ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN TERPADU
WILAYAH JAKARTA, BOGOR, DEPOK, TANGERANG,
BEKASI, DAN CIANJUR (JABODETABEKJUR) SEBAGAI
KAWASAN MEGAPOLITAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh : NURLITA
AMANIYAH
6661111919
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, SEPTEMBER 2015
ABSTRAK
Nurlita Amaniyah. 6661111919. Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur)
sebagai Kawasan Megapolitan. Pembimbing I: Leo Agustino, Ph.D., dan
Pembimbing II: Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si.
Kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) merupakan kebijakan pembentukan sebuah
kawasan megapolitan. Kebijakan ini dibuat disebabkan banyak permasalahan seperti
banjir, kependudukan, transportasi, kemacetan, pemukiman dan lainnya yang tidak
dapat diselesaikan oleh DKI Jakarta, melainkan harus diselesaikan bersama dengan
Bodetabekjur. Pembentukan kawasan megapolitan bertujuan untuk memperkuat
posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota negara dan untuk pemerataan pembangunan di
wilayah sekitar Jakarta. Kebijakan ini diusulkan oleh Komite I Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Penelitian dilakukan di Sekretariat Jenderal
DPD RI dan di wilayah Jabodetabekjur, yang mana bertujuan untuk menganalisis
pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dalam analisis
kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur peneliti menggunakan model
analisis kebijakan publik menurut Dunn, meliputi merumuskan masalah,
peramalan, rekomendasi kebijakan, pemantauan kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan megapolitan Jabodetabekjur belum
dapat dilaksanakan secara terpadu. Hal ini karena belum ada penguatan kelembagaan
antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur untuk mendukung pembentukan kawasan
megapolitan, kemudian belum adanya badan yang ditunjuk untuk
mengkoordinasikan dan mengawasi kebijakan ini. Berdasarkan hasil penelitian,
peneliti memberikan saran yaitu kepada seluruh instansi terkait untuk
berpartisipasi dan berkoordinasi dalam mewujudkan kawasan megapolitan
Jabodetabekjur, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta
mendukung kebijakan ini.
ABSTRACT
Nurlita Amaniyah. 6661111919. Integrated Management Policy Analysis Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and Cianjur (Jabodetabekjur) as Megapolitan
region. Advisor I : Leo Agustino, Ph.D., and advisor II: Ipah Ema Jumiati, S.IP.,
M.Si.
Integrated management policy of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, and
Cianjur (Jabodetabekjur) is the establishment policy of megapolitan region. This
policy was made because many problems such as flood, population, transportation,
traffic jam, housing, and others which can not be solved by DKI Jakarta only, but
must be completed along with Bodetabekjur. The establishment of megapolitan
region aims to support DKI Jakarta position as capital city of nation and to
development equalization around Jakarta area. This policy was proposed by the
Committee 1 of Regional Representatives Council of Indonesia (DPD RI). The
research was conducted at General Secretariat of DPD and also in Jabodetabekjur
area, that aims to analyze the establishment of Jabodetabekjur megapolitan region.
The method used is descriptive with qualitative approach. To analyze integrated
management policy of Jabodetabekjur, the researcher used public policy analysis
model by Dunn, as follows formulating the problem, predicting, policy
recomendation, policy monitoring, and policy evaluation. The results showed that
the Jabodetabekjur megapolitan policy can not implement integrated. This situation
because two factors. First, there is no institutional reinforcement inter-governmental
in Jabodetabekjur to support the establishment of megapolitan region. Second, there
is no agency selected to coordinating and monitoring this policy. Based on the
results, the researchers suggest for all agencies to participate and coordinate in
realizing Jabodetabekjur megapolitan region, as well as provide an opportunity for
the public to participate and support the policy.
Keywords: Policy, Management, Integrated, Jabodetabekjur, Megapolitan.
ii
Alhamdulillahi Robbil’alamin. . . .
“fa idzaa’azamta fatawakkal’ alallah..!”
(“Jika kamu sudah berazzam/Bertekad bulat, maka Bertawakkallah pada
Allah..!”) (QS.3:159)
“ketika aku bersujud dan kupanjatkan doa pada waktu siang dan malam kepada
Allah untuk Kesejahteraan, Allah memberikanku bekal ilmu untuk menjalani
hidup. Ketika ku memohon untuk hilangnya rasa takut dalam diri ini, Allah
memberikanku cobaan untuk aku carikan solusi, ketika ku memohon cinta, Allah
memberikanku tenaga untuk menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Dan ketika aku meminta keberhasilan, Allah memberikanku ribuan kali kegagalan
untuk aku terus mencoba dan berusaha. Sungguh Allah yang maha mengetahui
apa yang kita butuhkan, maka berdoa dan bertawakallah. Terimakasih ya
Allah…”
Untuk mereka yang selalu menyayangiku, kupersembahkan
karya kecilku ini teruntuk Ayah dan Mamah yang ku sayangi...
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti untuk dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan
Cianjur (JABODETABEKJUR) Sebagai Kawasan Megapolitan”.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana Ilmu Sosial pada konsentrasi kebijakan publik program studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
Terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak yang telah membantu
secara moril maupun materil dalam melakukan penelitian untuk kelancaran
penyusunan skripsi ini, secara khusus untuk doa yang tiada terputus dari kedua
orang tua atas jerih payah yang tulus ikhlas dalam mendidik. Sehubungan dengan
hal itu maka peneliti juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S,Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
iv
4. Ibu Mia Dwiana, S.Sos., M.Ikom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Gandung Ismanto, S,Sos., M.M., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
7. Ibu Ipah Ema Jumiati, S.IP., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan banyak arahan dan masukan dalam penelitian ini.
8. Ibu Riny Handayani, M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Program Studi
Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
9. Bapak Leo Agustino, Ph.D., selaku Pembimbing I yang selalu
mengarahkan, memberikan masukan atau kritikan yang membangun,
memberikan semangat, dan motivasi kepada peneliti.
10. Kepada rekan-rekan Sekjen DPD RI yang telah memberikan izin kepada
peneliti untuk melakukan penelitian, khususnya Komite 1 DPD RI. Terima
kasih atas bantuannya, motivasinya dan pengalaman yang luar biasa
sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
v
11. Terima kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia untuk
diwawancara dan telah memberikan informasi serta data-data yang
dibutuhkan peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.
12. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan, teman-teman di kelas E
dan D, kemudian teman-teman ANE reguler ataupun non reguler angkatan
2011 yang telah mengajarkan banyak hal, berbagi pengalaman suka cita,
dan saling berbagi cerita semasa kuliah.
13. Terima kasih kepada kawan-kawan di HIMANE 2012 dan HIMANE 2013
yang telah memberikan pengalaman organisasi di dunia kampus serta
memberikan canda tawa dalam hidup peneliti.
14. Terima Kasih kepada kawan-kawan KKM 12 Desa Luwuk Kecamatan
Gunung Sari, Kabupaten Serang tahun 2014, yang pernah memberikan
warna dalam hidup peneliti.
15. Terima kasih untuk sahabat-sahabatku, teman-teman bermain, teman les,
teman diskusi, teman spesialku, adik tingkat, kakak tingkat dan semua
yang selalu memberikan support, semangat, doa dan motivasi kepada
peneliti. Thank you so much for all.
vi
Peneliti menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna sempurnanya skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya untuk peneliti.
Serang, September 2015
Peneliti
Nurlita Amaniyah
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN....................................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar belakang ............................................................................................1
1.2 Identifikasi masalah .................................................................................26
1.3 Pembatasan masalah.................................................................................28
1.4 Rumusan Masalah ....................................................................................29
1.5 Tujuan Penelitian .....................................................................................30
1.6 Manfaat Penelitian ...................................................................................30
1.7 Sistematika Penulisan...............................................................................32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN
ASUMSI DASAR ...........................................................................................38
2.1 Tinjauan Pustaka .......................................................................................38
2.1.1 Definisi Kebijakan Publik .................................................................38
2.1.2 Tahap-tahap Kebijakan Publik ..........................................................42
viii
2.2 Pengertian Analisis.....................................................................................43
2.3 Model Teori Analisis Kebijakan ..............................................................47
2.4 Awal Pembentukan DPD RI ....................................................................62
2.4.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD RI ...........................................64
2.4.2 Alat Kelengkapan DPD RI ................................................................65
2.5 Alasan Dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur .............................................................................67
2.6 Penelitian Terdahulu .................................................................................70
2.7 Kerangka Berfikir......................................................................................72
2.8 Asumsi Dasar Penelitian ...........................................................................75
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................76
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ...........................................................76
3.2 Fokus Penelitian ........................................................................................77
3.3 Lokasi Penelitian .......................................................................................78
3.4 Variabel Penelitian ....................................................................................79
3.4.1 Definisi Konsep.................................................................................79
3.4.2 Definisi Operasional..........................................................................80
3.5 Instrumen Penelitian..................................................................................81
3.6 Informan Penelitian ...................................................................................82
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data.......................................................85
3.8 Uji Keabsahan Data ...................................................................................96
3.9 Jadwal Penelitian .......................................................................................97
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................98
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ........................................................................98
4.1.1 Profil Provinsi Jawa Barat...............................................................107
ix
4.1.2 Profil DKI Jakarta ...........................................................................111
4.1.3 Profil Provinsi Banten .....................................................................112
4.1.4 Profil Komite I DPD RI ..................................................................113
4.1.5 Kebijakan Pengelolaan Terpadu Jabodetabekjur ............................116
4.2 Deskripsi Data ............................................................................................121
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ................................................................121
4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian.........................................................123
4.2.3 Analisis Data ...................................................................................125
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ...........................................................................126
4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur...................................................................................127
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................155
BAB V PENUTUP ..................................................................................................185
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................185
5.2 Saran.............................................................................................................187
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
1.1 Jumlah Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur .....................................22
2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan........................................................................46
3.1 Pedoman Wawancara .......................................................................................85
3.2 Informan Penelitian ..........................................................................................89
3.3 Jadwal Penelitian..............................................................................................97
4.1 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat ........................................................109
4.2 Daftar Anggota Komite I DPD RI .................................................................113
4.3 Daftar Informan..............................................................................................124
4.4 Perbandingan Kewenangan Provinsi, Kab/Kota ............................................156
4.5 Program Pembangunan Terintegrasi Di Jabodetabek ...................................158
4.6 Permasalahan Di Jabodetabek........................................................................160
4.7 Program Pembangunan Jaringan Kereta Api di Jabodetabek ........................176
xi
DAFTAR GAMBAR
1.1 Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur ................................13
2.1 Proses Analisis Kebijakanmenurut Dunn.......................................................45
2.2 Proses Dasar Analisis Kebijakan menurut Patton dan Savicky .....................57
2.3 Bagan Kerangka Berfikir ...............................................................................74
4.1 Sejarah perkembangan kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek .....120
4.2 Pola Perjalanan Harian di Wilayah Jabodetabek ........................................144
4.3 Kota-kota Baru di Jabodetabek tahun 2010 .................................................166
4.4 Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal Berbasis Jalan ........................175
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Izin Penelitian
2. Catatan Lapangan
3. Pedoman Wawancara
4. Member Check
5. Catatan Wawancara
6. Peta Administrasi Jabodetabekjur
7. Daftar Hadir Bimbingan Skripsi
8. Dokumentasi Foto Hasil Penelitian
9. Daftar Riwayat Hidup
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak era pasca-Soeharto dapat disebut sebagai kebangkitan kembali
gagasan desentralisasi. Gagasan tersebut menemukan signifikansinya seiring
melemahnya kekuasaan terhadap dengan tuntutan-tuntutan kepentingan
masyarakat. Sejak dimulainya otonomi daerah maka kewenangan tidak hanya
milik pemerintah pusat saja, melainkan pemerintah daerah juga memiliki
kewenangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, desentralisasi kekuasaan dilakukan melalui penyerahan
kepada pemerintah daerah wewenang atas seluruh bidang pemerintahan,
kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya digantikan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah secara lebih tegas dan rinci.
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, serta untuk memperkuat Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam rangka pembaharuan
konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)
1
2
membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI), yang bertujuan sebagai lembaga negara yang
menjembatani hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Pembentukan DPD RI dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan
November 2001.
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen yang
berlaku di Indonesia berubah dari sistem trikameral menjadi sistem bikameral
(www.dpd.go.id./halaman-profil 15 Maret 2014). Sistem bikameral adalah
sistem parlemen atau lembaga legislatif yang terdiri atas dua kamar. Dalam hal
ini DPD RI masuk sebagai kamar kedua. Dengan perubahan ini diharapkan ada
keterwakilan dari distrik-distrik untuk duduk di satu kamar dan ikut mengawasi
kinerja dari kamar yang lain dari pemerintah pusat. Kelebihan sistem bikameral
tidak hanya melihat dari adanya dua kamar dalam satu parlemen, akan tetapi
juga dilihat dari proses pembuatan Undang-Undang yang semakin baik dengan
mekanisme double check (Budiardjo, 2005 : 180).
Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap
pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI,
khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain
memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang
bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis,
dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain
khususnya di negara yang menganut paham demokrasi. Dalam proses
3
pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya
lembaga yang dapat mewakili kepentingan daerah, serta untuk menjaga
keseimbangan antardaerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan
serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar
kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal
terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan
tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan
yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan
ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi
ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur
Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai
untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut (www.dpd.go.id./halaman-profil
15 Maret 2014).
Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD
adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi
negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan
umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012,
MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang
dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945, sebagai halnya atau
4
bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD
berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD
1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga
pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa
ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas
kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945, baik
yang diminta maupun tidak.
Putusan MK tersebut telah mengubah paradigma proses pembuatan
undang-undang (law making process) yang semakin efisien. Dengan demikian,
khusus pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi mandat
konstitusi DPD hanya dilakukan tiga lembaga yaitu, DPR, Presiden, dam DPD.
Dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai instrumen
perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari hak/kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki
DPD. Berdasarkan putusan MK tersebut, telah ditetapkan penyusunan baru
dalam mekanisme prolegnas.
Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas
dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan
lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya
menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-
Undang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta
memberikan pertimbangan kepada DPR. Dengan adanya kewenangan untuk
5
mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan
RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3 tahun
2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii) Panitia
Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang Undang-Undang, (v)
Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat kelengkapan
lainnya disesuaikan.
Sehubungan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, DPD RI dibagi
dalam beberapa alat kelengkapan dan empat komite, yang masing-masing
memiliki peran dan bidang yang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti
memfokuskan pada Komite 1 DPD RI, yang menangani bidang sebagai berikut
: (i) Pemerintahan Daerah; (ii) Hubungan pusat dan daerah; (iii) Pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah (iv) Pemukiman dan kependudukan (v)
Pertahanan dan tata ruang; (vi) Politik, hukum, HAM, dan ketertiban umum;
(vii) Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara
(www.dpd.go.id/alatkelengkapan/komite-i 15 Oktober 2014). DPD RI berada
di bawah naungan Sekretariat Jendral (Sekjen) DPD RI, bersama dengan alat
kelengkapan, dan sekretariat.
Pada penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada Komite 1 yang
menangani bidang otonomi daerah, pemekaran dan penggabungan wilayah.
Sesuai dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tahun 2014 Komite 1
DPD RI membahas dua Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU
Pengadilan Agraria dan RUU Pengelolaan Terpadu Megapolitan Jakarta,
6
Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur). Dari dua
RUU yang tengah dibahas oleh DPD, dalam penelitian ini peneliti akan
membahas lebih dalam mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu
wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Alasan peneliti
mengambil topik mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nanti pembentukan
dari sebuah kawasan megapolitan yang diterapkan di Jabodetabekjur. Selain itu
pemilihan mengenai topik tersebut didukung dari data-data yang peneliti
dapatkan dari Komite 1 DPD RI. Sejak tahun 2012 Komite 1 DPD RI tengah
gencar mengadakan banyak kajian dan rapat kerja mengenai pembahasan RUU
tersebut hinga akhirnya peneliti tertarik untuk ikut mengangkat Pengelolaan
Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam penelitian
ini.
Perkembangan kota tidak terlepas karena di dalamnya terdapat pola
hubungan antar manusia dan kelompok manusia, munculnya ruang-ruang
produksi dan distribusi bahkan sampai arena konflik, kota dapat berkembang
secara mekanik dan organik sesuai dengan karakteristiknya (Laksono, 2013
dalam PRPW UI 2013 : 6). Salah satu konsep metropolitan yang muncul di
Indonesia adalah Jabodetabekjur dimana Jakarta menjadi kota inti terhadap
perluasan wilayah ke arah Bogor, Depok, Tangerang, Puncak dan Cianjur
(Bodetabekjur). Wilayah Jabodetabekjur yang merupakan pengembangan
Kawasan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) yang dibentuk
berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 13 tahun 1976
7
tentang Pengembangan Kawasan Jabotabek. Perkembangan fisik kawasan ini
sudah diperkirakan sejak penyusunan Rencana Induk Jakarta tahun 1965-1985.
Di dalam dokumen tersebut dijelaskan, bahwa apabila Jakarta dibangun
berdasarkan rencana induk, maka dalam waktu yang relatif singkat, daerah
terbangun bagian-bagian kota Jakarta akan melampaui batas administrasi
sehingga mempengaruhi wilayah sekitarnya.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang
tata ruang Jabodetabekpunjur bahwa pada lingkup wilayah fungsional, yang
terbagi atas tiga (3) wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota.
Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang terlingkupi
memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada pemerintah
provinsi, sementara untuk wilayah dua provinsi lainnya terletak pada
kabupaten dan kota. Hal ini membawa pada konsekuensi fungsi koordinasi
serta kewenangan yang berbeda. Menelaah dari Perpres No. 54 tahun 2008
mengenai tata ruang Jabodetabekjur dibutuhkan suatu penyatuan regulasi
terkait sebagai kawasan megapolitan.
Regulasi keterkaitan penyatuan wilayah Jabodetabekjur tersebut
dilahirkan sejalan dengan Undang-Undang lain, meliputi ; UU No. 23 Tahun
2006 tentang administrasi kependudukan, UU No. 18 Tahun 2008 tentang
pengelolaan sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan
tanah bagi kepentingan umum, UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dari Undang-undang tersebut ada keterkaitan dalam pembuatan kebijakan
8
Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur. Dalam
perkembangannya, wilayah Jakarta dan sekitarnya ternyata lebih cepat
dibandingkan dengan efektivitas regulasi yang mengaturnya. Hal ini
melahirkan kesenjangan antara obyek yang diatur dengan instrumen yang
mengaturnya. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur
(Jabodetabekjur) secara faktual sudah menjadi satu kesatuan wilayah
fungsional. Diantara faktor-faktor yang menyatukan wilayah Jabodetabekjur
sebagai kesatuan wilayah fungsional adalah jaringan transportasi yang
memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antarwilayah, dimana Daerah Kota
Istimewa (DKI) Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini
membawa implikasi bahwa jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan,
maka wilayah sekitar Jakarta berperan sebagai pusat pemukiman yang
bergantung penuh secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban
interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta (NA RUU
Jabodetabekjur, 2014 : 3).
Secara historis, keberadaan wilayah Jabodetabekjur sebenarnya bukan
hal baru. Bahkan, semua daerah dalam wilayah tersebut semula adalah bagian
dari provinsi yang sama, yakni Jawa Barat. Namun pada tahun 2000, Banten
mengalami pemekaran wilayah menjadi Provinsi, sehingga wilayah Tangerang
menjadi bagian dari Provinsi Banten. Dengan demikian, selain secara
fungsional merupakan satu kesatuan ekosistem, Jabodetabekjur secara
administrasi sesungguhnya berawal dari satu kesatuan wilayah administrasi.
Oleh karena itu, secara pengelolaan, Jabodetabekjur memerlukan kebijakan
9
yang harmonis dan sinkron untuk mengatasi permasalahan di wilayahnya yang
dapat mengakomodasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional
(Sekretariat Komite 1 DPD RI, 2014).
Jabodetabekjur adalah sebuah kawasan yang merupakan gabungan
beberapa wilayah kota/kabupaten wilayah yang jaraknya dekat dengan Ibukota
Jakarta yakni, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Kawasan
Jabodetabekjur dikenal sebagai kawasan 3-O , yakni One Commnunity, One
Interest, One Center. Kawasan ini tidak hanya menyedot perhatian masyarakat
namun ternyata terjadi banyak permasalahan di dalamnya (RDPU Komite 1
DPD RI, 21 Januari 2014).
Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang, kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan
megapolitan, yakni kawasan yang terbentuk dari dua (2) atau lebih kawasan
metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah
sistem. Kawasan metropolitan dalam UU tersebut didefinisikan sebagai
kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri
sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya
yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem
jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara
keseluruhan sekurang-kurangnya satu juta (1.000.000) jiwa.
Sehubungan dengan dibentuknya kawasan megapolitan, terdapat
beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Menurut UU No 29
tahun 2007 tentang Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan
10
Republik Indonesia dan terletak di posisi hilir Daerah Aliran Sungai (DAS).
Sementara wilayah hulu DAS di Bogor dan Cianjur merupakan kawasan
lindung yang memiliki fungsi perlindungan terhadap wilayah yang terletak
dibawahnya termasuk terhadap DKI Jakarta. Oleh karena itu, kedudukan DKI
Jakarta dan wilayah sekitarnya sangat vital untuk diatur agar fungsi masing-
masing wilayah dapat terlaksana secara optimal dan sinergis.
Memandang Jabodetabekjur sebagai sebuah megapolitan, terdapat
perbedaan pandangan antara pemerintah daerah Provinsi di Jabodetabekjur.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memandang bahwa permasalahan di
Jabodetabekjur bersumber dari fungsi pelayanan wilayah sekitar terhadap DKI
Jakarta. Sehubungan dengan itu, Provinsi Jawa Barat memandang perlu
melakukan terobosan diantaranya dengan mengkonsep Twin Metropolitan
Jakarta dan Bodebek Karpur (Bogor-Depok-Bekasi-Karawang-Purwakarta)
yang berkembang secara mandiri. Sementara itu, Provinsi Banten
mengharapkan adanya pertumbuhan wilayah Tangerang yang mandiri dengan
pemukiman yang sukses, artinya kota yang mandiri disertai tumbuhnya
peluang usaha dan bekerja dan hidup yang layak sehingga tidak tergantung
pada DKI Jakarta.
Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh
Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di
Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum
MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya
dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin
11
(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola
permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten
masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan Ali
Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di
rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi
wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Namun,
hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo
(Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan (Aher),
program tersebut masih belum dapat dilaksanakan secara optimal (FGD, 18
Februari 2014).
Pemerintah telah menetapkan tujuan penataan ruang kawasan strategis
ini, yakni untuk: (i) mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang
antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan
memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan; (ii) mewujudkan
daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan,
untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin
tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir, dan (iii)
mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien
berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat
yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mencapai
tujuan ini, maka kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah
mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang kawasan dalam
12
rangka keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian
lingkungan hidup (PRPW UI, 2013 : 8).
