perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Asri Dwi Utami
NIM. E 0008117
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
(STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO “dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui
selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai
daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuz)”. (QS. Al An’am: 59)
Aku adalah apa yang hambaku sangkakan, dan Aku akan selalu bersamanya
selama ia mengingat-Ku (Muttafaq’alaih)
“The greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time we
fall”. (Nelson Mandela)
Kebahagian sejati adalah setiap hal yang ada di kehidupan kita.. be Happy ^^
(Lee Teuk-ssi)
Dream..Try..Believe..And Will be Happen (penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
Orang Tua
Bangsa dan Tanah Air ku Indonesia. I LOVE INDONESIA !
Almamater, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Orang-orang yang mempunyai mimpi dan senantiasa berusaha meraihnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aturan hukum internasional mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas dengan menganalisa kasus Kapal Sinar Kudus MV. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, bersifat preskriptif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode analisis bahan hukum menggunakan metode deduktif dalam penalaran hukum.
Hasil penelitian mengenai penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan di laut lepas adalah bahwa telah terdapat aturan-aturan hukum internasional yang dapat dijadikan sebagai landasan. Aturan-aturan tersebut yaitu Convention on the High seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law Of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988) dan ketentuan yang diatur oleh organisasi internasional serta hukum yang berlaku di kawasan tertentu. Berdasarkan aturan hukum internasional tersebut seharusnya penyelesaian kasus perompakan Sinar Kudus MV dapat dilakukan dengan cara lain (tidak dengan pembayaran uang tebusan). Penyelesaian yang sesuai dengan aturan hukum internasional dapat dilakukan dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat pada kasus tersebut, yakni yurisdiksi Indonesia, yurisdiksi Somalia maupun yurisdiksi universal
Kata kunci : Perompakan, Sinar Kudus MV, Yurisdiksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
Asri Dwi Utami, E0008117. 2012. ANALYSIS OF PIRACY JURISDICTION ON THE HIGH SEAS BY INTERNATIONAL LAW (CASE STUDY ON THE SINAR KUDUS MV SHIP PIRACY). Faculty of Law Sebelas Maret University Surakarta.
This research aims to determine the international law rules concerning piracy on the high seas by analyzing the application of jurisdiction case on Sinar Kudus MV ship case. This research is a normative legal research with prescriptive characteristic. The approach researches are statute approach and cases approach. The law materials used by this research are primary, secondary and tertiary materials. For the analysis, it uses a deductive method.
The results of the research show that there has been international law rules which can be used as the basis for all states to apply their jurisdiction to the piracy cases. These rules are the Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), and the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988). Instead of these international rules, some codes and guidances concerning combating piracy are also concluded by international organizations. Based on these international rules, the Indonesian government has some alternatives to prosecute pirates, instead of ransom money payment. These alternatives are either employing Indonesian or Somalia jurisdiction; regional jurisdiction; and universal jurisdiction. Keywords : Piracy, Sinar Kudus MV, Jurisdiction.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
serta diiringi rasa syukur penulis panjatkan, penulisan hukum (skripsi) dengan
judul “ANALISIS YURISDIKSI PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT
LEPAS MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS
PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS MV)” dapat penulis selesaikan.
Penulisan hukum ini membahas mengenai
Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini,
sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan untuk memperkaya penulisan hukum ini. Dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Ibu Sri Lestari, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Bapak Sugeng Praptono, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan dan perhatian
kepada penulis.
4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I Skripsi yang telah
sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, dan motivasi demi
kemajuan Penulis.
5. Bapak Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II
Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat,
obrolan-obrolan bermanfaat dan motivasi demi kemajuan Penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan.
7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta terima kasih atas bantuannya.
8. Kementrian Luar Negeri khususnya Dinas 3 Polkamwil yang telah
memberikan Penulis banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak akan
pernah terlupakan.
9. Orang tua penulis, terimakasih atas cinta, doa dan pengorbanannya selama
ini hingga sampai detik ini penulis hanya dapat membalas dengan doa dan
hanya mampu berucap terimakasih lagi terimakasih.
10. Arum Setyowati dan Heri Kurnianto, terimakasih sudah memberikan
motivasi, doa dan bimbingan selama ini tanpa support dari kalian tidak
akan pernah penulis menjadi seperti ini.
11. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah
membantu dam mengisi hari-hari penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Surakarta,
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.................................................
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..
MOTTO…………………………………………………………………
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………...
ABSTRAK………………………………………………………………
KATA PENGANTAR………………………………………..................
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
DAFTAR TABEL….……………………………………………………
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………
A. Latar Belakang………..……………………………………..
B. Rumusan masalah…………………………………………...
C. Tujuan Penelitian……………………………………………
D. Manfaat Penelitian…………………………………………..
E. Metode Penelitian…………………………………………...
F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………..
A. Kerangka Teori………..…………………………………….
1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan
United Nations Convention on Law of the Sea
1982………………………………..................................
2. Tinjauan tentang yurisdiksi …………………….............
3. Tinjauan tentang jenis kapal laut………………………
4. Tinjauan tentang status kapal di laut lepas……………
5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut………………
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
xi
xiii
xiv
1
1
4
4
5
6
10
12
12
12
20
23
25
26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
30
32
32
32
34
42
49
49
90
101
102
109
B. Kerangka Pemikiran………..………………………………
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….
A. Hasil Penelitian……………………......................................
1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara
Somalia…………………………………………………..
2. Gambaran tentang perompakan Somalia………………..
3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV……….....
B. Pembahasan……………………............................................
1. Pengaturan perompakan di laut lepas menurut hukum
internasional…………………….....................................
2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal
Sinar Kudus MV ditinjau dari aspek hukum
internasional……………………………………………..
BAB IV. PENUTUP…………………………………………………….
A. Simpulan…………………………………………………….
B. Saran…………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
39
83
Tabel 1: Kapal yang dirompak di afrika tahun 2010-
2011……………………………………....................................
Tabel 2: Resume aturan hukum internasional mengenai
perompakan……………………………………........................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
12
30
34
36
39
42
Gambar 1: Gambar pembagian wilayah laut…………………………….
Gambar2: Skema Kerangka Pemikiran ………………………………...
Gambar3: Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia…………….....
Gambar4: Gambar perluasan wilayah perompakan……………..............
Gambar5: Gambar total perompakan di beberapa negara……….............
Gambar6: Gambar jalur perompakan……………………………............
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, hukum laut sebagai cabang dari
hukum internasional telah mengalami banyak perubahan. Hukum laut mengalami
suatu revolusi yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Hukum
laut merupakan salah satu pembahasan yang pertama kali dilakukan dalam
konferensi internasional, hukum laut diberikan ruang yang luas dalam
pembahasan di perjanjian multilateral (D.J Harris, 1998: 368). Pada abad
ketujuhbelas Portugis menyatakan laut lepas sebagai bagian dari laut teritorial
Portugis, namun klaim ini ditanggapi oleh Grotius yang mengelaborasikan nilai
doktrin laut lepas sebagai res communis yang berarti laut lepas merupakan milik
masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil/dimiliki oleh masing-masing
negara (Malcolm N Shaw, 2008: 553).
Konferensi internasional yang mengatur mengenai hukum laut telah di mulai
sejak tahun 1930 dengan adanya kodifikasi hukum internasional yang salah
satunya mengatur mengenai laut teritorial. Pada tahun 1958 diadakan lagi
konferensi internasional dan mengatur khusus mengenai hukum laut yang
menghasilkan 4 konvensi tentang hukum laut, yakni Konvensi atas Laut Teritorial
dan Zona Tambahan (Teritorial Sea and Contiquous Zone), Konvensi atas Laut
Bebas (The Convention on The High Seas), Konvensi atas Landasan Kontinental
(The Convention on The Continental Shelf), dan Konvensi atas Penangkapan Ikan
dan Konservasi Sumber Daya Hidup Laut Bebas (The Convention on Fishing and
Conservation of Living Resources of The High Seas) (Rebecca
M.M.Wallace,1993: 141).
Sejalan dengan adanya perkembangan jaman dan banyaknya bahaya di laut
maka diadakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke III atas hukum
laut. Pada tanggal 30 April 1982 konferensi tersebut telah ditandatangani oleh 119
negara, dan menghasilkan Konvensi Hukum Laut yang baru yaitu United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Pembahasan mengenai
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
hukum laut dilakukan karena dilatarbelakangi oleh fungsi laut yang merupakan
jalan raya yang menghubungkan suatu bangsa dengan bangsa yang lain ke seluruh
pelosok dunia untuk segala macam kegiatan (Boer Mauna, 2005: 304). Karena
fungsi tersebut, kejahatan sering terjadi di laut, hal ini disebabkan karena laut
dijadikan sebagai jalur transportasi yang sering digunakan untuk menghubungkan
antar negara.
Kejahatan yang sering terjadi di laut salah satunya adalah perompakan.
Perompakan sudah ada sejak zaman Illyrians tahun 233 SM. Pada saat itu,
kekaisaran Romawi telah melakukan upaya untuk melindungi pedagang Italia dan
Yunani dari kejahatan perompakan ketika berlayar di laut. Namun perompakan
tetap tidak berkurang, para perompak terus bertahan dan menyebar ke berbagai
lokasi di seluruh dunia (Sergei Oudman, http://www.e-ir.info/2010/02/24/piracy-
jure-gentium-international-law/).
Tindakan perompakan mengancam keamanan pelayaran, membahayakan
awak buah kapal dan keamanan dalam perdagangan. Tindakan kejahatan
perompakan ini dapat mengakibatkan hilangnya nyawa, kerusakan fisik kapal atau
penyanderaan awak buah kapal, gangguan untuk perdagangan dan navigasi,
kerugian keuangan untuk pemilik kapal, peningkatan premi asuransi dan biaya
keamanan, meningkatkan biaya bagi konsumen dan produsen, dan kerusakan pada
lingkungan laut. Serangan perompakan juga dapat memiliki konsekuensi yang
luas, termasuk mencegah bantuan kemanusiaan dan meningkatkan biaya
pengiriman masa depan ke daerah-daerah (division for ocean affairs and the law
of the sea, http://www.un.org/Depts/los/piracy/piracy.htm).
UNCLOS 1982 memberikan kerangka untuk menekan perompakan di
bawah hukum internasional, khususnya dalam Pasal 100-107. Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menegaskan bahwa hukum
internasional, sebagaimana tercermin dalam UNCLOS 1982, menetapkan
kerangka hukum yang berlaku untuk memerangi perompakan dan perampokan
bersenjata di laut (Resolusi Dewan Keamanan 1897 (2009), diadopsi pada tanggal
30 November 2009) (division for ocean affairs and the law of the sea,
http://www.un.org/Depts/los/piracy/piracy.htm). Perompakan juga merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
suatu tindak pidana yang berada diyurisdiksi semua negara di manapun tindakan
itu dilakukan, tindakan pidana itu merupakan bertentangan dengan kepentingan
masyarakat internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai kejahatan
pelanggaran atas prinsip jus cogens (J.G. Starke, 2009: 304).
Secara umum istilah perompakan atau perampokan bersenjata di laut tidak
dibedakan secara pasti dan jelas. Namun dalam pengertian yang ada di dalam
Pasal 101 UNCLOS 1982 perompakan di laut diartikan secara sederhana yang
terdiri dari salah satu di antara tindakan yang merupakan tindakan kekerasan atau
penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan
untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau
pesawat udara swasta, dan ditujukan di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat
udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat
udara dan atau terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu
tempat di luar yurisdiksi negara manapun. Serta, setiap tindakan turut serta secara
sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui
fakta bahwa kapal atau pesawat udara tersebut digunakan untuk merompak.
Setiap tahun kasus perompakan mengalami peningkatan, menurut laporan
tahunan International Maritime Organitation (IMO), perompakan yang terjadi di
laut lepas di dunia pada tahun 2009 terdapat 406 kasus dan semakin meningkat
hingga 20,4%, terdapat 489 kasus pada tahun 2010 (IMO, MSC.4/Circ.169
http://www.imo.org/KnowledgeCentre/ShipsAndShippingFactsAndFigures/Statist
icalresources/Piracy/Pages/Piracy-reports-(annual)-1996-2010.aspx).
Kasus yang terjadi pada tahun 2011 yakni perompakan Kapal Sinar Kudus
MV yang dirompak oleh perompak dari Somalia di 320 mil laut sebelah timur laut
Pulau Socotra sebanyak 20 awak kapal yang berwarganegara Indonesia dijadikan
disandera oleh perompak Somalia. (Deni Doris,
http://www.dmc.kemhan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id
=344%3Aperompakan-kapal-mv-sinar-kudus&Itemid=137). Upaya yang telah
dikerahkan dari pihak Indonesia untuk menyelesaikan kasus tersebut yakni
dengan melakukan negosiasi dengan pembayaran uang tebusan kepada para
perompak Somalia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Pembayaran uang tebusan dan negosiasi yang diterapkan untuk
menyelesaikan kasus perompakan Sinar Kudus MV sesungguhnya bukan menjadi
solusi satu-satunya yang dapat diterapkan, melainkan ada alternatif solusi lain
yakni dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat dalam kasus tersebut.
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam mengenai yurisdiksi yang melekat pada perompakan kapal
laut di laut lepas menurut hukum internasional dengan studi kasus perompakan
kapal Sinar Kudus MV tersebut dengan judul “ANALISIS YURISDIKSI
PEROMPAKAN KAPAL LAUT di LAUT LEPAS MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL (STUDI KASUS PEROMPAKAN KAPAL SINAR KUDUS
MV)”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aturan hukum internasional yang mengatur mengenai perompakan
di laut lepas?
2. Bagaimana penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus
MV ditinjau dari aspek hukum internasional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan
subjektif dan tujuan objektif. Dalam penelitian hukum ini mempunyai tujuan
objektif dan tujuan subjektif adalah:
1. Tujuan objektif
Tujuan objektif merupakan tujuan umum yang mendasari penulis dalam
melakukan penelitian. Dalam penelitian hukum ini tujuan objektifnya sebagai
berikut:
a. Untuk mendeskripsikan aturan-aturan hukum internasional dalam mengatur
perompakan di laut lepas;
b. Untuk mengkaji penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan terhadap
kapal Sinar Kudus MV yang ditinjau dari aspek hukum internasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Tujuan subjektif
Tujuan subjektif yaitu merupakan tujuan pribadi penulis yang mendasari
penulis dalam melakukan penelitian hukum. Dalam penelitian ini tujuan
subjektifnya sebagai berikut:
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu
hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum
Internasional, khususnya hukum laut di bidang perompakan;
b. Menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar kajian
tentang yurisdiksi perompakan di laut lepas ini memberikan manfaat bagi
penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang bernilai positif
karena berdasarkan alasan tersebutlah penulis melakukan penelitian ini. Adapun
manfaat yang diharapkan dari penulisan hukum ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian hukum ini, bertalian dengan
pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis penelitian hukum ini adalah
sebagai berikut :
a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya,
dan hukum Internasional pada khususnya;
b. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang aturan hukum perompakan kapal
laut menurut hukum internasional;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini berkaitan dengan pemecahan suatu
masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir sekaligus mengetahui kemampuan peniliti dalam
penerapan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada semua
pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang
diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana efektif dan memadai dalam upaya
mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya hukum laut
internasional.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).
Sesuai urgensi penelitian hukum untuk menghasilkan suatu argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah, maka
diperlukan metode penelitian sebagai rangkaian langkah untuk mencapai
preskripsi penelitian hukum. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah
sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan kajian
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Penelitian yang dikaji penulis seiring dengan definisi dari penelitian
hukum normatif, diteliti dan disusun secara sistematis dengan menggunakan
bahan pustaka, baik bahan hukum primer seperti, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dengan
masalah yang diteliti. Telaah terhadap unsur hukum yang dimaksud dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui unsur yurisdiksi yang
terdapat dalam kasus perompakan kapal di perairan laut lepas secara
normatif.
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian hukum adalah sejalan dengan sifat hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif
dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum konsep-konsep
hukum dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini
merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan
mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 22).
Sifat preskriptif yang peneliti analisis adalah aturan hukum internasional
yang seharusnya diterapkan dalam kasus perompakan Sinar Kudus MV yakni
dengan menerapkan yurisdiksi yang melekat terhadap kasus tersebut.
3. Pendekatan penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan penelitian hukum terdapat
beberapa macam pendekatan. Melalui pendekatan tersebut, penulis akan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba
untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).
Penelitian hukum ini akan menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan
undang-undang (statue approach) digunakan dengan menelaah isu hukum
yang diangkat dikaitkan dengan aturan-aturan yang terdapat pada UNCLOS
1982, Convention on the High Seas 1958 (CHS 1958), Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation
1988 (SUA 1988).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Selain hal tersebut, penulis menggunakan pendekatan kasus (case
approach) melalui penelaahan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan
kapal Sinar Kudus MV yang terjadi pada tahun 2011.
4. Jenis bahan hukum
Penelitian hukum memerlukan sumber penelitian untuk memecahkan
isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai yang seyogyanya.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-
bahan hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tersier (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 141).
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum
yang mengikat. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum
primer seperti :
1) Convention on the High Seas 1958
2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982;
3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Maritime Navigation 1988 (SUA 1988)
4) Resolusi Dewan Keamanan PBB
5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2005: 141).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai pendukung untuk
menelaah segala isu hukum dalam penelitian ini diantaranya adalah
dokumen publik dan catatan resmi (public documents and officials
records) yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan
perompakan di laut lepas dalam ranah hukum. Selain itu penulis
memperoleh bahan hukum dari buku-buku teks, jurnal-jurnal, artikel,
penelitian terdahulu, media elektronik serta media massa yang mengulas
mengenai perompakan di laut lepas yang dimaksud serta sumber lain
yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
Bahan hukum sekunder yang akan penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah buku-buku, jurnal, dan teks yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji. Bahan hukum sekunder yang dipakai penulis
dalam hal ini antara lain :
1) Jurnal-jurnal, antara lain:
a) Lucas Bento.2011. “Toward An International Law of Piracy Sui
Generis: How the Dual Nature of Maritime Piracy Law Enables
Piracy to Flourish”. Berkeley Journal of International Law. Vol.
29 No. 2
b) Tri Setyawan R. 2005. “Pengaturan Hukum Penanggulangan
Pembajakan dan Perompakan Laut di Wilayah Perairan
Indonesia”. Media Hukum/Vol.V/No1/Januari - Maret/ 2005 No
ISSN 1411-3759.
2) Buku teks mengenai hukum Internasional:
a) D.J Harris tahun 1998 dengan judul Cases and Materials on
International Law diterbitkan oleh Sweet and Maxwell Limited,
London
b) J.G Starke. Tahun 2009 dengan judul Pengantar Hukum
Internasional diterbitkan oleh Sinar Grafika, Jakarta.
c. Bahan Hukum Tersier yakni bahan hukum yang bersifat menunjang
bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penelitian, peneiliti
menggunakan bahan hukum tersier berupa Blacks Law Dictionary.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
5. Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah
menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier diinventarisasi dan
diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas dipaparkan, di
sistemisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang
berlaku (Johny Ibrahim, 2006: 296).
6. Teknik analisis bahan hukum
Analisis bahan hukum ini menggunakan metode deduktif dalam
penalaran hukum. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis
mayor dan kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 47).
Analisis yang digunakan penulis melalui metode deduksi ini berupa
penyajian premis mayor terkait konsep menurut peraturan dalam aturan
hukum internasional tentang perompakan di laut lepas kemudian premis
minor ditunjukkan dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan
terhadap kapal Sinar Kudus MV di laut lepas. Kesimpulan yang diperoleh
dari kedua premis yakni tidak digunakannya penerapan yurisdiksi yang diatur
dalam hukum internasional terhadap kasus perompakan kapal Sinar Kudus
MV.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yang tiap-tiap bab terbagi
dalam sub-sub bagian agar memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini. Sistematika penulisan hukum yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Metode
penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan
penelitian, sumber penelitian hukum, teknik pengumpulan bahan
hukum, dan teknik analisis bahan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori
terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini
yakni: Tinjauan terhadap pembagian wilayah laut berdasarkan
UNCLOS 1982, tinjauan tentang yurisdiksi, tinjauan tentang
jenis-jenis kapal laut, tinjauan tentang status kapal laut di laut
lepas, tinjauan tentang perompakan kapal laut.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang aturan-aturan hukum dalam
penyelesaian terhadap perompakan di laut lepas yang dikaitkan
dengan penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal
Sinar Kudus MV.
BAB IV : PENUTUP
Berisi simpulan yang merujuk dari hasil penelitian dan
pembahasan serta saran yang diajukan penulis terkait simpulan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
Sebuah tinjauan pustaka berguna sebagai dasar teori dalam penulisan
hukum, maka penulis dalam Bab ini akan menguraikan beberapa teori yang
menjadi dasar teori dalam penulisan hukum ini seperti pembagian laut menurut
UNCLOS 1982, yurisdiksi, jenis-jenis kapal, status kapal dan perompakan. Selain
hal tersebut, dalam Bab ini penulis mencantumkan sebuah kerangka pemikiran
untuk mengetahui alur berfikir dalam penulisan hukum ini.
1. Tinjauan tentang pembagian wilayah laut berdasarkan United Nations
Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982)
Gambar 1
Gambar pembagian wilayah laut
(Sumber : http://tugino230171.wordpress.com/2011/05/01/perkembangan-
wilayah-laut-indonesia/)
Berdasarkan UNCLOS 1982 tersebut laut dibagi dalam beberapa kategori
sebagai berikut:
a. Perairan pedalaman
Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat
(dalam) garis pangkal. Di wilayah perairan dalam ini, negara memiliki
kedaulatan penuh atasnya. Tidak ada kapal asing yang diperbolehkan
masuk ke dalam wilayah ini kecuali dalam keadaan yang bersifat memaksa
(Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 186).
12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
b. Laut teritorial
Pasal 3 UNCLOS 1982 mengatur bahwa setiap negara mempunyai
hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya sampai suatu batas yang
tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan
sesuai dengan UNCLOS 1982 ini. UNCLOS 1982 memberikan
keleluasan bagi setiap negara untuk menetapkan lebar laut teritorialnya
hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis
pangkal yang ditentukan sesuai dengan UNCLOS 1982 juga (Albert W
Koers, 1991: 7).
