ASPEK HUKUM PENYAKIT MENULAR
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah : Etika dan Hukum Kesehatan
Dosen Pengampu : Mardiyana S.KM, M.Kes
Oleh :
1. Endang Retnowati 6450406539 (Rombel 01) 2. Susaningtyas 6450406575 (Rombel 01) 3. Fajar Setyo Wardoyo 6450406587 (Rombel 03) 4. Taufik AP 6450406667 (Rombel 01) 5. Abdul Jalil 6450406610 (Rombel 01) 6. Moch. Maulidin Setiawan 6450406613 (Rombel 01) 7. Aprilia 6450407001 (Rombel 01) 8. Nirmala Dewi 6450407004 (Rombel 01) 9. Taufiq Priyo Utomo 6450407006 (Rombel 01) 10. Listia Febriana 6450407007 (Rombel 01) 11. David Laksamana Caesar 6450407009 (Rombel 01) 12. Diana Maryani R 6450407010 (Rombel 01) 13. Mei Sugi Rahmawati 6450407011 (Rombel 01) 14. Naely R Z 6450407012 (Rombel 01) 15. Widhyaningrum M P 6450407013 (Rombel 01) 16. I Gede Yudha 6450407014 (Rombel 01) 17. Febriana Eliastuti 6450407016 (Rombel 01) 18. Martalia Ayu 6450407018 (Rombel 01) 19. Etti Sugiasih 6450407019 (Rombel 01) 20. Lidya 6450407023 (Rombel 01) 21. Nurlaela Lutfiana 6450407024 (Rombel 01) 22. Shita Ningrum 6450407026 (Rombel 01)
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk mencerdaskan kehidupan dan melindungi segenap bangsa, adalah merupakan
kewajiban dari negara kita, seperti yang diamanatkan dalam alinea ke empat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini mencerdaskan bukan berarti menyangkut soal
pendidikan saja, melainkan melindungi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung
yang berkenaan dengan kesehatan. Kesehatan merupakan salah satu sektor utama yang
mempengaruhi tingkat kecerdasan, sekaligus gambaran kualitas kenyamanan masyarakat
terhadap serangan penyakit.
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia,
disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak
mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular
memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar propinsi, Kabupaten/kota bahkan antar
negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare,
malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan
dan penyakit lainnya.
Di lain pihak, dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi saat ini menimbulkan
berbagai penemuan baru dari penyakit-penyakit menular yang semakin bertambah dan sulit
diatasi pengobatannya, misalnya HIVAIDS, SARS, Flu Burung dan lain-lain. Demikian juga
dalam aspek perundang-undangan terjadi perubahan-perubahan seperti undang-undang
otonomi daerah, undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang narkotika dan
psikotropika, akan mempengaruhi sistem dan kebijakan pengumpulan, pengolahan, analisis
penyajian dan pelaporan kasus-kasus penyakit menular.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja menjadikan kehidupan
umat manusia semakin mudah, semakin maju, tetapi nampaknya umat manusia juga
diharapkan kepada tantangantantangan atau peringatan-peringatan baru di bidang kesehatan,
dimana pada kurun waktu tertentu akan ada jenis penyakit baru yang muncul. Dari aspek
tinjauan religi mungkin hal itu merupakan peringatan bagi umat manusia bahwa di atas
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang telah dicapai, masih akan ada hal
baru yang belum diketahui.
Mengingat seriusnya dampak yang ditimbulkan dari kejadian luar biasa dan wabah
akibat penyakit menular, sehingga perlu diambil langkahlangkah perlindungan bagi
masyarakat. Perlindungan dimaksud dapat meliputi perlindungan terhadap masyarakat umum,
aparat kesehatan, korban dan pelapor. Untuk itu perlu dilihat peraturan perundangundangan
yang komprehensip di bidang penanganan wabah penyakit.
Untuk itu perlu dilihat peraturan perundang-undangan yang sudah ada, mencermati
kenyataan yang sedang ada saat ini dan mengantisipasinya. Melihat uraian di atas untuk ke
depan apakah diperlukan membuat undang-undang yang baru atau tidak, hendaknya perlu
membahas peraturan perundang-undangan yang sudah ada tentang penyakit menular.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Penyakit Menular
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit
menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan
penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar propinsi,
Kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi
masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza,
tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya.
Strategi pengendalian penyakit menular secara umum pada dasarnya sama,
yakni menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari kasus
secara proaktif, kemudian melakukan pengobatan hingga sembuh. Intervensi faktor
resiko, misalnya lingkungan dan intervensi terhadap perilaku. Manajemen
pemberantasan dan pengendalian penyakit menular juga memiliki dua perspektif:
a. Epidemiologi global yakni perjalan penyakit antar benua.
b. Epidemiologi lokal yang intinya dinamika tranmisi penyakit tertentu pada
wilayah tertentu.
Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi,
merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakan
kawasan yang berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru. Beberapa
penyakit infeksi baru (ketika itu) dan kini endemik adalah demam berdarah dengue
(pertama kali tahun 1968 di Surabaya), virus hantaan (1977) dijumpai pada tikus
diberbagai pelabuhan, kini diberbagai kota pelabuhan, HIV/AIDS (pertama kali di
Denpasar 1987) kini merambah ke Indonesia. Penyakit lain merupakan penyakit
infeksi endemik dan sudah lama di Indonesia dan endemik di berbagai kabupaten
(daerah pegunungan maupun pantai) yaitu TBC dan Malaria.
Masing-masing penyakit memiliki peta endemisitas tersendiri. Tiap tahun
diselenggarakan pertemuan nasional semacam konvensi untuk melakukan monitoring
kemajuan program serta perkuatan dari networking, yakni apa yang dikenal sebagai
Sistem Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Semua
institusi pelayanan seperti kuratif penyakit menular maupun pelayanan kesehatan
masyarakat, pemerintah, swasta, orgfanisasi nonpemerintah, partner nonkesehatan,
bergabung menjadi satu sistem.
B. Surveilans Epidemiologi
Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya
sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian seperti itu
menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi epidemiologi sebagai
bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans epidemiologi. Menurut
WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi
data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu
definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian
epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah
kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur
penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintehrasi antara unit-unit
penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian,
pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans
epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.
C. Penanggulangan Penyakit Menular
Penanggulangan penyakit menular merupakan bagian dari pelaksanaan
pembangunan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan penyakit menular, harus
dilakukan secara terpadu dengan upaya kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu penanggulangan wabah
harus dilakukan secara dini. Penanggulangan secara dini dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit wabah yang dapat
menjurus terjadinya wabah yang dapat mengakibatkan malapetaka.
Wabah penyebaran penyakit dapat berlangsung secara cepat, baik melalui
perpindahan, maupun kontak hubungan langsung atau karena jenis dan sifat dari
kuman penyebab penyakit wabah itu sendiri. Kondisi lain yang dapat menimbulkan
penyakit menular adalah akibat kondisi masyarakat dari suatu wilayah tertentu yang
kurang mendukung antara lain kesehatan lingkungan yang kurang baik atau gizi
masyarakat yang belum baik.
Penanggulangan wabah penyakit menular bukan hanya semata menjadi
wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan, tetapi menjadi tanggung
jawab bersama. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penanggulangannya memerlukan
keterkaitan dan kerjasama dari berbagai lintas sektor Pemerintah dan masyarakat.
Berbagai lintas sektor Pemerintah misalnya Departemen Pertahanan Keamanan,
Departemen Komunikasi dan Informasi, Depatemen Sosial, Departemen Keuangan
dan Departemen Dalam Negeri. Keterkaitan sektor-sektor dalam upaya
penanggulangan wabah tersebut sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung
jawabnya dalam upaya penanggulangan wabah. Selain itu dalam upaya
penanggulangan wabah tersebut, masyarakat juga dapat diikutsertakan dalam
penanggulangannya, yang keseluruhannya harus dilaksanakan secara terpadu.
Penanggulangan wabah/KLB penyakit menular diatur dalam UU No. 4 tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular, PP No. 40 tahun 1991 tentang
Penanggulangan Penyakit Menular, Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tentang
Jenis Penyakit Tertentu Yang dapat Menimbulkan Wabah. Pada tahun 2000,
Indonesia menerapkan secara penuh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, yamg kemudian diikuti dengan terbitnya PP No. 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penanggulangan KLB.
Undang-undang tersebut kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
BAB III
PRODUK HUKUM
YANG TERKAIT PENYAKIT MENULAR
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular
a. Mengatur beberapa pengertian, seperti wabah penyakit menular dan sumber
penyakit.
b. Maksud undang-undang wabah adalah melindungi penduduk dari malapetaka
yang disebabkan oleh wabah sedini mungkin.
c. Mengatur jenis-jenis penyakit yang dapat menimbulkan wabah, menetapkan
daerah wabah, dan upaya penanggulangan wabah.
d. Mengatur hak dan kewajiban masyarakat, petugas, dan pemerintah yang berkaitan
dengan penanggulangan wabah.
e. Mengatur ketentuan pidana yang ditujukan terhadap usaha menghalangi
penanggulangan wabah, karena kealpaannya mengakibatkan wabah, secara
sengaja atau kelalaian mengelola tidak benar bahan-bahan yang mengakibatkan
wabah.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1962, LN No. 2, TLN No. 2373 Tentang Karantina
Laut
a. Undang-Undang ini bertujuan menolak dan mencegah masuk dan keluarnya
penyakit karantina dengan kapal. Penyakit Karantina antara lain adalah Pes,
Kolera, Demam Kuning, Cacar, Tipus Bercak Wabah. Menteri Kesehatan
menetapkan dan mencabut penetapan suatu pelabuhan dan/atau daerah wilayah
Indonesia dan luar negeri terjangkit penyakit Karantina. Terhadap penyakit
Karantina, kapal digolongkan dalam kapal sehat, kapal terjangkit, kapal tersangka.
