10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka ini dipilih beberapa tulisan yang berkaitan dengan
pembahasan analisis tipografi seperti penelitian-penelitian terdahulu, baik dalam
bentuk skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal. Karena tipografi dapat diterapkan
untuk segala bidang keilmuan, di beberapa tempat pasti sudah ada yang
mengangkat judul tentang pengkajian tipografi.
Tesis Natalia Ira Kartika (2007) Program Studi Desain, Institut Teknologi
Bandung. Penelitian berjudul Kajian Huruf dan Tipografi pada Majalah Indie
(studi kasus: majalah Trolley). Dianalisis dengan metode penelitian kualitatif,
yang berdasar pada jenis penelitian deskriptif dan didukung oleh teknik
pengumpulan data melalui cara studi literatur dan studi lapangan dengan
wawancara, pengamatan, survey dan analisis data. Menyimpulkan bahwa huruf
dan tipografi pada majalah indie tidak mengikuti aturan-aturan yang sesuai untuk
sebuah halaman publikasi (majalah) pada umumnya. Hal ini didasari karena
konsep gaya hidup komunitas indie berbeda prinsip dengan masyarakat pada
umumnya.
Skripsi Nurysta Tresna Sundi (2012) Jurusan Pendidikan Seni Rupa,
Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitian berjudul Kajian Visual Desain pada
Kaos Pariwisata Pantai Pangandaran. Desain yang dibuat pada kaos banyak
yang menampilkan gambar-gambar dan tipografi yang disusun dengan layout
tertentu oleh karena itu rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian ini adalah
11
untuk mengetahui: bagaimana desain tipografi, gambar, serta komposisi layout-
nya yang ada pada kaos pariwisata pantai Pangandaran. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis dengan pendekatan
kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri dari observasi,
wawancara, dokumen, dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa: aspek tipografi meliputi jenis/klasifikasi huruf yang
digunakan sebelum tahun 2012 lebih didominasi dengan jenis huruf sans serif,
aspek desain gambar yang terdapat pada kaos lebih bersifat ilustratif.
Berdasarkan penelitian diatas, maka kebaruan penelitian pembahasan
desain tipografi pada kaos distro menggunakan kajian semiotika. Dalam tulisan
ini akan menggunakan teori Peirce untuk melihat sebuah sign/tanda (ikon, indeks,
simbol). Metode pembacaan ini akan diaplikasikan pada produk kaos distro di
Kota Surakarta, antara lain distro PasoepatiNet, distro Djatie, distro Racer Tees
201m, distro Sinkkink Pride, dan distro Belukar.
1. Kaos
Kaos merupakan salah satu jenis pakaian yang sederhana untuk tubuh
bagian atas. Kaos merupakan jenis pakaian yang menutupi sebagian lengan,
seluruh dada, bahu, dan perut. Pada umumnya kaos tidak memiliki kancing, kerah,
ataupun saku, berlengan pendek (melewati bahu hingga sepanjang siku) dan
berleher bundar (Rahardjo, 2012:66). Dalam perjalanannya, bentuk dan ciri kaos
ini pun mulai mengalami banyak perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Sekarang bisa ditemukan banyak kaos yang telah dimodifikasi modelnya menjadi
berlengan panjang, berkerah, ataupun bersaku dan berkancing. Bahan yang
12
umumnya digunakan untuk membuat kaos adalah katun atau poliester atau
gabungan keduanya. Mode kaos meliputi mode untuk wanita dan pria.
Keuntungan lain dari kaos adalah dapat dipakai oleh semua golongan usia: bayi,
anak-anak, remaja, ataupun orang tua.
Pada mulanya kaos digunakan sebagai pakaian dalam, namun sekarang
juga digunakan untuk pakaian luar. Kaos pun menjadi umum dilihat saat
dikenakan oleh para veteran militer setelah perang dunia kedua. Kaos kemudian
menjadi lebih populer pada 1950-an setelah Marlon Brando mengenakannya
dalam sebuah film yang berjudul “A Street Named Desired”. Setelah itu, kaos
mencapai status yang lebih tinggi, berdiri sendiri dan menjadi bagian dari budaya
mode (Rahardjo, 2012:67).