Negara mempunyai kewenangan dalam laut teritorial yakni negara
berwenang untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi wilayah tersebut
termasuk dasar laut dan kekayaan alam hayati maupun non-hayati dalam
air tersebut. Namun, negara berkewajiban menyediakan jalur khusus bagi
pelintasan kapal-kapal asing yang akan melewati laut wilayah tersebut.
Jalur tersebut sering disebut sebagai innocent passage atau jalur lintas
damai. Aturan mengenai jalur lintas damai ini diatur dalam pasal 19
UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa lintas damai adalah lintas yang
dilakukan kapal sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban
atau keamanan negara. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan UNCLOS 1982 dan peraturan hukum internasional lainnya.
Jalur ini dipahami sebagai jalur tradisional yang biasa dilalui oleh
kapal-kapal dagang/ pariwisata asing untuk secara bebas melintasi jalur
tersebut tanpa ada niatan untuk berhenti, memasuki perairan pedalaman,
melakukan komunikasi dengan orang/ lembaga dari negara pantai dengan
syarat dilakukan secara damai dan tunduk kepada perintah keamanan
negara pantai. Kewajiban negara terhadap lintas damai diatur dalam Pasal
24 UNCLOS 1982, yakni negara tidak dipekenankan menghalangi lintas
damai kapal asing yang melalui laut teritorialnya.
Negara pantai hanya memiliki yurisdiksi terbatas baik secara perdata
maupun pidana terhadap kapal dan segala isinya yang melintas di jalur
lintas damai. Pasal 27 UNCLOS 1982 mengatur hal tersebut, yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
yurisdiksi kriminal negara tidak dapat diterapkan di atas kapal asing yang
sedang melintasi laut teritorial, kecuali dalam hal kejahatan yang terjadi di
atas kapal asing tersebut dirasakan oleh negara teritorial dan mengganggu
kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut wilayah, telah diminta
bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal, wakil diplomatik atau
pejabat konsuler negara bendera, tindakan demikian diperlukan untuk
menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropica. Hak
negara dapat digunakkan untuk mengambil langkah apapun berdasarkan
undang-undangnya untuk tujuan penangkapan atau penyidikan di atas
kapal asing yang melintasi laut teritorialnya setelah meninggalkan perairan
pedalaman.
c. Zona tambahan (Contiguous Zone)
Zona tambahan merupakan suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi
24 mil dari garis pangkal. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 33 UNCLOS
1982, bahwa negara pantai dapat melakukan tindakan untuk mencegah
terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan pada wilayahnya
atau pada laut teritorialnya dan sekaligus juga dapat menerapkan
hukumnya (Albert W Koers, 1991: 7).
Zona tambahan negara pantai mempunyai kewenangan sebagai
berikut:
1) Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai,
fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya;
2) Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di
atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya
d. Zona ekonomi ekseklusif (ZEE)
Pengertian zona ekonomi eksklusif dirumuskan dalam Pasal 55
UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa zona ekonomi eksklusif adalah
suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk
pada rejim hukum khusus. Ditegaskan pula di dalam Pasal 57 bahwa lebar
zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai beberapa hak
yang dapat dinikmati :
1) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati
maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut
dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti
produksi energi dari air, arus dan angin;
2) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan
dengan UNCLOS 1982 ini berkenaan dengan:
(a) Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;
(b) Riset ilmiah kelautan;
(c) Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
3) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam UNCLOS
1982.
ZEE memiliki perbedaan dengan laut teritorial. ZEE tidak tunduk
pada kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai hanya menikmati hak-
hak berdaulat dan bukan kedaulatan. Hal ini dapat dilihat di Pasal 58
UNCLOS 1982 bahwa di zona ekonomi eksklusif di semua negara dengan
tunduk pada ketentuan yang relevan dengan UNCLOS 1982, mengamati
kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel
dan pipa bawah laut dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum
internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti
penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat
udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-
ketentuan lain dalam UNCLOS 1982 ( Albert W. Koers, 1991: 8).
e. Laut lepas
Sudah menjadi suatu ketentuan umum yang berasal dari hukum
kebiasaan bahwa permukaan laut dibagi atas beberapa zona dan yang
paling jauh dari pantai dinamakan laut lepas. Laut lepas merupakan semua
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
perairan internal suatu negara, definisi ini kemudian sudah mendapatkan
modifikasi dengan lahirnya UNCLOS 1982 (Rebecca M.Wallace, 1993:
155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi atas pengertian laut lepas
yakni semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi
eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau
perairan kepulauan suatu negara kepulauan, yang tidak mengakibatkan
pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua negara di
zona ekonomi eksklusif. Sedangkan, Pasal 86 UNCLOS 1982 menyatakan
bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam zona ekonomi ekseklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Dengan menilik hal tersebut maka yang disebut laut lepas
adalah perairan yang terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar zona
ekonomi ekseklusif.
Menurut Black’s Law Dictonary, Laut Lepas adalah the Seas or
oceans beyond the jurisdiction of any country. Under traditional
international law, the high sea began 3 miles from the coast, today the
distance is generally accepted to be 12 miles. Under the UNCLOS 1982
coastal shores now have 200 miles exclusive economic zone. Laut lepas
sebagai laut atau samudera di luar yurisdiksi setiap negara. Dahulu dalam
hukum internasional laut lepas di mulai 3 mil dari tepi pantai, akan tetapi
sejalan dengan perkembangan jarak yang disepakati secara umum menjadi
12 mil. Setelah adanya UNCLOS 1982 laut lepas dihitung setelah 200mil
dari garis pangkal. (Bryan A Ganner, 1999: 1466):
Laut lepas terbuka untuk semua negara baik itu negara pantai
maupun negara bukan pantai. Prinsip yang digunakan dalam konsep laut
lepas menggunakan prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak
berlakunya kedaulatan, hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara (Jawahir
Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006: 189).
Menurut Pasal 2 CHS tahun 1958 mengatakan bahwa laut lepas
harus terbuka bagi semua negara. Tidak ada satu negarapun yang boleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
mengklaim bahwa laut lepas adalah bagian dari wilayahnya. Hal ini
diperjelas kembali dalam Pasal 82 UNCLOS 1982, laut lepas terbuka
untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan
laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam
UNCLOS 1982 dan ketentuan lain di hukum internasional. Kebebasan laut
lepas itu meliputi laut lepas baik untuk negara pantai atau negara tidak
berpantai:
1) Kebebasan berlayar;
2) Kebebasan penerbangan;
3) Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;
4) Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang
diperbolehkan berdasarkan hukum internasional;
5) Kebebasan menangkap ikan;
6) Kebebasan riset ilmiah.
Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua negara, dengan
memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan negara lain dalam
melaksanakan kebebasan laut lepas dan juga dengan memperhatikan
sebagaimana mestinya hak-hak dalam UNCLOS 1982 yang berhubungan
dengan kegiatan di kawasan di laut lepas. Kebebasan yang dimaksud juga
untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun negara dapat menegakkan
yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya digunakan untuk
kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Hal ini diakomodir di dalam
Pasal 89 UNCLOS 1982, pasal ini menjelaskan bahwa tidak ada suatu
negara pun yang dapat secara sah menundukkan kegiatan manapun dari
laut lepas pada kedaulatannya
Pasal 90 UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa setiap negara,
mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut
lepas. Dengan begitu, harus adanya suatu keterkaitan yang jelas antara
kapal dengan bendera negaranya, ditegaskan pula dalam Pasal 92 bahwa
status kapal di laut lepas sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
1) Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu negara saja dan kecuali
dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam
perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk
pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas.
2) Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu
dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang
disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan
yang nyata atau perubahan pendaftaran.
3) Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih,
dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut
salah satu dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan
dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan.
Begitu juga ketika terjadi pelanggaran atau tindak kejahatan di laut
lepas di atas kapal, maka yurisdiksi negara bendera yang berkibar di kapal
tersebutlah yang berkewenangan untuk mengadilinya. Pengejaran seketika
suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari
negara pantai memiliki alasan yang cukup untuk mengira bahwa suatu
kapal telah melanggar peraturan perundang-undangan negaranya.
Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing berada pada
perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan
negara pantai dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona
tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika
ini diakomodir dalam Pasal 110 UNCLOS 1982 yang mengatur mengenai
aturan-aturan dalam proses pengejaran seketika tersebut.
Hak pengejaran seketika berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan
dengan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona
keselamatan, di sekitar instalasi-instalasi di landas kontinen. Hak
pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki
laut teritorial negaranya sendiri atau negara ketiga. Hak pengejaran
seketika ini hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
udara militer atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan
dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara pemerintah dan berwenang
melakukan tugas itu. Apabila kapal asing yang telah dihentikan atau
ditahan di luar laut teritorial itu dalam keadaan tidak dibenarkannya
tindakan pengejaran seketika, dan kapal tersebut menderita kerugian, maka
kapal asing itu harus mendapat ganti kerugian sebesar kerugian yang
dideritanya.
f. Selat yang digunakan untuk pelayaran Internasional
Semua kapal dan pesawat terbang (termasuk kapal perang dan
pesawat terbang militer) dari semua negara untuk tujuan ‘continuous and
expeditious transit’ dari satu laut lepas (high sea) atau zona ekonomi
ekseklusif (exclusive economic zone) menuju laut bebas atau zona
ekonomi eksklusif lainnya yang lain, berhak atas lintas transit (transit
passage) di selat-selat yang digunakan untuk navigasi internasional
(Sahono Soebroto, 1983: 10). Pasal 44 UNCLOS 1982, mengatur tentang
kewajiban negara yang berbatasan dengan selat dirumuskan bahwa
negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menghambat lintas
transit dan harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi
pelayaran atau penerbangan lintas di dalam atau di atas selat yang
diketahuinya.
g. Landas kontinen
Batas landas kontinen adalah kelanjutan garis batas dari daratan
suatu benua yang terendam sampai kedalaman 200m di bawah
permukaan air laut. Menurut Pasal 77 UNCLOS 1982, hak negara di
landas kontinen ini mempunyai hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi kekayaan alamnya baik hayati termasuk jenis ikan
sedenter serta kekayaan alam non hayati termasuk minyak dan gas bumi.
Perlu dicatat bahwa pada bagian landas kontinen yang berada dalam batas
200 mil zona ekonomi ekslusif, hak-hak tersebut bersamaan dengan hak-
hak yang dinikmati berdasarkan Pasal 56 konvensi mengenai zona
ekonomi ekslusif (Heru Prijanto, 2007 : 15).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Tinjauan tentang yurisdiksi
a. Pengertian yurisdiksi
Yurisdiksi diartikan oleh Malcolm N Shaw sebagai hal yang
menyangkut kekuasaan negara di bawah hukum internasional untuk
pengaturan atau mengatur dampak terhadap orang, barang, dan keadaan
serta mencerminkan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara, kesetaraan
negara, non-interfensi di dalam urusan dalam negerinya. Yurisdiksi
menjadi hal yang penting dan menjadi pusat kedaulatan negara, karena hal
itu merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah, membuat
atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban (Malcolm N Shaw,
2008: 645).
Menurut Encyclopedia Americana diuraikan tentang arti kata
jurisdiction (yurisdiksi), “jurisdiction , in law, a term for power or
authority. It is usually applied to courts and quacy judicial bodies,
describing the scope of their right to act. As applied to a state or nation,
the term means the authority to declare and enforce the law”. Dalam
hukum, yurisdiksi merupakan sebuah istilah kekuasaan atau wewenang.
Hal ini biasanya diterapkan ke pengadilan dan badan peradilan, yang
menggambarkan lingkup hak mereka untuk bertindak. Penerapan disebuah
negara atau bangsa, berarti wewenang untuk menyatakan dan menegakkan
hukum (I Wayan Parthiana, 1990: 292).
Menilik pada tiga pengertian tersebut, bahwa yurisdiksi berkaitan
dengan permasalahan hukum. Yurisdiksi suatu negara menunjuk kepada
kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan
dengan hukum nasionalnya (pidana dan perdata). Kompetensi ini
mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang) untuk mengadili
dan melaksanakan undang-undang (Rebbeca M.Wallace, 1993:191).
b. Prinsip-prinsip yurisdiksi negara :
1) Asas teritorial (territorial principle)
Hukum Internasional memberikan kesempatan kepada setiap
negara untuk mengatur permasalahan negaranya sendiri. Yurisdiksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
teritorial yaitu kewenangan suatu negara untuk mengatur,
menerapkan, dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala
sesuatu yang ada atau terjadi (bisa berupa benda, orang, peristiwa) di
dalam batas-batas wilayahnya (I Wayan Parthiana, 1990:317).
Sebuah negara bebas untuk mengatur dan menegakkan undang-
undang yang ada dalam wilayahnya untuk setiap orang dalam
wilayahnya, termasuk warga negara asing, kecuali ketika kebebasan
itu dibatasi oleh perjanjian. Negara juga dapat menerapkan hukum-
hukumnya untuk kapal yang mengibarkan benderanya atau pesawat
udara yang terdaftar dan orang berada dalam kapal tersebut (Anthony
Aust, 2005:44).
Menurut Lord Mac Milan dalam buku J.G Starke, jurisdiksi
adalah :
suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang beradaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini (J.G Starke, 2009: 270-271)
Suatu kejahatan yang terjadi di suatu wilayah negara satu dapat
dimungkinkan diselesaikan di negara lain. Dalam hal ini, ada dua asas
teritorial yang saling berhubungan, yaitu asas teritorial subjektif dan
asas teritorial objektif. Asas teritorial subjektif mengijinkan
pelaksanaan yurisdiksi di negara di mana kejahatan itu di mulai
sedangkan asas teritorial objektif memberikan yurisdiksi kepada
negara di mana kejahatan diselesaikan, dan mempunyai efek dari
korban (Rebbeca M.Wallace, 1993: 120-121). Asas territorial dapat
diterapkan ketika misalnya seseorang melakukan kejahatan di suatu
negara dapat diadili di negara tersebut meskipun bukan warga negara
tersebut, penerapan ini didasarkan atas tempat terjadinya suatu
kejahatan sehingga yurisdiksi tempat kejadian kejahatan tersebut
dapat diterapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
2) Asas personal
Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat
mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di
manapun juga. Menurut praktek internasional dewasa ini,
yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-
prinsip berikut:
a) Prinsip nasionalitas aktif
Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksinya
terhadap warga negaranya. Prinsip lain yang berkaitan dengan hal
ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang
telah melakukan suatu tindak pidana di luar negeri (Malcolm N
Shaw, 2008: 664).
Prinsip nasional aktif dapat diterapkan untuk warga negara
yang melakukan sebuah kejahatan di negara lain, misalnya seorang
warga negara Indonesia melakukan kejahatan di negara Australia,
hukum Indonesia tetap melekat pada warga negara Indonesia
tersebut sehingga warga negara Indonesia tersebut dapat diadili
dengan hukum Indonesia.
b) Prinsip nasionalitas pasif
Berdasarkan prinsip ini, negara dapat mengklaim yurisdiksi
untuk mencoba individu untuk pelanggaran dilakukan di luar
negeri yang telah mempengaruhi atau akan mempengaruhi warga
negara (Malcolm N Shaw, 2008: 664)
Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan
yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian.
Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap
negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan
apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak
menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka
negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu,
apabila orang itu berada di wilayahnya (J.G Starke, 2009: 303).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3) Asas universal (universality principle)
Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi
untuk mengadili pelanggaran. Dua kategori yang jelas termasuk
dalam lingkup yurisdiksi universal, yang telah didefinisikan sebagai
kompetensi negara untuk menuntut yang diduga pelaku dan
menghukum mereka jika terbukti bersalah, terlepas dari tempat tindak
pidana itu terjadi dan meskipun ada yurisdiksi personal aktif atau
pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan lain dari yurisdiksi diakui
oleh hukum internasional (Malcolm N Shaw, 2008: 668).
Dasar pertimbangan untuk menempatkan suatu peristiwa
hukum tertentu di bawah yurisdiksi universal, yakni peristiwa hukum
tertentu yang tidak tercakup oleh jenis yurisdiksi lain, tetapi
membahayakan bagi umat manusia dan sangat bertentangan dengan
rasa keadilan umat manusia. Dalam hal ini, negara berkewajiban
untuk mencegah terjadinya peristiwa hukum di manapun dan kapan
pun terjadinya serta siapapun yang menjadi pelaku maupun
korbannya. (I Wayan Parthiana, 1990: 325)
Asas universal ini berlaku terhadap beberapa kejahatan seperti
kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan
kemanusiaan, perompakan laut, pembajakan udara, kejahatan
terorisme dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai
dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Asas
perlindungan (protective/security principle)
Atas dasar ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksi
dalam hal pelanggaran-pelanggaran yang walaupun terjadi di luar
negeri dan bukan oleh warga negaranya, akan tetapi dianggap sebagai
membahayakan keamanan negara (Rebbeca M.Wallace, 1993: 122).
3. Jenis kapal laut
Perbedaan antara kapal publik dan kapal swasta saat ini didasarkan atas
bentuk penggunaannya dan bukan atas kualitas pemilik kapal-kapal tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan
bukan tujuan swasta (Boer Mauna, 2005: 320).
a) Kapal perang
Pasal 29 UNCLOS 1982, memberikan definisi mengenai kapal
perang. Kapal perang diartikan sebagai kapal yang dimiliki oleh angkatan
bersenjata suatu negara yang memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan
ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira
yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya
terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki
oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular.
Sesuai dengan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapal-
kapal perang bukan saja kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga
kapal-kapal selam, kapal-kapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan
angkatan laut, seperti kapal-kapal ranjau laut, kapal-kapal penarik, kapal-
kapal transport militer, dan lain sebagainya (Boer Mauna, 2005: 321).
b) Kapal-kapal publik non-militer
Kapal-kapal publik yang dimaksud di sini yaitu, kapal-kapal
pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal
logistik pemerintah, kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal pengawasan
pantai, atau kapal swasta yang disewa merintah untuk tujuan non-komersil
maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal publik (Boer
Mauna, 2005: 321).
c) Kapal organisasi-organisasi internasional
Kapal organisasi internasional yaitu kapal-kapal yang digunakan oleh
organisasi-organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat
internasional. Misalnya PBB, badan-badan khusus PBB dapat memakai
kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masing-
masing benderanya sesuai dengan Pasal 93 UNCLOS 1982. Pasal 93 ini
tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan
dalam dinas resmi PBB, badan-badan khususnya atau badan tenaga atom
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
internasional (International Atomic Energy Agency), yang mengibarkan
bendera organisasi tersebut (Boer Mauna, 2005: 321-322).
d) Kapal-kapal dagang
Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan
komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk
kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta.
4. Status kapal di laut lepas
Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera
suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik
sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang
disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal
secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran.
Aturan mengenai kebangsaan kapal diatur dalam Pasal 91 UNCLOS.
Pasal 91 menyatakan bahwa suatu kapal dapat memperoleh kebangsaanya
dengan beberapa aturan sebagai berikut:
a. Setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian
kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayah, dan
untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan negara
yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu
kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu.
b. Setiap negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak
untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu.
Status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip
tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Di laut
lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan negara bendera.
Pasal 92 menjelaskan bahwa kapal harus berlayar di bawah satu bendera
negara saja kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan
dalam perjanjian internasional atau dalam UNCLOS 1982, harus tunduk pada
yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merubah
bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu
perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. Serta sebuah
kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dan
menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu
dari kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi
suatu kapal tanpa kebangsaan.
Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat
di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap
orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua
perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Hal
ini menjadi sebuah konsekuensi dari tidak adanya yurisdiksi di laut lepas,
sehingga hukum negara bendera yang dipakai sebagai yurisdiksinya (Boer
Mauna, 2005: 322).
5. Tinjauan tentang perompakan kapal laut
Perompakan telah ditetapkan sebagai hukum kebiasaan internasional.
Sudah sejak abad ke-18, masyarakat bangsa-bangsa mengenal dan mengakui
kejahatan perompak di laut sebagai kejahatan internasional yang dikenal
sebagai piracy de jure cogens. Kejahatan tersebut dianggap sangat merugikan
kesejahteraan bangsa-bangsa pada saat itu dan dianggap sebagai musuh
bangsa-bangsa. Piracy de jure cogens kemudian ditetapkan sebagai kejahatan
internasional karena merupakan satu-satunya tindak kriminal murni ( Eddy
O.S. Hiariej,2009: 49). Perompakan adalah setiap tindakan ilegal kekerasan
atau penahanan yang dilakukan di laut lepas untuk tujuan pribadi dengan
sebuah kapalnya terhadap kapal lain (Anthony Aust, 2002: 269).
Menurut Black’s Law Dictonary perompakan diartikan sebagai Piracy is
Robbery, kidnapping or other criminal violence commited at Sea (Bryan A
Garner, 1999: 1186).
Menurut pengertian yang dirumuskan oleh Pasal 101 UNCLOS 1982
memberi pengertian bahwa, Perompakan di laut terdiri dari salah satu di antara
tindakan berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap
tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak
kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan
ditujukan :
i. Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap
orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara
demikian;
ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu
tempat di luar yurisdiksi negara manapun;
b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu
kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya
suatu kapal atau pesawat udara pembajak.
c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang
diatur di atas.
Brierly dalam Tri Setyawanta R memberikan definisi perompak kapal
laut sebagai berikut
“there is no authoritative definition of international piracy , but it is of
the essence of a piratical act to be an act violence , committed at sea or at
any rate closely connected with the sea , by person not acting under proper
authirity. Thus an act cannot be piratical if it is done the authority of a state,
or even of an insurgent community whose belligerency has been
recognized.”
Perompakan tidak didefinisikan secara otoratif tetapi esensi dari
tindakan perompakan adalah tindakan kekerasan, yang dilakukan di laut atau
di sekitar laut, oleh orang yang tidak bertindak di bawah ketetapan yang telah
ada, jadi, tindakan yang tidak dapat dikatakan perompakan jika dilakukan oleh
otoritas negara, atau bahkan dari komunitas yang melakukan pemberontak
yang telah diakui (Tri Setyawanta R, 2005:2).
