1
ANALISIS TINGKAT PENGANGGURAN
DI KOTA SEMARANG
Riza Adytia Surya / NIM. C2B606047
Dosen Pembimbing : Hastarini Dwi Atmanti, SE., Msi
ABSTRACT
Economic growth can be used as a benchmark for the success of a region’s economic development. Economic development of a region can be seen from several economic indicators. One of them is the level of unemployment. Semarang city population that is increasing each year, as well as the highest GDP growth in the city of Semarang, Central Java, but why the unemployment rate in the city of Semarang is also high.
The purpose of this study was to analize how the variables influence the level of GDP, inflation rate, the population burden borne of unemployment rate that occurred in the city of Semarang in 1989-2008. The Regression model used is the method of multiple linear regression analysis (Ordinary Least Squares) using time series data from the years 1989-2008.
Regression analysis showed that overall independent variables (GDP, Inflation, and The Burden Borne of Population) collectively have the same effect on the unemployment rate that occurred in the city of Semarang. The R2 value of 0.964 which means that at 96.4 percent is the explanation of the dependent variable. While the remaining 3.6 percent is explained by the other variables outside the model used.
Keywords: Unemployment Rate, GDP, Inflation, and The Burden Borne of Population, Time Series.
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi adalah sebuah usaha untuk meningkatkan taraf
hidup suatu bangsa yang di ukur melalui tinggi rendahnya pendapatan riil
perkapita (Suparmoko, 1992: 5). Pembangunan ekonomi sebuah negara dapat
dilihat dari beberapa indikator perekonomian. Salah satu diantaranya adalah
tingkat pengangguran. Melalui tingkat pengangguran kita dapat melihat tingkat
kesejahteraan masyarakat serta tingkat distribusi pendapata. Pengangguran terjadi
sebagai akibat dari tingginya tingkat perubahan angkatan kerja yang tidak
diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja yang disebabkan karena rendahnya
pertumbuhan penciptaan lapangan kerja.
Dalam pembangunan dan kegiatan berproduksi, peranan tenaga manusia
banyak ditentukan oleh jumlah dan kualitas tenaga kerja yang tersedia di berbagai
bidang kegiatan. Selain Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), Sumber Daya
Alam (SDA) dan kapasitas produksi, salah satu faktor dinamika lainnya dalam
pembangunan ekonomi jangka panjang yaitu sumber daya manusia (SDM).
Berbagai bidang dalam pembangunan sumber daya manusia mencakup bidang
kesehatan, perbaikan gizi, pendidikan dan latihan serta penyediaan lapangan
kerja, sehingga kualitas manusia dapat ditingkatkan.
Pendidikan dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan sumber daya
manusia yang berkualitas karena pendidikan dianggap mampu untuk
menghasilkan tenaga kerja yang bermutu tinggi, mempunyai pola piker dan cara
bertindak modern. Sumber daya manusia seperti inilah yang diharapkan mampu
menggerakkan roda penbangunan kehidupan. Dalam kenyataannya, pendidikan
khususnya pendidikan tinggi, yang tidak atau belum mampu menghasilkan
lulusan seperti yang diharapkan. Lulusan perguruan tinggi tidak otomatis terserap
oleh lapangan kerja, sehingga menimbulkan terjadinya tenaga kerja terdidik
3
(Fadhilah Rahmawati dan Vincent Hadi Wiyono, 2004). Terjadinya gejala
ketimpangan antara pertambahan persediaan tenaga kerja dengan struktur
kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan, menunjukkan terjadinya gejala,
semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar angka penggangguran
potensialnya (Ace Suryadi, 1994: 77).
1.2 Rumusan Masalah
Besarnya angka pengangguran merupakan salah satu isu penting dalam
pembangunan ekonomi di Kota Semarang, hal ini terjadi karena pengangguran
dapat digunakan sebagai indikator pembangunan suatu daerah. Pembangunan
suatu daerah mencerminkan kondisi pertumbuhan ekonomi daerah tersebut,
selain itu mencerminkan adanya peningkatan taraf hidup penduduk dan
peningkatan pemerataan pendapatan sehingga kesejahteraan penduduk meningkat.
Berdasarkan pada latar belakang masalahan di atas, maka masalah dalam
penelitian ini adalah pertumbuhan PDRB Kota Semarang yang tertinggi di Jawa
Tengah, begitu pula dengan jumlah penduduk di Kota Semarang selalu meningkat
tiap tahunnya, tetapi mengapa angka pengangguran di Kota Semarang juga
tinggi. Hal ini yang mendasari penelitian ini perlu dilakukan analisis untuk
mengatahui seberapa besar pengaruh PDRB, tingkat inflasi dan tingkat beban
tanggungan penduduk terhadap tingkat pengangguran di Kota Semarang.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka
dapat ditetapkan tujuan dan kegunaan dari penelitian yang akan dilakukan adalah
sebagai berikut:
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh tingkat PDRB terhadap tingkat pengangguran
yang terjadi di Kota Semarang.
4
2. Menganalisis pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran yang
terjadi di Kota Semarang.
