ANALISIS SEMIOTIKA MAKNA TOLERANSI BERAGAMA
DALAM PAMERAN FOTO BIANGLALA XINJIANG
KARYA “ISMAR PATRIZKI”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komuniksi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Ershad Wiladatika
109051100026
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2015 M
ANALISIS SEMIOTIKA MAKNA TOLERANSI BERAGAMA
DALAM PAMERAN FOTO BIANGLALA XINJIANG
KARYA “ISMAR PATRIZKI”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komuniksi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Ershad Wiladatika
109051100026
Dibawah Bimbingan:
Ade Rina Farida, M.Si
NIP : 19770513007012018
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H./2015 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memeperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam tulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Maret 2015
Ershad Wiladatika
i
ABSTRAK
Ershad Wiladatika
109051100026
Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran Foto
Bianglala Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”
Foto jurnalistik merupakan sebuah medium penyampai pesan yang
digunakan untuk menyampaikan fakta visual atas suatu realitas kepada
masyarakat seluas-luasnya, bahkan sampai pada bagian paling ‘dalam’ dari suatu
peristiwa ataupun fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Dalam sebuah
pameran foto bertajuk Bianglala Xinjiang karya Ismar Patrizki yang dilaksanakan
di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Objek perempuan menjadi medium
visual yang menarik bukan hanya dari segi estetika tetapi dari segi toleransi
beragama, China adalah negara Kong Hu Cu yang mempunyai warga etnis-etnis
muslim minoritas di Xinjiang. Pada saat merayakan idul fitri warga etnis
minoritas di xinjiang melaksanakan sholat id bersama di salah satu masjid kecil di
pelosok wilayah Hoboksar. Objek foto-foto Ismar didominasi aktivitas suku di
Xinjiang. Ismar juga jeli merekam kehidupan kaum urban perempuan di Xinjiang
yang bertoleransi beragama.
Adapun pertanyaan penelitian untuk mengetahui apa makna denotasi,
makna konotasi, dan makna mitos yang mengandung unsur toleransi beragama
pada pameran bertajuk Bianglala Xinjiang di Galeri Foto Jurnalistik Antara
(GFJA) karya Ismar Patrizki?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian menggunakan
paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Analisa foto dikaji dengan
menggunakan metode penelitian semiotik Roland Barthes. Metode penelitian ini
memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan mitos. Selanjutnya
penulis memperkaya temuan makna dengan mengarahkannya pada permasalahan
toleransi beragama dalam kehidupan yang minoritas.
Dari data yang dikaji lewat semiotik Barthes, diperoleh beberapa data,
yakni: Makna denotasi yang memberikan gambaran kepada masyarakat tentang
toleransi beragama, khususnya di kota Xinjiang. Dari analisa makna konotasi
mengungkapkan bahwa penganut Kong Hu Cu sangat menghargai umat Islam di
Xinjiang. Dari analisa mitos, didalam Islam mengajarkan pentingnya menjaga
hubugan silaturahmi karena dipercaya dapat memperluas rezeki dan panjang umur
tak terkecuali terhadap orang lain yang berbeda agama. Dan dengan toleransi
beragama saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain,
tidak memaksa mereka mengikuti agamanya, agar tercipta suatu bangsa yang
damai dan tentram.
Atas hasil penelitian ini juga kembali dibuktikan bahwasanya foto
jurnalistik mampu mengungkapan objektifitas terhadap sebuah fenomena sosial
budaya masyarakat yang terjadi. Foto-foto yang ditampilkan bukan hanya sebatas
indah tanpa makna, melainkan penuh pesan tentang toleransi beragama di
Xinjiang agar menjadi contoh bagi umat beragama dimanapun mereka berada.
Melalui foto-foto yang ditampilkan semoga dapat menjadi salah satu kontribusi
para fotografer untuk turut serta dalam kerukunan antar umat bergama.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, dan juga nikmat yang begitu banyak sehingga dengan ridho-
Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, shalawat serta salam senantiasa
terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para sahabat,
serta para pengikutnya.
Syukur Alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
yang berjudul “Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran
Foto Bianglala Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”, yang disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1), di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Selama masa penelitian, penyusunan, penulisan, sampai masa
penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief
Subhan, M.A, serta Wakil Dekan I, Dr. Suparto, M. Ed, MA, Wakil
Dekan II, Drs. Jumroni, M.Si, dan Wakil Dekan III, Dr. H. Sunandar,
M.Ag.
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si serta Sekertaris
Kosentrasi Jurnalistik Dra. Musfirah Nurlaily. MA yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membantu menyelesaikan kuliah.
iii
3. Dosen Pembimbing skripsi, sekaligus sahabat istimewa, Ade Rina Farida,
M.Si yang telah membimbing penulis dalam segala hal, terutama dalam
menyelesaikan skripsi, sehingga skripsi ini selesai dengan baik dan
lancar.
4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu
yang telah diberikan kepada Penulis.
5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Galeri Foto Jurnalistik Antara khususnya kepada Dhira Danny Widjaja
staff pendidikan GFJA, yang di sela kesibukannya menyempatkan diri
untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, begitu juga dengan Ismar
Patrizki sebagai fotografer, yang juga bersedia menyempatkan waktu
sebagai narasumber dan memberi banyak informasi dalam penelitian ini.
7. Kedua orangtua tercinta Bapak Djumadi dan Ibu Partiyah atas do‟ a dan
kasih sayangnya sehingga Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Saudara kandung, (Lalita Ingerani, Ibnu Bukhari dan Alfath). Terima
kasih atas dukungan, segala bantuannya dan semangatnya sehingga
skripsi ini dapat selesai.
9. Kemudian untuk Siti Noer Rachmawaty yang selalu memberi perhatian
dan semangat pada peneliti serta mengajarkan banyak hal, terima kasih
untuk segala dukungan yang telah berikan kepada penulis selama ini.
10. Teman seperjuangan, Jeffri, Eko, Andrianto, Indi Hikami, Faruq,
Gardika, M Aulia, Rendy, Imron, Naziah, Firda, semoga persahabatan
dan persaudaraan kita akan terus terjalin. Buat temen kosan Deden,
iv
Badri, Obi, Bepe, Wisnu, Numan, Abler, Cepot, Fauzan, Hamim, Kevin,
Iir, Bogel terima kasih dukungannya. Juga buat sahabat-sahabat terbaik,
Azis, Ardi, Ari, Agung, Ario, Eman, Rusdi, Didi, Icang, Ocit, Rian dan
lainnya. Terima kasih banyak.
11. Seluruh teman-teman di Klise Fotografi, atas segala pembelajaran dan
kekeluargaan nya. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2009 dan teman-
teman Fidkom 2009, kalian luar biasa. Teman-teman ULTRAMAN,
teman-teman GABRES FC serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang sudah membantu, memberikan dukungan, saran kepada
penulis sampai skripsi ini selesai dengan baik.
Penulis menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan,
namun Penulis telah berusaha untuk semaksimal mungkin dengan baik. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Penulis
Ershad Wiladatika
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ...................................... 5
C. Tujuan Penelitian ..................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 6
E. Metodologi Penelitian ....................................................... 7
F. Tinjauan Pustaka ............................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 10
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................. 12
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi .................................. 12
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotik ................................... 37
C. Tinjauan Umum Tentang Toleransi ................................. 45
BAB III GAMBARAN UMUM LKBN ANTARA dan PAMERAN
FOTO BIANGLALA XINJIANG ........................................... 47
A. Gambaran Umum LKBN Antara ..................................... 47
B. Gambaran Umum Pameran Foto Bianglala Xinjiang ...... 53
BAB IV ANALISIS DATA FOTO BIANGLALA XINJIANG DI
PAMERAN GALERI FOTO ANTARA JURANALISTIK 21-
28 MARET 2014 .................................................................... 58
A. Data Foto 1 ....................................................................... 59
vi
B. Analisis Data Foto 1 ......................................................... 56
C. Data Foto 2 ....................................................................... 65
D. Analisis Data Foto 2 ......................................................... 65
E. Data Foto 3 ....................................................................... 70
F. Analisis Data Foto 3 ......................................................... 70
G. Data Foto 4 ....................................................................... 75
H. Analisis Data Foto 4 ......................................................... 75
BAB V PENUTUP ............................................................................... 81
A. Kesimpulan ........................................................................ 81
B. Saran .................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 85
LAMPIRAN ................................................................................................... 88
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ............................................................................................................. 39
Tabel 2 ............................................................................................................. 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 ...................................................................................................... 47
Gambar 3.2 ...................................................................................................... 47
Gambar 4.1 ..................................................................................................... 59
Gambar 4.2 ..................................................................................................... 65
Gambar 4.3 ...................................................................................................... 70
Gambar 4.4 ...................................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-
besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an.
Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang
menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah
orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini.
Sejak The Daily Graphic pada 16 April 1877 memuat sebuah seketsa
gambar untuk melengkapi informasi peristiwa yang diberitakan, kehadiran foto
(gambar visual) dianggap semakin penting. Bukan hanya sebagai pelengkap dan
penarik perhatian semata, hadirnya selembar foto yang merupakan gambar
otentik, mampu menghadirkan atmosfir peristiwa yang terjadi walaupun jauh dari
kursi pembaca.1
Menurut Clifton dalam Photo jurnalism, Priciples and Practies seorang
fotojurnalis pertama-tama adalah seorang wartawan. Mereka harus selalu
memotret langsung di jantung peristiwa yang tengah panas-panasnya, mereka
tidak bisa menciptakan foto dengan hanya mengangkat telefon. Mereka adalah
mata dunia, dan selalu harus bisa melihat dari dekat apa yang terjadi dan
melaporkannya.2
Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto termuka Magnum
Photo menjabaran, foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar,
melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang
1 Forum Diskusi “Fotografer.net” dengan tema: jurnalistik foto antara Foto Headline HARIAN UMUM vs Foto Sampul
Majalah Life Stylr/Artikel diakses pada 10 Oktober 2014 2 Clifron Cerdic Edom, Photojurnalis: priciples and practices (New York: William C Brown Pus., 1980), h.19.
2
seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkap sebuah
cerita.3 Dan Oscar Motuloh, direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) dalam
makalahnya, Suatu Pendekatan Visual Dengan Suara Hati menyebutkan, Foto
jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual
atas suatu peristiwa tersebut, bahkan hingga kerak di balik peristiwa tersebut,
tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Menurut menurut guru besar Universitas Missouri, AS, Clifton C. Edom,
foto jurnalis adalah panduan kata dan gambar, untuk itu jika kita ingin mengkaji
makna dari sebuah karya foto tidak dapat dipisahkan kaitan antara gambar dan
kata baik yang tertuang dalam rangkaian narasi, caption (keterangan) foto, atau
pada judul foto tersebut. Bahkan dari judul yang diberikan, kita bisa mendapati
sudut pandang subjektif seorang foto jurnalis yang menjadi saksi mata saat sebah
peristiwa terjadi. Dari hal tersebut, dapat pula kita lihat beberapa besar
kemampuan foto jurnalis mengkomunikasikan persepsi subjektifnya dengan
membingkai sebuah peristiwa dalam karya foto yang ditampilkannya. Sementara
menurut editor foto majalah Life dari 1937-1950, Wilson Hicks, „foto jurnalistik
adalah kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan
komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidian sosial
pembacanya.4
Fotografi tidak selalu tentang teknis. Tidak selalu tentang jam terbang atau
pengalaman, dan tidak melulu tentang alat. Fotografi lebih dari sekedar bidang
teknologi yang membantu media dalam menyampaikan sesuatu dalam bentuk
visual. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi fotografi itu sendiri dalam
3 Rully kesuma, disampaikan dalam seminar Foto Jurnalistik di GFJA tahun 2009
4 Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2004), h.4.
3
perkembangan teknologinya. Tahun 80-90an ketika memotret adalah sebuah
kegiatan yang “mahal” dan tidak banyak orang yang menggelutinya, fotografi
berkembang perlahan tanpa ada perubahan yang signifikan. Tentu saja karena
pasar yang tidak mendukung produsen untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Memasuki tahun millenium, ketika kamera digital mulai di perkenalkan, peminat
fotografi mulai beranjak naik. Tahun 2005 fotografi lebih dimudahkan lagi
dengan kembali bermunculannya berbagai macam kamera digital dengan masing-
masing kelebihannya. Tidak hanya dengan segala kemudahan ini pula, semakin
banyak orang yang mencintai fotografi dan berbondong-bondong membeli kamera
hanya untuk sekedar mencoba. Semakin banyak orang yang menggeluti, semakin
kompleks pula keuntungan dan kerugian yang terjadi dalam dunia fotografi
sendiri.5
Dengan demikian nilai otentik dari foto jurnalistik sangatlah tinggi, karena
diambil langsung di lokasi dan ketika peristiwa tersebut terjadi. Walaupun gambar
diambil dari sudut pandang seorang foto jurnalis, bukan berarti pesan pada foto
tersebut bernilai subjektif, karena dia merekam peristiwa yang benar-benar terjadi
dan bukan mengkontruksi sebuah peristiwa. Rekaman gambarnya mewakili mata
pembaca menampilkan suasana merekam dalam peperangan, ketakutan; gegap-
gempitanya suatu perayaan tahun baru; semangat perubahan yang dibawa kaum
muda dan segala sesuatu yag berlangsung di belahan dunia lain. Foto karya Ismar
Patrizki bertajuk Bianglala Xinjiang, yang pernah ditampilkan dalam pameran di
GFJA, Pasar Baru Jakarta pada bulan Maret ini, menggambarkan tentang kondisi
kota Xinjiang, China, dia merekam kehidupan masyarakat Xinjiang. Foto keluarga
5 http://myphotography.blogdetik.com/tag/fenomena-fotografi/Artikel diakses pada 11 April 2015
4
yang sedang makan siang di salah satu kebun kota di Xinjiang, misalnya, tidak
luput dari bidikan Ismar.
Foto karya ismar yang berkerja untuk Antara Photo, Indonesia, Gambar ini
menjadi sinyalemen bahwa China adalah negara yang damai, meski dalam kancah
politik global China dipersepsikan oleh Barat sebagai negara siap perang. Ismar
setidaknya memberi sudut pandang berbeda mengenai persepsi tersebut. Simak
saja foto yang memvisualisasikan wanita muslim dan non muslim yang sedang
mengabadikan foto kebun bunga matahari.
Obyek foto-foto Ismar didominasi aktivitas suku di Xinjiang. Ismar juga
jeli merekam kehidupan kaum urban perempuan China. Contohnya saja foto yang
menggambarkan aktivitas perempuan sedang berbelanja wig rambut di salah satu
sentra penjualan rambut palsu di teheran. Fotonya jelas menampilkan wanita
berparas jelita plus berhidung bangir.6
Ismar melakukan perjalanan jurnalistik dengan melakukan pertukaran
saksi mata tentang kota yang diabadikan kamera mereka. Ismar melakukan
reportase foto di Xinjiang. Serta beberapa kota di sekitar Xinjiang. Berkunjung
dan melihat langsung sebagai etnis di kawasan xinjiang selama sekitar tiga pekan
mulai akhir juli hingga pertengahan agustus 2013 rasanya tidalah cukup. Tidak
banyak yang bisa diungkap secara mendalam mengenai realita hidup etnis-etnis
minoritas di xinjiang.
Berpergian bisa mengubah sudut pandang terhadap segala hal. Area
terpencil berubah menjadi surga kecil yang terasing. Demikian juga daerah
konflik bisa jadi malah menyimpan pelajaran hidup penuh makna. Barat china pun
6 http://www.satulingkar.com/detail/read/8/2370/antara-teheran-dan-jakarta#sthash.VxtoJjkP.dpuf/ Artikel diakses pada 10
Oktober 2014
5
menyimpan keajabain demikian. Jalur perdagangan yang terkenal dengan istilah
jalur sutra menjadi mutiaranya. Terbentang menghubungkan china, eropa dan
india. Jalur sutra menyimpan banyak keindahan dan kekayaan budaya, salah
satunya dijumpai di wilayah Xinjiang, China.
Terkait dengan hal ini, maka “pisau” analisis yang paling tepat digunakan
untuk membedah rangkaian foto-foto karya Ismar Patrizki adalah analisis
semiotik. Semiotik memecah-mecah kandungan tanda seperti teks ataupun pada
gambar menjadi bagian-bagian, dan menghubungkan mereka dengan wancana-
wancana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara
menghubungkan tanda tertentu dengan sistem di mana ia beroperasi. Hal ini
memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur
tanda bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita dalam
menghasilkan makna.7 Dengan demikian kajian tentang tanda (semiotika ) dinilai
efektif untuk mengkaji lebih dalam lagi makna-makna simbol yang dikekang
seorang fotografer dalam bingkai kameranya, ataupun untuk mencoba mencari
makna tersembunyi yang bernilai personal dari seorang foto jurnalis yang
terproyeksi dari judul yang diberikan dalam setiap bingkai fotonya.