Menurut, S.V Molodtsov, telah memberikan perumusan mengenai
batasan pengertian perompakan di laut sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
“Both acts of violence by vessels and their crews at sea also attack from
the sea on littoral points carried out with the aim of securing plunder , the
seizure and sinking of vessels and persons or other criminal purposes are
considered as piracy (sea banditry). In the epoch of imperialism piracy has
aquired special characteristics. It is one of the provocative methods to
which imperialist States resort for agressive purposes”
Perompakan di laut yakni suatu tindakan kekerasan terhadap kapal dan
awak kapal di laut juga penyerangan di lepas pantai yang dilakukan dengan
tujuan penjarahan, perampasan barang-barang dan untuk menyandera awak
kapal serta tujuan kriminal lainnya dianggap sebagai perompakan (Tri
Setyawanta R, 2005: 2).
Organisasi Maritim Internasional (International Maritime
Organization) memberikan definisi perompakan sebagai “unlawful acts as
defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of
the Sea (Tindakan ilegal sebagaimana yang diatur dalam Pasal UNCLOS
1982). Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) dari International Maritime Organization
Maritime Security Commite (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft
Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed
Robbery Against Ships (pedoman praktek investigasi terhadap kejahatan
perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery
against ship (Perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut
“Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or
detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of
piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a
ship, within a State’s jurisdiction over such offenses.”
Menurut IMO perampokan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu
ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari
tindak perompakan ataupun pembunuhan terhadap tawanan, individu,
kejahatan terhadap harta kekayaan maupun pengrusakan kapal, yang
dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of
Practice) http://www.un.org/depts/los/piracy/circular_letter_3180.pdf).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi perompakan
yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101, IMB
memberi perluasan definisi perompakan yakni IMB tidak membedakan
definisi perompakan berdasarkan tempat kejadiannya. Dalam laporan IMB
dikatakan act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any
other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance
thereof, perompakan diartikan sebagai tindakan dengan menaiki kapal apapun
dengan maksud untuk melakukan pencurian atau kejahatan lain
(http://www.icc-ccs.org/piracy-reporting-centre).
Istilah perompakan dan perampokan bersenjata (piracy and armed
robbery) terkadang membuat kerancuan, akan tetapi sebenarnya ada hal yang
membedakan keduanya. Pasal 101 UNCLOS 1982 jelas memberikan batasan
bahwa dikategorikan piracy jika kejadian tersebut terjadi dilaut bebas, atau
diluar yurisdiksi suatu negara, artinya tentu di luar pelabuhan dan laut
territorial suatu negara. Sedangkan armed roberry lebih diartikan sebagai
kejahatan perompakan yang terjadi di laut teritorial sebuah negara seperti yang
diartikan oleh IMO.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2: Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Permasalahan perompakan kapal laut terjadi sejak jaman dahulu.
Perompakan kapal laut sering dilakukan di laut lepas. Beberapa aturan hukum
telah dibuat untuk mengatur mengenai perompakan di laut lepas seperti CHS
1958, UNCLOS 1982, SUA Convention, aturan hukum IMO, aturan hukum IMB,
serta sistem hukum di beberapa negara yang memiliki aturan-aturan dalam
penanggulangan maupun penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan
perompakan. Ketentuan ini diharapkan akan mampu untuk menanggulangi
pertambahan angka perompakan di laut lepas.
Salah satu kasus yang terjadi di tahun 2011 adalah kasus perompakan kapal
laut Sinar Kudus MV di laut lepas. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal
dengan bendera Indonesia yang artinya di dalam kapal tersebut terdapat yurisdiksi
dari negara Indonesia. Perompakan tersebut dilakukan oleh warga negara Somalia
sehinga yurisdiksi Somalia pun dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus ini.
Mengingat perompakan juga merupakan pelanggaran prinsip jus cogens yang
Hukum Internasional
Perompakan kapal laut Di Laut Lepas (High Seas)
Yurisdiksi Perompakan kapal
Sinar Kudus MV
Yurisdiksi Universal
Yurisdiksi Regional
Yurisdiksi Indonesia
Yurisdiksi Somalia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
berarti merupakan kejahatan internasional yang penanggulangannya harus
dilakukan secara bersama-sama di dunia maka yurisdiksi universal dapat
diterapkan dalam kasus tersebut. Hal tersebut telah diakomodir oleh aturan hukum
internasional sehingga beberapa yurisdiksi tersebut sudah dapat diterapkan dalam
penyelesaian kasus kapal Sinar Kudus MV.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran umum tentang situasi dan kondisi negara Somalia
a. Geografis
Somalia merupakan negara yang berada di titik paling timur Afrika,
dibatasi di sebelah timur dan tenggara dengan Samudra Hindia, di sebelah
utara dan timur laut oleh Teluk Aden dan Republik Djibouti, bagian
selatan dan barat daya dibatasi dengan Kenya, dan di sebelah barat oleh
Ethiopia. Negara ini memiliki garis pantai sepanjang 3.200 kilometer,
membentang dari Loyadde di Teluk Aden ke Ras Kiyambone
pada Samudera Hindia. Republik Somalia pertama memiliki luas sebesar
626.541 kilometer persegi. Negara ini merupakan dataran, kecuali
Magnyafulka "Scraping seas" tebing yang curam di selatan dengan
ketinggian mencapai 1,800-2,100 meter (Mohamed Haji Mukhtar,2003:
225 ).
b. Situasi politik dan keamanan
Situasi politik di Somalia sangat lemah sejak tahun 1990, pemerintah
resmi Somalia yang hanya menguasai beberapa bagian kecil Somalia,
termasuk sebagian ibu kota Mogadishu, dan Kedutaan Besar Somalia di
Indonesia mewakili pemerintah ini. Somaliland, wilayah yang secara de
facto sudah memisahkan diri dari Somalia, melingkupi wilayah Utara
Somalia yang merupakan bekas jajahan Inggris. Somaliland tidak
diakui secara resmi oleh dunia, namun beberapa negara tetangga seperti
Ethiopia memiliki konsulat di ibu kota Somaliland di Hergaisa. Sisanya
merupakan wilayah tanpa pemerintah, yang dikuasai berbagai
kelompok militan bersenjata, termasuk diantaranya AI-Shabaab,
kelompok Islam ekstrimis yang diduga bekerja sama dengan Al
Qaeda. Wilayah ini meliputi Somalia bekas jajahan Italia (Teguh
Widodo,2011).
32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Beberapa alternatif telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di
Somalia, salah satunya adalah pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan
di Djibouti disepakati untuk membentuk sebuah pemerintahan transisi
(Transitional National Government (TNG)) dibentuk dengan dipimpin
oleh Presiden Abdulkassim Salat Hassan. Namun hingga tahun 2003
mandat pemerintahan berakhir dengan menghasilkan sedikit kemajuan
untuk menghentikan perseturuan antarklan dan kepastian hukum. Setelah
itu dilakukan sejumlah perundingan dan upaya damai, melalui fasilitasi
oleh PBB, berhasil diadakan Pemilu Somalia pada tanggal 10 Oktober
2004, yang menghasilkan terpilihnya Presiden, pemerintah baru
(Transitional Federal Government (TFG) yang menggantikan TNG), dan
terbentuknya parlemen transitional baru (Transitional Ferderal Parliament
(TFP)). Selama kurang lebih satu tahun TFG dan TFP berkedudukan di
Nairobi, baru kemudian TFG dipindahkan ke Baidoa (250 km dari
Mogadishu) setelah dinilai situasi di Somalia memungkinkan. dibentuknya
Transitional Federal Government (Embassy of the Rep. of Indonesia,
Addis Ababa, http://www.indonesia-
addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_016.htm).
c. Situasi ekonomi
Pada awalnya, Somalia menganut sistem ekonomi sosialis. Namun
Somalia mulai memberikan kesempatan kepada pihak swasta dan investor
asing untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Hasil pertanian
seperti ternak, ikan, pisang merupakan tulang punggung perekonomian,
memgang sekitar 40% GDP dan 65% pendapatan ekspor. Namun larangan
ekspor ternak oleh Pemerintah Arab Saudi saat ini menyebabkan sektor
ternak mengalami penurunan. Perindustrian Somalia sebagian besar
berskala kecil dan bergerak di bidang pemprosesan hasil pertanian.
Kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang belum stabil
menyebabkan iklim investasi Somalia masih belum kondusif. Meskipun
demikian, sektor jasa, terutama di bidang telekomunikasi tanpa kabel
mengalami perkembangan cukup signifikan (Embassy of the Rep. of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Indonesia, Addis Ababa, 2011: http://www.indonesia-
addis.org.et/kbri%20addis%20ababa_015.htm).
d. Lepas pantai Somalia
Lepas pantai Somalia merupakan jalur pelayaran yang dilewati
kapal-kapal saat berlayar. Mengingat, lepas pantai Somalia merupakan
jalur pelayaran utama yang menghubungkan antara Asia dengan Eropa.
Gambar 3
Gambar rute pelayaran yang melalui Somalia
(http://bukaniput.wordpress.com/2008/11/28/somali-pirates/)
Dalam rute pelayaran tersebut terlihat Somalia berada di jalur lalu
lintas pelayaran antara Asia dengan Terusan Suez. Garis pantai Somalia
cukup dekat dengan jalur pelayaran tersebut sehingga secara tidak
langsung memberikan akses yang mudah bagi para perompak untuk
beraksi.
2. Gambaran tentang perompakan Somalia
a. Latar belakang perompak Somalia
Perompak laut pertama di Somalia adalah nelayan di sepanjang
pesisir. Alasan mereka merompak karena seringnya terjadi penangkapan
ikan secara ilegal oleh kapal-kapal asing yang memanfaatkan situasi
Somalia yang kacau dan tidak terpatroli dengan baik (Teguh
Widodo,2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Sebelum tahun 1990, perompakan bukan masalah besar di lepas
pantai Somalia, sasaran kelompok bersenjata tersebut adalah kapal yang
kandas di lepas pantai. Pada pertengahan tahun 1990 saat itulah beberapa
kelompok bersenjata, mengaku telah diberi izin oleh penjaga pantai
dengan klaim untuk melindungi sumber daya perikanan Somalia. Setelah
tahun 2000 bagi setiap kapal yang berlayar di dalam atau dekat dengan
wilayah perairan Somalia kapal dan awak akan dijadikan sandera dan
menuntut uang tebusan. Selama tahun 2005 tercatat peningkatan dalam
jumlah serangan yang dicoba terhadap kapal yang berlayar di Samudera
Hindia khususnya lepas pantai Somalia (Ahmedou Ould Abdallah, 2008:
14).
Pada tahun 2006 beberapa serangan perompak meluas sejauh 350 nm
di lepas pantai Somalia tidak hanya di Samudera Hindia tetapi juga di
Teluk Aden dan Laut Merah. Fenomena ini tumbuh di tahun 2007 dari
basis perompak utama dari Eyl, Hobyo dan Haradheere terkonsentrasi di
sepanjang pantai timur Somalia. Pada tahun 2008 perompakan mencapai
proporsi peningkatan yang mana kapal-kapal yang diserang dirusak oleh
perompakan untuk mendapatkan barang sitaan. Akibatnya perjalanan laut
di lepas pantai utara Somalia, yang dikenal sebagai Puntland, telah
menjadi wilayah yang paling berbahaya di dunia untuk serangan perompak
(Ahmedou Ould Abdallah, 2008: 14). Meluasnya perompakan ini dapat
dilihat dalam gambar di bawah ini yang menunjukkan hal tersebut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Gambar 4
Gambar 4
Gambar perluasan wilayah perompakan
(Sumber: http://www.heritage.org/research/reports/2011/03/taking-the-fight-to-
the-pirates-applying-counterterrorist-methods-to-the-threat-of-piracy)
Meluasnya kejahatan para perompak ini terjadi karena adanya
kelompok-kelompok perompak yang terbentuk di Somalia semakin
terorganisir. Secara umum berdasarkan laporan Asosiasi East African
Seafarers memperkirakan, setidaknya ada 3 (tiga) geng perompak dan
total anggotanya seribu orang bersenjata yang mengorganisir perompak
Somalia yaitu:
1) Dari kalangan nelayan Somalia. 2) Dari kalangan mantan milisi rezim Siad Berre yang memerintah
Somalia tahun 1964- 1991. Terutama adalah anggota seniornya yang berusia di atas 35 tahun.
3) Dari kalangan para teknisi yang menguasai teknologi informasi dan kelautan.
Dari ke tiga unsur kelompok di atas terdapat kurang lebih 1100 orang perompak yang memiliki peralatan untuk menyerang, seperti RPG-7 peluncur granat terbaik saat ini, Pistol semi otomatis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dan Senapan Mesin. Sedangkan, 4 (empat) geng utama yang menguasai dunia perompak Somalia, yaitu : a) Marka group, dipimpin Yusuf Mohammed Siad Inda’ade yang
sedikit berantakan, kurang terorganisir dan menguasai kota pesisir Marka (Maakhir Land).
b) National Volunteer Coast Guard yang dipimpin oleh Garaad Mohamed. Mereka spesialis mencegat kapal-kapal kecil dan perahu nelayan di Kismayo, pesisir selatan.
c) Kelompok nelayan tradisional. Mereka terorganisir dengan rapi. Lokasi operasi mereka di sekitar Puntland dan dikenal sebagai Puntland group milik Abdirahman Farole, President of Puntland.
d) Somali Marines paling kuat dan canggih. Kelompok ini paling disegani karena terorganisir berstruktur militer. Mereka memiliki armada dan komandan angkatan laut yang masih aktif saat ini. Sulit menemukan siapa pemimpinnya karena mereka bertindak secara ilegal dan berpura-pura patroli laut. Jika ada kesempatan mereka melakukan perompakan dengan mengatasnamakan ke tiga kelompok di atas (http://unik.kompasiana.com/2011/04/18/teluk-aden-dan-perompak-somalia-arena-adu-gengsi-pasukan-komando-dunia).
Menurut pengamat Somalia Mohamed Mohamed, mengatakan ada
tiga kelompok besar yang menjadi cikal bakal perompak:
1) Kelompok pertama adalah mantan nelayan. Mereka adalah tulang
punggung operasi perompak karena sangat mengenal Teluk Aden.
2) Kelompok kedua adalah mantan milisi dari perang saudara Somalia.
Mereka menjadi eksekutor perompak.
3) Kelompok terakhir adalah para ahli informasi dan tekhnologi. Mereka
yang mengoperasikan peralatan canggih untuk merompak kapal di
tengah laut termasuk berkomunikasi lewat telepon satelit dan ahli
senjata (http://id.shvoong.com/social-sciences/anthropology/2146572-
perompak-somalia/).
Menurut Iqbal Jhazbhay, pakar Somalia dari Universitas Afrika
Selatan, mengatakan motif para perompak Somalia sejauh ini cuma dua
yaitu uang dan bertahan hidup, yang direkrut pertama kali untuk jadi
perompak adalah para nelayan karena nelayan yang punya akses ke laut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
berupa perahu (http://id.shvoong.com/social-
sciences/anthropology/2146572-perompak-somalia/).
Taktik yang digunakan perompak Somalia adalah dengan
menggunakan kapal induk yang biasanya merupakan hasil serangan yang
dilancarkan perompak pada kejahatan sebelumnya. Kapal induk ini
memungkinkan para perompak laut untuk tinggal di laut lebih lama
daripada menggunakan perahu ringan mereka. Setelah sebuah kapal
kargo yang lewat telah diserang, kapal induk mempercepat kecepatannya
dan mengapit target tersebut. Untuk memperlambat atau menghentikan
kapal, perompak menggunakan berbagai cara untuk mengintimidasinya,
termasuk dengan menembakkan senjata atau dengan menggunakan roket
dan granat. Setelah target telah melambat, tim yang terdiri dari tujuh
sampai sepuluh orang menggunakan papan perompak kapal untuk naik
tangga dan menggunakan kait yang digulatkan untuk mengambil kapal dan
menyandera awaknya (James Jay Carafano and Jon Rodeback, 2011: 6).
Setelah dirompak, kapal kargo yang lebih besar dan awak mereka
berlayar ke pelabuhan di Somalia untuk bernegosiasi dan pembayaran
uang tebusan. Perompak-perompak Somalia juga memiliki jaringan di
sepanjang pantai, di mana mereka dapat menjual barang-barang hasil
rampokkan dan dengan adanya jaringan tersebut para perompak ini dapat
mendapatkan informasi tentang kapal-kapal yang melewati daerah tersebut
(James Jay Carafano and Jon Rodeback, 2011: 6).
b. Perompakan di Somalia
Negara sebagai otoritas tertinggi dalam sistem hukum internasional
secara langsung terkait dengan prinsip kedaulatan. Namun,
ketidakmampuan suatu negara, untuk mempertahankan kontrol yang
efektif dan memberikan keamanan bagi warganya menciptakan
permasalahan yang serius bagi sistem internasional dan keinginan untuk
menghormati kedaulatan negara. Di Somalia kegagalan negara untuk
menyediakan pemerintahan yang baik, keamanan, dan penghormatan
terhadap aturan hukum di menjadi konflik yang meluas di negara itu. Hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
ini juga telah memicu perompakan yang semakin marak terjadi di Somalia
(Mario Silva, 2010: 553)
Data laporan International Maritime Bureau (IMB)
memperlihatkan bahwa kejahatan perompakan terbesar terdapat di daerah
Afrika di tahun 2009.
Gambar 5
Gambar total perompakan di beberapa negara
(sumber:http://www.africaeuropechallenge.com/aec/index.php?option=com_conte
nt&view=article&id=58:piracy-annual-report-2009&catid=15:hirek-
kalozkodas&Itemid=175&lang=hu).
Beberapa kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun 2010-
2011 adalah:
Tabel 1
No. Nama Bendera Dirompak Awak
1 1 MV Iceberg 1 Panama 29 Maret 2010 24
2 FV Jih Chun Tsai No 68 Taiwan 30 March 2010 14
3 MV RAK Afrikana St Vincent and
Grenadines
11 April 2010
26
4 FV Prantalay 11 Thailand 18 April 2010 26
5 FV Prantalay 12 Thailand 18 April 2010 24
6 FV Prantalay 14 Thailand 18 April 2010 26
7 MV Suez Panama 02 August 2010 24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
8 MV Olib G Malta 08 September
2010
18
9 MV Asphalt Venture Panama 28 September
2010
15
10 MV Izumi Panama 10 October 2010 20
11 FV Golden Wave Sth Korean 09 October 2010 43
12 MV York Singapore 23 October 2010 17
13 MV Polar Panama 30 October 2010 23
14 MV Aly Zoulfecar Comoros 03 November
2010
29
15 MV Hannibal II Panama 11 November
2010
30
16 MV Yuan Xiang Panama 12 November
2010
29
17 MV Albedo Malaysia 25 November
2010
23
18 BC Jahan Moni Bangladesh 05 December
2010
26
19 MV MSC Panama Liberia 10 December
2010
23
20 MV Renuar Panama 11 December
2010
24
21 MV Orna Panama 20 December
2010
19
22 MV Thor Nexus Thailand 25 December
2010
27
23 FV Shiuh Fu No 1 Taiwan 25 December
2010
26
24 MV EMS RIVER Antigua &
Barbuda
27 December
2010
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
25 FV VEGA 5 Mozambique 31 December
2010
24
26 MV BLIDA Algerian 01 January 2011 27
27 MV EAGLE Cyprus 7 January 2011 24
28 HOANG SON SUN
Mongolia 19 January 2011
(reported)
24
29 MV KHALED
MUHIEDDINE K 20
Togo January 2011 25
30 MV BELUGA
NOMINATION
Germany 25 January 2011 12
Tabel kapal yang dirompak di daerah Afrika antara tahun 2010-2011
(sumber: EU NAVFOR, pirated vessels)
Menurut laporan IMB melalui International Chamber of
Commerce (ICC) perompakan banyak terjadi di laut lepas terutamanya di
lepas pantai Somalia. Dari 439 serangan dilaporkan ke IMB pada tahun
2011, 275 serangan terjadi di lepas pantai Somalia di pantai timur dan di
Teluk Guinea di pantai barat Afrika (http://www.icc-ccs.org/piracy-
reporting-centre). Perompakan yang terjadi di lepas pantai Somalia
menyumbang 92% dari semua kejahatan kapal yang terjadi pada
tahun 2009 dengan 49 kapal dirompak dan 1.016 awak kapal diambil dan
dijadikan sebagai sandera (Lucas Bento, 2011 : 6).
Perompakan yang terjadi di Somalia semakin lama semakin
berkembang diantara tahun 2005-2010 perompakan telah meluas bukan
hanya disekitar lepas pantai Somalia, seperti yang terlihat di dalam gambar
di bawah ini yang menunjukkan semakin meluasnya tindakan perompakan
serta jalur yang dijadikan sebagai tempat perompakan tersebut merupakan
jalur pelayaran yang ramai dan strategis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Gambar 6
Gambar jalur perompakan
(Sumber: http://www.maritimegeorgia.ge/?p=141&lang=en)
3. Perompakan terhadap kapal Sinar Kudus MV
a. Kronologis
Berikut kronologi perompakan Sinar Kudus MV: (Adi Patrianto, 2011)
1) Awal Kejadian
Kapal Sinar Kudus MV milik PT Samudera Indonesia Tbk
dirompak di sekitar 320 mil timur laut Pulau Socotra. Para
perompak itu memakai senjata untuk mengancam ke arah kapal dan
kemudian menaiki kapal. Kemudian,
kendali kapal sudah berada di tangan para perompak, sebanyak
20 ABK Sinar Kudus dijadikan sandera. Mereka lalu membawa kapal
itu ke pantai yang mereka kuasai. Peristiwa tersebut terjadi pada Rabu
16 Maret 2011 pukul 14.27 WIB. Kapal Sinar Kudus MV merupakan
kapal berbendera Indonesia yang berangkat dari Kolombo pada
tanggal 11 Maret 2011.
Ketika dirompak, kapal tersebut sedang mengarungi rute
perjalanan dari Pomala, Sulawesi Selatan, Indonesia menuju
Rotterdam, Belanda dengan mengangkut 800 ton ferro nickel (biji
nikel) milik PT Aneka Tambang dengan harga Rp 1,5 triliun. Menurut
Gugus Tugas Antiperompak Uni Eropa, kapal Sinar Kudus MV
dirompak di posisi 320 mil laut di sebelah timur laut Pulau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Socotra. Pulau ini terletak di perairan Somalia. Perairan di bagian
timur Afrika dan Teluk Aden memang rawan dengan perompakan.
