yang sering terjadi adalah plak. Trombus dapat
terlepas dari arteri karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke
dalam sirkulasi serebral. Sumber-sumber penyebab emboli lainnya adalah
tumor, lemak, bakteri, dan udara.
2.1.4.3. Perdarahan (Hemoragik).
Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh adanya ruptur
aterosklerotik dan penyakit hipertensi menyebabkan perdarahan ke dalam
jaringan otak. Akibat lain dari perdarahan adalah aneurisma, pelebaran
pembuluh darah abnormal terlokalisasi disebabkan oleh melemahnya dinding
pembuluh darah dan sering terjadi pada pembuluh darah arteri. Diperkirakan
6% stroke disebabkan oleh ruptur aneurisma.
2.1.4.4. Penyebab lain.
Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi menurunkan aliran darah
ke arah otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang menyempit dan
19
hiperkoagulasi. Tekanan pada pembuluh darah serebral bisa disebabkan oleh
tumor, gumpalan darah yang besar, pembengkakan pada jaringan otak,
perlukaan pada otak, atau gangguan lain.
2.1.5. Patofisiologi.
Black & Hawks (2014) menjelaskan otak sangat sensitif terhadap kondisi berkurangnya
suplai darah sebab otak diperfusi dengan jumlah yang cukup banyak dibanding organ
lain untuk mempertahankan metabolisme serebral.
LeMone et al., (2016) menjelaskan ketika aliran darah dan oksigenasi neuron serebral
menurun akibat stroke, patofisiologi berubah pada tingkat seluler yang berlangsung 4-5
menit. Setiap menit selama stroke, 2 juta sel otak mati. Kematian sel dimulai karena
suplai darah berkurang ke otak, menyebabkan iskemik di area inti jaringan otak yang
terlibat. Anoksia dan kurang nutrien ke sel mengenai mitokondria sehingga menjadi
rusak, kemudian mitokondria melepaskan radikal bebas berupa glutamat ke dalam
sitoplasma dan menghancurkan struktur intrasel. Saluran membran sel terbuka,
memungkinkan kalsium, natrium, dan kalium masuk ke sel. Pada saat yang sama, sel
yang terkena melepaskan asam amino eksitatori ke dalam ruang intrasel. Homeostatis
hilang dan air masuk ke sel (edema sitotoksik) sehingga secara cepat terjadi infark dan
nekrotik. Proses ini dimulai dalam waktu 4-5 menit dan dapat berlangsung selama 2
hingga 3 jam. Sel di area kerusakan awal, memiliki suplai darah yang cukup untuk tetap
hidup selama beberapa jam. Jika suplai darah disimpan kembali ke sel ini dalam 2
hingga 3 jam, beberapa sel dapat hidup dan berfungsi. Jika aliran darah tidak direperfusi,
20
terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada jaringan otak dan dalam waktu
singkat pasien akan mengalami manifestasi dari gangguan neurologis sesuai lokasi
kerusakan dan biasanya mengenai sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi otak yang
rusak. Efek ini dikenal sebagai defisit kontralateral.
2.1.6. Manifestasi klinis.
Black & Hawks (2014) menjelaskan peringatan dini tanda gejala stroke berhubungan
dengan penyebabnya. Manifestasi dari stroke iskemik yang terjadi termasuk hemiparesis
transient (tidak permanen), kehilangan kemampuan bicara dan kehilangan sensori
setengah. Manifestasi karena trombosis berkembang dalam hitungan menit ke hitungan
jam sampai hari. Serangan yang lambat terjadi karena ukuran trombus terus meningkat.
Stroke hemoragik juga terjadi sangat cepat, dengan manifestasi berkembang dalam
beberapa menit sampai jam. Manifestasi yang terjadi yaitu sakit kepala dari bagian
belakang leher, vertigo, atau kehilangan kesadaran karena hipotensi, parastesia, paralisis
sementara, epistaksis, dan perdarahan pada retina.
