ANALISIS TENTANG DUA SAJAK PERANCIS:
« Spleen: Quand le Ciel Bas et Lourd.... »
Karya Charles Baudelaire
dan
« Bestiaire Malfaisant »
Karya Jules Supervielle
Suatu studi Perbandingan
Okke Kusuma Sumantri Zaimar
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS TENTANG DUA SAJAK PERANCIS:
« Spleen: Quand le Ciel Bas et Lourd.... »
Karya Charles Baudelaire
dan
« Bestiaire Malfaisant »
Karya Jules Supervielle
Suatu studi perbandingan perlu ditunjang oleh data-data yang kuat. Dua hal
yang sangat berbeda tentu tak perlu dibandingkan. Landasan persamaan antara hal yang
dibandingkan itu ditemukan dalam definisi apa yang disebut littérature comparée :
« La littérature comparée est l’art méthodique, par la recherche de
liens d’analogie, de parenté et d’influence, de rapprocher la litté-
rature d’autres domaines de l’expression ou de connaissance, ou
bien les faits et textes littéraires entre eux, distants ou non dans le
temps ou dans l’espace, pourvu qu’ils appartiennent à plusieurs
langues ou plusieurs cultures, firent-elles partie d’une même tra-
dition, afin de mieux les décrire, les comprendre et les goûter. »
(Daniel-Henri Pageaux : 1994, p.12)
:
« Sastra Bandingan adalah seni metodik, yang dilakukan dengan
mencari hubungan analogi, hubungan persaudaraan, atau pe-
ngaruh. Selain itu Sastra Bandingan mendekatkan kesusastraan de-
ngan cara pengungangkapan atau pengetahuan lain, juga dapat dila-
kukan dengan mendekatkan fakta-fakta dengan teks-teks kesusas-
traan, baik jauh maupun dekat dalam ruang dan waktu, asal saja
teks-teks itu termasuk berbagai bahasa atau budaya yang tercakup
dalam tadisi yang sama, agar peneliti dapat menggambarkannya,
memahaminya dan merasakannya dengan lebih baik »
.
Kali ini akan dilakukan penelitian terhadap sajak Charles Baudelaire dan sajak
Jules Supervielle. Baudelaire hidup antara tahun 1821 – 1867. Ia melakukan aktivitas
sastra dengan sangat intens, hampir semua penyair sesudah Baudelaire setidaknya
menunjukkan adanya pengaruh Baudelaire. Pada tahun 1857 ia menerbitkan karyanya
yang terkenal Les Fleurs du Mal, yang kemudian diperbaikinya pada tahun 1861 yang
berisi 129 sajak. Keutuhan karya ini terletak pada kejujurannya dalam mengemukakan
keburukan yang dirasakannya, harapannya, kelemahannya, kegagalannya. Manusia
adalah mahluk yang gagal dan objek konflik yang terus menerus terjadi antara langit dan
neraka : Dalam diri manusia setiap saat ada dua kecenderungan bersama-sama, yang satu
pada Tuhan, dan yang lain pada Setan. Kecenderungan mendekat pada Tuhan atau
spiritualitas adalah keinginan untuk naik derajat ; kecenderungan mendekat pada Setan
atau kebinatangan adalah keinginan untuk bergelimang dalam kesenangan. Meskipun
tampaknya tidak teratur, konflik yang terus menerus ini ada dalam komposisi karya.
Bagian pertama karya ini berjudul Spleen, dan yang ke dua adalah Idéal yang
menampilkan. keinginan penyair untuk menyembuhkan jiwanya dari kebosanan (l’ennui)
yang begitu merajalela di dunia ini. Mula-mula ia mencari penyembuhan melalui Puisi,
kemudian melalui Cinta. Meskipun tak berhasil mengusir Spleen, penyair tak putus asa.
Tanpa kenal lelah, ia berpaling pada cara lain untuk melepaskan diri. Namun segala
usahanya gagal. Setelah segala usahanya di dunia ini sia-sia belaka, Baudelaire berpaling
pada pengobatan terakhir, yaitu melakukan perjalanan menuju dunia lain. Dalam
pertarungsn yang tak henti-hentinya antara l’Idéal dan Spleen, perlahan-lahan, yang
terakhir ini menjadi penguasa jiwa. Salah satu sajaknya yang menggambarkan betapa
jiwanya dikuasai oleh Spleen, berjudul Spleen : « Quand le Ciel Bas et Lourd ... » yang
akan dibahas dalam tulisan ini. Sebelum pembahasan, baiklah dikemukakan terlebih
dahulu tentang Jules Supervielle.
Jules Supervielle hidup tahun 1884-1960, jadi ia hidup kurang lebih seratus
tahun setelah Baudelaire. Penyair in tidak begitu terkenal, ia berada di tepian surealisme.
Pada masa mudanya, ia mendapat pengaruh simbolisme, terutama dari Jules Laforgue
yang seperti juga Supervielle, berasal dari Uruguay. Karya-karyanya, antara lain :Poèmes
de l’humour (1919), Débarcadère(1922), Gravitations (1925) dll. Sajaknya yang akan
dibahas du sini adalah : Bestiaire malfaisant. . : .
Mengingat kedua pengarang yang sajaknya akan dibandingkan hidup dalam
masa yang sangat jauh berbeda, maka timbul keraguan mengenai persamaan kedua sajak
ini. Memang, secara sepintas lalu. kedua sajak ini tidak memiliki kemiripan, namun
apabila diperhatikan lebih lanjut, persamaan keduanya sangat menonjol. Marilah kita
mulai dengan melihat sajak dan bentuknya :
Data I :
Spleen : « Quand le ciel bas et lourd.... »
Quand le ciel bas et lourd pèse comme un couvercle
Sur l’esprit gémissant en proie aux longs ennuis,
Et que de l’horizon embrassant tout le cercle
Il nous verse un jour noir plus triste que les nuits ;
Quand la terre est changée en un cachot humide,
Où l’espérance comme un chauve-souris,
S’en va battant les murs de son aile timide
Et se cognant la tête à des plafonds pourris ;
Quand la pluie, étalant ses immenses traînées,
D’une vaste prison imite les barreaux,
Et qu’un peuple muet d’infâmes araignées
Vient tendre ses filets au fond de nos cerveaux,
Des cloches tout à coup sautent avec furie
Et lancent vers le ciel un affreux hurlement,
Ainsi que des esprits errants et sans patrie
Qui se mettent à geindre opiniâtrement.
Et de longs corbillards, sans tambours ni musique,
- Défilent lentement dans mon âme : l’Espoir,
Vaincu, pleure et l’Angoisse atroce, despotique,
Sur mon crâne incliné plante son drapeau noir.
Baudelaire, Les Fleurs du Mal.
