1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Tungau Debu Rumah (TDR) bagi sekelompok orang tertentu
merupakan alergen inhalan yang penting karena berperan terhadap
timbulnya reaksi alergi.1
Prevalensi penyakit alergi dilaporkan meningkat, diperkirakan
lebih dari 20% populasi diseluruh dunia menderita penyakit yang
diperantarai oleh IgE seperti asma, rhinitis dan dermatitis. Menurut World
Health Organization (WHO) untuk kasus asma diperkirakan 5-15%
populasi anak diseluruh dunia, rhinitis alergi 1,5-12,4% dan dermatitis 2-
5%. Hal tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap Tungau
Debu Rumah (TDR).2,3
Parasit TDR ini banyak ditemukan pada rumah yang lembab,
kasur, bantal, guling, karpet serta berbagai perabot rumah yang lain.
Populasi TDR terbanyak didapatkan pada debu kamar tidur terutama pada
debu kasur.4,5
Parasit TDR meskipun kecil dan sulit dilihat dengan mata
telanjang, dapat menjadi masalah yang serius bagi kesehatan manusia.
Berbagai studi tentang alergi terhadap debu rumah di seluruh dunia
menunjukkan bahwa TDR mempunyai peran penting dalam pencetus
timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis atopik, dan rhinitis.2
Bagian tubuh TDR yang bisa menjadi alergen yaitu kutikula, organ
seksual dan saluran pencernaan. TDR yang sudah mati serta tinjanya
merupakan alergen yang potensial. Sekitar 4% populasi manusia
menunjukkan alergi terhadap TDR.5
2
Parasit TDR terdapat diseluruh dunia termasuk Indonesia. Terdapat
berbagai spesies TDR dalam debu rumah tetapi yang paling mendominasi
adalah keluarga Pyroglyphidae yang tersebar diseluruh dunia, yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus, Dermathopagoides
farinae.6
Kepadatan populasi TDR yang terdapat di dalam kasur selain
dipengaruhi oleh jenis kasur, suhu dan kelembaban juga dipengaruhi oleh
berbagai hal lain seperti masa penggunaan kasur, ketebalan kasur, serta
frekuensi, cara, dan alat yang digunakan untuk membersihkannya.4
Sebagian besar di Indonesia masyarakatnya masih menggunakan
kasur berbahan kapuk sebagai alas tidurnya walaupun sudah banyak juga
yang beralih ke kasur berbahan non kapuk seperti kasur busa, kasur pegas
dan kasur lateks. Kasur merupakan habitat terbaik yang cocok untuk
perkembangan TDR. TDR menyukai lingkungan yang hangat dan lembab
seperti di dalam kasur. Selain itu pada kasur juga tersedia makanan TDR
(berasal dari reaksi antara kasur dengan keringat, daki serta serpihan kulit
manusia). Semakin banyak reaksi tersebut akan menjadikan kasur sebagai
habitat yang paling cocok bagi perkembangan TDR.4
Masyarakat Indonesia rata-rata tidur 6-8 jam sehari, hal ini berarti
selama itu pula mereka berada di kamar tidur dan melakukan kontak
dengan kasur sehingga apabila kasur tercemar oleh TDR, maka lebih
kurang sepertiga masa hidupnya mereka melakukan kontak dengan
TDR.1,2
Bagi orang yang tidak sensitif hal tersebut tidak menjadi masalah
tetapi bagi orang yang sensitif ini merupakan masalah serius karena bisa
menjadi pencetus timbulnya reaksi alergi dengan gejala seperti bersin,
pilek, iritasi mata, iritasi kulit dan gejala asma.7
Makanan TDR secara umum adalah serpihan kulit manusia, daki
dan sisa makanan. Skuama berperan bagi kelangsungan hidup tungau.
Manusia dalam satu hari menghasilkan 0,5-1g serpihan kulit dan 1gram
skuama dapat mencukupi kebutuhan makan 1 tungau selama 20 hari.8
3
Pada daerah kumuh dan padat penduduknya akan menyebabkan
sanitasi lingkungan kurang terpelihara dengan baik dan dapat
menyebabkan suhu ruangan menjadi panas dan lembab. Bila tungau
terpajan pada keadaan yang kurang menguntungkan misalnya panas,
cahaya, mesin penghisap debu, dan kelembapan yang berubah, tungau
akan dapat bergerak lebih cepat, bersembunyi, berkumpul, dan
mencengkeram serat kain.5
Pada penelitian Arif Faiza (2006) di Semarang, melaporkan bahwa
terdapat hubungan yang erat antara penggunaan kasur kapuk dengan
jumlah populasi TDR.4 Menurut Sukses Hadi (2002) di Semarang, dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara
kepadatan TDR per m2 di kasur & kolong tempat tidur dengan derajat
penyakit dermatitis atopik.8 Dyah (2013) di Semarang, melaporkan jenis
alergen terbanyak pada asma, rhinitis alergi, dan dermatitis atopik adalah
tungau debu rumah.9
Di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Katibung, Lampung
Selatan penduduknya sebagian besar bekerja sebagai petani serta buruh
pabrik. Desa tersebut merupakan desa yang padat penghuni nya, dan
memiliki kamar tidur yang sedikit pada tiap rumah. Sehingga dalam satu
kamar dapat di tempati oleh beberapa anggota keluarga. Dengan status
pendidikan dan ekonomi yang rendah hal ini tentunya berdampak pada
tingkat pengetahuan tentang keberadaan TDR serta kesadaran masyarakat
yang kurang terhadap kebersihan lingkungannya.
Sehingga berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang perbandingan populasi tungau debu rumah
antara kasur kapuk dan kasur non-kapuk, mengingat bahwa masih banyak
4
masyarakat yang belum mengetahui populasi TDR yang terdapat dikasur
yang mempunyai peranan penting dalam pencetus timbulnya reaksi alergi.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa
Tungau Debu Rumah (TDR) dapat menjadi pencetus timbulnya reaksi
alergi berupa gejala asma, rhinitis alergi, dermatitis dengan populasi
terbanyak didapatkan pada debu kamar tidur terutama pada debu kasur,
maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut “Adakah
hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi TDR
pada kasur penduduk?”
I.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan
populasi TDR pada kasur penduduk di wilayah kerja Puskesmas Katibung,
Lampung Selatan.
1.3.2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui jumlah populasi tungau debu rumah pada kasur kapuk
dan kasur non-kapuk
b) Mengetahui suhu kamar sebagai faktor yang mempengaruhi kepadatan
TDR
c) Mengetahui waktu kepemilikan kasur kamar sebagai faktor yang
mempengaruhi kepadatan TDR
d) Mengetahui frekuensi penjemuran kasur sebagai faktor yang
mempengaruhi kepadatan TDR
5
e) Mengetahui frekuensi pergantian sprei sebagai faktor yang
mempengaruhi kepadatan TDR
f) Mengetahui faktor yang paling mempengaruhi kepadatan tungau debu
rumah.
I.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Peneliti
a) Hasil penelitian sebagai wawasan dan pengetahuan mengenai jumlah
populasi tungau debu rumah pada kasur kapuk dan kasur non-kapuk
b) Sebagai tugas akhir selama menjalani pendidikan kedokteran di
universitas malahayati.