Dengan latar belakang masalah tersebut dan analisis yang digunakan untuk
membantu penelitian ini dideskripsikan secara singkat dengan judul penelitian:
Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama Dalam Pameran Foto Bianglala
Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”
7 Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies, (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2006), h.77.
6
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Merujuk pada latar belakang diatas, maka penulis membatasi
penelitian pada pesan atau simbol yang mengandung simbol toleransi
beragama pada setiap foto dalam pameran Bianglala Xinjiang karya ismar
patrizki di Galeri Antara pada 21-28 Maret 2014 dengan menggunakan
analisis semiotika model Roland Barthes.
2. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak keluar dari konteks pembahasan, maka
penulis merumuskan masalah penelitian kepada tiga hal berikut:
1. Apa makna Denotasi yang terdapat pada foto yang mengandung
unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya
Ismar Patrizki?
2. Apa makna Konotasi yang terdapat pada foto yang mengandung
unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya
Ismar Patrizki?
3. Apa makna Mitos yang terdapat pada foto yang mengandung unsur
toleransi beragama pada pameran Bianglala Xinjiang karya Ismar
Patrizki?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan
penelitiannya sebagai berikut:
7
a. Untuk mengatahui makna Denotasi yang terdapat pada adegan yang
mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala
Xinjiang karya Ismar Patrizki.
b. Untuk mengatahui makna Konotasi yang terdapat pada adegan yang
mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala
Xinjiang karya Ismar Patrizki.
c. Untuk mengatahui makna Mitos yang terdapat pada adegan yang
mengandung unsur toleransi beragama pada pameran Bianglala
Xinjiang karya Ismar Patrizki.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini bertujuan untuk kembali mengkaji relevansi dari teori
tentang simbol dan pemaknaan (semiotik), yang dalam hal ini terkait dengan
manifestasi pada komunikasi visual, yaitu foto jurnalistik. Sehingga diharapkan
hasil dari penelitian ini memberikan sedikit sumbangsih terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu komunikasi.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah pundi-pundi keilmuan dan memperdalam pemahaman
khususnya tentang semiotika dan kaitannya dengan ilmu komunikasi.
b. Memberi sedikit pemahaman tentang makna simbolis yang terdapat
foto jurnalistik.
c. Mengembangkan kajian tentang fotografi khususnya foto jurnalistik
bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif, di mana hasil temuan akan dideskripsikan kemudan ditinjau kembali
untuk dianalisis dari hasil pengamatan lapangan dan penelusuran pustaka. Metode
deskriptif kualitatif adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial
yang didasari pada penelitian yang menyeluruh (holistic). Diambil dari bentuk
kata-kata dan diperoleh dari sesuatu yang ilmiah.
Dalam kajian semiotika dikenal beberapa tokoh terkenal selain Barthes,
yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Ketiganya cukup
popular dalam bidang kajian semiotika. Dalam penelitian ini, penulis memilih
Barthes karena penulis tertarik dengan formula yang diajukan Barthes dalam
membaca foto di dalam tatanan konotasi. Barthes mengajukan 6 tahapan dalam
membaca konotasi pada foto, yaitu trick effect, pose, object, photogenia,
aestheticisim, dan sintaksis.
2. Subjek, Objek, Tempat Penelitian, dan Narasumber.
Subjek dari penelitian adalah karya foto Ismar Patrizki dengan tajuk
Bianglala XInjiang yang dipamarkan di GFJA, pada tahun 2014. Dan objeknya
adalah 4 lembar foto yang dinilai dapat mewakili dari keseluruhan empat puluh
satu foto yang dipamerkan
Penelitian akan di laksanakan di GFJA, Jl. Antara No. 59, Pasar Baru,
Jakarta Pusat. Lembaga yang bekerja sama dengan Antara Photo dalam
9
melenggarkan yang melahirkan foto-foto yang menjadi objek penelitian, Ismar
Patrizki.
3. Teknik Pengumpulan Data
Langkah selanjutnya ialah mengumpulkan data yang diperoleh dari hasil
penelitian foto, dari empat puluh satu rangkaian foto seri yang ada, dipilih 4 foto
utama yang dianggap dapat mewakili beberapa foto lainnya. Kemudian data yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan Ismar Patrizki, fotografer dari pameran
foto ini yang sekaligus narasumber utama, baik secara tatap muka maupun melalui
media jejaring sosial, serta dari dokumentasi pameran foto Bianglala Xinjiang
yang berupa katalog. Lalu mengelolah hasil temuan atau data dan meninjau
kembali data yang telah terkumpul. Seluruh data tersebut nantinya akan
dipaparkan dengan didukung oleh beberapa hasil temuan tinjauan pustaka yang
kemudian dianalisis.
4. Teknik Analisis Data
Menggunakan analisis semiotika Roland Barthes mengetahui makna denotasi,
konotasi, mitos di dalam foto jurnalistik pada pameran Bianglala Xinjiang
mengenai kehidupan masyarakat kota Xinjiang, China. Tahun 2014. Menurut
saussure, semiologi merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-
tanda di tengah masyarakat dengan demikian menjadi bagian dari disiplin
psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukan bagaimana terbentuknya
tanda-tanda tersebut berserta kaidah-kaidah yang mengaturnya.8
8 Alex Sobur. Semotika Komunikasi. (Bnadung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2006), h.12.
10
Konotasi dan denotasi sering sering dijelaskan dalam istilah tingkatan
represntasi atau tingkatan nama. Roland Barthes menggunakan istilah order of
signification. Tahap pertama dari order of signification adalah denoasi, sedangkan
tahap keduanya dalah konotasim makna denotasi merupakan penanda dan
penanda yang berbentuk tanda. Kemudian dari tanda tersebut muncul permaknaan
lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (yang kemudian
dianggap sebagai penanda). Pemaknaan inilah yang kemudian menjadi konotasi.9
Tahap yang ketiga adalah membaca mitos. Menurut Claude Levi Strausse,
seorang antropolog skrukturalis, menyatakan bahwa satuan paling dasar dari mitos
adalah mytheme. Mytheme tidak bisa dilihat secara terpisah dari bagian lainnya.
Mytheme ini didapat dari konteks budaya dan teks.
5. Teknik Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menunjuk kepada buku pendoman
penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasushi dkk,
yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Develoment and Assurnce)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattullah Jakarta.
F. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian yang berjudul “Analisis Semiotika Makna Toleransi Beragama
Dalam Pameran Foto Bianglala Xinjiang Karya “Ismar Patrizki”., terinspirasi oleh
skripsi “Analisis Semiotika Foto Daily Life Stories Pada World Press Photo
2012”, karya Aida Islamie dari UIN Syarif Hidayatullah, tahun 2010. Juga skripsi
“Makna Foto Berita tentang tragedi pembagian zakat di pasuruan pada
9 M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi. (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h.56.
11
Kompas.com (Analisis Semiotika)”, karya Sandro Gatra Universitas IISIP, tahun
2009. Juga terinspirasi dari skripsi karya Fatimah mengenai “Makna Foto
Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqoni Maksum pada Galeri
Foto Antara.co.id)”. dari UIN Syarif Hidayatullah tahun 2008.
Kempat skripsi tersebut sama-sama membahas mengenai makna dan
simbol pada foto jurnlistik dengan menggunakan analisis semiotika. Tetapi foto
yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda.
Dengan pertimbangan, pameran foto yang diselenggarakan oleh GFJA
selalu dapat menjadi acuan perkembangan foto jurnalistik di Indonesia berkaitan
dengan tema-tema pameran yang diangkatnya. Dan pada penelitian ini, foto yang
akan dianalisa menggambarkan tentang kehidupan masyarakat kota Xinjiang.
G. Sistematika Penulisan
Bab I: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, yaitu penjabaran masalah
mengenai foto jurnalistik, mengapa issue yang dianalisa adalah
kehidupan masyarakat kota Xinjiang, China, serta mengapa yang
dipilih adalah foto yang dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik
Antara. Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan
Sistematika Penulisan
Bab II: Menjabarkan landasan teori yang dipakai, isi penelitian yang
didapatkan dari hasil studi pustaka. Seputar fotografi, sejarah dan
perkembangannya, tentang fotografi jurnalistik, pengertian
semiotika, juga bagamana memahami makna atau simbol yang
12
terdapat pada foto menggunakan analisis semiotik berdasarkan
teori Roland Barthes.
Bab III: Memaparkan profil LKBN ANTARA, sejarah berdirinya LKBN
ANTARA, profil ANTARA Foto. Tentang pameran Bianglala
Xinjiang, latar belakang, tim produksi, dan profil Ismar Patrizki.
Bab IV: Tahap penganalisisan data tentang makna atau simbol yang
terkandung dari foto jurnalistik di pameran Bianglala Xinjiang pada
tahun 2014 dengan menggunakan semiotik Roland Barthes.
Bab V: Kesimpulan dari hasil penelitian serta saran untuk penggiat
fotografi dan Mahasiswa Fakultas Komunikasi khususnya Program
Studi Jurnalistik tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik
dari foto jurnalistik.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Lahirnya fotografi tidak dapat dilepaskan dari peran fisikawan muslim,
Ibnu Al-Haitham yang juga merupakan penemu dari lensa, yaitu benda yang
terbuat dari kaca yang mampu membiaskan ataupun juga memfokuskan cahaya
pada jarak tertentu.
Howard R Turner dalam bukunya “Science in Medieval Islam”
menyebutkan bahwa Ilmu optik merupakan penemuan ilmiah para sarjana muslim
yang paling orisinil dan penting dalam sejarah Islam.9Dan tercatat dalam sejarah
dunia, Abu Ali Al-Hasan Ibnu al-Haitham yang lahir di Basra, Persia (965-1039
M) sebagai bapak ilmu optik.
Berawal dari Ibnu Khaitam pada abad ke-10 Masehi yang sedang dalam
pengembaraan, dia melihat bayangan yang terproyeksi dari lubang kecil ke dalam
tendanya.Kejadian tersebut merupakan cikal-bakal lahirnya kamera obscura
(kamar gelap) yang merupakan prototipe dari kamera yang kita kenal saat ini.
Dalam buku “The History of Photography” karya Alma Davenport (1991),
disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang lelaki bangsa
Cina bernama Mo Ti sudah mengamati sebuah gejala fotografi serupa dengan apa
yang dialami oleh Ibnu Al-Khaitam tersebut.10
9 “Al-Kindi, Ibnu Sahl, Ibnu Al-Haitham : Tiga Ilmuwan Islam Pelopor Ilmu Optik”.
darihttp://hamba4wl.wordpress.com/2014/07/11/al-kindi-ibnu-sahl-ibnu-al-haitham-tiga-ilmuwan-islam-pelopor-ilmu-
optik/Artikel diakses pada 10 Oktober 2014. 10 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”, dari
http://www.pasarkreasi.com/news/detail/photography/67/sejarah-fotografi-dunia Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
14
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Fotografi merupakan seni dan
proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang
dipekakan.11
Secara harfiah fotografi terdiri dari dua kata dalam bahasa Yunani,
yaitu photos artinya cahaya, dan graphein yang artinya menulis atau
melukis.Dalam seni rupa, fotografi adalah proses melukis atau menulis dengan
menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau
metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam
pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya.
Alat paling populer untuk menangkap cahaya ini adalah kamera. Jadi dapat
disimpulkan bahwa tidak ada cahaya, berarti tidak ada foto yang bisa dibuat.
Prinsip fotografi adalah memfokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan
sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah
dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan
identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut
lensa).12
Fotografi umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang
memungkinkan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa. Dengan bantuan
bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi monochrome (hitam-
putih) ataupun berwarna (dikertass atau bahan transparan), sebuah foto pada
dasarnya adalah wujud suatu moment dari satu atau serangkaian gerak.13
Fotografi merupakan gabungan dari proses fisika dan kimia. Proses fisika
terjadi ketika cahaya yang memantul dari objek melewati lensa dan terekam pada
film yang peka cahaya. Proses kimia terjadi ketika gambar yang terekam di film
11Griand Giwanda, Panduan Praktis Belajar Fotografi, (Jakarta: Puspa Swara, 2001), h. 2 12 Superman, “Pengertian Fotografi”, dari http://www.forumkami.com/forum/forum-fotografi/3323-pengertian-
fotografi.html artikel diakses pada 17 Oktober 2014 13Ed Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta: PT. Temprint, 1985), h. 76.
15
tersebut dimunculkan dengan larutan-larutan kimia tertentu.14
Fotografi juga
merupakan suatu bentuk dari seni rupa, selain karena arti hafiahnya, yaitu melukis
dengan cahaya, juga dalam proses perekaman momentum dalam satu bingkai
(frame) terdapat suatu cita rasa estetis yang khas dan erat dengan nilai seni.
Henry Cartier-Bresson, seorang pelukis dan fotografer Prancis yang juga
mendirikan Magnum Photo –agensi foto internasional. Pencetus teori yang
terkenal dalam bidang fotografi, dessesive moment.Yaitu saat mata, hati dan
pikiran melebur ketika menekan shutter kamera merekam sebuah gambar.Dalam
hal ini selain penguasaan teknis operasional kamera secara jitu, dibutuhkan pula
sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan
sebuah karya foto.
2. Sejarah Perkembangan Fotografi
a. Sejarah Fotografi Dunia
Peristiwa masuknya cahaya ke lobang tenda fisikawan asal Irak Ibnu Al-
Haitham, sehingga memproyeksikan bayangan ke dalamnya, menjadi inspirasi
dan merupakan cikal-bakal lahirnya kamera obscura.Pada mulanya kamera
benar-benar berupa kamar yang berukuran cukup besar dan kedap cahaya.
Terdapat lubang kecil seukuran jarum atau dikenal dengan pin hole di
tengahnya, berfungsi untuk masuknya cahaya sehingga terproyeksi pada
dinding di sisi lainnya. Pada tahap ini gambar yang dihasilkan masih samar,
karena itu kamera obscura kurang diminati. Biasanya penggunaan kamera ini
14Robi Irsyad, “Tentara Amerika Serikat dalam foto berita surat kabar nasional: Analisis semiotika foto berita tentang
tenatara Ameriaka Serikat selama 21 hari pertama
16
hanya untuk mempermudah proses menggambar yang masih dilakukan secara
manual.
Adalah pelukis maestro Leonardo da Vinci yang juga seorang ilmuan pada
akhir abad ke-15, Ia menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi asal
muasal kata "kamera" itu dan mulai menyempurnakannya.15
Terdapat
teknologi baru dalam kamera ciptaanya ini, yaitu penerapan sistem refleksi
dan penggunaan lensa sederhana yang berfungsi untuk memproyeksikan
cahaya.Cahaya yang masuk ke dalam kotak, dipantulkan oleh cemin ke kain
tipis di atas permukaan kotak. Pada kamera temuan Da Vinci ini juga belum
digunakan proses kimiawi, karena kamera ini hanyalah alat bantu bagi pelukis
naturalis dan realis untuk membuat sketsa lukisan. Kain pada permukaan
kotak (kamera) tersebut kemudian dilapisi kanvas.Dengan tehnik tersebut
pelukis dapat membuat sketsa dengan lebih cepat dan akurasi yang baik,
karena pelukis hanya tinggal mengikuti alur dari gambar yang terproyeksi
pada kanvasnya.
Dari tangan seorang seniman, teknologi kamera kemudian dikembangkan
kembali oleh fisikawan. Penemuan lensa pada tahun 1550 dan sistem cetak
dengan proses kimiawi pada era 1826-1835 pun membawa teknologi fotografi
sampai pada tahapan modern. Penyempurnaan kamera hingga sampai pada
teknologi yang kita kenal saat ini melalui proses amat panjang.
Tercatat ada dua nama tokoh sentral sebagai Bapak fotografi modern, yaitu
William Henry Fox Talbot (1800-1877) dari Inggris dengan proses negatif-
positifyang diberi nama Proses “Calotype” atau “Talbotype” -yang kita kenal
15 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”.
17
sekarang dengan film.16
Serta Louis-Jacques Mande‟ Daguerre (1787-1851),
seorang perancang panggung yang juga pelukis asal Perancis yang
mengembangkan emulsi basahnya yang diberi nama proses “Daguerreotype”.