2.1 Analisis Bentuk dan bunyi
Sajak Baudelaire terdiri dari 5 bait, masing-masing terdiri dari empat larik
dan setiap larik terdiri dari 12 suku kata (alexandrin) yaitu suatu bentuk yang banyak
digunakan oleh para penyair Perancis, rimanya merupakan rima bersilang yang sangat
teratur. Hal ini dapat dipahami, karena Baudelaire adalah penulis dari abad ke XIX.
Apabila dilihat dari aspek sintaksisnya, maka pada bait pertama sajak
Baudelaire tampak ada empat klausa bawahan. Klausa bawahan yang ada di larik pertama
terikat pada klausa yang terdapat jauh di bawah, yaitu pada bait ke empat.. Klausa
bawahan yang ke dua terikat pada klausa bawahan yang pertama, sedang yang ke tiga
terikat pada klausa bawahan yang ke empat ; kedua kelompok klausa bawahan ini
dihubungkan oleh kata penghubung «et».
Quand le ciel bas et lourd pèse comme un couvercle
Sur l’esprit gémissant en proie aux longs ennuis,
Et que de l’horizon embrassant tout le cercle
Il nous verse un jour noir plus triste que les nuits ;
Pada bait ke dua, terlihat ada empat klausa bawahan. Klausa bawahan yang
ke dua dan ke tiga terikat pada klausa bawahan yang pertama (keduanya ada di larik ke
dua dan ke tiga pada bait ini, bahkan keduanya tampak menyatu dengan adanya kata
penghubung comme, jadi kedua klausa bawahan tersebut setara.). Kedua klausa tersebut
dihubungkan lagi dengan klausa bawahan yang ke empat, oleh kata penghubung «et».
Quand la terre est changée en un cachot humide,
Où l’espérance comme un chauve-souris,
S’en va battant les murs de son aile timide
Et se cognant la tête à des plafonds pourris ;
Pada bait tiga, ada tiga klausa bawahan . Klausa yang terdapat pada larik
pertama bait ini terikat pada klausa bawahan yang ada di larik ke dua, dan kedua klausa
bawahan tersebut dihubungkan dengan klausa terakhir di bait ini yang ada di larik ke tiga
dan keempat oleh kata sambung « et ». Jadi, kedua larik ini tampak seimbang.
Quand la pluie, étalant ses immenses traînées,
D’une vaste prison imite les barreaux,
Et qu’un peuple muet d’infâmes araignées
Vient tendre ses filets au fond de nos cerveaux,
Pada bait ke empat, barulah kita temui klausa utama dari serangkaian klausa
bawahan (berjumlah 11) yang terdapat di tiga bait pertama tadi. Di sini, kita dapati dua
klausa yang dihubungkan oleh « et », jadi keduanya setara. Sementara itu, klausa yang ke
dua masih mempunyai dua klausa bawahan lagi (ditandai oleh ainsi que dan qui) yang
mengikutinya (klausa yang berada di larik ke empat terikat pada yang ada di larik ke tiga,
dan yang ada di larik ke tiga terikat pada yang ada di larik ke dua).
Des cloches tout à coup sautent avec furie
Et lancent vers le ciel un affreux hurlement,
Ainsi que des esprits errants et sans patrie
Qui se mettent à geindre opiniâtrement.
Bait yang terakhir (bait ke lima) sebenarnya merupakan bait yang berdiri
sendiri. Meskipun demikian, masih ada kata sambung « Et » di awal bait ini, yang
memberi kesan bahwa bait ini masih berhubungan erat dengan bait-bait sebelumnya. Di
sini tampak ada tiga klausa setara, klausa ke dua merupakan klausa rapatan, karena antara
klausa pertama dan yang ke dua hanya dihubungkan oleh tanda baca titik koma. Lebih
jauh dapat dikemukakan bahwa klausa yang terakhir dihubungkan dengan klausa ke dua
oleh kata sambung «et », jadi juga merupakan klausa setara. Ketiga klausa setara yang
terdapat pada bait terakhir ini menutup keseluruhan sajak.
Et de longs corbillards, sans tambours ni musique,
- Défilent lentement dans mon âme : l’Espoir,
Vaincu, pleure et l’Angoisse atroce, despotique,
Sur mon crâne incliné plante son drapeau noir.
Demikianlah, ketiga bait yang pertama hanya merupakan serangkaian klausa
bawahan (11 klausa), sedangkan klausa utamanya ada di bait yang ke empat. Jadi kalimat
pertama yang terdiri dari empat quartrains atau enambelas larik, yang terdiri dari 11
klausa bawahan yang terikat pada 2 klausa setara yang ada di bait ke empat. Kedua
klausa utama itu masih diikuti oleh 2 klausa bawahan lagi. Jadi, di bait 1-4, seluruhnya
ada 13 klausa bawahan dan dua klausa utama yang merupakan klausa setara. Sedangkan
pada bait ke lima (yang terakhir) ada tiga klausa (rapatan dan setara) yang membentuk
satu kalimat. Kesan yang ditimbulkan oleh banyaknya klausa bawahan yang terdapat di
empat bait pertama, sangat menekan bait ke lima yang sama sekali tidak mempunyai
klausa bawahan, melainkan hanya terdiri dari tiga klausa setara.
Kini, marilah kita lihat sajak Jules Supervielle Bestiaire malfaisant dan
bentuknya :
Data II
Bestiaire malfaisant.
Quand le cerveau gît dans sa grotte,
Où chauve-sourient les pensées
Et que les désirs pris en faute
Fourmillent, noirs de déplaisir,
Quand les Chats vous hantent, vous hantent
Jusqu’à devenir chats huants,
Que nos plus petits éléphants
Grandissent pour notre épouvante,
O, bestiaire malfaisant
Et qui s’accroit chemin faisant,
Bestiaire fait de bonnes bêtes,
Qui nous paraissent familières
Et qui tout d’un coup vous secrètent
Un univers si violent
Que le temps de le reconnaître,
Nous n’en sommes déjà plus maîtres
Il nous fige et va galopant
Autour de nous dans tous les sens
Ainsi qu’une aveugle tempête
Qui ne se trouve qu’en courant.
Supervielle, Le Corps tragique, ed. Galimard.
Larik-larik dalam Bestiare malfaisant hanya terdiri dari delapan suku kata
(octosyllabe). Sajak ini hanya terdiri dari dua bait yang besarnya sangat tidak seimbang.
Yang pertama terdiri dari 16 larik dan bait ke dua terdiri dari 4 larik. Sajak Supervielle
tidak mempunyai rima teratur, namun kadang-kadang masih tampak keteraturan rima,
misalnya larik ke 5.6.7.8 mempunyai rima yang sama, juga larik ke 9 dengan ke 10,
kemudian larik ke 11 dengan ke 13 dan larik ke15 dengan 16 juga mempunyai rima yang
sama. Jadi sajak ini dapat dikatakan antara teratur dan tidak, bukan sajak bebas sama
sekali.