Demikian juga pelabuhan digolongkan pelabuhan karantina kelas I, kelas II atau
pelabuhan bukan pelabuhan Karantina. Tiap kapal yang datang dari luar negeri,
pelabuhan yang terjangkit penyakit karantina, berada dalam karantina, Nakhoda
dilarang menaikkan atau menurunkan penumpang, barang, tanaman, dan hewan
sebelum memperoleh surat izin karantina. Tindakan khusus terhadap penyakit
karantina ini dilakukan oleh dokter pelabuhan. Pengenaan pidana bagi setiap
orang yang melanggar ketentuan dalam undang-undang ini.
3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1962, LN No. 3, TLN No. 2374 Tentang Karantina
Udara
a. Menteri Kesehatan menetapkan dan mencabut suatu pelabuhan udara dan/atau
wilayah Indonesia dan luar negeri terjangkit penyakit Karantina. Terhadap
penyakit karantina, pesawat udara, digolongkan dalam pesawat udara sehat,
pesawat udara terjangkit, pesawat udara tersangka. Penyakit karantina dalam
undang-undang ini antara lain meliputi pes, kolera, demam kuning, demam balik-
balik, tipus bercak wabah. Pesawat udara yang datang dari luar negeri pelabuhan
dalam negeri yang terjangkit wabah, berada dalam karantina. Nakhoda dilarang
menurunkan atau menaikkan orang, barang, hewan, tanaman dan lain-lain
sebelum mendapat izin karantina. Dokter pelabuhan berhak memeriksa dan
mencegah orang, hewan, barang, tanaman yang terjangkit atau tersangka karantina
untuk berangkat atau dibawa pesawat. Pengenaan pidana bagi setiap orang yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 Tahun 1989 Tentang Jenis Penyakit
Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian Laporannya Dan
Tata Cara Penanggulangan Seperlunya Dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini diatur
jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah, seperti Kolera, Pes,
Campak, Rabies, Influenza, Antrax, Pemnyakit-penyakit lain yang dapat
menimbulkan wabah, akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
a. Laporan adanya penderita atau tersangka penderita yang disebut laporan
kewaspadaan, terdiri dari nama, golongan darah, tempat kejadian, waktu kejadian,
jumlah yang sakit atau meninggal. Laporan tersebut dapat disampaikan oleh orang
tua, penderita, Ketua RT/RW, Dokter atau Petugas Kesehatan yang lain, Kepala
Stasiun, Nakhoda, Kepala Lurah atau Kepala Desa atau Unit Kesehatan terdekat,
yang kemudian diteruskan kepada Puskesmas. Kepala Puskesmas segera
melaksanakan penyelidikan epidemiologi bersamaan dengan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa. Tindakan lebih lanjut disesuaikan dengan hasil penyelidikan
epidemiologi.
5. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular
a. Mengatur beberapa pengertian, seperti wabah penyakit menular, daerah wabah,
upaya penanggulangan, kejadian luar biasa.
b. Penetapan dan pencabutan daerah tertentu di wilayah Indonesia yang terjangkit
wabah sebagai daerah wabah oleh Menteri. Penetapan dan pencabutan daerah
wabah didasarkan pertimbangan epidemiologis dan keadaan masyarakat.
c. Upaya penanggulangan wabah meliputi tindakan penyelidikan epidemiologis,
pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan
karantina, pencegahan dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit,
penanganan jenazah, penyuluhan dan upaya-upaya lain.
d. Peran serta masyarakat dalam penanggulangan wabah, seperti memberikan
informasi adanya penderita atau tersangka penderita penyakit wabah, membantu
kelancaran penanggulangan wabah, menggerakkan motivasi masyarakat dalam
upaya penanggulangan wabah.
e. Pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyakit, meliputi pemasukan,
penyimpanan, penggunaan, pengangkutan, penelitian, dan pemusnahan.
f. Ganti rugi dan penghargaan, pembiayaan dan pelaporan penanggulangan wabah.
g. Ketentuan pidana yang merujuk pada undang-undang wabah.
