Aspek Nutrisi pada Stroke
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang sering terjadi terutama di negara
berkembang. Stroke ditandai sebagai bentuk akut defisit neurologis fokal maupun global
yang berlangsung lebih dari 24 jam dan berhubungan dengan gangguan pembuluh darah
intrakranial atau ekstrakranial. Stroke yang berat sering didahului oleh TIA (Transient
Ischemic Attacks), dimana serangan berlangsung singkat dari beberapa menit sampai
beberapa jam dan tidak meninggalkan gejala sisa.1
Stroke adalah salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia. WHO
memperkirakan bahwa antara tahun 1990 – 2020 akan terjadi kenaikan insiden stroke di
dunia sebanyak 78% pada wanita dan 106% pada pria. Angka kematian akibat stroke
hemoragik lebih besar dibandingkan dengan akibat stroke iskemik.
Faktor resiko penyebab stroke berupa hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, dan merokok. Hipertensi merupakan faktor resiko utama penyebab
stroke, sehingga penanganan yang baik pada hipertensi dapat menurunkan insiden dan angka
kematian akibat stroke.2
Peningkatan insiden stroke di negara berkembang diperkirakan berasal dari golongan
usia lanjut, perubahan gaya hidup dan diet yang meningkatkan resiko terjadinya stroke.
Sebagian besar dari faktor resiko yang menyebabkan stroke sendiri dipengaruhi oleh diet dan
asupan nutrisi. Dalam lima puluh tahun terakhir, didapatkan perubahan yang bermakna pada
pola diet dan asupan nutrisi. Seiring dengan meningkatnya jumlah pendapatan suatu negara,
terjadi peningkatan asupan lemak dan protein hewani sedangkan asupan karbohidrat dan serat
menurun. Banyak negara telah mengalami perubahan pola makan westernization, yang
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 1
Aspek Nutrisi pada Stroke
memberikan kontribusi terjadinya hipertensi dan obesitas sehingga resiko stroke juga ikut
meningkat.2
Hubungan pola makan dan stroke sangat kompleks. Dari penelitian yang telah
dilakukan secara randomize trial mengenai gaya hidup dan pola makan di Finlandia, Itali,
Belanda, Inggris dan Amerika bahwa terdapat hubungan antara kelebihan berat badan dengan
hipertensi, asupan natrium berlebih, kekurangan asupan kalium dan kekurangan asupan
minyak ikan.2
Stroke dapat menyebabkan terjadinya disabilitas jangka panjang. Malnutrisi
merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah kejadian stroke. Kemampuan untuk
mengkonsumsi nutrisi oral yang adekuat dipengaruhi oleh berbagai faktor non nutrisi seperti
kekuatan lengan, koordinasi, kesadaran, disfagi, dan depresi. Oleh karena itu, modifikasi
faktor resiko nutrisi dalam mencegah stroke dan modifikasi nutrisi untuk disfagia perlu
mendapat perhatian.3
BAB II
STROKE
A. Definisi
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 2
Aspek Nutrisi pada Stroke
Stroke atau cerebral vascular accident merupakan sindroma klinis dengan gejala
berupa gangguan fungsi otak secara lokal maupun global yang dapat menyebabkan
kematian atau kelainan yang menetap.4
B. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifiikasi atau tidak (non-modifiable, modifiable, atau
potentially modifiable).4
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi :
a) Usia
b) Jenis kelamin
c) Berat badan lahir rendah
d) Ras atau etnis
e) Genetik
2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
a) Well-documented and modifiable risk factors
Hipertensi
Paparan asap rokok
Diabetes Mellitus
Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
Dislipidemia
Stenosis arteri karotis
Sickle cell disease
Terapi hormonal pasca menopause
Diet yang buruk
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 3
Aspek Nutrisi pada Stroke
Inaktivitas fisik
Obesitas
b) Less well-documented and modifiable risk factors
Sindroma metabolik
Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan kontrasepsi oral