3. Menganalisis pengaruh tingkat beban tanggungan penduduk terhadap
tingkat pengangguran yang terjadi di Kota Semarang.
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam
merumuskan kebijakan dan strategi untuk mengatasi masalah
pengangguran yang terjadi di Kota Semarang.
2. Sebagai referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengadakan penelitian di
bidang yang sama di kemudian hari.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Ekonomi Sumber Daya Manusia
Ekonomi sumber daya manusia adalah ilmu ekonomi yang diterapkan
untuk menganalisis pembentukan dan pemanfaatan sumber daya manusia yang
berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Ruang lingkup ekonomi sumber daya
manusia antara lain: dinamika kependudukan, ketenagakerjaan, struktur
ketenagakerjaan, sektor informal-formal, transisi kependudukan, mobilitas
penduduk, migrasi penduduk, permintaan dan penawaran tenaga kerja,
perencanaan ketenagakerjaan, serta penduduk dan pembangunan ekonomi
(Mulyadi Subri, 2003).
2.1.2 Ketenagakerjaan
Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Resources mengandung dua
pengertian, yaitu yang pertama SDM mengandung pengertian usaha kerja atau
jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi, kedua SDM menyangkut
manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja. Maupun
bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis yaitu
bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Secara fisik kemampuan bekerja diukur dengan usia.
Dengan kata lain, orang dalam usia kerja tersebut dianggap mampu bekerja.
Kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau
manpower. Secara singkat, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalalm
usia kerja (Payaman. J. Simanjuntak, 1985).
Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja atau labor force dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja atau labor force terdiri dari dua golongan yaitu (1)
golongan yang bekerja, (2) golongan yang menganggur dan mencari pekerjaan.
Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja terdiri dari tiga golongan yaitu
6
(1) golongan yang bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah tangga, dan
(3) golongan lain-lain atau penerima pendapatan lainnya (Payaman. J.
Simanjuntak, 1985).
2.1.3 Pengangguran
Pengangguran adalah angka yang menunjukkan berapa banyak dari jumlah
angkatan kerja yang sedang aktif mencari pekerjaan (Mulyadi Subri, 2003).
Menurut BPS (2006) bahwa tingkat pengangguran terbuka adalah ukuran yang
menunjukkan berapa banyak dari jumlah angkatan kerja yang sedang aktif
mencari pekerjaan, dapat dihitung sebagai berikut:
Tingkat Pengangguran = X 100%
Orang yang menganggur dapat didefinisikan orang yang tidak bekerja dan
secara aktif mencari pekerjaan selama 4 minggu sebulumnya, sedang menunggu
panggilan kembali untuk suatu pekerjaan setelah diberhentikan atau sedang
menunggu untuk melapor atas pekerjaan yang baru dalam waktu 4 minggu (Sandy
Dharmakusuma, 1998:45).
2.1.3.1 Klasifikasi Pengangguran
Pengangguran dapat diklasifikasikan menurut berbagai cara misalnya
menurut wilayah geografis, jenis pekerjaan dan alas an mengapa orang tersebut
menganggur. Berikut jenis pengangguran menurut sifat dan penyebabnya:
a. Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional adalah perubahan dalam komposisi
seluruh permintaan dan oleh karena masuknya kedalam pasar tenaga kerja
para pencari kerja pertama kalinya yang informasinya tidak sempurna dan
membutuhkan biaya modal (Payaman. J. Simanjuntak, 1985).
7
b. Pengangguran Struktural
Pengangguran struktural terjadi karena adanya perubahan dalam
structural komposisi perekonomian (Payaman. J. Simanjuntak, 1985).
Sedangkan menurut Mulyadi Subri (2003) pengangguran struktural
adalah pengangguran yang disebabkan karena ketidakcocokan antara
struktur para pencari kerja sehubungan dengan keterampilan, bidang
keahlian, maupun daerah lokasi dengan struktur permintaan tenaga kerja
yang belum terisi.
c. Penganggura Siklis
Penganggura siklis terjadi karena kurangnya permintaan.
Pengangguran ini terjadi apabila pada tingkat upah dan harga yang
berlaku, tingkat permintaan tenaga kerja secara keseluruhan lebih rendah
dibandingkan dengan jumlah pekerja yang menawarkan tenaganya
(Payaman. J. Simanjuntak, 1985).
d. Pengangguran Musiman
Bentuk pengangguran lain sering kali muncul di sektor pertanian di
Negara berkembang adalah pengangguran musiman. Pengangguran
musiman adalah pengangguran yang terjadi pada waktu-waktu tertentu
dalam satu tahun. Biasanya, pengangguran musiman terjadi pada saat
pergantian musim. Pengangguran musiman bersifat sementara saja dan
berlaku dalam waktu-waktu tertentu (Sadono Sukirno, 1994).
e. Pengangguran Terpaksa dan Pengangguran Sukarela
Pada tingkat keseimbangan yang diciptakan oleh para pasar
kompetitif. Perusahaan-perusahaan akan mau mempekerjakan semua
pekerjaan yang memenuhi kualifikasi dan mau bekerja pada tingkat upah
yang berlaku. Pengangguran yang terjadi kalau ada pekerjaan yang
tersedia, tetapi orang yang menganggur tidak bersedia menerimanya pada
tingkat upah yang berlaku untuk pekerjaan tersebut disebut pengangguran
8
sukarela (Payaman. J. Simanjuntak, 1985). Mereka menganggur dengan
sukarela karena mereka dapat memperoleh pekerjaan, tetapi tidak mau
menerimanya karena mereka tidak berhasil memperoleh suatu pekerjaan
yang sesuai dengan tingkat gaji yang diinginkan. Selain itu para pencari
kerja yang menganggur sukarela, kemungkinan karena mereka memilih
untuk menikmati hidup untuk bersenang-senang atau melakukan kegiatan
lain daripada bekerja dengan tingkat upah yang berlaku di pasaran
(Samuelson, 1997).