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak,
dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) telah mengharmoniskan tata ruang
Jabodetabekjur, namun belum efektif meminimalisir masalah lingkungan dan
mengharmoniskan perkembangan permukiman yang tumbuh dengan pesat
karena Perpres tersebut belum diterapkan secara konsisten dan akurat (PRPW
UI, 2013). Untuk itu alasan dibentuknya kebijakan Pengelolaan Terpadu
Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang bertujuan untuk memperkuat DKI
Jakarta sebagai Ibukota Negara, mewujudkan keterpaduan dalam
penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai suatu kesatuan wilayah
perencanaan, pemerataan pembangunan, dan mewujudkan keterpaduan dalam
peningkatan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan
kawasan (NA RUU Jabodetabekjur).
Berdasarkan uraian di atas, terdapat akar permasalahan yang sangat
fundamental, yaitu substansi permasalahan Jabodetabekjur menyebar dalam
wilayah fungsional, sedangkan kewenangan otonomi pemerintah daerah dalam
wilayah Jabodetabekjur terdistribusi dalam wilayah administratif berbeda yang
memiliki perbedaan derajat kewenangan otonomi daerah (Gambar 1.1).
13
Gambar 1.1. Model Akar Permasalahan di Kawasan Jabodetabekjur
Berdasarkan dari Gambar 1.1 di atas bahwa sampai saat ini pengelolaan
Jabodetabekjur masih sulit untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
Kesulitan penerapan ini dikarenakan keunikan dan kompleksitas kawasan ini
dibandingkan kawasan sejenis di Indonesia. Keunikan kawasan Jabodetabekjur
ini utamanya karena adanya Jakarta sebagai Ibukota negara, wilayah
Jabodetabekjur mencakup tiga (3) provinsi, mencakup pusat perekonomian dan
pusat politik, serta berada dalam satu sistem daerah aliran sungai
(Nurlambang, 2014 dalam NA RUU Jabodetabejur 2014 : 6).
Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan pada tahun 2014,
beberapa permasalahan diantaranya mengenai masalah (i) transportasi dan
jalan, (ii) pemukiman dan lingkungan, (iii) banjir, (iv) urbanisasi dan
ketimpangan sumber daya manusia, (v) kependudukan dan lainnya. Sejauh ini
kita mengetahui bahwa kawasan Jabodetabekjur sangat akrab dengan
permasalahan banjir dan kemacetan. Tidak hanya itu, menurut Najmulmunir,
(narasumber dalam pembentukan program terpadu wilayah Jabodetabekjur)
14
dalam rapat internal dengan anggota Komite 1 DPD RI pada 27 Januari 2014,
menyatakan bahwa akar masalah di Jabodetabekjur meliputi beberapa hal yaitu
sebagai berikut; (i) wilayah Bodetabekjur sebagai basis pemukiman yang
sangat luas menghindari kawasan kumuh, (ii) angka pertumbuhan penduduk
yang tinggi disebabkan angka migrasi yang menimbulkan rasio penduduk
dengan pelayanan dasar sangat terbatas, (iii) ketidakserasian dalam
pembangunan jalan sering menimbulkan gangguan lalu lintas, dan buruknya
kondisi jalan, (iv) benturan kepentingan antara kawasan resapan dan
penyimpangan air dan kawasan pemukiman, sehingga menimbulkan genangan
air dan banjir ketika musim penghujan tiba, (v) pergerakan orang, barang, dan
jasa antara Bodetabekjur dengan Jakarta sangat lamban dan mahal yang
disebabkan oleh kemacetan.
Menurut Sori (dalam FGD 18 Februari 2014) Wilayah Jabodetabekjur
merupakan wilayah yang sangat cepat berkembang dan sudah menjadi satu
kesatuan wilayah fungsional. Diantara faktor-faktor yang mempersatukan
Jabodetabekjur sebagai kesatuan fungsional, yakni (i) Jaringan transportasi
yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi antar wilayah, dimana DKI
Jakarta berfungsi sebagai pusat pertumbuhannya. Hal ini membawa implikasi
jika DKI Jakarta berperan sebagai pusat kegiatan, maka wilayah sekitar Jakarta
berperan sebagai pusat pemukiman yang bergantung penuh secara sosial
ekonomi pada Jakarta, serta menambah beban interaksi harian antar kota-kota
baru tersebut dan Jakarta, (ii) Jaringan sungai yang mengintegrasikan
ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung-Cisadane, yang terbagi atas
15
wilayah hulu yang terletak wilayah Bogor dan Depok, serta Wilayah hilir yang
meliputi Jakarta, Tangerang dan Bekasi.
Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara,
Jakarta memegang posisi sangat penting dalam hal politik, ekonomi, dan
perdagangan. Kemacetan di Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta tidak
dapat dihindari, terutama pada titik-titik persimpangan baik di jalan-jalan
protokol hingga di jalan lingkungan. Semakin hari, kemacetan di Jakarta
semakin parah. Sistem transportasi yang buruk di sebagian besar wilayah
Jakarta telah menimbulkan kemacetan sangat parah. Kerugian akibat macet
dari perhitungan kemacetan menyebabkan waktu yang terbuang percuma (nilai
waktu), biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan.
Berdasarkan data dari Yayasan Pelangi, kemacetan lalu lintas
berkepanjangan di Jakarta menyebabkan pemborosan senilai Rp 8,3 triliun per
tahun. Data yang sama diungkapkan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
(MTI) Bambang Susantono, mengacu pada kajian Study on Integrated
Transportation Master Plan for Jabodetabek (SITRAMP 2004). Perhitungan itu
mencakup tiga aspek sebagai konsekuensi kemacetan, yakni pemborosan BBM
akibat biaya operasional kendaraan senilai Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu
yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara
sebesar Rp 2,8 triliun. Angka kerugian akan terus meningkat secara gradual
seiring kemacetan lalu-lintas yang semakin parah di Jakarta. Peningkatan
penggunaan kendaraan bermotor menjadi pemicu utama problem kemacetan di
Jakarta. Bahkan, hingga saat ini tercatat jumlah kendaraan bermotor sudah
16
mencapai 6,5 juta unit, di mana 6,4 juta unit atau 98,6 persen merupakan
kendaraan pribadi dan 88.477 unit atau sekitar 1,4 persen adalah angkutan
umum, dengan pertumbuhan kendaraan mencapai 11 persen setiap tahunnya.
Sedangkan panjang jalan yang ada 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2%
dari luas wilayah DKI, dengan pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per
tahun. Dari angka itu jelas pertumbuhan jalan tidak mampu mengejar
pertumbuhan kendaraan, sehingga mengakibatkan kemacetan
(http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=5
4 15 Februari 2015).
Berdasarkan data yang peneliti dapatkan dari Focus Group Discussion (
18 dan 19 Februari 2014) mengenai pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur dengan Komite 1 DPD RI dengan Kepala Daerah se-
Jabodetabekjur, permasalahan kemacetan di Jakarta saat ini disebabkan oleh
volume kendaraan di jalur Tol Merak - Tol Kota Jakarta semakin meningkat.
Data tahun 2012 menunjukan bahwa kendaraan yang melewati tol Merak
sebanyak 3.500 kendaraan dengan penumpang 25.000 orang perhari. Selain itu,
pertumbuhan kendaraan pribadi di DKI sangat tinggi, sekitar 98,5%, belum
termasuk pertumbuhan kendaraan angkutan umum. Kerugian kemacetan yang
harus ditanggung masyarakat sekitar Rp. 35triliun/tahun (FGD 18 Februari
2014).
Selain itu, dari observasi yang peneliti lakukan pada bulan Februari
2014 salah satu penumpang Busway yang peneliti temui di halte koridor IX
jurusan Pinang Ranti-Pluit, mengatakan bahwa saat ini jarak tempuh
17
masyarakat untuk sampai ke tempat kerja di salah satu Bank Swasta di daerah
Slipi Jakarta Barat hingga kurang lebih dua sampai tiga jam. Padahal bila pada
waktu normal jarak tempuhnya hanya 45 menit - 50 menit. Dari permasalahan
ini tentu tidaklah efisien dan menurunkan semangat kerja akibat kelelahan
dalam perjalanan.
Permasalahan kemacetan juga mengakibatkan laju pergerakan barang
dan jasa menuju Pelabuhan Tanjung Priok juga memakan waktu yang tak jauh
berbeda yakni dua sampai tiga jam yang semestinya hanya satu jam saja.
Kemacetan yang terjadi tidak hanya di Jakarta. Namun sama halnya dengan
daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jakarta sebagai pusat
perdagangan barang dan jasa menjadi magnet bagi warga di wilayah Bodetabek
untuk bekerja di Jakarta sehingga lalu lintas di Bodetabek menuju Jakarta
setiap harinya selalu macet, terutama di jam-jam kerja (PRPW UI 2013 : 27).
Salah satu pegawai Staf Rapat di Sekretariat Komite 1 DPD RI, Wahyu Taufik
mengungkapkan kepada peneliti pada februari 2014 bahwa jarak rumahnya di
bilangan Depok untuk sampai ke kantor di Senayan waktu tempuh yang
seharusnya hanya sekitar satu jam mencapai dua jam perjalanan meskipun
sudah melalui jalan bebas hambatan tetapi tetap tidak dapat menghindari
kemacetan.
Permasalahan lainnya selain kemacetan adalah banjir. Problematika Ibu
Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan adalah banjir. Banjir yang
cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta, yakni pada tahun 2007 dan
2013. Banjir Jakarta tahun lalu menggenangi 500 RT, 203 RW, 44 Kelurahan,
18
yang tersebar di 31 Kecamatan. Jumlah penduduk yang terendam 97.608 KK
atau 248.868 jiwa, pengungsi 18.018 jiwa. Kerugian banjir Jakarta 2007
diperkirakan Rp. 7,3 triliun, sedangkan kerugian banjir tahun 2013 sekitar Rp.
20 triliun. Problematika lainnya, menurut Sofwan Hadi (dalam Dongoran,
2013), hasil pengukuran tahun 1925-2003, permukaan air laut Jakarta selalu
naik rata-rata 0,5 cm setiap tahunnya, sebaliknya laju penurunan muka tanah
Jakarta mencapai 5 cm – 12 cm setiap tahun di sejumlah titik tertentu (FGD, 19
Februari 2014).
Pada awal tahun 2015 ini, wilayah Jakarta kembali terkena banjir.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta telah mendata
korban meninggal akibat banjir yang terjadi di Jakarta dari tanggal 8 sampai 11
Februari 2015. Dari data sementara tersebut, tercatat tiga warga Jakarta Utara
dan satu warga Jakarta Pusat yang menjadi korban meninggal akibat banjir.
Jumlah warga yang terkena dampak banjir di Jakarta mencapai 6.569 jiwa.
Jumlah warga yang mengungsi sejumlah 815 jiwa. BPBD telah menyiapkan
beberapa lokasi pengungsian yang tersebar di beberapa tempat. Lokasi yang
digunakan sebagai tempat pengungsian beragam, seperti kantor kelurahan,
rumah sakit terdekat, bangunan sekolah, sampai pos RW dijadikan sebagai
tempat pengungsian untuk para korban bencana banjir
(http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/13/1604443/Tiga.Warga.Jakarta
.Meninggal.Selama.Empat.Hari.Banjir 13 Februari 2015).
19
Banjir kerap kali datang ketika musim penghujan datang. Banjir di
Jakarta selalu rutin selalu datang setiap tahunnya. Banjir tidak hanya
merendam hampir setiap pemukiman warga, melainkan hingga menelan korban
jiwa. Dari data yang peneliti dapatkan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta
(dalam PRPW UI 2013), selama terjadi maupun pascabanjir awal tahun 2014
lalu, setidaknya tercatat 40.360 orang terserang penyakit, serta 15 orang
meninggal dunia di DKI Jakarta yang diakibatkan bencana banjir. Banjir yang
datang dinilai sebagai ulah dari masyarakatnya itu sendiri. Masyarakat Jakarta
dinilai kurang memahami bahaya kuman terhadap kesehatan keluarga dan
seluruh lapisan masyarakat. Salah satu contohnya, masih kerap kali ditemui ada
masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Kebiasaan buruk ini tidak
hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan lingkungan. Banjir yang
datang setiap tahunnya harus segera diminimalisir agar tidak terlalu banyak
mengalami kerugian.
Permasalahan banjir ini tidak hanya merendam wilayah DKI Jakarta,
melainkan wilayah Bodetabekjur juga terkena imbasnya. Banjir di wilayah
Jabodetabekjur disebabkan oleh meluapnya air di sungai Ciliwung yang
panjangnya terbentang dari Bogor hingga Tangerang. Hulu sungai Ciliwung
berada di Bogor dan hilirnya berada di Tangerang yakni Kali Cisadane.
Menurut Plt. Gubernur Provinsi Banten, Bapak Rano menjelaskan, banjir yang
terjadi di wilayah Tangerang akibat dari meluapkan air dari kali Cisadane yang
merupakan hilir dari sungai Ciliwung (FGD 18 Februari 2014).
20
Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar DKI Jakarta akibat
migrasi, serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan
perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian ke fungsi non pertanian, yang selanjutnya menimbulkan dampak
turunan berupa erosi, sedimentasi sungai, pencemaran, yang semuanya
berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan
infrastruktur (FGD 18-19 Feb 2014).
Seperti diketahui, Jakarta merupakan daerah yang dilewati oleh tiga
belas aliran sungai, namun karena adanya penggabungan sungai-sungai tertentu
maka sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta berjumlah sepuluh sungai. Tiga
belas sungai tersebut yaitu Kali Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan,
Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Cipinang, Kali
Sunter, Kali Baru Timur, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.
Sedangkan dua (2) kanal besar yang ada yaitu Kanal Banjir Barat dan Kanal
Banjir Timur. Aliran air yang melewati wilayah ini yang mana apabila tidak
ditata kelola dengan baik akan mengakibatkan permasalahan seperti halnya
banjir di kawasan hilir sungai (PRPW UI 2013 : 21).
Dalam Penelitiannya, Susandi (2014) menguraikan beberapa
permasalahan di wilayah Jabodetabekjur yakni; Jakarta dan sekitarnya
akan terkena dampak perubahan iklim sangat besar dan merupakan
salah satu wilayah paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di
Asia Tenggara (EEPSEA, 2009 dalam Susandi, 2014). Dikatakan bahwa
bencana terkait iklim yang berpotensi terjadi di wilayah Jakarta
diantaranya adalah banjir, kenaikan muka laut, dan defisit cadangan air
tanah. Potensi kebencanaan iklim terlihat dalam koridor Sungai
Ciliwung, mulai dari wilayah Selatan hingga Utara Jakarta. Secara
umum dampak perubahan iklim yang dapat terjadi di Jakarta adalah
21
sebagai berikut: (i) Peningkatan temperatur rata-rata pada tahun 2035 di
Jakarta mencapai 2oC, di Depok mencapai 1,3 oC dan di Bogor
mencapai 2,5o C.; (ii) Peningkatan curah hujan rata-rata pada tahun
2035 di Jakarta mencapai 40mm, di Depok mencapai 100 mm dan di
Bogor mencapai 200 mm. (iii) Wilayah yang diprediksi akan terendam
pada tahun 2020 seluas 6,6 km2, sedangkan pada tahun 2035 potensi
wilayah yang terendam meningkat menjadi 62,3 km2. Sementara itu
kapasitas adaptif (adaptive capacity) masyarakat Jakarta
diperkirakan70,4%, Depok 62,6%, Bogor 50,2%. Kapasitas adaptif
didefinsikan sebagai kemampuan masyarakat beradaptasi pada
perubahan yang terjadi. Dampak bencana iklim diperkirakan akan
meningkatkan intensitas permasalahan wilayah Jakarta dan sekitarnya di
kemudian hari (Susandi, dalam NA RUU Jabodetabekjur 2014 : 8).
Kemudian permasalahan lainnya yaitu kepadatan penduduk yang
terpusat di Jakarta. Permasalahan ini tentu akan menimbulkan efek domino bila
tidak segera diatasi. Kepadatan penduduk di Jakarta disebabkan salah satunya
dengan banyaknya penduduk yang berasa dari luar daerah Jakarta yang bekerja
dan menggantungkan harapan ekonominya di Jakarta. Setiap tahunnya
perumbuhan penduduk Jakarta semakin mengalami peningkatan dan
mengalami kepadatan pertumbuhan penduduk serta mobilitas penduduk di
Jakarta diakibatkan karena Jakarta menjadi pusat dari kegiatan ekonomi dan
pertukaran barang dan jasa yang menyedot perhatian masyarakat di sekitar
wilayah Bodetabekjur untuk datang dan bekerja di Jakarta. Kawasan
Jabodetabek secara keseluruhan memiliki jumlah penduduk sebesar 31.681.555
jiwa (PRPW UI,2013 : 23). Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
mencapai 1,03 % sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk kabupaten atau
kota di Bodetabekjur rata-rata hampir 2,80% (Tabel 1.1).
22
Tabel 1.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jabodetabekjur
Kabupaten/Kota
Jumlah
Penduduk
2012
Jumlah
Penduduk
2011
Laju
Pertumbuhan
Jakarta Utara 1.715.564 1.697.871 1,04
Jakarta Barat 2.395.130 2.362.656 1,37
Jakarta Pusat 908.829 906.752 0,23
Jakarta Timur 2.801.784 2.775.956 0.93
Jakarta Selatan 2.148.261 2.126.833 1,01
Kepulauan Seribu 22.220 21.875 1,58
Kabupaten Bogor 5.077.210 4.922.205 3,15
Kota Bogor 987.448 967.398 2,07
Kota Depok 1.898.567 1.769.787 7,28
Kabupaten Bekasi 2.786.638 2.677.631 4,07
Kota Bekasi 2.334.142 2.447.930 -4,85
Kabupaten Cianjur 2.231.107 2.169.984 2,82
Kabupaten Tangerang 3.050.929 2.928.200 4,19
Kota Tangerang 1.918.556 1869791 2,61
Kota Tangerang Selatan 1.405.170 1.355.926 3,63
Sumber: BPS, 2013 (dalam PRPW UI 2013 : 23)
Berdasarkan tabel 1.1 di atas, terlihat pertumbuhan penduduk dan
mobilitas warga yang tinggi namun tidak diimbangi dengan penyediaan sarana
dan prasarana transportasi yang memadai. Menurut Dinas Perhubungan DKI
Jakarta (dalam PRPW UI,2013), laju pertambahan jalan di Jabodetabek hanya
0,01% per tahun, sedangkan laju pertambahan kendaraan mencapai 11% per
tahun.
Permasalahan yang banyak terjadi di wilayah Jabodetabekjur, Komite
1 DPD RI akan mengkaji lebih dalam mengenai pembentukan kawasan
megapolitan di Jabodetabekjur. Telah kita ketahui bahwa Jabodetabekjur
23
sebagai salah satu kawasan di Indonesia yang memenuhi kriteria sebagai
kawasan megapolitan.
Sehubungan dengan pembuatan Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur yang merupakan salah satu program
kerja dari Komite 1 DPD RI, maka Komite 1 DPD RI akan mengkaji lebih
dalam dan mengusungkan kebijakan ini untuk dibentuk sebagai RUU dan
menjadikan sebagai UU yang sah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Untuk mengoptimalkan kebijakan ini menjadi sebuah RUU Kawasan
Megapolitan Jabodetabekjur ini Komite 1 membentuk Tim Kerja (Timja).
Timja dibentuk mengingat banyak RUU dan permasalahan lain yang tengah
dibahas di Komite 1, seperti RUU pengadilan Agraria dan penyusunan Daerah
Otonom Baru (DOB). Untuk itu peneliti ingin mengkaji lebih dalam,
mengetahui dan menganalisis bagaimana Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur. Selain dibentuknya Timja, Komite 1 DPD RI
mengundang orang-orang yang ahli dan kompeten di bidang pembangunan dan
penataan kota sebagai narasumber dalam pembuatan RUU tersebut untuk
membentuk sebuah kawasan megapolitan.
Selain mengundang narasumber, permasalahan yang telah diuraikan
diatas telah direspon melalui beberapa prinsip yang disepakati oleh Komite 1
DPD RI, perwakilan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten/Kota di
kawasan Jabodetabekjur (kecuali Kota Depok yang berhalangan hadir) dalam
Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan DPD RI pada tanggal
18 Februari 2014 yang menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu:
24
1. FGD menyepakati untuk memperkuat kerjasama antara DPD RI
khususnya Komite I sebagai alat kelengkapan DPD RI yang
membidangi otonomi daerah dengan Pemerintah Daerah Provinsi
DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kota
Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Cianjur.
2. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada point 1 merupakan kerjasama
yang diarahkan untuk memberikan perbaikan bagi percepatan
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan daerah sebagaimana tujuan bangsa Indonesia.
3. FGD tersebut menyepakati untuk melakukan diskusi lebih lanjut dan
mendalam di kemudian hari terkait inisiatif DPD RI untuk menyusun
RUU Jabodetabekjur sebagai upaya menata dan memperkuat
pengelolaan kawasan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik
Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta mengantisipasi
timbulnya dampak negatif pembangunan.
4. Seluruh pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam FGD tersebut
merupakan pijakan utama dalam rangka penyempurnaan kebijakan
penataan Ibukota Negara beserta kawasan megapolitan yang terus
berkembang pesat dewasa ini.
5. FGD tersebut menyepakati untuk memperkuat kelembagaan
koordinasi antar daerah yang saat ini telah berjalan serta upaya untuk
mencari solusi atas tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan
25
beberapa kawasan strategis di wilayah Jabodetabekjur.
Begitu juga kesepakatan telah dicapai dalam FGD yang
diselenggarakan DPD RI pada tanggal 19 Februari 2014 antara Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian PPN/BAPPENAS, Kementerian Keuangan,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian
Lingkungan Hidup RI, dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional RI: "FGD
tersebut (19 Februari 2014) menyepakati Komite 1 DPD RI untuk melakukan
kajian secara mendalam dan menyeluruh termasuk berbagai peraturan
perundang-undangan terkait dengan inisiatif DPD RI untuk menghasilkan
kesimpulan Naskah Akademis RUU Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur
sebagai upaya untuk menata dan memperkuat pengelolaan DKI Jakarta sebagai
Ibu Kota Negara Republik Indonesia beserta kawasan sekitarnya serta
mengantisipasi timbulnya dampak negatif pembangunan".