Jalur pelayaran itu merupakan salah satu urat nadi transportasi laut
internasional karena kapal yang berasal dari Asia maupun Eropa akan
melintas di sana setelah menuju Terusan Suez. Sebanyak empat
persen perdagangan minyak internasional melewati jalur ini.
Sementara itu Corporate Communication PT Samudera Indonesia
Tbk selaku pemilik kapal Sinar Kudus MV, menerima kabar bahwa
seluruh awak kapal dalam keadaan selamat. Prioritas utama PT
Samudera adalah untuk keselamatan jiwa para awak kapal. Selain itu,
PT Samudera juga bekerjasama dengan Otoritas Anti Pembajakan
Internasional dan Otoritas Indonesia berupaya untuk membebaskan
seluruh sandera. Saat ini pihaknya sudah membentuk Tim Manajemen
Krisis untuk mengatasi masalah perompakan.
2) Perompakan Kapal
Kapal Sinar Kudus MV berlayar di Semenanjung Somalia
dengan kecepatan maksimal 11-12 knot, diperkirakan dalam beberapa
jam lagi, Kapal Sinar Kudus MV akan segera memasuki Terusan
Suez. Namun, kapal berbendera Somalia tiba-tiba menyalip Sinar
Kudus, lalu berbalik haluan setelah empat mil di depan. Mereka
kemudian menurunkan dua buah speed boat dari lambung
kapal. Hanya dalam hitungan menit, speed boat yang lebih kurang
berisi empat dan enam orang mendekati posisi Sinar Kudus MV.
Semua penumpang dalam speed boat tersebut menggunakan
senjata api laras panjang dan berkalung peluru. Saat itulah para ABK
Sinar Kudus baru menyadari jika kapal mereka dirompak. Menyadari
bahaya yang mengancam, kapten kapal segera memerintahkan kapal
menambah kecepatan untuk menghindar. Lewat radio komunikasi
Kapten Jauhari meminta seluruh awak kapal untuk bersiaga, semua
akses masuk kapal ditutup, termasuk bagian
mesin hingga pintu anjungan. Namun, para perompak melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
beberapa tembakan ke Kapal sinar Kudus MV. Di saat itu pula awak
buah kapal menelepon koordinator pengamanan di semenanjung itu
yakni gabungan tentara United Nation (PBB) dengan tentara NATO
namun tidak dapat tersambung.
Kemudian para perompak telah berhasil memasuki kapal dan
menggunakan senjatanya untuk mengancam ABK Kapal Sinar Kudus
MV. Para perompak kemudian mengambil semua benda yang berada
di saku sandera, termasuk ponsel dan kunci loker. Setelah merompak
Kapal Sinar Kudus MV, para perompak mengarahkan kapal kembali
ke Perairan Somalia. Dari posisi tersebut, kapal diminta mendekat ke
sebuah teluk dengan waktu tempuh sekitar delapan jam kemungkinan
tempat ini merupakan lokasi sarang para perompak. Sesaat setelah
Sinar Kudus MV berada di teluk, beberapa speed boat datang
mendekat dengan membawa perbekalan, di antaranya beras, tepung,
gula, hingga kambing. Kiriman bekal logistik dari darat itu disiapkan
dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan makan perompak.
Jumlah anggota perompak pun bertambah menjadi 60 orang. Mereka
tampaknya telah mengantisipasi proses negosiasi yang akan
berlangsung lama. Sejak saat itu penyanderaan para perompak
dimulai.
3) Tindakan Pemerintah
Begitu mendengar perompakan kapal berbendera Indonesia, pada
tanggal 17 Maret 2011 pemerintah mulai aktif bekerja dibawah
koordinasi Mentri koordinasi politik hukum dan keamanan.
Pemerintah melibatkan Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen
Negara (BIN) maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengingat
kasus ini tidak biasa dan menyangkut keselamatan 20 orang Warga
Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Presiden Indonesia kemudian
melaksanakan rangkaian rapat kabinet terbatas pada tanggal 18 Maret
2011 dan rapat kembali digelar tanggal 20-22 Maret. Dalam rapat
tersebut akhirnya memutuskan tiga opsi untuk membebaskan Sinar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Kudus MV. Opsi pertama adalah negosiasi, kedua operasi militer dan
terakhir negosiasi dan operasi militer dilaksanaan secara bersamaan.
Keputusan ini diambil setelah pemerintah terlebih dahulu menerima
masukan dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar,
diantaranya dari Ikatan Nahkoda Niaga Seluruh Indonesia yang
meminta opsi negosiasi dengan prioritas keselamatan dari penumpang
atau ABK, kemudian juga dari keluarga anak buah kapal tersebut
serta anak-anaknya. Menindaklanjuti keputusan tersebut akhirnya
dibentuklah Satuan Tugas (satgas) Duta Samudra I/2011 yang dibagi
dalam tiga kelompok.
Pertama, Satgas Merah Putih yang terdiri dari dua buah fregat
klas van speyk masing-masing KRI Yos Sudarso-353 dan KRI Abdul
Halim Perdanakusuma-355 beserta ABKnya, personel pasukan
khusus TNI seperti Kopaska Angkatan Laut, Pasukan Intai Amphibi
Marinir, Kopasus TNI Angkatan Darat, pasukan Ray Howitzer,
Satuan Tugas 81 Kopasus dan Unit Ton Tai Pur Kostrad Satgas ini
dipimpin oleh Komandan Gugus Tempur Laut Koarmabar. Kopasus
kemudian diangkut dengan pesawat TNI Angkatan Udara jenis
Boeing 737-400 yang berawak 16 orang dibawah pimpinan Letkol
Penerbang Ro-nald Siregar dari Jakarta menuju Colombo, Srilangka,
untuk selanjutnya on board di kedua kapal fregat tersebut. Pasukan
kedua adalah Satgas Pasukan Kekuatan Pendukung. Pasukan ini
menyusul ke daerah operasi dengan kapal jenis LPD, KRI
Banjarmasin. Mereka dilengkapi dengan heli NP412, 7 boat C- Rider,
5 tank BMP3F, 4 unit Howitzer dan 18 perahu karet. Sedangkan
pasukan pendukung terakhir adalah Satgas Intel Ga-bungan yang
terdiri dari 15 personel intelijen TNI dan personel Badan Intelijen
Negara (BIN). Total seluruh pasukan yang mengikuti Operasi Duta
Samudera I/2011 adalah 999 personel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
4) Menuju Daerah Operasi
Tanggal 23 Maret 2011 pukul 18.00 WIB KRI Yos Sudarso-
353 berangkat dari Dermaga Kolinlamil Tanjung Priok, Jakarta,
bersama dengan KRI Abdul Halim Perdana Kusuma-355. Setelah
berlayar selama lebih kurang satu setengah hari, kedua kapal perang
tersebut kemudian melaksanakan bekal ulang di pelabuhan Padang,
Sumatera Barat pada tanggal 25 Maret 2011. Siang harinya kedua
kapal tersebut bertolak membelah Samudera Hindia menuju
Colombo, Sri Lanka. Satgas Merah Putih akhirnya tiba di Colombo
pada tanggal 29 Maret pukul 07.20 waktu setempat. Kapal segera
bersandar di pelabuhan dan melakukan persiapan sambil menunggu
kedatangan pasukan khusus TNI Angkatan Darat.
Pada pukul 11.45 pesawat Boeing 737-400 TNI AU mendarat di
Colombo, dan pasukan TNI AD. Pagi tanggal 30 Maret tepat pukul
07.25 waktu setempat Satgas Merah Putih menuju daerah operasi di
El Danan, namun ketika tiba di wilayah perairan tersebut tanggal 5
April 2011 posisi Sinar Kudus sudah tidak berada di tempat. Kapal itu
menjauh menuju perairan Somalia saat Tim Satgas Merah Putih
masih berada di Kolombo. Mereka baru tiba di lokasi perompakan
setelah menempuh perjalanan selama 12 hari. Dengan kecepatan 16
knot kedua kapal perang itu tidak berhasil menemukan posisi
keberadaan MV Sinar Kudus seperti saat kapal tersebut dibajak
perompak. Lamanya jarak tempuh menyebabkan satgas tidak
mungkin melakukan operasi militer untuk membebaskan ke 20 ABK
tersebut dari tangan perompak.
Meskipun begitu mereka tetap mengumpulkan data-data
intelijen dan melaksanakan pengintaian (reconnaissance) di perairan
Somalia. Disamping itu Tim Satgas juga melakukan koordinasi
dengan Combined Task Force (CTF) - 151 di bawah pimpinan
Laksamana Pertama Harry Chan dari Singapura mengenai modus
yang sering digunakan para perompak. Satuan tugas ini merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
satuan pengamanan gabungan dari beberapa negara untuk
mengamankan wilayah Perairan Somalia dari perompakan. CTF-151
beranggotakan pasukan dari Amerika Serikat dan negara-ne-gara
anggota NATO.
Tanggal 9 April 2011 para perompak meminta negosiasi ulang
dengan pemilik kapal PT Duta Samudera, mereka kemudian
menaikkan nilai uang tebusan kepada pemilik kapal. Jika awalnya
mereka hanya meminta US$ 1 juta atau sekitar Rp 9 miliar, sekarang
mereka meminta US$ 3,5 juta atau Rp 31,5 miliar. Pada tanggal 10
April 2011 perompak memberi tenggat waktu dua hari untuk
pembayaran tebusan tersebut. Jika tidak direspon, mereka me-
ngancam akan menaikkan nilai te-busan. Sementara itu Juru Bicara
Kepresidenan Bidang Luar Negeri, menyatakan pemerintah telah
melakukan upaya-upaya untuk pembebasan awak kapal Sinar Kudus
MV. Hal ini untuk menjawab berita-berita yang berkembang di
tengah masyarakat bahwa seolah-olah pemerintah tidak berbuat apa-
apa. Kemudian pada tanggal 11 April 2011 PT Samudera Indonesia
sebagai pemilik Sinar Kudus MV berinisiatif untuk mengumpulkan
para anggota keluarga ABK tersebut di Jakarta untuk memberikan
informasi yang berkaitan dengan kondisi keluarga mereka di Somalia.
Di saat yang bersamaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menginstruksikan agar pembebasan 20 ABK Sinar Kudus MV itu
dilakukan dengan negosiasi yang cermat. Namun demikian Panglima
TNI mengatakan bahwa semua opsi, termasuk operasi militer terbuka
masih dimungkinkan untuk membebaskan 20 awak kapal Sinar
Kudus.
Proses negosiasi pembebasan sandera berjalan lama, tanggal 12
April 2011 para perompak Somalia menurunkan nilai tebusan menjadi
US$ 3 juta atau sekitar Rp 27 miliar. Sementara itu di dalam negeri
Dubes Somalia untuk Indonesia, Mohamud Olow Barow pada tanggal
13 April 2011 secara resmi menyampaikan permintaan maafnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kepada pemerintah Republik Indonesia. Pada saat itu dia juga
mempersilahkan pemerintah Indonesia untuk menggunakan
opsi militer andaikata proses negosiasi tersebut menemui jalan buntu.
Melihat perkembangan yang terjadi di Somalia, pemerintah
pada tanggal 21 April 2011 memutuskan untuk
memberangkatkan KRI Banjarmasin yang mengangkut tim Satgas
Pasukan Kekuatan Pendukung berlayar menuju daerah operasi dan
pada tanggal 25 April 2011 Pukul 10.30 mereka tiba di pelabuhan
Salalah Oman. Pada tanggal 26 April 2011 Satgas Duta Samudra
kembali ke daerah operasi di perairan Somalia. Saat itu posisi Sinar
Kudus MV sudah berada di Pesisir Eyl yang dikenal sebagai kampung
nelayan sekaligus merupakan sarang perompak Somalia. Daerah itu
terletak 500 mil sebelah utara Mogadishu, ibukota Somalia. Rupanya
untuk memecah konsentrasi tim Satgas Merah Putih yang berada di
lautan Somalia, para perompak mencampuradukan tawanan mereka.
Mereka bahkan memindah-mindahkan mereka ke kapal lainnya. Hal
ini mengandung konsekuensi jika dilakukan serangan militer belum
tentu semua sandera dapat dibebaskan dalam waktu yang bersamaan.
5) Hari Pembebasan
Namun sebelum operasi pembebasan sandera dimulai,
perompak dengan pemilik kapal berhasil mencapai kata sepakat
dengan konsekuensi pemilik kapal memenuhi tuntutan perompak.
Bajak laut Somalia itu telah membebaskan 20 awak kapal MV Sinar
Kudus yang disandera sejak 16 Maret lalu setelah mereka menerima
tebusan uang lebih dari US $ 4,5 juta atau Rp 38,7 miliar, uang
tebusan dijatuhkan melalui angkutan udara kepada mereka. Pada saat
itu, perompak yang lebih kurang berjumlah 80 orang berjanji akan
membebaskan para sandera pada tanggal 1 Mei 2011.
Namun demikian dua jam setelah menerima uang tebusan, para
perompak tidak segera membebaskan sandera. Kemudian keesokan
harinya tepat pukul 06.00 waktu setempat sandera akhirnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dilepaskan tetapi dengan cara membawa Sinar Kudus berlayar ke Eyl,
sekitar 80 nautical mile dari Pantai El Dhahanaan (El Dhanan),
wilayah basis para perompak. Para perompak ini turun di tiga titik
berbeda secara bertahap sampai akhirnya kapal Sinar Kudus MV tiba
di Eyl. Namun, setelah enam perompak terakhir turun dari Sinar
Kudus, perompak laut dari kelompok lain rupanya sudah bersiap
mengejar dan bermaksud menguasai kembali kapal tersebut.
Tampaknya selain menggunakan modus lepas, lalu dirompak lagi,
para perompak di Somalia diduga terkait dengan jaringan
internasional. Adanya agen khusus yang menjadi perantara negosiasi
perompak dengan perusahaan pemilik kapal yang dibajak,
memperkuat kecurigaan itu. Mengetahui gelagat yang tidak
diinginkan tersebut akhirnya kapal TNI AL yang hanya diperbolehkan
berada sekitar 10,2 mil dari Sinar Kudus langsung menurunkan dua
sea rider berhadapan dengan dua speed boat perompak yang juga
berkekuatan penuh. Speed boat akhirnya dapat dikuasai dan empat
orang perompak Somalia tewas di tempat. Pada pukul 13.10 Sinar
Kudus MV dapat dikuasai sepenuhnya oleh tim satgas dan dengan
dikawal KRI Banjarmasin menuju pelabuhan terdekat, Salalah, Oman.
Selama ini, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya
pembebasan adalah lebih dari 150 hari dan waktu tersingkat sekitar 60
hari. Tidak ada satu negara pun yang bisa membebaskan kurang dari
150 hari, namun Tim Satgas Merah Putih mampu membebaskan para
sandera hanya dalam waktu 46 hari saja (Adi Patrianto, 2011).
B. Pembahasan
1. Pengaturan perompakan di laut lepas menurut hukum internasional
Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam laut teritorial atau dalam perairan internal suatu negara, definisi ini
kemudian sudah mendapatkan modifikasi dengan lahirnya UNCLOS 1982
(Rebecca M.Wallace, 1993: 155). UNCLOS 1982 memberikan modifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
atas pengertian laut lepas yakni semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu
negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan, yang tidak
mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati
semua negara di zona ekonomi eksklusif. Laut lepas terbuka untuk semua
negara baik itu negara berpantai maupun negara tidak berpantai.
Prinsip yang digunakan dalam konsep laut lepas menggunakan prinsip
kebebasan. Prinsip kebebasan itu berarti tidak berlakunya kedaulatan, hak
berdaulat atau yurisdiksi suatu negara (Jawahir Thontowi dan Pranoto
Iskandar, 2006: 189). Kebebasan yang dimaksud dalam UNCLOS 1982 juga
dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa tidak ada satupun negara yang dapat
menegakkan yurisdiksinya di laut lepas dan laut lepas ini hanya digunakan
untuk kegiatan yang bertujuan untuk perdamaian. Oleh sebab itu, yurisdiksi
sebuah kapal yang berlayar di laut lepas didasarkan pada peraturan-
peraturan yang berlaku dalam yurisdiksi benderanya. Hal ini dilakukan
supaya terciptanya kesatuan hukum yang dapat menjamin ketertiban di atas
kapal.
Peraturan ini berlaku bukan hanya pada kapal yang berlayar di laut
lepas tetapi juga pada semua orang di atas kapal jika terjadi tindak pidana di
atas kapal. Kapal dalam hal ini kapal berbendera dipersamakan dengan
wilayah negara, jadi dalam hal ini kapal dianggap sebagai floating portion of
the flag state yaitu bagian yang terapung wilayah negara bendera. Karena
suatu negara mempunyai wewenang absolut terhadap wilayahnya, maka
negara tersebut mempunyai wewenang pula terhadap kapal-kapal dengan
bendera negaranya yang berlayar di laut lepas, karena kapal tersebut
dianggap bagian dari wilayah negara (Boer Mauna, 2005: 323).
Setiap negara harus menetapkan persyaratan untuk memberikan ijin
kepada kapal dalam memberikan kebangsaan dan hak mengibarkan
benderanya. Kapal yang memiliki kebangsaan negara benderanya secara sah
dapat mengibarkan bendera negara tersebut. Sehingga, harus ada suatu
kaitan yang jelas antara negara dan kapal itu serta setiap negara harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
memberikan dokumen-dokumen yang terkait dengan hal tersebut. Ketentuan
atas kapal tersebut menyebabkan undang-undang negara bendera berlaku
pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara
bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang
negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal
atau bagi semua perbuatan pidana. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi dari
tidak adanya yurisdiksi di laut lepas, sehingga hukum negara bendera yang
dipakai sebagai yurisdiksinya (Boer Mauna, 2005: 322).
Kejahatan pelayaran sering terjadi di laut lepas salah satunya adalah
perompakan kapal laut. Setiap tahun kasus perompakan mengalami
peningkatan. Kejahatan perompakan sering terjadi di laut lepas pantai
Somalia. Melihat banyaknya kejahatan perompakan tersebut, maka DK
PBB mengeluarkan resolusi nomor 1816 tahun 2008 yang di dalamnya
menghimbau negara-negara untuk bekerja sama satu sama lain, dengan IMO
dan dengan organisasi regional yang terkait lainnya untuk berbagi informasi
tentang, tindakan perompakandan perampokan bersenjata dan untuk
memberikan bantuan kepada kapal yang terancam atau diserang oleh
perompak laut atau perampok bersenjata. Perompakan saat ini menyebabkan
pelayaran menjadi berbahaya serta kekhawatiran terhadap lingkungan laut
dan keselamatan pelayaran semakin meningkat. Oleh sebab itu, negara-
negara berkeinginan untuk memberantas perompakan (H.E. Jose´ Luis
Jesu,2003: 367).
Oleh sebab itu, perompakan diatur dalam beberapa konvensi
internasional yang berkaitan dengan hukum laut, yakni Convention on the
High seas 1958 (CHS 1958), United Nations Convention on the Law Of the
Sea 1982 (UNCLOS 1982), dan Convention for the Suppression of Unlawful
Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988 (SUA 1988).
Perompakan juga diatur dalam ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
organisasi internasional dan hukum yang berlaku di kawasan tertentu.
Khusus untuk perompakan yang terjadi di wilayah Somalia, PBB dalam hal
ini Dewan Keamanan juga memutuskan beberapa Resolusi yang berkaitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
dengan pemberlakuan jurisdiksi. Hukum Internasional yang mengatur
masalah perompakan adalah sebagai berikut:
a. Convention on the High seas 1958 (CHS 1958)
CHS lahir dari konferensi yang diadakan oleh PBB pada tahun 1958
yakni konferensi yang membahas mengenai hukum laut. CHS 1958
menjadi titik awal aturan yang mencakup segala hal terkait hukum di laut
lepas. Salah satu aturan yang di bahas dalam CHS 1958 ini mengenai
perompakan yang terjadi di laut lepas. Aturan atas perompakan dalam
CHS 1958, diatur dalam beberapa pasal, yakni:
1) Pasal 14 CHS 1958
Landasan legalitas dari kerjasama negara-negara untuk
memberantas perompakan di laut lepas atau di tempat lain di luar
yurisdiksi setiap negara diakomodir dalam pasal 14 CHS 1958 ini.
All States shall cooperate to the fullest possible extent in the
repression of piracy on the high seas or in any other place outside
the jurisdiction of any State. Pasal ini menyatakan bahwa semua
negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan
di laut lepas atau di tempat lain di luar yurisdiksi setiap negara.
Landasan legitimasi bagi setiap negara ini dapat digunakan
untuk landasan suatu negara untuk menerapkan hukumnya untuk
mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh negara pihak
ketiga. Pasal ini sejalan dengan yurisdiksi universal yang melekat
terhadap kejahatan perompakan tersebut, sehingga hal ini semakin
memperkuat landasan bagi negara pihak ketiga untuk melakukan
penuntutan dan menerapkan yurisdiksinya atas kasus-kasus
perompakan.
Asas yurisdiksi universal ini melekat terhadap semua negara
peratifikasi CHS 1958 ini dalam hal ini telah ada 63 negara yang
meratifikasi konvensi ini. Oleh sebab itu, negara-negara pihak dalam
konvensi ini dapat menggunakan aturan ini untuk menekan angka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
perompakan dengan cara mengadili para perompak dengan hukum
nasionalnya.
2) Pasal 15 CHS 1958
Pengertian mengenai perompakan diatur dalam Pasal 15 CHS
1958, dalam pasal ini CHS 1958 memberikan batasan mengenai
definisi dari perompakan. Peristiwa yang dikatakan sebagai
perompakan adalah kejahatan perompakan yang terjadi di laut lepas,
selain itu keikutsertaan secara sukarela dengan fakta bahwa
penumpang kapal tersebut telah mengetahui bahwa kapal digunakan
untuk merompak maka kejahatan perompakan dapat dikenakan
terhadapnya. CHS membatasi pengertian perompakan ini jika
kejahatan tersebut terjadi di laut lepas, bukan ketika kejahatan
perompakan terjadi di laut teritorial.
3) Pasal 16 CHS 1958
“The acts of piracy, as defined in article 15, committed by a warship, government ship or government aircraft whose crew has mutinied and taken control of the ship or aircraft are assimilated to acts committed by a private ship.”