2.1.4 Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Keseimbangan (equilibrium) merupakan suatu kondisi pasar yang sekali
dicapai, cenderung untuk bertahan (Salvatore, 1997:22). Hal ini dapat terjadi
apabila jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan.
Pada pasar tenaga kerja, keseimbangan pasar akan tercapai apabila terjadi suatu
keadaan dimana jumlah tenaga kerja yang diminta sama dengan jumlah tenaga
kerja yang ditawarkan dan jumlah upah yang diminta sama dengan jumlah upah
yang ditawarkan.
Gambar 2.1
Kurva Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Sumber: Samuelson, 1997: 275 dan 277
E
LE
WE
Demand tenaga kerja (DL)
Jumlah tenaga kerja (L)
Upah (W) Supply tenaga kerja (SL)
9
Pada gambar 2.3, kita dapat mengetahui keseimbangan yang terjadi pada
pasar tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja ditunjukan dengan kurva penawaran
tenaga kerja (S) yang memiliki kemiringan positif, sedangkan permintaan tenaga
kerja (D) yang memiliki kemiringan negatif. Melalui hubungan antara tingkat
upah dengan jumlah tenaga kerja, kita dapat mengetahui titik keseimbangan pada
pasar tenaga kerja ada pada titik E (equilibrium) yang menunjukkan perpotongan
antara kurva permintaan dan kurva penawaran tenaga kerja. Pada titik E terjadi
keseimbangan pada pasar tenaga kerjayang ditunjukkan dengan besarnya tingkat
upah adalah WE dan jumlah tenaga kerja adalah sebesar LE.
2.1.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah seluruh nilai tambah
yang timbul dari berbagai kegiatan ekonomi di suatu wilayah, tanpa
memperhatikan pemilik atas faktor produksinya, apakah milik penduduk wilayah
tersebut ataukah milik penduduk wilayah lain (Sadono Sukirno, 1994).
Salah satu indikator penting untuk mengatahui kondisi ekonomi suatu
wilayah atau propinsi dalam periode tertentu ditunjukkan oleh data Produk
Domestik Regional Bruto, baik atas harga dasar berlaku maupun atas harga dasar
konstan. Produk Domestik Regional Bruto didefinisikan sebagai jumlah nilai
tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau
merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
seluruh unit ekonomi di suatu wilayah (Badan Pusat Statiatik, 2006).
Untuk lebih jelas dalam penghitungan angka-angka Produk Domestik
Regional Bruto, ada tiga pendekatan yang kerap digunakan dalam melakukan
suatu penelitian, yaitu:
1. Menurut Pendekatan Produksi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan nilai
produksi netto dari barang dan jasa yang dihasilkan daerah dalam jangka
waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
10
penyajiannya dikelompokkan menjadi Sembilan sektor lapangan usaha,
yaitu (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri
pengolahan, (4) listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan
hotel dan restoran, (7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan, (9) jasa-jasa.
2. Menurut Pendekatan Pendapatan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah balas jasa
yang diterima oleh faktor produksi dalam suatu daerah dalam jangka
waktu tertentu. Balas jasa yang diterima adalah upah, sewa tanah, bunga
modal dan keuntungan dikurangi pajak penghasilan dan pajak langsung
lainnya. Dalam perhitungan PDRB, kecuali balas jasa faktor produksi di
atas termasuk pula komponen penyusutan dan pajak tak langsung netto.
Seluruh komponen pendapatan ini secara sektoral disebutu sebagai nilai
tambah bruto.
3. Menurut Pendekatan Pengeluaran
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah semua
komponen permintaan akhir seperti: pengukuran konsumsi rumah tangga
dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi, pemerintah,
pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor netto.
2.1.6 Inflasi
Inflasi merupakan suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam
suatu perekonomian. Sedangkan tingkat inflasi adalah presentasi kenaikan harga-
harga barang dalam periode waktu tertentu (Sadono Sukirno, 1994: 302).
Menurut Sadono Sukirno (1994) berdasarkan faktor-faktor yang
menimbulkanya, inflasi dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Inflasi Tarikan Permintaan (Demand Pull Inflation)
Inflasi yang terjadi sebagai akibat dari tingkat perekonomian yang
mencapai tingkat pengangguran tenaga kerja penuh dan pertumbuhan
11
ekonomi berjalan pesat. Hal ini mengakibatkan permintaan masyarakat
akan bertambah dengan pesat dan perusahaan-perusahaan pada umumnya
akan beroperasi pada kapasitas yang maksimal. Kelebihan-kelebihan
permintaan yang terwujud akan menimbulkan kenaikan pada harga-harga.