Sleep-disordered breathing
Nyeri kepala migren
Hiperhomosisteinemia
Peningkatan lipoprotein A
Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
Hypercoagulability
Inflamasi
Infeksi
C. Patofisiologi
Dua prinsip utama proses patologi stroke adalah tersumbatnya arteri yang
menyebabkan iskemi serebri atau infark, dan ruptur arteri yang menyebabkan perdarahan
intrakranial.1
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 4
Aspek Nutrisi pada Stroke
Stroke emboli terjadi ketika plak kolesterol terlepas dari pembuluh darah
proksimal kemudian plak tersebut menuju ke otak dan memblok arteri, pada umumnya
arteri yang terkena adalah arteri serebri media. Pada pasien dengan disfungsi atrium
jantung, bekuan darah dapat lepas dan menyebabkan emboli. Pada stroke trombotik, plak
kolesterol lepas saat terjadi ruptur arteri dan platelet secara bertahap bergabung lalu
menyebabkan sumbatan pada arteri. Sebagian besar stroke terjadi melalui proses
tromboemboli yang bisa diperburuk oleh aterosklerosis, hipertensi, diabetes dan gout.1
Stroke hemoragik intrakranial jarang terjadi (15% dari insidensi stroke), namun
jenis stroke ini dapat menyebabkan kondisi yang fatal dalam waktu yang singkat.
Perdarahan intraparenkim merupakan salah satu tipe perdarahan intrakranial yang paling
sering terjadi. Perdarahan intrakranial paling sering terjadi pada individu dengan
hipertensi.1
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 5
Aspek Nutrisi pada Stroke
Gambar 1. Patofisiologi stroke
D. NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale)
NIHSS merupakan suatu penilaian sistematik secara kuantitatif untuk menilai
defisit neurologi terkait stroke akut. NIHSS bertujuan untuk menilai status akut pasien
stroke, menentukan terapi dan prognosa.
Komponen yang dinilai meliputi tingkat kesadaran, bahasa, neglect,
kehilangan lapang pandang, pergerakan ekstraokular, kekuatan motorik (lengan dan
tungkai), ataksia, disartria, kehilangan fungsi sensorik. Masing-masing komponen
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 6
Aspek Nutrisi pada Stroke
mempunyai nilai 3-5 poin, dengan 0 sebagai nilai normal. Penilaian dilakukan dalam
waktu 10 menit oleh pemeriksa.
Tabel 1. Intrepretasi nilai NIHSS
Interpretasi nilai NIHSS
0 Normal
1-4 Stroke minor
5-15 Stroke moderate
15-20 Stroke moderate-severe
21-42 Stroke severe
E. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi adalah edema cerebri yang terjadi pada 24 jam
sampai 48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah sebagai berikut : 4
Kejang
Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Kejang pada
umumnya dapat memperberat terjadinya defisit neurologik
Nyeri kepala
Nyeri kepala yang terjadi umunya hebat dan tidak menetap. Penatalaksanaan terhadap
kondisi ini membutuhkan analgetik.
Emboli pulmonal
Emboli pulmonal sering bersifat letal namun dapat juga terjadi tanpa gejala. Pada
pasien ini juga sering kali disertai dengan Deep Vein Thrombosis (DVT)
Abnormalitas jantung.
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 7
Aspek Nutrisi pada Stroke
Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, terjadi secara bersamaan atau dapat
merupakan akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita
komplikasi gangguan ritme jantung.
Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia
Dengan menggunakan fluoroskopi, diketahui bahwa 64% penderita stroke menderita
gangguan fungsi menelan. Pneumonia juga dapat disebabkan oleh kondisi lain, seperti
imobilitas, hipersekresi, dll.
Kelainan metabolik dan nutrisi
Kondisi kekurangan nutrisi yang berlarut-larut biasanya terjadi pada pasien usia
lanjut. Kondisi malnutrisi ini dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi neurologis,
disfungsi jantung dan gangguan gastrointestinal dan abnormalitas metabolisme tulang.
Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urine
Kondisi ini dapat terjadi akibat pemasangan dauer kateter, gangguan fungsi kandung
kemih atau sfingter uretra eksternum yang merupakan gejala sisa dari stroke.
Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Kondisi ini dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid jangka panjang pada pasien stroke.
Oleh karena itu, penggunaan antagonis H2 dianjurkan pada pasien stroke.
Dehidrasi
Penyebab dehidrasi ini diantaranya meliputi gangguan menelan, imobilitas, gangguan
komunikasi, dll.
Hiponatremi
Kondisi ini diduga karena kehilangan garam yang berlebihan.
Hiperglikemia.
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 8
Aspek Nutrisi pada Stroke
Pada 50% pasien stroke tanpa diabetes mellitus sebelumnya, dapat terjadi
hiperglikemia. Kondisi ini pada umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak
baik.
Hipoglikemia.
Kondisi ini dapat disebabkan karena kurangnya intake makanan dan efek samping
dari obat-obatan yang dapat menyebabkan turunnya kadar gula darah
BAB III
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 9
Aspek Nutrisi pada Stroke
ASPEK NUTRISI PADA STROKE
Tujuan utama dari intervensi gizi pada pasien stroke adalah pencegahan dan
pengobatan komplikasi akibat malnutrisi. Dimana malnutrisi merupakan komplikasi dari
stroke yang dapat dicegah. 4
A. Malnutrisi
Malnutrisi menggambarkan adanya kelainan gizi pada penderita stroke.
Malnutrisi terjadi karena adanya ketidakseimbangan asupan energi dan protein
dibandingkan dengan kebutuhan metabolik, dimana kebutuhan metabolik melebihi
asupan nutrisi sehingga menyebabkan perubahan komposisi dan gangguan fungsi
biologis.4
Prevalensi malnutrisi yang terjadi pasca stroke sangat bervariasi. Diperkirakan
bahwa sekitar 1 dari 5 pasien dengan stroke mengalami kekurangan asupan gizi.
Berdasarkan penelitian pada pasien pasca stroke yang berada di rumah sakit, prevalensi
malnutrisi yang terjadi sebesar 61%. Dalam tinjauan sistematis baru-baru ini Folley, dkk
melakukan penelitian terhadap status nutrisi pasien stroke dan dari penelitian ini
didapatkan bahwa frekuensi malnutrisi berkisar antara 6,1 - 62%.3,4
Pasien stroke yang mengalami malnutrisi, lebih rentan terkena stres, dekubitus,
infeksi saluran kemih dan infeksi pernapasan, sehingga lebih lama dirawat dan memiliki
tingkat kematian yang lebih tinggi.4
Faktor- faktor yang menyebabkan malnutrisi pada stroke:4
o Disfagia
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 10
Aspek Nutrisi pada Stroke
merupakan faktor risiko utama terjadinya malnutrisi berkaitan dengan kesulitan
pemberian asupan nutrisi sehingga asupan berkurang pada pasien stroke.
o Kesadaran yang menurun
o Oral hygiene yang buruk mengakibatkan daya pengecap pasien berkurang
o Depresi pasca stroke yang dapat mengurangi nafsu makan
o Berkurangnya mobilitas
o Hemiplegia
Pasien dengan hemiplegia mungkin tidak mampu mempertahankan kepala dan
tubuh dalam posisi tegak dan mungkin makan dengan tangan yang non-dominan.
o Fatigue
Pasien dengan stroke sering mengalami fatigue dan ini menyebabkan kesulitan
dalam kegiatan makan.
o Defisit kognitif
o Visual neglect, kemampuan berbicara dan berbahasa yang menurun akan
menghambat komunikasi tentang kebutuhan makanan dan pilihan makanan yang
mereka inginkan.
o Metabolisme
Kebutuhan metabolisme yang meningkat selama masa pemulihan juga
meningkatkan risiko kekurangan gizi.