2. Distro
Distro merupakan singkatan dari distribution store yang berarti toko
distribusi. Distro adalah jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan
aksesori yang dititipkan oleh pembuat pakaian atau diproduksi sendiri. Distro
umumnya merupakan Industri Kecil dan Menengah (IKM) sandang dengan merek
independen yang dikembangkan dikalangan anak muda. Produk yang dihasilkan
oleh distro diusahakan untuk tidak diproduksi secara massal, sehingga sifat
eksklusifitas suatu produk dapat dipertahankan (Rachmawati, 2008:2).
Distro sangat erat kaitannya dengan kreativitas anak muda dalam
mendesain produk untuk komunitas anak muda itu sendiri. Distro mengusung ciri
khas tersendiri dan membangun komunitas yang setia mengunjungi distro
tersebut. Sejalan dengan kreatifitas anak muda yang ingin tampil beda, mereka
13
terus bergerak menciptakan kreasi-kreasi baru bagi komunitasnya dan mampu
memproduksi kebutuhan mereka secara mandiri sehingga tidak bergantung pada
produk impor yang diproduksi oleh industri mapan (Widyatmoko, 2007:203).
Distro pada mulanya tumbuh dan berkembang di kalangan pelaku musik
indie. Distro ini dimaksudkan sebagai tempat menjual semua produk dari band
indie, mulai dari kaset, CD dan barang dagangan lain dari band tersebut seperti
pin, stiker, dan kaos. Distro sudah ada sejak tahun 1993, namun baru berkembang
penuh pada tahun 1998. Distro lahir karena keinginan anak muda untuk
membangun identitas dan kebebasan dalam mengekspresikan dirinya, namun
dalam kondisi yang serba terbatas. Perkembangan tersebut didorong pula oleh
krisis keuangan yang melanda Indonesia, sehingga anak muda tidak mampu lagi
membeli barang impor sebagai penanda identitas. Mereka menciptakan sendiri
perlengkapan komunitasnya dengan modal yang relatif terbatas. Awal mulanya
produk-produk tersebut diciptakan bukan untuk tujuan bisnis, melainkan untuk
identitas diri. Distro mengutamakan nilai keunikan yang ada pada produk-produk
yang dijualnya sehingga produk yang dijual diproduksi dalam jumlah yang sangat
terbatas/non masal (Rahardjo, 2012:72).
3. Tipografi
Ada banyak sekali typeface yang tersedia di dunia ini, tujuan klasifikasi
adalah untuk memudahkan orang lain dalam mengidentifikasi dan memilih
typeface1 yang akan digunakan serta menjadi acuan atau pembanding bila ingin
mendesain huruf berdasarkan sejarah dan bentuk huruf. Tujuan dari klasifikasi
1 Typeface adalah karakter-karakter yang didesain khusus untuk digunakan bersama-sama (Surianto Rustan, 2011:18)
14
adalah untuk memudahkan orang dalam mengidentifikasi dan memilih typeface
yang akan digunakan. Ada berbagai metode yang digunakan sejak dulu untuk
mengelompokkan typeface. Alexander Lawson memperkenalkan klasifikasi
huruf yang dikelompokkan berdasarkan sejarah dan bentuk huruf (Rustan,
2011:46)
Black Letter
Desain karakter Black Letter dibuat berdasarkan bentuk huruf dari tulisan
tangan yang populer pada masanya (abad pertengahan) di Jerman (gaya Gothic)
dan Irlandia (gaya Celtic). Ditulis menggunakan pena berujung lebar sehingga
menghasilkan kontras tebal-tipis yang kuat. Untuk menghemat media
(kertas/kulit), karakter ditulis berdempet-dempetan, sehingga hasil
keseluruhannya berkesan gelap, berat dan hitam, inilah awal mula istilah Black
Letter (Rustan, 2011:47).