Berikut ini akan dikemukakan analisis aspek sintaksis sajak Supervielle. Pada
bait pertama yang terdiri dari 16 larik, terdapat 14 klausa bawahan dan satu klausa utama
di larik yang terakhir. Untuk memudahkan pembagian sintaksis, bait akan dipenggal
dalam larik-larik yang mempunyai bentuk sintaksis «agak» lengkap.
Quand le cerveau gît dans sa grotte,
Où chauve-sourient les pensées
Et que les désirs pris en faute
Fourmillent, noirs de déplaisir,
Pada larik pertama tampak klausa bawahan yang terikat pada klausa utama
yang berada di larik terakhir (ke enambelas). Klausa bawahan berikutnya ada di larik ke
dua dan terikat pada klausa yang ada di larik pertama. Dua larik berikutnya mengandung
tiga klausa bawahan, dua klausa yang ada di larik ke empat terikat pada klausa utama
yang ada di larik 16, sedangkan klausa bawahan yang ada di larik ke tiga terikat pada
kedua klausa yang ada di larik ke 4 tadi. Kedua kelompok klausa bawahan yang ada di
larik ke 1 dan ke 2, dan yang ada di larik ke 3 dan 4, dihubungkan oleh kata sambung
«Et». Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok klausa itu setara.
Quand les Chats vous hantent, vous hantent
Jusqu’à devenir chats huants,
Que nos plus petits éléphants
Grandissent pour notre épouvante,
Pada empat larik berikutnya terdapat tiga klausa yang tergantung dari klausa
utama yang terdapat di larik ke 16, yaitu yang berada di larik ke 5 (dua klausa rapatan)
dan di larik ke 7 dan 8, sedangkan di larik ke 6 terdapat klausa bawahan yang terikat pada
klausa rapatan yang ada di larik ke 5.
O, bestiaire malfaisant
Et qui s’accroit chemin faisant,
Bestiaire fait de bonne bêtes,
Qui nous paraissent familières
Et qui tout d’un coup vous secrètent
Un univers si violent
Kali ini pemenggalan memasukkan 6 larik (ke 9- ke 14). Larik ke 9 merupa-
kan suatu seruan. Larik ke 9 hanya berupa seruan yang diikuti oleh klausa bawahan pada
larik berikutnya, sehingga.dapat diperkirakan bahwa ada unsur kalimat yang melesap di
sini, dan bila lesapan dimunculkan, menjadi « O bestiaire (qui est) malfaisant » Klausa
bawahan itu dihubungkan dengan larik sebelumnya oleh kata sambung «et» sehingga
pembaca dapat menganggapnya setara, terlebih setelah lesapan itu dimunculkan. Larik
berikutnya (ke 11) masih merupakan seruan juga, meskipun tak ada penanda seruan, dan
seruan itu diikuti oleh klausa bawahan (fait de bonnes bêtes) yang kemudian diikuti lagi
oleh dua klausa bawahan lain. Kedua klausa bawahan itu (larik ke 12 dan ke 13)
dihubungkan oleh kata sambung „et“. Hal ini berarti bahwa kedua klausa bawahan
tersebut setara, lebih-lebih karena keduanya sama-sama diawali oleh pronomina relatif
„qui“. Bentuk ini mengulang bentuk yang telah ada di larik sebelumnya ( larik 9 dan 10).
Akhirnya kita lihat pada larik ke 15 masih ada klausa bawahan, yang
mengandung lesapan. Jadi bila kita perhatikan, akan lebih mudah apabila lesapan itu
dimunculkan. Sehingga bentuknya menjadi « Que le temps de le reconnaître (vient)» Di
sini kata « que » mengandung pengertian « quand ». Sementara itu, klausa utama dari
serangkaian klausa bawahan tersebut, terdapat pada larik terakhir bait ini.
Que le temps de le reconnaître (vient),
Nous n’en sommes déjà plus maîtres
Selanjutnya, di bait berikutnya yang sama sekali tidak seimbang besarnya
dengan yang pertama (terdiri dari satu bait yang berupa empat larik saja), ada dua klausa
bebas yang dihubungkan oleh kata sambung «et». Kedua klausa tersebut terdapat pada
larik pertama dan ke dua. Rupanya kedua klausa inilah yang merupakan klausa utama.
Sesudah itu masih ada dua klausa bawahan yang dimulai dengan ainsi que dan qui
Il nous fige et va galopant
Autour de nous dans tous les sens
Ainsi qu’une aveugle tempête
Qui ne se trouve qu’en courant.
Demikianlah bentuk sintaksis sajak Supervielle. Sebagaimana dikemuka-
kan di atas, pada bait pertama terdapat 15 klausa bawahan dan satu klausa utama; sedang-
kan di bait ke dua, ada 2 klausa rapatan yang diikuti 2 klausa bawahan.
Juga pada sajak Supervielle tampak adanya kesan sesuatu yang berat, menekan,
karena kalimat yang ke dua terdapat di bait yang ke dua (berada di sebelah bawah) yang
hanya terdiri dari 4 larik saja, terdiri dari 2 klausa rapatan dan 2 klausa bawahan.
Selanjutnya, mari kita perhatikan aspek semantik kedua sajak ini. Sejak
judul dan telah tampak kesan yang berat « Quand le ciel bas et lourd ... ». « Ketika langit
rendah dan berat... » Frasa ini diulangi pada larik pertama sajak, dan dilanjutkan dengan
frasa « comme un couvercle » «bagaikan tutup panci (yang juga sering berair dan
beruap)» memberikan konotasi sesuatu yang berat, menekan, dan sangat lembab, terlebih
karena di dalam tempat tertutup itu ada jiwa yang merintih karena menjadi mangsa
kebosanan ‘ennui’ yang begitu lama. Yang dibicarakan adalah jiwa yang sangat tertekan.
Semua gambaran dalam sajak ini menunjukkan hal tersebut. «...Il nous verse un jour noir
plus triste que les nuits». Ketika itu langit mengguyur bumi dengan hari yang begitu
hitam, sehingga lebih gelap dan lebih menyedihkan dari pada malam hari. Di sini
metafora mengemukakan keadaan jiwa yang dilingkupi kegelapan, tak ada secercah sinar
pun yang memberi harapan.
Pada bait ke dua, gambaran yang mencekam itu berlanjut. Dunia telah
berubah menjadi suatu persembunyian yang lembab «Quand la terre est changée en un
cachot humide », cachot ada la suatu tempat persembunyian yang kecil dan tertutup.
Dengan metafora ini si penutur memberikan kesan ketertutupan ruang yang
menyesakkan. Di tempat itu, „l’Espérance, comme un chauve-souris, s’en va battant les
murs de son aile timide et se cognant la tête à des plafonds pourris“ „harapan bagaikan
kelelawar, terbang terus menerus menabrak dinding dan menumbukkan kepala ke plafon
yang telah busuk“. Metafora kelelawar yang terbang kian kemari, tanpa tahu jalan keluar,
bahkan menyakiti tubuhnya sendiri dengan tabrak-tubruknya ke dinding dan plafon,
sangat menyakitkan. Si kelelawar ingin ke luar, tetapi ia tak berdaya.
