BAB 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam tiga puluh sampai lima puluh tahun terakhir ini terjadi penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya air yang tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim, namun juga terutama oleh aktivitas ekonomi. Kelangkaan air terjadi di negara dengan karakteristik wilayah kering (arid) yang memiliki keterbatasan sumber daya air diikuti oleh pertumbuhan penduduk yang sangat cepat (Shiklomanov, 1998). Tahun 1999, United Nations Environmental Programme (UNEP), sebuah organisasi lingkungan hidup di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan, ketersediaan dan akses air bersih menjadi isu sentral bagi krisis sumber daya alam di seluruh dunia.
Sekitar sepertiga dari populasi dunia hidup di negara yang memiliki ketersediaan air yang minim, karena lebih dari 10% air konsumsi merupakan hasil olahan dari sumber air yang ada. Dari 80 negara, 40% dari populasi dunia mengalami penderitaan yang serius karena kekurangan air pada pertengahan tahun 1990-an (CSD, 1997a). Hal ini diprediksi dalam kurun waktu kurang dari 25 tahun mendatang duapertiga penduduk dunia akan hidup dalam negara yang mengalami krisis air (CSD, 1997b). Pada tahun 2020, pemakaian air akan meningkat sampai 40%, dan lebih dari 17% air akan dibutuhkan untuk produksi bahan pangan seiring dengan semakin meningkatnya populasi manusia di dunia (World Water Council, 2000a).
World Wide Fund for Nature atau WWF (1998) menekankan bahwa “….. air bersih merupakan hal yang esensial bagi kesehatan manusia, pertanian, industri dan ekosistem lingkungan, akan tetapi saat ini telah mengalami kelangkaan di banyak negara di dunia”. Di dalam
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
2
bab 18 Agenda 21 (UN, 1992: 275), mengadopsi dari KTT Bumi di Rio de Janeiro, menegaskan secara menyeluruh bahwa tujuan akhir dari kebijakan pembangunan air adalah:
“Air dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan. Tujuan umumnya adalah adanya kepastian bahwa pasokan air berkualitas baik yang memadai agar tetap dijaga bagi seluruh populasi penghuni planet bumi ini, dengan cara memelihara fungsi-fungsi hidrologis, hayati dan kimiawi ekosistem, melakukan penyesuaian aktivitas manusia sesuai dengan batas-batas kapasitas alam, serta memberantas vektor penyakit yang berelasi dengan air”.
Akses terhadap air bersih untuk hidup merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Air memiliki keterkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya akses terhadap air bersih dan sanitasi maka akan mengancam kehidupan manusia. Air dapat menjadi media penyebaran berbagai penyakit misalnya kolera, diare, disentri, malaria, dan lain-lain yang berimplikasi pada kematian (UNESCO & WWAP, 2006a; UNDP, 2006; UNESCO & Earthscan, 2009; UNESCO & WWAP, 2003). Belajar dari pengalaman sejarah, penduduk Inggris pada tahun 1840-an terserang penyakit kolera, diare, dan disentri yang mengakibatkan kematian anak serta orang dewasa. Penyakit tersebut ditularkan melalui air dan buruknya sanitasi pada jaman itu, sehingga tingkat harapan hidup masyarakat Inggris sangat rendah (UNDP, 2006). Awal tahun 1990 ada 400.000 kasus di Amerika terkait bakteri kolera dan di tahun 1991, 4.000 orang meninggal karena bakteri tersebut. Kasus yang sama di Afrika menyerang 100.000 sampai 200.000 orang setiap tahunnya. Hingga tahun 2002 telah ada 123.986 kasus dengan 3.763 korban meninggal (UNESCO & WWAP, 2006a). Kasus lain terjadi di Eropa pada tahun 2011, beberapa orang meninggal karena bakteri E. coli yang diduga berasal dari sayuran yang dialiri oleh air tercemar (UNESCO, 2012). Pencemaran air oleh limbah industri dan pertanian yang mengandung bahan limbah beracun turut mengancam kehidupan manusia. Berdasarkan hasil penelitian dari Blacksmith Institute (UNESCO, 2012) ada enam limbah beracun yang telah mencemari air dan tanah dengan kandungan racun dan berdampak terhadap manusia.
P e n d a h u l u a n
3
Berikut adalah limbah berdasarkan tingkat bahayanya; timbal, merkuri, kromium, arsenik, pestisida, dan radionuklida. Kekurangan air di tingkat global mengindikasikan situasi yang genting karena ketersediaan air tidak dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan pada decade mendatang (UNEP, 2010). Ketersediaan air yang terbatas disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dunia, peningkatan konsumsi yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan air berkisar 25% sampai 57% (Molle & Mollinga, 2003), baik untuk sektor pertanian, industri, dan air bersih (Mekonnen & Hoekstra, 2011; SIDA, 2005; UNEP, 2012). Perserikatan Bangsa Bangsa memprediksi bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk dunia dari sekitar 7 miliar penduduk menjadi 9,6 miliar pada tahun 2050, dan negara berkembang berkontribusi besar terhadap peningkatan jumlah penduduk (+41%) (Bringezu et al., 2014).