Pasal 16 CHS 1958 menyatakan apabila unsur-unsur
perompakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 CHS 1958
telah terpenuhi, maka ketika hal tersebut dilakukan oleh suatu kapal
perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya
telah memberontak dan mengambil alih pengendalian kapal atau
pesawat udara tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan
orang-orang tersebut dapat disamakan dengan tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara perompak.
Kejahatan perompakan tetap dapat dikenakan terhadap setiap
kapal yang memenuhi unsur dalam Pasal 15 CHS 1958 tanpa
memandang kapal tersebut merupakan kapal perang atau kapal
pemerintah. Sehingga, kapal perang atau kapal pemerintahpun dapat
ditetapkan sebagai perompakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
4) Pasal 17 CHS 1958
Batasan terhadap kapal atau pesawat udara yang disebut
sebagai perompak diatur dalam pasal 17 CHS 1958. Batasan kapal
atau pesawat udara dianggap sebagai suatu kapal atau pesawat udara
perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang
mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu
tindakan yang dimaksud dalam Pasal 15 CHS 1958. Hal yang sama
berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan untuk
melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau pesawat
udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang bersalah
melakukan tindakan itu.
5) Pasal 18 CHS 1958
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kapal atau pesawat
udara yang memenuhi unsur Pasal 15 CHS 1958 dinyatakan sebagai
perompak, maka kebangsaan kapal atau pesawat udara tetap dapat
memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi kapal atau pesawat
udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ini
ditentukan oleh hukum negara yang telah memberikan kebangsaan
itu. Negara pemberi kebangsaan terhadap kapal memiliki
kewenangan untuk mencabut atau tetap mempertahankan
kebangsaan kapal perompak tersebut.
6) Pasal 19 CHS 1958
Pasal 19 CHS 1958 mengatur tentang kewenangan atas
penyitaan kapal. Kewenangan atas penyitaan terhadap kapal laut di
laut lepas, atau di setiap tempat lain di luar yurisdiksi negara
manapun, yang diduga kapal atau pesawat udara tersebut merupakan
perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil
oleh perompak dan berada di bawah pengendalian perompak dan
menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal.
Penyitaan atas kapal ini dapat dilakukan oleh setiap negara
yang meratifikasi konvensi ini serta setelah dilakukannya penyitaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
terhadap kapal pengadilan dari negara yang melakukan penyitaan
tersebut dapat memutuskan hukuman yang akan dikenakannya dan
menentukan tindakan yang diambil yang berkaitan dengan kapal
tersebut. Penyitaan ini tetap harus dengan itikad yang baik sehingga
tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dalam melakukan
penyitaan.
7) Pasal 20 CHS 1958
Penyitaan terhadap kapal yang diduga sebagai perompak harus
dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum
internasional dan dengan prinsip good faith, yakni penyitaan tersebut
harus didasarkan dengan itikad yang baik agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan dalam penyitaan. Ketika suatu negara
menyita kapal tanpa alasan yang benar maka Pasal 20 CHS 1958
memberikan peringatan bahwa perlu adanya sebuah tanggung jawab
yang harus dibebankan kepada negara terhadap penyitaan tanpa
alasan yang cukup.
Where the seizure of a ship or aircraft on suspicion of piracy has been effected without adequate grounds, the State making the seizure shall be liable to the St ate the nationality of which is possessed by the ship or aircraft, for any loss or damage caused by the seizure.
Pasal ini menjelaskan bahwa apabila penyitaan suatu kapal
pesawat udara yang dicurigai melakukan perompakan dilakukan
tanpa alasan yang cukup, maka negara yang telah melakukan
penyitaan tersebut harus bertanggung jawab terhadap negara yang
kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk
setiap kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan
tersebut.
8) Pasal 21 CHS 1958
Penyitaan terhadap kapal yang diduga perompak ini hanya
dapat dilakukan oleh kapal-kapal tertentu, seperti yang disebutkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dalam Pasal 21 CHS 1958 bahwa hanya kapal-kapal tertentu saja
yang dapat melakukan penyitaan.
“A seizure on account of piracy may be carried out only by warships or military aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as being on government service and authorized to that effect.”
Pasal ini berkaitan dengan kriteria kapal yang dapat melakukan
penyitaan. perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang
atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang
secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas
pemerintahan serta yang diberi wewenang untuk melakukan hal
demikian. Hal ini dimaksudkan agar tidak adanya kesewenangan
dalam penyitaan serta pertanggung jawabannya akan jelas
dibebankan terhadap siapa.
Setelah penulis memaparkan aturan dalam CHS 1958, bahwa aturan
yang terdapat di dalam CHS 1958 telah mengakomodir hal-hal yang
diperlukan untuk menekan angka perompakan dengan adanya aturan-
aturan yang mengatur tentang penindakkan atas kejahatan perompakan.
Aturan hukum dalam CHS 1958 ini dapat dilaksanakan oleh negara-negara
jika terjadi kasus perompakan sebagai landasan legal terhadap setiap
tindakan untuk menekan angka perompakan di dunia. Sebagai sebuah
sumber hukum, CHS 1958 adalah bagian dari perjanjian internasional
yang mengikat bagi para pihak yang telah menyatakan tunduk
terhadapnya.
Seperti halnya yang diatur dalam pasal 14 CHS bahwa setiap negara
harus bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan. Negara yang
dilekati atas aturan ini adalah negara yang telah meratifikasi CHS 1958
dalam hal ini telah ada 63 negara yang meratifikasi konvensi ini (United
Nations, Treaty Series , vol. 450, p. 11.,
http://treaties.un.org/pages/ShowMTDSGDetails.aspx?src=UNTSONLIN
E&tabid=2&mtdsg_no=XXI-2&chapter=21&lang=en#Participants). Oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
sebab itu, negara-negara pihak dalam konvensi ini dapat menggunakan
aturan ini untuk menekan angka perompakan dengan cara mengadili para
perompak dengan hukum nasionalnya.
b. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982)
Konvensi ini terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas
dari yurisdiksi nasional di ruang udara dan di atas laut, navigasi,
perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah,
pertambangan dasar laut dan eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non
hayati dan ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian perselisihan.
Disamping itu, konvensi ini juga mengatur tentang pendirian dari badan-
badan internasional untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi untuk realisasi
tujuan-tujuan tertentu dari konvensi (Direktorat Diplomasi Publik
Kementerian Luar Negeri R.I, 2010: 15).
Ketentuan UNCLOS 1982 yang mengatur tentang perompakan,
beberapa hal yang diatur adalah:
1) Pasal 100 UNCLOS 1982
Pasal 100 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “all states
shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of
piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction
of any State.” Pasal ini menyatakan bahwa semua negara harus
bekerjasama sepenuhnya dalam menekan perompakan di laut lepas
atau di tempat lain di luar yurisdiksi setiap negara.
Adanya Pasal 100 UNCLOS 1982 ini memberikan landasan
legitimasi bagi setiap negara untuk menerapkan hukumnya untuk
mengadili perompak, meski hal tersebut dilakukan oleh negara pihak
ketiga. Kejahatan perompakan juga tetap dilekati oleh asas universal,
di mana asas tersebut memiliki arti bahwa melekat terhadap
pelakunya sehingga setiap negara dapat mengadilinya meskipun tidak
terkait sama sekali dengan kejahatan tersebut (Yudha Bhakti, 2012:
217).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2) Pasal 101 UNCLOS 1982
Pengertian perompakan dijelaskan dalam Pasal 101 UNCLOS
1982, di mana pasal ini memberikan definisi dan ruang lingkup
mengenai perompakan. Peristiwa yang dikatakan sebagai perompakan
jika memenuhi unsur sebagai berikut:
(1) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau
setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan
pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau
pesawat udara swasta, dan dilakukan:
(a) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau
terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau
pesawat udara demikian;
(b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di
suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun;
(2) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian
suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang
membuatnya suatu kapal atau pesawat udara perompak.
(3) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan
yang disebutkan di atas.
Dalam pasal ini terdapat pembatasan akan arti perompakan, pasal
ini membatasi definisi perompakan hanya sebatas kejahatan tersebut
yang terjadi laut lepas, dan tidak menjelaskan definisi kejahatan yang
sama apabila terjadi di luar laut lepas. Namun, dalam Pasal 58 yang
menyatakan adanya kebebasan berlayar di ZEE menjadikan ketetuan
atas kebebasan pelayaran di laut lepas dapat diterapkan jika terjadi
perompakan, sehingga pasal ini juga dapat diterapkan dalam kasus
perompakan jika terjadi di ZEE.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
3) Pasal 102 UNCLOS 1982
Pasal 102 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa
“The acts of piracy, as defined in article 101, committed by a warship, government ship or government aircraft whose crew has mutinied and taken control of the ship or aircraft are assimilated to acts committed by a private ship or aircraft.”
Pasal 102 UNCLOS 1982 menyatakan apabila unsur-unsur
perompakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 101 UNCLOS
1982 telah terpenuhi, maka ketika hal tersebut dilakukan oleh suatu
kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak
kapalnya telah memberontak dan mengambil alih pengendalian kapal
atau pesawat udara tersebut, maka tindakan-tindakan yang dilakukan
orang-orang tersebut dapat disamakan dengan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara perompak.
Meskipun, suatu perompakan dilakukan oleh kapal yang
merupakan suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah,
akan tetapi unsur dalam pasal 101 UNCLOS 1982 telah terpenuhi
kapal perang, kapal atau pesawat udara milik pemerintah tersebut
tetap dapat dikenakan sanksi dan aturan-aturan yang sama dengan
kapal perompak lainnya.
4) Pasal 103 UNCLOS 1982
Pasal 103 UNCLOS 1982 memberikan batasan terhadap kapal
atau pesawat udara yang disebut sebagai perompak. Batasan kapal
atau pesawat udara dianggap sebagai suatu kapal atau pesawat udara
perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang
mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu
tindakan yang dimaksud dalam Pasal 101 UNCLOS 1982. Hal yang
sama berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan
untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau
pesawat udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang
bersalah melakukan tindakan itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Unsur-unsur dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 menjadi titik tolak
disebutnya suatu kapal atau pesawat udara dinyatakan sebagai
perompak, oleh sebab itu, ketika unsur Pasal 101 telah terpenuhi
maka kapal atau pesawat udara dapat dikenai sanksi dan dapat
dilakukan penyelidikan atas tindakannya tersebut.
5) Pasal 104 UNCLOS 1982
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 103 UNCLOS 1982
sebelumnya bahwa kapal atau pesawat udara yang memenuhi unsur
dalam Pasal 101 UNCLOS 1982 dinyatakan sebagai perompak, maka
kebangsaan kapal atau pesawat udara dalam hal ini diatur dalam Pasal
104 UNCLOS 1982. Pasal 104 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa,
suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya
walaupun telah menjadi kapal atau pesawat udara perompak. Tetap
dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ini ditentukan oleh hukum
negara yang telah memberikan kebangsaan itu.
Dalam hal ini suatu negara pemiliki kapal atau pesawat udara
tersebut memiliki kewenangan atas dicabutnya atau tetap
dipertahakannya kebangsaan suatu kapal atau pesawat udara tersebut
yang telah melakukan tindakan perompakan.
6) Pasal 105 UNCLOS 1982
UNCLOS 1982 menyatakan bahwa negara-negara harus
bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan perompakan di laut lepas
di tempat lain manapun di luar yurisdiksi sesuatu negara. Oleh karena
itu, diperbolehkannya dilakukan atas penyitaan terhadap kapal yang
dianggap sebagai kapal perompak.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 105, kewenangan atas penyitaan
terhadap kapal laut di laut lepas, atau di setiap tempat lain di luar
yurisdiksi negara manapun, yang diduga kapal atau pesawat udara
tersebut merupakan perompak atau suatu kapal atau pesawat udara
yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendalian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada
di kapal.
Pengadilan suatu negara yang telah melakukan tindakan
penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan
juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan
kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada
hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.
7) Pasal 106 UNCLOS 1982
Penyitaan terhadap kapal yang diduga sebagai perompak juga
harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum
internasional dan dengan prinsip good faith. Ketika suatu negara
menyita kapal tanpa alasan yang benar maka Pasal 106 UNCLOS
1982 memberikan peringatan bahwa perlu adanya sebuah tanggung
jawab yang harus dibebankan kepada negara terhadap penyitaan tanpa
alasan yang cukup.
Pasal ini menjelaskan bahwa apabila penyitaan suatu kapal
pesawat udara yang dicurigai melakukan perompakan dilakukan tanpa
alasan yang cukup, maka negara yang telah melakukan penyitaan
tersebut harus bertanggung jawab terhadap negara yang
kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk
setiap kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan
tersebut.
Kerugian dan kerusakan yang dibebankan kepada negara hanya
sebatas kerugian dan kerusakan yang disebabkan semata-mata karena
tindakan penyitaan tersebut.
8) Pasal 107 UNCLOS 1982
Penyitaan terhadap kapal yang diduga perompak ini hanya dapat
dilakukan oleh kapal-kapal tertentu, seperti yang telah disebutkan
dalam Pasal 107 UNCLOS bahwa hanya kapal-kapal tertentu saja
yang dapat melakukan penyitaan. Penyitaan karena perompakan
hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan
dapat dikenal sebagai dinas pemerintahan serta yang diberi wewenang
untuk melakukan hal demikian.
Sehingga penyitaan tidak dapat dilakukan oleh setiap kapal
hanya kapal-kapal tertentu yang dapat melakukannya, hal ini
dimaksudkan agar tidak adanya kesewenangan dalam penyitaan serta
pertanggung jawabannya akan jelas dibebankan terhadap siapa.
9) Pasal 111 UNCLOS 1982
Pasal ini mengatur mengenai hak pengejaran seketika (hot
persuit), di mana hak pengejaran seketika ini dapat dilakukan hanya
oleh kapal-kapal tertentu yaitu kapal-kapal perang atau pesawat udara
militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda
yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam
dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu (Pasal
111 ayat (5)). Pengejaran seketika ini juga baru dapat di mulai ketika
pihak dari negara mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa
kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan negara
itu.
Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau
salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan
kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan
hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan
apabila pengejaran itu tidak terputus. Tidak perlu bahwa pada saat
kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona tambahan itu
menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu
juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal
asing tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan
dalam Pasal 33, pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan mana zona
itu telah diadakan (Pasal 111 ayat (1)).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Hak pengejaran seketika ini harus berlaku, bagi pelanggaran-
pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen,
termasuk zona-zona keselamatan disekitar instalasi-instalasi di landas
kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan negara yang
berlaku sesuai dengan UNCLOS 1982 bagi zona ekonomi eksklusif
atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian (pasal 111
ayat (2)).
Setelah penulis memaparkan aturan dalam UNCLOS 1982, bahwa
aturan mengenai perompakan yang diatur dalam UNCLOS 1982 tentang
perompakan telah diatur secara jelas. Sebagai sumber hukum internasional
aturan dalam UNCLOS 1982 hanya mengikat terhadap negara-negara
yang meratifikasi konvensi ini. Negara yang terikat atas konvensi ini
terdiri dari 162 negara (United Nations, Treaty Series , vol. 1833, p. 3,
http://treaties.un.org/pages/ViewDetailsIII.aspx?&src=UNTSONLINE&m
tdsg_no=XXI~6&chapter=21&Temp=mtdsg3&lang=en#Participants),
sehingga dengan banyaknya negara yang sudah meratifikasi UNCLOS
1982 ini maka semakin banyak negara yang dapat menerapkan konvensi
ini untuk menekan angka perompakan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya kesadaran bagi negara-negara
pihak untuk mengkriminalisasi perompakan dalam hukum nasionalnya.
Hal ini berguna untuk negara-negara sebagai cara untuk mengadili para
perompak. Aturan dalam UNCLOS 1982 juga dapat diberlakukan saat
kejahatan perompakan tersebut terjadi di ZEE. Pada Pasal 58 ayat (2)
mengatur bahwa ketetapan hukum terhadap perompak dapat diberlakukan
di wilayah ZEE. Negara lain dapat secara bebas bernavigasi di dalam area
perairan tersebut.
c. Pengaturan tentang perompakan di laut lepas menurut Convention for the
Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation
1988 (SUA 1988).
Lahirnya SUA 1988 disebabkan karena adanya kebutuhan yang
mendesak untuk mengembangkan kerjasama internasional dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
merencanakan dan menerima upaya-upaya efektif dan praktis untuk
mencegah semua tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan
keselamatan navigasi maritim, dan penuntutan dan penghukuman para
pelakunya bahwa tindakan melanggar hukum yang bertentangan dengan
keselamatan navigasi maritim membahayakan keselamatan orang dan
harta benda, mempengaruhi penyelenggaraan jasa maritim, dan merusak
kepercayaan dari masyarakat dunia dalam keselamatan pelayaran maritim.
Terjadinya tindakan seperti itu adalah masalah keprihatinan yang
mendalam bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.
Aturan dalam SUA Convention 1988 yang mengatur mengenai
perompakan ini diatur dalam beberapa pasal, yakni:
1) Pasal 3 SUA Convention 1988
Pasal 3 konvensi SUA 1988 ini mengatur kejahatan-kejahatan di
laut, termasuk kejahatan perompakan yang termasuk di dalamnya.
Pengertian dalam Pasal 3 SUA 1988 menyebutkan bahwa:
a) Setiap orang dapat dikatakan telah melakukan suatu kejahatan,
jika orang tersebut melawan hukum dan dengan sengaja:
(1) mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara
kekerasan atau mengancam
(2) melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal
yang dapat membahayakan keamanan pelayaran
(3) menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan
pada kapal/muatannya yang dapat membahayakan keamanan
pelayaran
(4) meletakkan sebuah perangkat atau substansi yang
kemungkinan dapat menghancurkan kapal/muatannya dan
dapat membahayakan keamanan pelayaran
(5) menghancurkan sarana dan prasarana pelayaran atau
mempengaruhi operasi kapal, dimana tindakan tersebut
dapat membahayakan keamanan navigasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
(6) menyampaikan informasi yang tidak benar, sehingga dapat
membahayakan keamanan pelayaran
(7) membunuh atau melukai orang lain di atas kapal.
b) Setiap orang juga dapat dikatakan telah melakukan kejahatan jika
orang tersebut:
(1) mencoba melakukan salah satu tindak pidana yang
ditetapkan di atas
(2) setiap tindak pidana dilakukan oleh setiap orang atau kaki
(3) tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut
(4) mengancam, seperti yang terdapat dalam hukum nasional,
dengan tujuan untuk mempengaruhi seseorang agar
melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, atau untuk
melakukan salah satu tindak pidana yang ditetapkan
sebelumnya dan ancaman tersebut dapat membahayakan
keamanan pelayaran
Ketika melihat unsur-unsur kejahatan yang diakomodir
dalam Pasal 3 SUA 1988 ini maka kejahatan perompakan juga
termasuk di dalamnya. Oleh sebab itu, dengan mendasarkan
terhadap pasal ini setiap orang yang melakukan perompakan dapat
dinyatakan sebagai orang yang melanggar isi Pasal 3 SUA 1988
ini.
2) Pasal 6 SUA Convention 1988
Pengambilan tindakan oleh setiap negara atas kejahatan
yang dicantumkan dalam Pasal 3 SUA 1988 ini diatur dalam Pasal
6. Pasal 6 memberikan aturan mengenai pelaksanaan untuk
mengambil tindakan-tindakan untuk mengadili hal tersebut, bahwa:
a) Setiap negara pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan
untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang
ditetapkan dalam Pasal 3 ketika kejahatan dilakukan terhadap
atau di atas kapal yang mengibarkan bendera negara atau dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
wilayah negara yang bersangkutan, termasuk laut teritorial
ataupun dilakukan oleh seorang warga negara dari negara
tersebut.
b) Setiap negara pihak juga dapat menerapkan yurisdiksinya atas
suatu pelanggaran jika tindakan itu dilakukan oleh seseorang
yang berkewarganegaraan dari negara yang bersangkutan,
selama pelaku dari negara tersebut mengancam untuk
membunuh atau melukai orang lain, dan atau tindakan tersebut
dilakukan sebagai upaya untuk memaksa negara yang
bersangkutan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan.
Setelah suatu negara menetapkan yurisdiksinya tersebut
negara harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal IMO
akan tetapi konvensi ini tetap tidak mengesampingkan hukum
nasional negara pihak-pihak.
SUA 1988 memberikan aturan yang semakin jelas atas
penanggulangan perompakan yakni dalam Pasal 6 SUA 1988 ini
dinyatakan bahwa negara pihak harus mengambil tindakan yang
diperlukan untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana yang
ditetapkan dalam Pasal 3. Oleh karena itu, dengan berdasarkan
aturan ini negara pihak dari konvensi ini berkewajiban untuk
mengambil tindakan ketika terjadi kejahatan perompakan dalam
batasan yurisdiksinya.
3) Pasal 8 SUA Convention 1988
Pasal 8 SUA ini menjelaskan bahwa pemilik kapal suatu
negara bendera dapat menyerahkan setiap orang yang dicurigai
telah melakukan salah satu tindak pidana yang telah memenuhi
unsur pasal 3 SUA 1988 kepada pihak yang berwenang dari
negara pihak lainnya (negara penerima). Dalam hal ini, negara
bendera harus memberitahukan kepada pihak yang berwenang
dari negara penerima atas niatnya untuk menyerahkan pelaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
tersebut dengan disertai alasan-alasannya. Negara penerima harus
menerima penyerahan tersebut, kecuali memiliki alasan untuk
mempertimbangkannya serta penolakan tersebut harus disertai
dengan pernyataan dan alasan yang tepat untuk penolakan.
Negara bendera harus menjamin bahwa pemilik kapal wajib
memberikan bukti-bukti kepada pihak berwenang dari negara
penerima atas pelanggaran yang dituduhkan kepadanya untuk
proses penuntutan dan peradilan terhadapnya.
SUA 1988 merupakan aturan hukum yang mengatur mengenai
masalah-masalah kejahatan pelayaran, termasuk perompakan. Aturan
mengenai tindakan-tindakan dapat diambil untuk menyelesaikan
kejahatan pelayaran yang terjadi. Oleh sebab itu, , SUA 1988 dapat
dijadikan sebagai landasan hukum bagi negara pihak SUA 1988 untuk
menindak perompakan. Namun ketentuan SUA 1988 ini hanya mengikat
terhadap negara pihak yang meratifikasi SUA 1988, bagi negara non-
pihak tidak dapat menerapkan aturan yang diatur dalam SUA 1988.