Bait ke tiga memperpanjang penderitaan ini. «Hujan » dianggap sebagai terali
penjara sehingga « cachot humide» berubah menjadi penjara « prison ». Tambahan pula
segerombolan laba-laba mengembangkan jaringnya « au fond de nos cerveaux ». Otak
kita tak mampu lagi berpikir, karena telah berada dalam jaring laba-laba. Lagi pula suatu
tempat yang telah mempunyai jaring laba-laba, dianggap sebagai tempat yang telah lama
tak digunakan, otak kita pun demikian pula.
Pada bait ke empat tampak « Des cloches tout à coup sautent avec furie »
«lonceng yang tiba-tiba berdentang dengan penuh kemarahan ». Suara lonceng ini
berkonotasi ledakan kemarahan jiwa. Kemudian dikatakan pula bahwa « Et lancent vers
le ciel un affreux hurlement » « lonceng melepaskan raungan ke arah langit », dengan
suara raungannya yang bergerak vertikal, lonceng seakan menyampaikan jeritan
penderitaannya. Ungkapan metaforis ini dilanjutkan dengan gambaran lugas tentang jiwa
yang selalu mengembara, « des esprits errants et sans patrie» tak ada baginya tempat
untuk pulang, sehingga pengembaraan akan terus berlanjut.. Penderitaan menjadi lebih
menusuk dengan ditampilkannya jiwa yang terus merintih. .
Bait terakhir mengemukakan bayangan yang mencekam. Dalam jiwa. tam-
pak. „de longs corbillards, sans tambours ni musique“ „iring-iringan panjang yang
mengantar jenazah tanpa suara musik“.“défilent lentement dans mon âme“ Iring-iringan
pengantar jenazah itu bergerak perlahan-lahan dalam jiwaku“. Selain mencekam,
metafora ini juga memberikan kesan lain. Tiadanya suara atau keheningan menjadikan
iringan jenazah itu lebih mengharukan.“l’Espoir, vaincu, pleure et l’Angoisse atroce,
despotique, sur mon crâne incliné plante son drapeau noir.“ „Harapan“ menangisi
kekalahannya dan „kegelisahan yang mengerikan dan kejam“ menebarkan bendera hitam
di kepalaku yang telah doyong. Kepala yang telah doyong karena beban yang terlalu
berat, masih ditutupi oleh bendera hitam. Bendera yang biasanya merupakan lambang
kejayaan, di sini menjadi bendera kematian. Inilah akhir pengembaraan jiwa, yang
berujung di kematian. Kematian ini bukan hanya kematian biasa, melainkan kematian
jiwa dan segala kemampuannya.
Setelah menelusuri sajak Baudelaire yang mengemukakan penderitaan,
keterkungkungan, ketakberdayaan, kekalahan dan akhirnya kematian pikiran.marilah kita
lihat sekarang sajak Supervielle. Seperti juga sajak yang terdahulu, sajak ini mengemu-
kakan pemikiran yang sangat berat, namun di sini penderitaan dan ketakberdayaan terfo-
kus pada ketakutan. Sejak awal, pada judul « Bestiaire malfaisant ». Supervielle sudah
membayangkan binatang, baik riil maupun imajinatif, yang merusak. Kata « Bestiaire »
mempunyai makna karya berupa dongeng binatang yang aneh-aneh, namun pada judul ini
dikatakan malfaisant, yaitu merusak. Kemudian, pada larik pertama dari bait pertama
yang terdiri dari 16 larik, «Quand le cerveau gît dans sa grotte» ditampilkan saat otak
terbaring tak bergerak di dalam guanya, selanjutnya dikemukakan « où chauve-sourient
les pensées ». Pikiran yang biasa ada di otak itu, terbang kian kemari bagai kelelawar.
Kata « chauve-sourient » sebenarnya tidak ada dalam bahasa Perancis. Kata itu rekaan si
penyair agar imaji tentang pikiran yang terbang kian kemari dan tabrak-tubruk seperti
kelelelawar itu, lebih hidup. Sementara itu, sikap terbaring menunjukkan ketidakberdaya-
an, terlebih lagi karena si otak itu terbaring di gua yang berkonotasi sempit dan gelap,
Selanjutnya, klausa «Et que le désir pris en faute» mempunyai makna bahwa apa yang
tadinya dianggap realita, ternyata hanya ilusi. Memang, Supervielle telah menyatakan
bahwa yang digambarkannya adalah «bestiaire» atau binatang-binatang imajinatif. Ilusi
tadi tampak menggerumut dan menjadi hitam. Gambaran itu memberi konotasi banyak-
nya ilusi yang menggerumuti pikiran bagaikan semut yang menghitam karena jumlahnya
yang banyak..Selanjutnya digambarkan pula ketakutan «Quand les Chats vous hantent,
vous hantent jusqu’à devenir chats huants». Di sini klausa « vous hantent » diulang
sampai dua kali untuk menekankan rasa takut yang menghantui anda. Dalam klausa ini
penutur melibatkan penerima agar rasa takut ini juga bisa dirasakan penerima (pembaca).
Rasa takut ini dapat pula mengubah kucing menjadi burung hantu yang mempunyai
konotasi ketakutan saja, sedangkan kucing masih bisa mempunyai konotasi lain, seperti :
pencuri, kelembutan, kemanjaan, dan lain-lain.
Selanjutnya ketika itu dikatakan «Que nos plus petits éléphants grandissent
pour notre épouvante » Gajah yang paling kecil pun smembesar hingga menakutkan.
pikiran. Demikianlah, imajinasi binatang yang merusak itu sepanjang jalan makin lama
makin menjadi besar. Imajinasi yang tadinya terbentuk dari binatang-binatang yang baik,
yang tampaknya tak asing lagi bagi kita , tiba-tiba menimbulkan suatu dunia yang begitu
keras.«Et qui tout d’un coup nous secrètent un univers si violent » Pencerita sama sekali
tidak menyangka bahwa binatang-binatang yang tadinya begitu baik, bisa menimbulkan
suatu dunia yang keras, sehingga ia tidak lagi mengenali binatang-binatang tersebut.