Sektor pertanian menjadi faktor dominan penyebab penurunan jumlah air dan terjadinya krisis air, dengan konsumsi air terbesar untuk kebutuhan pengairan tanaman mencapai 85%-90% dari konsumsi global blue water (Mekonnen & Hoekstra, 2011; Richter et al., 2013; Lawrence et al., 2003; Shiklomanov, 1998; Sullivan, 2002; UNESCO & Earthscan, 2009; UNESCO & WWAP, 2003; UNESCO & WWAP, 2006b; UNESCO, 2012). Dengan demikian air memiliki peran vital dalam penentuan hasil pertanian. Sebagian besar masyarakat pedesaan di negara berkembang seperti India dan Afrika adalah masyarakat agraris yang berstatus sebagai buruh tani. Lahan pertanian hanya dikuasai/dimiliki oleh beberapa orang kaya. Permasalahan yang dihadapi adalah mereka tidak memiliki akses terhadap sumber daya air untuk pertanian. Guna mendapatkan air untuk kebutuhan domestik, mereka harus menempuh jarak yang jauh, dan tidak memiliki uang jika harus membeli, sedangkan sumber air terdekat kadang sudah tercemar (UNESCO & WWAP, 2006a; UNDP, 2006; UNESCO & Earthscan, 2009). Faktor lain yang menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan air dalam kurun waktu terakhir ini adalah: (1) pertumbuhan penduduk; (2) pertumbuhan industri; (3) perluasan atau pengembangan irigasi pertanian (Richter et al., 2013; Shiklomanov, 1998). Tiga faktor tersebut dapat dirangkum ke dalam dua faktor yaitu pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi (Shiklomanov, 1993).
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
4
Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk maka akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berimplikasi pada penurunan daya dukung lingkungan, khususnya sumber daya air.
Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi, pertumbuhan penduduk dan irigasi pertanian berdampak pada semakin menurunnya ketersediaan air (Shiklomanov, 1993; Sullivan, 2002). Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka kebutuhan air semakin meningkat. Semakin meningkat standar hidup seseorang maka konsumsi air bertambah pula (Sullivan, 2002; Siegel, 2015: 4). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan atau krisis air memiliki hubungan dengan perkembangan ekonomi dan sosial terkait pengelolaan sumber daya air tersebut. Sullivan (2002), menegaskan bahwa negara-negara maju yang memiliki pendapatan besar cenderung untuk mengkonsumsi air lebih banyak, untuk keperluan domestik, industri, dan pertanian. Sedangkan Lawrence et al., (2003) mengatakan bahwa, bagi mereka yang tidak memiliki kecukupan air guna memenuhi kebutuhan dasarnya dapat dikategorikan sebagai ‘miskin air’. Miskin air yang dimaksudkan oleh Lawrence et al., (2003), adalah masyarakat yang untuk mendapatkan air terlebih dahulu harus berjalan jauh ke lokasi sumber air terdekat, karena terbatasnya sumber daya air, atau mereka yang benar-benar miskin secara ekonomi sehingga tidak mampu untuk membeli air walaupun sumber daya air tersebut tersedia melimpah.
Menurut Sullivan (2002) hubungan antara sumber daya air dengan kemiskinan, merupakan fenomena bahwa air berimplikasi luas terhadap kondisi lingkungan, sosial, dan kesejahteraan. Bahwa ada hubungan yang kuat antara ‘water poverty’ dan ‘income poverty’, di mana terbatasnya ketersediaan air berimplikasi pada menurunnya pendapatan dan kesehatan. Konseptual water poverty mencakup ketersediaan air, akses terhadap air, kapasitas untuk mendukung keberlanjutan akses, pemakaian air dan faktor lingkungan yang berdampak terhadap kualitas air dan keberlangsungan ekologi air (Lawrence et al., 2003). Lebih lanjut Lawrence (2003) menjelaskan, ketersediaan air merujuk pada sumber daya air, baik air permukaan maupun air bawah tanah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat maupun pemerintah. Akses terhadap air tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan domestik namun termasuk air untuk irigasi
P e n d a h u l u a n
5
pertanian atau non pertanian (industri). Kapasitas dalam arti peningkatan pendapatan untuk membeli air bersih, pendidikan dan kesehatan yang berhubungan dengan pendapatan dan kapasitas untuk mengelola distribusi air. Pemanfaatan memiliki arti penggunaan untuk keperluan domestik, pertanian dan non pertanian. Faktor lingkungan yang kemungkinan berdampak pada kebijakan yang akan berpengaruh terhadap kapasitas.