B. Perawatan Nutrisi pada Pasien Stroke
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 11
Aspek Nutrisi pada Stroke
Perawatan nutrisi pada pasien stroke berbeda-beda, tergantung pada tingkat
keparahan stroke tersebut. Misalnya, perawatan nutrisi pada pasien yang menjalani
perawatan di ICU berbeda dengan pasien yang hanya mengalami disartria ringan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Finestone dkk, dengan menggunakan
kalorimetri indirek menunjukan REE pada pasien pasca stroke 10 % lebih tinggi dari
perhitungan energy melalui rumus Harris Benedict.3
Asupan gizi yang diperlukan untuk pasien stroke dalam keadaan stabil dan
memiliki fungsi ginjal yang normal:4
asupan protein harian sebesar > 1 g/ kg BB untuk mencapai rasio
karbohidrat/ protein < 2.5
dibutuhkan asupan energi sebesar ≥ 25 kkal/ kgBB untuk pasien non
obesitas untuk menjaga berat badannya.
Pada pasien obesitas, kebutuhan energinya < 25 kkal / kg dan rasio
karbohidrat / protein < 2.5
C. Disfagia
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 12
BMR pria = 66.5 + (13.8 x BB) + ( 5 x TB) – (6.75 x Umur)
BMR wanita = 655.1 + (9.56 x BB) + ( 1.85x TB) – (4.68 x Umur)
Aspek Nutrisi pada Stroke
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan menelan akibat gangguan pada proses
menelan. Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase :
1. Fase Oral
Selama fase oral, makanan yang masuk ke dalam mulut akan bercampur dengan
saliva, kemudian dikunyah dan dengan bantuan lidah akan terbentuk bolus. Lidah
akan mendorong makanan ke bagian belakang cavitas oral.
Peningkatan ICP atau kerusakan pada saraf intrakranial dapat menganggu koordinasi
pergerakan lidah, sehingga mengganggu fase oral. Kelemahan otot bibir
menyebabkan ketidakmampuan menutup bibir secara sempurna sehingga bolus
makanan yang terbentuk tidak kohesif dan tidak dapat melewati cavitas oral. Bolus
makanan tersebut seringkali tertinggal di area buccal, terutama pada pasien paralisis
nervus facialis.
2. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara reflex pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esophagus. Pada fase ini terjadi elevasi palatum molle untuk
menutup nasofaring dan mencegah regurgitasi orofaring. Jalan nafas juga terlindungi
karena terjadi elevasi os hyoid dan laring, serta adduksi plica vocalis. Pada saat
sfingter cricofaringeal relaksasi, terjadi kontraksi faring sehingga makanan dapat
masuk ke esophagus. Gejala klinis akibat gangguan koordinasi pada fase ini dapat
berupa gagging, choking, dan regurgitasi nasofaringeal.
3. Fase Esophageal
Fase ini dimulai dari perjalanan bolus melewati esofagus sampai ke lambung secara
involunter. Gangguan pada fase ini pada umumnya disebabkan karena mekanisme
obstruksi. Tetapi, gangguan neurologis juga dapat menyebabkan gangguan pada fase
ini. Sebagai contoh, gangguan peristaltik dapat terjadi karena infark batang otak.
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 13
Aspek Nutrisi pada Stroke
Berdasarkan letak anatomis, disfagia dapat dibagi menjadi orofaringeal dan
esophageal. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi disfagia mekanik dan
disfagia motorik. Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus.
Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskuler yang berperan dalam proses
menelan. Lesi di pusat menelan (batang otak), kelainan saraf otak N.V, VII, IX, X, XII,
kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan peristaltik esofagus dapat
menyebabkan disfagia.
Gangguan fungsi otot dan saraf pada refleks menelan yang disebabkan oleh
kerusakan otak pasca stroke dapat menimbulkan disfagia (40%-60%). Penurunan
kesadaran, kelemahan fisik, atau gangguan koordinasi pada refleks menelan juga
berperan pada terjadinya disfagia. Sebagian besar pasien dengan disfagia mengalami
perbaikan fungsi menelan 1 bulan setelah serangan stroke, akan tetapi sebanyak 40%
pasien tetap mengalami disfagia selama 1 tahun setelah serangan.