Akhirnya, «Que le temps de le reconnaître, Nous n’en sommes déjà plus maîtres » Kedua
klausa terakhir dari sajak ini menyatakan suatu keterlambatan daya reaksi. Ketika kita
mengenali semua hal itu, kita bukan lagi majikan mereka. Frasa «le reconnaitre»
menunjukkan saat pengenalan bahwa semua itu hanya imajinasi, namun terlambat, karena
pada saat itu» Nous n’en sommes déjà plus maîtres ». Justru majinasilah yang telah
menguasai kita.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bait ke dua yang hanya terdiri dari
empat larik saja, memberikan gambaran yang menyatakan bahwa imajinasi telah betul-
betul mengelilingi, mengurung jiwa kita. «Il nous fige et va galopant autour de nous dans
tous les sens » Rupanya binatang-binatang imaginasi itu dianggap sebagai angin puting
beliung yang berputar-putar. Sementara itu, klausa « Il nous fige » menyatakan bahwa
jiwa kita sudah beku, terpasung, tak dapat bergerak lagi, karena begitu takut melihat bina-
tang-binatang itu bergerak terus mengelilinginya. Demikianlah penderitaan si penutur
yang pada awalnya hanya membayangkan binatang yang telah dikenal dan jinak, tiba-tiba
imajinasi itu berubah menjadi liar dan mengelilinginya, hingga pikirannya menjadi beku,
tak berdaya.
Kini marilah kita lihat analisis pragmatik pada kedua sajak : Di sini, analisis
pragmatik hanya akan difokuskan pada pembahasan tentang isotopi..
Pada sajak Baudelaire, kita temukan beberapa isotopi, yaitu :
- Isotopi tekanan, yang beranggotakan : bas, lourd, pèse, un couvercle, de l’horizon
embrassant tout le cercle (tekanan horizontal), verser, un jour noir, étalant ses immenses
traînées, plante son drapeau noir, mon crâne incliné
- Isotopi keterbatasan: un cachot humide, battant les murs, son aile timide, se cognant la
tête, des plafonds pourris, prison, les barreaux, un peuple muet, vient tendre ses filets, au
fond de nos cerveaux.
- Isotopi penderitaan / perasaan sedih : gémissant, en proie, longs ennuis, un jour noir,
triste, les nuits, un chauve-souris, battant les murs, se cognant la tête, des plafonds
pourris, la pluie, étalant ses immenses traînées, un peuple muet, des esprits errants, sans
patrie, geindre opiniâtrement, de longs corbillard, sans tambour, ni musique, défilent
lentement, l’Espoir vaincu, (l’espoir) pleure, l’Angoisse, atroce, mon crâne incliné, son
drapeau noir.
- Isotopi kemarahan : (des cloches) sautent, furie, lancer, un hurlement, affreux,
opniâtrement, atroce, despotique.
- Isotopi binatang yang menakutkan : une chauve-souris, d’infâmes araignées.
Demikianlah, isotopi tekanan (berjumlah 10) dan keterbatasan (berjumlah 10)
menopang motif penderitaan yang berjumlah 26. Sementara itu, meskipun isotopi
kemarahan tidak banyak, hanya berjumlah 8, hal ini menunjukkan ketidak berdayaan.
Keinginan marah ada, dan pernah meletus bersama bunyi lonceng, namun hal itu hanya
menambah penderitaan, karena pencerita menjadi sadar bahwa ia tak berdaya untuk
berbuat apa pun. Isotopi binatang yang menakutkan memang ada, tetapi hanya berjumlah
2 saja, jadi hanya merupakan latar penambah penderitaan. Jadi, tema sajak ini adalah
penderitaan manusia yang ditopang oleh 46 kosakata yang telah diuraikan dalam berbagai
isotopi tadi.
Sementara itu sajak Jules Supervielle menampilkan hasil analisis pragmatik
yang tidak jauh berbeda.
- Isotopi pikiran : le cerveau, les pensées, sa grotte (la grotte du cerveau, c’est la crâne)
(3)
- Isotopi penderitaan : gît, les désirs pris en faute, fourmillent, déplaisir, malfaisant,
nous n’en sommes plus déjà maîtres, fige, aveugle (8).
- Isotopi perasaan takut : noirs, hanter (2x), épouvante, aveugle, tempête, les chats,
chats-huants (8).
- Isotopi gerakan : gît (-), chauve-sourient, fourmillent, hanter (2x), grandissent,
s’accroît, chemin faisant, sécréter, si violent, fige (-), va, galopant, autour de nous, dans
tous les sens, aveugle tempête, en courant (17).
- Isotopi binatang : bestiaire, chauve-sourient, fourmillent, les chats, chats-huants,
éléphants, bestiaire (2x), bonnes bêtes (9).
- Isotopi waktu : Quand (2x), que (4x), jusqu’à, devenir, tout d’un coup, le temps,
reconnaître,(11).
Di sini kita lihat bahwa motif yang paling menonjol adalah motif yang terdiri
dari isotopi gerakan (17). Apabila isotopi gerakan ini disatukan dengan isotopi binatang
(9), menjadi motif binatang yang bergerak, jumlahnya menjadi 26. Sementara itu isotopi
perasaan berjumlah 8, dan bila disatukan dengan isotopi perasaan takut 8, menjadi motif
perasaan yang bersumber dari perasaan takut (16) Tampaknya gerakan-gerakan binatang
imajinatif inilah yang menimbulkan perasaan takut yang begitu besar sehingga
mengganggu pikiran dan perasaan si penyair. Selain itu, meskipun isotopi pikiran
berjumlah sangat kecil (hanya 3), apabila dilihat konteksnya dapat dimasukkan dalam
motif penderitaan, karena «le cerveau gît dans sa grotte» menunjukkan ketidak-
berdayaan, sedangkan «où chauve-sourient les pensées» mengemukakan pikiran yang
selalu bergerak tak teratur kian-kemari dan menabrak-nabrak dinding dalam ruang yang
terbatas. Sementara itu isotopi waktu yang berjumlah 11 juga menopang gagasan bahwa
penderitaan itugsung lama.
Kini, marilah kita perhatikan dan perbandingkan kedua sajak secara terinci.
Dari segi bentuk, dapat dikatakan bahwa kedua sajak terdiri dari 20 larik. Sajak
Baudelare terdiri dari 5 bait dan sajak Supervielle terdiri dari 2 bait yang tidak seimbang
yaitu 16 larik dan 4 larik. Keduanya terdiri dari dua kalimat yang masing-masing terdiri
dari 16 dan 4 larik. Sajak Baudelaire sangat teratur, setiap larik merupakan alexandrin
dan setiap bait menampilkan rima bersilang (rimes croisées), sedangkan setiap larik
dalam sajak Supervielle merupakan octosyllabes (terdiri dari 8 suku kata) dan rimanya
kurang teratur.
Hasil analisis sintaksis, sudah dikemukakan di atas bahwa masing-masing
sajak terdiri dari 2 kalimat. Kalimat yang pertama dalam sajak Baudelaire terdiri dari se-
rangkaian klausa bawahan, sedangkan klausa utamanya ada di bait yang ke empat. Jadi
kalimat pertama terdiri dari empat quartrains atau enambelas larik, mengandung 11
klausa bawahan yang terikat pada 2 klausa setara di bait ke empat. Kedua klausa utama
itu masih diikuti oleh 2 klausa bawahan lagi. Jadi, pada kalimat pertama ada 13 klausa
bawahan dan dua klausa utama yang merupakan klausa setara. Sedangkan pada bait ke
lima (yang terakhir) ada tiga klausa (rapatan dan setara) yang membentuk satu kalimat.