Tertutupnya akses terhadap air mempengaruhi kebutuhan dasar akan kesehatan, ketersediaan pangan, dan mata pencaharian masyarakat. Pencemaran sungai, danau dan perairan akibat pemakaian pestisida atau zat kimia yang berlebihan akan berdampak menurunnya kualitas air bersih dan makanan yang dikonsumsi masyarakat (Siegel, 2015:5). Membuka akses ketersediaan air bersih bagi masyarakat miskin merupakan kontribusi utama pemberantasan kemiskinan. Kemiskinan tidak dilihat hanya sebagai rendahnya pendapatan seseorang atau per capita Gross National Product (GNP) pada tingkat nasional, namun sesuatu yang kompleks melibatkan aspek non materiil (UNESCO & WWAP, 2003). Lebih lanjut UNESCO dan WWAP (2003) mendeskripsikan ‘miskin air’ sebagai berikut;
Inadequate access to water forms a central part of people’s poverty, affecting their basic needs, health, food security and basic livelihoods.
Air dan sanitasi yang buruk secara langsung mempengaruhi pembangunan ekonomi karena berimplikasi pada biaya yang dikeluarkan untuk kesehatan, pengolahan air bersih, meningkatnya biaya produksi pertanian dan industri karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan biaya lainnya (UNDP, 2006; UNESCO, 2012). Berdasarkan berbagai permasalahan di atas, dengan tidak adanya jaminan akses air bersih dan pertanian justru menempatkan masyarakat miskin semakin miskin tanpa mendapatkan jaminan kesejahteraan.
Buruknya infrastruktur berpengaruh terhadap tingkat kebocoran air. Di London, Inggris tingkat kehilangan air mencapai 30% akibat infrastruktur yang buruk, sedangkan di Asia dan Timur Tengah mencapai 60% setiap tahun (Siegel, 2015:6). Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya suhu permukaan air sungai dan danau,
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
6
dan mempercepat terjadinya penguapan. Dengan tingginya suhu udara membutuhkan lebih banyak air untuk irigasi pertanian guna meningkatkan hasil panen. Terjadi perubahan pola hujan yaitu interval berkurangnya intensitas hujan dibandingkan kemarau, menimbulkan lapisan permukaan tanah menjadi keras sehingga ketika hujan turun, air langsung masuk ke selokan dan sungai, atau menggenang di permukaan sebelum menguap, tanpa mampu untuk meresap ke dalam tanah (Siegel, 2015:5).
Akses untuk meningkatkan pasokan air dan sanitasi merupakan masalah yang menjadi perhatian nasional di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Saat ini, dalam konteks isu global, akses terhadap air di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data, 50 persen dari penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah Indonesia telah melakukan investasi yang cukup besar, namun, sistem pasokan air belum dikelola dengan baik dan sering rusak. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat mendapatkan akses air yang tidak layak, terganggunya waktu sekolah anak-anak dan perempuan yang bekerja untuk kegiatan mengambil air, dan higienitas rendah (Kanaf et al., 2011).
Menurut Pereira et al. (2009), fenomena kelangkaan air dikategorikan menjadi dua yaitu permanen dan sementara yang dihasilkan karena faktor lingkungan, aktivitas manusia, atau perpaduan dari dua faktor tersebut. Pereira et al., (2009) menjelaskan bahwa, wilayah arid merupakan kondisi permanen yang dihasilkan oleh alam, di mana kondisi iklim yang menyebabkan ketersediaan sumber daya air sangat minim. Sedangkan faktor yang dihasilkan dari aktivitas manusia dalam bentuk penggundulan hutan, eksplorasi tambang, perusakan tanah, ekploitasi sumber daya air besar-besaran, berdampak pada kerusakan ekosistem dan menurunnya daya dukung lingkungan dalam bentuk erosi dan intrusi air laut. Permasalahan ini yang kemudian memicu konflik kepentingan antara industri, rumah tangga dan irigasi pertanian.
Menurut Davis dan Cornwell (1998), keberlanjutan sumber daya air di dunia termasuk Indonesia saat ini sedang menghadapi 3 (tiga) tantangan berat, yaitu: 1). Kebutuhan yang terus meningkat; 2). Distribusi air tawar yang tidak merata, dan; 3). Pencemaran air yang
P e n d a h u l u a n
7
semakin meningkat. Indonesia memiliki cadangan air sebesar 3.221 miliar m3/tahun, atau negara dengan cadangan air terbesar kelima di dunia. Dari potensi cadangan air sebesar 3.221 miliar m3/ tahun tersebut, sebanyak 691,3 miliar m3/tahunnya dapat dimanfaatkan. Sebanyak 175,1 miliar m3/tahun sudah dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan domestik, perkotaan, industri, dan juga irigasi, 80,5% atau 141 miliar m3/tahunnya digunakan untuk kebutuhan air irigasi, 6,4 miliar m3/tahun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan air perkotaan, serta 27,7 miliar m3/tahun dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Total potensi air terbesar terdapat di Pulau Kalimantan sebesar 1.008 miliar m3/tahun dengan jumlah ketersediaan air per kapita sebanyak 98.800 m3/kapita/tahun. Sedangkan potensi air terendah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar 60 miliar m3/tahun, ketersedian air per kapita di provinsi ini hanya sebesar 5.500 m3/kapita/tahun (Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, 2011).