6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Di dalam Undang-
Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, pengaturan yang berkaitan
dengan wabah dapat dilihat dari ketentuan yang menyebutkan:
a. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan
yang optimal.
b. Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungan.
c. Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan.
d. Pemerintah bertanggungjawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
e. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehalibitatif).
f. Penyelenggaraan upaya kesehatan, antara lain dilaksanakan melaui kegiatan
pemberantasan penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular.
g. Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan,
penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dari perantara penyakit,
tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.
h. Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit
karantina dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
a. Surveilans epidemiologi kesehatan meliputi surveilans epidemiologi penyakit
menular, penyakit tidak menular, kesehatan lingkungan dan perilaku, masalah
kesehatan, dan kesehatan matra.
b. Tujuan surveilans epidemiologi adalah tersedianya data dan infromasi
epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan.
c. Mekanisme kerja surveilans epidemiologi kesehatan meliputi identifikasi kasus,
perekaman, pelaporan dan pengolahan data, analisis dan interpretasi data, studi
epidemiologi, penyebaran informasi, membuat rekomendasi dan alternatif tindak
lanjut, umpan balik.
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1479/Menkes/SK/X/2003 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
a. Diatur beberapa pengertian, seperti surveilans atau surveilans epidemiologi,
surveilans epidemiologi rutin terpadu, surveilans terpadu penyakit, unit surveilans,
jejaring surveilans epidemiologi.
b. Penyelenggaraan surveilans terpadu penyakit meliputi surveilans penyakit
bersumber data Puskesmas, data Rumah Sakit, data Laboratorium, data KLB
penyakit dan keracunan, data PuskesmansSentinal, data Rumah Sakit Sentinal.
c. Strategi surveilans epidemiologi penyakit, antara lain meliputi peningkatan
advokasi pengembangan kelompok kerja surveilans epidemiologi, pengembangan
SDM, surveilans epidemiologi, peningkatan suatu data dan informasi
epidemiologi, peningkatan jejaring surveilans epidemiologi, peningkatan
pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia yang terintegrasi dan
interaktif.
9. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
a. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, dan agama yang tetap menjadi urusan pemerintah
pusat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
tersebut, dilaksanakan oleh daerah berdasarkan asas otonomi seluas-luasnya dan
tugas pembantuan.
10. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah
a. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan Pemerintah Pusat yang
dilaksanakan oleh Gubernur dalam rangka pelaksanaan didanai APBN.
Penyelenggaraan urusan Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Gubernur
dalam rangka tugas pembantuan didanai APBN. Pelimpahan kewenangan dalam
rangka pelaksanaan dokonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan
tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah diikuti
pemberian dana. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Khusus, dan lain-lain pendapatan.
11. Undang-undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
a. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain;
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan.
b. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma
hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan
lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan
lingkungan hidup.
c. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
d. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan. Untuk menjamin
pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang
melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
e. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan
penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
f. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan
penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
g. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.
h. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan
limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
12. Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
a. Bab I ketentuan umum
b. Bab ii asas dan tujuan
c. Bab III hak dan kewajiban
d. Bab 4
e. Bab 5 upaya kesehatan
f. Bab 6 sumber daya bidang kesehatan
g. Bab7 kesehatan ibu, anak,remaja,lansia, dan penyandang cacat
h. Bab8 gizi
i. Bab9 kesehatan jiwa
j. Bab 10 penyakit menular dan tidak menular
k. Bab11 kesehatan lingkungan
l. Bab12 kesehatan kerja
m. Bab13 pengelolaan kesehatan
n. Bab 14 informasi kesehatan
o. Bab 15 pembiayaan kesehatan
p. Bab 16 peran serta masyarakat
q. Bab 17 badan pertimbangan kesehatan
r. Bab18 pembinaan dan pengawasan
s. Bab19 penyidikan
t. Bab20 penentuan pidana
u. Bab 21 ketentuan
v. Bab22 penutup
w. Secara umum UU no 36 tahun 2009 ada 22 bab dan 205 pasal.
BAB III
KAJIAN WABAH PENYAKIT MENULAR
A. Analisis Wabah Penyakit Menular
Wabah memberikan dampak baik dalam aspek social maupun ekonomi. Selain
hilangnya produktifitas, penderita juga membutuhkan pengobatan, dan bila terjadi
banyak kematian akan menimbulkan kepanikan di masyarakat. Wabah juga
berdampak dengan menurunnya devisa dari industri pariwisata (hotel, transportasi,
makanan, cenderamata, dll) maupun export barang niaga ke luar negeri. Menurut
Bloom, Dekan School of Public Health Harvard University, jumlah wisatawan ke
RRC turun 40% akibat adanya wabah SARS sehingga mengurangi pendapatan negara
sampai 27 miliar dolar Amerika, pesanan tiket pesawat di Hongkong turun 85%,
tingkat hunian hotel di Asia menurun 25%, dan wisatawan ke Singapura menurun
61%. Dampak ini yang kemudian mengakibatkan keraguan pemerintah dalam
menetapkan status wabah. Untuk menghindarkan dampak tersebut, digunakan istilah
lain, yaitu Kejadian Luar Biasa (KLB, unusual event) dan letusan (outbreak). KLB ini
diwaspadai dengan sistim kewaspadaan dini yang diatur dalam PP Menkes No
949/MENKES/SK/VIII/2004, yang meskipun istilah dan pengaturan tugas dan
wewenangnya untuk masing-masing tingkat pemerintahan, sudah disesuaikan dengan
kondisi saat ini, namun masih mempunyai beberapa kekurangan, antara lain dalam hal
penentuan status KLB, pendanaan, kerjasama lintas sektor dlsb.