2. Inflasi Desakan Biaya (Cost Push Inflation)
Inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikkan terhadap
biaya produksi. Pemanbahan biaya produksi akan mendorong peningkatan
harga walaupun akan menghadapi resiko pengurangan terhadap
permintaan barang yang diproduksinya. Inflasi ini akan berkaitan pada
kenaikkan harga serta turunnya produksi yang akan menimbulkan adanya
resesi perekonomian.
2.1.7 Angka Beban / Tanggungan Penduduk
Menurut Ida Bagoes Mantra (2000) kelompok penduduk umur 0-14 tahun
dianggap sebagai kelompok penduduk belum produktif secara ekonomis,
kelompok penduduk umur 15-64 tahun sebagai kelompok produktif dan
kelompok penduduk umur 65 tahun keatas sebagai kelompok penduduk yang
tidak lagi produktif.
Tingginya angka Rasio Beban Tanggungan Penduduk merupakan faktor
penghambat pembangunan ekonomi Indonesia, karena sebagian dari pendapatan
yang diperoleh oleh golongan yang produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk
memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif. Negara-negara yang sedang
berkembang dengan tingkat fertilitas yang tinggi, mempunyai angka rasio beban
tanggungan yang tinggi, dikarenakan besarnya proporsi anak-anak dalam
kelompok penduduk tersebut.
12
2.2 Kerangka Pemikiran
Untuk memudahkan kegiatan penelitian yang dilakukan serta untuk
memperjelas akar pemikiran dalam penelitian ini, berikut ini digambarkan suatu
kerangka pemikiran yang skematis sebagai berikut:
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.3 Hipotesis
Dalam penelitian ini akan dirumuskan hipotesis guna memberikan arah dan
pedoman dalam melakukan penelitian. Hipotesis yang dapat ditarik dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diduga terdapat pengaruh negatif antara besarnya tingkat produk domestik
regional bruto (PDRB) dengan tingkat pengangguran, bahwa semakin
tinggi jumlah PDRB suatu daerah maka tingkat penganggurannya akan
semakin rendah.
2. Diduga terdapat pengaruh yang positif antara tingkat inflasi dengan
tingkat pengangguran, bahwa semakin tinggi tingkat inflasi maka akan
berpengaruh pada tingginya tingkat pengangguran.
3. Diduga terdapat pengaruh positif antara angka BTP dengan tingkat
pengangguran, bahwa semakin tinggi angka rasio ketergantungan suatu
daerah maka tingkat pengangguran semakin tinggi.
Angka BTP
Tingkat Inflasi
Tingkat PDRB
Tingkat Pengangguran
13
III. METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian Dan Definisi Operasional
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek
penelitian, sedangkan definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan
kepada suatu variabel dengan memberikan arti (Moh. Nazir, 2003). Jadi penelitian
ini meliputi faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan
diteliti.
Dalam penelitian yang dilakukan ini digunakan dua jenis variabel
penelitian, yaitu variabel dependen atau variabel tak bebas (dependent variable)
dan variabel independen atau variabel bebas (independent variable).
A. Variabel Dependen
Adalah variabel yang besarannya dipengaruhi oleh variabel lain.
Di dalam penelitian ini digunakan tingkat pengangguran sebagai variabel
tidak bebas. Variabel tingkat pengangguran yang digunakan adalah tingkat
pengangguran di Kota Semarang dengan satuan persen. Variabel tingkat
pengangguran dihitung malalui persentase antara jumlah orang yang
menganggur dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja.
B. Variabel Independen
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) diukur dari PDRB riil
Kota Semarang berdasarkan harga konstan tahun 2000 yang
dinyatakan dalam satuan rupiah pada tahun 1989 sampai dengan tahun
2008.
2. Tingkat inflasi
Tingkat inflasi dapat mempengaruhi besarnya tingkat
pengangguran yang terjadi. Tingkat inflasi yang diguakan dalam
14
penelitian ini menunjukkan besarnya perubahan harga-harga secara
umum pada periode waktu tertentu.
3. Angka Beban Tanggungan Penduduk (BTP)
Beban Tanggungan Penduduk (BTP) dihitung dari jumlah
penduduk usia produktif dengan penduduk usia non produktif di Kota
Semarang.
3.2 Jenis Data Dan Sumber Data
Dalam penelitian yang dilakukan ini menggunakan sumber data sekunder
yang didapatkan melalui studi literature baik dari buku, jurnal, penelitian, serta
sumber data terbitan beberapa instansi tertentu. Data yang digunakan
dikumpulkan secara runtut waktu (time series) dari tahun 1989-2008.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi, yaitu mengumpulkan
catatan-catatan/data-data yang diperlukan sesuai penelitian yang akan dilakukan
dari dinas/kantor/instansi atau lembaga terkait. Data yang akan dikumpulkan
diperoleh dari dinas/lembaga/kantor seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Jawa Tengah.