Salah satu faktor penyebab kelangkaan air adalah pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yang diproyeksikan dari 55,96% pada tahun 2010 menjadi 65,05% di tahun 2025 (Schensul, 2013).
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka akan memberikan tekanan dan beban ekologis terhadap suatu wilayah, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya air dan terhadap tanah melalui penyediaan hasil pertanian bagi kebutuhan makanan. Terkait dengan hal tersebut, hasil penelitian tentang water footprint of Indonesian provinces (Bulsink et al., 2010), menyatakan bahwa kepadatan penduduk tertinggi ada di Pulau Jawa dan Bali, sehingga secara mandiri tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan karena lahan pertanian dan sumber daya air yang tersedia tidak mencukupi. Beras merupakan makanan pokok sebagian penduduk Indonesia dan membutuhkan banyak suplai air dalam budidayanya, sehingga memiliki kontribusi terbesar terhadap water footprint. Lebih lanjut Bulsink et al., (2010) menyampaikan bahwa, kebutuhan pangan di import dari Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Selatan karena wilayah tersebut berkelimpahan air dan masih tersedia lahan untuk pertanian. Walaupun water footprint dari satu kilogram beras
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
8
yang dihasilkan di Jawa atau Bali sama dengan jumlah water footprint beras yang diproduksi di Kalimantan, Maluku atau Papua. Temuan Bulsink et al., (2010) ini konsisten dengan harapan bahwa efisiensi penggunaan air tertinggi terdapat di tempat-tempat kelangkaan air seperti Jawa.
Suplai air di negara-negara berkembang melalui kebijakannya tanpa disadari telah menghapuskan atau mengabaikan pengelolaan sumber daya air yang efektif. Pokok pemikiran utama adalah tidak hanya berbicara tentang solusi bagi ketersediaan pasokan air, akan tetapi bagaimana mengintegrasikan pengelolaan sumber daya air bagi semua sektor dengan melibatkan stakeholders dalam proses perencanaan, pembangunan dan pengelolaan sumber daya air (CSD, 1997b). Peran pemerintah melalui kebijakan pengelolaan sumber daya air yang selaras dengan tujuan pembangunan, menciptakan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan mereduksi kemiskinan. Untuk mencapai hal ini diperlukan upaya pemerintah dalam mensinergikan dan membangun kerja sama dengan berbagai sektor ekonomi tersebut melalui kerja sama sektor publik-swasta.
Strategi yang dilakukan oleh pemeritah dalam mengatasi permasalahan kelangkaan air dilakukan melalui berbagai cara, yaitu penggunaan teknologi, kebijakan, pembangunan infrastruktur, dan lainnya. Upaya ini dalam rangka menjamin ketersediaan pasokan air untuk keperluan industri, domestik, dan rumah tangga. Langkah di atas didasari oleh penelusuran beberapa hasil penelitian terdahulu terkait dengan coping strategy with water scarcity yang telah dilakukan di beberapa wilayah. Seperti di Australia, untuk mengatasi kekeringan ekstrim selama hampir 12 tahun terakhir di barat Victoria Australia dan memberikan pelayanan air kepada 70.000 orang, Pemerintah Australia menerapkan tiga program yaitu; kebijakan pembatasan air, distribusi air, pencarian sumber air alternatif, pembangunan infrastruktur, dan penerapan teknologi (Barton et al., 2011). Persoalan lain terkait bagaimana strategi masyarakat dalam melakukan coping terhadap air adalah studi kasus di Kathmandu Nepal yang menunjukkan bahwa distribusi air bersih belum menjangkau seluruh masyarakat karena persoalan keterbatasan infrastruktur dan ketersediaan sumber daya air. Persoalan ini berdampak pada jumlah air
P e n d a h u l u a n
9
yang hilang ketika didistribusikan yaitu mencapai 40%, sedangkan dari segi kualitas tidak aman bagi kesehatan. Implikasi dari permasalahan tata kelola tersebut adalah rumah tangga harus mengeluarkan biaya ekstra dalam mengolah air tersebut sebelum dikonsumsi, pada sisi lain mereka harus meluangkan waktu lebih untuk menampung air (Katuwal & Bohara, 2011). Penelitian lain tentang coping terhadap air terkait persoalan higenisitas di Afrika Selatan yang merupakan daerah rawan air difokuskan pada bagaimana rumah sakit atau klinik kesehatan dan masyarakat menjaga kesehatan diperhadapkan dengan suplai air tercemar yang didapatkan dari tanki air yang 5% bersumber dari sungai atau bendungan, 12,4% dari air hujan. Upaya yang dilakukan untuk purifikasi air yang tercemar tersebut melalui berbagai cara dengan memanfaatkan sumber daya di sekitar. Pendidikan tentang kebersihan dan berbagai teknik untuk menghindari kontaminasi bakteri. Namun demikian masyarakat masih diperhadapkan dengan permasalahan buruknya sanitasi di lingkungan sekitar, sehingga masih berpotensi terinfeksi berbagai penyakit (Duse et al., 2003).