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 14
Aspek Nutrisi pada Stroke
Penatalaksanaan Disfagia
Penatalaksanaan disfagia mencakup pengaturan diet, pengenalan teknik menelan
yang baik, dan pemberian nutrisi secara enteral. Terapi nutrisi pada disfagia telah
distandardisasi oleh American Dietetic Association melalui National Dysphagia Diet
(NDD), dimana sebelum terapi diberikan pasien dianjurkan untuk menjalani evaluasi
untuk menentukan derajat disfagia.
The NDD terdiri dari 3 level dari makanan padat (dysphagia pureed, dysphagia
mechanically altered, dysphagia anvanced).
Level 1 NDD (pureed) dirancang untuk pasien yang menderita disfagi derajat
sedang-berat dengan kemampuan oral yang lemah dan menurunnya kemampuan
untuk melindungi jalan nafas mereka sendiri. Diet ini terdiri dari bubur,
homogen, dan makanan cohesive yang memiliki tekstur seperti puding. Makanan
dengan tekstur yang kasar seperti kacang, buah mentah, dan sayuran tidak
dianjurkan.
Level 2 NDD (mechanically altered) terdiri dari makanan yang sedikit basah dan
tekstur yang halus. Diet ini digunakan sebagai transisi dari tekstur yang lunak ke
tekstur yang lebih padat. Pasien dengan kemampuan mengunyah yang adekuat
dan disfagi orofaringeal derajat ringan-sedang sangat cocok untuk diet ini. Semua
makanan dari NDD level 1 bisa dimasukkan pada level ini.
Level 3 NDD (dysphagia advanced) adalah transisi ke diet biasa. Level ini terdiri
dari makanan yang teksturnya mendekati makanan biasa (regular) kecuali
makanan yang sangat keras, renyah, atau makanan yang lengket. Makanan
tersebut masih perlu untuk dibasahi dan sebaiknya berukuran kecil agar lebih
mudah untuk ditelan. Diet level 3 sesuai untuk pasien dengan disfagi orofaringeal
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 15
Aspek Nutrisi pada Stroke
ringan. Setelah pasien menunjukkan kemampuan untuk dapat mentoleransi
makanan ini secara aman, diet bisa dilanjutkan ke reguler diet tanpa pembatasan.
Tabel 3. The National Dysphagia Diet, berdasarkan jenis makan dan konsistensi
Buchholz mengemukakan 2 fase transisi pemberian makan pada pasien stroke dan brain
injury (transisi dari tube fed menjadi oral feeding).3
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 16
Aspek Nutrisi pada Stroke
Fase pertama disebut juga preparatory phase. Fase ini berfokus pada stabilitas
nutrisi dan kondisi medis, kemampuan menelan, pemberian makan melalui tube
feeding secara intermitten.
Fase kedua disebut juga the weaning phase. Fase ini dideskripsikan sebagai
kemajuan secara bertahap pada oral feeding, dengan penurunan pemberian makan
secara tube feeding. Ketika pasien telah memiliki kemampuan untuk
mengkonsumsi ≥ 75% dari kebutuhan nutrisinya per oral minimal selama 3 hari,
semua jenis tube feeding dapat dihentikan. Berat badan, derajat hidrasi, dan
kemampuan menelan harus terus dimonitor selama fase ini, dengan fokus utama
mencegah terjadinya komplikasi respiratorik.
Pada pasien dengan disfagia berat, nutrisi enteral (EN) dengan selang nasogastrik
atau melalui Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG) merupakan pilihan utama.
Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dan PEG sangat efektif untuk menunjang
nutrisi awal pada pasien stroke. Namun, apabila terdapat kontraindikasi terhadap
makanan enteral seperti usus yang tidak dapat berfugsi secara normal dan tidak
tercukupinya kebutuhan gizi yang diberikan melalui EN atau adanya kesulitan dalam
penempatan pipa nasogastrik dan PEG, nutrisi parenteral merupakan pilihan yang dapat
digunakan. Dibandingkan dengan nutrisi parenteral, EN menunjukkan keuntungan
fisiologis, lebih murah, dan komplikasi yang lebih sedikit.