Undang-Undang pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan ini penting karena menyangkut pengaruh sangat penting
secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan dan memiliki masalah mendasar
pada lintas wilayah provinsi dan lintas kabupaten kota.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui
lebih dalam dan menganalisis kebijakan pengelolaan terpadu kawasan
megapolitan. Untuk mengetahui terkait teori dan metode dalam Analisis
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan
26
megapolitan ini akan di bahas pada bab selanjutnya.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah peneliti ungkapkan dalam latar belakang
masalah, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa masalah-masalah mengenai
permasalahan di Jabodetabekjur. Seperti telah kita ketahui di atas permasalahan
di Jabodetabekjur sebagian besar dari adanya ketimpangan-ketimpangan atas
pembangunan di Jakarta dengan wilayah sekitar Jakarta. Akibat dari mobilitas
dan urbanisasi sehingga banyak menimbulkan problematika di Jakarta, sebut
saja kemacetan. Ketika kita memasuki wilayah Jakarta tentu tak asing lagi
dengan kemacetan. Deretan panjang kendaraan akan terus bertambah di
sepanjang jalan, sehingga membuat laju kendaraan sangat lamban dan waktu
tempuh semakin lama. Angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga
yang tinggi tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana
transportasi yang memadai sehingga menyebabkan kemacetan di jam-jam
tertentu. Jakarta merupakan pusat dari kegiatan ekonomi yang banyak
menyedot perhatian masyarakat di sekitaran wila yah Bodetabekjur. Selain
masalah kemacetan, yakni masalah lainnya adalah pertumbuhan penduduk
yang tinggal di sekitaran wilayah Jakarta. Akibat dari bertambahnya jumlah
dan mobilitas penduduk, sumber daya air pun ikut mulai mengalami defisit.
Problematika Ibu Kota lainnya yang dapat mengakibatkan kemacetan
adalah banjir. Banjir yang cukup besar sudah dua kali melanda DKI Jakarta,
yakni pada tahun 2007 dan 2013 (FGD 19 Februari 2014), dan pada awal tahun
27
2015 ini Jakarta kembali dilanda banjir besar.
Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
pembangunan di wilayah perbatasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek). Hingga Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko
Widodo (Jokowi), Provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan
(Aher), dan Banten dipimpin oleh Ratu Atut Chosiyah, program tersebut masih
belum optimal. Artinya kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah dan
lembaga lainnya akibat dari adanya perbedaan derajat otonomi daerah.
Oleh karena itu, dalam pembuatan kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini harus adanya kerja
sama dan harmonisasi seluruh elemen, baik dari pemerintah maupun
masyarakat dan lembaga kementerian terkait. Kerja sama ini bertujuan untuk
mengoptimalkan pembangunan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur. Selain
itu bertujuan untuk menguatkan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Dalam
hal ini harus adanya kesesuaian dan harmonisasi dari Pemprov DKI Jakarta,
Jabar dan Banten dalam membentuk sebuah kawasan megapolitan.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, menandakan bahwa
banyak permasalahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang diakibatkan
kurangnya koordinasi dari para stakeholder. Untuk membuat sebuah kawasan
megapolitan di Jabodetabekjur dibutuhkan kerja sama dari seluruh elemen
pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini Komite 1 DPD RI sebagai lembaga
legislatif yang mengkaji lebih dalam permasalahan di Jabodetabekjur, dan
28
membuat RUU Kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Dengan berbagai
permasalah pelik yang terdapat dalam latar belakang masalah, peniliti dapat
mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Kurangnya koordinasi antar pemerintah Provinsi, kabupaten/kota di
wilayah Jabodetabekjur
2. Ketimpangan pembangunan di Jakarta dengan wilayah Bodetabekjur
3. Jakarta sebagai pusat dari kegiatan ekonomi
4. Belum adanya penyatuan Jabodetabekjur sebagai satu regulasi dari
kementerian/badan yang di tunjuk
5. Kemacetan dan pengelolaan transportasi umum
6. Banjir dan degradasi kualitas lingkungan hidup
7. Urbanisasi dan ketimpangan sumber daya manusia
1.3 Pembatasan Masalah
Dengan munculnya masalah-masalah di wilayah Jabodetabekjur
sebagaimana dikemukakan di atas, membuat peneliti tertarik untuk
menganalisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur. Akan
tetapi mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka tidak
mungkin untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan dilatar
belakang masalah. Oleh karena itu peneliti membatasi pengkajian ini pada
beberapa masalah, yakni:
1. Sejauh mana pengkajian Komite 1 DPD RI dalam pengambilan
keputusan untuk mengatasi permasalahan di Jabodetabekjur, meliputi
kebijakan apa yang telah atau akan dibuat, kemudian solusi dan
29
gagasan apa yang ditawarkan dalam pembentukan kawasan
Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.
2. Bagaimana kerjasama antar lembaga Kementerian dan pemerintah
daerah dengan DPD RI di wilayah Jabodetabekjur dalam pembentukan
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur,
dan apakah terjadi ketimpangan atau ketidakharmonisan antara DPD RI
dengan pemerintah daerah Jabar, DKI Jakarta dan Banten dalam proses
pembuatan pembentukan kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan
Megapolitan.
3. Bagaimana tahapan-tahapan yang dibuat oleh Komite 1 DPD RI dengan
dalam pembuatan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan Megapolitan.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah dan identifikasi masalah yang telah
peneliti buat, maka masalah penelitian ini penulis rumuskan sebagai berikut,
Bagaimana Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan
Megapolitan?
30
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujun untuk mengetahui lebih dalam dan menganalisis
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Cianjur (Jabodetabekjur) sebagai kawasan Megapolitan. Selain itu
penelitian ini diajukan sebagai salah satu tugas akhir dan syarat untuk
memperoleh gelar sarjana ilmu sosial pada konsentrasi kebijakan publik,
program studi ilmu administrasi negara.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang dapat
memberikan kemanfaatan sebagai berikut:
a. Secara Teoritik
Secara teoritik penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam pengembangan Ilmu
Administrasi Negara khususnya dalam teori-teori kebijakan publik,
analisis kebijakan publik, menejemen strategi, pembangunan kota,
ilmu politik ataupun pengambilan keputusan dalam organisasi
publik. Sehingga ada keterbukaan informasi kepada publik
khususnya para mahasiswa ilmu administrasi Negara mengenai
tugas dan wewenang dari DPD RI. Dari keterbukaan infomasi
tersebut, publik pun akan dapat menilai bagaimana kinerja dari
DPD RI sendiri khususnya Komite 1.
31
b. Secara Praktisi
Secara praktisi penelitian ini diharapkan dapat memperluas
pengetahuan mengenai peran dan fungsi DPD RI khususnya Komite
1 sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi
legislatif dan memiliki kewenangan berperan untuk ikut serta dalam
membentuk kawasan megapolitan di Indonesia. dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, Jabar dan
Banten. Manfaat penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai
informasi, referensi, atau sebagai bahan tambahan dalam pengkajian
pembentukan sebuah kawasan megapolitan di Indonesia bagi
pembaca dan mahasiswa Ilmu administrasi negara dan pada
penelitian selanjutnya.
32
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah menjelaskan mengapa peneliti
mengambil judul penelitian tersebut, juga menggambarkan
ruang lingkup dan kedudukan masalah yang akan diteliti yang
tentunya relevan dengan judul yang diambil. Materi dari uraian
ini, dapat bersumber dari hasil penelitian yang sudah ada
sebelumnya, hasil seminar ilmiah, hasil pengamatan,
pengalaman pribadi, dan intuisi logik. Latar belakang timbulnya
masalah perlu diuraikan secara jelas, faktual dan logik.
1.2 Identifikasi Masalah
Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari
judul penelitian atau dengan masalah atau variable yang akan
diteliti. Identifikasi masalah biasanya dilakukan pada studi
pendahuluan pada objek yang diteliti, observasi dan wawancara
ke berbagai sumber sehingga semua permasalahan dapat
diidentifikasi.
1.3 Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
Menetapkan masalah yang paling penting dan berkaitan dengan
judul penelitian. Kalimat yang biasa dipakai dalam pembatasan
masalah ini adalah kalimat pernyataan. Perumusan masalah
33
adalah mendefinisikan permasalahan yang telah ditetapkan
dalam bentuk definisi konsep dan definisi operasional.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin
dicapai dengan dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah
yang telah dirumuskan.Isi dan rumusan tujuan penelitian sejalan
dengan isi dan rumusan masalah.
1.5 Manfaat Penelitian
Menggambarkan tentang manfaat penelitian baik secara praktis
maupun teoritis.
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan
variable penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan
rapi yang digunakan untuk merumuskan masalah.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari
berbagai sumber ilmiah, seperti skripsi, tesis, jurnal ataupun
desertasi.
34
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir menggambarkan alur pikiran penelitian
sebagai kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan
penjelasan kepada pembaca.
2.4 Asumsi Dasar Penelitian
Menyajikan prediksi penelitian yang akan dihasilkan sebagai
hipotesa kerja yang mendasari penulisan sebagai landasan awal
penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Sub bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam
penelitian
3.2 Instrumen Penelitian
Sub bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis
alat pengumpul data yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif
instrumennya adalah peneliti itu sendiri.
3.3 Penentuan Informan
Sub bab ini menjelaskan tentang orang yang dijadikan sumber
untuk mendapatkan data dan sumber yang diperlukan dalam
penelitian. Dapat diperoleh dari kunjungan lapangan yang
dilakukan di lokasi penelitian, dipilih secara purposive dan
bersifat snowball sampling.
35
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Menguraikan teknik pengumpulan data hasil penelitian dan cara
menganalisis yang telah diolah dengan menggunakan teknik
pengolahan data sesuai dengan sifat data yang diperoleh, melalui
pengamatan, wawancara, dokumentasi dan bahan-bahan visual.
3.5 Teknik Analisis Data
Sub bab ini menggambarkan tentang proses penyederhanaan data
ke dalam formula yang sederhana dna mudah dibaca serta mudah
diinterpretasi, maksudnya analisis data di sini tidak saja
memberikan kemudahan interpretasi, tetapi mampu memberikan
kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, sehingga
implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai bahan simpulan akhir penelitian. Analisis data dapat
dilakukan melalui pengkodean dan berdasarkan kategorisasi data.
3.6 Keabsahan Data
Sub bab ini menggambarkan sifat keabsahan data dilihat dari
objektifitas dalam subjektivitas. Untuk dapat mendapat data yang
objektif berasal dari unsur subjektivitas objek penelitian, yaitu
bagaimana menginterpretasikan realitas sosial terhadap fenomena-
fenomena yang ada.
36
3.7 Lokasi Penelitian
Tempat yang dijadikan penelitian, dalam hal ini adalah Kantor
Sekretariat Jendral DPD RI. Terletak di Jalan Jendral Gatot
Subroto No. 6 Jakarta.
3.8 Jadwal Penelitian
Menjelaskan tentang tahapan waktu penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi
penelitian secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau
sampel yang telah ditentukan serta hal lain yang berhubungan
dengan objek penelitian.
4.2 Hasil Penelitian
Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah
dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif.
4.3 Pembahasan
Merupakan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data
dan wawancara narasumber.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara
singkat, jelas, sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta
hipotesis penelitian.
37
5.2 Saran
Berisi rekomendasi dari peneliti terhadap tindak lanjut dari
sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti baik secara
teoritis maupun praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Memuat daftar referensi (literatur lainnya) yang digunakan dalam
penyusunan skripsi, daftar pustaka hendaknya menggunakan literatur
yang mutakhir.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Memuat tentang hal-hal yang perlu dilampirkan untuk menunjang
penyusunan laporan penelitian maupun penyususnan skripsi, seperti
Lampiran tabel-tabel, Lampiran grafik, Instrumen penelitian, Lampiran
dokumentasi, Riwayat hidup peneliti, dll.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN
ASUMSI DASAR
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi Kebijakan Publik
Pada penelitian ini mengenai analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur yang diusung oleh Komite 1 Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif yang memiliki kewenangan membuat
kebijakan. Untuk itu sebelum menganalisis kebijakan yang dibuat tersebut
sebaiknya kita membahas lebih jauh mengenai bagaimana konsep kebijakan
publik, kita perlu mengkaji terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan
publik itu sendiri. Dalam penelitian Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur tentu tidak terlepas dari bagian dalam proses
perumusan kebijakan publik, untuk itu sebaiknya lebih dulu memahami
definisi kebijakan dan konsep kebijakan publik. Banyak sumber yang berasal
dari para ahli yang memberikan beberapa pengertian dari definisi kebijakan,
berikut definisi kebijakan ;
Menurut Frederick sebagaimana dikutip dari Agustino (2008 : 7)
mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
38
39
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide
kebijakan harus melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan
merupakan bagian yang terpenting dalam definisi kebijakan, karena
bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya
dikerjakan dari apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu
masalah.
Menurut Richard (dalam Winarno 2007 : 17) bahwa kebijakan
dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan serta
konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan sebagai keputusan
yang berdiri sendiri.
Dari beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
kebijakan adalah tindakan/kegiatan apapun yang dilakukan oleh suatu
kelompok orang atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur keputusan
untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu.
Lingkup dari studi kebijakan publik sendiri sangat luas karena
mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, sosial, budaya, hukum,
dan sebagainya. Di samping itu dapat dilihat dari hierarkinya kebijakan publik
dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan
Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan
Keputusan Bupati/Walikota. Secara terminologi pengertian kebijakan publik
40
(public policy) itu ternayata banyak sekali, tergantung dari segi mana kita
mengartikannya. Berikut beberapa definisi kebijakan publik :
Menurut Eyestone 1971 (dalam Suharto 2007 : 3) menyatakan
kebijakan publik sebagai hubungan antar unit pemerintah dengan
lingkungannya, sedangkan menurut Anderson 1984 (dalam Agustino 2006 : 7)
menjelaskan bahwa kebijakan publik adalah :
“ Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok faktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal
yang diperlukan “.
Menurut Dunn (1994) :
“ Kebijakan publik ialah pola ketergantungan yang kompleks dari pilhan-pilihan kolektif yang saling tergantung termasuk keputusan- keputusan untuk bertindakyang tidak dibuat oleh badan atau kantor pemerintah.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative
allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai
secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Sedangkan Pressman dan
Widavsky sebagaimana dikutip (dalam Budi Winarno 2002 : 17)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis yang mengandung kondisi -
kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan.
Menurut Dye (dalam Wibawa, 2011 : 2) kebijakan publik adalah
“whatever government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Definisi ini menekankan
bahwa kebijakan publik adalah mengani “tindakan” dan bukan merupakan
pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik semata. Disamping itu
pilihan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan
41
publik karena mempunyai pengaruh atau dampak yang sama dengan pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu. Terdapat beberapa ahli yang
mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan yang diambil oleh
pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah publik. Begitu pun
dengan Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003 : 1)
menyatakan bahwa :
“ Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau
pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan
suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh
pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam
masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan secara luas “.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat peneliti simpulkan
bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna
memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik.
Kebijakan untuk emlakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-
ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah
sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa. Mempelajari kebijakan
publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh
kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.
42
2.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks
karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh
karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan
publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam
beberapa tahap-tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan
kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian beberapa ahli
mungkin membagi tahhap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap
kebijakan publik menurut Dunn (dalam Winarno, 2007 : 32-34) adalah sebagai
berikut :
a. Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada
agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu
untuk masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa
masalah masuk ke agenda kebijakan pada perumus kebijakan. Pada
tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pemabahasan,
atau adapula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk
waktu yang lama.
b. Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang tidak masuk k dalam agenda kebijakan kemudian ditulis
oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan
untuk kemudian diberi pemecahan masalah terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
(policy alternative/ policy options) yang ada. Dalam perumusan
kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam
tahap ini masing-masing actor dapat bersaing untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik.
43
c. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alaternatif kebijakan yang ditawarkan para perumus
kebijakan. Pada tahap ini akan ada beberapa analisis dan peramalan
untuk mendapatkan alaternatif kebijakan. Pada akhirnya salah satu
alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.
d. Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah
diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan
sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini
berbagai kepentingan akan bersaing .
e. Tahap Evaluasi Kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk
meraih dampak yang diinginkan.
2.2 Pengertian Analisis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Salim
dan Sali (dalam Ningsih 2014 : 23) menjabarkan pengertian analisis sebagai
berikut :
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan,
karangan dan sebagainya) untuk mendapatkan fakta yang tepat ( asal
usul sebab, penyebab sebenarnya, sebagainya).
b. Analisis adalah penguraian pokok persoalan atas bagian-bagian,
penelaahan bagian-bagian tersebut dan hubungan antar bagian untuk
mendapatkan pengertian yang tepat dengan pemahaman secara
keseluruhan.
c. Analisis adalah penjabaran (pembentangan) suatu hal, dan sebagainya
setelah ditelaah secara seksama.
d. Analisis adalah proses pemecahan masalah yang dimulai dengan
hipotesis (dugaan, dan sebagainya) sampai terbukti kebenarannya
melalui beberapa kepastian (pengamatan, percobaan, dan sebaginya).
44
e. Analisis adalah proses pemecahan masalah (melalui akal) ke dalam
bagian-bagiannya berdasarkan metode yang konsisten untuk mencapai
pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Subarso dan
Retnoningsih (dalam Ningsih 2014 : 24), analisis adalah penyelidikan terhadap
suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk perkara, dan sebagianya).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan
Nasional (dalam Ningsih 2014 : 24) menjelaskan bahwa analsisis adalah
penyelidikan terhadap suatu peristiwa.
Berdasarkan pengertian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
analisis adalah serangkaian aktivitas intelektual yang bertujuan untuk
penyelidikan suatu keadaan, mengkaji dan memberikan alternatif pada suatu
peristiwa atau keadaan yang akan atau telah terjadi untuk memecahkan
masalah.
Kemudian pengertian analisis kebijakan dari para ahli yaitu; menurut
Bauer (dalam Dunn 2003 : 1) analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan
pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan.
Menurut William (dalam Nugroho, 2012 : 328) analisis kebijakan
adalah sebuah cara penyintesisan informasi, termasuk hasil-hasil penelitian,
untuk menghasilkan format keputusan kebijakan dan menentukan informasi
yang relevan dengan kebijakan.
Menurut Dunn (dalam Nugroho, 2012 : 299) analisis kebijakan publik
adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan,
45
secara kritis menilai, mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam
proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang
menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks
argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengomunikasikan pengetahuan yang relavan dengan kebijakan. Mengikuti
Dunn, metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang
lazim dipakai dalam pemecahan masalah, yaitu :
1. Definisi, menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan.
2. Prediksi, menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa
mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak
melakukan sesuatu.
3. Preskripsi, menyediakan informasi mengenai nlai konsekuensi
alternatif kebijakan di masa mendatang.
4. Deskripsi, menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan
masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.
5. Evaluasi, kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah.
Secara visual dapat digambarkan sebagai berikut :
Definisi Prediksi Preskripsi Deskripsi Evaluasi
Gambar 2.1 Proses Analisis Kebijakan menurut Dunn
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan
tujuan memberikan informasi yang bersifat deskriptif, evaluatif, dan atau
preskriptif (Nugroho 2012 : 306). Analisis kebijakan menjawab tiga macam
pertanyaan, yaitu:
1. Nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk menilai
apakah suatu masalah sudah teratasi?
46
2. Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai.
3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-
nilai.
Untuk menjawabnya, (Nugroho 2012 : 307) analis kebijakan dapat
menggunakan salah satu atau kombinasi dari ketiga pendekatan analisis ini,
yakni empiris, valuatif, dan atau normatif. Ketiga pendekatan tersebut
dipaparkan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1 Pendekatan Analisis Kebijakan
Pendekatan Pertanyaan Utama Tipe Informasi
Empiris
Adakah dan akankah (fakta)?
Deskriptif & Preskriptif
Valuatif
Apa manfaatnya (nilai)?
Evaluatif
Normatif
Apakah yang harus diperbuat (aksi) ?
Preskriptif
Analisis kebijakan juga dapat dibedakan menjadi prospektif atau ex
post yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan
dimulai dan diimplementasikan; dan analisis retrospektif atau ex ante adalah
produksi dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan. Diantara
keduanya, Dunn menyebut analisis terintegrasi, yaitu produksi dan
transformasi informasi baik sebelum maupun sesudah aksi kebijakan (Nugroho
2012 : 307).
47
2.3 Model Teori Analisis Kebijakan
A. Analisis Kebijakan Versi Dunn
Dalam proses analisis kebijakan menurut Dunn (2003 : 25) ada beberapa
tahapan, yaitu :
1. Merumuskan Masalah
Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang
belum terpenuhi, yang dapat diidentifikasi, untuk kemudian diperbaiki
atau dicapai melalui tindakan publik. Masalah kebijakan mempunyai
ciri-ciri :
a. Terdapat saling ketergantungan antar masalah kebijkan,
b. Mempunyai subjektivitas,
c. Buatan manusia karena merupakan produk penilaian subjektif dari
manusia, dan
d. Bersifat dinamis.
Fase-fase perumusan masalah kebijakan (Dunn 2003 : 226) disusun
sebagai berikut :
1. Pencarian masalah (problem search)
2. Pendefinisian masalah (problem definition)
3. Spesifikasi masalah (problem spesification)
4. Pengenalan masalah (problem sensing)
Untuk menuju analisis kebijakan, sejak perumusan masalah sudah
harus dikenali model-model kebijakan (Dunn 2003 : 234-241) yaitu :
1. Model deskriptif, yang bertujuan menjelaskan dan atau
memprediksi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi pilihan
kebijakan.
48
2. Model normatif, yang selain bertujuan sama dengan model
deskriptif, juga memberikan rekomendasi untuk meningkatkan
pencapaian nilai atau kemanfaatan.
3. Model verbal, yakni bersandar pada penilaian nalar untuk membuat
prediksi dan menawarkan rekomendasi.
4. Model simbolis, yaitu analisis menggunakan simbol-simbol
matematis untuk menerangkan hubungan di antara variabel-
variabel kunci yang dipercaya mencari suatu masalah.
5. Model prosedural, yaitu menampilkan hubungan yang dinamis di
antara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah
kebijakan.
6. Model sebagai pengganti dan perspektif, yaitu dimensi terakhir
yang penting dari model-model kebijakan berhubungan dengan
asumsi mereka. Model pengganti (surrogate model) diasumsikan
sebagai pengganti dari masalah-masalah substantif.
2. Peramalan masa depan kebijakan
Mengutip Dunn (2003 : 291) peramalan atau forecasting adalah suatu
prosedur untuk membuat informasi faktual tentang situasi sosial di masa depan
atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Peramalan
dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang
masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya
alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu (Dunn, 2003 : 26). Ramalan
memiliki tiga (3) bentuk utama, yakni proyeksi, prediksi, dan perkiraan (Dunn
2003 : 291-292) , yaitu :
1. Peramalan ekstrapolasi, yaitu ramalan yang didasarkan atas
ekstrapolasi hari ini ke masa depan, dan produknya di sebut proyeksi.
Teknik yang dapat dipergunakan antara lain analisis antarwaktu,
estimasi tren linear, pembobotan eksponansial, transformasi data,
katastrofi metodologi. Proyeksi membuat pernyataan yang tegas
berdasarkan argumen yang diperoleh dari metode tertentu dengan
kasus yang paralel. Peramalan ini menggunakan tiga asumsi dasar,
yaitu : persistensi (pola yang diamati di masa lampau akan tetap
49
ditemui di masa depan), keteraturan (visi di masa lalu sebagaimana
ditunjukan oleh kecenderungannya akan terulang secara ajek di masa
depan), dan reabilitas validitas data.