Somalia sebagai negara yang perairannya sering terjadi perompakan
belum meratifikasi konvensi ini, sehingga Somalia tidak dapat
menerapkan jurisdiksinya berdasarkan konvensi tersebut. Selain Somalia,
negara-negara belum banyak yang meratifikasi konvensi ini hanya 67
negara yang meratifikasi konvensi ini sehingga pelaksanaan konvensi ini
belum dapat berjalan secara efektif.
d. Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB
Pasal 1 ayat (1) Piagam PBB memiliki tujuan yakni menjaga
perdamaian dan keamanan internasional dengan cara mengambil
tindakan secara bersama-sama dengan tujuan mencegah dan
menghindari ancaman keamanan serta menekan seluruh aksi
penyerangan atau pemutusan terhadap keamanan, dan mengadakan,
secara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum
internasional, penyesuaian atau menyelesaikan perbedaan atau situasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
yang bersifat internasional, yang dapat diubah ke arah terciptanya
perdamaian.
Salah satu organ utama PBB, yakni Dewan Keamanan (DK)
memiliki wewenang dan fungsi yang sangat penting dikarenakan
tugasnya untuk memelihara perdamaian dunia. Dalam Pasal 48 ayat (1)
bab VII Piagam PBB dinyatakan bahwa tindakan yang diperlukan untuk
melaksanakan keputusan-keputusan DK guna pemeliharaan perdamaian
serta keamanan internasional dilakukan oleh semua anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB,
http://www.un.org/en/documents/charter/chapter7.shtml).
Berkaitan dengan perompakan di Somalia, DK telah mengeluarkan
beberapa resolusi yang didasarkan pada wewenang DK sebagai langkah-
langkah enforcement measures yang didasarkan pada Bab VII Piagam
PBB. Oleh sebab itu, resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB adalah
mengikat dan harus ditaati oleh negara anggota.
Resolusi DK PBB yang mengatur mengenai permasalahan
perompakan telah ada sejak lama, beberapa resolusi yang sudah
dikeluarkan oleh DK PBB mengenai permasalahan ini antara lain 1816
(tahun 2008), 1838 (tahun 2008), 1846 (tahun 2008), 1815 (tahun 2008),
1897 (tahun 2009), 1918 (tahun 2010), 1950 (tahun 2010), 1976 (tahun
2011), 2015 (tahun 2011), 2020 (tahun 2011), 2039 (tahun 2012).
Resolusi atas perompakan yang dikeluarkan oleh DK PBB yang
mengatur mengenai yurisdiksi hanya beberapa resolusi saja yakni
resolusi nomor 1816 tahun 2008, resolusi nomor 1838 tahun 2008,
resolusi nomor 1846 tahun 2008, resolusi tahun 1851 tahun 2008 dan
resolusi 1976 tahun 2011. Sehingga, pembahasan dalam penelitian ini
hanya dibatasi terhadap resolusi-resolusi tersebut.
Dalam resolusi 1816 tahun 2008 DK PBB isinya membahas
tentang situasi di Somalia dengan fokus pada keamanan maritim di
negeri itu. Dalam resolusi itu, Dewan Keamanan menekankan
pentingnya kerjasama semua negara, termasuk dengan IMO, dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
TFG Somalia untuk menghadapi masalah perompakan dan perampokan
bersenjata di Somalia. Dalam resolusi ini juga diperkenankannya negara
lain untuk memasuki perairan teritorial Somalia dengan tujuan menindas
perompakan dan perompakan bersenjata di laut dengan menggunakan
segala sumber daya yang tersedia untuk memberantas perompakan dan
perampokan bersenjata (Resolusi nomor 1816 tahun 2008 paragraf 3-8,
S /RES/1851 2008,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1816%20(2008)
%20).
Resolusi DK PBB nomor 1816 tahun 2008 ini dipertegas kembali
dengan adanya Resolusi DK PBB nomor 1838 tahun 2008 yang mana
dalam resolusi ini negara-negara diharapkan menggunakan kekuatan
militer (naval task force) dalam bentuk Operasi militer yang dilakukan
bersama-sama. Hal ini diharapkan akan adanya operasi siaga di daerah
perairan Somalia dan melakukan tindakan dalam menekan angka
perompakan yang terjadi di sana (Resolusi DK PBB nomor 1838 tahun
2008, paragraf 1-10, S /RES/1838,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1838%20(2008)
%20).
Meskipun kapal perang angkatan laut yang dioperasikan tersebut
dikerahkan untuk fokus atas pencegahan terjadinya perompakan untuk
melindungi negaranya maupun lebih fokus menjaga transportasi
pengiriman bantuan kemanusiaan dan patroli laut mencegah adanya
anvaman ekonomi. Namun, seperti gabungan multinasional maritime
seperti Combined Taskforce (CTF) 151. Akan tetapi, dengan adanya hal
ini akan tercipta keamanan yang lebih efektif untuk mencegah
perompakan karena perompakan telah dianggap sebagai musuh umat
manusia.
Resolusi DK PBB nomor 1846 tahun 2008 Somalia memberikan
peluang bagi aksi militer yang dilakukan oleh negara lain. Di dalamnya
berisi izin bagi negara dan organisasi regional untuk menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
semua tindakan yang diperlukan untuk mengatasi perompak Somalia
yang ditetapkan 2 Desember 2008. Hingga saat ini ada sembilan negara
utama yang terlibat dalam pengamanan laut di wilayah Somalia. Antara
lain, Kanada, Denmark, Amerika Serikat, India, Prancis, Rusia, Spanyol,
Belanda, Inggris. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga telah
mengirimkan kapal dan pesawat perang ke perairan Somalia dan
mengamankan jalur transportasi (Resolusi DK nomor 1846 tahun 2008,
S /RES/1846, paragraf 1-20,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1846%20(2008)
%20).
Demikian pula, Resolusi 1851, diadopsi pada tanggal 16 Desember
2008, mengundang negara untuk membuat perjanjian khusus dengan
negara lain di kawasan semenanjung Somalia untuk memfasilitasi
penuntutan perompakan. Hal ini juga mendorong terciptanya sistem
kerja sama internasional dan pusat untuk berbagi informasi (Resolusi
DK PBB nomor 1851 tahun 2008, S /RES/1851 paragraf 1- 13,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1851%20(2008)
%20).
Resolusi lain yang dikeluarkan oleh DK PBB yakni Resolusi
nomor 1976 tahun 2011. Dalam resolusi tersebut, DK PBB mendesak
semua negara, termasuk negara-negara disekitar perairan Somalia untuk
mengkriminalisasi perompakan di bawah hukum nasionalnya. Dalam
resolusi ini juga bahwa DK PBB mengakui bahwa perompakan adalah
subjek kejahatan untuk yurisdiksi universal dan menegaskan kembali
seruannya pada negara untuk mempertimbangkan baik penuntutan
terhadap yang dicurigai dan melakukan hukuman pemenjaraan atas
perompak yang ditangkap di lepas pantai (Resolusi DK PBB nomor
1976 tahun 2011, S /RES/1976, Paragraf
14,http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1976%20(201
1)%20).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Menurut isi resolusi ini, DK PBB melihat ketidakstabilan yang
terus berlangsung di Somalia merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya perompakan dan perampokan bersenjata yang di perairan
Somalia. Dalam resolusi-resolusi DK PBB yang telah dikeluarkan
sebelumnya, DK PBB memberikan wewenang kepada negara-negara
dan organisasi-organisasi kawasan untuk memasuki perairan wilayah
Somalia serta menggunakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memerangi perompakan. Langkah-langkah yang dimaksud antara lain
dengan mengerahkan kapal dan pesawat militer, juga merampas serta
membuang perahu, kapal, persenjataan dan peralatan-peralatan apapun
yang digunakan para perompak untuk menjalankan aksi serangannya
(resolusi DK PBB nomor 1976 tahun 2011, Paragraf 1-28, S /RES/1976
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1976%20(2011)
%20).
Resolusi yang telah banyak dikeluarkan oleh PBB ini dalam
kenyataannya belum dilakukan secara efektif, kendala atas ketidak
efektifan dari pelaksanaan resolusi ini adalah rawannya intervensi atas
pemerintahan Somalia. Hal ini disebabkan karena perompak yang
notabanenya merupakan warga sipil namun dilakukan pengejaran oleh
pihak militer negara lain yang memasuki di teritorial Somalia. Sehingga,
dalam pelaksanaan resolusi ini perlu adanya kesepakatan antara pihak
yang melakukan pengejaran atas para perompak dengan pemerintahan
Somalia. Namun demikian beberapa negara telah menggunakan
Resolusi-Resolusi DK untuk mengadili para perompak dengan
menerapkan yurisdiksi baik yurisdiksi nasionalnya ataupun membentuk
yurisdiksi baru dengan melakukan perjanjian dengan negara tetangga
Somalia.
e. Pedoman International Maritime Organization (IMO)
PBB dalam konferensinya pada tahun 1948 telah menyetujui untuk
membentuk suatu badan Internasional yang khusus menangani masalah-
masalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk pertama kali dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
nama Inter Govermental Maritime Consuktative Organization ( IMCO ).
Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasi tersebut baru
diakui secara internasional. Kemudian berubah nama menjadi
International Maritime Organization ( IMO ) sejak tanggal, 22 Mei
1982 (IMO, http://www.imo.org/About/Pages/Default.aspx). Salah satu
tugas IMO yakni menangani masalah-masalah kemaritiman juga terkait
dengan perompakan. Sehingga dalam hal ini IMO mengeluarkan
beberapa aturan-aturan yang terkait dengan perompakan.
Pedoman IMO yang termaktub dalam the Draft Code of Practice
for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery
Against Ships. IMO telah melaksanakan sebuah proyek anti-
perompakan, sebuah proyek jangka panjang yang dimulai pada tahun
1998 (IMO, http://www.imo.org/blast/mainframe.asp?topic_id=362).
IMO melaksanakan sebuah proyek anti perompakan ini dengan
tahap pertama terdiri dari sejumlah seminar regional dan lokakarya yang
dihadiri oleh perwakilan pemerintah dari negara-neara dalam
pembahasan mengenai anti-perompakan dunia, sedangkan tahap kedua
terdiri dari sejumlah misi evaluasi dan penilaian ke berbagai
daerah. IMO berusaha untuk mendorong perkembangan perjanjian
regional atas pelaksanaan tindakan anti-perompakan. IMO juga telah
mengadopsi serangkaian dokumen yang memberikan panduan tentang
bagaimana mencegah, mempersiapkan, dan bereaksi terhadap, insiden
perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal (Report of
the Secretary-General A/65/69 Paragraph: 243-252 tahun 2009,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/65/69).
Pada tahun 2009 IMO juga mengeluarkan resolusi nomor 1025
(A.26) tentang Code of Practice For the Investigation of Crimes of
Piracy and Armed Robbery Against Ships yaitu pedoman tentang
pelaksanaan untuk investigasi terhadap kejahatan dari perompakan dan
perampokan bersenjata terhadap kapal yang berisikan mengenai catatan
untuk membantu negara-negara anggota IMO untuk melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
investigasi terhadap kapal yang dicurigai sebagai perompak. Dalam hal
penuntutan dan penangkapan:
Negara-negara dianjurkan untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksi mereka atas tindak pidana perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal kapal, termasuk penyesuaian undang-undang mereka, jika perlu untuk memungkinkan negara-negara saat menangkap dan mengadili orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Negara-negara selanjutnya didorong untuk mengambil langkah secara nasional yang diperlukan baik peraturan hukum, peradilan dan tindakan penegakkan hukum lainnya yang dapat diterima untuk mengadili atau mengekstradisi setiap bajak laut atau perompak yang dicurigai kemudian ditangkap oleh kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal lain atau pesawat ditandai dengan jelas dan dapat diidentifikasi sebagai kapal pemerintah. Negara- negara juga harus mempertimbangkan hukuman yang tepat ketika membuat undang-undang tentang perompakan (Resolusi IMO, 2010, A 26/Res.1025, http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Documents/Piracy/A.1025.pdf).
Seperti juga yang dijelaskan dalam Pasal 100 UNCLOS, oleh
sebab itu IMO dalam kode tersebut juga mengamanatkan bahwa:
Negara-negara pantai didorong untuk bekerja sama sepenuhnya dalam investigasi insiden perampokan bersenjata dan upaya yang dilakukan bersama dengan negara lain yang berkepentingan seperti sebagai negara bendera, dan bila perlu, untuk masuk ke dalam perjanjian bilateral atau multilateral yang sesuai untuk memfasilitasi penyelidikan tersebut dan penuntutan para pelaku. Selain itu, Negara-negara didorong untuk bekerja sama sepenuhnya yang memungkinkan dalam penyelidikan tindakan atau tindakan percobaan perompakan dan untuk masuk ke dalam perjanjian bilateral atau multilateral dengan negara lain yang berkepentingan seperti negara bendera atau negara pantai sehingga memfasilitasi penyelidikan tersebut dan penuntutan para pelaku (Resolusi IMO, 2010, A 26/Res.1025, paragraph 3.4, http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Documents/Piracy/A.1025.pdf).
Sejalan dengan resolusi tersebut, IMO juga membuat sebuah
pedoman untuk membantu dalam investigasi guna melawan perompakan
kapal dan perampokan bersenjata (Guidelines to Assist in the
Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Ships)Pedoman ini berisi mengenai negara dan masyarakat internasional
harus mengambil langkah positif dalam upaya memberantas perompakan
dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal. Pemerintah juga
didesak untuk mengambil sikap yang lebih efektif jika berurusan dengan
perompakan dan untuk memberikan bantuan secara lebih kepada kapal
yang dirompak di perairan serta setelah kapal dibebaskan dan setelah
terbebas dari penawanan.
Penangkapan, penuntutan dan penghukuman perompak laut dan
perampok bersenjata yang paling memungkinkan adalah dengan
pencegahan yang dilakukan pemerintah. Sebuah kapal yang telah
disandera dengan rentang waktu yang cukup lama cenderung memiliki
banyak bukti jika dikumpulkan, dicatat dan dipelihara dengan cara yang
tepat, hal ini bisa menambah kasus penuntutan di kemudian hari. Untuk
melakukan hal ini, pemerintah didorong untuk memiliki penyidik yang
terlatih yang dapat mengumpulkan bukti yang tersedia dari sebuah kapal
segera setelah dilaporkan (IMO, 2011 Ref. T2-MSS/2.11.4.1,
MSC.1/Circ.1404,http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Docu
ments/Piracy/MSC.1Circ.1404.pdf).
Penyidik harus selalu peka terhadap fakta yang menunjukkan
bahwa awak mengalami tekanan dari penangkapan hingga negosiasi di
lain sisi para awak ingin mendapatkan kapalnya kembali ke kondisi
operasional yang normal secepat mungkin. Jika penyidik harus naik
kapal di pelabuhan saat pertama kali dilakukan panggilan, setelah
melepaskan penyidik harus:
a) Hubungi Company Security Officer (CSO) kapal dan mengkonfirmasi jika penyidik telah mampu mengamankan wilayah di kapal untuk menyelamatkan barang bukti
b) Mengakui dan menghargai bahwa awak akan berada di bawah tekanan yang ekstrim selama beberapa hari dan mungkin tunduk secara fisik, mental dan bahkan pelecehan seksual. Penyidik harus peka terhadap fakta ini saat mengambil pernyataan terhadap awak.
c) Kesadaran kewajiban negara bendera untuk melakukan investigasi sendiri untuk kebutuhannya dalam akses langsung ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
kapal dan awak kapal pada kedatangannya (IMO, 2011,annex page 1, http://www.imo.org/OurWork/Security/SecDocs/Documents/Piracy/MSC.1Circ.1404.pdf).
Pedoman yang dikeluarkan IMO ini memberikan langkah-langkah
yang harus dilakukan saat melakukan penangkapan perompak secara
jelas dan terperinci agar menjadi pedoman yang dapat dilakukan para
awak kapal atau yang lainnya dalam menanggulangi perompakan di laut.
Sekretariat IMO pada tahun 2009, melakukan peninjauan legislasi
nasional di negara-negara tentang perompakan, berdasarkan informasi
yang diterima dari negara-negara anggota tersebut, negara anggota
berencana untuk mengajukan permohonan kepada Komite Hukum IMO
untuk memfasilitasi hal-hal yang diperlukan untuk penangkapan,
penuntutan dan ekstradisi pelaku yang diduga sebagai perompak. Dalam
hubungan ini, sekretariat menempatkan permohonan tersebut pada
program kerjanya untuk di tahun 2010-2011 yaitu:
a) tinjauan instrumen IMO dalam memerangi perompakan dan perampokan bersenjata,
b) upaya-upaya internasional untuk memastikan efektifnya penuntutan terhadap pelaku,
c) ketersediaan informasi pada undang-undang nasional yang komprehensif dan dalam kapasitas yudikatifnya. Selama tahun 2008-2009, sejumlah negara telah ditinjau dan diperbarui undang-undang tentang perompakan termasuk Belgia, Perancis, Italia, Jepang, Kenya, dan Spanyol (Report of the Secretary-General, 2009, Nomor A /64/66/Add.1 paragraf 123 http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/64/66/Add.1).
Kerja khusus IMO melakukan cara untuk menanggulangi masalah
perompakan di lepas pantai Somalia, yang dilakukan dengan cara IMO
bekerjasama dengan United Nations Political Office for Somalia
(UNPOS) sebuah kantor perwakilan PBB untuk mengurusi politik
Somalia yang juga dilakukan bersama-sama dengan United Nations
Office on Drugs and Crime (UNODC), negara-negara anggota PBB dan
interpol, menyelenggarakan pertemuan yang dilakukan selama tiga kali
yang dilakukan di Kampala dan di Djibouti. Tujuannya adalah untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
memfasilitasi pertukaran informasi dan koordinasi. Pertemuan ini
menghasikan sebuah pedoman yang dinamakan sebagai Kode Etik
Djibouti tentang Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap
kapal-kapal di Samudera Hindia barat dan Teluk Aden (Report of the
Secretary-General 2010, nomor A /65/69/Add.2 paragraf 116-117
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/65/69/Add.2).
Rapat Djibouti mengadopsi Kode Etik mengenai Penindakan atas
Perompakan dan Perampokan Bersenjata terhadap Kapal di Samudra
Hindia Barat dan Teluk Aden, yang ditandatangani pada 29 Januari 2009
oleh wakil-wakil dari Djibouti, Ethiopia, Kenya, Madagaskar,
Maladewa, Seychelles, Somalia, Republik Tanzania dan Yaman.
Secara khusus, para penandatangan kode etik telah sepakat untuk
bekerja sama, dengan cara yang konsisten dengan hukum internasional,
dalam:
a. Penyelidikan, penangkapan dan penuntutan orang, yang patut diduga memiliki dan atau melakukan tindakan-tindakan perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal, termasuk yang tidak direncanakan atau sengaja memfasilitasi tindakan tersebut;
b. Larangan penyitaan kapal tersangka dan properti di kapal tersebut; c. Penyelamatan kapal, orang dan properti yang dilakukan
perompakan dan perampokan bersenjata dan memberikan fasilitasi yang tepat, pengobatan serta perawatan dan pemulangan pelaut, nelayan, personil kapal dan penumpang lainnya khususnya mereka yang mengalami kekerasan, dan
d. Pelaksanaan operasi bersama - baik antar negara penandatangan dan dengan angkatan laut dari negara-negara luar daerah - seperti penegakan hukum yang berwenang untuk memulai patroli kapal atau pesawat udara lain negara penandatangan. Para penandatangan juga menghimbau untuk meninjau undang-undang nasional mereka dengan maksud untuk memastikan bahwa terdapat hukum-hukum di negara tersebut untuk mengkriminalisasi perompakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal dan untuk membuat ketentuan yang memadai untuk menerapkan yurisdiksi, melakukan investigasi dan penuntutan pelanggar dugaan (http://www.imo.org/OurWork/Security/PIU/Pages/DCoC.aspx).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Pelaksanaan Kode Etik Djibouti akan membantu untuk
meningkatkan komunikasi antara negara; meningkatkan kemampuan
negara di kawasan itu untuk mencegah, menangkap dan mengadili
perompak; meningkatkan kesadaran situasi maritim di negara
penandatanganan yang rawan perompakan; dan meningkatkan
kemampuan penjagaan pantai setempat.
IMO sebagai organisasi internasional yang telah memiliki
beberapa pedoman untuk menanggulangi perompakan seyogyanya telah
dapat dijadikan sebuah pedoman teknis untuk menekan angka
perompakan. Oleh sebab itu, perlu adanya keseriusan untuk menjalankan
pedoman-pedoman yang telah dihasilkan IMO tersebut. Aturan-aturan
yang terdapat di dalam IMO dapat diterapkan oleh anggota IMO untuk
menekan angka perompakan dan membuat efek jera terhadap para pelaku
perompakan.
Namun, pedoman dalam IMO ini hanya sebatas pedoman teknis
yang dapat digunakan oleh anggota IMO untuk memberantas
perompakan. Pedoman ini hanya untuk membantu pelaksanaan, sehingga,
daya ikat dari pedoman yang dikeluarkan IMO ini tidak dapat mengikat
secara mutlak, aturan mutlak yang harus digunakkan untuk menangani
masalah perompakan adalah konvensi-konvensi internasional.
f. International Maritime Bureau (IMB)
Organisasi internasional lainnya yang bergerak juga dalam
menanggulangi perompakan kapal laut adalah IMB yakni divisi khusus
dari International Chamber Of Commerce (ICC). IMB didirikan pada
tahun 1981 dengan tujuan untuk bertindak sebagai titik fokus dalam
memerangi semua jenis kejahatan pelayaran dan percobaan kejahatan
pelayaran. IMB dijadikan pusat pelaporan perompakan pada tahun 1992
pusat ini berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Melaporkan serangan
perompakan untuk penegakan hukum lokal dan mengeluarkan peringatan
tentang sinyal adanya perompakan (http://www.icc-ccs.org/home/imb).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
“an act of boarding or attempting to board any ship with the intent
to commit theft or any other crime and with the attempt or capability to
use force in furtherance of that act” IMB mendefinisikan perompakan
sebagai sebuah tindakan menaiki atau berusaha menaiki kapal apapun
dengan maksud melakukan pencurian atau bentuk kejahatan lain dan
dengan usaha atau kemampuan menggunakan kekerasan dalam
aksinya. Definisi tersebut tidak membedakan antara penyerangan di laut
bebas dan di dalam perairan teritorial sehingga mencakup penyerangan
terhadap kapal di wilayah perairan teritorial.