Nutrisi Enteral
Nutrisi Enteral merupakan intervensi terhadap malnutrisi dengan biaya relatif
murah, dapat mempertahankan atau meningkatkan status gizi, dan mengurangi
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 17
Aspek Nutrisi pada Stroke
komplikasi akibat kekurangan gizi. Pada umumnya, pasien stroke membutuhkan
dukungan nutrisi enteral minimal selama 6 minggu dan beberapa pasien stroke
membutuhkan dukungan nutrisi enteral sepanjang sisa hidupnya.4
Table 2: Indikasi pemberian nutrisi enteral pada pasien stroke 4
Indikasi pemberian nutrisi enteral
DisfagiaAsupan nutrisi tidak adekuat karena(i) Penurunan kesadaran(ii) Depresi(iii)Kebersihan oral yang buruk(iv)Xerostomia(v) Keterbatasan gerak(vi) Kelemahan otot wajah dan ekstremitas(vii) Fatigue(viii) Gangguan penglihatan, bicara dan bahasa(xi) Defisit kognitifPeningkatan kebutuhan metabolic
Risiko aspirasi akibat pemberian nutrisi secara pipa nasogastrik dapat dikurangi
dengan follow up yang lebih sering dengan pemantauan volume residu dan menaikkan
derajat sandaran kepala pada tempat tidur. Pemasangan pipa nasogastrik mudah untuk
dilakukan dan apabila terdapat perbaikan pada reflek menelan, pipa nasogastrik dapat
dengan mudah dilepas. Kelebihan lain pemasangan pipa nasogastrik adalah
memungkinkannya pengukuran residu lambung dan pipa ini tidak gampang tersumbat.
Penempatan pipa nasogastrik yang tepat pada pasien tanpa resiko tinggi untuk terjadinya
aspirasi, dapat disetai dengan pemberian makanan oral dalam jumlah terbatas sebagai
tahap awal untuk latihan menelan.4
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 18
Aspek Nutrisi pada Stroke
Percutaneus Endoscopic Gastrostomy (PEG)
PEG digunakan pada pasien yang tidak dapat menelan setelah beberapa minggu
serangan stroke. PEG lebih efektif dalam mempertahankan status gizi dibandingkan
pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dan berpotensi mengurangi risiko aspirasi
penumonia. Namun, pemasangan PEG merupakan prosedur invasif dan waktu yang tepat
untuk pemasangan PEG belum jelas. Dalam percobaan FOOD (Feed or Ordinary Diet)
trial, pasien stroke akut dengan disfagia yang menggunakan PEG selama 1-2 minggu
pertama setelah stroke akut memiliki hasil lebih buruk dibandingkan pasien yang makan
melalui pipa nasogastrik.
Pengambilan keputusan pemasangan PEG dipengaruhi oleh tingkat keparahan
stroke dan kebutuhan perawatan intensif. Pasien dengan skor NIHSS (National Institutes
of Health Stroke Scale) >16 tanpa pneumonia aspirasi atau pasien dengan skor NIHSS
>12 dengan pneumonia aspirasi memerlukan pemasangan PEG lebih awal. Namun, baik
pipa nasogastric maupun PEG dapat mengurangi resiko pneumonia aspirasi. Komplikasi
dari pemasangan NGT dapat dikurangi dengan pemantauan yang baik, pemilihan
formula enteral yang tepat, skrining status klinis dan kebutuhan gizi.4
Formula Polimerik
Formula polimerik sering diberikan pada pasien yang menggunakan tube jangka
panjang dan umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Formula ini terdiri dari protein,
karbohidrat kompleks, asam lemak rantai panjang, dan beberapa trigliserida (Medium
Chain Triglycerides/ MCT). Formula polimerik merupakan formula enteral tinggi protein
dengan kadar protein 1 -1,5 kcal/ ml. Bubuk protein, polimer glukosa, atau minyak MCT
dapat ditambahkan kedalam formula polimer untuk meningkatkan kandungan energi
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 19
Aspek Nutrisi pada Stroke
ataupun kandungan protein. Pada penambahan formula tinggi serat, asupan cairan yang
cukup diperlukan untuk mencegah konstipasi.7
BAB IV
KESIMPULAN
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 20
Aspek Nutrisi pada Stroke
Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler yang sering terjadi terutama di negara
berkembang. Peningkatan insidens stroke pada negara berkembang diperkirakan berasal dari
usia lanjut, perubahan gaya hidup dan diet yang meningkatkan resiko terjadinya stroke.