2. Peramalan teoritis, yaitu ramalan yang didasarkan pada suatu asumsi
teoritik yang tegas, dan produknya disebut prediksi. Teknik yang
dapat digunakan antara lain pemetaan teori, model kausal, analisis
regresi, estimasi titik dan interval, analis korelasi. Apabila pada
peramalan ekstrapolatif menggunakan logika induktif, pada peramalan
teoritis menggunakan logika deduktif.
3. Peramalan penilaian pendapat, yaitu ramalan yang didasarkan pada
penilaian informatif para ahli atau pakar tentang situasi masyarakat
masa depan, dan produknya disebut perkiraan (conjecture). Teknik
yang dapat digunakan antara lain analisis dampak silang, penilaian
fasibilitas (kelayakan). Teknik peramalan penilaian pendapat
(judgemental forecasting) berusah memperolah dan menyintesiskan
pendapat-pendapat para ahli. Logika yang digunakan bersifat
retroduktif karena analisis dimulai dengan dugaan tentang sesuatu
keadaan, dan kemudian berbalik ke data atau asumsi yang
dipergunakan untuk mendukung dugaan tersebut. Meskipun pada
praktiknya ketika logika tersebut induktif, deduktif, dan retroduktif,
tidak dipisahkan satu sama lain.
Peramalan mempunyai sejumlah tantangan (Dunn 2003 : 294-295), yaitu:
(i) akurasi ramalan, yaitu ketepatan dari remalan yang relatif
sederhana yang didasarkan pada ektrapolasi atas kecenderungan
sebuah variabel maupun ramalan yang kompleks berdasar model-
model yang memasukan ratusan variabel masih terbatas.
(ii) kondisi komparatif masa depan, ketepatan prediksi yang
didasarkan pada model teoretik yang kompleks atas ekonomi dan
sistem sumber daya energi tidak lebih tinggi dibanding ketepatan
proyeksi dan konjektur yang dibuat atas dasar model ekstrapolasi
sederhana dan penilaian informatif (oleh pakar).
(iii) konteks, yaitu konteks institusional, temporal, dan historical.
Masa depan pun terdiri dari tiga jenis, yaitu masa depan yang
potensial atau sering disebut masa depan alternatif, masuk akal
(plausible), dan normatif, yang merupakan gabungan antara potensial,
dan plausible.
50
3. Rekomendasi Kebijakan
Mengutip dari Dunn (2003 : 405) prosedur dari analisis kebijakan dari
rekomendasi memungkinkan menghasilkan informasi tentang kemungkinan
serangkaian aksi di masa mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang
berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat seluruhnya. Untuk
membuat rekomendasi kebijakan juga mengharuskan kita menentukan
alternatif mana yang paling baik. Rekomendasi membantu mengestimasi
tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda,
menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan menentukan
pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan (Dunn, 2003 :
27).
Membuat rekomendasi kebijakan menentukan alternatif yang terbaik
dan alasannya karena prosedur analisis kebijakan berkaitan dengan masalah
etika dan moral. Rekomendasi pada dasarnya adalah pernyataan advokasi, dan
advokasi mempunyai empat pertanyaan yang harus dijawab (Dunn, 2003 :
406), yaitu :
1. Dapat ditindaklanjuti (actionable), yaitu pernyataan advokatif
memusatkan pada tindakan yang dapat menyelesaikan masalah
kebijakan.
2. Bersifat prospektif, karena pernyataan tersebut dibuat sebelum
dilakukan tindakan.
3. Bermuatan nilai, bahwa alternatif bergantung pada “fakta” dan juga pada nilai.
51
4. Etik secara kompleks, yaitu nilai-nilai yang mendasari pernyataan
advokatif secara etika kompleks.
Dalam menentukan alternatif kebijakan (Dunn 2003 : 416-417), salah
satu pendekatan yang paling banyak dipergunakan adalah pendekatan
rasionalitas. Namun, rasionalitas juga berarti multirasionalitas, yang berarti
terdapat dasar-dasar rasional ganda yang mendasari sebagian besar pilihan-
pilihan kabijakan, yaitu :
a. Rasionalitas teknis, berkenaan dengan pilihan efektif.
b. Rasionalitas ekonomis, berkenaan dengan efisiensi.
c. Rasionalitas legal, berkenaan dengan legalitas.
d. Rasionalitas sosial, berkenaan dengan akseptabilitas.
e. Rasionalitas substanstif, yang merupakan kombinasi keempat
rasinalitas di atas.
Karakteristik utama dari berbagai bentuk rasionalitas tersebut adalah
bahwa semuanya melakukan pemilihan secara bernalar tentang perlunya
mengambil arah tindakan tertentu untuk memecahkan masalah kebijakan. Di
luar model rasionalitas di atas, (Dunn 2003 : 417) menyarankan rasionalitas
komprehensif, yang merupakan upaya penyingkronisasi seluruh model
rasionalitas di atas. Rasionalitas bertemu dengan realitas bahwa alternatif pada
akhirnya terbatas karena adanya nilai-nilai individual yang lebih banyak
mempengaruhi dan batas-batas pengetahuan. Menurut Simon (dalam Nugroho
2012 : 317) memperkenalkan konsep yang lebih „moderat‟, yaitu satisfactory
dan sufficiency. Di sini pengambilan alternatif tidak dipaksakan pada alternatif
terbaik maksimal, namun alternatif yang terbukti akan menghasilkan suatu
kenaikan manfaat yang paling memuaskan. Rekomendasi mempunyai enam (6)
52
kriteria utama, beberapa tipe pilihan rasional dapat diletakan sebagai kriteria
keputusan yang digunakan untuk menyarankan pemecahan masalah kebijakan
(Dunn 2003 : 429), yaitu :
1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai
hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakan tindakan.
2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk
menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki.
3. Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat
efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang
menumbuhkan adanya masalah.
4. Perataan (equity), berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat
kebijakan.
5. Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan
dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-
kelompok masyarakat yang menjadi target kebijakan.
6. Kelayakan (appropriateness), berkenaan dengan pertanyaan apakah
kebijakan tersebut tepat untuk suatu masyarakat
4. Pemantauan Hasil Kebijakan
Pemantauan hasil kebijakan atau biasa disebut monitoring merupakan
prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi
tentang sesbab akibat kebijakan publik (Dunn, 2003 : 509). Pemantauan
setidaknya memainkan empat (4) fungsi dalam analisis kebijakan yaitu;
kepatuhan (compliance), akuntansi, pemeriksaan, dan ekplanasi (Dunn, 2003 :
510).
Hasil kebijakan dibedakan antara keluaran (outputs), yaitu produk
layanan yang diterima kelompok sasaran kebijakan, dan impak (impact), yaitu
perubahan perilaku yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan (Dunn 2003 :
2011).
53
Dunn (2003 : 514) membedakan jenis tindakan kebijakan menjadi dua
(2), yakni kebijakan regulatif, yaitu tindakan kebijakan yang dirancang untuk
menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu, dan kebijakan
alokatif yaitu tindakan mengalokasikan sumber daya tertentu pada sasaran
kebijakan. Baik kebijakan regulatif maupun alokatif dapat memberikan akibat
yang bersifat distributif ataupun redistributif.
Pemantauan sangat penting dalam analisis kebijakan. Untuk itu ada
beberapa pendekatan dalam pemantauan yang dapat dipilih menjadi beberapa
pendekatan yaitu; akuntansi sistem sosial, eksperimental sosial, auditing sosial,
dan sistesis riset praktek, pendekatan tersebut dapat menggunakan metode
kuantitaif dan kualitatif (Dunn 2003 : 519).
5. Evaluasi Kinerja Kebijakan
Evaluasi kebijakan publik merupakan bagian dari proses analisis
kebijakan. Menurut Dunn (2003 : 632) fungsi evaluasi dalam analisis kebijakan
adalah menyediakan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
kinerja kebijakan, kemudian memberikan kejelasan dan kritik nilai-nilai yang
mendasari pilihan tujuan, sasaran, dan penyediaan informasi bagi perumusan
masalah dan inferensi praktis.
Dunn (2003 : 612) mengembangkan tiga (3) pendekatan dalam evaluasi
kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi teoritis. evaluasi
semua adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil
kebijakan tanpa berusaha menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-
54
hasil pada target kebijakan. Evaluasi semu berasumsi bahwa ukuran tentang
manfaat atau nilai merupakan sesuatu yang terbukti sendiri atau self evident
atau tidak kontroversial. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang
menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang
valid dan cepat dipercaya mengenai hasil kebijakan, namun mengevaluasi hal
tersebut atas tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal
oleh pembuat kebijakan. evaluasi keputusan teoritis (Decission Theoritic
Evaluation) adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif
untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan
mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam.
Model evaluasi menurut Dunn (2003 : 610) sebagai berikut :
(i) Efektivitas
(ii) Efisiensi
(iii) Kecukupan
(iv) Perataan (equity)
(v) Responsivitas
(vi) Ketepatan
Evaluasi memiliki fungsi penting dalam kebijakan, pertama, evaluasi
memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.
kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-
nilai yang mendasari target dan tujuan (Dunn 2003 : 609-610).
B. Analisis Kebijakan Versi SWOT
Selain dengan menggunakan pendekatan teori analisis kebijakan
menurut Dunn di atas, analisis kebijakan publik dapat dilakukan dengan
menggunakan metode analisis SWOT. Analisis SWOT adalah instrumen yang
55
digunakan untuk melakukan analisis strategis dari sebuah kebijakan yang telah
dibuat untuk diterapkan. Menurut Simbolon (1999), analisis merupakan suatu
alat yang membantu menstrukturkan masalah, dengan melakukan analisis atas
strategis, yang lazim disebut sebagai lingkungan eksternal. Lingkungan internal
dan eksternal pada dasarnya terdapat empat unsur yang dihadapi dan memiliki
sejumlah kekuatan-kekuatan (Strengths) dan kelemahan-kelemahan
(Weaknesses), dan secara eksternal akan berhadapan dengan berbagai peluang-
peluang (Oppotunities) dan ancaman-ancaman (Threats).
Kegiatan yang paling penting dalam memahami analisis SWOT adalah
memahami seluruh informasi dalam suatu kasus, menganalisis situasi untuk
mengetahui isu apa yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan apa yang
harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah (Rangkuti, 2001 : 14).
SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan-kekuatan), weaknesses
(kelemahan-kelemahan), opportunities (peluang-peluang), dan threat
(ancaman-ancaman). pengertian kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
dalam analisis SWOT (Amin 1994 : 75) adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan (strengths). Kekuatan sumber daya, keterampilan
keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar
atau suatu perusahaan.
2. Kelemahan (weaknesses) adalah keterbatasan/kekurangan dalam
sumber daya alam, keterampilan dan kemampuan.
3. Peluang (opportunities). Peluang adalah situasi atau kecenderungan
yang dapat memberi keuntungan.
4. Ancaman (threats) adalah situasi atau kecenderungan yang tidak
dapat memberikan keuntungan.
56
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan harus menganalisis
faktor strategis pada kondisi saat ini.
C. Analisis Kebijakan Versi Patton dan Savicky
Model teori analisis kebijakan selanjutnya yaitu analisis kebijakan
menurut Patton dan Savicky (dalam Nugroho 2012 : 359) bahwa analisis
kebijakan publik dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebijakan itu dibuat.
Bentuk analisis dibagi menjadi dua (2) yaitu prediktif dan preskripstif. Analisis
prediktif merujuk pada proyeksi kondisi masa mendatang sebagai hasil dari
adopsi kebijakan. Sedangkan analisis preskriptif merujuk pada rekomendasi
kebijakan. Rekomendasi kebijakan yang bersifat umum dan tidak memberikan
fokus tertentu disebut advis, sementara rekomendasi yang menekan pembuat
kebijakan agar memilih suatu kebijakan disebut advis persuasif. Dengan
mempergunakan konsep dari pendahulunya seperti Quade, Dunn, dan Weimer
& Vining, Patton dan Savicky (dalam Nugroho 2012 : 360) mempromosikan
enam (6) langkah analisis kebijakan yang disebut A Basic Policy Analysis
Process, yang digambarkan sebagai berikut :
57
(6) Monitor the
Implemetend Policy
(1) Verify, Define,
and Detail the
Problem
(2) Establish
Evalution Criteria
(5) Display and
Distinguish among
Alternative Policies
(3) Identify Alternative
Policies
(4) Evaluate Alternative
Policies
Gambar 2.2 Proses Dasar Analisis Kebijakan menurut Patton dan Savicky
1. Mendifinisikan, Verifikasi, dan Mendetail Permasalahan Kebijakan
Proses pokok dalam langkah mendefinisikan, verifikasi, dan mendetail
permasalahan kebijakan adalah mengembangkan “pernyataan masalah”
(developing problem statement) yang secara rinci terdapat langkah-langkah
berikut (Nugroho 2012 : 361) :
a. Think about the problem
b. Delineate the boundaries of the problem
c. Develope a fact base
d. List goals and objectivies
e. Identify the police anvelope
f. Display potential cost and benefits
g. Review the problem statement
58
Metode dasar yang dapat digunakan dalam mendefinisikan
permasalahan antara lain back of the envelope calculations untuk
memeperkirakan “ukuran” permasalahan, quick decisision analysis untuk
mengidentifikasi atribut-atribut atau karakter-karakter pokok permasalahan,
creation of valid operational definitions untuk memastikan bahwa kita menilai
masalah yang hendak dinilai, political analysis untuk membuat kita tidak
mengabaikan faktor-faktor yang tidak dapat dikuantifikasi, dan issue paper
atau first-cut analysis yang mengidentifikasi masalah yang diperlukan.
Dalam metode quick decisision analysis menurut Patton & Savicky
(dalam Nugroho 2012 : 362-363) akan tampak bahwa pengambil keputusan
dihadapkan pada alternatif tapa risiko dan alternatif berisiko. Sedangkan
metode analisis politik mengingatkan analis kebijakan untuk melihat isu-isu
politik sebagai bagian dari integral dari proses kebijakan, mempelajari istilah-
istilah yang lazim digunakan untuk mengkomunikasikan faktor-faktor politik
tersebut, dan menggunakan metode yang konsisten dalam pelaporan,
penyajian, dan analisis isu politik. Agenda pokok adalah memastikan bahwa
permasalahan dapat direduksi hingga ukuran yang dapat dikelola (a man
ageable size).
1. Establishing evaluation criteria
Langkah kedua dalam analisis kebijakan publik menurut Pattton dan
Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 364-366), yaitu kriteria evaluasi. Patton dan
Savicky memperkenalkan evaluasi dengan model yang bersifat ekonomis,
yaitu:
59
a. Free market model
b. Kriteria biaya-biaya (Costs)
c. Kriteria manfaat-manfaat (Benefits)
d. Kriteria posisi (Standing)
e. Kriteria eksternalitas
f. Kriteria elastisitas
g. Kriteria analisis marginal
h. Kriteria keadilan
Pada akhirnya, kriteria evaluasi dapat dikembangkan sesuai dengan
permasalahan yang hendak dicapai, dan alternatif yang tersedia.
2. Mengidentifikasi Alternatif
Menurut Patton dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 368) metode
untuk mengidentifikasi alternatif dikelompokkan menjadi lima (5), yaitu :
a. Reaserched analysis and experimentation yang menggunakan teknik
passive collection and classification.
b. No-action analysis yang menggunakan teknik pengembangan tipologi-
tipologi (development of typologies).
c. Quick surveys yang menggunakan teknik analagi, metafora, dan
sinektik-sebuah teknik yang melihat masalah lama dengan cara
pendekatan yang baru.
d. Literature review yang menggunakan teknik galang-gagas (brain-
storming).
e. Comparison of real world experience yang menggunakan teknik
perbandingan dengan suatu ideal.
3. Evaluasi Alternatif Kebijakan
Langkah ini khusus diambil untuk kebijakan yang akan diambil. Patton
dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 368) memperkenalkan dua (2) metode
untuk menentukan alternatif kebijakan peramalan dan evaluasi.untuk analisis
peramalan terdiri dari ; ekstrapolasi, yaitu membuat proyeksi masa depan
60
dengan menggunakan data masa kini; modeling teoritis, yaitu peramalan yang
mempergunakan pendekatan teori; peramalan intuitif, yaitu melakukan
interview kepada para ahli atau pakar (Nugroho, 2012 : 368).
Teknik evaluasi yang dapat digunakan adalah (i) teknik discounting
yang menghitung future value impak dari suatu kebijakan, (ii) teknik three
measures of effieciency, yaitu teknik efisiensi yang mengkombinasikan tiga
ukuran efisiensi, (iii) teknik analisis sensitivitas, yaitu proses yang digunakan
dapat menemukan asumsi-asumsi yang bersifat kritikal atau sensitif terhadap
analisis (Nugroho, 2012 : 369).
4. Menyajikan Alternatif Kebijakan
Patton dan Savicky menegaskan bahwa proses analisis kebijakan
merupakan evaluasi alternatif kebijakan dan sisi teknis, ekonomis, dan politik,
dikaitkan dengan implementasinya. Dalam penyajikan alternatif kebijakan
menurut Patton dan Savicky (dalam Nugroho, 2012 : 374) ada beberapa
pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan perbandingan sederhana,
pendekatan matrix scorecard. Patton dan Savicky tidak memberikan
rekomendasi, selain mengatakan bahwa bahaya terbesar dalam analisis
kebijakan seringkali bukan pada rekomendasinya, namun pada pembobotan
alternatif yang tidak akurat (Nugroho, 2012 : 275).
61
5. Pemantauan dan Evaluasi Kebijakan yang diimplementasikan
Patton dan Savicky mengemukakan bahwa impelemntasi sama penting
dengan kebijakan itu sendiri sehingga kegagalan implementasi dianggap sama
dengan kegagalan kebijakan itu sendiri. Kemudian pada evaluasi kebijakan
dilaksanakan dalam pola kontinuum, dan evaluasi dalam pola kontinuum
dikelompokan menjadi empat kegiatan yang berurutan, yaitu ex ante,
maintenance, monitoring, dan ex post (Nughroho, 2012 : 376).
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode analisis
kebijakan menurut Dunn. Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan,
para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk
mengubah proses kebijakan semula. Desain analisis ini memberikan
keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan
tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda
dilaksanakan, pengaruh apa dan oleh siapa dalam sistem politik atau unit-unit
pemerintah yang berbeda dilakukan. Dalam bahasa yang lebih ringkas, kita
dapat mengatakan bahwa pembentukan kebijakan lebih dari sekedar aktivitas
proses intelektual. Selain itu, dari latar belakang masalah yang telah peneliti
uraikan, dirasa teori analisis Dunn yang paling cocok untuk digunakan dalam
analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan.
62
2.4 Awal Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD RI)
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan
kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk
memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka
pembaharuan konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD
RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
DPD RI lahir dari semangat pembaharuan untuk melepaskan diri dari
belenggu sisem pemerintahan yang sentralisik menuju era desentralisasi dan
otonomi daerah. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk
lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang
lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk
hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.1
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah bagian
dari lembaga tinggi negara dan merupakan lembaga legislatif yang bertugas
menjembatani kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Keberadaan DPD RI diakui memang belum serta merta dapat mengatasi
berbagai masalah. Namun, DPD RI telah banyak memberikan warna dalam
1 Merajut kerja demi Indonesia. Komite 1 DPD RI. 2014 : 1
63
menjawab berbagai persoalan bangsa demi keutuhan serta kemajuan bangsa.
Beragam harapan dan cita-cita masyarakat daerah banyak ditumpuhkan
kepada DPD RI. Dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI disebutkan
bahwa DPD adalah lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai
lembaga tinggi negara yang terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih
melalui pemilihan umum.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 92/PUU/-X/2012,
MK meneguhkan lima hal, yaitu : (i) DPD terlibat dalam pembuatan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas); (ii) DPD berhak mengajukan RUU yang
dimaksudkan dalam pasal 22D ayat (1) UUD 1945, sebagai halnya atau
bersama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) DPD
berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks pasal 22D ayat (2) UUD
1945; (iv) pembahasan UU dalam konteks pasal 22D ayat (2) bersifat tiga
pihak, yaitu antara DPR, DPD, dan Presiden; (v) MK menyatakan bahwa
ketentuan dalam UU MD3 dan UU P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK
atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945,
baik yang diminta maupun tidak.
Berdasarkan Undang-Undang MD3 No. 17 Tahun 2014 mengenai tugas
dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa DPD merupakan
lembaga legislatif yang dipilih melalui Pemilu. Dalam kewenangannya
menjalankan fungsi legislasi, DPD dapat mengajukan Rancangan Undang-
64
Undang dan memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU serta
memberikan pertimbangan kepada DPR. Dengan adanya kewenangan untuk
mengajukan RUU maka DPD RI memiliki kewenangan dalam mengajukan
RUU yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, tata kelola, tata ruang, HAM dan lainnya. Berdasarkan UU MD3
tahun 2014 alat kelengkapan DPD RI dibagi menjadi ; (i) pimpinan, (ii)
Panitia Musyawarah, (iii) panitia kerja, (iv) Panitia Perancang Undang-
Undang, (v) Panitia urusan rumah tangga, (vi) Badan Kehormatan, (vii) alat
kelengkapan lainnya disesuaikan. Kantor Sekretariat Jendral DPD RI terletak
di Kompleks Parlemen DPR/MPR/DPD RI, di Jalan Jendral Gatot Subroto
No. 6 Jakarta.
2.4.1 Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD RI
Sesuai dengan konstitusi, format representasi DPD RI dibagi menjadi
fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan pada bidang-
bidang terkait sebagaimana berikut ini :
a. Fungsi Legislasi
Tugas dan wewenang:
i. Dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR
ii. Ikut membahas RUU
Bidang Terkait: Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah;
Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat
dan daerah.
65
b. Fungsi Pertimbangan
Memberikan pertimbangan dan pandangan kepada DPR dalam pembahasan
suatu Rancangan Undang-Undang (RUU).
c. Fungsi Pengawasan
Tugas dan wewenang :
i. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang dan
menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
ii. Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh
BPK.
2.4.2 Alat Kelengkapan DPD RI
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) anggotanya
terdiri dari tiap-tiap perwakilan provinsi yang berjumlah empat (4) orang dari
tiap provinsinya, terbagi dalam beberapa Komite sebagai kelengkapan tetap
DPD RI. Dalam pembagian bidang-bidang yang ditangani DPD RI dari
masing-masing provinsi dibagi ke dalam empat komite, yang tiap komitenya
diisi oleh satu orang anggota perwakilan Provinsi. Dari data yang diperoleh
dari tahun 2013, jumlah anggota DPD periode 2009-2014 keseluruhannya dari
33 Provinsi berjumlah 132 orang. dari empat (4) komite yang ada sebagai alat
kelengkapan tetap, yang menangani bidang-bidang terkait, sebagai berikut :
66
1. Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah.
2. Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya
alam; dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya.
3. Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang
bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan
agama.
4. Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang
bersifat tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan APBN; perimbangan keuangan
pusat dan daerah; memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan
keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK; pajak; dan usaha
mikro, kecil dan menengah.