Gambar 1. Huruf Black Letter Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:47
Humanist
Di Italia, orang tidak menggunakan typeface bergaya Black Letter,
melainkan Roman/Romawi kuno yang negative space-nya cukup banyak
sehingga tulisan tampak lebih terang dan ringan, karenanya gaya Humanist
mendapat julukan White Letter. Humanist mulai muncul tahun 1469, kelompok
15
typeface ini diberi nama demikian karena memiliki goresan lembut dan organic
seperti tulisan tangan. Disebut juga Venetian karena jenis huruf Humanist
pertama dibuat di Venesia, Italia (Rustan, 2011:47).
Gambar 2. Huruf Humanist Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:47
Old Style
Kemahiran dan tingkat akurasi para pembuat huruf makin lama
makin meningkat, buku cetakan makin banyak, kebutuhan akan bentuk huruf
yang mirip tulisan tangan makin berkurang. Faktor- faktor itu mendorong
munculnya gaya baru di abad 15: Old Style. Karakter-karakter pada kelompok
typeface ini presisi, lebih lancip, lebih kontras dan berkesan lebih ringan,
menjauhi bentuk-bentuk kaligrafis/ tulisan tangan. Gaya Old Style mendominasi
industri percetakan selama kurang lebih 200 tahun (Rustan, 2011:47).
Gambar 3. Huruf Old Style Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:47
16
Transitional
Pada abad 17 muncul kelompok typeface dengan gaya baru yang dibuat
berdasarkan perhitungan secara ilmiah dan prinsip-prinsip matematika, makin
menjauh dari sifat kaligrafis/tulisan tangan. Gaya Transitional pertama diciptakan
sekitar tahun 1692 oleh Philip Grandjean, dinamakan Roman du Roi, atau
typeface Raja, karena dibuat atas perintah Raja Louis XIV. Kelompok ini disebut
Transitional karena berada antara Old Style dan Modern (Rustan, 2011:48).
Gambar 4. Huruf Transitional Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:48
Modern
Dinamakan modern karena kemunculan typeface ini pada akhir abad 17,
menuju era yang disebut Modern Age, sehingga diberi nama Modern. Ciri-cirinya
hampir lepas sama sekali dari sifat kaligrafis typeface pendahulunya (Rustan,
2011:48).
Gambar 5. Huruf Modern Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:48
17
Slab Serif
Munculnya sekitar abad 19, kelompok bergaya Slab Serif awalnya
digunakan sebagai display type untuk menarik perhatian pembaca poster iklan dan
flier. Disebut juga Egyptian karena bentuknya yang berkesan berat dan horizontal,
mirip dengan gaya seni dan arsitektur Mesir kuno (Rustan, 2011:48).
Gambar 6. Huruf Slab Serif Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:48
Sans Serif
Jenis huruf ini berciri Sans Serif/tanpa Serif mulai muncul tahun 1816
sebagai display type dan sangat tidak popular di masyarakat karena pada saat itu
dianggap tidak trendi sehingga dinamakan Grotesque, yang artinya lucu/aneh.
Sans Serif mulai popular pada awal abad 20, saat para desainer mencari bentuk-
bentuk ekspresi baru yang mewakili setiap penolakan terhadap nilai-nilai lama,
yaitu pengkotakkan masyarakat dalam kelas-kelas tertentu. Gerakan yang disebut
dengan Modern Art Movement ini mulai menghapus dekorasi dan hiasan yang
berlebihan pada desain, yang pada saat itu dianggap menyimbolkan golongan
kaya dan penguasa (Rustan, 2011:49).
18
Gambar 7. Huruf Sans Serif Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:49
Script dan Cursive
Script dan Cursive bentuknya didesain menyerupai tulisan tangan, ada
yang seperti goresan kuasa atau pena kaligrafi. Kalau Script huruf-huruf kecilnya
saling menyambung, sedangkan Cursive tidak. Script maupun Cursive didesain
untuk digunakan dalam teks yang memadukan huruf besar kecil, bukan huruf
besar semua (Rustan, 2011:50).
Gambar 8. Huruf Script dan Cursive Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:50
Display
Kelompok bergaya Display pertama muncul sekitar abad 19 dan semakin
banyak karena teknologi pembuatan yang makin murah. Saat itu jenis huruf
19
Display sangat dibutuhkan dunia periklanan untuk menarik perhatian pembaca.