IMB bukan hanya memberikan definisi atas perompakan
melainkan IMB juga memberikan panduan dan formulir yang dapat diisi
oleh pihak kapal ketika melakukan pelaporan atas serangan perompakan.
Laporan itu berisi mengenai kejadian lengkap yang terjadi saat itu.
Dengan adanya laporan tersebut akan mempermudah pihak kapal jika
terjadi perompakan atas kapalnya sehingga akan ada penanganan yang
cepat dan tepat. Pasalnya IMB juga memiliki hubungan pengamat
dengan International Criminal Police Organization (ICPO - Interpol),
dengan hal ini maka akan mempermudah untuk menanggulangi
perompakan.
Perompakan di laut merupakan masalah kejahatan terorganisir
internasional yang memerlukan kerjasama antar intelejen kepolisian
melalui pendekatan kerjasama dengan latar belakang tersebut
International Police (INTERPOL) melakukan kerjasama untuk
menanggulangi kejahatan perompakan tersebut. IMB dengan bantuan
INTERPOL dapat juga menekan angka perompakan secara signifikan
sebab dengan kerjasama tersebut dapat akan mempermudah dalam
pencegahan, pemberian informasi, pengamanan serta penghukuman bagi
para perompak. (Lyon, http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-
transnasional/kejahatan-di-laut)
Berdasarkan tugas dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh IMB
dapat disimpulkan bahwa IMB membuat beberapa aturan hukum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
terkait dengan perompakan , yang dapat dijadikan oleh setiap negara
dalam menekan angka perompakan dengan cara mengimplementasikan
aturan-aturan yang ada dalam IMB. Aturan dalam IMB juga telah
memberikan informasi terkait perompakan serta hubungan antara
Interpol dengan IMB menjadi positif jika hal tersebut digunakan untuk
membuat jera para perompak dan dapat menekan angka perompakan di
dunia.
Pedoman dalam IMB sama halnya dengan pedoman IMO yakni
hanya sebatas pedoman teknis yang dapat digunakan oleh anggota IMB
untuk memberantas perompakan. Pedoman ini hanya untuk membantu
pelaksanaan, sehingga, daya ikat dari pedoman yang dikeluarkan IMB ini
tidak dapat mengikat secara mutlak.
g. Pengaturan Perompakan dalam Hukum Regional
Menanggulangi bahaya perompakan di laut lepas juga dapat
dilakukan oleh negara pihak ketiga dan/atau kelompok-kelompok negara
wilayah, hal ini sejalan dengan asas yurisdiksi universal yang melekat
pada laut lepas, selain hal tersebut perompakan merupakan pelanggaran
prinsip jus cogens yang termasuk kejahatan internasional uang telah
mengganggu keamanan dan perdamaian dunia sehingga setiap negara
dapat bekerja sama untuk memberantas perompakan ini dengan prinsip
yurisdiksi universal. Perompakan merupakan suatu tindak pidana yang
berada di yurisdiksi semua negara di manapun tindakan itu dilakukan,
tindakan pidana itu bertentangan dengan kepentingan masyarakat
internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai pelanggaran
prinsip jus cogens dan setiap negara berhak menangkap dan
menghukum semua pelakunya (J.G. Starke, 2009:304).
1) Uni Eropa
Uni Eropa telah melancarkan operasi militer berupa
operasi Atlanta. Operasi Atlanta ini diatur dalam kerangka European
Security and Defence Policy (keamanan eropa dan kebijakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
pertahanan Eropa) dan mendukung resolusi Dewan Keamanan
PBB tentang perompakan.
Kebijakan maritim untuk Uni Eropa berisi komitmen yang
kuat terhadap persekutuan dan negara-negara anggota untuk
mendukung kebijakan guna meningkatkan kinerja negara bendera
kapal dan mempertimbangkan pengembangan instrumen negara-
negara untuk memperkuat pengawasan terhadap aturan internasional
di laut lepas, yang di dalamnya dengan menggunakan teknologi,
seperti satelit global navigasi di bawah program Galileo (Maria
Gavouneli, 2007:36). Kebijakan ini juga berlaku bagi perompakan
sebab perompakan melibatkan negara bendera serta kejahatan yang
dapat mengancam keamanan.
Resolusi DK PBB nomor 1838 Tahun 2008, negara-negara
diharapkan menggunakan kekuatan militer (naval task force) dalam
bentuk "counter piracy operations" yang digunakan untuk
memberantas perompakan dan perampokan di laut yang diakomodir
oleh suatu koalisi internasional untuk mengurangi perompakan
disekitar perairan Somalia dengan membentuk "Maritime Security
Patrol Area" di teluk Aden, seperti yang telah dilakukan oleh Ocean
Shields (NATO and partners). "Combined Task Force 150",
demikian juga perusahaan keamanan Inggris "Saracen
International"; "Combined Task Force 151", serta operation Atlanta
yang dibentuk oleh Europen Union (Rachmad Yuliadi Nasir,
http://m.politikana.com/baca/2011/04/25/opsi-khusus-untuk-
mengatasi-pembajakan-kapal-sinar-kudus).
2) The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and
Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)
Pada tingkat regional di Asia, 14 negara di Asia telah bekerja
sama pada tahun 2004 melalui Regional Cooperation Agreement on
Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia
(Perjanjian Kerjasama Regional tentang Pemberantasan perompakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
dan perampokan bersenjata terhadap kapal di Asia). Indonesia,
Malaysia, Singapura dan Thailand juga telah bekerja sama dalam
upaya melindungi Selat Malaka dan di daerah Singapura melalui
Malacca Straits Patrols (Report of the Secretary-General nomor A
/64/66 paragraf 130-131 tahun 2009,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=A/64/66 ).
ReCAAP adalah perjanjian regional pertama untuk promosi
dan penegakan kerjasama internasional melawan perompakan dan
perampokan bersenjata di laut di Asia. ReCAAP juga terbuka untuk
aksesi oleh negara lain. Negara di luar regional Afrika yang sudah
mengaksesi perjanjian ini adalah Inggris, Norwegia dan Belanda.
ReCAAP mengadopsi definisi yang sama dengan perompakan yang
ditetapkan dalam UNCLOS serta definisi IMO perampokan
bersenjata di laut (Matteo Crippa, http://piracy-
law.com/2012/05/10/recaap-and-the-anti-piracy-information-sharing-
system-in-asia/).
Perjanjian ReCAAP menetapkan kewajiban yang dilakukan
oleh anggota negara-negara untuk mempengaruhi tindakan guna
mencegah dan menekan perompakan dan perampokan bersenjata
terhadap kapal-kapal. Hal ini juga menjabarkan kerangka kerjasama
antar anggota negara, yakni kerjasama untuk berbagi informasi,
membangun kapasitas dan operasional. Berbagi informasi
perompakan dan perampokan bersenjata dapat membantu
meningkatkan operasional kerjasama dalam menangani perompakan
serta memungkinkan pengembangan atas tindakan pencegahan yang
efektif.
Sebagai landasan untuk kerjasama, negara-negara ReCAAP
membentuk Information Sharing Centre (ISC). ReCAAP-ISC
sebagai badan independen internasional, yang merupakan organisasi
internasional dan mencakup perwakilan dari negara anggota
ReCAAP. ISC ReCAAP akan membantu untuk meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
respon cepat dari nasional dan kemampuan negara-negara anggota
untuk mencegah dan menumpas perompakan dan perampokan laut di
wilayah Asia. ISC akan memberikan kontribusi dengan memberikan
akses informasi tertentu kepada pemilik kapal dan nakhoda untuk
membantu mereka mengambil tindakan pencegahan terhadap
perompakan dan ReCAAP menjadi landasan hukumnya (Yonah
Alexander and Tyler B. Richardson,2009: 425).
3) United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) untuk
kawasan Samudra Hindia
UNODC melalui Program UNODC Counter Piracy yang telah
dibentuk sejak Mei 2011, untuk mendukung negara-negara di
Samudera Hindia yang mengadili kasus perompakan. Program ini
memiliki dua tujuan terkait dengan dukungan dari penuntutan atas
perompakan di territorial dan dukungan terhadap penambahan
kapasitas ruang penjara di Somalia melalui Program Piracy Prisoner
Transfer. Untuk memberikan tujuan pertama, UNODC memberikan
dukungan bagi polisi, jaksa, pengadilan dan penjara di negara-negara
di sekitar Samudra Hindia yang menangani kasus perompakan.
Sebagian besar pekerjaan UNODC berada di Kenya, Seychelles dan
Mauritius mereka adalah tiga negara yang telah setuju untuk
mnerima tersangka dalam kasus perompakan untuk melakukan
proses penuntutan dari angkatan laut internasional yang beroperasi di
Samudra Hindia (UNODC Counter-Piracy Programme Brochure
(Issue 7). http://www.thecgpcs.org/).
Rencana strategis untuk Counter Piracy ini baru dilakukan
untuk 3 negara seperti Kenya, Seychelles, dan Mauritius serta
pembuatan strategis secara berkelanjutan agar semakin menambah
kesadaran negara-negara untuk membuat hukum nasionalnya yang
mengatur mengenai perompakkan dan keinginan negara-negara lain
untuk mau mengadili kasus perompakan dalam sistem
pengadilannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Dari pemaparan aturan hukum internasional yang mengatur
mengenai perompakan di laut lepas tersebut, penulis dapat meresume
aturan hukum internasional mengenai perompakan seperti di bawah ini:
Tabel 2
Resume aturan hukum internasional
No Nama Resolusi
Pasal Subtansi
1 CHS 1958 dan UNCLOS 1982
Pasal 101 UNCLOS
1982 dan Pasal 15
CHS 1958
Pasal ini membahas terkait definisi
perompakan, yakni Pasal 101
UNCLOS 1982 dan Pasal 15 CHS
1958 ini memberikan limitasi
definisi perompakan, yaaitu
kejahatan yang terjadi di laut lepas
saja.
Pasal 100 UNCLOS
1982 dan pasal 14
CHS 1958
Pasal ini memberikan tanggung
jawab kepada semua negara untuk
bekerjasama sepenuhnya dalam
menekan perompakan di laut lepas
atau di tempat lain di luar yurisdiksi
setiap negara.
Sehingga, dengan hal ini negara
pihak ketiga dalam kasus
perompakan dapat mengadili suatu
kasus perompakan.
Pasal 102 UNCLOS
1982 dan Pasal 16
CHS 1958
Pasal ini mengatur apabila unsur-
unsur perompakan tersebut dipenuhi
yang dilakukan oleh suatu kapal
perang, kapal atau pesawat udara
pemerintah, maka tindakan-tindakan
yang dilakukan orang tersebut dapat
disamakan dengan tindakan tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
yang dilakukan oleh suatu kapal atau
pesawat udara perompak, meskipun
itu suatu kapal perang, kapal atau
pesawat udara pemerintah
Pasal 103 UNCLOS
1982 dan Pasal 17
CHS 1958
Pasal ini memberikan batasan
terhadap kapal atau pesawat udara
yang disebut sebagai perompak.
Batasan kapal atau pesawat udara
dianggap sebagai suatu kapal atau
pesawat udara perompak apabila ia
dimaksudkan oleh orang yang
mengendalikannya digunakan untuk
tujuan melakukan salah satu
tindakan yang dimaksud dalam Pasal
101 UNCLOS 1982.
Pasal 104 UNCLOS
1982 dan Pasal 18
CHS 1958
Pasal ini memberikan penjelasan
bahwa suatu kapal atau pesawat
udara dapat tetap memiliki
kebangsaannya walaupun telah
menjadi kapal atau pesawat udara
perompak. Kewenangan pencabutan
kebangsaan kapal hanya dimiliki
oleh hukum negara yang
memberikan kebangsaan tersebut.
Pasal 105 UNCLOS
1982 dan Pasal 19
CHS 1958
Kedua aturan ini memberikan
kewenangan atas penyitaan terhadap
kapal laut di laut lepas, atau di setiap
tempat lain di luar yurisdiksi negara
manapun, yang diduga kapal atau
pesawat udara tersebut merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
perompak dan menangkap orang-
orang yang menyita barang yang ada
di kapal. Pengadilan suatu negara
yang telah melakukan tindakan
penyitaan itu dapat menetapkan
hukuman yang akan dikenakan,
Pasal 106 UNCLOS
1982 dan Pasal 20
CHS 1958
Pasal ini memeberikan peringatan
bahwa ketika suatu negara menyita
kapal tanpa alasan yang benar maka
perlu adanya sebuah tanggung jawab
yang harus dibebankan kepada
negara terhadap penyitaan tanpa
alasan yang cukup tersebut.
Pasal 107 UNCLOS
1982 dan Pasal 21
CHS 1958
Pembatasan kapal yang dapat
melakukan penyitaan yaitu hanya
dapat dilakukan oleh kapal perang
atau pesawat udara militer, atau
kapal atau pesawat udara lain yang
secara jelas diberi tanda dan dapat
dikenal sebagai dinas pemerintahan
serta yang diberi wewenang untuk
melakukan hal demikian.
Pasal 111 UNCLOS
1982
Pasal ini mengatur mengenai aturan-
aturan yang terkait dengan hak
pengejaran seketika (hot persuit) atas
kapal yang diduga sebagai
perompak.
2 SUA
Convention
1988
Pasal 3
SUA Convention
1988
Pengertian dalam Pasal 3 SUA
Convention 1988, juga menjadikan
perompakan sebagai kejahatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
diatur dalam pasal ini. Oleh sebab
itu, pasal ini juga dapat digunakan
sebagai landasan hukum atas
kejahatan perompakan.
Pasal 6 SUA
Convention 1988
Pengambilan tindakan oleh setiap
negara atas kejahatan yang
dicantumkan dalam Pasal 3 SUA
1988 ini diatur dalam Pasal 6, bahwa
secara sederhananya, pasal ini
memberikan aturan mengenai
pelaksanaan untuk mengambil
tindakan-tindakan untuk mengadili
hal kejahata-kejahatan tersebut,
meliputi pula kejahatan perompakan.
Pasal 8 SUA
Convention 1988
Pasal 8 SUA ini menjelaskan bahwa
pemilik kapal suatu negara bendera
dapat menyerahkan setiap orang
yang dicurigai telah melakukan salah
satu tindak pidana yang telah
memenuhi unsur pasal 3 SUA 1988
kepada pihak yang berwenang dari
negara pihak lainnya (negara
penerima).
3 Resolusi DK
PBB
Nomor 1816 tahun
2008
Membahas Situasi di Somalia
dengan fokus pada keamanan
maritim di negeri Somalia dan
Dewan Keamanan menekankan
kerjasama semua negara, termasuk
dengan IMO, dengan TFG Somalia,
diperkenankannya pula negara lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
untuk memasuki perairan teritorial
Somalia untuk menangkap
perompak.
Nomor 1838 tahun
2008
Menggunakan kekuatan militer
(naval task force) dalam bentuk
Operasi militer yang dilakukan
bersama-sama.
Nomor 1846 tahun
2008
Berisi izin bagi negara dan
organisasi regional untuk
menggunakan semua tindakan yang
diperlukan untuk mengatasi
perompak Somalia.
Nomor 1851 tahun
2008
Mengundang negara untuk membuat
perjanjian khusus dengan negara lain
di kawasan semenanjung Somalia
untuk memfasilitasi penuntutan
perompakan. Hal ini juga mendorong
terciptanya sistem kerja sama
internasional dan pusat untuk
berbagi informasi
Nomor 1976 tahun
2009
DK PBB mendesak semua negara,
termasuk negara-negara disekitar
perairan Somalia untuk
mengkriminalisasi perompakan di
bawah hukum nasionalnya
4. Pedoman
IMO
the Draft Code of
Practice for the
Investigation of the
Crimes of Piracy and
Armed Robbery
Pedoman ini berisikan tentang
proyek anti-perompakan IMO yang
merupakan sebuah proyek jangka
panjang yang dimulai pada tahun
1998.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Against Ships.
Resolusi nomor
1025 (A.26) tentang
Code Of Practice
For The
Investigation Of
Crimes Of Piracy
And Armed Robbery
Against Ships
Pedoman ini berisikan tentang
pelaksanaan untuk investigasi
terhadap kejahatan dari perompakan
dan perampokan bersenjata terhadap
kapal yang berisikan mengenai
catatan untuk membantu negara-
negara anggota IMO untuk
melakukan investigasi terhadap
kapal yang dicurigai sebagai
perompak
Guidelines To Assist
In The Investigation
Of The Crimes Of
Piracy And Armed
Robbery Against
Ships
sebuah pedoman untuk membantu
dalam investigasi guna melawan
perompakan kapal dan perampokan
bersenjata yang isnya mengenai
negara dan masyarakat internasional
harus mengambil langkah positif
dalam upaya memberantas
perompakan dan perampokan
bersenjata terhadap kapal-kapal.
Kode Etik Djibouti Kode etik ini berisikan tentang
Perompakan dan Perampokan
bersenjata terhadap kapal-kapal di
Samudera Hindia barat dan Teluk
Aden
5. Pedoman IMB
IMB bukan memberikan definisi atas
perompakan serta IMB memberikan
panduan dan formulir yang dapat
diisi oleh pihak kapal ketika
melakukan pelaporan atas serangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
perompakan.
IMB juga memiliki hubungan
pengamat dengan International
Criminal Police Organization (ICPO
- Interpol), dengan hal ini maka akan
mempermudah untuk menanggulangi
perompakan.
Melihat adanya aturan dari beberapa organisasi internasional, maupun
melalui perjanjian regional di kawasan tertentu mengenai perompakan, maka
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengaturan-pengaturan tersebut
menunjukkan bahwa penekanan dan penegakan hukum atas perompakan di
laut lepas telah diatur secara jelas. Penerapan hukuman bagi perompakan
akan menjadi solusi yang efektif untuk menekan angka perompakan.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara bekerjasama dengan koalisi
internasional untuk mengurangi perompakan di laut dengan membentuk
operasi gabungan untuk penjagaan laut di daerah rawan perompakan seperti
di perairan sekitar Somalia yang telah dibentuk "Maritime Security Patrol
Area". Cara ini akan dapat membantu kapal yang dirompak untuk segera
dibebaskan dari para perompak serta para perompak dapat ditangkap
kemudian di adili dengan pengadilan suatu negara yang telah melakukan
tindakan penyitaan tersebut. Selain hal itu, negara tersebut dapat
menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal,
pesawat udara atau barang-barang yang diduga sebagai perompak aturan ini.
Negara yang tidak terkait dalam kasus perompakan yang terjadi juga
dapat melaksanakan hukumnya untuk mengadili para perompak, aturan ini
telah diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 100 UNCLOS 1982 yang
menghimbau kepada semua negara pihak untuk bekerjasama sepenuhnya
dalam penindasan perompakan di laut lepas atau di luar yurisdiksi suatu
negara. Sehingga setiap negara dapat menahan pelaku perbuatan yang
dinyatakan sebagai perompakan yang terjadi di luar wilayahnya atau
wilayah negara lain juga di laut lepas, dan berhak melaksanakan penegakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
yurisdiksi dan ketentuan-ketentuan hukumnya. Aturan seperti ini juga
dipertegas dalam Pasal 6 SUA 1988 yang menyatakan bahwa negara
peratifikasi SUA 1988 pihak harus mengambil tindakan yang diperlukan
untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan pelayaran.
2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan Kapal Sinar Kudus MV
ditinjau dari aspek hukum internasional
Dalam hukum, yurisdiksi merupakan sebuah istilah untuk kekuasaan
atau wewenang. Hal ini biasanya diterapkan ke pengadilan dan badan
peradilan, yang menggambarkan lingkup hak mereka untuk bertindak.
Penerapan di sebuah negara atau bangsa, berarti wewenang untuk
menyatakan dan menegakkan hukum (I Wayan Parthiana, 1990: 292).
Sehingga, yurisdiksi ini erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yakni
kewenangan atas penerapan hukuman bagi suatu tindak pidana termasuk
perompakan dalam hal ini.
UNCLOS 1982 memberikan pengertian perompakan kapal di laut
lepas yang diakomodir melalui Pasal 101 UNCLOS 1982 yang telah
menetapkan beberapa unsur tindakan yang dikategorikan sebagai
perompakan. Perompakan di lepas pantai Somalia yang melibatkan negara
Indonesia adalah perompakan yang terjadi pada awal tahun 2011, Kapal
Sinar Kudus MV dirompak oleh perompak Somalia di lepas pantai
Somalia. Kapal Sinar Kudus MV, kapal yang berbendera Indonesia saat itu
sedang dalam perjalanan ke Suez (Mesir) dari Singapura ketika diserang
para perompak. Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal kargo Indonesia
yang dioperasikan oleh PT. Samudera Indonesia Tbk. Kapal ini terdaftar di
pelabuhan Jakarta ini dibuat pada tanggal 24 Juni 1998 kapal ini dibuat
oleh Shin Kochijyuko Co. Ltd. Kochi, Jepang. Kapal ini mulai dibuat
tanggal 24 Juni 1998 dan mulai dijalankan pada tanggal 17 Februari 1999
Nilai materiil kapal ini sekitar 10 juta Dollar Amerika Serikat
(http://id.wikipedia.org/wiki/MV_Sinar_Kudus). Indonesia sebagai
negara bendera atas kapal tersebut melakukan berbagai upaya untuk
melakukan pembebasan 20 awak kapal yang sedang dirompak tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
secepatnya dan dengan cara yang aman demi menjaga keamanan dan
keselamatan jiwa awak kapal yang berada di dalamnya.
Indonesia mengambil langkah untuk melakukan pembebasan terhadap
Kapal Sinar Kudus MV dengan cara negosiasi kesepakatan pembayaran
terhadap perompak Somalia sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 38,7
miliar. Aksi ini juga diwarnai dengan aksi militer yang dilakukan oleh KRI
Abdul Halim Perdanakusuma dan KRI Yos Sudarso. Setelah pembayaran
pembebasan tersebut diberikan kepada perompak, perompak Somalia
mencoba untuk merompak kembali akan tetapi digagalkan oleh pihak TNI.