Tanda gejala stroke menurut Kemenkes RI (dalam Infodatin Kemenkes 2014) :
1) Rasa lemas bahkan mati rasa secara tiba-tiba pada wajah, lengan atau kaki seringkali
terjadi pada salah satu sisi tubuh.
2) Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan.
3) Kesulitan melihat dengan satu mata atau kedua mata
4) Kesulitan berjalan, pusing, hilang keseimbangan
5) Sakit kepala hebat tanpa penyebab, dapat terjadi penurunan kesadaran.
21
2.1.7. Komplikasi.
LeMone et al. (2016) menjelaskan komplikasi atau gangguan khusus setelah stroke
dapat bergantung pada derajat iskemia dan nekrosis dan juga waktu terapi. Komplikasi
yang terjadi melibatkan sistem tubuh yang berbeda, sebagai berikut :
2.1.7.1. Defisit sensoripersepsi.
Stroke dapat melibatkan perubahan patologis pada jaras neurologis yang
mengganggu kemampuan untuk mengintegrasikan, menginterpretasikan, dan
menghadirkan data sensori. Kehilangan kemampuan sensori ini meningkatkan
risiko cedera. Defisit dapat mencakup :
1) Gangguan persepsi visual (Hemianopia) : kehilangan seluruh lapang
penglihatan pada satu atau kedua mata.
2) Agnosia : ketidakmampuan untuk mengenali satu benda atau lebih yang
sebelumnya familiar. Agnosia dapat visual, auditoria tau taktil.
3) Apraksia : ketidakmampuan untuk melakukan beberapa pola motorik (misal
berpakaian) walaupun kekuatan dan koordinasi adekuat.
2.1.7.2. Perubahan kognitif dan perilaku.
1) Perubahan pada kesadaran, rentang dari konfusi ringan hingga koma,
merupakan manifestasi stroke yang lazim. Perubahan kesadaran juga dapat
menjadi akibat edema serebral atau peningkatan TIK.
2) Perubahan perilaku mencakup kelabilan emosi (pasien dapat tertawa atau
menangis pada kondisi yang tidak sesuai), kehilangan kontrol diri, dan
penurunan toleransi terhadap stress (marah atau depresi).
22
3) Perubahan intelektual mencakup kehilangan memori, penurunan perhatian,
penilaian yang buruk, dan ketidakmampuan berpikir secara abstrak.
2.1.7.3. Gangguan komunikasi.
Komunikasi adalah proses kompleks, melibatkan fungsi motorik, bicara,
bahasa, memori, alasan dan emosi.
Gangguan komunikasi biasanya akibat stroke yang mengenai hemisfer
dominan. Di antara gangguan ini adalah sebagai berikut :
1) Disartria : semua gangguan dalam pengendalian otot bicara akibatnya
artikulasi yang diucapkan menjadi tidak sempurna dan kesulitan dalam
berbicara.
2) Afasia : ketidakmampuan untuk menggunakan atau memahami bahasa.
Afasia mungkin ekspresif (afasia motorik/afasia Broca); dapat memahami
apa yang dikatakan, tetapi merespon hanya dalam frase pendek, Afasia
reseptif (afasia sensorik/afasia Wernicke); dapat memahami kata yang
diucapkan, bicara fasih tetapi dengan konten yang tidak tepat, dan Afasia
global/campuran; disfungsi bahasa dalam hal memahami maupun ekspresi.
2.1.7.4. Defisit motorik.
Gerakan tubuh hasil dari interaksi yang kompleks antara otak, korda spinal,
dan saraf perifer. Stroke dapat mengganggu komponen SSP dalam sistem
interaksi ini dan menghasilkan efek pada sisi kontralateral dengan rentang
kelemahan hingga berat.