Display type dibuat dalam ukuran besar dan diberi ornamen-ornamen yang indah,
bukan memprioritaskan keterbacaannya melainkan keindahaannya (Rustan,
2011:50).
Gambar 9. Huruf Display Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:50
Ornamen Dingbats
Tipografi tidak hanya tentang huruf saja, ada beberapa ornament di
tipografi yang berbentuk sebuah gambar ataupun ikon tertentu, salah satunya
adalah Dingbats. Dingbats adalah satu set karakter khusus berisikan simbol,
gambar dan ornamen-ornamen lain. Biasanya dingbats merupakan tambahan dari
suatu font, tapi ada juga desainer yang membuat font khusus dingbats. Contoh
dingbats : Info Pict, Ginger Icon. (Rustan, 2011:67).
Gambar. 10. Ornamen Dingbats Sumber : Huruf Font Tipografi, 2011:67
Font Doodle Cushions adalah salah satu contoh font dingbats berupa
bentuk simbol. Simbol yang dihasilkan menampilkan visual bentuk yang sering
20
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya simbol keagamaan
digambarkan bentuk salib, simbol perdamain berupa gambar peace sign, simbol
kematian berupa gambar tengkorak, simbol peperangan digambarkan bentuk bom,
dan masih banyak lainnya. Selain digunakan untuk keperluan digital, font ini
dapat dipergunakan dalam bidang lainnya.
Gambar 11. Font Doodle Cushions Sumber : www.thomasmakesstaff.com/doodle-cushions/
Font dingbats karya Didik Pratikno mengolah beragam visual yang lekat
dengan tanah air, diantaranya wajah para pahlawan, karakter wayang, hingga
rumah-rumah adat nusantara. Dingbats Perangko Wayang ini lebih condong
dalam bentuk ikonik daripada bentuk alphabet. Dalam pembuatan jenis font ini
dibuat berdasarkan tema, kemudian mencari objek-objek yang seragam dari tema
dingbats yang dibuat. Font karya Didik Pratikno ini dibuat untuk desain gambar
perangko.
21
Gambar 12. Font Perangko Wayang Sumber : www.fontsi.com/puppet-theatre-perangko-wayang/
B. Landasan Teori
Kajian teori ini berisi tentang pemikiran-pemikiran atau teori-teori yang
berkaitan dengan kajian desain tipografi kaos distro, maka dalam pengkajian ini
menggunakan pendekatan semiotika. Teori adalah suatu perangkat andaian
mengenai masyarakat, gejala sosial, dan tingkah laku manusia. Teori itu adalah
hasil pengamatan tentang kehidupan sosial dalam satu pola yang terpadu
(Ranjabar, 2006:3). Secara umum teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori Peirce.
1. Semiotika Peirce
Semiotika berasal dari kata Yunani : semeion, yang berarti tanda.
Pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian kedalam
pelbagai cabang ilmu dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk
memandang pelbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Bahasa dijadikan
model dalam pelbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila
seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya
dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya
22
pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262)
Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotic). Bagi
Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat
tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya,
logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan dalam segala tanda
(Barger,2000:11-22)
Merujuk teori Peirce (Noth, 1995:45), tanda-tanda dalam gambar dapat
digolongkan kedalam ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip
dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang
memiliki ciri-ciri yang sama apa yang dimaksudkan. Indeks merupakan tanda
yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut
juga tanda sebagai bukti. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi,
peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami
jika seseorang sudah mengerti arti yang sudah disepakati sebelumnya.
Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent), dan konsep (interpretantt/reference). Bentuk biasanya
menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan
interpretant. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam pemahaman
pesan iklan.