Sebagian besar dari faktor resiko yang menyebabkan stroke dipengaruhi oleh diet dan asupan
nutrisi. Hubungan pola makan dan stroke sangat kompleks. Stroke dapat menyebabkan
terjadinya disabilitas jangka panjang.
Malnutrisi merupakan keadaan yang sering ditemukan setelah kejadian stroke.
Modifikasi faktor resiko nutrisi dalam mencegah stroke dan modifikasi nutrisi untuk disfagia
perlu mendapat perhatian. Malnutrisi merupakan komplikasi pasca stroke yang dapat
dicegah.
Disfagia merupakan faktor risiko utama terjadinya malnutrisi pada pasien stroke.
Selain disfagia, faktor yang berkontribusi terhadap asupan gizi yang buruk berupa tingkat
kesadaran yang menurun, oral hygine yang buruk, depresi pasca stroke yang dapat
mengurangi nafsu makan, mobilitas berkurang, dan kelemahan pada otot wajah dan lengan.
Asupan gizi yang diperlukan untuk pasien stroke dalam keadaan stabil dan memiliki
fungsi ginjal yang normal asupan protein harian sebesar > 1 g/ kg BB untuk mencapai rasio
karbohidrat/ protein < 2.5, dibutuhkan asupan energi sebesar ≥ 25 kkal/ kgBB untuk pasien
non obesitas untuk menjaga berat badannya, Pada pasien obesitas, kebutuhan energinya < 25
kkal / kg dan rasio karbohidrat / protein < 2.5
DAFTAR PUSTAKA
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 21
Aspek Nutrisi pada Stroke
1. Remig, Valentina. Medical Nutrition Therapy for Neurologic Disorders. In: Kathleen
Mahan, Sylvia Escott (editors). Krause’s Food and Nutrition Therapy, 12th ed.
Missouri : Saunders Elsevier ; 2008. p. 1067-1081
2. Huang CY. Nutition and Stroke. Department of Medicine, University of Hong Kong;
2007, 16 : 266-274. (Accessed on September 08 2012). Available at :
http://apjcn.nhri.org.tw/server/apjcn/volume16/vol16suppl.1/ChenYaHuang(266-
274).pdf
3. Corrigan M, Escuro A, Celestin J, Kirby D. Nutrition in the stroke patient. American
Society for Parenteral and Enteral Nurtrition; 2011, 26(3): 241 – 252. (Accessed on
September 08 2012). Available at: http://ncp.sagepub.com/content/26/3/242.full .
pdf+html
4. Wilkinson I, Lennox G. Essential Neurology, 4th ed. Massachusetts : Blackwell
Publishing Ltd ; 2005. p. 25 - 38
5. Bouziana SD, Tziomalos K. Malnutrion in Patients with Acute Stroke. Journal of
Nutrition and Metabolism; 2011, 10.1155: 1 – 7. (Accessed on September 08 2012).
Available at: http://www.hindawi.com/journals/jnume/2011/167898/
6. National stroke association – www.nihstrokescale.org/
7. Rofles R, Kathryn’pinna, Whitney Ellie. Understanding Normal and Clinical
Nutrition, 8th ed. USA: wadsworth ; 2009. p.664
Kepaniteraan Ilmu GiziFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraPeriode 03 – 14 September 2012 22
Top Related