Kesan yang ditimbulkan oleh banyaknya klausa bawahan yang terdapat di empat bait
pertama, sangat menekan bait ke lima yang sama sekali tidak mempunyai klausa
bawahan, melainkan hanya terdiri dari tiga klausa setara.
Hasil analisis sintaksis sajak Supervielle menunjukkan bahwa pada bait
pertama terdapat 15 klausa bawahan dan satu klausa utama; sedangkan di bait ke dua, ada
2 klausa rapatan yang diikuti 2 klausa bawahan. Dengan demikian pada sajak Supervielle
pun tampak adanya sesuatu yang berat, menekan, karena kalimat yang ke dua terdapat di
bait yang ke dua (berada di sebelah bawah) yang hanya terdiri dari 4 larik saja, terdiri
dari 2 klausa rapatan dan 2 klausa bawahan.
Ternyata bukan bentuk sintaksis saja yang mirip antara kedua sajak ini, kosa
kata pun banyak yang sama. Kata «quand» dalam sajak Baudelaire diulang sebanyak 4x
(dengan judul), sedangkan kata «que» yang membawa makna «quand» diulang 2x.
Dalam sajak Supervielle kata «quand» diulang 2x, dan «que» yang sama maknanya
dengan «quand» diulang 2x. Dalam sajak Baudelaire, ada kata «un cachot», «mon
crâne» dalam sajak Supervielle ada kata «sa grotte». Dalam sajak Baudelaire ada «Où
l’espérance, comme une chauve-souris,» sedangkan dalam sajak Supervielle ada frasa
«où chauve-sourient les pensées». Sebenarnya dalam bahasa Perancis tidak ada kata kerja
« chauve sourier» Pengarang menggunakan lisensia puitika untuk membuat rekaan kata
kerja itu..
Kedekatan hasil analisis bentuk ini diikuti pula oleh kedekatan analisis
makna. Analisis semantik sajak Baudelaire mengemukakan penderitaan keterkungkung-
an, ketakberdayaan, kekalahan dan akhirnya kematian pikiran.. Hal ini sesuai dengan
gagasan Baudelaire tentang spleen. Memang, puisi ini adalah bagian dari Spleen yang
terdapat dalam bukunya Les Fleurs du Mal. Sebagaimana telah kita ketahui Baudelaire
mengemukakan pertentangan terus menerus antara Spleen dan Idéal. Dalam perjuangan
duniawi ini, justru spleen lah yang lebih berkuasa. Spleen ini memang berasal dari pribadi
penyair sendiri : kesulitan keuangan, kelemahan fisiknya, penderitaan cintanya,
perasaannya dihantui masa tua dan kematian. Si penyair berusaha terus menerus untuk
keluar dari lingkaran penderitaan ini dan mencoba untuk melarikan diri ke arah dunia
Ideal, namun realita selalu menghentikan hasratnya yang menggebu dan
mengembalikannya pada posisi semula, kejatuhannya menyebabkan penderitaannya tak
tertahankan. Keadaan inilah yang digambarkan dalam sajak di atas.
Sementara itu, sajak Supervielle.juga menampilkan pemikiran yang berat,
namun di sini penderitaan dan ketakberdayaan terfokus pada ketakutan.Ungkapan dan
klausa yang menunjukkan penderitaan itu : les désirs pris en faute (hasrat yang dianggap
salah), noirs de déplaisir (ketidaksenangan yang begitu kuat sehingga tampak
menghitam), de bonnes bêtes qui nous paraissaient familières et qui tout d’un coup vous
sécrètent un univers si violent (oposisi ini menunjukkan bahwa binatang-binatang yang
kita kenal, kita anggap sebagai sahabat, tiba-tiba melahirkan dunia yang begitu keras),
Que le temps de nous reconnaître, nous n’en sommes plus déjà maîtres (Ketika kita
mengenali kembali binatang-binatang itu, kita tak dapat lagi menguasainya.). Jadi,
bestiaire malfaisant adalah binatang-binatang imajinatif (dari dongeng-dongeng
binatang) yang tiba-tiba berubah menjadi sangat menakutkan dan menimbulkan
penderitaan berkepanjangan (isotopi waktu berjumlah cukup banyak, yaitu 11).
Supervielle sering memperkenalkan kita pada dunia yang aneh, lebih bersifat surrealis di
mana tampak metamorfose yang menimbulkan kekhawatiran. Dunianya, bukanlah dunia
yang tampak, sebaliknya, dunianya itu berada di luar pandangan. Binatang-binatang yang
sering dimunculkan oleh Supervielle, berbeda jauh dari apa yang dikemukakan oleh La
Fontaine : di sini, binatang-binatang itu tak berbunyi, dan kebisuan itu memberikan kesan
ketenangan yang mendalam, tuli terhadap bahasa manusia. Kadang-kadang, Supervielle
mengharapkan suatu tanda persekongkolan, namun, ia tahu bahwa apabila binatang bisa
bicara, maka masyarakatnya akan sama sulitnya dengan manusia. Kita tidak pernah akan
bisa menyendiri, baik di desa maupun di hutan. Justru karena binatang itu penuh rahasia,
maka Supervielle banyak memunculkannya dalam sajak-sajaknya : dongeng-dongeng
binatang itu berada di antara realita dan dunia luar realita. Kosmos sendiri menunjukkan
keraguan tentang realita. Penyair merasa tak yakin karena begitu sedikit realita yang
diberikannya pada dunia impiannya. Semua itu menyebabkan metamorfosa terjadi terus
menerus. Setiap mahluk dapat berubah. Seekor kelinci yang terus menerus memimpikan
menjadi zebra, akan menjadi kuda kecil itu; dan gajah yang bernostalgia meringankan
tubuhnya, akan berubah menjadi kupu-kupu. Pada tahun-tahun akhir kehidupannya,
metamorfosa yang manis ini berubah makin lama makin menakutkan, bahkan menjadi
tragis. Dalam tubuhnya, sang penyair merasakan sekumpulan mahluk yang berontak.