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat : lambaian
tangan bisa diartikan memanggil atau mengangukkan kepala dapat diterjemahkan
setuju. Kita hidup dan bermain dalam tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet,
gendering, suara manusia, atau dering telfon ; juga tanda tulisan, diantaranya
huruf dan angka. Bisa juga, tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih
23
banyak ragamnya (Noth, 1995:44)
2. Trikotomi Peirce Menurut Peirce (Hidayat, 2009:131), menjelaskan bahwa setiap hari
manusia menggunakan tanda untuk berkomunikasi, pada waktu manusia
menggunakan sistem, ia harus bernalar. Bagaimana orang bernalar dipelajari
dalam logika, dengan mengembangkan teori semiotik, Peirce “memusatkan
perhatian berfungsinya tanda pada umumnya”. Model tanda yang dikemukakan
oleh Peirce adalah trikotomi atau triadic dan tidak memiliki ciri-ciri struktural
sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, Peirce (Marianto, 2002:37).
Proses Trikotomi/Triadik berdasarkan ikon, indeks dan simbol oleh C.S.
Peirce
Tanda Ikon Indeks Simbol
Proses
Penandaan
Kemiripan Hubungan Sebab-
Akibat
Konvensi/Kesepakatan
Contoh Patung
Pahlawan
Jendral
Sudirman
Asap àApi
GejalaàPenyakit
Kalimat/Kata/Gestur/
Bahasa Tubuh
Proses Dapat di lihat Dapat
Menyimpulkan
Interpretasi
Tanda Ikon Indeks SiSes Pe
24
R
O I
Keterangan:
R : Representamen (tanda)
O : Objek (sesuatu yang dirujuk)
I : Interpretan (hasil antara representamen dan objek)
Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga arah
anak panah, yaitu representamen (R), objek (O) dan interpretan (I). (R) adalah
bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada
sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang
menafsirkan hubungan antara (R) dan (O).
Representamen adalah sesuatu yang bersifat indrawi atau material yang
berfungsi sebagai tanda. Kehadirannya menimbulkan interpretan, yakni tanda lain
Konvensi/Kesepakatan Kalimat/Kata Gestur/Bahasa Tubuh yang ekuivalen
dengannya, atau dengan kata lain, sekumpulan interpretasi personal yang dapat
menjelma menjadi publik. Jadi pada hakikatnya, representamen dan interpretan
adalah tanda, yakni sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain, hanya saja
representamen muncul mendahului interpretan dan interpretan ada karena
dibangkitkan oleh representamen.
25
Objek yang diacu oleh tanda atau sesuatu yang kehadirannya digantikan
oleh tanda adalah “realitas” atau apa saja yang dianggap ada. Artinya objek
tersebut tidak harus konkret atau real, bahkan yang abstrak, imajiner, dan fiktif.
3. Jenis Tanda
Berdasarkan objek dari semiotik atau tanda, Peirce (Lucy,2001:104)
membagi tanda ke dalam tiga jenis, yakni ikon, indeks dan simbol. Berikut
penjelasannya:
a. Ikon
Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukan ada yang
bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya. Hubungan itu adalah
hubungan persamaan, misalnya gambar orang, potret atau lukisan. Contoh lain,
gambar rumah sebagai penanda adalah sama dengan rumah yang ditandai
petanda, atau gambar rumah yang sesungguhnya.
b. Indeks
Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukan adanya
hubungan alamiah yang bersifat kausalitas (sebab-akibat).Contoh, asap menandai
api, mendung menandai hujan. Kalau di langit ada mendung, penanda akan ada
hujan. Indeks bukan hanya tercipta sebagai bahasa verbal, Peirce (dalam Martin &
Righam, 2000:132-133) menjelaskan bahwa, indeks adalah jenis dari tanda yang
mencakup antara penanda dan petanda. Contoh lain dari indeks adalah mengetuk
pintu, penanda bahwa ada seseorang yang datang. Perlu diperhatikan bahwa,
penelitian dengan menggunakan pendekatan semiotik, tanda yang berupa
indekslah yang paling banyak dicari (Pradopo, 2009:120).
26
c. Simbol
Simbol adalah penanda dan petanda yang tidak menunjukan adanya
hubungan alamiah atau bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan
oleh konvensi (berdasarkan kesepakatan). Misalnya kata Ibu adalah simbol,
artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia), menandai orang
yang melahirkan kita, dalam bahasa Inggris Mother, dalam bahasa Perancis La
mere. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensional yakni artinya
ditentukan melalui kesepakatan bersama.