23
Defisit mencakup hal berikut ini : Hemiplegia (paralisis setengah tubuh kanan
atau kiri). Hemiparese (kelemahan setengah tubuh kanan atau kiri). Flasiditas
(tidak adanya tonus otot) dan Spatisitas (peningkatan tonus otot).
2.1.7.5. Gangguan eliminasi.
Gangguan eliminasi kandung kemih dan usus lazim terjadi. Stroke dapat
menyebabkan kehilangan sebagian sensasi yang memicu eliminasi kandung
kemih, sering berkemih, urgensi, atau inkontinensia. Pengendalian urinasi dapat
berubah sebagai akibat defisit kognitif, imobilitas dan dehidrasi.
2.1.8. Periode emas penatalaksanaan stroke.
Periode emas (golden period) dalam penanganan stroke adalah ± 3 jam, artinya dalam 3
jam awal setelah mendapatkan serangan stroke, pasien harus segera mendapatkan terapi
secara komprehensif dan optimal dari tim gawat darurat rumah sakit untuk mendapatkan
hasil pengobatan yang optimal (Morton dalam Saudin, Agoes & Rini, 2016). Periode
emas penatalaksanaan stroke adalah kurang dari 3 - 4,5 jam onset serangan dan hasil
terbaik dicapai dalam waktu 90 menit (Ashraf et al., 2015).
2.1.9. Penatalaksanaan fase akut.
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat berdasarkan Guideline Strokes (PERDOSSI,
2011) sebagai berikut :
2.1.9.1. Evaluasi cepat dan diagnosis.
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat.
Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
24
1) Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta
faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
2) Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher dan tanda-tanda distensi vena jugular.
3) Pemeriksaan neurologis meliputi kesadaran, 12 saraf kranialis, dan skala
stroke menggunakan NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale).
2.1.9.2. Terapi umum.
1) Pemantauan jantung direkomendasikan untuk mengetahui fibrilasi atrial dan
penyakit lainnya dalam 24 jam pertama.
2) Untuk mendapatkan terapi rtPA, pasien dengan tekanan darah tinggi harus
diturunkan dengan hati-hati ke angka sistolik < 185 dan diastolik < 110 dan
dipertahankan dibawah 180/105 mmHg setidaknya selama 24 jam pertama
setelah pemberian rtPA melalui intravena.
3) Oksigen tambahan harus diberikan untuk mempertahankan SaO2 > 95%
4) Pasien dengan tekanan darah sistolik > 220 dan diastolik > 120 mmHg tidak
dapat diberikan fibrinolisis sehingga harus diturunkan sebesar 15% selama
24 jam pertama.
5) Hipovolemia dan aritmia jantung harus dikoreksi
6) Pertahankan kadar gula darah antara 140 - 180 mg/dL.
2.1.9.3. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen, CT Scan.
25
EKG, Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, hemostasis,
glukosa darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit). Bila perlu pada
kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk pemeriksaan
CSS (Cairan Serebrospinal).
2.2. Konsep Pengetahuan
2.2.1. Pengertian.
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari “tahu” setelah seseorang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan
peraba. Namun, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan
pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka
seseorang akan memiliki pengetahuan yang luas.
Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
Pengetahuan akan memengaruhi cara pandang sehingga membentuk tindakan atau
sikap seseorang. Pengetahuan yang didapat melalui diskusi, berbagai media atau
pengalaman sebelumnya terkait penanganan pasien stroke sangat berpengaruh
terhadap keterlibatan keluarga dalam membawa pasien stroke segera ke rumah
sakit. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu :
26
2.2.1.1. Tahu (know).
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali suatu materi yang telah
dipelajari rangsangan yang diterima sebelumnya. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contohnya
dapat menyebutkan pengertian stroke, tanda gejala stroke.
2.2.1.2. Memahami (Comprehension).
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dsb.
2.2.1.3. Aplikasi (Aplication).
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada kondisi sebenarnya. Misalnya menggunakan rumus
stastistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-
prinsip pemecahan masalah kesehatan sesuai kasus.