Keduanya mendaftarkan royalti atas temuannya ini pada tahun yang sama,
yaitu tahun 1839. Namun demikian, sejarah mencatat foto pemanen pertama di
dunia bukanlah temuan Fox Talbot ataupun Louis Daguerre, melainkan
ekperimen karya seorang veteran Perancis, Joseph Nicephore Niepce pada
tahun 1826. Dia menggunakan kamera Obscura dan plat logam yang dilapisi
aspal Bitumen Judea untuk memotret pemandangan dari jendela rumahnya
yang memakan waktu mengekspos hingga delapan jam. Ia menamai proses
temuannya dengan nama “Heliogravure”, dan karya fotonya “View from The
Window at Le Gras” yang dinobatkan sebagai foto pertama di dunia tersebut,
kini tersimpan di University of Texas, Austin, AS.17
Penggunaan emulsi kering menjadi lebih populer ketika ditemukanya
gelatin, dan pada tahun 1887 film Seluloid yang berbahan dasar gelatin
diperkenalkan.George Eastman dengan perusahaannya, Kodak-Eastman yang
pertama kali memproduksi Roll Film dan kamera box praktis secara masal
pada tahun 1888.Dengan kamera yang lebih praktis dan telah diproduksi
masal, serta bentuknya yang mudah untuk dibawa (portable), perkembangan
fotografi pun melesat cepat ke seluruh penjuru dunia dan menyebar
keberbagai kalangan.Dan berkaitan dengan hal tersebut, Szarkowski,
menyebut Eastman-lah arsitek utama dunia fotografi modern.
16 Soeprapto Soedjono, Pot-Pourri Fotografi, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta:2007. h. 61 17 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”,
18
b. Sejarah Fotografi Indonesia
Pada mulanya, fotografi digunakan oleh para ilmuan dari negara-negara
kolonial sebagai pelengkap data yang berfungsi untuk memberi gambaran
visual secara jelas kehidupan masyarakat dari bangsa yang akan mereka jajah.
Dengan gambaran visual, data tentang potensi dan kondisi geografis tanah
jajahan terlihat lebih rinci.
Tercatat pada tahun 1841, Juriaan Munich seorang pegawai kesehatan
Belanda mendapat perintah dari Kementrian Kolonial untuk berlayar ke
Batavia dengan membawa daguerreotype, guna mengabadikan tanaman-
tanaman serta mengumpulkan informasi mengenai kondisi alamnya.18
Dengan jalur kolonialisme fotografi sampai ke bumi Nusantara, bahkan
hanya tiga tahun sejak ditemukannya teknologi kamera modern. Umur
fotografi yang cukup tua di Indonesia tidak dibarengi dengan lahirnya
fotografer lokal, selain saat itu kamera masih termasuk barang mewah, juga
tentu saja karena Belanda hanya mempercayakan proses pemotretan pada
ilmuan dari negaranya, serta fungsi fotografi yang masih berkaitan dengan
kepentingan riset kolonialisasi.
Latar itulah yang menjelaskan mengapa selama 100 tahun (1841-1941)
keberadaan fotografi di Indonesia, secara ekslusif hanya dikuasai oleh orang
Eropa, sedikit orang Cina dan Jepang.19
Fotografer berdarah pribumi pertama yang tercatat dalam sejarah yaitu
Kasian Cephas. Pria kelahiran Yogyakarta, 15 Februari 1844 ini adalah
waraga pribumi yang diangkat sabagai anak oleh pasangan Adrianus Schalk
18 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”. 19 Bonny Dwifriansyah, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur bersaudara”,
19
dan Eta Philipina Kreeft, yang kemudian disekolahkan ke Belanda. Cephas
kemudian dikenal dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton
Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuono ke-
VII.Foto tertua Cephas yang ditemukan adalah karyanya yang dibuat pada
tahun 1875.
Masuknya Jepang pada tahun 1942 merupakan babak baru dalam sejarah
fotografi di Indonesia.Jepang yang menduduki Kantor Berita Antara dan
mengganti namanya menjadi Domei, melatih orang Indonesia menjadi
fotografer untuk memperkuat kebutuhan propaganda. Kemudian muncul nama
Alex Mendur dan adiknya Frans Mendur. Lewat Mendur bersaudara inilah
fotografi Indonesia berkembang pesat.Keputusan mereka untuk independen
dan tetap setia mengawal kemerdekaan dengan karya fotonya, memposisikan
fotografer pribumi sejajar dengan bangsa lainnya.
c. Perkembangan Dunia Fotografi
Fotografi pada perkembangannya lebih lanjut bukan hanya sekedar
pelengkap data analisis para antropolog, tetapi jauh berkembang terutama
sebagai sebuah karya seni.Pengaruh pakem estetis dari senirupa berperan
besar pada masa ini. Setelah mendapat tempat dalam ruang seni, fotografi
semakin popular, penggunaannya pun merambah ke berbagai bidang dan
melahirkan beberapa aliran: dari seni murni (fine art), komersial, hingga
jurnalistik.
Penggunaan foto dalam bidang komersial sebagai pengenal produk pasca
revolusi industri serta sebagai mata dunia dalam bidang jurnalisme,
menyebabkan foto dicetak secara massal dan menjadi konsumsi publik dalam
20
poster, banner dan surat kabar yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-
hari, pada tahap ini fotografi mulai masuk dalam salah satu bentuk komunikasi
masa. Makna yang terkandung dalam sebuah foto dapat mengandung unsur
propaganda dan kampanye suatu pesan tertentu, serta produksinya secara
massal membuat fotografi mendapat perhatian khusus dalam kajian
komunikasi masa. Sifat foto yang statis membuatnya dapat dilihat berulang-
ulang, tidak seperti video yang dinamis dan sepintas-lalu, sehingga sebuah
foto dapat menampilkan gambar dengan lebih detail dan menimbulkan efek
seperti yang disebutkan Jean Boudillard (1988) sebagai sebagai hyper-reality,
yaitu apa yang ditampilkan dalam media terlihat jauh lebih dramatis, yang
dianalogikan dengan jarum bahkan dapat terlihat bagai pedang dalam media
masa.
d. Aliran dalam Fotografi
Aliran dalam hal ini bukanlah penganut faham tertentu, melainkan menilik
fotografi dari ragam dan karakternya, serta penggunaan dari foto tersebut
diperuntukkan. Dilihat dari jenis-jenis foto yang berkembang, terdapat
karakter menonjol dan khas yang dapat terpantau secara kasat mata serta
membedakan jenis foto tertentu dengan jenis lainnya, hal ini dikarenakan oleh
kayanya ragam dalam kajian seni visual yang telah diawali oleh kaka kandung
fotografi, yaitu seni lukis.
Terdapat beberapa aliran dalam fotografi, antara lain:
1) Fine Art Photography
Fine art dikenal juga dengan aliran fotografi seni murni.karena merupakan
sebuah karya seni, maka tak ada pekem, plot, ataupun aturan baku dalam
21
aliran ini. Perkembangannya mengikuti arus perubahan budaya seni yang
sedang berkembang. Jika dilihat dari subjek fotonya pun beragam dan tak
terbatas, nilainya sangat erat dengan subjetifitas sang fotografer.
2) Landscape Photography
Landscape photography merupakan salah satu aliran foto yang paling
popular.Ragam foto yang menampilkan keindahan alam ini banyak diminati,
karena foto pemandangan alam (landscape) mudah dicerna dan dinikmati oleh
berbagai kalangan.
3) Portraiture Photography
Foto portraiture menampilkan manusia sebagai subjek utamanya.Poin
utama dari aliran foto ini adalah kemampuannya untuk menggambarkan
karakter seseorang dalam sebuah gambar. Terkadang foto portaiture tampil
dengan natural, namun karakter tokoh utamanya tetap nampak secara jelas.
4) Comercial Photography
Foto komersial ini adalah jenis aliran foto yang memang mengkhususkan
diri pada kebutuhan periklanan. Ragam fotonya dari display sampel produk
hingga visualisasi citra produk tersebut (brand image).
5) Still-Live Photography
Still live photo adalah aliran fotografi yang secara khas memotret benda-
benda mati. Walaupun subjek fotonya adalah benda mati, namun foto-foto
yang dihasilkan terkesan hidup, karena benda-benda tersebut seakan memiliki
sifat dan karakter yang dibentuk oleh fotografernya.
6) Documentary Photography
22
Bisa dikatakan foto dokumenter adalah cikal-bakal dari fotografi itu
sendiri.Fungsinya sebagai pencatat dan saksi visual kehidupan dan budaya
suatu masyarakat, sudah dimulai sejak fotografi bersama para ilmuan dunia
berlayar mengelilingi permukaan bumi.
7) Wild-life Photography
Hampir serupa dengan foto dokumenter, namun yang direkam bukan
tentang kebudayaan masyarakat tertentu, melainkan kehidupan binatang liar di
habitat aslinya.
8) Jurnalism Photography
Unsur dasar dari foto jurnalistik adalah nilai berita yang mutlak
terkandung di dalamnya. Foto juga harus memuat informasi 5W+H, yaitu:
what, who, when, where, way + how; asupan informasi yang harus dipenuhi
sehingga dapat dikategorikan sebagai sebuah berita. Foto berita biasanya
dilengkapi pula oleh caption / keterangan foto.
9) Street Photography
Street photography adalah aliran foto yang berkembang seiring dengan
pertumbuhan budaya akibat arus urbanisasi (urban culture). Foto-fotonya
sangat khas, baik dari segi display maupun subjek dari foto itu sendiri sangat
kental dengan budaya urban.
3. Foto Jurnalistik
Awal mula fotografi masuk dalam halaman surat kabar adalah sejak
Mathew Brady membuat gambar realis yang melukiskan suasana perang, gambar
tersebut ternyata menarik perhatian para pembaca suratkabar sekaligus
23
membangun kesan tentang suatu peristiwa.20
Ini adalah awalan penggunaan
gambar dalam jurnalistik dan berawal dari pemakaian lukisan dalam media.
Kemudian pada 16 April 1877, The Daily Graphic adalah suratkabar pertama
yang memuat gambar (foto) sebagai berita,foto tentang sebuah peristiwa
kebakaran.21
Pada tahun 1937-1950, terbit majalah Life di Amerika Serikat, Majalah
tersebut menghadirkan foto dalam porsi yang lebih besar dari pada tulisan dalam
penyajian beritanya.Wilson Hicks merupakan pelopor fotojurnalis yang juga
adalah editor foto majalah tersebut membuat kehadiran fotografi sebagai salah
satu elemen berita, berkembang semakin pesat. Pada tahap ini foto jurnalistik
telah hadir dengan derajat yang sama dengan tulisan, karena kehadirannya telah
menjadi elemen berita itu sendiri, bukan hanya sebagai unsur pelengkap semata.
Setelah foto memenuhi setiap halaman pada surat kabar, kehadira foto
jurnalistik pun mendapat perhatian dari banyak pakar Ilmu Komunikasi. Sifatnya
yang statis dan mampu membekukan suatu peristiwa, bahkan yang terjadi dalam
durasi hanya sekejap, membuat foto dapat dilihat berulang-ulang, tidak seperti
video yang dinamis dan sepintas-lalu, sehingga sebuah foto dapat menampilkan
gambar dengan lebih detail dari sebuah peristiwa. Oleh karenanya foto dapat
dengan mudah dicerna berbagai kalangan dan menyebabkan efek psikologis
secara langsung terhadap pembaca surat kabar.
Ada sebuah jargon klasik dalam dunia jurnalisme yang mengatakan “bad
news is a good news”. Tak pelak pemberitaan pun terjebak dalam peristiwa-
peristiwa yang merupakan bencana, baik adalah bencana alam yang memakan
20Drs. Asep Saeful Muhtadi, M.A, Jurnaslitik (Pendekatan Teori dan Praktek), Logos Wacana Ilmu, Jakarta:1999, h.
100 21 Artikel “Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey”, dari http://www.berilmu.com/photography1.php. Artikel diakses
pada 10 Oktober 2014
24
banyak korban, maupun bencana kemanusiaan yang menumpahkan banyak darah,
seperti: krisis pangan maupun perang sipil berkepanjangan yang melanda hampir
seluruh Benua Afrika dan juga sebagian wilayah Timur Tengah.
Satu bingkai foto hasil dari jendela bidik kamera yang sempit, justru dapat
menampilkan hal kecil menjadi jauh lebih besar, seperti yang disebutkan oleh ahli
komunikasi penganut mazhab kritis, Jean Boudillard sebagai hyper-reality, yaitu
apa yang ditampilkan dalam media terlihat jauh lebih dramatis. Ditakutkan hal ini
dapat berakibat pada kondisi emosional dan membangun persepsi yang berlebihan
bahkan menyimpang dari penerima pesan media masa, seperti hasil penelitian
yang dilakukan pada pecandu televisi oleh pencetus teori kultivasi George
Garbner, yang menemukan bahwa tayangan kekerasan dan unsur sensual dapat
berpengaruh pada kondisi psikologis pemirsanya. Oleh karena itu, seluruh
tayangan media masa termasuk foto jurnalistik untuk mengikuti haluan penyiaran
yang terumus dalam kode etik jurnalistik.Ada batasan-batasan tertentu dalam
penayangan berita tergantung hukum yang berlaku pada suatu negara serta
segmentasi dari pengkonsumsi paket berita tersebut.
Dan menurut Wilson Hicks foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan
gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara
latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya. Jika dilihat dari fungsi foto
jurnalistik menurut Edwin Emery, antara lain adalah untuk menginformasikan (to
inform), meyakinkan (to persuade) dan menghibur (to intertaint).22
Foto jurnalistik adalah bagian dari komunikasi massa, adapun yang
membedakan sebuah foto sehingga dapat dikategorikan sebagai foto jurnalistik,
22 Drs. Asep Saeful Muhtadi M.A, Jurnalistik (Pendekatan Teori dan Praktek), Logos Wacana Ilmu, cet II,
Jakarta:1995, h. 102
25
yaitu foto jurnalistik di dalamnya mengandung unsur-unsur berita, serta
mencantumkanketerangan foto yang mengandung informasi 5W+H, selain itu
juga dapat dilihat dari karakter fotonya yang berbeda dengan foto lainnya. Frank.
P. Hoy “Photojournalism The Visual Approach” menyebutkan ada delapan
karakter foto jurnalistik:23
a) Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang
dilakukan akan mengeksprisikan pandangan wartawan foto terhadap suatu
subjek, tetapi pesan yang disampaikan bukan merupakan ekspresi pribadi.
b) Medium foto jurnalistik adalah media koran atau majalah, dan media kabel
atau satelit juga internet seperti kantor berita (wire services).
c) Kegiatan foto jurnalistik adalah melaporkan berita.
d) Foto jurnalistik adalah panduan dari foto dan teks.
e) Foto jurnalistik mengacu pada manusia. Manusia adalah subjek, sekaligus
pembaca foto jurnalisitik.
f) Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass
audiences). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan harus
segera diterima orang yang beraneka ragam.
g) Foto jurnalistik merupakan hasil kerja editor foto.
h) Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian
informasi kepada sesama, sesuai amandemen kebebasan berbicara dan
kebebasan pers (freedom of speech and freedom of press).
Foto jurnalistik merupakan salah satu unsur pemberitaan, oleh karena itu
harus juga memenuhi nilai berita, yang antara lain:
23Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004). h.5.
26
aktual,
kejadian luar biasa,
peristiwa penting,
mengandung unsur ketokohan,
memiliki kedekatan dengan pembaca,
berkaitan tentang kemanusiaan,
bersifat universal.
World Press Photo, organisasi foto jurnalis yang kerap menjadi acuan
para fotografer dunia mengkategorikan beberapa foto berita, antara lain24
:
a) Spot Photo
Foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal. Misalnya foto
kebakaran, kecelakaan dan sebagainya. Foto jenis ini harus segera
disiarkan karena merupakan sesuatu yang up to date.
b) General News Photo
Adalah foto yang yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal,
rutin dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu : politik, ekonomi
dan humor.
c) People in The News Photo
Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita,
yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu.
d) Daily Life Photo
Adalah foto yang tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang
dari segi kemanusiawiannya (human interest).
24 Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik. h.8-9.
27
e) Portrait
Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up
dan “mejeng”. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang
dimiliki atau kekhasan lainnya.
f) Sport Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olah raga.
g) Science and Technology Photo
Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada
kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
h) Art and Culture Photo
Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.
i) Social and Environment
Adalah foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan
hidupnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pemberitaan serta penyajiannya, foto berita
terbagi menjadi dua, yaitu: foto tunggal (single photo), dan foto seri (storie
photo).