TNI yang memantau pembebasan itu menewaskan 4 perompak Somalia
saat kapal kargo itu telah memasuki perairan internasional, hal ini
dilakukan untuk tindakan militer pengamanan untuk melakukan
pengejaran terhadap perompak-perompak tersebut
(http://news.detik.com/read/2011/05/02/163840/1630634/10/kronologi-
pembebasan-sinar-kudus-uang-tebusan-dihitung-hingga-malam).
Upaya pembebasan perompakan yang dilakukan Indonesia dengan
negosiasi maupun dengan kontak senjata tersebut, sesungguhnya dapat
dilakukan dengan cara lain yakni dengan mengadili para perompak dengan
menggunakan yurisdiksi yang melekat pada kasus tersebut. Yurisdiksi
menjadi hal yang penting dan menjadi pusat kedaulatan negara, karena hal
itu merupakan pelaksana kewenangan yang dapat mengubah, membuat
atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban (Malcolm N Shaw, 2008
: 645).
Perompakan dianggap sebagai pelanggaran prinsip jus cogens yang
menjadi masalah bersama yang harus diberantas oleh setiap negara
manapun. Berdasarkan pada analisa dari aturan-aturan internasional yang
telah dibahas pada sub bab sebelumnya, maka penulis berpendapat bahwa
ada beberapa yurisdiksi melekat pada kasus perompakan terhadap kapal
Sinar Kudus MV yang berbendera Indonesia dan terjadi di lepas pantai
Somalia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
a. Yurisdiksi Indonesia
Status kapal yang dirompak di lepas pantai Somalia adalah kapal
dengan berbendera Indonesia. Hukum Indonesia dapat diterapkan dalam
kasus tersebut mengingat undang-undang negara bendera berlaku pada
semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara
bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang
negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal
atau bagi semua perbuatan pidana. Hal ini menjadi sebuah konsekuensi
dari tidak adanya yurisdiksi di laut lepas, sehingga hukum negara bendera
yang dipakai sebagai yurisdiksinya. (Boer Mauna, 2005: 322).
Hal ini didasarkan atas aturan yang terdapat dalam UNCLOS 1982
dalam Pasal 90 yaang menyebutkan bahwa “Every State, whether coastal
or land-locked, has the right to sail ships flying its flag on the high seas”.
Dalam pasal ini UNCLOS 1982 memberikan kebebasan bagi setiap negara
berpantai maupun tidak berpantai untuk mengibarkan bendera negara di
kapalnya untuk berlayar di laut lepas. Oleh sebab itu, negara bendera
memiliki kewajiban untuk menetapkan persyaratan dalam pemberian
kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal dan untuk hak
mengibarkan benderanya.
Kapal yang memiliki kebangsaan negara benderanya harus secara sah
dapat dikibarkan olehnya. Negara juga harus memberikan dokumen yang
sah yang diperlukan kapal ketika mengibarkan benderanya. Kapal dalam
hal ini diasimilasikan dengan wilayah negara, jadi dalam hal ini kapal
dianggap sebagai floating portion of the flag state yaitu bagian yang
terapung wilayah negara bendera. Karena suatu negara mempunyai
wewenang absolut terhadap wilayah, maka negara tersebut mempunyai
wewenang pula terhadap kapal-kapal yang berlayar di laut lepas, karena
kapal tersebut dianggap bagian dari wilayah negara. (Boer Mauna, 2005:
323).
Yurisdiksi Indonesia dapat diterapkan dalam penegakkan kasus ini,
sebab Indonesia merupakan negara bendera kapal tersebut sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
yurisdiksi teritorial negara Indonesia juga melekat dalam kasus
perompakan Kapal Sinar Kudus MV ini. Hukum nasional Indonesia dapat
diterapkan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Demikian pula yurisdiksi
Indonesia melekat terhadap awak kapal Sinar Kudus MV yang merupakan
Warga Negara Indonesia dengan begitu asas nasionalitas pasif dalam hal
ini dapat diterapkan. Dalam asas ini membenarkan negara untuk
menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita
kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa
setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri, dan
apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak
menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara
asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu
berada di wilayahnya (J.G Starke, 2009: 303).
Oleh sebab itu, Indonesia dapat melindungi warga negaranya dengan
menegakkan yurisdiksinya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Indonesia sebenarnya memiliki aturan mengenai kejahatan pelayaran yang
terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dalam bab
XXIX - Kejahatan Pelayaran dari Pasal 438-479 KUHP, dengan adanya
pasal ini seharusnya dapat ditetapkan sistem peradilan untuk kasus
perompakan kapal Sinar Kudus MV. Pasal 438 menyebutkan bahwa:
(1) Diancam karena melakukan perompakan di laut: 1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang
siapa masuk bekerja menjadi nahkoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan di lautan bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui;
2. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk bekerja menjadi kelasi kapal tersebut atau dengan suka rela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelab hal itu diketahui olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
(2) Disamakan dengan tidak punya surat kuasa, jika melampaui apa yang dikuasakan, demikian juga jika memegang surat kuasa dari negara-negara yang berperang satu dengan yang lainnya.
Pasal ini seharusnya dapat digunakan Indonesia untuk menuntut
dan menghukum perompak Somalia tersebut, mengingat telah dijelaskan
di atas bahwasannya Kapal Sinar Kudus MV merupakan kapal berbendera
Indonesia yang akibatnya yurisdiksi Indonesia melekat di dalamnya, serta
kejahatan perompakan tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang
ditetapkan dalam pasal tersebut. Akan tetapi, Indonesia tidak melakukan
peradilan terhadap Sinar Kudus MV dan justru memilih untuk melakukan
pembayaran tebusan yang sangat merugikan pihak Indonesia. Alasan
Indonesia memilih untuk melakukan pembayaran tebusan ini dikarenakan
alasan keselamatan ABK yang didahulukan, selain hal tersebut di dalam
kapal ada nikel senilai 1,5 Trilyun sehingga langkah negosiasi dan
pembayaran tebusan menjadi langkah yang diambil oleh pemerintah
Indonesia.
Namun, negosiasi dan pembayaran uang tebusan bukan menjadi
sastu-satunya solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan kasus ini.
Penuntutan dan penghukuman dapat dilakukan oleh Indonesia dengan
menggunakan KUHP yang telah mengakomodir aturan mengenai
perompakan dengan membawa para perompak ke Indonesia untuk diadili.
Mengadili perompak di negara yang berkepentingan langsung juga
telah dilakukan oleh beberapa negara, misalnya:
1) Pengadilan Belanda telah menarapidanakan lima perompak Somalia
dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara pada mereka karena
berupaya untuk membajak sebuah kapal dari Antilles Belanda pada
tahun 2009, kasus perompakan Somalia ini pertama kali yang diadili
di Eropa.
(http://vibizdaily.com/detail/internasional/2010/06/18/pengadilan_bela
nda_penjarakan_lima_perompak_somalia).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
2) Menteri Pertahanan Yaman juga menyatakan bahwa pengadilan di kota
pelabuhan Aden, Yaman bagian selatan, telah menjatuhkan hukuman
penjara 10 tahun pada 10 perompak Somalia yang berusaha membajak
sebuah kapal barang di wilayah perairan Yaman
(http://vibizdaily.com/detail/internasional/2010/05/20/yaman_hukum_
10_perompak_somalia_10_tahun).
Jika melihat negara-negara telah melakukan sistem peradilannya
terhadap para perompak seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
seharusnya Indonesia juga melakukan peradilan terhadap perompak
Somalia yang melakukan kejahatan perompakan terhadap kapal Sinar
Kudus MV dengan menggunakan aturan-aturan dalam KUHP Indonesia
sebagai hukum yang dapat digunakan untuk mengadili para perompak.
Penggunaan sistem peradilan untuk kasus perompakan akan menjadi solusi
untuk menekan angka perompakan dan menyebabkan efek jera terhadap
para perompak, sehingga kapal dan awak kapal yang melakukan pelayaran
akan merasa aman.
Pernyataan dari duta besar Somalia untuk Indonesia juga semakin
memperkuat tindakan Indonesia agar mengadili para perompak. Duta
Besar Somalia untuk Indonesia Mohamud Olow Barow,
mempersilahkan pemerintah Indonesia untuk menggunakan kekuatan
militer dalam membebaskan 20 anak buah kapal (ABK) Sinar Kudus
MV. Pemerintah Somalia tidak merasa diintervensi jika Indonesia
mengerahkan kekuatan militer dalam membebaskan warganya yang
dirompak oleh perompak Somalia. Pemerintah Somalia juga berharap dari
Indonesia untuk dapat membantu Somalia menyelesaikan masalah terkait
aksi perompak yang menguasai sejumlah wilayah perairan Somalia, hal ini
dikarenakan angkatan laut Somalia saat ini sangat lemah karena perang
saudara yang berlangsung dalam jangka waktu cukup lama
(http://www.indonesiawaters.com/2011/04/militer-harus-segera-bertindak-
bebaskan.html).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Kelemahan dari penerapan yurisdiksi Indonesia ini yakni untuk
membawa dan mengadili para perompak Somalia ke Indonesia
memerlukan waktu yang panjang, Hal ini disebabkan karena jauhnya letak
perairan Somalia dengan Indonesia. Pihak Indonesia untuk mengumpulkan
bukti-bukti kejadian tidak dapat dilakukan dengan segera sehingga akan
sulit untuk mendapatkan barang bukti yang ada.
b. Yurisdiksi Somalia
Selain yurisdiksi Indonesia tersebut, yurisdiksi Somalia sebagai
negara dari warga negara perompak berwenang dan sah untuk
menegakkan yurisdiksinya terhadap kasus tersebut. Mengingat pula
kejahatan perompakan sering terjadi di laut lepas pantai Somalia.
Sehingga, dengan hal ini Somalia dapat menerapkan asas nasional aktif
Somalia untuk menangani kasus ini, yakni Somalia dapat melaksanakan
yurisdiksinya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh warganegaranya
sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu negara akan
selalu mengikuti warganegaranya di manapun dia berada. Asas nasional
aktif dapat diterapkan dalam kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV ini
disebabkan kenegaraan para perompak merupakan warga negara Somalia.
Oleh sebab itu, hukum nasional Somalia melekat didalamnya.
Namun, Somalia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan
negara yang tidak stabil dengan pemerintahan sementara yang tidak dapat
menegakkan hukumnya terhadap warga negaranya. Pernyataan presiden
TFG Somalia yang tercantum dalam resolusi PBB nomor 1918 tahun 2010
(Resolusi DK PBB nomor 1918,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1918%20(2010)%2
0) bahwa meminta semua negara, termasuk negara-negara di kawasan
dekat lepas pantai Somalia, untuk mengkriminalisasi perompakan
berdasarkan hukum nasionalnya dan mempertimbangkan penuntutan
terhadap yang dicurigai sebagai perompak, dan menjatuhkan pidana
penjara terhadap bajak laut yang ditangkap di lepas pantai Somalia, akan
tetapi harus konsisten dengan hukum hak asasi manusia internasional yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
berlaku (resolusi PBB nomor 1918, Resolusi DK PBB nomor 1918,
http://www.un.org/Docs/journal/asp/ws.asp?m=S/RES/1918%20(2010)%2
0).
c. Yurisdiksi regional
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa negara yang melakukan
patroli di Perairan Somalia tidak semuanya sepakat untuk membawa
perompak ke pengadilan dalam negeri mereka. Negara negara tersebut
kemudian mencari negara lain untuk mengirim perompak untuk diadili.
Negara-negara yang dituju biasanya terletak di sekitar Somalia, Untuk itu
negara patroli harus meminta persetujuan (consent) negara tetangga untuk
mengadili perompak, Selain itu syarat utama agar neagra tetangga dapat
mengadili perompak adalah bahwa negara yang ebrsangkutan harus
mempunyai aturan hukum yang berkaitan dengan perompak.
Contoh perjanjian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut pada
bulan Desember tahun 2008, Inggris menandatangani nota kesepahaman
dengan Kenya, meresmikan sebuah pengaturan di mana perompak yang
ditangkap akan diserahkan kepada Kenya untuk diadili. Kemudian hal ini
dilakukan juga oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Denmark yang
mengadakan perjanjian serupa dengan Kenya. Pada akhirnya pada
pertengahan 2009, kira-kira 100 perompak telah dialihkan ke Kenya
(Steven Art, 2012: 248).
Namun mengadili perompak tidak selamanya merupakan pilihan bagi
Kenya. Hal ini akan mengakibatkan membanjirnya perompak yang diadili
di Kenya. Serta adanya kemungkinan retaknya hubungan antara Kenya
dan Somalia. Alasan utama adalah bahwa rakyat somalia dan Kenya
sebagian besar beragama Islam, sehingga mengadili rakyat negara
tetangga secara terus menerus akan membuat retaknya hubungan antar
negara.
Dengan demikian, pengadilan regional yang dibentuk oleh negara-
negara regional di semenanjung Somalia. Pengadilan ini akan lebih netral
karena dibentuk berdasarkan kesepakatan negara-negara di region tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Sehingga kedepan penagdilan ini dapat digunakan untuk menanggulangi
perompak di perairan sekitar Somalia
d. Yurisdiksi Universal
Selain adanya beberapa kewenangan yang diberikan oleh PBB
melalui resolusinya maupun oleh IMO, perompakan juga merupakan
pelanggaran prinsip jus cogens yang merupakan kejahatan internasional
yang telah dinyatakan sebagai kejahatan yang harus diberantas secara
bersama-sama sehingga dengan hal tersebut yurisdiksi universal dapat pula
diterapkan dalam penyelesaian kasus ini. Berdasarkan prinsip ini, setiap
negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelanggaran. Dasar untuk ini
adalah kejahatan yang terlibat dianggap menyerang seluruh kepentingan
internasional. Ada dua kategori yang jelas termasuk dalam lingkup
yurisdiksi universal, yang telah didefinisikan sebagai kompetensi negara
untuk menuntut yang diduga pelaku dan menghukum mereka jika terbukti
bersalah, terlepas dari tempat tindak pidana itu terjadi dan meskipun ada
yurisdiksi personal aktif atau pasif atas kebangsaan seseorang atau alasan
lain dari yurisdiksi diakui oleh hukum internasional (Malcolm N
Shaw,2008:668).
Ketentuan tersebut menyatakan perompakan termasuk dalam
kejahatan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut sehingga yurisdiksi
universal yang mana setiap negara dapat menerapkan hukumnya atas hal
tersebut. Perompakan merupakan sebuah yurisdiksi universal terhadap
pelakunya, bahwa di setiap negara manapun dapat mengadilinya meskipun
tidak terkait sama sekali dengan kasusnya tersebut, sebab yurisdiksi
universal berlaku atas dasar kejahatan paling keji tanpa memperhatikan
pelaku dan korbannya (Yudha Bhakti, 2012: 350).
Penerapan yurisdiksi universal ini dapat dilakukan negara-negara
pihak (korban maupun pelaku) dengan melakukan kerjasama dengan
operasi militer yang disiagakan di sekitar perairan Somalia. IMO telah
membuat koridor yang dianjurkan untuk setiap kapal yang melewati
daerah perairan Somalia beserta langkah-langkah yang harus ditempuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
sebagai tindakan pencegahan terhadap aksi perompakan. Koridor itu
dikenal dengan Internationally Recommended Transit Corridor yang
membentang menjadi 2 titik A-B di sepanjang Teluk Aden. Di sekitar
wilayah itu telah disiagakan pasukan koalisi yang berasal dari negara
negara sukarela yang mengirimkan pasukan tempurnya untuk
mengamankan wilayah itu (Steven Nainggolan,
http://politik.kompasiana.com/2011/04/12/perompak-somalia-dari-sudut-
pandang-pelaut-dan-upaya-bijak-pembebasan-mv-sinar-kudus/).
Adanya operasi yang disiagakan tersebut menjadi solusi efektif untuk
menyelesaikan permasalahan dalam perompakan Sinar Kudus MV ini,
adanya hak pengejaran seketika yang diakomodir dalam Pasal 110
UNCLOS 1982 kapal yang disiagakan tersebut dapat mengejar para
perompak sebelum masuk ke perairan teritorial Somalia dan melakukan
penyitaan untuk dijadikan barang bukti atas kejahatan perompakan
tersebut. Oleh sebab itu, proses peradilan atas para perompak dapat
diterapkan dalam kasus ini dan dapat menekan angka perompakan.
Selain negara-negara untuk menerapkan hukumnya, asas universal ini
dapat diterapkan dengan membentuk peradilan atau tribunal baik yang
bersifat sementara atau ad hoc yang berfungsi untuk memeriksa perkara
atau kasus perompakan, sehingga pengadilan ini akan menjadi rujukan
bagi setiap negara yang melakukan penangkapan terhadap para perompak
untuk diadili dengan menggunakan pengadilan tersebut. Adanya
pengadilan ini akan menjadi solusi yang paling efektif untuk menekan
angka perompakan di laut. Sehingga, negara-negara non-pihak (bukan
korban atau pelaku) ketika akan melakukan penangkapan atas para
perompak tidak akan berfikir berulang kali karena mereka tidak akan
terbebani atas pengadilan terhadap para perompak tersebut. Akan tetapi,
pengadilan ini belum terbentuk sehingga memerlukan adanya kesadaran
dari negara-negara untuk membentuk pengadilan tribunal yang
berkewenangan untuk mengadili perompakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Dari pemaparan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
meskipun aturan-aturan hukum internasional telah mengatur mengenai
perompakan secara jelas, akan tetapi kenyataaan yang terjadi terhadap kasus
perompakan Sinar Kudus MV aturan-aturan dalam hukum internasional seperti
aturan yang dijelaskan dalam CHS 1958, UNCLOS 1982, SUA 1988, Aturan
IMO, Aturan IMB, maupun aturan-aturan di dalam regional kawasan tertentu
tidak diterapkan. Negara Indonesia lalu mengambil langkah lain dengan
menggunakan negosiasi yang mana hal tersebut merugikan negara korban yang
harus mengeluarkan dana yang cukup besar serta hal tersebut tidak dapat
membuat jera para perompak. Sedangkan, aturan hukum internasional
sebenarnya telah membuat aturan-aturan terkait perompakan yang dapat
digunakan untuk mengadili para perompak.
Terhadap kasus Sinar Kudus MV ini sesungguhnya dapat dilakukan
beberapa opsi penyelesaian dan penuntutan terhadap perompak-perompak
tersebut dengan menggunakan yursidiksi Indonesia sebagai negara bendera dari
kapal, menggunakan sistem peradilan yang dimiliki oleh Somalia atau
menggunakan yurisdiksi universal yang negara non-pihak juga dapat
melakukan penuntutan dan menerapkan hukumnya untuk mengadili para
perompak tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
BAB IV
PENUTUP
Setelah melakukan analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh guna menjawab
permasalahan yang diteliti, maka pada Bab ini penulis mencoba menyimpulkan
hasil penelitian sesuai dengan masalah yang diteliti. Bertolak dari kesimpulan ini,
maka penulis juga memberikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait
secara tidak langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang diteliti.
A. Simpulan
1. Aturan hukum internasional mengatur mengenai perompakan di laut lepas
Aturan hukum internasional yang mengatur mengenai perompakan di
laut lepas. Beberapa aturan hukum internasional yang mengatur
perompakan yakni:
a. Convention on the High Seas 1958 yakni Pasal 14- 21 CHS
b. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 yakni Pasal
100-107 dan pasal 111
c. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Maritime Navigation 1988 yakni Pasal 3,6 dan 8
d. Resolusi DK PBB yakni nomor 1816 tahun 2008, nomor 1838 tahun
2008, nomor 1846 tahun 2008, nomor 1851 tahun 2008, nomor 1976
tahun 2009.
e. International Maritime Organization yakni resolusi nomor 1025
(A.26) tentang Code Of Practice For The Investigation Of Crimes Of
Piracy And Armed Robbery Against Ships, Guidelines To Assist In The
Investigation Of The Crimes Of Piracy And Armed Robbery Against
Ships, Kode Etik Djibouti
f. International Maritime Bureau
g. Perjanjian regional terkait dengan perompakan yakni European
Security and Defence Policy, Regional Cooperation Agreement on
101
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia, UNODC
Counter Piracy.
Aturan-aturan hukum ini dapat dijadikan landasan bagi setiap
negara yang akan menerapkan yurisdiksinya terhadap kasus perompakan.
Hal ini disebabkan karena perompakan merupakan jus cogens, sehingga
aturan-aturan hukum nasional suatu negara dapat diberlakukan untuk
mengadili para perompak.
2. Penerapan yurisdiksi dalam kasus perompakan kapal Sinar Kudus MV
ditinjau dari aspek hukum internasional
Penerapan yurisdiksi atas kasus perompakan kapal Sinar Kudus
MV dapat dilakukan dengan mengimplementasikan beberapa yurisdiksi,
seperti:
a. Yurisdiksi Indonesia
Yurisdiksi Indonesia dapat diterapkan dengan menerapkan asas
nasionalitas pasif dan yurisdiksi teritorial sebagai negara bendera kapal
Sinar Kudus MV.
b. Yurisdiksi Somalia
Yurisdiksi Somalia dapat diterapkan dengan menerapkan asas
nasionalitas aktif sebagai negara yang menjadi negara dari
kewarganegaraan para perompak.
c. Yurisdikasi Regional
Yurisdiksi Regional dapat dilakukan oleh negara-negara yang
menyatakan dirinya berkomitmen untuk memberantas perompakan
dengan cara membuat pengadilan tribunal yang dapat mengadili
perompak.
d. Yurisdiksi Universal
Perompakan merupakan jus cogens sehingga merupakan
kejahatan internasional yang telah dinyatakan sebagai kejahatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
harus diberantas secara bersama-sama. Oleh karena itu, setiap negara
yang berkeinginan untuk melakukan pengadilan terhadap para
perompak dapat menerapkan yurisdiksinya. Serta negara dapat
membuat suatu pengadilan tribunal yang berkewenangan untuk
mengadili para perompak.
3. Saran
Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh penulis di
atas, maka penulis memberikan saran-saran yang bersifat konstruktif
sebagai berikut:
1. Dibentuknya pengadilan tribunal yang dibentuk oleh negara-negara
di semenanjung Somalia untuk mengadili para perompak
2. Dibentuknya pengadilan tribunal yang dibentuk oleh negara-negara
di dunia untuk mengadili para perompak
Top Related