DPD RI secara kelembagaan tidak terlepas dari alat kelengkapan yang
terdapat di dalamnya. Dalam penelitian kali ini, peneliti lebih fokus pada
Komite 1 DPD RI. Selain bidang-bidang di atas, lingkup tugas Komite I
sebagai mana dimaksud, melaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah
dan masyarakat, sebagai berikut ;
67
(i) Pelaksanaan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan terkait otonomi
daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; (ii) Penyampaian bahan masukan dalam rangka
penyusunan pertimbangan atas RUU dan APBN sebagai pelaksanaan fungsi
anggaran sesuai dengan Tata Tertib DPD RI Pasal 79 ayat (1) poin a.2
2.5 Alasan Dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur
Alasan mengapa akan dibentuknya Kebijakan Pengelolaan Wilayah
Terpadu Jabodetabekjur adalah karena kawasan Jabodetabekjur memenuhi
kriteria sebagai kawasan megapolitan yang pertama untuk memperkuat DKI
Jakarta sebagai Ibukota Negara dan menghindari ketimpangan pembangunana
di wilayah Bodetabekjur dengan DKI Jakarta. Selain itu banyaknya masalah
yang timbul akibat dari ketimpangan derajat otonomi daerah, dan ketimpangan
pembangunan menyebabkan harus dibentuk sebuah satu kesatuan regulasi
terkait wilayah Jabodetabekjur. Berdasarkan Prolegnas tahun 2014, Komite 1
DPD RI akan melaksanakan pembahasan lebih dalam mengenai RUU Kawasan
Megapolitan Jabodetabekjur untuk menjadikan wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan. Masalah yang akan dikelola yaitu masalah mengenai
tata ruang kota, pola transportasi dan jalan, pemukiman dan lingkungan,
kependudukan dan tenaga kerja, ekonomi dan industri.
2 Ibid.
68
Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh
Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di
Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum
MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya
dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin
(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola
permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta, saat itu Banten
masih bagian wilayah administratif Provinsi Jabar. Sejak pemerintahan bang
Ali Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta-Jabar sudah mulai di
rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
pembangunan di perbatasan untuk membentuk sebuah kawasan ragulasi
wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Namun,
hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko Widodo.
Memasuki tahun 2012, pemerintah mencanangkan Metropolitan
Priority Areas (MPA). Namun, proyek pembangunan infrastruktur kerjasama
antara pemerintah Indonesia dengan Jepang yang menelan investasi sekitar Rp.
410 triliun tersebut belum terintegrasi dengan pembangunan di Jabar secara
menyeluruh (FGD 18 Februari 2014).
Regulasi Pembangunan Pemerintah DKI Jakarta dan Jabar tersebut dari
tahun ke tahun terkesan statis, hanya terkonsentrasi di pusat perkotaan
sehingga akan meningkatkan semakin ”jomplangnya” disparitas pembangunan
antara perkotaan dan pedesaan. Padahal, untuk memecahkan permasalahan
DKI Jakarta seperti, kemacetan dan banjir, Metropolitan Priority Areas (MPA)
69
DKI Jakarta tersebut dapat diperluas diintegrasikan dengan program
pembangunan pedesaan di Jabar dan Banten melalui MPA “JAJATEN” yakni
Megapolitan Priority Areas (MPA) Jakarta – Jabar - Banten (FGD 18 Februari
2014).
Pada akhirnya usulan mengenai regulasi terkait pembentukan program
terpadu wilayah Jabodetabekjur dikaji oleh Komite 1 DPD RI. Dalam Perpres
54 tahun 2008 didasarkan pada lingkup wilayah fungsional, yang terbagi atas
tiga wilayah Provinsi, yang terdiri atas 15 Kabupaten dan Kota di wilayah
Jabodetabekjur. Di lain pihak, wewenang otonomi pemerintah daerah yang
terlingkupi memiliki kedudukan yang tidak sama, di DKI Jakarta terletak pada
pemerintah provinsi, sementara untuk wilaya dua provinsi lainnya terletak pada
kabupaten dan kota.
Dari berbagai peliknya permasalahan yang ada di Jabodetabekjur, untuk
itu alasan Komite 1 DPD RI dan bekerjasama dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota di wilayah Jabodetabekjur akan mengkaji lebih dalam dan
membentuk kebijakan pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan Megapolitan dan dibentuk suatu satu kesatuan wilayah regulasi.
70
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari berbagai sumber ilmiah,
seperti skripsi, tesis, jurnal ataupun desertasi. Adapun dalam penelitian kali ini,
peneliti memasukan dua penelitian terdahulu, yang dalam fokus penelitian
membahas mengenai kajian pembentukan kawasan megapolitan di wilayah
Jabodetabekjur. Dasar atau acuan yang berupa teori atau temuan-temuan
melalui hasil berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal sangat perlu dan
dapat disajikan sebagai data pendukung. Penelitian terdahulu ini bermanfaat
dalam mengelola dan memecahkan masalah yang timbul dalam pembentukan
kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Dalam penelitian mengenai
analisis Kebijakan Program Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur
sebagai kawasan Megapolitan oleh Komite 1 DPD RI, berikut hasil penelitian
terdahulu yang peneliti baca.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Pusat Riset Perkotaan dan
Wilayah, Universitas Indonesia (PRPW UI), tahun 2013. Penelitian ini berjudul
Penyusunan kajian strategi pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekpunjur.
Tujuan dari penelitian ini untuk menyusun strategi yang dapat di
implementasikan untuk pengelolaan secara sosial, infrastruktur, ekonomi,
biogefisik secara terpadu di wilayah Jabodetabekpunjur. Dari penelitian ini,
peneliti mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang terjadi di
wilayah Jabodetabekjur untuk dibentuk sebagai kawasan megapolitan. Dalam
penelitian tersebut, banyak dipaparkan mengenai permasalahan dan gambaran
71
pembentukan kawasan megapolitan. Untuk membentuk sebuah kawasan
regulasi terkait megapolitan dibutuhkan kerjasama seluruh stakeholder.
Dalam penelitian yang dibuat oleh PRPW UI menggunakan teori
implementasi kebijakan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada
penelitian ini memberikan informasi mengenai lemahnya koordinasi dari
lembaga kerjasama yang sudah ada belum mampu mengkoordinasikan sealuruh
penyatuan wilayah Jabodetabekjur untuk mencapai sebuah kawasan
metropolitan yang efektif dan efisien. Persamaan yang terdapat dalam
penelitian ini, yakni mengkaji kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan
megapolitan. Sedangkan, perbedaannya Mengarah kepada kajian strategi
pembentukan kawasan megapolitan di Indonesia.
Kritik dalam penelitian ini sebaiknya ditekankan untuk pembuatan
kebijakan yang baru pada kawasan Jabodetabekjur. Sumber yang digunakan
dalam penelitian yang dibuat oleh PRPW UI dari Zainal (2013), dengan judul
buku Pengelolaan, Kelembagaan dan Pembiayaan Kawasan
Jabodetabekpunjur, yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas).
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Robert Endi Jaweng, tahun
2014. Penelitian ini berjudul Megapolitan Jabodetabekjur, Masalah dan Pilihan
Model Kepemerintahan di Era Otonomi Daerah. Tujuan dari penelitian ini
adalah menyatukan beberapa kota menjadi suatu kawasan tempat
bergabungnya beberapa kota yang memiliki yurisdiksi administratif sendiri.
Dalam penelitian ini menawarkan dua model pembentukan kawasan
72
Jabodetabekjur di era otonomi daerah seperti sekarang. Pada penelitian tersebut
menggunakan teori implementasi kebijakan, dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah Dalam hal kawasan perkotaaan,
khususnya Jabodetabekjur, semua peraturan tersebut menyadari perlunya
penataan ruang yang mendorong keterpaduan antar daerah sebagai satu
kesatuan wilayah perencanaan. Persamaan dalam penelitian ini yakni mengkaji
permasalah Jabodetabekjur. Sumber yang digunakan mengutip dari Andi
(2009), dengan judul Megapolitan sebagai Konsep Pengembangan Wilayah
secara Terpadu”, oleh A. Ramses dan La Bakry (Ed.), ”Pemerintahan Daerah
di Indonesia”, yang diterbitkan oleh Pemprov DKI Jakarta dan MIPI.
2.7 Kerangka Berfikir
Menurut Muhamad (2009 : 75) kerangka berfikir adalah gambaran
mengenai hubungan antar variabel dalam suatu penelitian, yang diuraikan
menurut jalan pikiran kerangka logis. Kerangka berfikir memuat teori, dalil
atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar dalam penelitian. Menurut
Sugiyono (2007:60) kerangka berfikir adalah sintesa hubungan antar variabel
yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan.
Program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur merupakan
sebuah kebijakan yang sudah mencapai tahap finalisasi oleh Komie 1 DPD RI
sehingga akhirnya saat ini sedang diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) untuk pembahasan dan pengesahan kebijakan
tersebut menjadi sebuah Undang-Undang yang sah. Kebijakan megapolitan
Jabodetabekjur ini akan lahir karena hasil kajian dari berbagai permasalahan
73
yang ada di wilayah Jabodetabekjur, sehingga akhirnya Komite 1 DPD RI
mengkaji lebih dalam yang bertujuan untuk menyatukan wilayah
Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan wilayah regulasi untuk dibentuk sebuah
kawasan megapolitan di Indonesia.
Dari hasil Focus Group Dicussion (FGD) pada tanggal 18 dan 19
Februari 2014 di ruang rapat GBHN Gedung Nusantara V Sekjen DPD RI yang
diselenggarakan Komite 1 DPD RI kerjasama dengan seluruh walikota, bupati
dan gubernur di 15 kota/kabupaten kawasan Jabodetabekjur, kemudian dengan
beberapa Kementerian terkait telah sepakat menyetujui adanya program
pembangunan regulasi terkait dengan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Dalam membentuk sebuah
kebijakan Pengelolaan Terapadu Wilayah Jabodetabekjur dibutuhkan adanya
kajian untuk menganalisis kebijakan yang bertujuan untuk mendapatkan
beberapa alternatif, dan rekomendasi kebijakan atau pilihan dalam mengatasi
permasalah yang ada di wilayah Jabodetabekjur, Karena analisis kebijakan
dapat dilaksanakan ketika kebijakan tersebut belum ada atau sudah dibuat.
Untuk itu peneliti akan menganalisis kebijakan tersebut. Berikut bagan
kerangka berfikir dalam analisis Kebijakan Program Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur oleh Komite 1 DPD RI.
74
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berfikir
Masalah di wilayah Jabodetabekjur :
1. Kurangnya koordinasi antarpemerintah Provinsi, kabupaten/kota di wilayah
Jabodetabekjur.
2. Permasalahan banjir, kemacetan, kepadatan penduduk, defisit air tanah,
ketimpangan sumber daya manusia, ketimpangan pembangunan akibat Jakarta
sebagai pusat dari seluruh kegiatan perekonomian sehingga seluruh aktivitas
pembangunan terfokus di Jakarta saja
3. Belum adanya regulasi terkait penyatuan wilayah Jabodetabekjur sebagai satu
kesatuan oleh Badan/Kementerian yang ditunjuk.
Proses Analisis Kebijakan Menurut Dunn :
1. Merumuskan Masalah
2. Peramalan Masa Depan Kebijakan
3. Rekomendasi Kebijakan
4. Pemantauan Hasil Kebijakan
5. Evaluasi Kinerja Kebijakan
(Sumber : Pengantar Analisis
Kebijakan Publik, William N. Dunn,
2003)
“ Analisis Kebijakan Pengelolaan
Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai
Kawasan Megapolitan ”
OUTPUT :
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur
(Sumber : Peneliti. 2015)
75
2.8 Asumsi Dasar Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa penyatuan wilayah
Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan wilayah regulasi belum optimal. Regulasi
Pembangunan Pemerintah DKI Jakarta, Jabar, dan Banten tersebut dari tahun
ke tahun terkesan statis, hanya terkonsentrasi di pusat perkotaan sehingga akan
semakin terlihat disparitas pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Hal
ini dapat terlihat pada masalah-masalah yang timbul dalam latar belakang
masalah. Saat ini Jakarta masih sebagai pusat pembangunan dan mengundang
banyak masyarakat di sekitar Bodetabekjur untuk datang ke Jakarta. Namun,
dari sinilah menimbulkan permasalahan seperti kepadatan penduduk, banjir,
kemacetan dan permasalahan pemukiman.
Program regulasi ini belum dapat dilaksanakan secara optimal
dikarenakan perbedaan derajat otonomi daerah DKI Jakarta dengan wilayah
Jabar dan Banten. Selain itu belum adanya sinkronisasi antar pemerintah
daerah di wilayah Jabodetabekjur. Untuk itu perlu adanya suatu kebijakan yang
mengatur terbentuknya suatu regulasi terkait kawasan megapolitan di
Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori analisis kebijakan
publik menurut Dunn sebagai acuan untuk menganalisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2012 : 2).
Metodologi penelitian merupakan suatu usaha pembuktian terhadap suatu
objek penelitian untuk memperoleh kebenaran dari permasalahan dengan
menggunakan pendekatan ilmiah untuk mendapatkan hasil yang objektif dan
dapat dipertanggunjawabkan kebenarannya. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2007 : 6) metode
Penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah. Sedangkan Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2007 : 4)
mengemukakan bahwa ;
76
77
“ Metodologi penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati ”.
Pendekatan kualitatif dipergunakakan karena untuk meneliti kondisi
objek yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitiannya lebih menekankan pada makna dari
pada generalisasi (Sugiyono, 2012 : 15). Penelitian kualitatif lebih menekankan
pada proses daripada produk atau outcome dan juga digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna.
Menurut Denzim dan Lincol (dalam Moleong 2007 : 5) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi definisi, penelitian kualitatf
merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah
dan memahami sikap, pandangan perasaan dan perilaku individu ataupun
sekelompok orang.
3.2 Fokus Penelitian
Untuk mempertajam penelitian, peneliti kualitatif menetapkan fokus
penelitian. Spradley (dalam Sugiyono 2012 : 208) menyatakan bahwa “A
focused refer to a single cultural domain or a few related domains”.
Maksudnya adalah bahwa fokus itu merupakan domain tunggal atau beberapa
domain yang terkait dari situasi sosial.
78
Pada penelitian kualitatif, penentuan fokus lebih didasarkan pada
tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial (lapangan).
Kebaruan informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara lebih luas
dan mendalam tentang situasi sosial.Tetapi juga ada keinginan untuk
menghasilkan ilmu baru dari situasi sosial yang diteliti.Fokus penelitian yang
diperoleh setelah peneliti melakukan penjelajahan umum. Dari penjelajahan
umum ini peneliti akan memperoleh gambaran umum menyeluruh yang masih
pada tahap permukaan terhadap situasi sosial. Untuk dapat memahami secara
lebih luas dan mendalam, maka diperlukan pemilihan fokus penelitian.Oleh
karena itu dalam penelitian ini peneliti mengambil fokus penelitian mengenai
Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai
Kawasan Megapolitan oleh Komite I DPD RI (Periode 2009-2014).
3.3 Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai analisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan oleh Komite 1 DPD RI ,
dilakukan di Kantor Sekretariat Jendral DPD RI, Jalan Jendral Gatot Subroto
Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD No.6 Senayan, Jakarta. Sedangkan
penyusunan skripsi dilakukan di rumah peneliti di Jalan Raya Petir KM.5
No.11 RT/RW 001/002 Cilaku, Curug Serang-Banten.
Alasan mengambil lokasi di Komite DPD RI dikarenakan komite I
DPD RI adalah sebagai inisiator atau pengusung dari dibentuknya kebijakan
ini. Selain itu kajian, rapat dan pembahasan mengenai kebijakan megapolitan
Jabodetabekjur lebih sering diadakan di Kantor Sekjen DPD RI. Untuk itu
79
memudahkan peneliti untuk mendapatkan informasi yang valid guna penelitian
ini. Selain itu alasan lain dikarenakan penelitian mengenai kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur ini terhitung baru dan masih belum banyak
diketahui banyak orang bahwa akan dibentuk sebuah kebijakan pembentukan
kawasan megapolitan di Jabodetabekjur, untuk itu peneliti tertarik untuk
menjadikan kebijakan megapolitan Jabodetabekjur sebagai topik dalam
penelitian ini.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Definisi Konsep
Fenomena yang diamati dalam penelitian ini adalah mengenai Analisis
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawsan
Megapolitan oleh Komite I DPD RI. Konsep analisis kebijakan dalam proses
kebijakan publik tentu sangatlah penting. Analisis kebijakan dapat dilakukan
pada saat kebijakan belum dibuat atau sudah dibuat. Dalam pembentukan
kebijakan megapolitan Jabodetabekjur diperlukan banyak kajian dan analisis
guna mendapatkan rekomendasi yang terbaik yang dapat di gunakan sebagai
alternatif kebijakan untuk menjawab permasalahan di Jabodetabekjur.
Adapun definisi mengenai analisis kebijakan dari beberapa ahli, peneliti
dapat menyimpulkan bahwa analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas
intelektual yang dilakukan untuk menciptakan, menilai, menyintesiskan
informasi untuk menghasilkan format kebijakan dalam proses pembuatan
kebijakan.
80
3.4.2 Definisi Operasional
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa fenomena yang akan
diamati dalam penelitian ini adalah mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan
Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawsan Megapolitan oleh Komite I
DPD RI. Beberapa hal penting mengenai fenomena yang akan diamati tersebut
akan peneliti nilai dengan menggunakan teori model analisis kebijakan
menurut Dunn.
Menurut Dunn (2003 : 25) ada lima (5) tahapan yang dilakukan dalam
proses analisis kebijakan yaitu :
1. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah adalah menilai, mencari kebutuhan atau
kesempatan apa yang belum dapat dipenuhi yang kemudian dapat
diperbaiki dan dicapai melalui tindakan publik.
2. Peramalan masa depan (forecasting)
Peramalan masa depan (forecasting) adalah suatu prosedur
membuat informasi faktual tentang situasi sosial di masa depan atas
dasar informasi yang telah ada di masa sekarang.
3. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan adalah prosedur analisis kebijakan yang
menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa
yang akan datang. Dapat dikatakan dalam langkah rekomendasi
kebijakan dapat menghasilkan alternatif kabijakan yang dapat
menjawab permasalahan yang ada.
81
4. Pemantauan Kebijakan
Pemantauan kebijakan atau biasa disebut monitoring merupakan
prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi
tentang sebab akibat kebijakan publik.
5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan adalah proses analisis kebijakan yang
menyediakan informasi yang valid mengenai kinerja kebijakan,
kemudian memberikan kritik, nilai-nilai yang mendasari tujuan,
sasaran dalam kebijakan publik.
3.5 Instrumen Penelitian
Menurut Sugiyono (2012 : 59) dalam penelitian kualitatif ini yang
menjadi instrumen penelitian atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri
(human instrument). Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus
“divalidasi” seberapa jauh peneliti siap melakukan penelitian yang selanjutnya
terjun ke lapangan. Validitas terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi
validitas terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan
wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki
objek penelitian baik secara akademik maupun logistiknya. Kemudian yang
melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh
pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan
terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan.
82
Sejalan dengan pendapat Moleong (2007 : 9), bahwa peneliti sendiri
atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini
dilakukan karenahanya manusia yang dapat berhubungan dengan responden
atau objek lainnya, dan manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-
kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrument pulalah yang dapat
menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila
terjadi hal yang demikian, tentunya dapat menyadarinya serta dapat
mengatasinya.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data
primer dan data sekunder. Peneliti merupakan key instrument dalam penelitian
kualitatif karena peneliti dapat merasakan langsung, mengalami, melihat
sendiri objek atau subjek yang diteliti, selain itu peneliti juga mampu
menentukan kapan penyimpulan data telah mencukupi, data telah jenuh dan
kapan penelitian dapat dihentikan dan peneliti juga dapat langsung melakukan
pengumpulan data, melakukan refleksi secara terus-menerus dan secara gradual
membangun pemahaman yang tuntas mengenai suatu hal.
3.6 Informan Penelitian
Menurut Moleong (2006 : 132) informan adalah orang yang
dimanfaakan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian. Dalam penelitian kualitatif informan bukan dinamakan responden,
tetapi sebagai narasumber, atau partisipan, teman dan guru penelitian. Maka
dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive
sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber
83
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya, orang
tersebut yang dianggap paling mengetahui tentang apa yang kita harapkan,
sehingga memudahkan peneliti untuk menjelajahi obyek yang diteliti. Menurut
Patton (dalam Denzin 2009 : 290), alasan logis di balik teknik Purposive dalam
penelitian kualitatif merupakan prasyarat bahwa sampel yang dipilih sebaiknya
memiliki informasi yang kaya (rich information). Walaupun demikian dalam
pelaksanaan penelitian di lapangan nanti, tidak menutup kemungkinan peneliti
juga akan menggunakan teknik Snowball, yaitu jumlah informan akan
bertambah sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian. penggunaan teknik
tersebut disesuaikan dengan kondisi atau situasi yang ada di lapangan.
Untuk melakukan penelitian mengenai analisis kebijakan pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan oleh Komite 1
DPD RI, peneliti telah memilih beberapa informan yang akan peneliti
wawancarai yakni anggota staf ahli Komite 1 DPD RI, anggota Timja
Pembuatan Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur, tim ahli Penyusunan
Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur, dan sekretariat Komite 1, antara lain;
84
Tabel 3.1
Informan Penelitian
No.
Informan
Keterangan
Peran dan Fungsi
Kode
1.
Anggota Timja pembuatan
RUU Megapolitan
Jabodetabekjur
Key informan melakukan kajian
mendalam,
menampung aspirasi,
membuat inventarisasi
masalah, mengajukan
RUU, melakukan
pengawasan terhadap
kebijakan
N.1
2.
Staf Ahli Komite 1 DPD
RI
Key informan Memberikan dukungan
substantif/materi,
memberikan
pandangan, pendapat
dalam penyusunan
RUU, dan melakukan
pengawasan kepada
DPD
N.2
3.
Staf Rapat Komite 1
Secondary
informan
mengumpulkan materi,
bahan rapat, dari
inventarisasi masalah
N.3
4.
Tim Ahli penyusunan
RUU Megapolitan
Jabodetabekjur
Key informan
Memberikan gambaran
mengenai pola
megapolitan yang akan
dibentuk di wilayah
Jabodetabekjur di masa
yang akan dating
N.4
5.
Anggota Komite 1 DPD
RI
Secondary
informan
Menampung dan
mengumpulkan
aspirasi, Mengajukan
N.5
85
RUU, melakukan
fungsi pengawasan
terhadap kebijakan
pemerintah serta
memberikan penilaian
mengenai pencapaian
dari kebijakan
6.
Kabag Komite 1 DPD RI
Secondary
informan
Melakukan
pengawasan kepada
anggota Komite I,
memfasilitasi rapat,
kajian, untuk mebahas
RUU yang tengah
dibahas untuk diajukan
N.6
7.