1) Foto Tunggal
Adalah foto yang memiliki informasi cukup lengkap dan lugas secara
visual sehingga dapat berdiri sendiri tanpa perlu diperkuat oleh kehadiran foto
lainnya.
2) Foto Seri
Adalah rangkaian beberapa foto yang membangun suatu cerita.Foto seri
biasanya digunakan untuk memberikan gambaran menyeluruh dan lengkap
28
tentang suatu peristiwa. Dalam foto seri terdapat tiga bagian foto, yaitu:
pembuka, isi, dan penutup.
a) Foto Pembuka, berfungsi sebagai pengantar untuk memasuki suatu
cerita. Biasanya menampilkan foto yang unik dan menarik.
b) Foto Isi, adalah foto yang mengandung konten utama dari peristiwa
yang hendak diceritakan.
c) Foto Penutup, yaitu foto yang menutup cerita tersebut. Bisa berupa
konklusi, klimaks ataupun anti-klimaks dari peristiwa tersebut.
Foto Jurnalistik dan Jurnalistik Baru
Pada era jurnalistik lama, cara kerja wartawan hanya terfokus pada
kegiatan reportase berupa pencatatan peristiwa berdasarkan fakta dan memuat
pemberitaannya di media massa. Akhirnya muncul para perintis yang mulai
mendobrak aturan dan kaidah jurnalisme lama.Mereka melakukan inovasi
dalam bentuk tulisan, penyajian, serta teknik liputan. Kehadiran jurnalistik
baru yang lahir dan tumbuh sepanjang tahun 1960-andi Amerika Serikat ini
telah memberi keragaman bentuk penulisan bagi para pekerja jurnalis.
Mengikuti arus perkembangan kehidupan, wartawan kini mulai membuka diri
terhadap wacana teknik jurnalisme baru yang tidak lagi membatasi ruang
gerak mereka dalam batas deadline dan teknik penulisan straight news yang
dianggap kuno.25
Menurut Jacob Oetama dan Atmakusumah, Ada delapan teknik jurnalisme
baru, yaitu26
:
a. Jurnalisme Empati (Emphaty Journalism)
Jurnalisme yang erat kaitannya dengan rasa empati dan iba
wartawan yang tumbuh ketika melakukan tugas jurnalistik.Wartawan
harus bisa membangun rasa empati dengan narasumber.
b. Jurnalisme Kekerasan / Perang (Violence Journalism)
25Eni Setiati. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan.(Jakarta: Andi Publisher, 2005) h.12 26 Becil Ucil. Jurnalistik baru, dari http://becilucil.blog.com/2011/01/31/jurnalistik-%E2%99%A5-jurnalistik-baru-
new-jurnalism-%E2%99%A5/ .Artikel diakses pada 18 Oktober 2014.
29
Pemberitaan ini hanya terfokus pada arena atau tempat terjadinya
konflik kekerasan dengan menonjolkan informasi (dampak fisik dari kasus
tersebut) danlebih mengeksploitasi kekerasan yang tampak.Dalam
pemberitaannya wartawan menggunakan teknik Violence Journalism yang
memungkinkan ikut larut dalam emosi untuk memihak pada salah satu
kelompok yang berkonflik dan wartawan bisa menilai secara sepihak.
c. Jurnalisme Perdamaian (Peace Journalism)
Merupakan jurnalisme modern yang berpegang pada asas
imparsialitas (kebenaran) dan faktualitas (berdasarkan fakta).Jurnalisme
damai dirumuskan oleh wartawan senior John Galtung.Rune Ottosen
Wilhem Kempt dan Maggie O‟Kane, tujuannya untuk mencegah
kekerasan di masyarakat.Jurnalisme ini mengajarkan wartawan untuk tidak
turut dalam bagian pertikaian merupakan bagian dari pencari solusi.
d. Jurnalisme Advokasi (Advocacy Journalism)
Merupakan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan
dengan cara menyatukan opini ke dalam berita. Berdasarkan hasil
reportase, wartawan mengarahkan fakta untuk membentuk opini
publik.Penulisan jurnalistik advokasi lebih mempercayai objektifitas fakta
dari berita yang dicampur dengan pikiran wartawan.Penyajiannya lebih
banyak ditujukan untuk kepentingan tertentu yang disajikan dalam bentuk
pemberitaan fakta dan peristiwa.
30
e. Jurnalisme Alternatif (Alternative Journalism)
Kegiatan jurnalistik ini biasanya dilakukan untuk penulisan berita
yang menyangkut publikasi internal, misalnya tulisan-tulisan yang khusus
menampilkan hasil liputan untuk mengkritik terhadap seseorang yang
lebih personal.Pemuatan jurnalistik alternatif membentuk sekelompok
audience yang dijadikan target konsumen dengan tujuan memukul
penguasa di suatu daerah tertentu. Jurnalisme alternatif adalah cerminan
suara rakyat dan merupakan sebuah medium perjuangan, biasanya
bermuatan kritis terhadap kemapanan (status qou).Isinya tidak memuat
pernyataan pejabat melainkan menyuarakan dan memberi empati kepada
rakyat.Selain itu juga merupakan penggabungan antar unsur kebebasan
dan kontrol diri pada tanggung jawab sosial.
f. Jurnalisme Presisi (Precision Journalism)
Merupakan kegiatan jurnalistik yang menekankan pada ketepatan
(presisi) informasi dengan menggunakan pelaporan ilmiah dengan tujuan
agar hasil laporan lebih representatif.Liputan jurnalistik presisi
menggunakan metode ilmiah yang terencana dan sistematis.
g. Jurnalisme Sastra (Leterary Journalism)
Kegiatan jurnalistik dengan memasukkan unsur reportase secara
inovatif, gaya penulisannya tidak hanya berdasarkan feeling tetapi
ditunjang oleh riset sehingga wartawan tidak hanya mengandalkan liputan
berdasarkan hasil interview.Jurnalistik sastra menggunakan gaya penulisan
tutur untuk reportase human interest. Pers banyak menggunakan liputan
31
ketegangan situasi dengan menerapkan konsep penulisan liputan bergaya
sastra.
Perkembangan dunia jurnalistik ke arah jurnalistik baru juga sedikit-
banyak mempengaruhi foto jurnalistik, baik dari konten, layout, maupun
display penyajiannya. Fotografi jurnalistik tidak hanya sekedar menampilkan
berita secara dangkal ataupun sekedar menjadi ilustrasi atas suatu peristiwa,
tetapi juga menyentuh perasaan dan sarat akan nilai estetis.
Foto jurnalistik di era jurnalistik baru tidak lagi kaku, sekedar memberikan
informasi 5W+H, tetapi juga memperhatikan faktor keindahan untuk
menggugah pembaca.Medium foto jurnalistik kini tidak hanya di media cetak
dan elektronik saja, bahkan merambah ke ruang-ruang galeri seni.
4. Unsur-unsur dalam Fotografi
a. Unsur Teknis
1) Pencahayaan
Secara harfiah, fotografi adalah melukis dengan cahaya.Dapat dikatakan
cahaya adalah cat lukisnya; sedangkan film atau sensor digital adalah
kanvasnya; serta kamera itu sendiri adalah kuasnya.Oleh karena itu cahaya
adalah unsur utama dari fotografi, dan diperlukan kecakapan tehnis
penguasaan kamera untuk mengaturnya, mengingat kanvas dalam fotografi
adalah benda yang sangat peka terhadap cahaya, kesalahan dalam
pencahayaan dapat berakibat kerusakan permanen pada foto.
Pencahayaan (exposure) adalah proses pemasukan cahaya untuk
mengekspos medium peka cahaya baik berupa film maupun sensor digital
32
pada tingkat luminitas tertentu sehingga terekam sebuah citra. Ada tiga unsur
dalam pengatuan tingkat luminitas pencahayaan, yaitu:
Rana atau speed (s), yaitu jendela pada kamera yang mengatur masuknya
cahaya dengan cara buka-tutup dalam satuan waktu tertentu sehingga
dapat mengatur cepat-lambatnya cahaya masuk kedalam kamera. Satuan
angka indikatornya dimulai dari: 1” (satu detik); 2 (1/2 detik); 4; 8; 15;
30; 60; 125; 250; 500; 1000; 2000; 4000; 8000.
Diafragma (f/), mengatur lebar-sempitnya bukaan lubang cahaya pada
lensa, yang bekerja untuk menyesuaikan sedikit-banyaknya cahaya yang
masuk kedalam kamera. Satuan angka indikatornya antara lain: 1,2; 2;
3,5; 4; 5,6; 8; 11; 16; 22; 32.
Tingkat kepekaan film atau sensor digital dalam menangkap cahaya
yang dinyatakan dalam satuan International Standart Organization
(ISO). Angka indikatornya: 50; 100; 200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.27
Untuk mengukur ketepatan pencahayaan pada suatu tingkat luminitas
tertentu, digunakan light meter, baik yang terdapat dalam kamera ataupun
light meter genggam (hand healt).Light meter berguna sebagai petunjuk untuk
mendapatkan pencahayaan dengan kombinasi dari bukaan f/, s, dan ISO dalam
satuan tepat (normal/correct), kurang (under), dan lebih (over) dalam suatu
kondisi cahaya tertentu.
Bila dilihat dari sumbernya, cahaya memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu:
cahaya natural (aveliable light), yaitu matahari; serta cahaya buatan (artificial
27Prof.Dr.r.m.Soelarko, fotografi untuk salon foto dan lomba foto. (Bandung: PT. Karya Nusantara:1978) h.13
33
light), yaitu cahaya yang bersumber baik dari berbagai jenis lampu, cahaya
lilin, maupun lampu flash/blitz.
2) Tehnik Pemotretan
Selain memahami tiga kombinasi pencahayaan serta kemampuan untuk
menggunakan light meter, fotogrfer pun harus memahami seluk-beluk
teknologi kamera yang akan juga berpengaruh pada penerapannya saat
memotret.
a) Diafrgma yang disimbolkan dengan “f/”,
Yaitu lebarnya bukaan lubang cahaya pada lensa yang terukur
dengan satuan angka yang terlihat pada leher lensa, selain berfungsi untuk
jalur masuknya cahaya, juga berpengaruh pada ruang tajam (depth of field)
yang terlihat pada hasil pemotretan.Semakin lebar bukaan f/, maka
semakin sempit ruang tajamnya; begitu pula sebaliknya. Ruang tajam luas
dapat dilihat dalam angka indikator, yaitu <f/5,6. Sedangkan angka f/8
adalah ruang tajam sedang, dan >f/11 adalah ruang tajam sempit.
Ruang tajam adalah luasnya tingkat ketajaman gambar pada sebuah
medium dua dimensi (foto).Selain lebar-sempitnya f/, ruang tajam juga
dipengeruhi oleh focal length, yaitu panjang-pendeknya titik bakar lensa,
biasanya menggunakan satuan ukur mili meter.Perbedaan jenis lensa wide,
normal, dan tele memiliki perbedaan pula titik bakarnya. Semakin panjang
titik bakar lensa (tele) akan berpengaruh pada semakin sempitnya ruang
34
tajam, dan lensa dengan titik bakar lebih pendek (wide) berlaku
sebaliknya.
b) Kecepatan rana yang sisimbolkan dengan “S”,
Yaitu kecepatan buka-tutup jendela rana.Satuan kecepatanya
terukur dalam detik yang dapat disesuaikan dengan panel yang terdapat
pada badan kamera.Rana cepat digunakan untuk menangkap gerakan
subjek cepat, dan speed lambat digunakan dalam pencahayaan yang
cenderung lebih redup. Yang termasuk dalam kecepatan lambat yaitu
<S:30 pada angka indikator. S:60 merupakan kecepatan sedang, dan
kecepatan tinggi adalah >S:125.
Kecepatan rana tinggi digunakan untuk menagkap gerakan cepat,
seperti dalam olah raga, menagkap ekspresi wajah, dsb.Sedangkan
kecepatan rendah digunakan untuk menangkap kesan bergerak pada
subjek.
c) ISO,
Yaitu satuan kepekaan media rekam (film) terhadap cahaya.Pada
kondisi cahaya yang terik digunakan film dengan kepekaan rendah, dan
pada kondisi redup digunakan film dengan tingkat kepekaan yang lebih
tinggi.
d) Penajaman gambar (focusing),
Yaitu penyesuaian titik bakar gambar yang diproyeksikan pada
medium rekam.Focusing dilakukan dengan menyetel gelang fokus yang
terdapat pada bagian depan lensa.
35
Setelah memahami tehnik penggunaan kamera, seorang fotografer dapat
memenfaatkannya untuk menghasilkan foto yang lebih menarik, antara lain:
a) Freezing, yaitu membekukan gambar subjek bergerak dengan tehnik
menggunakan speed cepat, sehingga menghasilkan gambar yang detail
dan tajam serta memberikan efek pause pada gerakan subjek.
b) Panning, yaitu memotret subjek bergerak dengan tehnik kamera
mengikuti gerakan subjek serta menggunakan speed lambat. Gambar
yang dihasilkan akan terekam tajam pada subjek, namun ada kesan
bergerak karena latar belakang yang kabur.
c) Moving, yaitu memotret dengan speed lambat sehingga dapat
menangkap kesan bergerak pada subjek. Yang membedakan dengan
tehnik panning adalah kamera yang tidak bergerak pada tehnik moving.
d) Silhuette, yaitu memotret subjek foto dengan tehnik kamera berhadapan
langsung dengan sumber cahaya, sehingga menghasilkan gambar di
mana subjek terlihat seperti bayangan.
Dengan memanfaatkan teknik tersebut, foto akan terlihat lebih menarik
dan dinamis serta tidak monoton.
b. Unsur Estetis
1) Sudut Pandang
Berdasarkan sudut pengambilan gambar (camera angle)28
a. Bird Eye View
Pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian tertentu,
sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan
28 Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, h. 46.
36
benda-benda lain yang tampak di bawah sedemikian kecil.Pengambilan
gambar biasanya menggunakan helicopter maupun dari gedung-gedung
tinggi.
b. High Angle
Menempatkan objek lebih rendah dari pada kamera, atau kamera
lebih tinggi daripada objek, sehingga yang terlihat pada kaca pembidik
objek yang terkesan mengecil.Sudut pengambilan gambar tepat di atas
objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu
kecil atau kerdil.
c. Low Angle
Menempatkan kamera lebih rendah dari objek, atau objek lebih
tinggi dari kamera, sehingga objek terkesan membesar.Sudut
pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle.Kesan
yang ditimbulkan dari sudut pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan.
d. Eye Level
Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata
objek, tidak ada kesan dramatis tertentu yang didapat dari eye level ini,
yang ada hanya memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.
e. Frog Level
Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan
tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat
besar.
Pemilihan angle dalam pengambilan sebuah foto dapat memberi kesan
keberpihakan, simpati, kekaguman maupun perlawanan dalam pesan yang
37
disampaikan.Selain makna tersirat tersebut, sudut pengambilan gambar juga
berfungsi sebagai pengaturan komposisi dan proporsi untuk menempatkan
subjek agar lebih menarik secara visual.
2) Komposisi
Komposisi merupakan pengaturan tatanan gambar dalam satu
frame.Komposisi berperan untuk menempatkan subjek secara menarik, serta
mengarahkan mata pemandang langsung ke subjek utama dari foto tersebut
sehingga dapat segera memahami pesan visual yang disajikan oleh fotografer.
Mengatur komposisi sebuah foto dapat dilakukan dengan beberapa tehnik,
antara lain dengan menggunakan:
1) Aturan 1/3 (rule of third)
Yaitu membagi proporsi sebingkai foto dalam tiga bagian secara
vertikal dan tiga bagian horizontal, kemudian menempatkan subjek pada
empat titik persilangan garis tak-nyata (imaginer) pembagi.
2) Latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
Memanfaatkan latar belakang dan/atau latar depan sebagai pengisi
ruang kosong dalam sebuah bingkai, serta melengkapi informasi tentang
set tempat dari suatu peristiwa.
3) Sudut pandang (perspektif)
Memanfaatkan elemen garis imaginer untuk mengarahkan mata
pemandang foto langsung kepada objek yang dituju.
Mengatur komposisi gambar, selain bermafaat sebagai pemanis tampilan
foto, juga berguna untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan oleh
fotografer dalam sebingkai fotonya.
38
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotik
1. Pengertian Semiotik
Semiotik merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam
memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut
“tanda”.29
Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani “Semion” yang
berarti “Tanda”. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili
sesuatu yang lain. Contohnya : asap bertanda adanya api.Secara Terminologis,
semiotik dapat diartikan sebagai ilmu yang memepelajari sederetan peristiwa yang
terjadi di seluruh dunia sebagai tanda.