Penanggulangan akan diikuti upaya pencegahan agar wabah tidak terjadi lagi
dengan mengaktifkan sistim yang sudah ada agar bisa berfungsi lebih baik lagi di
masa depan. Sayangnya sistim yang ada mungkin belum dapat menampung semua
yang dibutuhkan. Contohnya, dalam wabah flu burung yang saat ini terjadi, sistim
yang ada tidak cukup efektif untuk melokalisir maupun memberikan peringatan dini
tentang wilayah yang akan terjangkit. Kejadian semacam ini kemungkinan besar akan
sering terjadi dengan timbulnya penyakit-penyakit baru, terutama yang epidemiologi,
patofisiologi dan riwayat alamiahnya belum diketahui dengan jelas. Selain itu,
beberapa penyakit zoonosis, yang dapat ditularkan dari manusia ke hewan dan
sebaliknya, misalnya rabies, penyakit sapi gila, pes, penyakit demam kuning dll,
menimbulkan wabah pada manusia setelah lebih dulu terjadi pada hewan yang
menjadi inangnya. Dengan sendirinya, surveilansnya membutuhkan kerjasama lintas
sektor sehingga SKD dapat bermanfaat untuk menghindarkan korban yang lebih
besar. Pengalaman SARS di Vietnam membuktikan bahwa tindakan yang cepat dapat
memperkecil dampak wabah, diperkuat oleh bukti dari RRC yang sampai sekarang
belum berhasil menanggulangi SARS dengan tuntas akibat keterlambatan
penangulangannya. Sistim SKD ini harus dibangun dan difungsikan secara optimal
sehingga dapat memberikan peluang untuk penangkalan wabah yang berpotensi
menyerang.
Otonomi daerah memberikan kewenangan yang besar terhadap
kabupaten/kota. Upaya pencegahan dan penanggulangan wabah tidak bisa lagi
bertumpu pada kemampuan pemerintah pusat semata. Karena dalam era otonomi
daerah terdapat keterbatasan pemerintah pusat maupun propinsi untuk langsung
mengatasi masalah penyakit menular. Sehingga pemerintah daerah tingkat
kabupaten/kota harus mendapat peran yang cukup. Meskipun SDM yang tersedia di
tingkat kabupaten/kota mungkin sangat terbatas, baik dari segi kuantitas maupun
kualitas, tetapi mungkin memiliki sumber daya lain termasuk keuangan/dana yang
melimpah.
Dengan demikian adalah penting untuk secara jelas ditentukan kewajiban dan
kewenangan yang menjadi tugas pusat, serta dengan jelas mencantumkan kewajiban
dan kewenangan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota. Upaya kesehatan
termasuk promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Penanggulangan dan
pencegahan wabah harus memperhatikan keempat upaya tersebut. Peranan
pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota juga harus berbagi dalam keempat upaya
ini. Penanggulangan wabah harus menekankan pada upaya promotif dan preventif
sebagai pengejawantahan dari paradigma sehat. Mencegah lebih baik dari pada
mengobati selain tentunya lebih murah.
Tetapi pengeluaran yang tinggi dalam upaya promotif dan preventif sering
sulit dipahami. Berbeda dengan penanggulangan yang bersifat kuratif biasanya lebih
mudah diterima karena efeknya langsung dan mudah dilihat. Sehingga upaya promotif
dan preventif ini terbangun dalam sistim yang ada, maupun dalam undang-undang
yang akan dibuat.
B. Evaluasi Produk Hukum Wabah Penyakit Menular
Dengan mempelajari secara menyeluruh terhadap produk hukum yang ada
tampak adanya beberapa kesenjangan dari UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah
dengan kondisi yang ada saat ini yang timbul oleh karena perkembangan perundang-
undangan (OTDA) dan hubungan antar daerah serta dinamika masyarakat pasca
reformasi, antara lain:
1. Perkembangan penyakit
Wabah dapat terjadi akibat penyakit menular saja, tetapi juga penyakit
tak menular termasuk keracunan makanan dan bahan kimia, adanya
emerging dan re-emerging diseases
Faktor lingkungan yang berubah serta adanya perkembangan sektor
baru.