2.2.1.4. Analisis (Analysis).
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih terkait.
2.2.1.5. Sintesis (Synthesis).
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang
27
baru. Dengan kata lain sinstesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat
menyusun kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Maslow atau
kebutuhan berdasarkan Handerson.
2.2.1.6. Evaluasi (Evaluation).
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria yang telah ada. Misalnya dapat membandingkan antara komplikasi
pasien stroke yang segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan
penanganan segera, dengan pasien stroke yang dibawa setelah melewati
masa jendela (3 – 4,5 jam).
2.2.2. Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan.
Menurut Notoatmodjo (2012), faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang
antara lain :
2.2.2.1. Pendidikan.
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon
terhadap sesuatu yang datang dari luar. Pendidikan berarti bimbingan yang
diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu
cita-cita tertentu. Pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku akan pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap berperan serta
dalam perkembangan kesehatan.
28
2.2.2.2. Media massa.
Melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik berbagai informasi
dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar
media massa (TV, radio, majalah, dll) akan memperoleh informasi yang lebih
banyak.
2.2.2.3. Ekonomi.
Dalam memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder,
keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi dibandingkan
keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan memengaruhi pemenuhan
kebutuhan sekunder. Dapat disimpulkan bahwa ekonomi dapat memengaruhi
pengetahuan seseorang tentang berbagai hal.
2.2.2.4. Hubungan sosial.
Manusia merupakan makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling
berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat berinteraksi
secara kontinyu akan lebih besar terpapar informasi.
2.2.2.5. Pengalaman.
Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dilihat atau didengar
seseorang yang dapat menjadi acuan. Pengetahuan dapat diperoleh dari
pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sebagai strategi seseorang
dalam mengatasi masalah.
29
2.3. Konsep Keluarga
2.3.1. Definisi.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga
dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI dalam Friedman, 2010).
Keluarga adalah dua atau lebih invidu yang tergabung karena hubungan darah,
hubungan perkawinan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu
sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta
mempertahankan kebudayaan (Friedman, 2010).
Dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang terikat
hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama lain dan
mempunyai tujuan.
2.3.2. Fungsi keluarga.
Friedman (2010) membagi fungsi keluarga menjadi 5 yaitu :
2.3.2.1. Fungsi afektif.
Fungsi afektif merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna
untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan
fungsi afektif tampak pada kebahagiaan anggota keluarga melalui interaksi
dan hubungan baik dalam keluarga. Komponen fungsi afektif yaitu asah,
asih, dan asuh.
30
2.3.2.2. Fungsi reproduksi.
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan
membesarkan anak serta mejaga kelangsungan keluarga.
2.3.2.3. Fungsi ekonomi.
Kemampuan keluarga untuk mendapatkan penghasilan, mencari sumber
dana tambahan guna memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
2.3.2.4. Fungsi pemeliharaan kesehatan.
Keluarga berfungsi untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan atau
merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam
pemeliharaan kesehatan memengaruhi status kesehatan keluarga. Keluarga
yang dapat melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas
kesehatan keluarga.
2.3.2.5. Fungsi sosialisasi.
Sosialisasi merupakan proses perubahan yang dilalui individu,
menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan
sosial. Fungsi ini berguna untuk membina sosialisasi pada anak,
membentuk norma-norma tingkah laku dan meneruskan nilai budaya
keluarga.
2.3.3. Tugas kesehatan keluarga.
Friedman (2010) membagi tugas kesehatan keluarga menjadi lima :
1) Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan.
2) Kemampuan keluarga dalam pengambilan keputusan terkait masalah kesehatan
31
3) Kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit.
4) Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan
keluarga.