Jantung yang sakit dan insomnia menyiksa penyair yang tak pernah mau menyerah pada
rasa khawatir: Supervielle berusaha menjinakkan monster yang ada dalam sajaknya
„Bestiaire malfaisant“. Kematian yang telah menjadi obsesi tampak dalam sajak-sajaknya
yang terakhir Sejak ia memiliki tubuh yang tragis dan jantung yang tak teratur denyutnya,
ia selalu melihat bayangan atau mayat. Dalam kehidupan ini ia melihat dirinya sendiri
sebagai orang asing, yang hanya ada satu hal yang diketahuinya secara konsisten, yaitu
kematian.. Dunia Supervielle yang sama sekali tidak riil ini, tidak dapat dibandingkan
dengan dunis kaum surealis. André Breton melancarkan kritik dengan mengatakan bahwa
seekor kuda tak dapat berlari di dalam tomat, sedangkan Supervielle tertarik pada cara si
kuda itu dapat masuk ke dalam tomat. Itu adalah suatu perpindahan dari impresi pada
impian, dari realita pada imajiner, dan hal itu sangat memukaunya.Impiannya tidak
pernah berupa keseluruhan tubuh, ia sama sekali tidak ingin menganggap imaji tersebut
sebagai imaji realita.
Demikianlah dari perbandingan kedua sajak yang berasal dari jaman yang berbeda
itu, tampak bahwa keduanya memiliki banyak persamaan. Supervielle pernah
menyatakan bahwa ia tidak dipengaruhi Rimbaud, penyair besar abad ke XIX ataupun
Apollinaire, penyair abad ke XX. Namun disadari atau tidak, dari analisis yang telah di-
lakukan, tampak sekali bahwa bentuk, sintaks, maupun kosa kata yang digunakan oleh
Supervielle banyak miripnya dengan sajak Baudelaire.
Beberapa gagasan Supervielle dalam sajaknya menampilkan penderitaan yang
disebabkan oleh ketakutan. Meskipun demikian, ternyata gagasan yang melatari kedua
sajak ini jauh berbeda, apabila Baudelaire mengemukakan spleen yang begitu parah
menekannya, maka Supervielle mengemukakan ketakutan akan dunia irriil yang berada
di hadapannya. Baudelaire adalah pengarang besar Perancis, pelopor aliran simbolis,
sehingga tentu saja dikenal oleh semua pelajar Perancis. Karya Jules Supervielle tak
dapat dikatakan imitasi ataupun « pastiche », karena kedua sajak yang bentuknya mirip
itu mengusung gagasan yang berbeda, masing-masing sesuai dengan pengalaman sang
pengarang. Mungkin saja karya Supervielle ini mendapat pengaruh dari karya Baudelaire,
tetapi hal ini berada di luar rung lingkup penelitian singkat ini.
Okke Kusuma Sumantri Zaimar
ANALISIS TENTANG DUA SAJAK PERANCIS:
« Spleen: Quand le Ciel Bas et Lourd.... »
Karya Charles Baudelaire
dan
« Bestiaire Malfaisant »
Karya Jules Supervielle
Suatu studi Perbandingan
Okke Kusuma Sumantri Zaimar
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah:.
1.1.1 Penelitian tentang sajak:
Sebagaimana kita ketahui penelitian sastra telah banyak dilakukan, baik sebagai karya
tulis akhir maupun dalam lomba penelitian atau penelitian lainnya. Suatu kenyataan
bahwa di antara jenis sastra, penelitian tentang puisi tidak banyak. Hal ini sama sekali
bukan disebabkan oleh fakta bahwa puisi tidak menarik. Sebaliknya, banyak sekali
pembacaan puisi, dan buku terbitan yang baru pun banyak yang berupa kumpulan puisi.
Mungkin penyebabnya terletak pada bahasa yang digunakan dalam puisi. Puisi
menyampaikan gagasan si penulis dalam bahasa yang dipadatkan. Pemahaman puisi
biasanya tidaklah gamblang, maknanya harus diraih peneliti. Membaca puisi sangat
menyenangkan, namun belum tentu demikian dalam tahapan analisis. Pada awalnya tentu
sulit sekali, namun setelah kita berhasil „membedahnya“, maka kesenangannya akan
berlipat ganda. Penelitian tentang puisi memang patut digalakkan, sehingga penelitiannya
akan „sejajar“ dengan penelitian genre sastra lainnya.
1.1.2 Puisi Perancis dan para penulis yang karyanya menjadi sumber data penelitian ini:
Charles Baudelaire dan Jules Supervielle.
Baudelaire hidup antara tahun 1821 – 1867. Ia melakukan aktivitas sastra
dengan sangat intens, hampir semua penyair sesudah Baudelaire setidaknya menunjukkan
adanya pengaruh Baudelaire. Pada tahun 1957 ia menerbitkan karyanya yang terkenal Les
Fleurs du Mal, yang kemudian diperbaikinya pada tahun 1961 yang berisi 129 sajak.
Keutuhan karya ini terletak pada kejujurannya dalam mengemukakan keburukan yang
dirasakannya, harapannya, kelemahannya, kegagalannya. Manusia adalah mahluk yang
gagal dan objek konflik yang terus menerus terjadi antara langit dan neraka : Dalam diri
manusia setiap saat ada dua kecenderungan bersama-sama, yang satu pada Tuhan, dan
yang lain pada Setan. Kecenderungan mendekat pada Tuhan atau spiritualitas adalah
keinginan untuk naik derajat ; kecenderungan mendekat pada Setan atau kebinatangan
adalah keinginan untuk bergelimang dalam kesenangan. Meskipun tampaknya tidak
teratur, konflik yang terus menerus ini ada dalam komposisi karya. Bagian pertama karya
ini berjudul Spleen, dan yang ke dua adalah Idéal yang menampilkan. keinginan penyair
untuk menyembuhkan jiwanya dari kebosanan (l’ennui) yang begitu merajalela di dunia
ini. Mula-mula ia mencari penyembuhan melalui Puisi, kemudian melalui Cinta.
Meskipun tak berhasil mengusir Spleen, penyair tak putus asa. Tanpa kenal lelah, ia
berpaling pada cara lain untuk melepaskan diri. Namun segala usahanya gagal. Setelah
segala usahanya di dunia ini sia-sia belaka, Baudelaire berpaling pada pengobatan
terakhir, yaitu melakukan perjalanan menuju dunia lain. Dalam pertarungsn yang tak
henti-hentinya antara l’Idéal dan Spleen, perlahan-lahan, yang terakhir ini menjadi
penguasa jiwa. Salah satu sajaknya yang menggambarkan betapa jiwanya dikuasai oleh
Spleen, berjudul Spleen : « Quand le Ciel Bas et Lourd ... » yang akan dibahas dalam
tulisan ini. Kini, marilah kita lihat sekilas tentang kehidupan Jules Supervielle.
Jules Supervielle hidup tahun 1884-1960, jadi ia hidup kurang lebih seratus
tahun setelah Baudelaire. Penyair in tidak begitu terkenal, ia berada di tepian surealisme.
Pada masa mudanya, ia mendapat pengaruh simbolisme, terutama dari Jules Laforgue
yang seperti juga Supervielle, berasal dari Uruguay. Dia mengatakan bahwa dia tidak
terpengaruh baik oleh Apollinaire maupun oleh Rimbaud, namun dia tidak pernah
menyatakan bahwa dirinya tidak terpengaruh oleh Baudelaire, pemuka simbolisme ini.