Permasalahan air serupa terjadi jugadi beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Kota Boyolali Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian di 8 desa di Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Delapan desa tersebut merupakan wilayah rawan air yang terletak di ketinggian 700-1000 mdpl. Upaya masyarakat untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan konsumsi, air bersih dan pertanian, dengan cara menampung air hujan atau mengalirkan air ke bak penampung melalui pipa dari mata air yang terletak puluhan kilometer di atas desa mereka. Namun, seringkali sumber air tersebut tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka, sehingga mereka harus berjalan 1-2 kilometer ke sumber air terdekat untuk mendapatkan air, dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan sekitar 2 jam. Bagi yang memiliki uang, mereka membeli air dari mobil tangki perusahaan swasta. Usaha lain untuk menampung air hujan dengan membuat kubangan dengan diameter 3x4 meter bahkan lebih di rumah masing-masing (Jocom, 2005). Peran pemerintah dalam mengatasi kelangkaan air di 8 desa tersebut dengan distribusi air bersih menggunakan mobil tangki.
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
10
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang masuk dalam kategori wilayah semi arid sesuai klasifikasi Koppen. Kawasan kering (arid) dan semi arid sesuai klasifikasi iklim Koppen dituliskan sebagai iklim grup B, yang mempunyai karakteristik umum yaitu memiliki curah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi potensial (Kottek et al.,2006). Kottek etal. (2006) menerbitkan peta klasifikasi iklim dunia menurut Koppen – Geiger yang telah diperbaharui. Klasifikasi iklim kering (arid) adalah bila curah hujan tahunan yang terjadi lebih kecil dari curah hujan tahunan yang dihitung, Pann< 10 Pth. Sedangkan Pth = 2 (Tann), bila 2/3 Pann terjadi dalam musim dingin, dan Pth = 2 (Tann) + 28, bila terjadi pada musim panas, atau Pth = 2 (Tann) + 14, selain keduanya, di mana Tann adalah suhu rata-rata tahunan.
Dari peta klasifikasi iklim dunia menurut Koppen – Geiger ini, dapat ditemukan bahwa pulau kecil di kawasan kering Indonesia terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)(Laurentia, 2009: 4).
P e n d a h u l u a n
11
Meteorol. Z., 15, 2006 M. Kottek et al.: World Map of the Köppen-Geiger climate classification updated 261
−160
−140
−120
−100
−80
−60
−40
−20
02
04
06
08
0100
120
140
160
180
−160
−140
−120
−100
−80
−60
−40
−20
02
04
06
08
0100
120
140
160
180
−80
−70
−60
−50
−40
−30−20−100
10
20
30
40
50
60
70
80
−90
−80
−70
−60
−50
−40
−30
−20
−10
0102
030
40
50
60
70
80
90
Af
Am
As
Aw
BW
kB
Wh
BS
kB
Sh
Cfa
Cfb
Cfc
Csa
Csb
Csc
Cw
a
Cw
bC
wc
Dfa
Dfb
Dfc
Dfd
Dsa
Dsb
Dsc
Dsd
Dw
aD
wb
Dw
cD
wd
EF
ET
Worl
d M
ap
of
Köp
pen
−G
eiger
Cli
mate
Cla
ssif
icati
on
up
date
d w
ith
CR
U T
S 2
.1 t
emp
eratu
re a
nd
VA
SC
lim
O v
1.1
pre
cip
itati
on
data
1951 t
o 2
000
Ma
in c
lim
ate
s
A:
equ
ato
ria
l
B:
ari
d
C:
warm
tem
per
ate
D:
snow
E:
pola
r
Pre
cip
ita
tio
n
W:
des
ert
S:
step
pe
f: f
ull
y h
um
id
s: s
um
mer
dry
w:
win
ter
dry
m:
mo
nso
on
al
Tem
per
atu
re
a:
hot
sum
mer
b:
warm
su
mm
er
c: c
ool
sum
mer
d:
extr
emel
y c
on
tin
enta
l
h:
hot
ari
d
k:
cold
ari
d
F:
pola
r fr
ost
T:
pola
r tu
nd
ra
Res
olu
tio
n:
0.5
deg
lat
/lo
n
Figure 1:World Map of Köppen-Geiger climate classification updated with mean monthly CRU TS 2.1 temperature and VASClimO v1.1precipitation data for the period 1951 to 2000 on a regular 0.5 degree latitude/longitude grid.