3.4 Metode Analisis
3.4.1 Analisis Regresi Berganda
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda
yang digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh terhadap perubahan suatu
variabel lainnya yang ada hubungannya untuk menguji model tingkat
pengangguran di kota Semarang yang dapat dinotasikan dalam persamaan sebagai
berikut:
15
Tingkat Pengangguran = f (PDRB, Tingkat Inflasi, Beban Tanggungan
Penduduk).
Kemudian dari fungsi tersebut dapat ditransformasikan ke dalam
persamaan sebagai berikut :
TP = β0 + β1 PDRB + β2 INF + β3 BTP + µ
Variabel-variabel PDRB, INF, BTP adalah variabel bebas (variabel
independen). Sedangkan variabel tidak bebas (variabel dependen) yang digunakan
adalah TP. Dimana :
TP = Tingkat Pengangguran
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
INF = Tingkat Inflasi
BTP = Beban Tanggungan Penduduk
β0 = Konstanta
β1. . . . β4 = Koefisien Variabel Bebas
µ = Faktor Penggangu
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Data
4.1.1 Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik perlu dilakukan karena dalam model regresi perlu
memperhatikan adanya penyimpangan-penyimpangan atas asumsi klasik, karena
pada hakekatnya jika asumsi klasik tidak dipenuhi maka variabel-variabel yang
menjelaskan akan menjadi tidak efisien.
4.1.1.1 Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan keadaan dimana terdapat hubungan linear
atau terdapat korelasi antar variabel independen. Dalam penelitian ini untuk
menguji ada tidaknya multikolinearitas dilihat dari perbandingan antara nilai R2
regresi parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama. Apabila nilai
R2 regresi parsial (auxiliary regression) lebih besar dibandingkan nilai R2 regresi
utama, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tersebut terjadi
multikolinearitas. Tabel 4.1 menunjukkan perbandingan antara nilai R2 regresi
parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama.
Tabel 4.1 R2 Auxiliary Regression Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
No. Persamaan R2* R2
1. PDRB INF BTP 0,053438 0,964245
2. INF PDRB BTP 0,002245 0,964245
3. BTP INF PDRB 0,051369 0,964245
Sumber : Lampiran C R2 = R2 hasil regresi utama
R2* = R2 hasil auxiliary regression
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa model persamaan pengaruh PDRB, inflasi,
dan beban tanggungan penduduk (BTP) terhadap tingkat pengangguran di Kota
17
Semarang tahun 1989-2008 tidak mengandung multikolinearitas karena tidak ada
nilai R2 regresi parsial (auxiliary regression) yang lebih besar dibandingkan nilai
R2 regresi utama.
4.1.1.2 Uji Autokorelasi
Menurut Imam Ghozali (2005), uji autokorelasi digunakan untuk melihat
apakah di dalam model regresi terjadi hubungan korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode
sebelumnya (t-1). Dalam penelitian ini digunakan uji Breusch-Godfrey untuk
mengetahui ada tidaknya autokorelasi yang dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Uji Breusch-Godfrey Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
Breusch-God Frey Serial Correlation
F-statistic 0,024894
Obs*R-squared 0,070874
Sumber : Lampiran C, data diolah
Pada model persamaan pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008
dengan n = 20 dan k = 3, maka diperoleh degree of freedom (df) = 17 (n-k), dan
menggunakan α = 5 persen diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 27,5871. Dibandingkan
dengan nilai Obs*R-squared hasil regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban
Tanggungan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun
1989-2008, yaitu sebesar 0,070874 maka nilai Obs*R-squared uji Breusch-
Godfrey lebih kecil dibandingkan nilai χ2 tabel, sehingga dapat disimpulkan
bahwa model regresi persamaan tersebut bebas dari gejala autokorelasi.
4.1.1.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang
diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi
18
lainnya. Artinya, setiap observasi mempunyai reliabilitas yang berbeda akibat
perubahan dalam kondisi yang melatarbelakangi tidak terangkum dalam
spesifikasi model (Imam Ghozali, 2005). Dalam penelitian ini digunakan uji
White untuk mengetahui ada tidaknya heteroskedastisitas yang dapat dilihat pada
Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Uji White Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk
Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
White Heteroskedasticity Test
F-statistic 1,134740
Obs*R-squared 10,10521
Scaled explained SS 8,479513
Sumber : Lampiran C, data diolah
Pada model persamaan pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008
dengan n = 20 dan k = 3, maka diperoleh degree of freedom (df) = 17 (n-k), dan
menggunakan α = 5 persen diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 27,5871. Dibandingkan
dengan nilai Obs*R-squared hasil regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban
Tanggungan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun
1989-2008, yaitu sebesar 10,10521 maka nilai Obs*R-squared Uji White lebih
kecil dibandingkan nilai χ2 tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa model
regresi persamaan tersebut bebas dari gejala heteroskedastisitas.
4.1.1.4 Uji Normalitas
Salah satu asumsi dalam model regresi linier adalah distribusi probabilitas
gangguan µi memiliki rata-rata yang diharapkan sama dengan nol, tidak
berkorelasi, dan mempunyai varians yang konstan. Uji Normalitas bertujuan
untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal atau tidak (Imam Ghozali, 2005).