Karya-karya Jules Supervielle, antara lain :Poèmes de l’humour (1919), Débar-
cadère(1922), Gravitations (1925) dll. Sajaknya yang akan dibahas di sini adalah :
Bestiaire malfaisant.
1.2 Masalah :
Mengingat kedua pengarang yang sajaknya akan dibandingkan hidup dalam masa
yang sangat jauh berbeda, maka timbul keraguan mengenai persamaan kedua sajak ini.
Apakah memang antara kedua sajak ini ada persamaannya ? Apakah sajak Supervielle
dapat dianggap sebagai imitasi atau parodi dari sajak Baudelaire ? Memang, secara
sepintas lalu. kedua sajak ini tidak memiliki kemiripan, namun apabila diperhatikan lebih
lanjut, persamaan keduanya sangat menonjol.
1.3 Tujuan:
Penelitian yang berupa perbandingan sajak ini bertujuan menemukan persamaan dan
perbedaan antara sajak Perancis sajak Baudelaire: Spleen: „Quand le Ciel Bas et Lourd“
dan sajak Supervielle „ Bestiaire Malfaisant“. Kemudian, apabila persamaannya begitu
banyak, menemukan apakah karya Supervielle merupakan imitasi, pastiche, parodie
ataupun hanya merupakan pengaruh saja.
1.4 Sumber data:
Sajak Charles Baudelaire: Spleen „Quand le Ciel Bas et Lourd“ dans Lagarde et
Michard XIXe siècle. Les Grands Auteurs du Programme. Edition Bordas
Sajak Jules Supervielle „Bestiaire Malfaisant“ dans La Littérature en France Depuis
1945. Jacques Bersani et all. Edition Bordas, Paris-Montréal.
1.5 Ruang lingkup:
Penelitian ini hanya terbaatas pada penelitian tekstual, dan tidak mesuk ke dalam
penelitian tentang biografi dan jaman kehidupan kedua penulis.
1.6. Metode Penelitian:
Metode penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu suatu metode yang
mementingkan hubungan antara subjek peneliti dan objek penelitian. Mengingat
penelitian ini membahas perbandingan dua puisi, maka pertama-tama akan dikemukakan
landasannya, yaitu metode perbandingan karya sastra.
Suatu studi perbandingan perlu ditunjang oleh data-data yang kuat. Dua hal yang
yang sangat berbeda tentu tak perlu dibandingkan. Landasan persamaan antara hal yang
dibandingkan itu ditemukan dalam definisi apa yang disebut littérature comparée :
« La littérature comparée est l’art méthodique, par la recherche de
liens d’analogie, de parenté et d’influence, de rapprocher la litté-
rature d’autres domaines de l’expression ou de connaissance, ou
bien les faits et textes littéraires entre eux, distants ou non dans le
temps ou dans l’espace, pourvu qu’ils appartiennent à plusieurs
langues ou plusieurs cultures, firent-elles partie d’une même tra-
dition, afin de mieux les décrire, les comprendre et les goûter.»
(Daniel-Henri Pageaux : 1994, p.12)
:
« Sastra bandingan adalah suatu seni metodis (yang teratur), berdasarkan
Hubungan analogi , persaudaraan, atau hubungan pengaruh, mendekat-
kan sastra yang berasal dari ranah pengungkapan atau pengetahuan
yang lain, ataupun antar fakta-fakta dan teks sastra itu sendiri, baik
yang berada dalam waktu dan tempat yang jauh maupun yang dekat,
asalkan karya-karya itu termasuk dalam tradisi yang sama agar dapat
dipaparkan secara lebih baik, dipahami atau dinikmati secara lebih baik
pula.“.
(Daniel-Henri Pageaux : 1994, p.12)
Selain itu, dalam penelitian kualitatif ini digunakan semiotik, yaitu ilmu tentang
tanda. Menurut Umberto Eco, salah seorang pemukanya, tanda adalah sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Semiotik mempunyai dua orang
Bapak, yaitu Charles Sanders Peirce, seorang ahli filsafat Amerika, dan Ferdinand de
Saussure seorang linguis Swis. Setelah itu dikenal banyak pemuka semiotik, masing-
masing dengan teori yang dibawakannya. Salah seorang pemukanya, Charles Morris
mengemukakan teori tentang tiga tataran semiotik, yaitu:
a. Tataran sintaksis (disebut juga tataran sintagmatik oleh Barthes dan tataran in
praesentia oleh Todorov) yaitu tataran yang mengutamakan hubungan antar unsur
teks yang berurutan.
b. Tataran semantik (disebut juga tataran paradigmatik oleh Barthes dan tataran in
absentia oleh Todorov) yaitu tataran yang mengutamakan hubungan antara teks
dengan dunia fiksi, hubungannya tidak berurutan melainkan menyebar.
c. Tataran pragmatik (disebut juga wacana oleh Barthes dan verbal oleh Todorov)
Teori ini dipilih sebagai dasar analisis untuk meneliti kedua sajak yang menjadi objek
penelitian. Kini marilah kita lihat analisis kedua sajak, dimulai dengan analisis bentuk
dan bunyi, diikuti oleh analisis sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Laporan penelitian
ANALISIS TENTANG DUA SAJAK PERANCIS:
„Spleen: Quand le Ciel Bas et Lourd ...“
Karya Charles Baudelaire
Dan
« Bestiaire malfaisant »
Karya Jules Supervielle
Suatu Studi Perbandingan
Okke Kusuma Sumantri Zaimar
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
FORMAT LEMBAR PENGESAHAN
HASIL PENELITIAN TAHUN 2006
01. Judul Penelitian : Analisis tentang dua sajak Perancis
«Spleen : Quand le Ciel Bas et Lourd ... »
Karya Charles Baudelaire dan
«Bestiaire Malfaisant »
Karya Jules Supervielle.
Suatu Studi Perbandingan.
02. Bidang Ilmu : Budaya
03. Peneliti Utam : Okke Kusuma Sumantri Zaimar
04. Jenis kelamin : Perempuan
05. Unit Kerja : Program Studi Perancis, Departemen Sastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
06. Alamat Unit Kerja : Fak. Ilmu Pengetahuan Budaya, UI
Kampus Universitas Indonesia, Depok 16424
Tel. (021) 7863528 ? 29, 7868285. Fax: (021) 7270036
07. Alamat Rumah : Jln. Yahya Nuih no 31. Kel Kemiri Muka
Depok 16424. Tel. (021) 78881910.
08. Alamat e-mail :
09. Lama Penelitian : 3 (tiga) bulan
10, Penyandang dana :
11. Total Biaya :
Mengetahui: Jakarta, 7 Desember 2006
Dekan FIB Peneliti Utama / Penanggung Jawab
Prof. Dr. Ida Sundari Husen
NIP. 130 202 964.
Top Related