5) Kemampuan keluarga untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
2.4. Pengetahuan Keluarga Terkait Stroke
Faiz (2014) dalam Jurnal dengan judul “Prehospital Delay and Patient Knowledge in
Acute Cerebrovascular Disease” menjelaskan bahwa pengetahuan stroke terbagi menjadi
dua hal, yaitu pengetahuan tentang faktor risiko dan peringatan gejala stroke yang
merupakan dasar untuk pencegahan yang efektif dan mendapatkan penanganan awal
dengan segera di pelayanan kesehatan.
Pengetahuan tentang faktor risiko stroke sangat penting untuk meningkatkan kesadaran
dalam rangka pencegahan stroke baik primer maupun sekunder sehingga individu mampu
mengubah atau memodifikasi faktor risiko, dengan demikian akan menurunkan risiko
stroke atau penyakit kardiovaskuler yang lain, menurunkan biaya perawatan dan
mencegah terjadinya kecacatan (Faiz, 2014). Pengetahuan tentang peringatan gejala
stroke yang dimiliki pada tindakan yang nyata merupakan suatu hal yang sangat penting
untuk menurunkan keterlambatan kedatangan. Peningkatan pengetahuan pasien atau
keluarga tentang stroke akan meningkatkan waktu reaksi dan kedatangan pasien ke rumah
sakit.
32
Kim (dalam Rachmawati et al., 2017) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang stroke
oleh keluarga, lebih penting dibandingkan oleh pasien sendiri dengan alasan keluarga
yang mempunyai pengetahuan baik tentang stroke jika menemui gejala stroke akan segera
mengenali gejala yang ada dan mengambil keputusan untuk menghubungi layanan gawat
darurat atau langsung ke Instalasi Gawat Darurat. Berbeda jika keluarga tidak mempunyai
pengetahuan yang baik, akan terlambat mengenali dan mengambil keputusan.
Fussman, Rafferty, Callo, Morgenster & Reeves (2010) dalam Jurnal dengan judul “Lack
of Association Between Stroke Symptom Knowledge and Intent to Call 911”
mengungkapkan bahwa proses suatu pengetahuan sampai terjadi tindakan yang tepat,
terdiri dari beberapa tahapan yaitu, mempunyai pengetahuan yang baik tentang peringatan
gejala stroke, mampu mengenali dan menginterpretasikan peringatan gejala yang ada
pada situasi nyata, kesadaran untuk segera menghubungi layanan gawat darurat, dan
membawa ke instalasi gawat darurat. Pengetahuan yang baik tentang stroke ini bukan
hanya berkontribusi terhadap kedatangan awal ke Instalasi Gawat Darurat akan tetapi juga
berkontribusi dalam meningkatkan penggunaan layanan gawat darurat yang
memperpendek kedatangan sejak onset serangan.
2.4.1. Instrumen untuk mengukur keterlambatan kedatangan pasien stroke.
Zhao et al. (2014) mengembangkan instrumen untuk mengukur keterlambatan pasien
stroke ke RS menggunakan skala SPDBI (Stroke Pre-hospital Delay Behavior
Intention). Dalam penelitian ini, skala SPDBI oleh Zhao yang awalnya terdiri atas 27
pernyataan dalam bahasa Inggris, dimodifikasi menjadi 15 pernyataan karena beberapa
33
pernyataan cenderung sama. Skala modifikasi ini terbagi dalam 4 sub domain, antara
lain: 1) Tanda dan gejala stroke (7 item pernyataan), 2) Alasan tidak mencari pelayanan
kesehatan (4 item pernyataan), 3) Respons (2 item pernyataan) dan 4) Penggunaan
sistem darurat dan transportasi (2 item pernyataan). Pilihan jawaban menggunakan skala
Likert dimana skor 1 STS (Sangat Tidak Setuju), skor 2 TS (Tidak Setuju), 3 T (Tidak
Tahu), 4 S (Setuju), dan 5 SS (Sangat Setuju). Secara sistematik skor akan dijumlahkan.