2. OTDA menuntut peran dan tanggung jawab yang jelas dari masingmasing
tingkat pemerintahan, pusat, propinsi, dan kabupaten/kota serta swasta dan
masyarakat umum lainnya. Kondisi daerah yang berbeda kemampuannya
dalam menanggulangi kejadian wabah yang bisa sebagai akibat berbeda
kemampuan daerah karena dana, SDM dlsb.
3. Adanya kondisi wabah lintas batas negara, propinsi, kabupaten/kota Masalah
lintas batas, dimana masalah . Penyakit menular tidak mengenal batas wilayah
administrasi pemerintahan, namun dalam penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintah ternyata sistim administrasi pemerintahan kita harus mengikuti
sistim wilayah pemerintahan. Hal ini kurang menguntungkan dari sisi
keberhasilan masalah kesehatan, karena penyelesaian masalah kesehatan
dengan pendekatan wilayah administrasi pemerintahan tersebut menjadi tidak
optimal. Perlunya kerjasama lintas batas negara, propinsi, kabupaten/kota.
Daerah perbatasan sering tidak ada yang memperhatikan, karena sering terjadi
pihak-pihak yang terkait menjadi saling mengandalkan, sehingga daerah
tersebut akhirnya tidak ada yang memperhatikan. Untuk membangun
kerjasama MoU antar daerah prosesnya tidak mudah, karena di beberapa
daerah prosedur untuk itu memerlukan persetujuan dari berbagai pihak yang
kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup lama. Oleh karena
penanggulangan wabah merupakan tindakan emergensi, maka hal ini harus
mendapatkan perhatian khusus.
4. Adanya daerah istimewa.
5. Dampak sosial dan ekonomi yang timbul dengan timbulnya wabah.
6. Kep Menkes No 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistim Surveilans Epidemiologi Kesehatan mencantumkan
dalam sasaran penyelenggaraan sistim surveilans adanya prioritas surveilans
kesehatan pelabuhan dan lintas batas perbatasan sebagai bagian dari
Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra. Sejauh ini hal mengenai
pembahasan lintas batas ini baru diterjemahkan secara terbatas oleh beberapa
propinsi sehingga perlu rujukan dan regulasi yang berlaku secara nasional.
7. Permenkes No. 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistim Kewaspadaan Dini KLB telah mencantumkan dengan jelas istilah
wabah dan KLB. Dalam penyelenggaraan SKD-KLB maka:
Pengorganisasian SKD-KLB wajib dilakukan oleh Depkes, Propinsi,
Kabupaten/Kota dan UPT kesehatan dengan membentuk unit
pelaksana yang bersifat nasional atau struktural (hal 6)
Kegiatan SKD-KLB telah merinci Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah tertentu dibuat
untuk jangka pendek dan disampaikan kepada semua yang terkait di
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, Depkes, sektor terkait dan
anggota masyarakat (hal 6 7)
Peran Unit SKD-KLB dan Mekanisme Kerja telah merinci peran
Depkes, Dinas Kesehatan Propinsi, Kabupaten/Kota, termasuk dalam
hal menyampaikan Peringatan Kewaspadaan Dini KLB (hal 12 dst).
Tetapi belum secara jelas mencantumkan kewenangan atau tanggung
jawab siapa untuk menyatakan suatu keadaan sudah KLB termasuk
bila KLB terjadi lintas batas, serta akibat-akibat apa yang timbul dari
pernyataan tersebut. Apakah ada konsekuensi wilayah yang tidak mau
menyatakan adanya KLB? Evaluasi/analisis lebih lanjut kesenjangan
tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi pandang yang secara garis besar
adalah sebagai berikut:
BAB IV
DESNTRALISASI KESEHATAN DAN PELAKSANAAN PEMBERANTASAN
PENYAKIT MENULAR
A. Kewenanangan Daerah dan Standar pelayanan Minimum
Kebijakan desentralisasi mulai diterapkan pemerintah sejak Januari 2001 yang
memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah kabupaten/kota untuk
mengatur sendiri rumah tangganya. Kewenangan ini disebut otonomi. Sebagai
konsekuensi dari kebijakan desentralisasi ini, dinas kesehatan kabupaten/kota (DKK)
harus merumuskan masalah kesehatan prioritas di wilayahnya.
Sejak diberlakukannya paket UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan No. 25
tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004) telah
terjadi perubahan pembagian fungsi antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan SK Menkes RI No. 1147
tahun 2000, maka tugas Depkes Pusat adalah menyusun kebijakan nasional, pedoman,
standar, petunjuk teknis, fasilitasi dan bantuan teknis kepada daerah, sementara
fungsi-fungsi yang bersifat operasional sudah harus diserahkan kepada daerah
(propinsi dan kabupaten/kota). Penerapan UU tersebut, khususnya di bidang
kesehatan belum disikapi dengan utuh, sehingga terkesan tidak tuntas dalam
bertindak. Ini disebabkan adanya kegamangan dalam peran dan tanggungjawab di
masing-masing jenjang ataupun instansi di pemerintahan.