19
Untuk menguji apakah data terdistribusi normal atau tidak, dilakukan Uji
Jarque-Bera. Hasil Uji J-B Test dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut :
Gambar 4.1 Hasil Uji Jarque-Bera Pengaruh Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban
Tanggungan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
0
1
2
3
4
5
6
-2 -1 0 1 2 3 4
Series: ResidualsSample 1989 2008Observations 20
Mean 2.89e-15Median -0.485487Maximum 3.680687Minimum -1.656810Std. Dev. 1.358025Skewness 0.997808Kurtosis 3.622259
Jarque-Bera 3.641410Probability 0.161912
Sumber : Lampiran C, data diolah
Pada model persamaan pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008
dengan n = 20 dan k = 3, maka diperoleh degree of freedom (df) = 17 (n-k), dan
menggunakan α = 5 persen diperoleh nilai χ2 tabel sebesar 27,5871. Dibandingkan
dengan nilai Jarque Bera pada Gambar 4.1 sebesar 3,641410, dapat ditarik
kesimpulan bahwa probabilitas gangguan µ1 regresi tersebut terdistribusi secara
normal karena nilai Jarque Bera lebih kecil dibanding nilai χ2 tabel.
4.1.2 Pengujian Statistik Analisis Regresi
4.1.2.1 Pengujian Koefisien Determinasi (uji R2)
Dari hasil regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008
pada Tabel 4.1 diperoleh nilai R2 sebesar 0,964245. Hal ini berarti sebesar 96,4
persen variasi tingkat pengangguran di Kota Semarang dapat dijelaskan oleh
20
variasi tiga variabel independennya yakni variabel PDRB (Produk Domestik
Regionl Bruto), INF (Inflasi), dan BTP (Beban Tanggungan Penduduk).
Sedangkan sisanya sebesar 3,6 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Tabel 4.4 Hasil Regresi Utama Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
Variabel Dependen : Y ( Tingkat Pengangguran) Variabel Koefisien
Konstanta (C) -37,68420
(-15,77638)
PDRB (Produk Domestik Regionl Bruto) -4,38E-08
(-0,654328)
INF (Inflasi) -0,032968
(-3,037896)
BTP (Beban Tanggungan Penduduk) 1,383724
(22,88445)
Sumber : Lampiran B, data diolah Signifikan pada α = 5 persen
(….) = nilai t-statistic hasil regresi
4.1.2.3 Pengujian Signifikasi Parameter Individual (Uji Statistik t)
Regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk
Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008, dengan α =
5 persen dan degree of freedom (df) = 17 (n-k =20-3), maka diperoleh nilai t-tabel
sebesar 1,740.
Tabel 4.5 Nilai t-statistik Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk
Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
Variabel t-statistik t-tabel (α=5%)
PDRB (Produk Domestik Regionl Bruto) -0,654328 1,740
INF (Inflasi) -3,037896 1,740
BTP (Beban Tanggungan Penduduk) 22,88445 1,740
Sumber : Lampiran B, data diolah
21
Tabel 4.5 diatas menunjukkan hasil regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan
Beban Tanggungan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang
tahun 1989-2008, dapat disimpulkan bahwa pada taraf 95 persen (α = 5 persen)
variabel INF (Inflasi) dan BTP (Beban Tanggungan Penduduk) berpengaruh
signifikan secara statistik terhadap variabel tingkat pengangguran dan variabel
PDRB (Produk Domestik Regionl Bruto) berpengaruh tidak signifikan terhadap
variabel tingkat pengangguran (Lampiran B hasil regres utama).
4.1.2.3 Pengujian Signifikasi Simultan (Uji F)
Regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk
Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008 yang
menggunakan taraf keyakinan 95 persen (α = 5 persen), dengan degree of freedom
for numerator (dfn) = 2 (k-1 = 3-1) dan degree of freedom for denominator (dfd)
= 17 (n-k = 20-3), maka diperoleh F-tabel sebesar 3,59. Dari hasil regresi PDRB,
Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di
Kota Semarang tahun 1989-2008 diperoleh F-statistik sebesar 143,8293 dan nilai
probabilitas F-statistik 0.000000. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (F-
hitung > F-tabel).
Tabel 4.6 Nilai F-statistik Pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk
Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008 F-statistik F-tabel
143,8293 3,59
Sumber : Lampiran B, data diolah
4.2 Interpretasi Hasil
Dalam regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk
Terhadap Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008, dengan
menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), diperoleh nilai koefisien
regresi untuk setiap variabel dalam penelitian dengan persamaan sebagai berikut :
22
Y = –37,68420 – 4,38E-08 (PDRB) – 0,032968 (INF) + 1,383724 (BTP) + u
Interpretasi hasil regresi pengaruh PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang Tahun 1989-2008
adalah sebagai berikut:
4.2.1 Tingkat Pertumbuhan PDRB
Dari hasil regresi ditemukan bahwa PDRB berpengaruh negatif dan tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat pengangguran di Kota Semarang
tahun 1989-2008. Hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan PDRB yang tinggi
diikuti oleh terjadinya penurunan tingkat pengangguran di Kota Semarang. Setiap
kenaikan PDRB sebesar 1 persen maka akan diikuti oleh penurunan tingkat
pengangguran sebesar 4,38 persen.