Nilai mean/median dijadikan batas, sehingga dikatakan pengetahuan kurang apabila
total skor < nilai mean/median. Adapun isi dari modifikasi skala SPDBI dijabarkan
dalam tabel 2.1. berikut :
Tabel 2.1.
Hasil Modifikasi Instrumen SPDBI
No. Pernyataan SS S T TS STS
1. Keluarga menilai pasien tampak gelisah, tidak sesuai dalam menjawab
waktu dan tempat saat ditanya (disorientasi).
2. Keluarga melihat pasien tampak tertidur. Terbangun ketika
dipanggil/ditepuk/dsb.
3. Keluarga mendapati terjadi kelemahan pada salah satu tubuh pasien.
4. Keluarga melihat pasien tiba-tiba pingsan.
5. Keluarga mendapatkan pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, pusing,
kaku leher, atau muntah.
6. Keluarga mendapatkan pasien mengatakan penglihatannya kabur atau
tidak jelas.
7. Menurut keluarga pasien berkata-kata tidak jelas dan membingungkan.
8. Keluarga memutuskan agar pasien tidak dibawa ke rumah sakit karena
terlalu merepotkan serta khawatir akan menambah beban keluarga.
9. Keluarga menunda membawa pasien ke rumah sakit, karena
menganggap gejalanya terjadi akibat faktor usia.
10. Keluarga menganggap gejala pasien akan sembuh dengan sendirinya.
11. Keluarga memberikan obat saat gejala timbul dan mengistirahatkan
pasien sambil melihat apakah gejalanya berkurang atau tidak.
12. Keluarga menunggu seseorang datang untuk membawa pasien ke
rumah sakit.
13. Jika gejala pasien tidak membaik, maka keluarga akan membawanya
ke rumah sakit.
14. Tidak terpikirkan oleh keluarga untuk menghubungi ambulans.
15. Keluarga memilih pengobatan alternatif (misalnya, obat herbal atau
akupuntur) yang disarankan oleh kenalan.
Total
Sumber : Modifikasi Skala SPDBI, Zhao et al. (2014).
34
2.5. Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behaviour)
Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon
seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan serta lingkungan sekitar. Perilaku kesehatan tersebut mencakup : 1)
Perilaku seorang terhadap sakit dan penyakit, 2) Perilaku terhadap sistem pelayanan
kesehatan adalah respon terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan
modern ataupun tradisional, 3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yaitu
respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, dan 4)
Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environtmental health behaviour) yaitu respon
seseorang terhadap sebagai determinan kesehatan manusia.
Menurut Notoatmodjo (2007), respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :
1) Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apapun (no action) karena
kesehatan belum menjadi prioritas hidupnya, fasilitas pengobatan yang letaknya jauh
atau karena petugas kesehatan tidak simpatik.
2) Kedua, tindakan mengobati diri sendiri (self treatment) karena percaya pada diri
sendiri dan pengalaman yang lalu sehingga mendatangkan kesembuhan.
3) Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy).
4) Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat warung atau jamu.
5) Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan
oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta.
6) Keenam, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan
oleh dokter praktik (private medicine).
35
2.6. Penelitian Terkait
Hasil penelitian sebelumnya terkait pengetahuan keluarga dan riwayat stoke dengan
keterlambatan kedatangan pasien ke rumah sakit, sebagai berikut :
1) Penelitian yang dilakukan oleh Ashraf et al. (2015) dengan judul “Factors Delaying
Hospital Arrival Of Patients With Acute Stroke” di India menggunakan metode cross
sectional yang dilakukan sejak Januari-Desember 2012, menggambarkan dari 264
pasien stroke yang tiba di IGD hanya 67 (25,3%) pasien tiba dalam 4 jam, sedangkan
197 (74,7%) pasien tiba setelah 4 jam. Alasan keterlambatan pasien terkait onset
serangan 51,5% terjadi siang hari dan 48,5% malam hari, 28% tidak mengetahui gejala
dan 72% memiliki riwayat stroke.