Gam
bar
1. 1
Pet
a D
unia
Kla
sifi
kasi
Ikl
im K
öppe
n-G
eige
r (u
pdat
ed,
2006
)
Sum
ber:
Kot
tek,
et a
l (20
06)
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
12
Kabupaten TTS yang merupakan bagian dari Provinsi NTT, memiliki iklim semi arid menurut klasifikasi Koppen, dengan curah hujan yang rendah antara 1.000-1.250 mm per tahun dan 1.000–2.000 mm per tahun. Dari 32 kecamatan di Kabupaten TTS, hanya 4 kecamatan yang memiliki curah hujan tertinggi yaitu 1.855 mm dan terendah 1.203 mm per tahun, sisanya hanya berkisar 900 mm hingga 476 mm per tahun (BPS Kabupaten TTS, 2013). Karena itu Kabupaten TTS masuk dalam kategori wilayah yang mengalami kekeringan sepanjang tahun, dengan demikian mengalami keterbatasan/ kelangkaan sumber daya air. Sumber air utama 80% masyarakat untuk memenuhi kebutuhan domestik didapatkan dari mata air, sisanya dari sumur atau sungai.
254
144
333
738
72
0 0 0 0 7
138
353
56 580
177142
8 4 0 0 0 0
227
323 313
75
137167
272
69
0 0 2
397
170
30
179 159109 101
35 23 15 0 0 24
499.5
212162
232.5
43 26 17 0 0 0 0 0
137
0
100
200
300
400
500
600
700
800
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
CurahHu
jan
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: Staklim Lasiana(2016)
Gambar 1.2. Curah Hujan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2011-2015
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa, tren curah hujan di Kabupaten TTS dari tahun 2011 hingga 2015 mengalami penurunan.Berdasarkan klasifikasi curah hujan BMKG pada tahun 2011 masuk dalam klasifikasi lebat kemudian menjadi sangat ringan dan ringan pada tahun 2014 dan 2015. Kecenderungan penurunan curah hujan terjadi pada tahun 2011-2013 di bulan Juni hingga Oktober. Perubahan pola curah hujan dirasakan pada tahun 2014 dan
P e n d a h u l u a n
13
2015, dengan klasifikasi curah hujan sangat ringan hingga ringan, dan tidak mengalami hujan dari bulan Juni hingga November. Sedangkan pada bulan lainnya hari hujan sangat rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya. Terkait dengan data defisit air di Kabupaten TTS, Staklim Lasiana Kupang tidak melakukan pengukuran, pengukuran defisit air hanya pada tingkat provinsi yaitu sebesar 159,82 m3/detik-122,50 m3/detik = 37,32 m3/detik atau 1,20 miliar m3/detik, dengan perhitungan curah hujan potensial aliran permukaan 29,30% atau 16,67 miliar m3/tahun atau 528,6 m3/detik. Sedangkan Base Flow 194 sungai = 122,50 m3/detik = 3,86 miliar m3/tahun. Jika kebutuhan air untuk penduduk di Nusa Tenggara Timur dengan jumlah penduduk sekitar 4,7 juta jiwa maka, dengan demikian kebutuhan air dapat diperoleh: 4,7 x 1.200 m3= 5,640 miliar m3/tahun atau 159,82 m3/detik.
27
18
28
21
6
0 0 0 0 1
9
23
6 6
0
1614
74
0 0 0 0
9
20 19
810
1517
10
0 03
12
16
10
1517
12 11 11
7 6
0 0 1
27
1513
18
7 6 5
0 0 0 0 0
14
0
5
10
15
20
25
30
JAN PEBMARAPR MEI JUN JUL AGS SEP OKTNOPDES
HariHu
jan
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: Staklim Lasiana, 2016
Gambar 1.3. Hari Hujan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2011-2015
Demikian pula dengan tren hari hujan yang terjadi di Kabupaten TTS selama kurun waktu lima tahun terakhir (2011-2015) menunjukkan penurunan kuantitas hari hujan, dengan kecenderungan pada bulan Juni hingga November tidak mengalami hujan.
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
14
Tabel 1.1. Rata-rata Curah Hujan dan Hari Hujan di Kabupaten Timor Tengah Selatan
No Tahun Rata-rata
Curah Hujan (mm/tahun)
Hari Hujan (Bulan)
1 2011 169,92 4,4 2 2012 56,00 2,1 3 2013 160,42 4,3 4 2014 97,88 3,9 5 2015 69,13 2,6
Dari Gambar 1.2 dan 1.3 menunjukkan bahwa wilayah
Kabupaten TTS akan mengalami surplus air maksimal selama 2-4 bulan, sedangkan sisanya mengalami defisit air karena rendahnya curah hujan dan hari hujan. Namun dua tahun terakhir (2014-2015) mengalami penurunan baik curah hujan maupun hari hujan hingga 2 bulan saja. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa kekeringan yang terjadi di wilayah TTS mencapai 7-10 bulan. Walaupun singkat dan hanya beberapa kali, terkadang curah hujan terjadi dalam hujan deras atau hujan badai sehingga dapat menimbulkan banjir bandang dan erosi tak terkendali.
27.0
28.0
29.0
30.0
31.0
32.0
33.0
34.0
35.0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: Staklim Lasiana, 2016
Gambar 1.4. Suhu Maksimum Bulanan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2011-2015
P e n d a h u l u a n
15
15.0
17.0
19.0
21.0
23.0
25.0
27.0
29.0
31.0
JAN PEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: Staklim Lasiana, 2016
Gambar 1.5. Suhu Minimum Bulanan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2011-2015
Suhu maksimum dan minimum menunjukkan tren peningkatan sekitar 0,40C. Namun untuk mendapatkan informasi dan data yang komprehensif dibutuhkan data minimal 30 tahun untuk melihat kecenderungan perubahan iklim.