1.4.2. Bagi Instansi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khusus nya bagi Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung dan Puskesmas Katibung Lampung Selatan
dalam mengetahui populasi dan jenis tungau debu rumah yang terdapat di
kasur penduduk.
1.4.3. Bagi Fakultas
Mendapat tambahan informasi yang terbaru guna menambah
informasi yang telah ada sebelumnya serta menunjang kegiatan penelitian
yang akan dilaksanakan.
1.4.4. Bagi Peneliti Lain
Memberikan data yang dapat dilanjutkan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.5. Bagi Masyarakat
6
Memberikan informasi terhadap penting nya menjaga kebersihan
tempat tidur mengingat bahwa kasur merupakan habitat yang paling cocok
sebagai tempat hidup tungau debu rumah .
I.5. Ruang Lingkup
Peneliti membatasi ruang lingkup pada subjek yaitu populasi dan
jenis tungau debu rumah, sedangkan objek peneliti adalah kasur kapuk dan
kasur non-kapuk. Judul penelitian Faktor-faktor yang mempengaruhi
kepadatan populasi tungau debu rumah (TDR) pada kasur penduduk di
wilayah kerja Puskesmas Katibung, Lampung Selatan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tungau Debu Rumah
2.1.1. Definisi Tungau Debu Rumah
Tungau debu rumah (kadang-kadang secara kurang tepat disebut
kutu debu rumah) adalah hewan sangat kecil yang umumnya dijumpai di
pemukiman manusia.8
Tungau Debu Rumah (TDR) terdapat pada debu rumah yang
banyak ditemukan. Pada rumah yang lembab, kasur, bantal, guling, karpet
serta perabotan rumah lainnya. Sumber debu dengan jumlah TDR
terbanyak adalah kamar tidur terutama debu kasur.8
TDR terdapat diseluruh dunia termasuk Indonesia. Terdapat
berbagai spesies TDR dalam debu rumah tetapi yang paling mendominasi
adalah keluarga Pyroglyphydae yang tersebar diseluruh dunia yaitu
Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae.8Makanan
TDR secara umum adalah serpihan kulit manusia, daki dan sisa makanan.
Skuama berperan bagi kehidupan tungau. Manusia dalam satu hari
menghasilkan 0,5g-1g serpihan kulit dan 1 gram skuama dapat mencukupi
kebutuhan makan 1 tungau selama 20 hari.5,8
Pada daerah kumuh dan padat penduduknya akan menyebabkan
sanitasi lingkungan kurang terpelihara dengan baik dan dapat
menyebabkan suhu ruangan menjadi panas dan lembab. Bila tungau
terpajan pada keadaan yang kurang menguntungkan misalnya panas,
cahaya, mesin penghisap debu, dan kelembaban yang berubah, tungau
akan dapat bergerak lebih cepat, bersembunyi, berkumpul dan
mencengkeram serat kain.8
8
Gambar 2.1. Dermatophagoides
2.1.2. Taksonomi Tungau Debu Rumah
Superkingdom : Eukaryota
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Chelicerata
Kelas : Arachnida
Ordo : Acarina
Subordo : Astigmata
Famili : Pyroglyphidae
Genus : Dermatophagoides
Spesies : Dermatophagoides pteronyssinus
Dermatophagoides farinae
2.1.3. Morfologi Tungau Debu Rumah
Tungau adalah hewan berjenis serangga, berkaki delapan, dan
ukurannya sebesar debu, kira-kira 0,1-0,3 mm. Jadi hanya bisa kita lihat
dengan menggunakan mikroskop. Ada banyak variasi bentuk tubuh
tungau, tapi pada umunya berbentuk lebih kurang bulat atau oval dimana
kepala, thorax, dan abdomennya menyatu.10
9
Mempunyai kapitulum dan badan berupa kantung, mempunyai
empat pasang kaki panjang, 2 depan dan 2 belakang. Tubuhnya ditutupi
oleh rambut-rambut panjang yang disebut setae yang muncul dari tepi luar
tubuhnya serta permukaan tubuhnya tampak transparan.9
Gambar 2.2. Morfologi Dermatophagoides
Keterangan:
a. Gnatosoma
Gnatosoma terletak di bagian anterior tubuh merupakan alat mulut
yang terdiri atas kelisera dan pedipalpi. Pada gnatosoma terdapat stigmata,
peritrema dan alat sensori. Stigmata dan peritrema berfungsi sebagai alat
pernapasan. Kelisera berfungsi sebagai alat untuk menusuk, menghisap
dan mengunyah sedang pedipalpi berfungsi sebagai alat bantu makan.
b. Kapitulum
Gnatosoma merupakan bagian dari kapitulum
c. Podosoma
Terdapat empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma.
d. Opistosoma
Opistosoma merupakan bagian posterior dari tubuh tungau yang terdiri
dari organ sekresi dan organ genital.
e. Idiosoma
Idiosoma pada tungau adalah podosoma dan opistosoma yang
menyatu.
T1, T2, T3, T4 = tungkai ke-1 hingga ke-4
10
2.1.4. Epidemiologi TDR
Tungau ini banyak ditemukan pada debu yang terdapat pada
berbagai peralatan rumah tangga, khususnya perabotan yang terdapat di
sekitar kamar tidur, seperti kasur, seprei, selimut, wool dan peralatan lain.
Hal ini disebabkan oleh debu di sekitar kamar tidur biasanya banyak
terdapat makanan tungau tersebut, seperti skuama atau rentuhan sel-sel
kulit manusia yang banyak ditemukan di tempat tidur.11
Dermatophagoides menyukai tempat yang hangat, kering dan
lembab. Meskipun tungau ini tidak menggigit dan tidak menularkan suatu
penyakit, namun tungau ini menghasilkan material atau bahan yang
bersifat alergen. Material tersebut berukuran sangat kecil dan ringan
sehingga mudah terbang dan bersatu dengan debu di udara. Bila terhisap
dapat menimbulkan reaksi alergi pada orang yang sensitif, sehingga
menimbulkan pembengkakan pada saluran pernafasan yang akan memicu
munculnya serangan asma, terutama bagi individu yang sensitif.11
Jenis tungau debu yang banyak ditemukan di Indonesia ada dua
jenis yaitu Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides
farinae. Keduanya merupakan tungau debu yang umum tersebar secara
kosmopolit, tersebar di seluruh dunia. 9,10,11
Distribusi atau sebaran spesies Dermatophagoides sangat
dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, sehingga keberadaannya berbeda-
beda di setiap wilayah. Sebagai contoh, Dermatophagoides pteronyssinus
lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki kelembaban yang tinggi
seperti di negara-negara Eropa dan Inggris, sedangkan Dermatophagoides
farinae lebih banyak ditemukan di daerah yang memiliki cuaca kering
yang panjang seperti di benua Amerika.10
Dominasi habitat tungau di suatu tempat tersebut menyebabkan
orang awam menamakannya European house dust mite atau tungau debu
Eropa untuk Dermatophagoides pteronyssinus, dan American house dust
mite atau tungau debu Amerika untuk Dermatophagoides farinae.