1. Semiotika dalam Fotografi (Roland Barthes)
Menurut Seno Gumira Ajidarmadalam “Kisah Mata”, foto adalah suatu
pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik
resepsi.Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena
selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul,
keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto.Dengan demikian pesan
keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.30
Memaknai isi pesan dalam foto tidak hanya didapat dari subjek yang
terdapat di dalamnya saja, tetapi terkait juga dengan struktur lain yang juga
membangun kesan atasnya. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi
gambar, antara penanda dan petanda harus dibedakan terlebih dahulu karena
sistem konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem
denotatif.Dalam gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan
29 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama. (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h.
9. 30 Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002) h. 27
39
secarakeseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-
unsur gambar dalam foto.31
Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of
signification adalah tahap denotasi, sedangkan tahap konotasi adalah second order
of signification.Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang
berbentuk tanda.Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda
tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada
tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.32
1. Signfier
(penanda)
2. Signfied
(petanda)
3. Denotative Sign (tanda Denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Tabel1. Peta tanda Roland Barthes
Roland Barthessecara khusus membahas semiotik dalam fotografi. Inti
dari pemikirannya adalah adanya dua tingkatan dalam signifikasi karya fotografi,
tingkatan pertama adalah denotasi, yaitu relasi antara penanda dengan petanda
dalam sebuah tanda, serta tanda dengan acuan realitas eksternalnya. Tingakatan
kedua dalam pandangan Barthes ada tiga bentuk, yaitu konotasi, mitos dan
simbol.33
Dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekedar
memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
31 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, (Jogajakarta: Kanal, 2002 ) h. 160 32 Pappilon Manurung, M. Antonius Birowo, ed.,“Metodologi Penelitian Komunikasi”, (Yogyakarta: Gitanyali), h.
39. 33Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing.
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 69.
40
yang melandasi keberadaannya.Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang
sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada
penandaan dalam tataran denotatif.34
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang
menghadirkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.ia
menciptakan makna-makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan
dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan.35
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Makna denotatif memiliki
beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna referensial, makna
konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang
mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentudisamping
makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emosif, atau makna evaluatif.36
Dalam The Photographic Message, Barthes mengajukan tiga tahapan
dalam mebaca foto, yaitu perspektif, kognitif dan etis ideologis.37
1. Tahap perspektif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan
transformasi gambar ke kategori verbal; jadi semacam verbalisasi gambar.
Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sintagmatik yang pada
dasarnya bersifat perspektif (forsee).
2. Konotasi kognitif dilakukan dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
menghubungkan unsur-unsur historis dari analogon (denotasi). Ini
konotasi yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Pengetahuan
kultural sangat menetukan.
34Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, h.
69. 35 Akhmad Muzakki,Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN-Malang Press, 2007),
h.22. 36AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis, (Bandung : Simbiosa Rekatama
Media, 2006), cet, ke-1, h. 27-28 37 ST. Sunardi, “Semiotika Negativa”, h. 187.
41
3. Etis-ideologis, orang mengumpulkan beberapa signifier yang
“dikalimatkan”.
Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka
kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada
tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan sebutan ideologi.
Ini dibangun dengan imajinasi simbolik.Ketiga tahap ini tidak menentukan
wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan.Ini “murni”
semiotik-positivistik. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur
yang dapat diamati dan diukur.38
Dalam The Photographic Message Barthes menyebutkan enam prosedur
atau kemungkinan untuk memperngaruhi gambar sebagai analogon. Keenam
langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan “menulis” karena pada
hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai
unsur tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan utama ketika
orang membaca bahasa gambar tersebut. Pengetahuan ini penting untuk melihat
perkembangan prosedur mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam
prosedur ini dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1. Rekayasa yang secara langsung dapat mempengaruhi realitas itu sendiri.
Terdiri dari:
a. Trick Effect, merupakan intervensi “without warning in the plane of
denotation” artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang
berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam
mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih
objek yang sedang diambil.
38 ST. Sunardi, “Semiotika Negativa”, h. 187.
42
c. Pemilihan Objek, objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap
dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Objek ini merupakan point of
interest (POI) pada sebuah gambar/foto.
2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah “estetis”, terdiri dari:
a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar.
Misalnya: lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring
(keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze
(efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek) dan sebagainya
b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara
keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.
c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya
berada pada caption (keterangan foto) dalam foto berita dan dapat
membatasi serta menimbulkan makna konotasi.
Dilihat dari perkembangan teknik dan seni fotografi sekarang, prosedur
konotatif ini sudah ketinggalan zaman, karena kita sekarang sudah memasuki
“post-photographic era”. Keenam cara tersebut tentu sudah bisa ditambah lagi
atau tidak semua cara tersebut dominan dalam suatu foto berita. Meskipun
demikian prinsip bahwa orang mempengaruhi foto lewat “prosedur konotatif”
masih relevan, bahkan lebih relevan karena intervensinya semakin sulit dikenali
lewat foto yang dihasilkan.39
39 ST. Sunardi, “Semiotika Negativa”, h. 173-174.
Signifier
Signified
Denotasi
Form
Content Mitos
Konotasi
43
Reality Signs Culture
First Order Second Order
Tabel2. The orders of signification
Dalam bagan tersebut, tanda panah dari signified mengarah pada mitos. Ini
berarti mitos muncul pada tataran konsep mental suatu tanda. Mitos bisa
dikatakan sebagai ideologi dominan pada waktu tertentu. Denotasi dan konotasi
memiliki potensi untuk menjadi ideologi yang bisa dikategorikan sebagai
thirdorder of signification (istilah ini bukan dari Barthes), Barthes menyebut
konsepini sebagai myth (mitos).40
Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-
nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.41
Feranand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional
dan mitos modern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenal mengenal
gejela-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Mitos (mythes) adalah
suatu jenis tuturan (a type of speech), sesutau yang hampir mirip dengan „re-
presen-tasi kolektif di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem
komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka dari itu mitos bukanlah objek.
Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu
bentuk.42
Teori mitos dikembangkan oleh Roland Barthes untuk melakukan kritik
atas ideologi budaya massa (budaya media). Mitos mengambil sistem semiotik
tingkat pertamasebagai landasannya sehingga mitos merupakan sistem semiotik
yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik. Sebagai sistem semiotik,
mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu; signifier, signified dan sign.
Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form,concept
dan signification. Dijelaskan oleh Barthes, bahwa pembedaan istilah ini selain
40 Pappilon Manurung, Editor : M. Antonius Birowo, “Metode Penelitian Komunikasi: teori dan aplikasi”.
(Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 58-60 41 Tommy Christomy, “Semiotika Budaya”, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94 42 Ibid, h. 224
44
agar tidak mengalami kebingungan dalam proses ananlisis, sistem signifikasi atau
pemaknaan pada kedua tingkat sistem semiotik tidaklah sama.43
Tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pula pada
sistem kedua. Mitos pada dasarnya „mendistorsi‟ makna dari sistem semiotik
pertama sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada realita sebenarnya. Mitos
bersamaan dengan ideologi menurut pandangan Barthes, bekerja dengan
menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara ideologis. Mitos
menjadikan apa yang historis menjadi natural, sesuatu yang alamiah. Dalam
bagian pertama karyanya; mythology, Barthes menganalisa 28 mitos yang ada
dalam masyarakat, yang dikonstruksi oleh budaya masyarakatnya.
Mitos memiliki empat ciri, yaitu44
:
1. Distorsif. Hubungan antara Form dan Concept bersifat distrosif dan
deformatif. Concept mendistorsi Form sehingga makna pada sistem
tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta
yang sebenarnya.
2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
43 Karolus Naga, “Semiotika: ilmu untuk berdusta – dan Mitos sebagai sebuah type of
speech”.darihttp://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&viewreplies/threaded.com. Artikel diakses pada 18 Agustus 2011
44 Karolus Naga, “Semiotika: ilmu untuk berdusta.”
45
4. Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi.
Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai
kemungkinan konsep yang akan digunakan berdasarkan sistem semiotik
tingkat pertamanya.
C. Tinjauan Umum Tentang Agama Di China
Agama Rakyat China ialah agama turun temurun bangsa Cina.Ia
sebenarnya adalah satu budaya tradisional yang dituruni dari satu generasi ke satu
generasi secara lisan. Lebih-lebih lagi agama ini tidak mempunyai kitab agama
dan tidak pula mempunyai institusi yang memeliharanya.Oleh itu ajaran agama ini
adalah tidak jelas, dan berbeda-beda dari satu tempat ke satu tempat.Tetapi secara
umumnya agama ini mendukung konsep "yang baik dibalas baik, yang buruk
dibalas buruk".
Kemunculan tema "Agama Rakyat Cina" sebenar adalah hasil daripada
kesedaran diri masyarakat cina yang sebelum itu telah salah faham mengenai
agama mereka.Pada masa dahulu, orang Cina telah salah anggap agama yang
dianuti mereka sebagai agama Buddha, sehingga kebanyakan rakyat Cina
mengakui diri mereka sebagai penganut agama Buddha.Ini karena Agama Rakyat
Cina ini mempunyai pelbagai unsur terutama dari Khonghucu (Confucianism),
Buddhisme, dan Taoisme.Namun sebenarnya agama yang asli berasal dari dalam
China adalah Khonghucu dan Tao.Seperti yang kita ketahui bahwa Buddha
berasal dari India.45
Manusia diciptakan Allah Subhanahu wataala bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama.Perbedaan di antara
45
http://ms.wikipedia.org/wiki/Agama_rakyat_Cina/Artikel diakses pada 11April 2015
46
manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan
bersama.Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan
permusuhan.Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya
dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia.Tidak ada satu
pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari
lingkungan dan sesamanya.46
Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama
dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama,
atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.Toleransi beragama
berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain,
tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama
masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk
agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya.
Dengan demikian, untuk memahami pesan dalam foto tidak hanya melihat
dari makna denotatifnya saja, hanya terbatas melihat dari apa yang tampak.
Kerena foto berada pada tataran komunikasi yang ber-kordinasi dengan struktur
lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto.
Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur
yang berbeda, sehingga membangun makna konotasi idiologis yang pada
tinggkatan lanjut menjadi mitos saat proses signifikasi tersebut menjadi dominan
dalam tataran kebudayaan tertentu.
46http://langitan.net/?p=26Artikel diakses pada 18 Oktober 2014
47
BAB III
GAMBARAN UMUM LKBN ANTARA
DAN PAMERAN FOTO BIANGLALA XINJIANG
A. Gambaran Umum LKBN ANTARA
1. Profil LKBN ANTARA KK
a. Logo, Visi dan Misi LKBN ANTARA
Seiring dengan perkembangan jaman yang menuju kepada perubahan dan
berbagai perbaikan yang menyesuaikan dengan tantangan untuk menjawab
kebutuhan, logo LKBN ANTARA yang melambangkan visinya pun juga berubah.
Gambar 1
Lago lama ANTARA
Logo lama ANTARA dilambangkan dengan warna biru dan tulisan
bersambung, melambangkan visi „keuletan‟ wartawan LKBN ANTARA dalam
menulis berita.
Gambar 2
Logo baru ANTARA
48
Perusahaan Umum LKBN ANTARA meluncurkan logo baru dalam upaya
memperkuat identitas korporat dan penguatan budaya serta sistem kerja. Menurut
Ahmad Mukhlis Yusuf saat peluncuran logo baru ANTARA, Logo tersebut
dilambangkan dengan mata berwarna merah, yang mencerminkan visi tak terbatas
peran kantor berita dalam membangun masyarakat baru yang berbasis pengetahuan,
sedangkan tulisan ANTARA berwarna hitam tegak lurus bermakna independensi
sebuah kantor berita yang berorientasi pada kredibilitas manusia dan produk-
produknya.
Sebagai sebuah kantor berita nasional satu-satunya di Indonesia dan berambisi
untuk menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, LKBN Antara memiliki visi:
1. Menjalankan peran Kantor Berita Nasional melalui penyebarluasan informasi
bagi masyarakat.
2. Menjalankan bisnis Kantor Berita dan kegiatan penunjangnya dengan prinsip
organisasi yang berorientasi pasar (market-drive organization
3. Berperan proaktif dalam mewujudkan masyarakat berpengetahuan.
Misi LKBN Antara yaitu menyebarluaskan informasi tentang Indonesia ke
dalam dan keluar negeri dengan menyediakan informasi secara cepat, akurat, penting.
Antara memiliki values, yaitu :
Integrity (berkemampuan tinggi)
Competence (daya kompetensi)
49
Team Work (kerja tim), dan
Respect to Nation (memiliki kepedulian yang besar kepada bangsa ini,
Indonesia)
b. Unit Usaha LKBN ANTARA
Antara sebagai sebuah kantor berita yang dimiliki Indonesia terdiri dari
beberapa unit usaha, di antaranya yaitu46
:
1. Antara News merupakan layanan distribusi berita antara berbasis WEB,
memberi kemudahan dan kenyamanan dalam mengakses seluruh berita terkini
dalam berbagai kategori selama 24 jam setiap hari.
2. Antara Foto merupakan distributor dan koleksi beragam berita peristiwa dari
berbagai tema dengan standar kantor berita foto, hasil bidikan wartawan foto
Antara yang berpengalaman
3. Press Release Wire yaitu penulisan dan penyebaran rilis berita dan foto secara
cepat, tepat, dan mudah keseluruh dunia melalui jaringan pelanggan Antara
dan Asia Net.
4. Antara TV yaitu penyedia program audio visual bermutu untuk jaringan
televise lokal, nasional dan global, dengan format tayangan berita, features
dan dokumenter.
46
Company Profil LKBN Antara, Dokumen Galeri Antara Foto Jurnalistik, h.5
50
5. Indonesia Market Quotes (IMQ) yaitu jasa informasi real-time pasar keuangan
domestik dan internasional dalam bentuk data, grafik, analisa, dan berita.
Langsung dari lantai bursa.
6. Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) yatu pusat pelatihan
professional jurnalistik Antara dengan tenaga pengajar berpengalaman, pakar
sekaligus praktisi dibidangnya. Modul pelatihan yang lengkap dan terkini
tentang perwartaan, foto jurnalistik, dan kehumasan untuk peserta umum dan
koperasi.
7. Antara Pustaka Utama (APU) yaitu jasa penerbitan media cetak, dengan
layanan terpadu mulai dari konsultasi, redaksional, hingga percetakan dan
distribusi.
8. Auditorium Adhiyana yaitu jasa penyelenggaraan seminar, lokakarya,
konvensi dan acara besar lainnya.
2. Profil Antara Foto
Sebagai bagian dari unit usaha LKBN ANTARA, dalam perjalanannya di
masa perjuangan ANTARA Foto mengelami beberapa kendala di anatarnya yaitu,
biro foto pindah ke Yogyakarta bersamaan dengan pemerintahan RI (1949). Pada
tahun 1958 Biro foto sempat ditutup dengan alasan merugi. Kemudian pada tahun
1965 seluruh arsip koleksi foto Antara dimusnahkan oleh tim militer RI pasca G30S
(PKI), arsip-arsip milik Antara Foto dibakar di depan gedung Antara di Jalan Pasar
Baru, Jakarta.
51
ANTARA Foto beroperasi kembali di bawah Direktorat Logistik pada tahun
1972, melayani foto-foto khusus luar negeri bekerjasama dengan UPI, dan hampir
semua koran nasional termasuk TVRI berlangganan Foto Antara. Baru pada tahun
1976 produksi murni Biro Foto berupa pelayanan paket foto berita dalam negeri
kembali diluncurkan dengan mengambil momentum berlangganan KTT Asean
pertama di Bali.
Pada tahun 1978, Biro foto kembali masuk jajaran Direktorat Redaksi,
ditandai dengan pemuatan foto hasil liputan Peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober
di Senayan.
Biro Foto bersama Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara dioperasikan
sebagai salah satu Unit Usaha Strategis Antara pada tahun 1991 di bawah kendali
Direktorat Usaha dan Pemasaran Kantor Redaksi Biro Foto, kemudian juga
dipindahkan dari Lantai 19 Wisma Antara ke Gedung Antara Pasar Baru.