Makna dari simbol biasanya dapat dipahami dengan mengetahui budaya
dari tempat simbol digunakan, seperti contoh di Amerika bunga Mawar adalah
simbol cinta, dan burung adalah simbol dari kebebasan. Ke tiga jenis dari tanda
tersebut, ada pula tanda yang disebut simtom (gejala), yakni penanda yang
menunjukan petandanya belum pasti, misalnya suhu panas orang sakit tidak
menunjukan penyakit tertentu. Suhu panas itu hanya menunjukan bahwa orang itu
sakit tetapi apakah sakit malaria, tifus, atau jarang mandi, belum jelas, sebab
semua penyakit mesti diikuti suhu panas badan. Relevan untuk di ingat bahwa,
penelitian pada bidang sastra yang paling banyak ditemukan adalah tanda berupa
simbol (Pradopo, 2009:122).
C. Kerangka Pikir
Distro mengusung ciri khas tersendiri dan membangun komunitas yang
setia mengunjungi distro tersebut. Sejalan dengan kreatifitas anak muda yang
ingin tampil beda, mereka terus bergerak menciptakan kreasi-kreasi baru bagi
komunitasnya dan mampu memproduksi kebutuhan mereka secara mandiri,
sehingga tidak tergantung pada produk impor yang diproduksi oleh industri
27
mapan. (Widyatmoko, 2007:203).
Kaos yang dijual di distro merupakan sebuah instrument yang membawa
pesan atau makna yang dapat diinterpretasikan oleh konsumen. Produk distro
membuat desain visual bukan hanya sebagai ungkapan tercetak pada kaos,
melainkan juga sebagai pesan. Pesan atau makna di sini biasanya menceritakan
tentang perasaan, kemarahan, dukungan, ataupun penolakan. Pesan atau makna
pada kaos distro digunakan untuk mengkomunikasikan identitas kelompok atau
komunitas.
Dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi “komunikasi”,
yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim
pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau
kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu arah atau
dua arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media
tertentu.
Melalui pendekatan semiotika , diharapkan karya desain komuniksi visual
mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di
dalamnya. Dengan demikian, dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbangan-
pertimbangan estetik pada karya desain komunikasi visual dipandang dari
hubungan antara tanda dan pesan. Pesan yang dikemukakan dalam pesan karya
desain komunikasi visual disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda.
Secara garis besar tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan
visual. Tanda verbal terangkum pada aspek ragam bahasa, tema, dan pengertian
yang didapatkan. Untuk tanda visual dilihat dari cara menggambarkannya, baik
secara ikonis, indeksikal, ataupun simbolis (Tinarbuko, 2009:9).
28
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan aspek representatif desain
komunikasi visual distro yang dibebani unsur identitas dan sistem
keyakinan/ideologi dari kelompok sosial tertentu. Maka, dalam penelitian ini akan
digunakan pendekatan teori Peirce. Pendekatan ini diperlukan untuk membedah
makna yang terkandung didalam kaos distro sehingga dapat diamati sebagai suatu
upaya menyampaikan pesan dan ideologi dengan menggunakan seperangkat tanda
dalam suatu sistem.
Menurut Peirce, tanda (representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili
sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu
mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Peirce disebut objek (denotatum).
Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila
diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi
interpretant adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda.
Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan
pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam
suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Peirce terkenal
dengan nama segitiga semiotic. Selanjutnya tanda dalam hubungannya dengan
acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, simbol
yang kemudian akan dijadikan pisau bedah pemaknaan tanda (Tinarbuko,
2009:11-12)
Berikut adalah bagan kerangka pikir penelitian ini :
29
Gambar 13. Bagan Kerangka Pikir
Faktor Pembentuk
Desain
Desain Tipografi
Kaos Distro
Cirikhas Desain Tipografi Kaos Distro di
Kotamadya Surakarta
Teori Peirce
Semiotika
Ikon Indeks Simbol
Makna
Dingbats
Top Related