11
Meskipun demikian penamaan ini sebenarnya kurang tepat mengingat
kedua jenis tungau tersebut dapat ditemukan dimana-mana di dunia ini.10
Populasi tungau debu di dalam rumah bergantung pada faktor-faktor:
1) tinggi rendahnya rumah dari permukaan laut
2) daerah dengan musim panas yang lebih panjang dari musim
hujan
3) adanya berbagai macam binatang di dalam rumah
4) rumah yang kotor dan banyak debu
5) suhu dan kelembaban optimum optimal bagi perkembangan populasi TDR adalah 250-300C dan kelembaban relatif 70-80%. Perkembangbiakan TDR terganggu pada suhu di atas 320C dan jika tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 510C dengan kelembaban udara 60% maka tungau akan mati.
2.1.5. Siklus Hidup TDR
Daur hidup tungau ada 4 fase, yaitu : telur→ larva→nimfa
→tungau dewasa. Siklus hidup tungau mulai dari telur sampai dewasa
memerlukan waktu selama 8-12 hari.5
Gambar 2.3. Siklus hidup TDR
12
1. Fase telur Pada tungau betina yang dewasa biasanya bertelur setiap hari.
Sehari rata-rata menghasilkan telur 5 butir.
2. Fase larva Setelah 3-4 hari telur menetas menjadi larva. Larva tungau
hidup dan makan selama 4 hari kemudian beristirahat selama 24 jam.
Selama masa istirahat tersebut terjadi pergantian kulit (molting) menuju
tahap berikutnya.
3. Fase nimfa Pada tahap ini bentuk tungau sudah seperti bentuk dewasanya
dengan 4 pasang kaki. Bentuk nimfa ini terdiri dari dua fase yaitu
protonimfa dan deutonimfa. Masing-masing fase nimfa makan selama 3-5
hari, istirahat, kemudian molting menuju tahap berikutnya.
4. Fase tungau dewasa Tungau dewasa berukuran ± 0,4 mm, berwarna putih-
krem atau kecoklatan dan tidak dapat dilihat oleh mata telanjang atau kaca
pembesar. Tungau dewasa dapat hidup dan mencapai umur 2 bulan. Pada
tungau dewasa setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit,
yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari
dalam terowongan yang digali oleh betina. Tungau betina yang telah
dibuahi mempunyai kemampuan untuk membuat terowongan pada kulit
sampai diperbatasan stratum korneum dan startum granulosum dengan
kecepatan 0,5-5 mm per hari. Di dalam terowongan ini tungau betina
bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau betina akan bertelur
sebanyak 40-50 butir semasa siklus hidupnya yang berlangsung kurang
lebih 30 hari.5
2.1.6. Patofisiologi Reaksi Alergi TDR
Alergen TDR Manusia
Tubuh TDR 5% Penetrasi Kulit Feses TDR 95% Inhalasi
13
Alergen TDR pertama yang dimurnikan adalah
Dermatophagoides pteronyssinus I an Dermathopagoides
farinae I yang terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam feses, merupakan
glikoprotein yang labil pada suhu panas dan merupakan enzim pencernaan
yang terdiri atas proteinase dan papain yang berasal dari kelenjar saluran
cerna tungau. Alergen tersebut mempunyai berat molekul (BM) 24 kilo
Dalton (kDa). Alergen kedua (Der p II dan Der f II) berasal dari badan
tungau mempunyai BM 15 kDa, diameternya 250 m, dan sifatnya
termostabil. Alergen ketiga yaitu Der f III dengan BM 30 kDa dan
mempunyai struktur kimia sama dengan tripsin serta alergen IV dengan
BM 60 kDa yang struktur kimianya sama dengan amilase.5
Penderita alergi TDR kurang lebih 80 % mempunyai antibodi IgE
spesifik terhadap alergen kelompok I dan II yang secara klinis berkaitan
dengan penyakit asma, dermatitis atopik, dan rhinitis alergika.5
Alergen yang berasal dari tubuh TDR masuk ke dalam tubuh
manusia melalui penetrasi kulit, sedangkan yang berasal dari feses masuk
ke tubuh manusia melalui inhalasi.5
Protein yang terkandung di dalam tubuh TDR pada saat terhirup
melalui hidung akan menimbulkan sensitisasi (rangsangan pada system
imun / sistem pertahanan tubuh) sehingga akan dihasilkan zat anti alergi.
Bila orang tersebut kontak lagi dengan TDR, maka alergen tersebut akan
berikatan dengan zat Anti alergi menghasilkan zat kimia lainnya, seperti
histamine, yang akan beredar ke seluruh tubuh lewat aliran darah sehingga
menimbulkan reaksi alergi di beberapa organ yang berbeda. Di hidung,
histamine menyebabkan hidung terasa gatal dan merangsang bersin-bersin
dan pilek. Di saluran napas, histamine menyebabkan otot dinding saluran
napas mengkerut, saluran napas membengkak, sel radang berkumpul di
saluran napas, dan meningkatkan produksi lendir. Hal itu akan
menyebabkan batuk, sesak dan mengi (asma).12
Reaksi alergi dermatitis yang di sebabkan oleh TDR, merupakan
mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV yang diperantarai oleh IgE
14
terjadi karena pada lesi eksematosa terdapat kerusakan fungsi sawar kulit.
Sehingga memudahkan sensitisasi terhadap alergen TDR yang menempel
di kulit. Adanya enzim keratolitik yang dikeluarkan tungau memudahkan
absorsi alergen tungau melalui kulit yang selanjutnya mengakibatkan
kerusakan pada jaringan kulit.8
2.1.7. Pengaruh Tungau Debu Rumah
Dermatophagoides banyak jenisnya, yang paling banyak adalah
Dermatophagoides pteronyssinus. Di tubuh TDR, terutama kotoran,
mengandung protein tertentu yang dapat menimbulkan reaksi alergi.
Karena ukurannya yang sangat kecil, maka TDR sangat ringan sehingga
mudah sekali diterbangkan oleh angin dan terhirup masuk ke dalam
saluran nafas. Inilah yang menjadi pencetus timbulnya reaksi alergi seperti
asma, rhinitis, konjungtivitis dan dermatitis atopik.13
Bagian tubuh TDR yang bisa menjadi alergen adalah kutikula,
organ seksual dan saluran pencernaan. Di samping itu tungau debu rumah
yang sudah mati serta tinjanya merupakan alergen yang potensial. Alergen
yang terdapat pada D. pteronyssinus terutama di saluran cerna dan
kutikula. Makanan yang masuk ke usus diekskresi sebagai antigen yang
kuat. Debris tungau, diperkirakan menghasilkan 2000 partikel tinja, 50
telur dan 4 kutikula, sehingga menurut perhitungan ini secara tidak
langsung memperlihatkan bahwa >95% alergen tungau berasal dari
partikel tinja.13
Di tubuh TDR, terutama kotoran, mengandung protein tertentu
yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Karena ukurannya yang sangat
kecil, maka TDR sangat ringan sehingga mudah sekali diterbangkan oleh
angin dan terhirup masuk ke dalam saluran nafas.13 Dan dapat
menimbulkan gejala-gejala seperti :