31.63
32.16
32.40
31.89
32.19
31.20
31.40
31.60
31.80
32.00
32.20
32.40
32.60
2011 2012 2013 2014 2015
Suhu
Tahun
Sumber: Staklim Lasiana, 2016 Gambar 1.6. Rata-rata Suhu Maksimum Kabupaten Timor Tengah
Selatan Tahun 2011-2015
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
16
23.523.4
23.9
23.5
24.1
22.8
23.0
23.2
23.4
23.6
23.8
24.0
24.2
2011 2012 2013 2014 2015
Suhu
Tahun
Sumber: Staklim Lasiana, 2016 Gambar 1.7. Rata-rata Suhu Minimum Kabupaten Timor Tengah
Selatan Tahun 2011-2015
Pertanyaan Penelitian
Fenomena bahwa masyarakat di TTS mengalami krisis air sepanjang tahun yang disebabkan oleh faktor kondisi sumber daya alam (air), mendorong masyarakat untuk melakukan strategi coping dalam mengatasi keterbatasan yang dihadapi. Menurut Homer-Dixon (1993), dampak dari kelangkaan sumber daya air adalah adanya konflik. Hal ini menjadi titik penekanan utama penelitian, dimana Kabupaten TTS dipilih sebagai representasi persoalan kelangkaan air yang dihadapi oleh masyarakat Timor. Pendekatan yang dilakukan melalui pengkajian dari beberapa teori yaitu, teori tentang coping yang dilakukan oleh masyarakat untuk menghadapi permasalahan kelangkaan air dalam konteks di wilayah TTS dan teori tentang konflik berbasis kelangkaan sumber daya air yang terjadi di tengah masyarakat. Metoda penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri karena penelitian terkait dengan isu kelangkaan air lebih banyak menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif
P e n d a h u l u a n
17
untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi dinamika sosial melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya masih jarang ditemui.
Berangkat dari titik penekanan ini maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, apakah wilayah di Kabupaten TTS mengalami kelangkaan air?; kedua, apakah permasalahan kelangkaan air memiliki dampak terhadap terjadinya konflik sosial dan ekonomi?; ketiga, bagaimana upaya masyarakat di wilayah rawan air dalam melakukan coping strategy untuk mengatasi kelangkaan air? dan; keempat, bagaimana praktik pengalaman penelitian lapangan menggunakan pendekatan studi kasus?
Tujuan Penelitian
Penelitian tentang strategi dalam coping mengatasi permasalahan kelangkaan air ini bertujuan sebagai berikut: pertama, melakukan identifikasi apakah ketersediaan air di Kabupaten TTS dapat memenuhi kebutuhan air bersih seluruh masyarakat? Persoalan apakah yang melandasi terjadinya persoalan kelangkaan air; Kedua, identifikasi implikasi permasalahan kelangkaan air terhadap terjadinya konflik di tengah masyarakat. Kelangkaan sumber daya air dapat memicu terjadinya konflik, apakah kelangkaan air yang terjadi di Kabupaten TTS memicu eskalasi konflik berbasis sumber daya alam?; Ketiga, identifikasi strategi coping menghadapi permasalahan kelangkaan air dalam aspek sosial, lingkungan hidup, budaya, ekonomi, dan kebijakan; dan keempat, mendeskripsikan pengalaman praktik penelitian lapangan.
Kerangka Pikir Penelitian
Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa pertumbuhan penduduk, meningkatnya kelas menengah, pencemaran air, perubahan iklim dan kerusakan infrastruktur sebagai latar belakang terjadinya kelangkaan air di dunia (Gambar 1.8). Kelangkaan air tersebut kemudian berdampak langsung terhadap kondisi sosial,
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
18
ekonomi, dan lingkungan hidup. Dampak terhadap kondisi sosial yaitu dengan munculnya berbagai konflik berbasis sumber daya alam, dan permasalahan kesehatan. Kondisi ekonomi yaitu dengan terbatasnya aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya air, maka kebutuhan irigasi pertanian tidak dapat terpenuhi. Persoalan tersebut secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dampak terhadap lingkungan hidup adalah, pencemaran air akibat buangan limbah industri yang mempengaruhi ekosistem lingkungan secara lebih luas yaitu mempengaruhi kondisi air, tanah, tumbuhan, hewan, dan manusia.