Selanjutnya pasal 12 UU No. 32/2004 menyatakan bahwa fungsi yang telah
dilimpahkan kepada daerah tersebut termasuk tanggung jawab daerah untuk
menyediakan sumberdaya yang diperlukan, termasuk pembiayaan, sarana dan
ketenagaan yang diperlukan untuk melaksanakan standar pelayanan minimum (SPM).
Untuk itu daerah wajib menyediakan pelayanan dasar yang dianggap esensial bagi
kesejahteraan penduduk, termasuk di bidang kesehatan.
B. Pelaksanaan pemberntasan Penyakit Menular dalam Desentralisasi Kesehatan
Dalam kaitan Pelaksaanaan Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
pada era desentralisasi, maka penyakit menular haruslah menjadi bagian dari masalah
kesehatan prioritas. Oleh karena dengan pernyataan penyakit menular merupakan
masalah kesehatan prioritas yang ditetapkan, maka ia akan mendapatkan alokasi
anggaran. Persoalan yang akan dihadapi adalah adanya kemungkinan penyakit
menular tidak dinyatakan sebagai masalah kesehatan prioritas, sehingga tidak
mendapatkan alokasi anggaran yang mencukupi atau bahkan tidak mendapatkan
alokasi sama sekali. Padahal beberapa penyakit menular merupakan masalah global,
sesuai dengan sifatnya. Oleh karena itu, perlu ditangani secara global (sebagai
komitmen politik). Artinya, pengendalian penyakit menular senantiasa harus
dilakukan, tidak tergantung apakah penyakit menular tersebut termasuk kedalam
masalah kesehatan prioritas yang ditetapkan. Selain itu, penyakit menular dapat
terjangkit di suatu kawasan yang melintasi wilayah batas-batas wilayah administrasi,
sehingga pengendalian penyakit menular tidak mungkin dilakukan tanpa kerja sama
antarwilayah.
1. Penganggaran dan Perencanaan Program Pemberantasan Penyakit Menular
Besar anggaran kesehatan di tingkat daerah dalam era desentralisasi
tampaknya semakin bervariasi. Kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang besar cenderung menjamin tersedianya anggaran kesehatan yang
cukup besar pula.
2. Proses Perencanaan dan Advokasi
Proses perencanaan dalam sektor kesehatan memerlukan dukungan data
epidemiologis, ekonomi dan politis
3. Pemberantasan Penyakit Menular secara Lintas Batas
Sesuai dengan sifatnya, kejadian penyakit menular tidak akan mengenal batas-
batas wilayah administratif207. Oleh karena itu, kejadian penyakit menular
cenderung terjadi di wilayah epidemiologi, yang memiliki ekosistem yang hampir
sama. Ekosistem yang sama amat diperlukan bagi transmisi/penularan penyakit
yang terjadi melalui perantaraan vektor
4. Surveilans Epidemiologi (Penyakit Menular)
Kegiatan Program P2M memerlukan sistem informasi yang secara terus-
menerus dapat memberikan informasi atau peringatan dini mengenai adanya
peningkatan kejadian penyakit menular, sehingga tindakan segera untuk
mencegah peningkatan jumlah kasus penyakit menular dapat dilakukan secara
dini. Sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi dirasakan adanya gangguan
fungsi sistem surveilans. Gangguan yang dimaksud adalah terputusnya
sambungan dalam mata rantai penyampaian data dan infomasi. Meskipun tidak
terputus, yang sering dijumpai adalah keterlambatan dalam penyampaian
data/laporan kejadian penyakit. Mata rantai yang terputus tersebut adalah antara
dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, antara rumah sakit
umum dan swasta dengan dinas kesehatan kabupaten/kota, serta antara puskesmas
dengan dinkes kabupaten/kota. Tentu, perlu pula dinyatakan masih belum
terlibatnya pelayanan kesehatan swasta (utamanya praktik dokter, poliklinik dsb.)
dalam sistem surveilans ini.
Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan terjadinya
gangguan pelaksanaan surveilans epidemiologi ini adalah halhal berikut.
Melemahnya hubungan vertikal dari pusat, dalam hal ini Depkes RI. Ditjen PPM
PL, dinas kesehatan provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten/kota. Melemahnya
hubungan vertikal ini merupakan keadaan yang tidak dapat dielakkan dari
penerapan kebijakan desentralisasi. Pemerintah pusat tidak lagi dapat sepenuhnya
mengendalikan jajaran pemerintahan dibawahnya, termasuk memberikan
kewajiban untuk secara berkala menyampaikan laporan. Hal yang sama juga
terjadi antara pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota.