15
1. Bersin-bersin berkepanjangan ketika bangun tidur
2. Hidung tersumbat
3. Sesak nafas yang menyebabkan asma
4. Bintik-bintik atau bercak merah yang menyebabkan gatal pada
kulit
5. Mata berair, merah atau gatal.
alergi yang ditimbulkan oleh TDR mengikuti hukum alergi pada
umumnya. Reaksi alergi hanya akan timbul bila seseorang memiliki
kecenderungan alergi yang didapatkan dari keturunan dan alergen (zat
yang menimbulkan alergi).13
2.1.8. Pencegahan dan Pemberantasan TDR
a) Menjaga kebersihan
Untuk menghindari TDR, rumah dibersihkan dari debu dengan
cara disapu dan dipel setiap hari dan perabot rumah dibersihkan dengan
lap basah atau disedot dengan penyedot debu. Jangan membersihkan
rumah dengan kemoceng/dikebut karena debu tidak hilang tetapi justru
beterbangan. Perabot kamar tidur harus sesederhana mungkin.11
Manusia menggunakan waktunya paling banyak di kamar tidur
(biasanya manusia tidur 6-8 jam sehari), sehingga kebersihan kamar tidur
harus diperhatikan. TDR mudah hidup dan berkembang biak di dalam
kasur dan bantal yang berisi kapuk, oleh karena itu sebaiknya kasur dan
bantal diganti dengan yang terbuat dari karet busa atau poliester. Jika hal
itu tidak dapat dilaksanakan, maka kasur dan bantal yang berisi kapuk
dibungkus dengan plastik atau karet sebelum dibungkus sprei dan sarung
bantal. Sprei dan sarung bantal diganti sekurang-kurangnya seminggu
sekali sedangkan kasur, bantal, dan guling dujemur seminggu sekali.11
16
b) Memindahkan penderita ke daerah yang lebih tinggi
Upaya mengurangi pajanan alergen dengan memindahkan
penderita ke daerah yang lebih tinggi dan kelembaban rendah telah
dilakukan di Davos, Swiss. Dengan upaya tersebut penderita asma
mengalami perbaikan dan serangan asma berkurang. Terdapat hubungan
antara ketinggian suatu daerah dengan populasi TDR. Makin tinggi suatu
daerah jumlah TDR semakin sedikit.10
c) Mengatur Kelembaban
Untuk mengurangi kelembaban rumah, ventilasi harus diperbaiki.
Upayakan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah dengan
membuka jendela, memasang genteng kaca atau fiberglass. Pengurangan
populasi TDR juga dapat dilakukan dengan menggunakan air conditioner
(AC) untuk mengurangi kelembaban udara. Mempertahankan kelembaban
di bawah 35% selama sedikitnya 2 jam perhari sampai 8 jam dapat
memperlambat pertumbuhan populasi TDR.10
d) Penggunaan Zat Kimia
Akarisida seperti benzil benzoat, pirimifos metil, permetrin, fenil
salisilat adalah zat kimia yang dapat membunuh tungau. Benzil benzoat
terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk serbuk dan bentuk busa. Benzil
benzoat (5%) serbuk dengan ukuran 200 mikron digunakan pada karpet
dan bahan tekstil yang dipakai sebagai alas lantai, sedangkan bentuk busa
(2,6 %) digunakan untuk kasur, bahan tekstil yang halus, perabot rumah
tangga, dan mainan anak.
Mortalitas tungau setelah dua bulan penggunaan benzil benzoat
adalah 100% tetapi setelah tiga bulan menurun menjadi 60%. Fenil
salisilat yang strukturnya sama dengan benzil benzoat ternyata lebih
efektif. Zat kimia lain adalah asam tanat yang dapat merubah alergen dari
feses tungau menjadi lebih hidrofobik dan berkurang sifat alergeniknya.10
17
2.2. Kasur Sebagai Habitat TDR
Di Indonesia sebagian besar masyarakat menggunakan kasur
sebagai alas tidurnya. Kasur merupakan habitat terbaik yang cocok untuk
perkembangan TDR. TDR menyukai lingkungan yang hangat dan lembab
seperti di dalam kasur. Selain itu pada kasur juga tersedia makanan TDR
(berasal dari reaksi antara kasur dengan keringat, daki serta serpihan kulit
manusia). Semakin banyak reaksi tersebut akan menjadikan kasur sebagai
habitat yang paling cocok bagi perkembangan TDR.
Penelitian Yohanes (2012) di Manado, mendapatkan hasil bahwa
tungau debu rumah lebih banyak ditemukan pada kamar tidur terutama
pada debu kasur.6 Selain itu Regina (2013) di Manado, dalam
penelitiannya melaporkan ternyata ruang tidur lebih banyak positif
terhadap tungau debu rumah dibandingkan dengan ruang tamu
dikarenakan tungau dapat memperoleh banyak sumber makanan utama
berupa serpihan kulit manusia (skuama).15
Hal tersebut semakin di perjelas oleh Arif Faiza (2006) di
Semarang, dalam penelitiannya bahwa kepadatan populasi TDR yang
terdapat di dalam kasur selain di pengaruhi oleh jenis kasur, suhu dan
kelembaban juga dipengaruhi oleh berbagai hal lain seperti masa
penggunaan kasur, ketebalan kasur, serta frekuensi, cara dan alat yang
digunakan untuk membersihkannya.4
2.2.1. Jenis-Jenis Kasur
a) Kasur Kapuk
• Struktur nya terdiri dari bahan organik dari buah pohon randu yang
ditutupi dengan kain luar atau kain kasur.
• Mengandung serat membentuk lumen yang kosong berdinding tipis
dan terisi udara
18
b) Kasur Non-Kapuk :
1. Kasur Busa
menggunakan bahan busa yang telah melalui proses kimiawi yang
disebut dengan poliuretan. Kasur busa ini memiliki daya tahan yang
tergantung pada pemakainya, mengikuti berat badan dan bertahan dengan
posisi itu selama dipakai di atasnya. Bentuknya dapat kembali seperti
semula selah dipakai, tetapi dalam waktu lama pemakaian mengakibatkan
kasur busa ini akan semakin kempis.
2. Kasur Spring
Kasur jenis ini lebih nyaman digunakan karena kasur jenis ini
mampu menopang tubuh untuk lebih bebas bergerak dengan nyaman saat
tidur. kasur jenis ini terdiri dari banyak pegas (per) dan lapisan busa.
3. Kasur Lateks
Kasur jenis ini memiliki kelebihan sebagai antibakteri, antikutu
dan antipolusi. Selain itu memiliki ciri khas yaitu memiliki warna kuning
keemasan. Itu dikarenakan aplikasi dari proses pemurnian lateks yang
hasil akhirnya berwarna kuning. Selain itu, ciri lain dari kasur lateks yakni
memiliki lubang-lubang besar yang berfungsi memperlancar dan
menjamin kesempurnaan elastisitas kasur.