Hubungan antara tingkat pertumbuhan GDP dengan tingkat pengangguran
diungkapkan melalui Hukum Okun. Jika terjadi peningkatan terhadap tingkat
pengangguran di suatu negara maka hal tersebut setara dengan terjadinya
penurunan terhadap pertumbuhan GDP sebesar 2 persen. Hal ini memberikan
indikasi bahwa tingginya tingkat pengangguran suatu negara dapat dikaitkan
dengan rendahnya tingkat pertumbuhan GDP dalam negara tersebut.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru Santoso, 2001.
Pada penelitian tersebut mempunyai hasil dan pendapat yang sama tentang
pengaruh PDB dan tingkat pengangguran, dimana kenaikan PDB akan
mempengaruhi turunnya tingkat pengangguran.
4.2.2 Tingkat Inflasi
Dari hasil regresi ditemukan bahwa inflasi memberikan pengaruh yang
negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran di Kota Semarang tahun
1989-2008. Secara teori, hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat
pengangguran dapat dijelaskan melelui hukum Phillips seperti yang diungkapkan
pertama kali oleh AW Phillips pada tahun 1958. Kurva Phillips memberikan
gagasan mengenai pilihan (trade off) antara tingkat pengangguran dan tingkat
23
inflasi. Jika tingkat inflasi yang diinginkan rendah maka akan terjadi tingkat
pengangguran yang tinggi. Sebaiknya jika tingkat inflasi yang diinginkan tinggi
maka akan terjadi tingkat pengangguran yang rendah.
Hasil ini sama dengan penelitian Heru Santoso (2001). Pada penelitian
tersebut menghasilkan Inflasi berpengaruh signifikan terhadap Tingkat
Pengangguran Di Indonesia Periode 1981-1999, dengan arah yang negatif.
Artinya semakin tinggi tingkat inflasi, tingkat pengangguran semakin rendah.
4.2.3 Tingkat BTP
Dari hasil regresi ditemukan bahwa tingkat BTP berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008.
Hal ini berarti bahwa perubahan yang ditimbulkan pada tingkat BTP akan
membawa pengaruh terhadap perubahan pada tingkat pengangguran. Setiap
kenaikan tingkat BTP sebesar 1 persen maka akan diikuti oleh kenaikan tingkat
pengangsguran sebesar 1,38 persen.
Hasil pada penelitian ini sama dengan hasil pada penelitian yang
dilakukan oleh Suparmono dan Soeratno, 2004. Keduanya berpendapat sama
tentang pengaruh tingkat BTP terhadap tingkat pengangguran. Cara mengatasi
masalah pengangguran dengan mengurangi pertumbuhan penduduk yang terlalu
tinggi karena tingginya pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan beban
tanggungan penduduk yang tinggi.
4.2.4 Tingkat Pengangguran
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap tingkat pengangguran dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya, digunakan 3 variabel yang mempengaruhi
tingkat pengangguran di Kota Semarang yaitu; PDRB, Inflasi, dan Beban
Tanggungan Penduduk.
Sesuai dengan hasil pada uji F bahwa semua variabel independen yang
digunakan dalam penelitian ini (PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk) secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap tingkat
24
pengagguran yang terjadi di Kota Semarang. Selain itu, melalui nilai R2 dapat
diketahui juga bahwa variabel independen yang digunakan merupakan penjelas
terhadap variabel dependen karena nilai R2 yang mencapai 96,4 persen.
Sedangkan 3,6 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model yang
digunakan.
25
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Studi ini menganalisis bagaimana pengaruh variable PDRB, Inflasi, dan
Beban Tanggungan Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang
Tahun 1989-2008. Berdasarkan uraian hasil analisis pada bab-bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil analisis persamaan menunjukkan
bahwa :
1. PDRB berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap tingkat
pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008. Hal ini berarti bahwa
tingkat pertumbuhan PDRB yang tinggi diikuti oleh terjadinya penurunan
tingkat pengangguran di Kota Semarang.
2. Inflasi memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap tingkat
pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008. Hasil tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Heru Santoso (2001). Pada
penelitian tersebut menghasilkan Inflasi berpengaruh signifikan terhadap
Tingkat Pengangguran Di Indonesia Periode 1981-1999, dengan arah yang
negatif. Artinya semakin tinggi tingkat inflasi, tingkat pengangguran
semakin rendah.
3. Tingkat BTP berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat
pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008. Hal ini berarti bahwa
perubahan yang ditimbulkan pada tingkat BTP akan membawa pengaruh
terhadap perubahan pada tingkat pengangguran. Hasil tersebut sesuai
dengan pendapat Suparmono dan Soeratno, 2004.
4. Pada uji F bahwa semua variabel independen yang digunakan dalam
penelitian ini (PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan Penduduk) secara
bersama-sama memiliki pengaruh terhadap tingkat pengangguran yang
terjadi di Kota Semarang.