P e n d a h u l u a n
19
Water
Demand&
Supp
ly
Popu
la3on
Grow
th
Domes3cUse
Indu
strialU
se
Agriculture
Use
Water
Scarcity
Socia
l
Econ
omic
Envir
onmen
t
Envir
onmen
tDe
cline
Increaseof
peop
leconsum
p3on
Envir
onmen
texploita3o
n
Energy
consum
p3on
Risin
gMiddle
Class
Clim
ate
Change
Tainted
Water
Leaks
Water
Managem
ent
Sum
ber:
Shik
lom
anov
(199
3: 1
998:
200
0);
Win
penn
y (1
997)
; G
leic
k (1
998)
; M
olle
dan
Mol
linga
(2
003)
; Per
eira
, et a
l.(20
09);
Mek
onne
n da
n H
oeks
tra
(201
1); E
rcin
et a
l.(20
14);
Sieg
el(2
015)
Gam
bar
1. 8
. L
atar
Bel
akan
g P
erso
alan
Kel
angk
aan
Air
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
20
Dari hasil penelusuran ilmiah terkait penelitian tentang strategi coping dalam menghadapi permasalahan kelangkaan air, ditemukan bahwa pendekatan yang dilakukan dalam melakukan strategi coping bersifat top down, yaitu berasal dari inisiatif pemerintah (Gambar 1.9). Persoalan kelangkaan air mendapatkan respon dari pemerintah dalam bentuk bantuan langsung terhadap masyarakat, atau melalui inovasi alih teknologi yang dapat meminimalisir permasalahan kelangkaan air. Penelitian tentang strategi coping dalam menghadapi kelangkaan air lebih banyak dilakukan di luar negeri. Hasil penelitian yang membahas tentang strategi coping yang dilakukan oleh masyarakat masih jarang ditemui. Sedangkan penelitian tentang coping yang dilakukan di Indonesia masih terbatas. Atau dari hasil penelusuran belum ditemukan topik yang membahas secara khusus tentang strategi coping terhadap permasalahan kelangkaan air.
Hasil lainnya, bahwa aspek strategi coping dari dimensi sosial, budaya, dan lingkungan hidup belum menjadi sorotan utama. Pokok-pokok pikiran inilah yang menjadi dasar untuk mengangkat topik utama penelitian tentang kelangkaan air di wilayah Kabupaten TTS. Kabupaten TTS merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki karaktek iklim semi arid, di mana di beberapa wilayahnya mengalami kelangkaan air, dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
P e n d a h u l u a n
21
1)
Pertanianmelalui
penggunaante
knologi
(FAO
,201
1)
2)
Purifi
kasiairm
elalui
pend
idikanpen
ggun
aan
teknologiterapan(D
use,
daSilva,and
Zietsman
2003)
3)
Airb
ersih
danpertanian:
kebijakanpe
mbatasanair,
distrib
usiair,pen
caria
nsumbe
rairalternaF
f,pe
mbangun
an
infrastruktur,dan
pene
rapanteknologi
(Bartonetal.20
11)..
Pen
eliti
an te
rdah
ulu
Inis
iatif
Pem
erin
tah
1)
Belumadanyape
neliF
an
tentangCo
ping
strategy
with
watersc
arcityyang
dilakukanoleh
masyarakat
khususnyadiIndo
nesia
.2)
Dimen
sicoping
strategy
terdiridarisosialbud
aya,
lingkun
ganhidu
p,
ekon
omi,dankebijakan
dariup
ayamasyarakat
(bukanpem
erintah).
3)
KelangkaanairFd
ak
mem
icukonfl
ikberbasis
sumbe
rdayaalam
diTTS
Res
earc
h G
AP
P
ende
kata
n A
nalis
is (t
eori)
1) Co
ping
strategywith
watersc
arcity.
2) Waterand
confl
ict.
Gam
bar
1. 9
. R
esea
rch
Gap
Per
soal
an K
elan
gkaa
n A
ir
K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i
22
Hasil rumusan problem statement dan research gap tersebut selanjutnya dijabarkan dalam tujuan penelitian seperti dalam Gambar 1.10
Peningkatanjumlahpenduduk
Meningkatnyakonsumsimasyarakat
Terbatasnyasumberdayaair
Kerusakanlingkunganyangmempengaruhidaurhidrologiair
Lingkungan
HumanInsecure
Kebijakantatakelolasumberdayaairyangterintegrasi
Kebijakan
IsuPermasalahan TujuanPeneli=an
1. Iden=fikasiapakahketersediaanairdapatatau=dakdapatmemenuhikebutuhanseluruhmasyarakatdiKabupatenTTS.
2. Iden=fikasiimplikasipermasalahankelangkaanairterhadapterjadinyakonflikditengahmasyarakat.
3. Iden=fikasicopingstrategyonwaterscarcitydalamkonteksmasyarakatdiKabupatenTTS
4. Mendiskripsikanpengalamanpeneli=anlapangan.
PertanyaanPeneli=an
1. Apakah wilayah di Kabupaten TTS mengalami kelangkaan air?
2. Apakah permasalahan kelangkaan air memiliki dampak terjadinya konflik?
3. Bagaimana upaya masyarakat di wilayah rawan air dalam melakukan coping strategy?
4. Bagaimana praktik pengalaman penelitian lapangan?
Gambar 1.10. Latar Belakang Masalah dan Tujuan Penelitian
Top Related