19
2.3. Kerangka Teori
Gambar 2.4. Kerangka Teori
Tungau Debu Rumah
Faktor Keberadaan TDR :
1. Tinggi rendah rumah dari permukaan laut
2. Daerah dengan musim panas lebih lama
3. Lingkungan yang kurang terjaga
4. Suhu dan kelembaban yang tidak optimum
Habitat :
1. Bantal 2. Guling3. Selimut4. Seprei
5. Kasur
1. Jenis kasur 2. Suhu dan
Kelembaban kamar3. Lama Penggunaan4. Penjemuran5. Pergantian Alas
Reaksi Alergi :
1. Asma2. Rhinitis3. Konjungtivitis4. Dermatitis
20
2.4. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
Gambar 2.5. Kerangka Konsep
Populasi TDRFaktor-Faktor Kepadatan TDR
21
2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang telat terkumpul.
Hipotesis juga diartikan sebagai dugaan sementara yang mungkin benar atau
mungkin salah, akan ditolak jika salah atau palsu dan akan diterima jika
faktor-faktor membenarkannya. Peneliti mengajukan hipotesis sebagai
berikut :
Ha : Ada hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan
populasi tungau debu rumah (TDR) pada kasur
Ho : Tidak ada hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi
kepadatan populasi tungau debu rumah (TDR) pada kasur
22
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif
Analitik. Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independent dan
dependent, kemudian akan menganalisa data yang terkumpul utuk mencari
perbandingan antar variabel.23
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Katibung,
Lampung Selatan yaitu di Desa Tarahan.
3.3. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan Cross
Sectional, yaitu studi penelitian yang mencari perbandingan pada sampel
dengan melakukan pengukuran sesaat.23
Menurut pendapat lain, studi Cross Sectional adalah rancangan
studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan
dengan cara mengamati status paparan dan penyakit serentak pada
individu-individu dari populasi tunggal pada suatu saat atau periode.
23
3.4. Subyek Penelitian
3.4.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang
diteliti. Dari pendapat tersebut, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan obyek yang akan
diteliti atau diselidiki.23
Populasi dalam penelitian ini adalah kasur penduduk Rukun
tetangga IV yang ada di wilayah kerja Puskesmas Katibung, Lampung
Selatan.
3.4.2. Sampel
Sampel adalah sebagian untuk diambil dari keseluruhan obyek
yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Pada penelitian
ini teknik sampel yang digunakan adalah total sampling yaitu semua
populasi diambil apabila sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Sampel
yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 40 sampel yang merupakan
semua keluarga yang ada di Rukun tetangga (RT) IV. Adapun kriteria
yang akan dijadikan sampel sebagai berikut:
Kriteria Inklusi :
1. Kasur di ruang tidur utama
2. Kasur dengan masa pakai lebih dari 1 tahun
3. Kasur dengan ketebalan 10-15cm
Kriteria Ekslusi :
1. Kasur yang sudah tidak digunakan
2. Kasur yang sudah pernah dilakukan penggantian isinya
24
3.5. Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas adalah suatu variabel
yang variasinya mempengaruhi variabel yang lain. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah :
Faktor-faktor kepadatan TDR
3.5.2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel tergantung adalah variabel yang
nilainya ditentukan oleh variabel lain. Dengan kata lain, variabel
tergantung adalah faktor yang diamati dan diukur dengan menetapkan ada
tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah :
Populasi tungau debu rumah (TDR)
25
3.6. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi
Operasional
Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Populasi TDR
Kasur
Suhu
Lama
pemakaian
Penjemuran
Penggantian
Sprei
perminggu
Mengetahui
jumlah dan jenis
tungau debu
rumah pada kasur
Alas tidur yang
digunakan oleh
manusia
Derajat panas
dalam ruang
kamar dalam
celcius
Lama pemakaian
kasur dihitung
dari waktu
pertama kali
membeli
Riwayat
penjemuran kasur
terakhir
Riwayat
kebiasaan
penggantian sprei
Mikroskop
Kuesioner
Termometer
air raksa
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Menggunakan
metode flotasi
(apung)
Observasi
Pengukuran
Langsung
Wawancara
Wawancara
Wawancara
a. > 3 ekor
b. ≤ 3 ekor
a. Kapuk
b. Busa
a. 25-300C
(optimal)
b.< 25 atau >
300C (tidak
optimal)
a. 1-2 Tahun
b. > 2 Tahun
a. 1-2 Bulan
b. > 2 Bulan
a. 0-1 Kali
seminggu
b. > 1 Kali
seminggu
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
Nominal
26
3.7. Alat Ukur
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah saringan debu
(kawat kasa), tabung reaksi, termomether, rak tabung, deck glass, obyek
glass, mikroskop, penghisap debu (vacum cleaner). Bahan yang digunakan
adalah debu 0,1 gram, etil alkohol 80%, larutan Nacl jenuh.
3.8. Cara Pemeriksaan Sampel
Cara pemeriksaan sampel pada penelitian ini menggunakan metode
apung (floating method). Debu kasur yang telah terkumpul masing-masing
disaring dengan kawat kasa kemudian ditimbang sebanyak 0,1 gram. Debu
lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan etyl alkohol
80%, lalu dikocok dan dibiarkan selama 24 jam. Keesokan harinya
supernatan dibuang, kemudian ditambahkan ke dalam tabung reaksi
tersebut larutan NaCl jenuh sampai tabung reaksi penuh dan permukaan
cairannya cembung, lalu tutup tabung reaksi menggunakan kaca penutup
(deck glass) dan dibiarkan selama 30 menit. Setelah itu kaca penutup
diambil lalu diletakkan pada kaca obyek untuk diperiksa di bawah
mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x.
3.9. Pengumpulan Data
3.9.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer
yang diperoleh melalui observasi langsung ke rumah penduduk yang ada
di wilayah kerja Puskesmas Katibung, Lampung Selatan.
3.9.2. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melakukan
pengisian kuesioner dan pengambilan debu kasur dengan menggunakan
alat penghisap debu (vacum cleaner) pada permukaan kasur selama 5
menit.
27
3.9.3. Waktu dan Tenaga Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan
yang dilakukan oleh peneliti sendiri.
3.10. Pengolahan Data
Bila seluruh data telah terkumpul maka selanjutnya dilakukan
pengolahan data melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Editing data yaituiu proses pengecekan kelengkapan data yang sudah
dikumpulkan, sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian dapat
dilengkapi segera oleh peneliti.
2. Coding data yaitu melakukan konversi data kedalam angka-angka
sehingga memudahkan dalam pengolahan data selanjutnya.
3. Tabulating data yaitu pengelompokan data sesuai dengan
kelompoknya dengan tujuan untuk mempermudah dalam analisis data.
4. Entering data yaitu proses memasukan data yang diperoleh
menggunakan komputer statistik.
5. Cleaning data yaitu kegiatan memeriksa kembali data yang sudah
dimasukan, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin
terjadi pada saat memasukan data kedalam komputer.
3.11. Analisis Data
3.11.1. Analisis Univariat
Analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil
pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah
menjadi informasi yang berguna dan dilakukan pada tiap variabel
penelitian untuk menggambarkan atau menjelaskan karakteristik masing-
masing variabel yang diteliti.
28
3.11.2. Uji Bivariat
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
uji chi-square dengan bantuan program komputer statistik. Apabila syarat
chi-square tidak terpenuhi maka uji akan dilakukan dengan uji Fischer .