BAB V
KAJIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR
(STUDI KASUS DBD)
A. Kebijakan Penanggulangan DBD
Departemen Kesehatan telah melewati pengalaman yang cukup panjang dalam
penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD
adalah pemberantasan nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi
diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke Tempat Penampungan
Air (TPA). Kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah
wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus
dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD
ialah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dilaksanakan oleh
masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu sekali.
Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1)
peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadap
penyakit DBD, (2) meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap
penyakit DBD, (3) meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program
pemberantasan DBD, dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas program.
B. Kendala Penanggulangan DBD
Kendala penting yang masih terjadi saat ini adalah kurang atau tidak adanya
koordinasi dari instansi-instansi yang seharusnya terkait dalam menangani DBD
sehingga menimbulkan masalah tersendiri di lapangan. Penanganan DBD tidak
semata-mata tugas Dinas Kesehatan, melainkan juga terkait dengan instansi lainnya.
Instansi-instansi yang mengatur tata kota dan permukiman, kebersihan dan
lingkungan hidup, bahkan Dinas Pendidikan, serta instansi penyedia sarana air bersih
(PDAM) juga harus ikut pula berpartisipasi. Sebagai contoh, selama PDAM belum
mampu menyediakan air bersih untuk seluruh penduduk, maka penduduk masih
terpaksa menyiapkan bak mandi dan tandon-tandon air (yang dapat menjadi sarang
nyamuk) untuk menampung air yang sering hanya menetes bahkan mampet. Karena
itu, sarang-sarang nyamuk Aides akan tetap ada di sepanjang tahun, baik di musim
penghujan maupun di musim kemarau. Dengan demikian, populasi nyamuk Aides
dewasa yang mempunyai potensi menyebarkan virus dengue juga akan selalu
dijumpai dan menjadi sumber penularan di sepanjang tahun.
Kebijakan desentralisasi juga berpengaruh terhadap koordinasi antara pusat
dan daerah dalam kewenangan penanganan DBD. Kebijakan tersebut terkait dengan
anggaran kesehatan untuk pencegahan serta pemberantasan penyakit menular, yang
memang membutuhkan biaya sangat tinggi. Dengan adanya kewenangan penanganan
yang didaerahkan terkadang menyulitkan dalam koordinasi penganggaran. Pihak
daerah seringkali kewalahan dalam penyediaan biaya operasional penanganan
penyakit karena keterbatasan sumberdaya, baik dana maupun tenaga. Disisi lain
adanya desentralisasi sumberdaya yang dimiliki, pemerintah pusat mengalami kendala
dalam pendistribusiannya ke daerah. Hal ini menjadi faktor penghambat praktek
penanganan kasus di lapangan
BAB VI
IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan, langkah tindak lanjut
yang diperlukan mencakup
1. Aspek Kelembagaan
Diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaan
Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan
kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan
rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam
rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif
dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai.
2. Aspek Pendanaan.
Perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan seperti
askeskin sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus
menjamin setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pola
pendanaan diharapkan dapat lebih fleksibel dan dimungkinkan untuk kebutuhan KLB
dalam bentuk multiyears fund.
3. Data dan Informasi
Perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan dengan
memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan. Keberadaan data dan
informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja
pembangunan kesehatan.
4. Aspek Ketenagaan.
Mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen para pelaksana
pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan.
Motivasi dan komitmen selain muncul atas kesadaran memerlukan dukungan
eksternal dalam bentuk insentif.
5. Aspek SOP.
Dibuat sesederhana mungkin agar memudahkan pelaksanaan opersional
tenaga lapangan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARANA
A. Kesimpulan
1. Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular
2. Produk Kesehatan yang berkaitan dengan penyakit menular
a. Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular
b. Undang-Undang No. 1 Tahun 1962, LN No. 2, TLN No. 2373 Tentang
Karantina Laut
c. Undang-Undang No. 2 Tahun 1962, LN No. 3, TLN No. 2374 Tentang
Karantina Udara
d. Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 Tahun 1989 Tentang Jenis Penyakit
Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah
e. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan
Wabah Penyakit Menular
f. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Di dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
g. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Kesehatan
h. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1479/Menkes/SK/X/2003 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit
Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
i. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
j. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah
k. Undang-undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
l. Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Desentralisasi selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif
yaitu menjadikan hubungan vertikal antar lembaga di atasnya menjadi berkurang
sehingga susah untuk mengadakan koordinasi.
4. Implikasi Kebijakan dan tindak lanjut adalah dengan Aspek Kelembagaan, Aspek
Pendanaan, Data dan Informasi, Aspek Ketenagaan, Aspek SOP
B. Saran
1. Perlu dilihat peraturan perundang-undangan yang sudah ada, mencermati
kenyataan yang sedang ada saat ini dan mengantisipasinya. apakah diperlukan
membuat undang-undang yang baru atau tidak, hendaknya perlu membahas
peraturan perundang-undangan yang sudah ada tentang penyakit menular
Top Related