Pada tahun 2005 Biro Foto kembali bergabung dengan Direktorat Redaksi
Kantor Berita Antara, dan pada bulan April 2007, nama Antara Foto resmi digunakan
sebagai sebutan baru menandai statusnya sebagai Kantor Berita Foto Antara yang
mandiri dan memiliki otonomi penuh dalam menjalankan fungsi pelayanan dan
operasi pemberitaan foto yang independen, dengan visi menjadi kantor berita foto
global terpercaya dan misi melayani pemberitaan dan informasi visual yang
bermartabat, serta mendorong pembangunan dan pelestarian budaya foto jurnalistik
yang diselenggarakan seluas-luasnya untuk kemajuan peradaban bangsa dan negara.
52
ANTARA Foto memiliki contributor foto hampir di seluruh Indonesia dan
internasional, termasuk mengelola koleksi foto bersejarah IPPHOS (Internasional
Press Photo Services) yang mengalami kebangkrutan. Dan kini ANTARA Foto telah
menjadi ujung tombak foto jurnalistik nasional modern yang selalu menjadi acuan
perkembangan fotografi jurnalistik di Indonesia.
3. Galeri Foto Jurnalistik Antara
GFJA merupakan bagian mandiri dari LKBN Antara. Tujuan didirikannya
yaitu sebagai lokasi visual guna mensosialisasikan kegiatan foto khususnya foto
jurnalistik di Indonesia. GFJA juga sebagai salah satu wadah untuk para fotografer
jurnalistik berkumpul. Didirikan pada tahaun 1992. GFJA direncakana akan dijadikan
sebaga yayasan fotografi yang menghimpun pusat kegiatan fotografi di Indonesia,
seperti workshop, seminar dan acara–acara lainnya.
Dikarenakan minimnya pendidikan fotografi baik formal maupun informal di
Indonesia, GFJA yang membuka pendidikan semi formal sejak tahun 1992, tercatat
juga sebagai pelopor pendidikan fotografi yang sistematis, sebelum beberapa bulan
setelahnya Institut Seni Indonesia di Jogjakarta membuka kelas Jurusan Fotografi.
Hubungan korelasi antara GFJA dan antara foto adalah GFJA yaitu sebagai
media bagi para fotografer untuk mengaktualisasikan karya-karyanya seperti pameran
foto. GFJA juga merupakan media publikasi Antara Foto sebagai bidang pelayanan
jasa guna memenuhi kebutuhan foto-foto media massa lainnya.
Sejak beridirinya GFJA terus berusaha mensosialisasikan kegiatan fotografi
sehingga menghasilkan bakat-bakat baru di dunia fotografi khususnya
53
fotojurnalisitik. GFJA telah berkembang dari sekedar galeri foto jurnalistik pertama
di Indonesia menjadi intitusi terbaik dan kreatif dalam kancah seni dan budaya di
Indonesia khusunya bidang fotografi.
B. Gambaran Umum Pameran Foto Bianglala Xinjiang
1. Latar Belakang Pameran Foto Bianglala Xinjiang
Pameran foto ini diselenggarakan bertepatan dengan kegiatan fotografer ismar
patrizki berkunjung dan melihat langsung sebagai etnis di kawasan xinjiang selama
sekitar tiga pekan mulai akhir juli hingga pertengan agustus 2013 rasanya tidalah
cukup. Tidak banyak yang bisa diungkap secara mendalam mengenai realita hidup
etnis-etnis minoritas di xinjiang.
Namun sesuatu yang cukup berkesan yaitu saat merayakan idul fitri 1434 H
bersama warga etnis minoritas di xinjiang. Sebuah perasyaan idul fitri di „di negeri
tirai bambu‟ yang jauh dari hingar bingar kemeriahan, hanya perayaan yang
dilakukan sederhana dengan melaksanakan salat id bersama warga etnis ugyur di
salah satu masjid kecil di pelosok wilayah hoboksar, makan bersama etnis kazakh di
pelosok kota tacheng, dan berpesta ala pedesaan bersama warga non muslim dari
etnis mongol di padang rumput chagankule. Di sana, etnis-etnis minoritas xinjiang
hidup berdampingan dan berusaha bertahan dari terapaan gelombang kedatangan
etnis mayoritas. Dan di daerah terpencil di barat „negeri merah‟ itu pula, bianglala
kehidupan tercipta.
54
Beberapa bulan setelah kembalinya Ismar ke tanah air, Ismar pun mendapat
dukungan yang besar dari rekan kerjanya dan Oscar Motuloh, kurator GFJA untuk
memamerkan rekaman visualnya selama berada di Kota Xinjiang. Sebuah sudut
pandang berbeda tentang Xinjiang dari gambar-gambar yang biasa beredar dalam
surat kabar, televisi dan situs internet. Kesan mencekam, kekalahan dan keterpurukan
tidak hadir dalam kesaksian visualnya. Gambar-gambar yang akan dipamerkan justru
memperlihatkan bangsa Xinjiang yang perkasa, tidak pernah menyerah pada keadaan.
Atas saran dari kurator, pameran foto Bianglala Xinjiang pun tampil dengan
sensasi yang berbeda. Foto-foto yang dipamerkan tidak dicetak di atas kertas foto
ataupun kanvas seperti foto pada umumnya, melainkan dicetak dengan ukuran besar
di atas material berbahan campuran metal. Layout unik tersebut dilakukan untuk
mempertegas tema perkasa yang diusung dalam pameran foto tersebut.
2. Tim Kreasi dan Produksi
- Kurator : Oscar Motuloh
- Fotografer : Ismar Patrizki
- Desain Grafis : Andi Ari Setiadi
- Umum : Hermanus Prihatna, Daryanto Wibowo, Budi Chandra
- Produksi : Dody Gurning, Rahmad Gunawan, Gunawan Widjaja, Ricky
Adrian, Dany Wijaya, Mahatma Putra, Grandyos, Zalna
Manase Mesah, Himawan Paramayudha
- Publikasi : Anton Santoso, Diah Kusuma Wardani, Iin Syamsudin
55
3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Pameran.
Pameran Foto Bianglala Xinjiang diselenggarakan bertepatan dengan Hari
Solidaritas Internasional untuk Rakyat China, yaitu pada:
- Waktu : 23 Maret – 6 April 2014
- Tempat : Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jl. Antara no. 59 Pasar Baru,
Jakarta
4. Profil Ismar Patrizki
Ismar Patrizki lahir di Tangerang, 23 Mei tahun 1979. Pria berdarah Minang
yang lahir di dekat Ibu Kota ini, tak lantas membuat dia tertarik untuk menuntut ilmu
di perguruan tinggi yang berada di kota sentral pemerintahan, ia justru lebih tertarik
merantau ke pulau dewata untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat perguruan
tinggi. Ayah dari seorang putra ini kemudian tercatat sebagai Sarjana Arkeologi
setelah menyelesaikan studinya di jurusan Arkeologi Universitas Udayana Bali pada
tahun 2005.
Ismar yang sudah hobi memotret sejak duduk di bangku SMA, semakin serius
menekuni hobinya tersebut setelah mendapatkan gelar sarjana. Sebenarnya titel yang
ia peroleh tidak memiliki hubungan dengan perkerjaan yang digelutinya saat ini,
namun keseriusan dalam menyalurkan bakat melalui hobi fotografi-lah yang
membuatnya terjun menjadi seorang pewarta foto. Setelah mengikuti rekrutmen serta
menjalani pendidikan khusus foto jurnalistik angkatan III di Biro Foto Antara,
kemudian Ismar memulai karir profesionalnya sebagai staf pewarta foto tetap di
Antara foto sejak tahun 2006.
56
Menjadi pewarta foto bukanlah hal mudah, terutama fotogrfer sebuah agensi
foto yang terikat kontrak dengan beberapa media cetak dan elektronik nasional
maupun internasional, karena harus mendapatkan gambar dengan kualitas prima,
bahkan eksklusif dan dalam tempo yang relatif cepat dengan tuntutan aktualitasnya.
Untuk itu, seorang pewarta agensi foto harus tiba di lokasi kajadian selangkah lebih
cepat dari pewarta foto lainnya.
Sebagai staf pewarta foto tetap di kantor berita tingkat nasional, kualitas hasil
liputannya tidak perlu diragukan. Ketajaman naluri Ismar Patrizki sebagai seorang
pewarta foto pun terasah matang, karena pengalaman kerjanya yang sudah cukup
panjang. Selain itu kantor berita tempat dia bernaung juga memberi ruang dan
apresiasi terhadap foto essay, sehingga fotografer lebih leluasa menyampaikan
gagasan dan ide dalam rangkaian fotonya. Tidak seperti halnya media cetak pada
umumnya yang menempatkan foto tidak lebih hanya sebagai informasi pelengkap,
yang secara tidak langsung mengkerdilkan peran pewarta foto itu sendiri.
Sejak berkarir sebagai foto jurnalis, karya fotonya tak hanya ditayangkan pada
situs Antara Foto dan berbagai media cetak lainnya, tetapi juga kerap berpartisipasi
dalam beberapa pameran foto.
Prestasi Ismar dalam Fotografi Jurnalistik:
Tahun 2007, pameran foto yang diselenggarakan oleh Pewarta Foto Indonesia
(PFI) “Potret Indonesia Terkini”,
57
Tahun 2009, pameran foto pemilu kerjasama GFJA-Antara Foto yang bertajuk
“Vox Populi Vox Dei”
Tahun 2009, pameran foto Komunitas Jurnalis Sumbar-DPD RI “Duka
Gempa Ranah Minang”
Selain berpartisipasi dalam beberapa pameran fotografi baik yang
diselenggarakan oleh Antara foto dan GFJA, maupun yang diselenggarakan oleh
komunitas foto jurnalis lainnya, Ismar juga berperan sebagai kontributor dalam
pembuatan buku foto, antara lain:
“Kilas Balik Pembangunan Kesehatan 2004-2008”, hasil kerjasama
Departemen Kesehatan RI - Antara Foto dan GFJA,
Buku bertajuk “Duta untuk Masa Depan”, kerjasama Kementerian Luar
Negeri RI – Antara Foto dan GFJA.
58
BAB IV
ANALISIS DATA FOTO BIANGLALA XINJIANG
DI PAMERAN GALERI FOTO ANTARA JURNALISTIK
29 MARET 2014
Wilson Hicks, yang juga disebut-sebut sebagai bapak perintis foto jurnalistik,
mendefinisikan foto jurnalis sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu
kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial
pembacanya.
Dalam definisi tersebut, jelas dikatakan bahwa foto berita terdiri dari kata dan gambar
sebagai kesatuan utuh. Tajuk dari pemeran foto tersebut, yaitu “Bianglala Xinjiang”,
merupakan bagian dari pesan atau ide utama fotografer yang diusung bersama dengan
rangkaian foto-foto yang dipamerkan. Bianglala Xinjiang hendak mengungkapkan
keharmonisan warga Xinjiang, untuk selalu bangkit setelah berakhirnya peperangan. Konsep
“Bianglala Xinjiang” dalam rangkaian foto ini selanjutnya akan dikaji dan diuraikan lebih
lanjut.
Barthes menyebutkan ada tiga tahap dalam membaca foto antara lain :Tahap perseptif
konotasi kognitif, kemudian tahap Etis-ideologis
47 Barthes juga mendefinisikan enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi
gambar sebagai analogon. Keenam prosedur ini dikategorikan menjadi dua, yaitu:48
1. Rekayasa yang secara langsung dapat mempengaruhi realitas itu sendiri. Terdiri dari:
a. Trick Effect, yaitu memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk
menyampaikan maksud pembuat berita.
b. Pose, ialah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto.
47
ST Sunardi, Semiotika Negativa, h.187 48
Kris Budiman, Semiotika Visual, h.70
59
c. Pemilihan Objek, merupakan penentuan point of interest (POI) pada sebuah
gambar/foto.
2. Rekayasa yang masuk dalam wilayah “estetis”, terdiri dari:
a. Photogenia, adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar
b. Aestheticism, yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan
dan dapat menimbulkan makna konotasi.
c. Sintaksis, yaitu rangkaian cerita dari isi foto/gambar yang biasanya berada pada
keterangan foto dan dapat memebatasi serta menimbulkan makna konotasi.
A. Data Foto 1
Gambar 4.1
Perkebunan Bunga Matahari
B. Analisis Data Foto 1
1. Makna Denotasi
Denotasi yaitu relasi antara penanda dengan petanda dalam sebuah tanda,
serta tanda dengan acuan realitas eksternalnya. Untuk mengungkap makna denotatif
60
dalam sebuah foto dapat diketahui pada tahap perseptif, yaitu melakukan
transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar.
Dalam data foto 1 dapat dijabarkan objek (analogon) apa saja yang terdapat
di dalam foto tersebut, antara lain:
Perkebunan yang sangat luas dan ditumbuhi dengan bunga matahari.
Sinar matahari menjadi sumber cahaya dalam foto ini.
Nampak dua orang wanita sedang mengambil gambar (foto) dengan
menggunakan kamera digital.
Satu diantara mereka menggunakan jilbab dan yang satunya tidak
menggunakan jilbab
Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan beberapa analogon
yang ada mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan dalam gambar ini
menunjukkan dua orang wanita yang berbeda yang satu mengenakan jilbab dan yang
satu tidak menggunakan jilbab.
2. Makna Konotasi
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes
disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar
imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural, juga dapat diperoleh dengan
mengamati beberapa perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar.
61
Sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara
lain:
1) Trick Effect
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan
suatu upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan guna
menyampaikan maksud si fotografer. Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini
jelas merupakan hal yang dilarang karena sama aja memanipulasi realitas.
Walaupun sebuah foto jurnalistik sebenarnya bukan berarti 100% atas realitas,
artinya hasil foto apa yang menjadi pikiran seorang fotografer. Terkait dengan
data foto 1, penulis tidak menemukan hal yang dapat dikatakan sebagai trick
effect.
2) Pose
Pose dalam foto 1 terlihat pada dua orang wanita yang memegang
kamera digital. Wanita tersebut berpenampilan berbeda, yang satu
menggunakan jilbab dan yang satu lagi tidak. Sebagai pemahaman penulis.
kedua wanita itu bersahabat. Namun, wanita menggunakan jilbab yaitu
melambangkan suatu wanita muslim dan yang tidak memakai jilbab
merupakan wanita non muslim.
3) Object
POI (point of interest) pada foto 1 berada pada dua orang wanita yang
berdiri menghadap kearah perkebunan bunga matahri dengan mengangkat
kamera digital. Selain objek utama yang terletak pada POI, penulis juga
menemukan objek lainnya yang masuk dalam frame, dapat memberi tafsiran
bahwa dua orang wanita yang berdiri bersebelahan, mereka bersahabat.
62
4) Photogenia
Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),
bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek
beku), angle (sudut pandang pengambilan objek).
Apabila dilihat dari teknik pengambilan gambarnya, apa yang tampak
dalam data foto 1 terlihat foto diambil di luar ruangan dengan memanfaatkan
cahaya alami yaitu matahari (available light). Adanya perbedaan ketajaman
objek pada latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
mengindikasikan foto diambil menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang
berarti pengaturan diafragma berada antara f/2,8 sampai f/5,1. Dengan posisi
diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan
pencahayaan yang nampak dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/100 sampai
1/250. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 100 sampai 200.
Titik fokus yang ditempatkan pada latar depan (dua perempuan yang berdiri) ini
dilakukan fotografer sebagai upaya penegasan fokus pesan yang ingin
disampaikan, dalam hal ini pesan tentang dua perempuan. Melihat POI yang ada
dalam foto memberi indikasi foto diambil dengan sudut pandang sejajar mata
manusia atau dalam istilah angle fotografi disebut dengan eye level. Dengan
penggunaan angle ini, secara teknik tidak terlalu menimbulkan pesan tertentu.
Perlu juga diketahui, pemilihan angle dalam fotografi sedikit banyak juga dapat
memberi pesan tertentu, dan juga biasanya dari angle yang digunakan fotografer,
kita dapat melihat bagaimana sudut pandang seorang fotografer dalam
menampilkan sebuah foto.
63
Contohnya, ketika seorang fotografer memotret jokowi dengan
menggunakan low angle (memotret dengan kamera yang berada lebih rendah
dari objek), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi adalah akan dapat terlihat
sebagai sosok yang berwibawa. Akan menjadi berbeda pesan ketika seorang
fotografer memotret Jokowi dengan posisi kamera yang berada lebih tinggi (high
angle), maka kesan yang timbul terhadap Jokowi akan dapat terlihat kerdil dan
tidak berwibawa.
5) Aestheticism
Format gambar dalam data foto 1 merupakan jenis foto landscape,
yaitu foto yang menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Jika dilihat,
foto tersebut memperhatikan kaidah 1/3 (rule of third) dengan menempatkan
POI (point of interest) di 1/3 bagian tengah foto. Ukuran POI (point of
interest) yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus
menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek. Tampilan landscape
yang menampilkan keseluruhan pemandangan yang ada di depan fotografer.