Kriteria pengujian dapat diliat dari nilai probabilitas (p.value) ≤ 0,05 maka
Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan yang bermakna dan
jika probabilitas (p.value) ≥ 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang
berarti tidak ada hubungan yang bermakna.
3.11.3. Uji Multivariat
Untruk mengetahui faktor mana yang paling berpengaruh maka digunakan uji analisis multivariat. Analisis yang digunakan adalah uji regresi logistik.
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Analisis Univariat
4.1.1.1.Populasi Tungau Debu Rumah (TDR)
Populasi TDR di hitung menggunkan metode apung. Debu
dikumpulkan sebanyak 0,1 gram kemudian diamati jumlah populasi TDR.
Tabel 4.1 Faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi TDR
Variabel n Hasil Ukur Jumlah (%)
Populasi TDR 40Positif 24 60
Negatif 16 40
Jenis Kasur 40Kapuk 26 65
Busa 14 35
Suhu 40Optimal 27 67,5
Tidak Optimal 13 32,5
Lama
pemakaian40
> 2 Tahun 23 57,5
1-2 Tahun 17 37,5
Frekuensi
Penjemuran40
> 2 Bulan 24 60
1-2 Bula 16 40
Frekuensi
Pergantian
Sprei
40
1x dalam > seminggu 24 60
≥ 1x dalam seminggu 16 40
30
Dari 40 kasur responden didapatkan skor populasi TDR adalah
sebanyak 4,45 TDR/0,1 gram/kasur dengan jumlah minimal tidak ada
tungau sedangkan jumlah terbanyak adalah 19 TDR/0,1 gram/kasur.
Berdasarkan jenis kasur maka populasi paling banyak adalah ditemukan
adalah di kasur jenis kapuk yaitu sebanyak 147 ekor sedangkan di kasur
busa hanya 31 ekor. Apabila populasi ini dikategorikan menjadi positif (≥
3 TDR/0,1 gram/kasur) dan negatif (<3 TDR/0,1 gram/kasur) maka
mayoritas kasur responden terdapat tunggau yaitu sebanyak 24 (60%)
kasur seperti yang terlihat dalam Gambar 4.1.
4.1.1.2. Jenis Kasur
Jenis kasur dipilih melalui observasi secara langsung ke kamar
kepala keluarga. Jenis kasur yang menjadi objek penelitian adalah kasur
kapuk dan busa. Distribusi jenis kasur dalam penelitian ini dapat terlihat
pada Gambar 4.2.
24 (60%)
16 (40%)
Populasi TDR
PositifNegatif
Gambar 4.1. populasi TDR
26 (65%)
14 (35%)
Jenis Kasur
KapukBusa
Gambar 4.2. Distribusi jenis kasur
31
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa mayoritas responden
menggunakan kapuk yaitu sebanyak 26 (65%) responden sedangkan yang
menggunakan busa hanya 14 (35%) responden.
4.1.1.3. Suhu
Suhu kamar diukur menggunakan termometer air raksa.
Pengukuran dilakukan selama 5 menit dengan hasil optimal atau tidak
optimal untuk perkembangan tungau. Distribusi suhu kamar dalam
penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 4.3.
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa mayoritas responden
memiliki suhu kamar yang optimal untuk perkembangan tungau yaitu
sebanyak 27 (67,5%) responden sedangkan responden yang memiliki suhu
kamar tidak optimal untuk perkembangan tungau hanya 13 (32,5%)
responden.
4.1.1.4. Lama Penggunaan
Lama penggunaan didapatkan dari wawancara dengan menanyakan
waktu pertama kali membeli sampai waktu dilakukannya wawancara.
Hasil pengukuran dibagi menjadi lebih dari dua tahun dan satu sampai dua
tahun. Distribusi lama penggunaan dalam penelitian ini dapat terlihat pada
Gambar 4.4.
27 (67,5%)
13 (32,5
%)
Suhu
OptimalTidak Optimal
Gambar 4.3. Distribusi Suhu Kamar
32
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa mayoritas responden
telah memiliki kasur lebih dari dua tahun yaitu sebanyak 23 (57,5%)
responden sedangkan responden yang memiliki kasur anatar satu dan dua
tahun yaitu 17 (42,5%) responden.
4.1.1.5. Frekuensi Penjemuran
Frekuensi Penjemuran didapatkan dari wawancara dengan
menanyakan kebiasaan menjemur kasur. Hasil pengukuran dibagi menjadi
lebih dari dua bulan dan satu sampai dua bulan. Frekuensi penjemuran
dalam penelitian ini dapat terlihat pada Gambar 4.5.
24 (60%)16 (40%)
Frekuensi Penjemuran
Lebih dari dua bu-lanSatu sampai dua bulan
Gambar 4.5. Frekuensi Penjemuran
23 (57%)
17 (43%)
Lama Penggunaan
Lebih dari dua tahunSatu sampai dua tahun
Gambar 4.4. Distribusi Lama Penggunaan
33
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa mayoritas responden
menjemur kasur setiap lebih dari dua bulan yaitu sebanyak 24 (60%)
responden sedangkan responden yang menjemur kasur setiap satu sampai
dua bulan yaitu 16 (40%) responden.
4.1.1.6. Frekuensi penggantian Sprei
Frekuensi penggantian sprei didapatkan dari wawancara dengan
menanyakan kebiasaan mengganti sprei. Hasil pengukuran dibagi menjadi
satu kali dalam lebih dari seminggu atau lebih dari atau sama dengan
sekali dalam satu minggu. Frekuensi penggantian sprei dalam penelitian
ini dapat terlihat pada Gambar 4.6.
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa mayoritas responden
mengganti sprei satu kali dalam lebih dari seminggu yaitu sebanyak 24
(60%) responden sedangkan responden yang mengganti sprei lebih dari
atau sama dengan sekali dalam satu minggu yaitu 16 (40%) responden.
24 (60%)
16 (40%)
Penggantian Sprei
0-1 kali dalam sem-inggu>1 kali dalam sem-inggu
Gambar 4.6. Frekuensi Penggantian Sprei
34
4.1.2. Analisis Bivariat
Distribusi hubungan jenis kasur dengan populasi Tungau Debu
Rumah (TDR) disajikan pada tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi TDR
NPopulasi TDR
P ORPositif % Negatif %
Jenis Kasur Kapuk40
19 47,5 7 17,50,021 4,88
Busa 5 12,5 9 22,5Suhu Optimal
4020 50,0 7 17,5 0,009 6,42
Tidak Optimal
4 10 9 22,5
Lama Pemakaian (Tahun)
> 2 40
20 50,0 3 7,5 < 0,001 21,661-2 4 10 13 32,5
Penjemuran kasur (Bulan)
> 2 40
22 55,0 2 5 < 0,001 771-2 2 5 14 35
Penggantian Sprei (Minggu)
0-1 40
21 52,5 3 7,5 < 0,001 30,33> 1 3 7,5 13 32,5
4.1.2.1. Hubungan Jenis Kasur dengan Populasi Tungau Debu Rumah (TDR)
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 40 orang responden terdapat
26 orang (65%) yang memiliki kasur kapuk. Dari 26 responden yang
memiliki kasur kapuk terdapat 19 (47,5%) orang yang ditemukan adanya
tungau. Sedangkan dari 14 orang responden yang memiliki kasur busa
terdapat 5 (12,5%) responden yang ditemukan adanya tungau. Hasil uji
chi-square didapatkan nilai p = 0,021(p<0,05) maka disimpulkan bahwa
H0 ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat hubungan yang bermakna
antara jenis kasur dengan populasi Tungau debu rumah dengan nilai OR =
4,88 yang berarti responden yang menggunakan kasur kapuk akan 4,88
kali lebih sering dijumpai tunggau di kasurnya jika dibandingkan
responden yang menggunakan kasur busa.