2) Penelitian Zhou et al. (2016) dengan judul “Pre-Hospital Delay After Acute Ischemic
Stroke in Central Urban China: Prevalence and Risk Factors” pada 1.835 pasien di
China sejak 1 Oktober 2014 – 31 Januari 2015, didapatkan 69,3% pasien melaporkan
tiba di rumah sakit dalam waktu 3 jam setelah onset dan 55,3% tiba setelah 6 jam.
Faktor yang terkait dengan penundaan pra-rumah sakit selama 3 jam atau lebih adalah
pasien memiliki riwayat stroke (OR 1,319, Pvalue=0,028), serangan terjadi di rumah
(OR 1,573, P=0,002), dan ketidaktahuan gejala (OR 1,711, P < 0.001).
3) Penelitian oleh Dewita (2015) dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Keterlambatan Pasien Stroke Dibawa Ke Rumah Sakit di RSUD Koja Jakarta
Utara” pada 38 responden, didapatkan 57,9% responden berpengetahuan kurang dan
68,4% dari responden terlambat dibawa ke RS. Hasil analisis didapatkan terdapat
hubungan signifikan pengetahuan dengan keterlambatan membawa pasien stroke ke
rumah sakit (P-value = 0,0001).
36
4) Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati et al. (2017) dengan judul “Pengetahuan
Keluarga Berperan Terhadap Keterlambatan Kedatangan Pasien Stroke Iskemik Akut
di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ngudi Waluyo Wlingi” pada 58 pasien,
menunjukkan bahwa 87,9% responden datang ke IGD > 3 jam dengan rata-rata skor
pengetahuan responden 8,55 SD 4,551. Hasil analisis regresi linear disimpulkan bahwa
pengetahuan berpengaruh terhadap keterlambatan kedatangan pasien post serangan
stroke ke IGD dengan P-value=0,041.
5) Penelitian oleh Wardiana (2012) dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Keterlambatan Admission Time Pasien Stroke” adalah tingkat pengetahuan
(Pvalue 0,04), waktu serangan (Pvalue 0,023) dan jarak tempat tinggal (Pvalue 0,011).
2.7. Kerangka Teori
Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka kerangka teori tentang hubungan
pengetahuan keluarga dan riwayat stroke dengan keterlambatan kedatangan pasien adalah
sebagai berikut:
37
Bagan 2.1
Kerangka Teori
STROKE :
1) Definisi
2) Klasifikasi
3) Faktor risiko
4) Etiologi
5) Patofisiologi
6) Manifestasi Klinis
7) Komplikasi
2) Riwayat Stroke
Salah satu risiko terbesar setelah stroke
primer adalah stroke sekunder (stroke
berulang), umumnya terjadi dalam waktu
6-12 bulan pasca serangan pertama (Peter
& Justus, 2016 ; Safitri, et al. 2012)
KETERLAMBATAN
KEDATANGAN PASIEN STROKE
KE RS
Kesadaran pasien dan keluarga
untuk tiba di RS lebih awal masih
sulit tercapai (PERDOSSI, 2011).
Faktor-faktor yang memengaruhi
keterlambatan :
Dewita (2015): pengetahuan
keluarga, pengambilan keputusan
dan perilaku mencari pengobatan.
Wardiana (2012) : pengetahuan,
waktu serangan dan jarak tempat
tinggal.
Faktor lain (Ashraf, et al. 2015) :
1) Pengetahuan Keluarga
Pengetahuan tentang stroke oleh
keluarga lebih penting karena akan
lebih mengenali dan mengambil
keputusan segera untuk membawa
pasien ke RS (Rachmawati, et al.
2017).
8) Periode emas penatalaksanaan
stroke
Golden period penatalaksanaan
stroke < 3 – 4,5 jam onset
serangan (Ashraf, et al. 2015).
Top Related