Ditambah dengan ekspresi yang nampak dari subjek utama (dua perempuan)
yang terlihat sedang mengabadikan momen pemandangan kebun bunga
matahari.
6) Sintaxis
Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di atas, didapati makna
konotasi dari foto tersebut adalah jilbab melambangkan suatu identitas wanita
muslim. Persahabatan antara dua wanita dengan agama yang berbeda. Persahabatan
atau pertemanan adalah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling
mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Persahabatan juga tidak mengenal
64
suku, budaya maupun agama. Persahabatan menggambarkan suatu hubungan yang
melibatkan pengetahuan, penghargaan dan afeksi. Sahabat akan menyambut
kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain, seringkali hingga
pada altruisme.
Selera mereka biasanya serupa dan mungkin saling bertemu, dan mereka
menikmati kegiatan-kegiatan yang mereka sukai. Mereka juga akan terlibat
dalam perilaku yang saling menolong, seperti tukar-menukar nasihat dan saling
menolong dalam kesulitan.
3. Makna Mitos
Makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah bahwa kadang-kadang kita
akan merasa senang ketika berada di dekat teman-teman kita, dan kadang-kadang
kita juga akan merasa stres atau sedih karena ulah mereka. Persahabatan dua wanita
tersebut terlihat saat ingin bersama-sama mengabadikan keindahan ladang bunga
matahari.
Walaupun meraka berbeda agama tetapi tidak satu pun yang membandingkan
agama masing-masing. Terlihat dari pakaian dua perempuan yang berbeda
menyimbolkan perbedaan agama yang mereka miliki. Jilbab melambangkan suatu
wanita muslimah. Orang yang memandang wanita menggunakan jilbab, orang
tersebut memandang wanita itu sebagai wanita sholeha.
Bunga matahari memiliki filosofi kesetiaan dimana ia selalu setia mengikuti
arah matahari dan warna kuning identik dengan arti kehangatan dan kebahagiaan.
Sifat dari bunga matahari ini memberikan arti kesetiaan yang patut untuk dijadikan
pedoman akan arti sebuah kesetiaan. Setia dan patuh akan kodratnya tapa adanya
65
protes. Arti bunga matahari juga sebagai symbol keriangan, kegembiraan dan
kebahagiaan.
Jika di perhatikan secara seksama bunga matahari memiliki warna kuning
indah yang mewakili akan keceriaan. Bunga ini dinamakan bunga matahari karena
selalu setia mengikuti kemana arah matahari bergulir. Jika diperhatikan bunga
matahari pada pagi hari maka dia akan menghadap ke timur, dimana matahari terbit
dan kemudian akan terus mengikutinya seiring pergerakan matahari kearah barat,
dimana matahari terbenam.
C. Data Foto 2
Gambar 4.2
Bertukar Makanan
D. Analisis Data Foto 2
1. Makna Denotasi
Dalam gambar data foto 2 dapat kita amati beberapa analogon yang berupa
objek dari makna denotatif foto tersebut, antara lain:
66
Terdapat tiga orang, dua wanita setengah baya dan satu seorang anak laki-laki.
Salah seorang wanita berdiri dengan membawa piring yang berisi makanan.
Salah seorang wanita berdiri dengan menggunakan jilbab
Makna denotasi yang didapat dari beberapa analogon yang terdapat dalam data
foto 2 dapat mengungkapkan, secara verbal dapat kita katakan dalam foto
terdapat potret dengan menampilkan sesesorang wanita dengan membawa piring
yang berisi makanan.
2. Makna konotasi
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes
disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar
imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural, juga dapat diperoleh dengan
mengamati beberapa perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar.
Sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara
lain:
1) Trick Effect
Memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan guna
menyampaikan maksud fotografer dalam foto jurnalistik adalah hal yang
dilarang, karena dapat mengubah realitas yang ada. Adapun pengolahan gambar
dalam foto jurnalistik hanya diperbolehkan sebatas cropping untuk memperbaiki
presisi, serta memperbaiki warna dengan mengatur tingkat kecerahan, kontras,
dan keseimbangan warna.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan suatu
upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan guna menyampaikan
maksud si fotografer. Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini jelas merupakan hal
67
yang dilarang karena sama aja memanipulasi realitas. Walaupun sebuah foto
jurnalistik sebenarnya bukan berarti 100% atas realitas, artinya hasil foto apa
yang menjadi pikiran seorang fotografer. Terkait dengan data foto 1, penulis
tidak menemukan hal yang dapat dikatakan sebagai trick effect.
2) Pose
Pose dalam foto 2 terlihat pada tiga orang, wanita bersama anaknya
sedang memegang sepiring makanan yang diberi wanita di depan rumahnya.
Wanita tersebut berpenampilan berbeda, yang satu menggunakan jilbab dan
yang satu lagi tidak. Sebagai pemahaman penulis. kedua wanita itu hidup
dalam kelompok pluralisme. Namun, wanita menggunakan jilbab yaitu
melambangkan suatu wanita muslim.
3) Object
POI (point of interest) pada foto 2 berada pada seorang wanita yang
berdiri di depan pintu dan seorang ibu bersama anaknya sedang bertukar
makanan atau bersilaturahmi. Selain objek utama yang terletak pada POI
(point of interest), penulis juga menemukan objek lainnya yang masuk dalam
frame, dapat memberi tafsiran bahwa dua orang wanita yang berdiri
bersebelahan, mereka tetanggan.
4) Photogenia
Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),
bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek
beku), angle (sudut pandang pengambilan objek).
Apabila dilihat dari teknik pengambilan gambarnya, apa yang tampak
dalam data foto 2 terlihat foto diambil di luar ruangan dengan memanfaatkan
68
cahaya alami yaitu matahari (available light). Adanya perbedaan ketajaman
objek pada latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
mengindikasikan foto diambil menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang
berarti pengaturan diafragma berada antara f/1,8 sampai f/4,1. Dengan posisi
diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan
pencahayaan yang nampak dalam data foto 1 berkisar antara S: 1/60 sampai
1/100. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 200 sampai 400.
Titik fokus yang ditempatkan pada latar depan (dua wanita yang berdiri dan satu
anak kecil) ini dilakukan fotografer sebagai upaya penegasan fokus pesan yang
ingin disampaikan, dalam hal ini pesan tentang dua wanita dan satu anak kecil.
Melihat POI (point of interest) yang ada dalam foto memberi indikasi foto
diambil dengan sudut pandang sejajar mata manusia atau dalam istilah angle
fotografi disebut dengan eye level. Dengan penggunaan angle ini, secara teknik
tidak terlalu menimbulkan pesan tertentu. Perlu juga diketahui, pemilihan angle
dalam fotografi sedikit banyak juga dapat memberi pesan tertentu, dan juga
biasanya dari angle yang digunakan fotografer, kita dapat melihat bagaimana
sudut pandang seorang fotografer dalam menampilkan sebuah foto.
5) Aestheticism
Format gambar dalam data foto 2 merupakan jenis foto framming,
yaitu foto yang menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Jika dilihat,
foto tersebut memperhatikan kaidah 1/3 (rule of third) dengan menempatkan
POI (point of interest) di 1/3 bagian tengah foto. Ukuran POI (point of
interest) yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus
menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek. Tampilan framming
yang menampilkan keseluruhan pemandangan yang ada di depan fotografer.
69
Ditambah dengan ekspresi yang nampak dari subjek utama (dua wanita dan
satu anak kecil) yang terlihat sedang bersilaturahmi bertukar makanan.
6) Sintaxis
Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks yang ada
pada judul atau caption foto, namun ketika sebuah foto berdiri sendiri tanpa teks
seperti pada data foto 2, bukan berarti tidak memiliki unsur sintaksis. Sebuah foto,
terlebih foto jurnalistik, pada hakikatnya adalah medium penyampai pesan, dengan
atau tanpa teks. Disini penulis menjelaskan unsur sintaksis pada data foto 2 dengan
melihat elemen-elemen dalam foto yang dapat memberikan sebuah cerita dalam satu
bingkai foto.
Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di atas, didapati makna
konotasi dari foto tersebut adalah Menjaga silaturahmi antar tetangga merupakan hal
yang di ajarkan oleh setiap agama. Silaturahmi adalah hubungan kerabat; berupa
hubungan kasih-sayang, tolong-menolong, berbuat baik, menyampaikan hak dan
kebaikan, serta menolak keburukan dari kerabat yaitu ahli waris. Hubungan dengan
selain mereka tidak bisa disebut silaturahmi, karena tidak terpenuhi adanya ikatan
kekerabatan.
3. Makna mitos
Jika kita seorang muslim, atau orang yang akrab berinteraksi dengan orang
atau komunitas muslim, pastinya tidak mengherankan jika pernah mendengar hadits
nabi yang menyebutkan bahwa silaturahmi bisa memperpanjang usia. Di samping
dalil-dalil lainnya yang menekankan pentingnya silaturahmi, seperti tidak sempurna
Islam seseorang yang memutus tali silaturahmi, anjuran bagi anak untuk
menyambung hubungan yang telah dibangun orang tuanya, dan lain sebagainya.
70
Semua itu tentu saja sangat bagus ditinjau dari sudut pandang ilmu social, silaturahmi
bisa menjadi tonggak ketahanan masyarakat yang sangat luar biasa kokohnya.
Bahwa dengan bersilaturahmi orang-orang akan senantiasa mengenang kita
mengenang bahwa tadinya kita pernah ada dan sering mendatanginya. Ini, tentu saja
bukan jawaban sebenarnya walau mungkin secara filosofi benar juga. Tapi yang kita
harapkan bukanlah hanya kepanjangan umur seperti itu, karena itu yang panjang umur
bukan kita, tapi orang-orang yang mengenang kita.
E. Data Foto 3
Gambar 4.3
“Tenda pengungsian”
F. Analisis Data Foto 3
1. Makna Denotasi
Dalam gambar data foto ketiga dapat amati beberapa analogon yang berbentu objek
dari makna denotatif foto tersebut, antara lain:
71
Tenda pengungsian besar berwarna putih.
Sinar matahari sumber pencahayaan pada foto.
Terdapat sembilan orang yang sedang berada di luar tenda.
Dua orang memakai seragam tentara.
2. Makna Konotasi
Tugas tentara sangat lah mulia, tidak hanya di medan peperangan saja. Melainkan
membantu rakyat ketika sedang terkena musibah bencana alam.
Untuk memahami makna konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes
disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar
imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman kultural, juga dapat diperoleh dengan
mengamati beberapa perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar.
Sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara
lain:
1) Trick Effect
Memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan guna
menyampaikan maksud si fotografer dalam foto jurnalistik adalah hal yang
dilarang, karena dapat mengubah realitas yang ada. Adapun pengolahan gambar
dalam foto jurnalistik hanya diperbolehkan sebatas cropping untuk memperbaiki
presisi, serta memperbaiki warna dengan mengatur tingkat kecerahan, kontras,
dan keseimbangan warna.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan suatu
upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan guna menyampaikan
maksud si fotografer. Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini jelas merupakan hal
yang dilarang karena sama aja memanipulasi realitas. Walaupun sebuah foto
72
jurnalistik sebenarnya bukan berarti 100% atas realitas, artinya hasil foto apa
yang menjadi pikiran seorang fotografer. Terkait dengan data foto 1, penulis
tidak menemukan hal yang dapat dikatakan sebagai trick effect.
2) Pose
Pose dalam foto 3 terlihat kumpulan orang yang berdiri dan duduk di
depan tenda pengungsian, dua dari mereka memakai pakaian dinas tentara dan
terdapat pula seorang bapak-bapak lanjut usia yang sedang memangku
cucunya dengan menggunakan peci (kopiah). Sebagai pemahaman penulis,
kumpulan orang tersebut sedang mengungsi. Namun, bapak-bapak yang
sedang memangku cucunya menggunakan peci (kopiah) yaitu melambangkan
seorang muslim.
3) Object
POI (point of interest) pada foto 3 terlihat kumpulan orang yang
berdiri dan duduk di depan tenda pengungsian, dua orang yang berdiri
menggunakan pakaian dinas merupakan seorang tentara yang sedang
menjaga tenda pengungsian dan sebagian yang sedang duduk merupakan
seorang pengungsi. Selain objek utama yang terletak pada POI (point of
interest), penulis juga menemukan objek lainnya yang masuk dalam frame,
dapat memberi tafsiran bahwa seorang pengungsi yang sedang dijaga oleh
tentara setempat.
4) Photogenia
Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),
bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek
beku), angle (sudut pandang pengambilan objek).
73
Apabila dilihat dari teknik pengambilan gambarnya, apa yang tampak
dalam data foto 3 terlihat foto diambil di luar ruangan dengan memanfaatkan
cahaya alami yaitu matahari (available light). Adanya perbedaan ketajaman
objek pada latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
mengindikasikan foto diambil menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang
berarti pengaturan diafragma berada antara f/3,8 sampai f/6,1. Dengan posisi
diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan
pencahayaan yang nampak dalam data foto 3 berkisar antara S: 1/100 sampai
1/200. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 100 sampai 200.
Titik fokus yang ditempatkan pada latar depan (kumpulan orang sedang berada
di depan tenda pengungsian) ini dilakukan fotografer sebagai upaya penegasan
fokus pesan yang ingin disampaikan, dalam hal ini pesan tentang kumpulan para
pengungsi. Melihat POI (point of interest) yang ada dalam foto memberi indikasi
foto diambil dengan sudut pandang sejajar mata manusia atau dalam istilah angle
fotografi disebut dengan eye level. Dengan penggunaan angle ini, secara teknik
tidak terlalu menimbulkan pesan tertentu. Perlu juga diketahui, pemilihan angle
dalam fotografi sedikit banyak juga dapat memberi pesan tertentu, dan juga
biasanya dari angle yang digunakan fotografer, kita dapat melihat bagaimana
sudut pandang seorang fotografer dalam menampilkan sebuah foto.
5) Aestheticism
Format gambar dalam data foto 3 merupakan jenis foto human interest,
yaitu foto yang menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Jika dilihat,
foto tersebut memperhatikan kaidah 1/3 (rule of third) dengan menempatkan
POI (point of interest) di 1/3 bagian tengah foto. Ukuran POI (point of
interest) yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus
74
menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek. Tampilan human
interest yang menampilkan keseluruhan pemandangan yang ada di depan
fotografer. Ditambah dengan ekspresi yang nampak dari subjek utama
(kumpulan orang sedang berada di depan tenda pengungsian) yang terlihat
sedang dijaga oleh tentara setempat.
6) Sintaxis
Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks yang ada
pada judul atau caption foto, namun ketika sebuah foto berdiri sendiri tanpa teks
seperti pada data foto 3, bukan berarti tidak memiliki unsur sintaksis. Sebuah foto,
terlebih foto jurnalistik, pada hakikatnya adalah medium penyampai pesan, dengan
atau tanpa teks. Disini penulis menjelaskan unsur sintaksis pada data foto 3 dengan
melihat elemen-elemen dalam foto yang dapat memberikan sebuah cerita dalam satu
bingkai foto.
Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di atas, didapati makna
konotasi dari foto tersebut adalah tentara merupakan salah satu tugas negara untuk
menjaga negara dan memberikan pertolongan dikala terjadi bencana. tugas tentara
sangat mulia, tidak memandang suatu umat ataupun kaum. Melainkan membantu
rakyat ketika sedang terkena musibah bencana alam. Tentara merupakan nama
sebuah pekerjaan, sebagaimana halnya petani, nelayan, sopir dan lain-lain. Namun
hal yang membuat tentara berbeda dengan pekerjaan lainnya adalah karena tentara
tidak hanya mementingkan diri sendiri dan keluarganya saja.
4. Makna mitos
Sejarah tentara berbalut banyak kisah perlawanan dan perebutan untuk
memperoleh kebebasan. Tapi tentara bukan sekedar itu, kekuatan melindungi
nyatanya telah bersanding dengan keinginan untuk berbisnis. Niat menjaga keamanan
75
bisa diterjemahkan sebagai operasi menangkapi para aktivis. Kisah masa lalu
menggoreskan luka pedih bagaimana tentara seringkali memusuhi rakyatnya sendiri.
Semangat demokrasi dan penghargaan atas nilai kemanusiaan merupakan watak yang
dituntut untuk dimiliki tentara. Buku ini menjawab sebuah pertanyaan dasar, di mana
sesungguhnya tempat bagi kuasa tentara, di depan rakyat dan negara.