35
4.1.2.2. Hubungan suhu kamar dengan Populasi Tungau Debu Rumah (TDR)
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 40 orang responden terdapat
27 orang (67,5%) yang memiliki suhu optimal untuk perkembangan
Tungau. Dari 27 responden yang memiliki suhu optimal untuk
perkembangan Tungau terdapat 20 (50%) orang yang ditemukan adanya
tungau. Sedangkan dari 13 orang responden yang tidak memiliki suhu
optimal untuk perkembangan Tungau terdapat 4 (10%) responden yang
ditemukan adanya tungau. Hasil uji chi-square didapatkan nilai p = 0,009
(p<0,05) maka disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, artinya
terdapat hubungan yang bermakna antara suhu kamar dengan populasi
Tungau debu rumah dengan nilai OR = 6,42 yang berarti responden yang
menggunakan memiliki suhu kamar optimal untuk pertumbuhan tungau
akan 6,42 kali lebih sering dijumpai tunggau di kasurnya jika
dibandingkan responden yang tidak memiliki suhu kamar optimal untuk
pertumbuhan tungau.
4.1.2.3. Hubungan lama pemakaian dengan Populasi Tungau Debu Rumah
Tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa dari 40 orang responden
terdapat 23 orang (67,5%) yang memiliki kasur sudah lebih dari 2 tahun.
Dari 23 responden yang memiliki kasur sudah lebih dari 2 tahun terdapat
20 (50%) orang yang ditemukan adanya tungau. Sedangkan dari 17
(42,5%) orang responden yang memiliki kasur antara 1 sampai 2 tahun
terdapat 4 (10%) responden yang ditemukan adanya tungau. Hasil uji chi-
square didapatkan nilai p < 0,001 (p<0,05) maka disimpulkan bahwa H0
ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat hubungan yang bermakna antara
lama pemakaian dengan populasi Tungau debu rumah dengan nilai OR =
21,66 yang berarti responden yang menggunakan memiliki kasur lebih dari
2 tahun akan 21,66 kali lebih sering dijumpai tunggau di kasurnya jika
dibandingkan responden yang memiliki kasur 1 sampai 2 tahun.
36
4.1.2.4. Hubungan penjemuran kasur dengan Populasi Tungau Debu Rumah
Tabel 4.2. menunjukkan bahwa dari 40 orang responden terdapat
24 orang (60%) yang menjemur kasur lebih dari 2 bulan. Dari 24
responden yang menjemur kasur lebih dari 2 bulan terdapat 22 (55%)
orang yang ditemukan adanya tungau. Sedangkan dari 16 (40%) orang
responden yang menjemur kasur 1 atau dua bulan terdapat 2 (5%)
responden yang ditemukan adanya tungau. Hasil uji chi-square didapatkan
nilai p < 0,001 (p<0,05) maka disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha
diterima, artinya terdapat hubungan yang bermakna antara penjemuran
kasur dengan populasi Tungau debu rumah dengan nilai OR = 77 yang
berarti responden yang menjemur kasur lebih dari 2 bulan sekali akan 77
kali lebih sering dijumpai tunggau di kasurnya jika dibandingkan
responden yang menjemur kasur 1 atau dua bulan.
4.1.2.5. Hubungan penggantian sprei dengan Populasi Tungau Debu Rumah
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 40 orang responden terdapat 24
orang (60%) yang mengganti sprei sekali atau kurang dalam satu minggu.
Dari 24 responden yang mengganti sprei sekali atau kurang dalam satu
minggu terdapat 21 (52,5%) orang yang ditemukan adanya tungau.
Sedangkan dari 16 (40%) orang responden yang mengganti sprei lebih dari
sekali dalam satu minggu terdapat 3 (7,5%) responden yang ditemukan
adanya tungau. Hasil uji chi-square didapatkan nilai p < 0,001 (p<0,05)
maka disimpulkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat
hubungan yang bermakna antara penggantian sprei dengan populasi
Tungau debu rumah dengan nilai OR = 30,33 yang berarti responden yan
mengganti sprei sekali atau kurang dalam satu minggu akan 30,33 kali
lebih sering dijumpai tunggau di kasurnya jika dibandingkan responden
yang mengganti sprei lebih dari sekali dalam satu minggu.
37
4.1.3`Analisis Multivariat
Setalah data diuji dengan analisis bivariat data selanjutnya diuji
dengan analisis multivariat untuk mencari faktor mana yang paling
berpengaruh. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi TDR
Koefisien p OR (IK95%)Variabel
Step 1a JenisKasur(1) 17.986 0.997 6.476 (0,000)
Suhu(1) -35.105 0.996 0.000 (0,000)
LamaPemakaian(1) -53.107 0.996 0.000 (0,000)
Penjemuran(1) -21.223 0.999 0.000 (0,000)
PergantianSprei(1) -31.884 0.999 0.000 (0,000)
Constant 70.226 0.996 3.154
Step 2a JenisKasur(1) 17.952 0.997 6.259 (0,000)
Suhu(1) -36.128 0.996 0.000 (0,000)
LamaPemakaian(1) -54.110 0.995 0.000 (0,000)
PergantianSprei(1) -53.012 0.996 0.000 (0,000)
Constant 71.188 0.996 8.248
Step 3a Suhu(1) -19.366 0.997 0.000 (0,000)
LamaPemakaian(1) -37.530 0.996 0.000 (0,000)
PergantianSprei(1) -37.125 0.996 0.000 (0,000)
Constant 55.798 0.997 1.709
Step 4a LamaPemakaian(1) -21.029 0.998 0.000 (0,000)
38
PergantianSprei(1) -21.317 0.998 0.000 (0,000)
Constant 21.029 0.998 1.358
Step 5a PergantianSprei(1) -3.412 0.000 0.033 (0,006 – 0,188)
Constant 1.466 0.022 4.333
Berdasarkan Tabel 4.3. hanya variabel pergantian seprei yang memiliki
pengaruh terhadap kepadatan tungau debu rumah p < 0,001. Yang berarti
responden yang mengganti seprei lebih sering akan terhindar dari tungau.