Masyarakat di wilayah
Jabodetabekjur
Secondary
Informan
Sebagai pemantau
kebijakan yang telah
dibuat pemerintah
N.7
3.7 Teknik Pengeolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan data merupakan langkah yang paling penting dan
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan (Sugiyono, 2012 : 63). Menentukan teknik pengumpulan data yang
dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara),
kuisioner (angket), dokumentasi, dan gabungan keempatnya.
86
a. Metode Observasi
Nasution (dalam Sugiyono 2008 : 226) menyatakan bahwa observasi
adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui
observasi. Berdasarkan keterlibatan pengamatan dalam kegiatan-kegiatan
orang yang diamati, observasi dapat dibedakan menjadi observasi partisipan
(participant observesation) dan observasi nonpartisipan (nonparticipant
observation).
Soehartono (2004 : 70), menjelaskan, dalam observasi partisipan
peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau
yang digunakan sebagai sumber penelitian, atau pengamat ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subyek yang diteliti atau yang diamati,
seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Dalam jenis prosedur ini, peneliti
adalah bagian dari keadaan alamiah, tempat dilakukannya observasi. Dengan
demikian pengamatan akan lebih mudah mengamati kemunculan tingkah laku
yang diharapkan. Observasi partisipan dinilai memiliki daya tarik yang tinggi
sebagai suatu metode. Namun tidak semua orang ingin atau mampu
menyediakan waktu untuk masalah yang dianggap tidak sah atau bernilai
negatif, dan juga resiko dalam cara-cara mendapatkan data.
Black & Champion (2005 : 289) menyatakan dalam observasi
nonpartisipan peranan tingkah laku peneliti dalam kegiatan-kegiatan yang
berkenaan dengan kelompok yang diamati kurang dituntut, observasi
nonpartisipan adalah suatu prosedur yang dengannya peneliti mengamati
87
tingkah laku orang lain dalam keadaan alamiah, tetapi peneliti tidak melakukan
partisipasi terhadap kegiatan di lingkungan yang diamati. Tentunya diperlukan
keahlian untuk dapat memadukan keadaan sekitar dan mencatat hasil
pengamatan yang kiranya telewati.
Sugiyono (2008 : 228) menyatakan berdasarkan cara pengamatan yang
dilakukan, observasi juga dibedakan menjadi dua bagian yaitu observasi tak
berstruktur dan observasi berstruktur. Observasi dalam penelitian kualitatif
dilakukan dengan tidak berstruktur. Observasi tidak berstruktur adalah
observasi yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan
diobservasi. Hal ini dilakukan karena peneliti tidak tahu secara pasti tentang
apa yang diamati. Dalam melakukan pengamatan peneliti tidak menggunakan
instrument yang telah baku, tetapi hanya berupa rambu-rambu pengamatan.
Soehartono menjelaskan, observasi berstruktur digunakan apabila peneliti
memusatkan perhatian pada tingkah laku tertentu sehingga dapat dibuat
pedoman tentang apa saja yang diamati. Dalam penelitian ini, peneliti
melakukan observasi partisipan dan observasi nonpartisipan. Dimana peneliti
ikut dalam rapat mengenai kajian Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur oleh Komite I DPD RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU) dan Focus Group Discussion (FGD).
b. Wawancara
Moleong (2006 : 186) menyatakan metode wawancara merupakan
metode yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
88
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan menurut Suhartono
(2004 : 68), wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data)
kepada responde, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan
alat perekam (tape recorder). Metode wawancara diperlukan hanya sebagai
tools pengumpul data bersama-sama instrument lain.
Menurut Irawan (2006 : 59) metode wawancara merupakan suatu alat
pengummpulan data yang digunakan dengan instrumen lainnya. Tetapi sebagai
metode, wawancara merupakan satu-satunya alat yang diperlukan berpusat
pada informan (responden). Wawancara dalam kualitatif bersifat mendalam.
Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab dan bertatap muka antara pewancara dan
informan adapun pedoman wawancara yang digunakan yaitu wawancara
terstruktur dan terbuka yaitu wawancara berupa garis besar permasalahan yang
akan ditanyakan tanpa memberikan alternatif pilihan bagi informan.
Menurut Sugiyono (2008 : 140) wawancara dapat dilakukan secara
terstruktur dan tidak terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka
ataupun dengan menggunakan telepon. Pada penelitian kali ini, peneliti
menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur untuk memperoleh data
dalam penelitian ini. Menurut Moleong (2006 : 190) wawancara tidak
terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
89
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa
garis-garis besar permasalahan yang ditanyakan. Wawancara demacam ini
digunakan untuk menentukan informasi yang bukan baku atau informan
tunggal. Responden biasanya terdiri atas mereka yang terpilih saja karena sifat-
sifatnya yang khas. Biasanya mereka memiliki pengetahuan dan mendalami
situasi, dan mereka lebih mengetahui informasi yang diperlukan.
Wawancara mendalam (indepth interview) adalah data yang diperoleh
terdiri dari kutipan langsung dari orang-orang tentang pengalaman, pendapat
perasaan dan pengetahuan informan penelitian. Informan penelitian adalah
orang yang memberikan informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
Informasi ini meliputi beberapa macam, seperti:
1. Informan kunci (key informan) yaitu mereka yang mengetahui dan
memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian.
2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi
sosial yang diteliti.
3. Informan tambahan yaitu mereka yang dapat memberikan informasi
walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial.
Wawancara dilakukan dengan cara mempersiapkan terlebih dahulu
berbagai keperluan yang dibutuhkan yaitu sampel informan, kriteria informan
dan pedoman wawancara disusun dengan rapih dan terlebih dahulu dipahami
peneliti sebelum melakukan wawancara peneliti terlebih dahulu melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a. Menerangkan kegunaan serta tujuan dari penelitian.
b. Menjelaskan alasan informan terpilih untuk diwawancarai.
c. Menjelaskan situasi atau badan yang melaksanakan.
90
Hal-hal tersebut bertujuan untuk memberikan motivasi kepada
informan untuk melakukan wawancara dengan menghindari keasingan serta
rasa curiga informan untuk memberikan keterangan dengan jujur, selanjutnya
peneliti mencatat keterangan-keterangan yang diperoleh dengan cara
pendekatan kata-kata dan merangkainya kembali dalam bentuk kalimat.
Dalam penelitian ini, pedoman wawancara dibuat dan disusun dengan
mengacu pada teori Dunn dengan lima (5) indikator dalam proses analisis
kebijakan publik, yang digunakan sebagai barometer dengan melibatkan
berbagai informan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pembuatan
Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur oleh Komite 1 DPD
RI. Adapun secara rinci mengenai indikator serta informan yang dilibatkan
dalam penelitian ini dapat diuraikan dalam tabel 3.1 berikut ini.
91
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
Indikator
Informan
Subdimensi
1. Pencarian
Masalah
(1) Anggota Timja dalam
pembuatan RUU
Jabodetabekjur
(2) Staf Rapat Komite 1
(1) Masalah yang ada di wilayah
Jabodetabekjur
(2) Masalah yang terjadi dalam
pembuatan Kebijakan
Pengelolaan Terpadu
Megapolitan Jabodetabekjur
(3) Penyebab kurang koordinasi
antarpemerintah di wilayah
Jabodetabekjur
2. Peramalan (1) Anggota staf ahli
Komite 1 DPD RI
(2) Tim Ahli RUU Program
Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur
(1) Model kawasan megapolitan Jabodetabekjur
(2) Pola hidup masyarakat
Jabodetabekjur setelah
dibentuk kawasan megapolitan
(3) Dampak di masa depan apabila
segala masalah belum dapat
diselesaikan
3. Rekomenda
si
Kebijakan
(1) Anggota Timja dalam
pembuatan RUU
Jabodetabekjur (Anggota
Komite 1 DPD RI)
(2) Staf Ahli Komite 1 DPD
RI
(1) Alternatif kebijakan untuk
pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur
(2) Pola atau model yang akan
digunakan sebagai alternatif
kebijakan dalam pembentukan
kawasan megapolitan
(3) Rekomendasi yang ditawarkan
diharapkan mampu menjawab
permasalahan yang ada
4. Pemantaua
n
(1) Anggota Komite 1 DPD
RI
(1) Pemantauan kebijakan yang
dilakukan oleh
Badan/Kementerian terkait
92
Kebijakan (2) Masyarakat di wilayah
Jabodetabekjur
(3) Kabag Komite I
(2) Keikutsertaan Komite 1 dalam
pemantauan kebijakan
pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur
(3) Proses pemantauan secara teknis
yang dilakukan
(4) Keikutsertaan masyarakat
Jabodetabekjur dalam
pemantauan kebijakan
5. Evaluasi
Kebijakan
(1) Anggota Komite 1 DPD
RI
(2)Anggota Timja RUU
Jabodetabekjur
(1) Dampak yang ditimbulkan dari
pembentukan kawasan
megapolitan
(2) Penilaian kesesuaian dengan
target/sasaran dalam pembuatan
kawasan megapolitan
(3) Evaluasi kebijakan dilakukan
oleh Badan/Kementerian yang
ditunjuk
c. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh
data dari buku, karya ilmiah, media masa, teks book, artikel, koran, naskah
akademik, jurnal, dan masih banyak lagi untuk menambah atau mendukung
sumber informasi atau data yang diperlukan dalam penelitian ini.
d. Studi Dokumentasi
Soehartono (2004 : 70) mengemukakan bahwa studi dokumentasi
merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada
subjek penelitian. Dokumen dapat berupa buku harian, surat, laporan, notulen
rapat, dan dokumen lainnya. Sedangkan menurut Sugiyono (2008 : 240)
93
dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan harian, cerita, biografi, peraturan, kebijakan dan lainnya.
Dokumen yang berupa gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-
lain. Studi dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang
diperlukan dalam sebuah penelitian. Studi dokumentasi adalah setiap bahan
tertulis atau film, dan foto-foto yang dipersiapkan karena adanya permintaan
seorang penyisik. Selanjutnya studi dokumentasi dapat diartikan sebagai teknik
pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis yang diterbitkan oleh lembaga-
lembaga yang menjadi objek penelitian. Baik berupa prosedur, peraturan-
peraturan, gambar, laporan hasil pekerjaan, serta berupa foto ataupun dokumen
elektronik (rekaman).
Pada analisis data merupakan pekerjaan yang sulit dalam penelitian,
membutuhkan kerja keras, ketelitian dan memerlukan adanya kreatifitas yang
tinggi. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Irawan 2006 : 26), analisis data
adalah proses mencari dan mengatur secara sistematis transkip interview,
catatan di lapangan, dan bahan-bahan yang didapatkan, yang kesemuanya itu di
kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu fenomena dan
membantu untuk mempresentasikan penemuan kepada orang lain. Tersirat
dalam penjelasan ini bahwa analisis data terkait erat dengan pengumpulan
dengan intrepretasi data. Sedangkan analisis data di lapangan model Irawan
(2006 : 27) berikut ini :
94
1. Pengumpulan data mentah
2. Transkip data
3. Pembuatan koding
4. Penyimpulan sementara
5. Triangulasi
6. Penyimpulan akhir
Pada Penelitian ini, teknik analisa data dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Dalam menganalisis selama di lapangan, peneliti
menggunakan model Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa
aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif yang
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah
jenuh. Proses datanya mencakup:
1. Data Collection (Pengumpulan data)
Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data adalah satu tahap
yang sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan
dilaksanakan tersebut. Kesalahan dalam melaksanakan pengumpulan data
dalam satu penelitian, akan berakibat langsung terhadap proses dan hasil suatu
penelitian.
Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan
penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas
dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data diartikan sebagai
proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mengungkap atau
menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai
dengan lingkup penelitian. Dalam prakteknya, pengumpulan data ada yang
95
dilaksanakan melalui pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dengan
kondisi tersebut, pengertian pengumpulan data diartikan juga sebagai proses
yang menggambarkan proses pengumpulan data yang dilaksanakan dalam
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Pengumpulan data, dapat dimaknai juga sebagai kegiatan peneliti dalam
upaya mengumpulkan sejumlah data lapangan yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian (untuk penelitian kualitatif), atau menguji
hipotesis (untuk penelitian kuantitatif). Merujuk pada hal tersebut, betapa
pentingnya pengumpulan data dalam proses penelitian. Tanpa data lapangan,
proses analisis data dan kesimpulan hasil penelitian, tidak dapat dilaksanakan.
2. Data Reduction (Raduksi Data)
Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari pola dan temanya. Dengan
demikian data yang sudah direduksi, akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya jika diperlukan.
3. Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplay data.
Penyajian data dapat dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori dan selanjutnya, yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data dalam metode kualitatif adalah dengan teks
yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk
96
memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami.
4. Conclusion Drawing/Verivication (Penarikan Kesimpulan)
Langkah ketiga dalam menganalisis data kualitatif menurut Miles dan
Huberman adalah Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang
dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti dan data-data yang kuat yang mendukung pada tahap-tahap
pengumpulan data selanjutnya.
3.8 Uji Keabsahan Data
Pada uji keabsahan data, peneliti akan menggunakan metode
triangulasi. Metode Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sumber yang lain diluar data itu, untuk pengecekan atau
pembanding terhadap data itu. Hal ini berarti membandingkan dan mengecek
baik derajat kepercayaan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitaif. Ada tiga (3) Triangulasi yaitu, triangulasi
sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, triangulasi waktu (Sugiyono
2012 : 273). Dalam penelitian ini metode triangulasi dilakukan peneliti dengan
mengecek data melalui wawancara dengan narasumber. Keabsahan data
dilakukan melalui wawancara mengenai kebenaran informasi yang diberikan
oleh narasumber melalui wawancara dengan staf sekretariat komite 1 DPD RI.
97
3.9 Jadwal Penelitian
Penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah sebagai kawasan megapolitan, penelitian dan wawancara dilakukan di
Kantor Sekretariat Jendral DPD RI, Jalan Jendral Gatot Subroto No. 6
Senayan, Jakarta. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan
oktober 2014 sampai dengan bulan Juni 2015.
Tabel 3.3
Jadwal Penelitian
Nama
Kegiatan
Waktu Penelitian
Okt
2014
Nov
2014
Des
2014
Jan
2015
Feb
2015
Mar
2015
Apr
2015
Mei
2015
Juni
2015
Juli
2015
Agu
2015
Pengajuan Judul
Acc Judul Penelitian
Observasi Awal
Penyusunan Proposal
Bimbingan dan Perbaikan
Proposal
Penyerahan Proposal
Seminar Proposal
Revisi Proposal
Wawancara
Penyusunan Hasil
Penelitian
Sidang Skripsi
Revisi Skripsi
98
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah salah
satu lembaga tinggi negara yang mempunyai fungsi legislatif. DPD RI lahir
dari semangat pembaharuan untuk melepaskan belenggu sistem pemerintahan
sentralistik menuju era desentralisasi dan otonomi daerah. Gagasan dasar
pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi
daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam
proses pengambilan keputusan politik, terutama dalam hal yang berkaitan
langsung dengan kepentingan daerah.
Secara normatif, keadaan dalam ketatanegaraan, kedudukan DPD RI
sangat kuat. Kedudukan DPD RI diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 Pasal 22D dimana ruang lingkup tugas DPD RI sangat luas terutama
terkait dengan tugas-tugas pendampingan daerah. Tugas yang dimaksud dalam
Pasal 22D melingkupi tugas legislasi, perimbangan, dan pengawasan seacara
operasional diatur dalam Undang-Undang (UU) No.27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU MD3).
99
Kedudukan anggota DPD RI dikenal dengan istilah senator berasal dari
dari daerah non partai, dimana setiap provinsi diisi oleh empat (4) orang
perwakilan. Keberadaan DPD sangat penting karena sebagai penyeimbang
dalam kelembangan di Indonesia. DPD RI merupakan lembaga yang
menjembatani antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya DPD RI memiliki visi, misi dan alat
kelengkapan sebagai berikut ;
a. Visi DPD RI
Rumusan visi suatu organisasi atau lembaga pada dasarnya adalah
pernyataan cita-cita yang hendak dicapai atau dituju oleh lembaga atau
organisasi yang bersangkutan. Secara normatif, rumusan visi tersebut menjadi
pedoman dasar semua arah kebijakan, keputusan, dan tindakan yang akan
dilakukan. Karena itu, visi juga merupakan pernyataan pikiran dan kehendak
untuk berubah dari keadaan yang ada saat ini (das sein) ke suatu keadaan yang
diinginkan (das sollen).
Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat
ini masih terbentur pada satu masalah utama, yakni keberadaannya yang nisbi
dan „serba-tanggung‟ sebagai suatu lembaga legislatif. Gagasan dasar
pembentukan sebagai suatu lembaga pengimbang (check and balance)
kekuasaan, baik di lingkungan lembaga legislatif sendiri (DPR dan MPR RI)
maupun di lembaga-lembaga eksekutif (pemerintah), belum sepenuhnya
berfungsi secara optimal dan efektif. Ada beberapa penyebab utama yang dapat
diidentifikasi, setidaknya sampai saat ini, yakni:
100
1. Keberadaannya sebagai suatu lembaga baru belum menemukan format
kerja dan struktur kelembagaan yang memadai;
2. Sebagian besar anggotanya adalah orang-orang baru dalam dunia politik
yang belum memiliki pengalaman nyata dalam praktik-praktik sistem
politik Indonesia selama ini; dan
3. Batasan fungsi dan kewenangan yang ada belum memiliki kekuatan
penuh dalam proses legislasi.
Berdasarkan masalah pokok dan mendasar itulah, rumusan visi DPD RI
yang disepakati pada Lokakarya Perencanaan Strategis DPD RI, 30 Agustus –
1 September 2005 adalah sebagai berikut : Terwujudnya Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai lembaga legislatif dalam sistem
tata negara Indonesia yang kuat, setara dan efektif dalam memperjuangkan
aspirasi rakyat dan daerah menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat,
sejahtera, dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
b. Misi DPD RI
Untuk melaksanakan visi di atas, tentu ditunjang dengan misi yang
kuat, misi DPD RI (Periode 2009-2014), yaitu sebagai berikut :
1. Memperjuangkan penataan sistem ketatanegaraan untuk memperkuat
sistem check and balances melalui perubahan tahap ke lima (5) Undang-
Undang Dasar 1945;
101
2. Mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang DPD RI dalam mengajukan
usul, ikut membahas, memberikan pertimbangan UU tertentu, dan
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tertentu
3. Memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan bangsa yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan,
dan berkesinambungan serta berwawasan lingkungan dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
4. Meningkatkan sinergi dan interaksi serta kerjasama anggota DPD RI
dengan para pemangku kepentingan untuk efektivitas perjuangan aspirasi
dan kepentingan daerah dalam kebijakan nasional;
5. Mendorong pemerintah pusat untuk memberi perhatian yang lebih besar
terhadap isu-isu penting dan strategis di daerah;
6. Mendorong pemerintah daerah mengidentifikasi dan menyusun strategi
dalam mengatasi isu-isu dan persoalan penting di daerah;
7. Meningkatkan kinerja politik anggota DPD RI melalui institusional
building, capacity building, and image building;
8. Melakukan sosialisasi DPD RI melalui berbagai terobosan kegiatan yang
terprogram tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Fungsi, Tugas & Wewenang DPD RI
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki tiga (3) fungsi dalam
menajalan kan fungsinya, yaitu sebagai berikut ;
1. Fungsi Legislasi
Tugas dan wewenang:
102
a. Dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR
b. Ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Bidang Terkait: Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah;
Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; Pengelolaan sumberdaya
alam dan sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
2. Fungsi Pertimbangan :
Memberikan pertimbangan kepada DPR
3. Fungsi Pengawasan
Tugas dan wewenang :
a. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
b. Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK
Bidang Terkait : Otonomi daerah; Hubungan pusat dan daerah;
Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah; Pengelolaan
sumberdaya alam serta sumberdaya ekonomi lainnya; Perimbangan keuangan
pusat dan daerah; Pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN); Pajak, pendidikan, agama, Undang-Undang dan menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR.
d. Alat Kelengkapan DPD RI
Dalam melaksanakan tugasnya DPD RI dibagi ke dalam empat (4)
komite yang menangai bidang-bidang terkait. Dari masing-masing provinsi
terdiri dari empat (4) orang anggota DPD. Dalam setiap komite diwakili oleh
103
satu orang dari setiap provinsi. Setiap komite memiliki tugas dan fungsi
sebagai berikut :
1. Komite I DPD RI
Komite I DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.
Lingkup tugas Komite I sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan
memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut :
1. Pemerintah daerah;
2. Hubungan pusat dan daerah serta antar daerah;
3. Pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
4. Pemukiman dan kependudukan;
5. Pertanahan dan tata ruang;
6. Politik, hukum, HAM dan ketertiban umum; dan
7. Permasalahan daerah di wilayah perbatasan negara
2. Komite II DPD RI
Komite II DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pengelolaan sumber daya alam; dan
pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya. Lingkup tugas Komite II
sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah
dan masyarakat, sebagai berikut :
1. Pertanian dan Perkebunan;
2. Perhubungan;
104
3. Kelautan dan Perikanan;
4. Energi dan Sumber daya mineral;
5. Kehutanan dan Lingkungan hidup;
6. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal;
7. Perindustrian dan Perdagangan;
8. Penanaman Modal; dan
9. Pekerjaan Umum.
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, maka
komite II DPD RI :
a. Menyampaikan konsepsi usul rancangan undang-undang dalam
rangka penyusunan program legislasi nasional untuk 1 (satu) masa
keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran; dan
b. menyampaikan usulan rencana kerja dan acara persidangan Komite
kepada Panitia Musyawarah.
(2) Komite membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah baik yang
sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai
bahan Komite pada masa keanggotaan tahun sidang berikutnya.
3. Komite III DPD RI
Komite III DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada pendidikan dan agama. Lingkup
tugas Komite III sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan
urusan daerah dan masyarakat, sebagai berikut :
105
1. Pendidikan;
2. Agama;
3. Kebudayaan;
4. Kesehatan;
5. Pariwisata;
6. Pemuda dan olahraga;
7. Kesejahteraan sosial;
8. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; dan
9. Ketenagakerjaan.
4. Komite IV DPD RI
Komite IV DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat
tetap, yang mempunyai lingkup tugas pada rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan APBN; perimbangan keuangan pusat dan daerah;
memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan
Anggota BPK; pajak; dan usaha mikro, kecil dan menengah. Lingkup tugas
Komite IV sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan urusan
daerah dan masyarakat, sebagai berikut :
1. Anggaran pendapat dan belanja negara;
2. Pajak dan pungutan lain;
3. Perimbangan keuangan pusat dan daerah;
4. Pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan pemilihan
anggota BPK;
5. Lembaga keuangan; dan
106
6. Koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah
5. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)
Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) merupakan alat
kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap, bertugas menyiapkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) inisiatif DPD yang akan disampaikan kepada DPR.
6. Panitia Musyawarah (Panmus)
Panitia Musyawarah (Panmus) merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap. Sebagai pimpinan dalam Panmus adalah pimpinan DPD RI
sendiri. Panmus bertugas merancang dan menetapkan arah kebijakan yang akan
dibuat oleh DPD.