G. Data Foto 4
Gambar 4.4
Masjid Komunitas Etnis Uyghur
H. Analisis Data Foto 4
1. Makna Denotasi
Dalam gambar data foto ketiga dapat amati beberapa analogon yang berbentu objek
dari makna denotatif foto tersebut, antara lain:
Gedung bertingkat berwarna cokelat.
Kondisi cuaca yang mendung.
Masjid pertama di kota xinjiang
76
Terdapat tujuh orang yang memakai peci selesai beribadah.
3. Makna Konotasi
Peci di kota Xinjiang melambangkan umat islam. Untuk memahami makna
konotasi dari sebuah foto, dalam metode Barthes disebut dengan tahap konotasi
kognitif, yaitu makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain
pemahaman kultural, juga dapat diperoleh dengan mengamati beberapa
perkembangan prosedur yang mempengaruhi gambar.
Sebagai analogon. Prosedur tersebut dikategorikan menjadi enam, antara
lain:
1) Trick Effect
Memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan guna
menyampaikan maksud si fotografer dalam foto jurnalistik adalah hal yang
dilarang, karena dapat mengubah realitas yang ada. Adapun pengolahan gambar
dalam foto jurnalistik hanya diperbolehkan sebatas cropping untuk memperbaiki
presisi, serta memperbaiki warna dengan mengatur tingkat kecerahan, kontras,
dan keseimbangan warna.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa trick effect merupakan suatu
upaya manipulasi gambar pada tingkat yang berlebihan guna menyampaikan
maksud si fotografer. Dalam wilayah foto jurnalistik hal ini jelas merupakan hal
yang dilarang karena sama aja memanipulasi realitas. Walaupun sebuah foto
jurnalistik sebenarnya bukan berarti 100% atas realitas, artinya hasil foto apa
yang menjadi pikiran seorang fotografer. Terkait dengan data foto 4, penulis
tidak menemukan hal yang dapat dikatakan sebagai trick effect.
77
2) Pose
Pose dalam foto 4 terlihat kumpulan orang yang baru saja selesai
beribadah di masjid tertua di kota xinjiang, sebagian orang yang memakai peci
merupakan umat muslim dan yang tidak memakai peci segaian warga setempat
yang merupakan non muslim. Sebagai pemahaman penulis, kumpulan umat
islam yang baru selesai melaksanakan ibadah. Namun, sebagian orang yang
tidak memakai peci merupakan umat non muslim.
3) Object
POI (point of interest) pada foto 4 terlihat kumpulan orang yang baru
keluar dari masjid yang berada dibelakangnya, mereka baru saja selesai
melaksanakan ibadah. Namu sebagian orang yang tidak memakai peci
merupakan warga sekitar yang mengganut agama non muslim. Selain objek
utama yang terletak pada POI, penulis juga menemukan objek lainnya yang
masuk dalam frame, dapat memberi tafsiran bahwa umat non muslim saling
menghargai umat muslim yang sedang beribadah.
4) Photogenia
Dalam Photogenia, maka kita akan melihat foto dari segi tehnik
pengambilannya. Meliputi lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto),
bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek
beku), angle (sudut pandang pengambilan objek).
Apabila dilihat dari teknik pengambilan gambarnya, apa yang tampak
dalam data foto 4 terlihat foto diambil di luar ruangan dengan memanfaatkan
cahaya alami yaitu matahari (available light). Adanya perbedaan ketajaman
objek pada latar depan (foreground) dan latar belakang (background)
mengindikasikan foto diambil menggunakan tehnik ruang tajam sempit, yang
78
berarti pengaturan diafragma berada antara f/2,8 sampai f/5,1. Dengan posisi
diafragma tersebut maka kecepatan rana (speed) untuk menghasilkan
pencahayaan yang nampak dalam data foto 4 berkisar antara S: 1/80 sampai
1/160. Atau juga dapat dikompensasi dengan menggunakan ISO 200 sampai 400.
Titik fokus yang ditempatkan pada latar depan (kumpulan umat muslim yang
baru selesai melaksanakan ibadah) ini dilakukan fotografer sebagai upaya
penegasan fokus pesan yang ingin disampaikan, dalam hal ini pesan tentang
kumpulan warga sekitar yang non muslim bersama umat muslim yang baru
selesai melakukan ibadah. Melihat POI (point of interest) yang ada dalam foto
memberi indikasi foto diambil dengan sudut pandang sejajar mata manusia atau
dalam istilah angle fotografi disebut dengan eye level. Dengan penggunaan angle
ini, secara teknik tidak terlalu menimbulkan pesan tertentu. Perlu juga diketahui,
pemilihan angle dalam fotografi sedikit banyak juga dapat memberi pesan
tertentu, dan juga biasanya dari angle yang digunakan fotografer, kita dapat
melihat bagaimana sudut pandang seorang fotografer dalam menampilkan
sebuah foto.
5) Aestheticism
Format gambar dalam data foto 4 merupakan jenis foto human interest,
yaitu foto yang menampilkan manusia sebagai subjek utamanya. Jika dilihat,
foto tersebut memperhatikan kaidah 1/3 (rule of third) dengan menempatkan
POI (point of interest) di 1/3 bagian tengah foto. Ukuran POI (point of
interest) yang penuh secara vertikal gambar mengarahkan sekaligus
menegaskan mata untuk langsung mengarah pada objek. Tampilan human
interest yang menampilkan keseluruhan pemandangan yang ada di depan
fotografer. Ditambah dengan ekspresi yang nampak dari subjek utama
79
(kumpulan umat muslim yang baru selesai melaksanakan ibadah) yang terlihat
bercampur dengan warga sekitar yang non muslim.
6) Sintaxis
Sintaxis dalam foto jurnalistik biasanya dapat kita lihat lewat teks yang
ada pada judul atau caption foto, namun ketika sebuah foto berdiri sendiri tanpa
teks seperti pada data foto 4, bukan berarti tidak memiliki unsur sintaksis.
Sebuah foto, terlebih foto jurnalistik, pada hakikatnya adalah medium penyampai
pesan, dengan atau tanpa teks. Disini penulis menjelaskan unsur sintaksis pada
data foto 4 dengan melihat elemen-elemen dalam foto yang dapat memberikan
sebuah cerita dalam satu bingkai foto.
Dari berbagai aspek teramati yang dijabarkan di atas, didapati makna
konotasi dari foto tersebut adalah peci di kota xinjiang melambangkan umat
islam karena di kota xinjiang umat islam bagian dari minoritas. Hampir setiap
orank yang beragama Islam di daerah Asia menggunakan peci di setiap kegiatan
keagamaannya bahkan di kesehariannya, dari anak kecil sampai orang tua..
Namun hal yang membuat umat muslim berbeda dengan memakia peci,
sedangkan umat non muslim tidak memakai peci.
5. Makna mitos
Masjid merupakan tempat beribadah umat islam, sama halnya seperti agama
kristen di gereja, hindu di pura dan budha di wihara. Berdasarkan pendapat
kebanyakan ulama, penganut selain Islam diperbolehkan untuk masuk ke masjid,
selama mereka tidak makan atau tidur di dalamnya. Tapi, Mazhab Maliki memiliki
80
pendapat lain yang melarang penganut selain Islam untuk masuk ke masjid dalam
keadaan apapun.
Peci adalah penutup kepala terbuat dari kain dan sebagainya, berbentuk
meruncing di kedua ujungnya. Makna peci berdasarkan KBBI tersebut bersifat
analogon. Yakni makna harfiah sesuai dengan apa yang dilihat, dirasakan atau
didengarkan. Dalam semiotika (ilmu yang mempelajari tanda), makna peci lebih dari
itu. Sebagai sebuah symbol teks/tanda peci merupakan barang penting dengan segala
nilai-nilai mitos/ideology yang mengikutinya.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari data yang telah terkaji melalui tawaran membaca foto yang diajukan
oleh Roland Barthes, maka didapati kesimpulan, yaitu:
1. Makna denotasi yang didapat dari hasil analisis semiotika makna toleransi
beragama dalam pameran foto bianglala xinjiang karya “ismar patrizki”,
memberikan gambaran tentang upaya bercerita lewat foto yang dilakukan
fotografer terkait pesan tentang toleransi beragama di China. Lewat
konstruksi foto yang sedemikian rupa, pemilihan format warna dan objek
yang dipilih membuat foto-foto yang ada menjadi di luar kebiasaan foto
jurnalistik pada umumnya.
Meskipun beberapa foto ditampilkan secara bersamaan, dari foto-
foto tersebut justru memiliki kekuatan dan memberikan gambaran tentang
keadaan kaum muslim di China. Dalam rangkaian foto-foto tersebut kita
dapat melihat suatu cerita tentang kondisi kaum muslim yang terjadi
dengan tanpa menampilkan unsur-unsur yang berpotensi memunculkan
kontroversi secara visual.
2. Hasil analisis makna konotasi dari foto-foto yang ada memberikan sebuah
ungkapan bahwasanya untuk memahami foto jurnalistik tidak cukup
sebatas melihat apa yang tampak. Terlebih melihat foto-foto yang
ditampilkan dengan format yang sedemikian rupa dan penuh dengan
elemen-elemen yang sifatnya simbolik.
82
Ismar Patrizki, dalam empat foto nya mampu membangun citra
indah dan bahagianya kondisi umat muslim di China. Ismar berupaya
merangkai sebuah cerita tentang keadaan umat muslim lewat cara yang
sangat unik dan penuh muatan simbolik. Satu foto terakhir karya Ismar
Patrizki mampu membangun citra umat muslim yang ingin bergerak
keluar dari kondisi kelamnya dunia umat muslim yang nyatanya masih
penuh masalah dan belum terselesaikan. Banyak aspek yang membuat
keadaan umat muslim di China masih berkutat pada banyak permasalahan.
Baik dari segi hubungan politik, sistem yang ada, ataupun akibat kentalnya
konstruksi gender yang melekat di masyarakat, membuat perbaikan atas
keberlangsungan kondisi umat muslim terhambat.
3. Hakikat foto jurnalistik yang merupakan refleksi atas realitas, muncul
bukan atas pandangan subjektif semata, melainkan memiliki hubungan
sinergi atas fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi. Mitos yang
terbangun dari foto-foto pameran bertajuk Bianglala Xinjiang yang dimuat
Antara Foto memberikan sebuah fakta bahwa keberadaan umat muslim
dalam ruang publik masih menjadi minoritas. Posisinya yang masih berada
pada second class society, terabaikan, bahkan tertindas memberikan
sebuah pesan bahwa masih kentalnya ketimpangan gender di tengah
kehidupan masyarakat yang berimbas negatif khususnya bagi umat islam.
B. Saran
Wacana tentang seni fotografi khususnya, tidak lagi hanya mendebatkan
foto dari segi teknis bagaimana foto itu dibuat, melainkan sudah harus bergerak
83
pada ranah filosofis. Sehingga budaya visual di Indonesia dapat terus berjalan
kearah perkembangan, dan bukan hanya sekedar pengulangan. Oleh karena,
ternyata ranah fotografi dapat terintegrasi dengan banyak hal yang berkaitan
dengan fenomena budaya yang berkembang di masyarakat, bekal wawasan
budaya secara meluas dapat membuat sebuah karya foto jurnalistik lebih kaya
informasi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang dapat
menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas komunikasi, khususnya
Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta bagi peminat
fotografi khususnya yang menekuni foto jurnalistik dan orang-orang yang concern
terhadap umat muslim, yaitu:
1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang didapat dari ketiga foto
yang diteliti, memberikan suatu referensi tentang tampilan foto-foto
dengan mengusung tema atas fenomena sosial budaya yang terjadi di
tengah masyarakat. Referensi tampilan-tampilan foto dalam foto yang
diteliti dapat menjadi suatu acuan bagai para fotografer pemula khususnya.
2. Melihat hasil analisis atas makna konotasi yang didapat dari keempat foto
yang diteliti, dapat menjadi sebuah kamus visual bagi para penikmat
fotografi. Metode semiotika Barthes dengan rumusannya dalam membaca
konotasi pada foto, dapat menjadi pegangan seorang fotografer agar dapat
mengerti bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, hingga dapat
memanfaatkannya secara fungsional ketika ingin mengungkapkan suatu
pesan, khususnya dalam medium foto.
84
3. Melihat hasil analisis atas makna mitos yang didapat dari keempat foto
yang diteliti, secara umum memuat fakta-fakta atas fenomena yang terjadi
di tengah kehidupan umat islam, dapat menjadi salah satu alat kampanye
atas usaha perbaikan nasib umat islam bagi para penggiat atau aktivis yang
senantiasa memperjuangkan nasib umat islam melalui foto. Kemudian
Bagi para akademisi yang juga concern terhadap seni membaca foto,
metode semiotika Barthes ini dapat pula menjadi pegangan utama dalam
mengembangkan paradigma kontstruktivis dalam membaca foto dan
mengkorelasikannya dengan fenomena sosial budaya yang terjadi di
tengah masyarakat.
85
DAFTAR PUSTAKA
AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
(Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006).
Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik, Metode Memotret dan Mengirim Foto ke
Media Massa. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004).
Budiman, Kris, Semiotika Visual.
Christomy, Tommy, “Semiotika Budaya”, (Depok: UI, 2004).
Clifron Cerdic Edom, Photojurnalis: priciples and practices (New York: William
C Brown Pus., 1980).
Company Profil LKBN Antara
Drs. Asep Saeful Muhtadi, M.A, Jurnaslitik (Pendekatan Teori dan Praktek),
Logos Wacana Ilmu, Jakarta:1999.
Dwifriansyah, Bonny, “Sejarah Fotografi Dunia: dari Mo Ti hingga Mendur
bersaudara”,
Ed Zoelverdi, Mat Kodak. (Jakarta: PT. Temprint, 1985).
Forum Diskusi “Fotografer.net” dengan tema: jurnalistik foto antara Foto
Headline HARIAN UMUM vs Foto Sampul Majalah Life Stylr Irsyad,
Robi,
Kesuma, Rully, disampaikan dalam seminar Foto Jurnalistik di GFJA tahun 2009
M. Antonius Birowo, ed. Metode Penelitian Komunikasi. (Yogyakarta:
Gitanyali, 2004).
Muzakki, Akhmad, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007).
86
Pappilon Manurung, Editor : M. Antonius Birowo, “Metode Penelitian
Komunikasi: teori dan aplikasi”. (Yogyakarta: Gitanyali, 2004).
Pappilon Manurung, M. Antonius Birowo, ed.,“Metodologi Penelitian
Komunikasi”, (Yogyakarta: Gitanyali).
Prof.Dr.r.m.Soelarko, fotografi untuk salon foto dan lomba foto. (Bandung: PT.
Karya Nusantara:1978)
Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press,
2002).
Setiati, Eni, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. (Jakarta: Andi
Publisher, 2005).
Sobur, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, Analisis Framing. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004).
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003).
Soedjono, Soeprapto, Pot-Pourri Fotografi, Penerbit Universitas Trisakti,
Jakarta:2007.
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, (Jogajakarta: Kanal, 2002).
Stokes, Jane, How To Do Media and Cultural Studies, (Yogyakarta: PT Bentang
Pustaka, 2006).
Sumber Lain :
Al-Kindi, Ibnu Sahl, Ibnu Al-Haitham : Tiga Ilmuwan Islam Pelopor Ilmu
Optik”. http://hamba4wl.wordpress.com/2011/07/11/al-kindi-ibnu-sahl-
87
ibnu-al-haitham-tiga-ilmuwan-islam-pelopor-ilmu-optik/ Artikel diakses
pada 10 Oktober 2014.
Artikel “Sejarah Fotografi By: Arbain Rambey”, dari
http://www.berilmu.com/photography1.php. Artikel diakses pada 10
Oktober 2014
Becil Ucil. Jurnalistik baru, dari http://becilucil.blog.com/2011/01/31/jurnalistik-
%E2%99%A5-jurnalistik-baru-new-jurnalism-%E2%99%A5/ . Artikel
diakses pada 18 Oktober 2014.
http://www.forumkami.com/forum/forum-fotografi/3323-pengertian-
fotografi.html artikel diakses pada 17 April 2011
http://langitan.net/?p=26 Artikel diakses pada 18 Oktober 2014
http://www.pasarkreasi.com/news/detail/photography/67/sejarah-fotografi-dunia
Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
http://www.satulingkar.com/detail/read/8/2370/antara-teheran-dan-
jakarta#sthash.VxtoJjkP.dpuf Artikel diakses pada 10 Oktober 2014
http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&viewreplies/threaded.
com. Artikel diakses pada 18 Oktober 2014
88
LAMPIRAN
Top Related