26
5.2 Keterbatasan
Kelemahan dan kekurangan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
model yang dikembangkan dalam penelitian ini masih sangat terbatas karena
hanya melihat pengaruh variabel PDRB, Inflasi, dan Beban Tanggungan
Penduduk Terhadap Tingkat Pengangguran di Kota Semarang. Masih banyak
faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Oleh
karenanya diperlukan studi lanjutan yang lebih mendalam dengan data dan
metode yang lebih lengkap sehingga dapat melengkapi hasil penelitian yang telah
ada.
5.3 Saran
1. Perlunya upaya untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto
melalui pengendalian laju inflasi dan bertambahnya jumlah penduduk
dapat mengakibatkan beban tanggungan penduduk yang tinggi, maka
pemerintah mengadakan program keluarga berencana untuk peningkatan
taraf hidup penduduk.
2. Pemerintah hendaknya menekan laju inflasi dengan upaya mencegah agar
permintaan agregat dapat terkendali dan sejalan dengan peningkatan
produksi (sektor-sektor ekonomi). Kenaikan kapasitas perekonomian
dalam mencapai pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi
bukan investasi, sehingga hal tersebut berpotensi memberikan tekanan
terhadap inflasi.
3. Dalam penelitian ini, tingkat beban tanggungan penduduk merupakan
salah satu variabel yang memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap tingkat pengangguran di Kota Semarang tahun 1989-2008 perlu
mendapat perhatian khusus. Oleh karena itu diperlukan sebuah kebijakan
yang bersifat kependudukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa diimbangi oleh
27
penciptaan lapangan kerja yang memadai dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia, hanya akan menjadi beban bagi daerah yang bersangkutan.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi pertumbuhan
penduduk yang terlalu tinggi karena tingginya pertumbuhan penduduk
akan mengakibatkan beban tanggungan penduduk (dependency ratio) yang
tinggi pula salah satunya melalui pengendalian laju pertumbuhan
penduduk.
28
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi. 1994. “Hubungan Antara Pendidikan, Ekonomi dan Pengangguran
Tenaga Terdidik”. Prisma No.8, Agustus 1994 Hal 71-87
Aris Ananta. 1990. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga
Demografi FE UI
__________. 1993. Ciri Demografi Kualitas Penduduk Dan Pembangunan
Ekonomi. Jakarta: Lembaga Demgrafi FE UI
Badan Pusat Statistik. Jawa Tengah Dalam Angka berbagai edisi. Semarang :
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah
. Semarang Dalam Angka berbagai edisi. Semarang : Badan
Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah
Chotib. 2000. “Pengangguran dan Mobilitas Pekerjaan di Indinesia: Kajian Data
SUPAS 1995“. Media Ekonomi, Vol.6, No.1 Hal 1-8
Daryono Soebagiyo. 2005. “Analisis Pengaruh Kesempatan Kerja, Tingkat
Beban/Tanggungan Dan Pendidikan Tinggi Terhadap Pengangguran Di
Propinsi Dati I jawa Tengah”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.6,
No.1, Juni 2005. Hal 64-77
Diana Wijayanti dan Heri Wahono. 2005. “Analisis Kosentrasi Kemiskinan Di
Indonesia Periode Tahun 1999-2003”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Hal
215-225
Fitra Kincaka Rizka. 2007. “Analisis Tingkat Pengangguran Dan Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhinya Di Indonesia”. Skripsi Dipublikasikan. Fakultas
Ekonomi Undip. Semarang
Gujarati, Damodar. 1997. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa Sumarmo Zain.
Jakarta: Erlangga
Heru Susanto. 2001. “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat
Pengangguran Di Indonesia Periode 1981-1999”. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi Unpad. Bandung
29
Ida Bagoes Mantra. 2000. Demografi Umum. Edisi Kedua. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Imam Ghozali. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Semarang: BP Undip
Kaufman, Bruce E and Julie L Hotchkiss. 1999. The Economics of Labor Market.
Georgia States University. USA
Lincolin Arsyad. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi Ketiga. Yogyakarta :
Bagian Penerbitan STIE YKPN
Mudrajad Kuncoro. 2004. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis
dan Ekonomi. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN
Moch. Rum Alim. 2007. “Analisis Faktor Penentu Pengangguran Terbukla Di
Indonesia Periode 1980-2007”, Jurnal EKOMENAS Vol.1 No.2
September 2007 Hal 1-21
Mulyadi Subri. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Grafindo
Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: Buku II BPFE
Payaman Simanjuntak. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta
: LPFE UI.
Sadono Sukirno. 1994. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Salvatore, Dominick. 1997. Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga
Sandy Dharmakusuma. 1998. “Trade Off Antara Inflasi Dan Tingkat
Pengangguran”. GEMA STIKUBANK. November 1998 Hal 43-68
Samuelson, Paul A and William P Nordhaus. 1997. Mikro Ekonomi. Jakarta:
Erlangga
Samuelson, Paul A and William P Nordhaus, 2004. Ilmu Makro Ekonomi. Jakarta:
PT. Media Global Edukasi
Sumitro Djojohadikusumo. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi – Dasar
Teori Ekonomi dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES
Top Related