4.2` Pembahasan
a. Jenis Kasur
Penggunaan bahan kapuk sebagai alas tidur masih dominan pada
masyarkat Indonesia. Sejalan dengan kondisi ini hasil penelitian ini
memberikan hasil sebanyak 26 (65%) responden menggunakan kasur
kapuk sedangkan yang menggunakan busa hanya 14 (35%) responden
hasil ini sejalan degngan penelitian Sukses hadi yang mendapatkan 88%
responden menggunakan kasur berjenis kapuk. Hal in terjadi karena
harga kasur berbahan kapuk cukup murah sehingga terjangkau dengan
daya beli masyarakat selain itu bahan kapuk ini cukup mudah dijumpai di
Indonesia.25
Berdasarkan Tabel 4.2 terdapat hubungan yang bermakna antara
penggunaan kapuk sebagai alas tidur dengan kepadatan TDR dengan p=
0,021. Hasil ini sejalan dengan berbagai penelitian yang mencari
hubungan antara bahan alas tidur dengan kapadatan TDR. Salah satunya
penelitian yang dilakukan oleh Yudhopronoto26 pada tahun 2006 di
Semarang. Peneliti melakukan penelitian terhadap kasur kapuk dan non
kapuk kemudian diteliti kepadatan TDRnya. Peneliti mendapatkan
adanya hubungan yang sangat bermakna anatar jenis alas tidur dengan
39
kepadatan TDR. Hal ini diakibatkan karena makanan TDR adalah bahan-
bahan organik yang membusuk atau jaringan tubuh dari organisme hidup
atau mati seperti daki dan serpihan kulit manusia. Dalam satu hari
manusia dapat menghasil 0,5 sampai 1g yang jumlahnya cukup untuk
meberikan makanan bagi TDR.27 Dalam hal ini kasur kapuk juga
merupakan bahan organik, sehingga reaksi antara kasur kapuk dengan
daki dan serpihan kulit manusia membuat cadangan makanan yang cukup
dan lingkungan yang cocok bagi TDR. Dari hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa tidak semua kasur kapuk memberikan hasil positif
dari hasil pemeriksaan. Hasil ini sebabkan karena kepadatan tungau debu
rumah dipengaruhi oleh multifaktor seperti yang dijelaskan oleh faktor-
faktor yang dijelaskan dibawah ini.
b. Suhu Kamar
Lampung Selatan adalah kabupaten yang memiliki suhu rata-rata
antara 28-32 0C. kondisi ini sangat cocok untuk perkembangan tungau.
Suhu merupakan salah satu faktor utama dalam perkembangan TDR.
Setiap spesies tungau memiliki suhu optimal dalam perkembangannya.28
Suhu di kabupaten Lampung Selatan secara umum ideal untuk
perkembangan TDR sehingga wajar apabila mayoritas responden dapat
ditemukan TDR dirumahnya. Hasil serupa juga ditemukan oleh Regina
dkk15 di kota Manado dengan iklimyang tidak jauh berbeda dengan
kabupaten Lampung Selatan yang juga mendapatkan 100% responden
dengan kasur berbahan kapuk terdapat tunggau.
c. Lama Penggunaan
Lama penggunaan kasur memiliki peranan penting dalam
menentukan kepadatan TDR. Delapan puluh delapan persen responden
yang memiliki kasur lebih dari 2 tahun memiliki tunggau. Dari uji chi-
square didaptkan hubungan yang bermakna antara lama pemakainan
dengan kepdatan TDR. Hasil ini sejalan dengan penelitian dari Faiza4
yang meneliti tentang kepadatan TDR dengan lama penggunaan kasur.
40
Peneliti mendaptakan adanya korelasi yang erat antar keduanya. Semakin
lama penggunaan kasur maka semakin banyak pula TDR. Menurut Faiza4
semakin lama penggunaan kasur kapuk maka reaksi kontak manusia yang
menghasilkan “makanan” dengan kasur akan semakin sering sehingga
lingkungan kasur semakin cocok bagi TDR.
d. Penjemuran Kasur
Menjemur kasur akan meningkatkan suhu di dalam kasur terutama
yang berbahan kapuk. Selain terasa nyaman efek panas yang yag terjadi
menyebabkan meningkatnya temperatur kasur hal ini tentu saja
menyebabkan populasi TDR menjadi turun. Sejalan dengan hal itu dalam
penelitian ini responden yang paling sedikit terdapat TDR adalah
responden yang memiliki riwayat penjemuran kasur 1 sampai 2 bulan.
Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan antara penjemuran kasur
dengan kepadatan populasi TDR. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Sukses hadi8 yang dilakukan di Semarang dan Widiastuti1.
Keduanya mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
penjemuran kasur dengan kepadatan populasi TDR.
e. Pengantian sprei
Debris tubuh dan skuama (daki) merupakan bahan makanan bagi
TDR. Salah satu cara menghilangkan atau mengurai debris atau skuama
dari kasur adalah menggati sprei yang digunakan secara berkala. Dengan
menggganti sprei maka besar kemungkinan jumlah debris atau skuama
tersebut akan berkurang sehingga sediaan makanan bagi TDR juga akan
berkurang. Penelitian yang dilakukan Sukses hadi8 memberikan hasil
adanya hubungan yang bermakna anatara kepadatan tunggau dengan
41
kebiasaan sprei. Sejalan dengan hasil tersebut dalam penelitian ini juga
didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan mengganti
sprei dengan kepadatan TDR (p< 0,001). Secara distribusi juga dapat
terlihat bahwa mayoritas responden yang ditemukan tunggau adalah
responden yang mengganti spreinya lebih dari dua bulan. Hasil analisis
multivariat menunjukkan bahwa pergantian seprei merupakan faktor
yang paling berpengaruh. Hal ini dapat terjadi karena dengan mengganti
seprei akan menyebabkan berkurangannya makanan tungau, mencuci
seprei juga berarti mengurangi populasi TDR, menurunkan riwayat
kontak dan juga menyebabkan bebrapa faktor lain ikut berperan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ditemukan lebih banyak tungau debu rumah pada kasur berbahan kapuk.
2. Sebagian besar responden memiliki suhu kamar yang optimal bagi
perkembangan TDR.
3. Penggunaan kasur lebih dari dua tahun berpengaruh terhadap kepadatan
TDR.
4. Frekuensi penjemuran kasur setiap lebih dari dua bulan berpengaruh
terhadap kepadatan TDR.
5. Frekuensi pergantian sprei lebih dari seminggu berpengaruh terhadap
kepadatan TDR.
42
6. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kasur, suhu, lama
kepemilikan, penjemuran kasur dan pergantian sprei dengan kepadatan
populasi TDR.
7. Pergantian seprei merupakan faktor yang paling mempengaruhi kepadatan
tungau debu rumah.
5.2 Saran
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis kasur, suhu, lama
penggunaan, penjemuran kasur, dan pergantian seprei memiliki hubungan
yang bermakna terhadap kepadatan populasi TDR. Oleh karena itu ada
beberapa saran terkait yang dapat penulis berikan, antara lain:
1. Bagi institusi kesehatan perlu lebih meningkatkan upaya promotif dengan
meningkatkan pengetahuan dan sikap agar tercipta perilaku kesehatan
yang baik.
2. Bagi masyarakat perlu memperhatikan kebersihan kasur untuk
menghindari masalah kesehatan yang muncul akibat investasi dari TDR.
3. Bagi peneliti selanjutnya:
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kepadatan populasi TDR agar upaya pencegahan terhadap
bahaya akibat TDR dapat dihindari.
b. Serta penelitian selanjutnya menggunakan metode pemeriksaan lain
nya.