7. Badan Kehormatan (BK)
Badan Kehormatan (BK) merupakan alat kelengkapan DPD yang
bersifat tetap, yang bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan terhadap anggota DPD. Selain itu, BK juga bertugas untuk
mengevaluasi dan menyempurnakan peraturan DPD tentang tata tertib dan
kode etik DPD.
8. Panitia akuntabiltas Publik (PAP)
Panitia akuntabiltas Publik (PAP) yang bertugas melakukan penelaahan
lanjutan terhadap temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang
disampaikan kepada DPD.
9. Panitia Hubungan Antar Lembaga (PHAL)
Panitia Hubungan Antar Lembaga (PHAL) merupakan alat
kelengkapan DPD yang bertugas membina, mengembangkan, dan
107
meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan
lembaga sejenis, lembaga pemerintah, maupun non-pemerintah, baik secara
bilateral maupun multilateral.
10. Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
adalah bagian integral dari DPD yang merupakan pengelompokan anggota
DPD yang merangkap sebagai anggota MPR.
11. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT)
Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) adalah alat kelengekapan DPD
yang bersifat tetap, yang bertugas membantu pimpinan dalam menentukan
kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan anggota DPD dan
pegawai Sekretariat Jenderal.
4.1.1 Profil Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang terletak di wilayah
bagian barat pulau Jawa, Ibukota Provinsi Jawa Barat adalah kota Bandung.
Luas wilayah Jawa Barat adalah 35.222.18 km², dengan jumlah penduduk pada
tahun 2012 berjumlah 45.053.732 jiwa. Jawa Barta terdiri dari 18 Kabupaten, 9
Kota, 584 Kecamatan, dan 5.201 Desa dan 609 Kelurahan. Provinsi Jawa Barat
dipimpin oleh H. Ahmad Heryawan dan wakilnya H. Deddy Mizwar
(www.jabarprov.go.id, 2012 diakses pada 15 April 2015).
Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No. 11 Tahun 1950
tentang pembentukan Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi
dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, di bagian barat berbatasan
108
langsung dengan DKI Jakarta. Pada tahun 2000. Jawa Barat dimekarkan
dengan berdirinya Provinsi Banten, yang semula Banten bagian dari wilayah
Provinsi Jawa Barat. Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi
Banten, maka wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi
ditetapkan menjadi provinsi Banten. Dengan UU tersebut Banten resmi
menjadi provinsi sendiri bukan lagi bagian dari Jawa Barat
(http//:www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-jawa-barat/profil-
daerah diakses pada 20 April 2015).
Sejak tahun 1996 Provinsi Jawa Barat melakukan pemekaran, sehingga
membentuk kota-kota baru. Berikut sembilan (9) Kota yang terdapat di Jawa
Barat. Kota-kota hasil pemekaran sejak tahun 1996 adalah :
a. Kota Bekasi dimekarkan dari Kabupaten Bekasi pada tahun
1996
b. Kota Depok dimekarkan dari Kabupaten Bogor pada tahun 1999
c. Kota Cimahi dimekarkan dari Kabupaten Bandung pada tahun
2001
d. Kota Tasimalaya dimekarkan dari Kabupaten Tasikmalaya pada
tahun 2001
e. Kota Banjar dimekarkan dari Kabupaten Ciamis pada tahun
2002
f. Kabupaten Bandung Barat dimekarkan dari Kabupaten Bandung
pada tahun 2007
109
g. Kabupaten Pangandaran dimekarkan dari Kabupaten Ciamis
pada tahun 2012
Berikut Tabel 4.1 Kabupaten dan Kota yang terdapat di Jawa Barat ;
Tabel 4.1 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
NO.
Kabupaten/Kota
Pusat
Pemerintahan
Kecamatan
Kelurahan/
Desa
1.
Kabupaten Bandung
Soreang
31
276
2.
Kabupaten Bandung
Barat
Ngamprah
16
165
3.
Kabupaten Bekasi
Cikarang
23
187
4.
Kabupaten Bogor
Cibinong
40
430
5.
Kabupaten Ciamis
Ciamis
26
Desa
6.
Kabupaten Cianjur
Cianjur
32
360
7.
Kabupaten Cirebon
Sumber
40
424
8.
Kabupaten Garut
Taragong
Kidul
42
442
110
9.
Kabupaten Indramayu
Indramayu
31
316
10.
Kabupaten Karawang
Karawang
30
309
11.
Kabupaten Kuningan
Kuningan
32
376
12.
Kabupaten Majalengka
Majalengka
26
336
13.
Kabupaten
Pangandaran
Parigi
10
92
14.
Kabupaten Purwakarta
Purwakarta
17
192
15.
Kabupaten Subang
Subang
30
253
16.
Kabupaten Sukabumi
Pelabuhan
Ratu
47
367
17.
Kabupaten Sumedang
Sumedang
26
279
18.
Kabupaten Tasikmalaya
Singaparna
39
348
19.
Kota Bandung
Bandung
30
151
20.
Kota Banjar
Banjar
4
25
21.
Kota Bekasi
Bekasi
12
56
111
22.
Kota Bogor
Bogor
6
68
23.
Kota Cimahi
Cimahi
3
15
24.
Kota Cirebon
Cirebon
5
22
25.
Kota Depok
Depok
11
63
26
Kota Sukabumi
Sukabumi
7
33
27.
Kota Tasikmalaya
Tasikmalaya
10
69
(sumber : http//: www.jabarprov.go.id/profil, 2012. Diakses 12 April 2015)
Dari wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat yang masuk
dalam regulasi pembentukan kawasan megapolitan adalah Kabupaten Bogor,
Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur.
Wilayah Kabupaten Cianjur yang termasuk ke dalam Kawasan Megapolitan
hanyalah sebagian saja, yakni wilayah Kecamatan Cugenang, Kecamatan
Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Cipanas.
4.1.2 Profil DKI Jakarta
Daerah Kota Istimewa (DKI) Jakarta adalah Ibukota negara Indonesia.
Dikarenakan Jakarta adalah Ibukota negara maka Jakarta mendapat perlakuan
istimewa yakni dengan mendapatkan otonomi khusus. Untuk itu Jakarta
disebut sebagai DKI Jakarta. Jakarta terletak dibagian barat laut pulau Jawa.
112
Dahulu, sebelum tahun 1527 Jakarta dikenal dengan nama Sunda Kelapa,
kemudian pada tahun 1527 – 1619 dikenal dengan nama Jayakarta. Lalu pada
tahun 1619 – 1942 Jakarta dikenal dengan nama Batavia, dan akhirnya pada
tahun 1942 – 1972 dikenal dengan nama Djakarta, dan sekarang menjadi
Jakarta. Jakarta memiliki luas sekitar 661,52 km². Dengan luas lautan 6.977,5
km². Dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 berjumlah 10.187.595 jiwa.
Secara administratif Jakarta terdiri dari 44 Kecamatan, 267
Desa/Kelurahan dan lima (5) kota administratif yakni, Jakarta Barat, Jakarta
Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat. Saat ini DKI Jakarta
dipimpin oleh Basuki Tjahja Purnama yang sering disapa Ahok.
Secara geografis, di sebelah selatan dan timur berbatasan langsung
dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
Sebelah barat berbatasan dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang,
serta di sebelah utara dengan laut jawa. Kondisi lautan DKI Jakarta
(http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/geografis-Jakarta di akses pada
29 Mei 2015).
4.1.3 Profil Provinsi Banten
Banten merupakan provinsi yang terletak di penghujung bagian barat
pulau Jawa. Semula Banten adalah bagian dari wilayah Jawa Barat, namun
sejak tahun 2000 dengan keputusan UU No. 23 Tahun 2000 tentang
Pembentukan Provinsi Banten, Banten resmi memisahkan diri dari Jawa Barat
dan menjadi provinsi sendiri. Ibukotanya terletak di Serang. Luas wilayah
113
provinsi Banten 9.160.70 km², dengan jumlah penduduk 10.544.030 jiwa.
Banten saat ini dipimpin oleh H. Rano Karno S.IP. Provinsi Banten terdiri dari
empat (4) kabupaten dan empat (4) kota, yakni kabupaten Serang, kabupaten
Pandeglang, kabupaten Lebak, dan kabupaten Tangerang. Kemudian terdapat
empat (4) kota yakni, Kota Serang, kota Tangerang, kota Cilegon, kota
Tangerang Selatan. Kemudian Banten memiliki 154 Kecamatan, 262
Kelurahan, dan 1.273 Desa (http//:id.m.wikipedia.org/wiki/Banten diakses
pada 13 April 2015).
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, karena
laut Selat Sunda yang terdapat di bagian barat Banten merupakan salah satu
jalur lalu lintas laut yang strategis yang dapat menghubungkan dengan negara-
negara tetangga, seperti Australia dan Selandia Baru. Selain itu Selat Sunda
sebagai penghubung antara pulau Jawa dan Sumatera. Secara ekonomi,
wilayah Banten memiliki banyak industri yang dapat menunjang perekonomian
masyarakat Banten itu sendiri. Apabila dikaitkan dengan posisi geografis, dan
pemerintahan terutama wilayah Tangerang (Kota Tangerang, Kabupaten
Tangerang, dan Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi
Jakarta. Untuk itu wilayah Tangerang masuk dalam bagian penyatuan regulasi
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan.
114
4.1.4 Profil Komite I DPD RI
Komite I merupakan alat kelengkapan yang ada di DPD RI. Anggota
DPD di Komite I berjumlah 33 orang dari masing-masing provinsi di
Indonesia. Ruang lingkup Komite I lebih banyak mengarah kepada otonomi
daerah, pemekaran, pembentukan dan penggabungan daerah, pertanahan dan
tata ruang, politik, hukum , dan HAM. Berikut nama-nama anggota DPD RI
Komite I ;
Tabel 4.2 Daftar Anggota Komite I DPD RI
NO.
NAMA
JABATAN
ASAL
PROVINSI
1. Alirman Sori, SH., M.Hum.,MM. Ketua Komite I Sumatera Barat
2. Drs. H. Abdurachman, M.AP. Wakil Ketua Komite I Banten
3. Drs. H. Kamaruddin, MH. Wakil Ketua Komite I Sultra
4. Hj. Aida Zulaika Nasution I, SE.,
MM
Anggota Komite I Kepri
5. H. M. Aksa Mahmud Anggota Komite I Sulsel
6. H. Amang Syarifudin, Lc Anggota Komite I Jawa Barat
7. Ir. Anang Prihantoro Anggota Komite I Lampung
8. Hj. Denty Eka Widi Pratiwi Anggota Komite I Jawa Tengah
115
9. Dr. Budi Doku Anggota Komite I Gorontalo
10. Ir. Emanuel Babu Eha, M.Si Anggota Komite I NTT
11. Dra. Eni Khairani, M.Si Anggota Komite I Bengkulu
12. Muhammad Gazali, Lc Anggota Komite I Riau
13. H. Habib Hamid Abdullah, SH., MH. Anggota Komite I Kalsel
14. Drs. Hafidh Asrom, MM. Anggota Komite I DIY
15. H. Ishaq Saleh Anggota Komite I Kalbar
16. Dra. Hj. Juniwati T. Masichun S Anggota Komite I Jambi
17. Luther Kombong Anggota Komite I Kaltim
18. H.T. Bachrum Manyak Anggota Komite I NAD
19. Drs. H. Mudaffar Sjah, M.Si Anggota Komite I Maluku Utara
20. Hj. Percha Leanpuri B.Bus, SE,
M.BA
Anggota Komite I Sumatera
Selatan
21. Dr. Rahmat Shah Anggota Komite I Sumatera Utara
22. Pdt. Rugas Binti, Bd., M.Div. M.
Min
Anggota Komite I Kalteng
23. Pdt. Dr. Silviana Hendriete Anggota Komite I Sulteng
116
Pandegirot, M.Th.
24. Drs. Paulus Yohanes Sumino, MM Anggota Komite I Papua
25. Tellie Gozali, SE Anggota Komite I Babel
26. Drs. H. Wahidin Ismail Anggota Komite I Papua Barat
27. Wasis Siswoyo, SH Anggota Komite I Jawa Timur
28. H. Dani Anwar Anggota Komite I DKI Jakarta
29. Prof. Farouk Muhammad Anggota Komite I NTB
30. Jacob Jack Ospara, S.Th., M.Th Anggota Komite I Maluku
31. Hj. Mulyana Isham, SH, MM Anggota Komite I Sulbar
32. Dra. Sintje Sondakh Mandey Anggota Komite I Sulut
33. I Wayan Sudirta, SH Anggota Komite I Bali
(Sumber : Sekretariat Komite I, 2014 : 173-174)
Dari 33 anggota Komite I DPD RI, dipilih menjadi 11 orang yang
menjadi tim kerja (timja) pembuatan RUU megapolitan Jabodetabekjur, yaitu
sebagai berikut :
1. Drs. H. Abdurahman (Koordinator).
2. H. Dani Anwar (Ketua Tim Kerja).
3. H. Amang Syafruddin, Lc. (Wakil Ketua Tim Kerja).
4. Drs. Kamaruddin, MH.
5. Prof. Farouk Muhammad.
117
6. DR. Rahmat Shah.
7. Denty Eka Widi Pratiwi, SE., MH.
8. Ir. Emanuel Babu Eha.
9. Drs. Paulus Yohanes Sumino.
10. Drs. Wahidin Ismail.
11. Habib Hamid.
Selain anggota DPD Komite I, dalam alat kelengkapan Komite I ada
bidang yang menangani urusan kesekretariatan yang membantu anggota
Komite I dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, yaitu sekeretariat Komite I.
Adapun tugas dari sekeretariat Komite I yaitu :
a. Fasilitator urusan kesekretariatan Komite I
b. Menyusun dan membuat bahan rapat
c. Menyiapkan undangan rapat
d. Menganalisis aspirasi masyarakat
e. Menganalisis fungsi pengawasan
f. Membuat jadwal rapat untuk Komite I
g. Mengakomodir kegiatan Komite I
h. Mengundang narasumber atau Tim ahli untuk membantu Anggota
Komite I
i. Pengelolaan persuratan dan arsip
j. Mengelola perencanaan dan anggaran
k. Mengelola administrasi dan pertanggungjawaban keuangan
4.1.5 Sejarah Kebijakan Pengelolaan Terpadu Jabodetabekjur sebagai
Kawasan Megapolitan
Konsep integrasi Jabodetabekjur sebagai suatu kesatuan fungsional
bermula tahun 1965 ketika Presiden Sukarno menginstruksikan penyusunan
Rencana Induk Jakarta dan sekitarnya kepada Direktorat Perencanaan Kota dan
118
Daerah. Direktorat ini lalu mengajukan gagasan Rancana Induk Wilayah
Metropolitan Jakarta yang meliputi Jakarta dan daerah sekitarnya, yakni
Depok, Serpong, Cibinong, Citeureup, Bogor. Saat inilah istilah “Jabodetabek”
pertama kali diperkenalkan dan hanya mencakup daerah terbangun (built up
area) saja.
Selanjutnya, diterbitkan naskah keputusan bersama No. 6575/A-1/1975)/
(2450/A/K/BKD/75) tahun 1975 tentang pembentukan Badan Persiapan
Daerah untuk pengembangan Metropolitan Jabotabek yang dimantapkan
melalui Keputusan bersama Gubernur Kepala Dati I Jawa Barat dan Gubernur
DKI Jakarta No. (D.IV-3201/d/11/1976) (197/Pem.121/SK/1976) tertanggal 14
Mei 1976 tentang pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP)
Jabotabek yang dikukuhkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
29/1980 lalu Keputusan Menteri Bapennas No.125/1984. BKSP Jabodetabek
dibentuk untuk mendukung koordinasi pembangunan infrastruktur di wilayah
Jabotabek.
Regulasi terkait penyatuan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) dilahirkan sejalan dengan perkembangan
dn dinamika wilayah Jakarta dan wilayah di sekitarnya. Namun dalam
perkembangannya, pertumbuhan wilayah Jakarta lebih cepat dibandingkan
dengan wilayah di sekitarnya. Wilayah Jabodetabekjur awalnya merupakan
satu kesatuan wilayah administrastif, yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta,
namun pada tahun 2000 Banten resmi menjadi provinsi bukan lagi bagian dari
119
Provinsi Jawa Barat, sehingga wilayah Tangerang menjadi bagian dari provinsi
Banten.
Pada awalnya regulasi terkait penyatuan wilayah Jabodetabekjur telah
lahir sejak tahun 1967, pada waktu itu telah dibuat kesepakatan untuk membuat
suatu kawasan regulasi terkait Jabotabek. Namun sejak saat itu hingga kini
belum adanya harmonisasi terkait regulasi kawasan di Jabodetabekjur. Secara
pengelolaan, Jabodetabekjur memerlukan kebijakan yang harmonis dan sinkron
untuk mengatasi permasalahan diwilayahnya yang dapat mengakomodasi
Jabodetabekjur sebagai satu kesatuan fungsional. Tujuan dari dibentuknya
regulasi terkait penyatuan wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan
megapolitan yaitu yang pertama untuk memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai
Ibukota Negara. Kemudian yang kedua untuk memeratakan pembangunan di
wilayah sekitar DKI Jakarta, agar tidak terjadi disparitas pembangunan.
Berdasarkan definisi yang tercantum dalam UU No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang kawasan Jabodetabekjur sudah tergolong kawasan
megapolitan, yakni sudah terdiri dari dua (2) atau lebih kawasan metropolitan
yang memiliki hubungan fungsional dan membuat suatu sistem.
Kebijakan pengelolaan terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur
yang digagas oleh Komite I DPD RI ini menemukan kenyataan bahwa kawasan
megapolitan Jabodetabekjur merupakan kawasan yang secara alamiah
terintegrasi dari tata ruang, tata alur, transportasi massal, tata lingkungan, dan
tata pemukiman namun secara plotik tidak terintegrasi penanganan
masalahnya. Dalam bahasa sederhana, kawasan megapolitan Jabodetabekjur
120
masalahnya terletak pada integrasi, penanganannya disintegrasi. Dengan
permasalahan yang kompleks saat ini seperti banjir, kemacetan, pemukiman
yang semerawut, penataan ruang yang tidak tertata karena berbasis kepentingan
sesaat, ditambah dengan kajian akan ancaman tidak bergeraknya lalu lintas
Ibukota DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya pada sepuluh atau duapuluh tahun
ke depan, maka penanganan terpadu terhadap kawasan Jabodetabekjur menjadi
sangat penting untuk segera dilakukan (Fachrudin, 2014 : 62).
Jangkauan yang akan dicapai dalam pembuatan kebijakan ini adalah
sejauh mana kebijakan ini mampu menangani masalah di kawasan megapolitan
Jabodetabekjur secara terpadu. Karena itu jangkauan kebijakan ini meliputi tiga
(3) provinsi yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Penjangkauan wilayah
administratif yang diaturnya merupakan penegasan atas apa yang telah diatur
dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang pengelolaan
Jabodetabek. Dengan jangkauan politik yang hanya mencakup tiga wilayah
administratif tersebut, makan kebijakan ini bersifat khusus, yang disebut
jangkauan struktural (Fachrudin, 2014 : 63).
Dalam rangka menjaga keterpaduan di wilayah Jabodetabekjur ini maka
kebijakan ini mengamanatkan adanya Rencana Induk yang tanggungjawab
penyusunannya diserahkan kepada Menko Perekonomian. Rencana induk
tersebut dibuat bersama-sama dengan para stakeholder di kawasan
Jabodetabekjur yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menko namun
dieksekusi oleh satuan pemerintahan terkait untuk pemerintah pusat atau
kementerian/badan yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengkoordonasi
121
kawasan megapolitan Jabodetabekjur (Fachrudin. 2014 : 65). Berikut bagan
perkembangan program kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabek.
Gambar 4.1 Sejarah perkembangan kerja sama pembangunan wilayah
Jabodetabek
122
Sumber : NA RUU Megapolitan Jabodetabekjur (2014:48).
Berdasarkan gambar 4.1 di atas, pembangunan wilayah Jabodetabek
sebenarnya sudah dijalankan sejak lama. Memasuki era otonomi daerah,
pengelolaan kawasan Jabodetabekpunjur semakin tidak jelas, diiringi konflik
antar daerah di setiap level pemerintahan. Undang-Undang tentang Otonomi
Daerah pada akhir tahun 1999 mengawali pembentukan provinsi Banten yang
mencakup Kabupaten/Kota Tangerang terpisah dari provinsi Jawa Barat.
Sehingga program kerja sama pembangunan wilayah Jabodetabekjur hingga
kini belum dapat terlaksana secara optimal.
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai data yang
telah didapatkan dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti, selama
proses penelitian berlangsung. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan
menggunakan teori analisis kebijakan publik menurut Dunn, yang meliputi :
1. Pencarian masalah
2. Peramalan masa depan (forecasting)
3. Rekomendasi kebijakan
4. Pemantauan hasil kebijakan
5. Evaluasi kebijakan
Adapun data yang peneliti dapatkan lebih banyak berupa kata-kata,
kalimat dan rencana pembangunan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur,
baik dari hasil wawancara dengan informan penelitian, hasil observasi di
123
lapangan, catatan lapangan penelitian, atau hasil dokumentasi lainnya, yang
relavan dengan fokus penelitian ini. Proses pencarian dan pengumpulan data
yang dilakukan peneliti secara investigasi dimana peneliti melakukan
wawancara dengan sejumlah informan yang berkaitan dengan yang berkaitan
dengan masalah dalam penelitian ini, sehingga peneliti mendapatkan informasi
yang sesuai dengan yang diharapkan. Informan dalam penelitian ini, peneliti
telah menentukan informan dari awal dengan menggunakan teknik purposive
sampling.
Data-data yang peneliti dapatkan adalah data yang berkaitan dengan
penyatuan regulasi wilayah terkait pembentukan kawasan megapolitan di
Jabodetabekjur. Hasil yang diperolah dari wawancara, observasi lapangan, dan
kajian pustaka kemudian dibentuk secara tertulis dengan dibentuk pola serta
dibuat kode-kode pada aspek tertentu berdasarkan jawaban-jawaban yang sama
dan berkaitan dengan pembahasan permasalahan penelitian serta dilakukan
katagorisasi. Dalam menyusun jawaban hasil wawancara, peneliti memberikan
kode-kode sebagai berikut :
1. Kode Q untuk menunjukan item pertanyaan
2. Kode A untuk menunjukan item jawaban
3. Kode N.I untuk menunjukan anggota Timja pembuatan RUU
Megapolitan Jabodetabekjur
4. Kode N.2 untuk menunjukan Staf Ahli Komite I
5. Kode N.3 untuk menunjukan staf rapat Komite I
6. Kode N.4 untuk menunjukan Tim Ahli pembuatan RUU Megapolitan
Jabodetabekjur
7. Kode N.5 untuk menunjukan anggota Komite I DPD RI
8. Kode N.6 untuk menunjukan Kabag Komite I DPD RI
9. Kode N.7 Masyarakat di wilayah Jabodetabekjur
124
4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian
Pada penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, dalam menentukan
informan, peneliti menggunakan teknik purposive merupakan teknik penentuan
informan dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu yang disesuaikan
dengan informasi yang dibutuhkan. Adapun informan-informan yang peneliti
tentukan, merupakan orang-orang yang menurut peneliti ahli atau mengetahuai
banyak mengenai kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur
sebagai kawasan megapolitan. Dalam penelitian mereka (informan) adalah
orang-orang yang kesehariannya berurusan dengan permasalahan yang sedang
peneliti teliti.
Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terikat dalam
Sekretariat Jenderal DPD RI khususnya di Komite I, dan pihak-pihak lain yang
terlibat. Untuk keabsahan data dan untuk menggali secara mendalam mengenai
penelitian ini, maka peneliti mengambil informan dari beberapa masyarakat di
wilayah Jabodetabekjur secara acak yang peneliti temui. Berikut informan yang
telah bersedia di wawancarai adalah ;
Tabel 4.3
Daftar Informan
NO.
Kode
Informan
Nama Informan
Keterangan
1. N.1 Drs. H. M. Abdurachman Koordinator dalam pembuatan
125
Kebijakan pengeolaan terpadu
megapolitan Jabodetabekjur/
Wakil I Pimpinan Komite I
2. N.2 Fahriza Staf Ahli Komite I
3. N.3-1 Gerlan Gramanda Staf Rapat Sekretariat Komite I
sekaligus notulensi dalam
pembahasan kebijakan
Megapolitan Jabodetabekjur
4.
N.4
Wawan Fachrudin
Tim Ahli pembuatan kebijakan
Megapolitan Jabodetabekjur
6. N.6 Mesranian M.dev., Plg Kepala Bagian Sekretariat
Komite 1
7. N.7-1 Diyah Karyawan Swasta tinggal di
Tangerang
8. N.7-2 Ana Karyawan Swasta Tinggal di
Jakarta
9. N.7-3 Ida Heriyani PNS tinggal di Bogor
4.2.3 Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian Kebijakan Pengelolaan
Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan ini
menggunakan Model analisis data menurut Miles dan Huberman, yang mana
126
prosesnya mencakup beberapa langkah, yaitu yang pertama data collection
(Pengumpulan Data). Pada penelitian mengenai Analisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan,
dalam tahap pengumpulan data dilakukan dengan review dokumentasi Naskah
Akademik, pemaparan tim ahli, Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I,
wawancara, observasi, pengumpulan data melalui kajian pustaka dan
dokumentasi. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan dalam penelitian ini
valid dan dapat di pertanggungjawabkan.
Langkah selanjutnya yaitu data reduction (reduksi data). Reduksi data
artinya merangkum atau memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan hal
yang penting. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan
Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, pada tahap
reduksi data dilakukan dengan cara membaca ulang data-data yang didapatkan
saat pengumpulan data, dan memilih data-data yang sesuai dengan fokus
penelitian untuk kemudian disajikan.
Kemudian langkah selanjutnya adalah data display (penyajian data).
Penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, dalam tahap penyajian data
dalam penelitian kualitatif dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, kategori, dan disajikan berupa teks naratif. Dengan
mendisplay data dapat mudah memahami masalah apa yang telah terjadi.
Langkah keempat yakni melakukan penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Dalam penarikan kesimpulan didukung dengan bukti-bukti yang
127
kuat berupa data yang valid dan temuan di lapangan. Dengan menghubungkan
hasil observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan data-data yang ada
kemudian dapat ditarik sebuah kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian
Pembahasan dan analisis dalam penelitian merupakan data dan fakta
yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan dan disesuaikan dengan teori
yang peneliti gunakan. Dalam pemaparan hasil penelitian, peneliti
menuliskannya dalam bentuk deskriptif berupa uraian dan kutipan langsung
dari narasumber. Untuk mengetahui bagaimana mengenai Analisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan,
dengan menggunakan model teori analisis kebijakan menurut Dunn (2003)
dalam analisis kebijakan meliputi lima (5) tahapan, yaitu;
1. Pencarian Masalah
2. Peramalan Masa Depan
3. Rekomendasi Kebijakan
4. Pemantauan Hasil Kebijakan
5. Evaluasi Kebijakan
4.3.1 Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur
sebagai Kawasan Megapolitan
Analisis data dan temuan di lapangan yang peneliti lakukan dengan
menggunakan model analisis kebijakan publik menurut Dunn (2003) dimana
untuk menganalisis kebijakan meliputi lima (5) tahapan, yaitu pencarian
128
masalah, peramalan masa depan, rekomendasi kebijakan, pemantauan hasil
kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Berikut penjabarannya ;
1. Pencarian Masalah
Pembentukan kawasan megapolitan di wilayah Jabodetabekjur ini
bertujuan untuk memperkuat posisi sebagai Ibukota Negara dan untuk
pemerataan pembangunan di sekitar wilayah DKI Jakarta. Untuk itu dalam
penyatuan wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur
(Jabodetabekjur) tentulah banyak permasalahan yang terjadi. Salah satu upaya
yang diharapkan dalam penyatuan regulasi terkait wilayah Jabodetabekjur
sebagai kawasan megapolitan adalah untuk menuntaskan segala permasalahan
yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur. Dari peliknya berbagai permasalahan
yang ada dibutuhkan suatu penyatuan regulasi yang dapat mengatasi
permasalahan tersebut. Permasalahan yang ada di Jabodetabekjur telah
diketahui melalui banyak dilakukannya survei dan riset dari banyak sumber.
Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi, maka Komite I DPD RI
melakukan banyak kajian mengenai permasalahan di wilayah Jabodetabekjur
agar memperoleh informasi yang valid. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2
kepada peneliti di Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 mengungkapkan
bahwa:
“Mekanisme pengumpulan masalah yang ada di Jabodetabekjur itu ada
beberapa tahapannya, yang pertama itu pada saat anggota Komite I
DPD reses, kedua dengan mengadakan kunjungan kerja (kunker),
ketiga melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) biasanya kita
juga mengundang LSM dari daerah, dan selain itu dapat dilakukan
dengan mengundang pemerintah atau institusi yang terkait untuk ikut
membahas permasalahan yang akan kita bahas”.
129
Berdasarkan wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa upaya
yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengetahui masalah apa yang terjadi
di Jabodetabekjur. Dari hasil obervasi di lapangan bahwa permasalahan yang
terjadi di wilayah Jabodetabekjur yaitu dikarenakan Jakarta sebagai pusat dari
segala kegiatan ekonomi dan pemerintahan sehingga banyak menyedot
perhatian masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Jakarta untuk datang ke
Jakarta. Dengan begitu permasalahan menjadi bertambah yakni, kemacetan,
pemukiman yang semerawut, banjir, pertumbuhan penduduk, ketimpangan
pembangunan dan sumber daya manusia, sehingga dengan begitu
mengakibatkan ketidakteraturan di wilayah tersebut.
Hal serupa diungkapkan oleh N.3 di Gedung Nusantara IV, pada 16
April 2015 yang mengatakan bahwa:
“Begini sebetulnya, kondisi sekarang Jakarta sebagai pusat ekonomi,
pusat pemerintahan, pusat hiburan dan semuanya jadi bergantung pada
Jakarta. Dengan begitu, dari banyak orang yang datang ke Jakarta jadi
bikin Jakarta makin macet, makin padet penduduknya, dan Jakarta
sebagai Ibukota Negara malah semerawut. Dan lagi seperti terlihat
jomplang perkembangannya dengan daerah-daerah di sekitaran Jakarta
karena semua terfokus di Jakarta “.
Berdasarkan wawancara di atas, dapat peneliti ketahui, bahwa bidang-
bidang yang memiliki lintas batas dalam masalah dan perlu pengaturan yang
lintas batas pula adalah permasalahan tata ruang, pemukiman, transportasi,
sumber daya dan lingkungan. Pengelolaan bidang-bidang tersebut didasarkan
pada pertimbangan dampak yang luas dan atau kepentingan dari dua atau lebih
wilayah dalam kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
130
Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar Jakarta dan sekitarnya
akibat migrasi serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan
perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi lahan
pertanian ke fungsi non pertanian. Alih fungsi lahan yang tidak terkendali
selanjutnya menimbulkan dampak turunan berupa erosi, pengendapan sungai,
pencemaran, yang semuanya berakumulasi pada masalah banjir, kesehatan,
serta kerugian ekonomi dan infrastruktur. Hal ini diungkapkan oleh N.3 kepada
peneliti di sekretariat Komite I bahwa:
”Karena banyak orang yang datang ke Jakarta jadi malah bikin banyak alih fungsi lahan ya dek. Banyak lahan yang harusnya jadi daerah resapan air sekarang alih fungsi pemukiman. Itu akibat bertambahnya jumlah penduduk dan terjadi alih fungsi lahan nambah lagi masalah
banjir, pencemaran sungai, dan bisa berbahaya juga buat masyarakat”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa,
dalam kurun waktu beberapa dekade ini banyak perkembangan kota-kota baru
yang pada akhirnya merujuk pada Jakarta. Hal ini semakin menguatkan
adanya ketimpangan dan degradasi lingkungan hidup. Hal serupa
diungkapkan oleh N.3 kepada peneliti, bahwa:
“Coba dilihat Naskah Akademik Megapolitan Jabodetabekjur ya
sekarang, di sana ada perkembangan kota-kota baru. Jadi malah bikin
Jakarta tambah padat kan? Makin banyak orang yang datang. Hal ini itu
belum diatur makanya banyak wilayah baru yang bermunculan, dan
berkembang, dan semua mengarah ke Jakarta”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
adanya kota-kota baru tersebut dikembangkan pengembang yang berbeda-beda,
yang menjadikan konektivitas antara kota-kota baru itu sendiri maupun antara
131
kota-kota baru dengan jaringan infrastruktur regional. Hal ini menyebabkan
segregasi spasial dan juga sosial. Pengembangan lahan ada masa itu tidak
terkontrol dan membawa banyak permasalahan lingkungan (ektraksi air tanah
yang berlebihan, polusi, berkurangnya ruang terbuka hijau dan area resapan
air) dan permasalahan kemacetan. Pada puncak boom properti tahun 90-an, ada
23 kota baru dengan area 500-6000 ha yang dikembangkan di sekitar Jakarta
(NA RUU Jabodetabekjur, 2014:30).
Berdasarkan uraian masalah yang terjadi di kawasan Jabodetabekjur,
maka perlu adanya suatu alternatif untuk menyelesaikan masalah. Untuk itu
hasil dari pencarian masalah yang ada kemudian masuk dalam tahap
inventarisasi masalah yang di akan ditampung oleh Komite I kemudian akan
dibahas dalam rapat kerja maupun rapat dengar pendapat. Masalah yang ada
akan menajdi suatu bahan pertimbangan dibentuknya sebuah kebijakan baru
atau melahirkan sebuah alternatif yang dapat menyelesaikan permasalahan
tersebut. Untuk itu Komite I DPD RI telah mengkaji lebih dalam terhadap
permasalahan tersebut. Hal serupa diungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di
Gedung Nusantara IV pada 16 April 2015 bahwa:
“Begini sebetulnya, untuk permasalahan yang ada setelah kita dapat
laporan atau data masalahnya kemudian akan kita kumpulkan semua
masalahanya nanti akan dibahas di rapat bersama anggota Komite I
DPD, lalu baru setelah dibahas bisa ketahuan apakah layak atau tidak
diusulkan untuk dibuat RUU. Satu lagi, dalam inventarisasi masalah
132
DPD banyak melakukan kajian, supaya kebijakan yang akan dibuat
tepat dan dapat menjawab permasalahannya”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
permasalahan yang telah diterima kemudian akan diusulkan menjadi RUU dan
diajukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU Megapolitan
Jabodetabekjur ini merupakan kebijakan inisiatif yang diusungkan oleh Komite
I DPD RI, dan telah banyak dilakukan kajian melalui institusi Perguruan
Tinggi ataupun melalui LSM dan instansi terkait. Kebijakan pengelolaan
Jabodetabekjur untuk dibuat sebagai kawasan megapolitan ini diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan yang ada dan dapat memperkuat posisi DKI
Jakarta sebagai Ibukota Negara. Dalam pembuatan kebijakan ini Komite I
DPD RI tidak bekerja sendiri, melainkan bekerja sama dengan instansi terkait
seperti Kementerian, Kepala Daerah se-Jabodetabekjur, dan mengundang tim
ahli untuk pembentukan kawasan megapolitan.
Tim ahli yang membantu dalam penyusunan kebijakan pengelolaan
terpadu wilaayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini merupakan
oarang-orang yang terdiri dari akademisi yang ahli di bidang perencanaan, tata
kota dan tata ruang, serta lingkungan, yang nanti akan dapat memberikan
bantuan berupa substansi materi dan pandangan terkait pembentukan kawasan
megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Hal serupa diungkap oleh N.1 kepada
peneliti, yang menyatakan bahwa:
“Dalam perumusan kebijakan ini DPD tidak bekerja sendiri, kami dari
Komite I juga mengundang tim ahli buat jadi narasumber, ada staf ahli
komite juga, kemdudian kita juga mengundang dari pihak pemerintah
seperti Kementerian atau Dirjen untuk memberikan lebih banyak
133
masukan untuk perumusan kebijakan sekaligus kita perkuat
kelembagaan”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
pembahasan masalah selain dengan mengundang narasumber lain, dapat juga
dengan dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) yaitu dengan cara diskusi
bersama yang dilaksanakan dalam satu ruangan dengan mengundang seluruh
stakeholder dan instansi terkait dalam pembahasan kebijakan tersebut. FGD
mengenai pembahasan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini
telah dilaksanakan pada tahun 2014 lalu dengan mengundang seluruh instansi
terkait. Dalam FGD tersebut seluruh kepala daerah di wilayah Kabupaten/Kota
Jabodetabekjur diundang dan membahas bersama dengan Komite I DPD RI.
Dalam program kerja sama terkait penyatuan regulasi wilayah Jabodetabekjur
yang terdiri dari tiga (3) Provinsi yakni Jakarta, Jawa Barat, dan Banten serta
terdiri dari beberapa Kabupaten/Kota sangat diperlukannya kerjasama dan
harmonisasi seluruh stakeholder. Namun sejak dicanangkannya program kerja
sama tersebut belum mencapai harmonisasi sehingga terkesan statis. Hal
tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti, beliau menyatakan bahwa:
“Sebenarnya program pembangunan kerja sama ini sudah dari dulu
direncanakan. Kerja sama yang direncanakan antar pemerintah wilayah
Jabodetabekjur terkesan statis itu dikarenakan kurangnya koordinasi
antar pemerintah. Selain itu juga dikarenakan adanya perbedaan derajat
otonomi yang dipegang oleh DKI Jakarta. Sehingga hal ini membuat
disharmoni”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
dampak dari adanya masalah perbedaan derajat otonomi yang dipangku oleh
DKI Jakarta berbeda dengan wilayah Bodetabekjur menyebabkan
134
ketidakserasian dan kurangnya koordinasi antarpemerintah. Solusinya adalah
harus ada lembaga yang mengatur untuk pengelolaan terpadu wialayah
Jabodetabekjur. Selain itu dikarenakan adanya otonomi khusus di DKI Jakarta
seharusnya Gubernur Jakarta memiliki kewenangan setingkat menteri agar
mampu mengkoordinasikan seluruh kepala daerah di wilayah Bodetabekjur.
Hal tersebut dingkapkan oleh N.2 kepada peneliti pada 16 April 2015, beliau
mengungkapkan bahwa:
”Karena Jakarta punya otonomi khusus, yaitu Daerah Kota Istimewa
(DKI) Jakarta sebagai Ibukota Negara, menurutku seharusnya Gubernur
DKI Jakarta harus memiliki kewenangan setingkat menteri yang dapat
mengatur dan mengkoordinasikan antarpemerintah di Bodetabekjur
agar bisa harmonis kebijakannya. Jadi tidak lagi ada masalah kurang
koordinasi, selain itu solusi masalahnya dibentuk suatu badan yang
mengkoordinasikan program pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur agar lebih optimal”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada
kenyataannya, masing-masing pemerintah daerah menetapkan pembangunan
yang berorientasi pada wilayahnya sendiri. Jakarta sebagai Ibukota negara
diarahkan menjadi kota utama sejak penyusunan Rencana Umum Tata Ruang
kota Jakarta 2005. Visi pembangunan DKI Jakarta dalam RPJPD yang diadopsi
dalam RTRW Provinsi, berfokus menjadikan Jakarta sebagai kota jasa
internasional dan nasional. Di sisi lain, visi provinsi Banten cenderung lebih
berorientasi pada dasar kualitas manusia yang religius dan mengutamakan
kepentingan internal sedangkan visi pembangunan Jawa Barat mempunyai
basis yang sama dengan Banten yaitu berbasis pada nilai religius namun
135
memiliki sikap untuk bersaing dengan DKI Jakarta dengan mengatakan ingin
menjadi termaju di Indonesia.
Menyikapi segala permasalahan antarpemerintah Jabodetabekjur yang
disebabkan kurangnya koordinasi sehingga belum dapat optimalnya dalam
penanganan masalah yang ada. Sehingga pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur yang sejak lama sudah dicanangkan terkesan statis. Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 65 tahun 1975 dan SK Menteri Dalam Negeri
no. 10/34/16/282 untuk menangani kerjasama pengelolaan pembangunan di
kawasan Jabodetabekjur adalah Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP)
Jabodetabekjur. Lembaga yang awalnya menjadi rujukan pembangunan di
kawasan Jabodetabekjur ini kemudian menjadi relatif tidak memiliki kekuatan
dan kapasitas melaksanakan tugas dan fungsinya sejak diterapkannya sistem
desentralisasi bagi penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut
diungkapkan oleh N.2 bahwa:
“Sebetulnya program ini sudah sejak lama dicanangkan, bahkan
badannya pun telah dibentuk dari dulu, hanya saja program ini masih
statis dan belum bisa berkerja secara optimal, dan kerja sama ini masih
belum berkembang dari tahun ke tahun. Menurutku itu tadi gubernur
Jakarta harus punya kewenangan setingkat menteri untuk mengatur dan
mampu memberikan kewenangan kepada pemerintah di Bodetabekjur.
Selain itu ditunjang dengan adanya badan koordinasi yang untuk lebih
mengoptimalkan program pengelolaan terpadu di wilayah
Jabodetabekjur ini”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) adalah badan kerjasama yang
mengelola wilayah Jabodetabekjur. BKSP Jabodetabek diharapkan dapat
136
mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah
Jabodetabek serta mampu mengatasi berbagai permasalahan bersama.
Mengenai permasalahan lemahnya BKSP, N.2 mengungkapkan kepada peneliti
bahwa:
“Seharusnya gubernur DKI Jakarta memiliki kewenangan buat ikut
mengawasi dan mengkoordinasi BKSP. Kalau BKSP sudah ada
penguatan jadi tidak ada lagi masalah kurangnya koordinasi. Sekarang
kan masalahnya karena kita lemah dikoordinasi, setiap daerah sibuk
dengan daerahnya masing-masing”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
lemahnya BKSP mendorong untuk merumuskan satu konstruksi kelembagaan
baru yang disertai peningkatan kekuatan dan kapasitas kelembagaan dalam
mengelola kawasan. Kelembagaan ini hendaknya merangkul perwakilan para
stakeholder, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah-pemerintah daerah yang
tergabung dalam kawasan megapolitan Jabodetabekjur, stakeholder utama dan
jika diperlukan dari kalangan pihak independen termasuk ahli dan praktisi.
Sebagai unit yang memiliki mandat, kewenangan, dan tanggung jawab untuk
urusan mengatur maka bagian ini memiliki peran legislatif yang dapat
mengeluarkan produk-produk hukum atau aturan. Kelembagaan ini juga harus
disertai sebuah sistem kontrol, monitoring dan evaluasi.
Permasalahan kelembagaan yang masih lemah ini yang membuat
program pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini masih belum
optimal. Hal ini di ungkapkan oleh N.1 kepada peneliti di Perumnas II pada 11
Mei 2015 bahwa:
137
“Sebenarnya yang menjadi pokok dan harus kita atasi dulu itu masalah
kelembagaan. Secara sekarang belum ada badan/kementerian yang
punya kewenangan untuk membentuk regulasi terkait Jabodetabekjur,
ditambah pemerintah daerah sibuk dengan pembangunan daerah
masing-masing. Solusinya kita perkuat dulu kelembagaan baru bisa
menjalankan program kerja sama untuk bikin kawasan megapolitan
Jabodetabekjur secara optimal begitu”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
permasalahan yang telah dipaparkan di atas sebenarnya berawal dari
ketidakharmonisan antar pemerintah di Jabodetabekjur, sehingga program
pengelolaan terpadu Jabodetabekjur ini masih belum optimal dikarenakan
kurangnya koordinasi. Sehingga seolah-olah semuanya menyerahkan kepada
DKI Jakarta sebagai kota utama. Untuk itu semua masalah bertumpu di Jakarta.
Padahal ini merupakan tanggung jawab antar pemerintah di Jawa barat, DKI
Jakarta dan Banten. Dengan adanya kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan yang oleh komite I DPD RI ini
diharapkan mampu memperkuat dari sisi kerja sama dan meningkatkan
koordinasi kelembagaan agar kebijakan ini dapat berjalan secara optimal,
sesuai rencana dan target yang diharapkan.
2. Peramalan
Langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan setelah pencarian
masalah menurut Dunn (2003:291) adalah peramalan (forecasting). Dalam
penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, ada beberapa peramalan yang
dilakukan guna melihat sejauh mana dan seperti apa perkembangan kawasan
138
Jabodetabekjur bila di bentuk sebagai kawasan megapolitan dan bagaimana
keadaan di masa depan apabila masalah yang terjadi pada masa sekarang
belum dapat ditangani. Peramalan bertujuan untuk melihat masa yang akan
datang dihubungkan dengan masalah pada saat ini. Selain itu dalam
pembentukan kawasan megapolitan dikhawatirkan di masa depan dapat
mengubah lingkungan, unsur sosial, dan budaya dari masyarakat. Hal tersebut
diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti, beliau mengungkapkan bahwa:
“Kalau di lihat dari sisi peramalan, sebenarnya dari masalah kemacetan
sekarang bisa berakibat lalu lintas di DKI Jakarta pada sepuluh tahun
lagi bisa lumpuh dan efek banjir tahunan itu nanti 35 tahun lagi Jakarta
terancam bisa tenggelam. Untuk itu kita harus mencari alternatif supaya
di masa yang akan datang bisa memecahkan masalah ini”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
perkiraan mengenai akan tenggelamnya DKI Jakarta ini disebabkan karena
bertambahnya volume air laut dan menyusutnya permukaan tanah. Hal ini tentu
semakin tinggi air laut sehingga dalam beberapa tahun dapat mengakibatkan
tenggalamnya sebagian wilayah Jakarta. Potensi rendaman di Jakarta Utara
disebabkan oleh kenaikan muka laut dan penurunan permukaan tanah. Wilayah
yang diprediksi akan terendam pada tahun 2020 seluas 6,6 km², sedangkan
pada tahun 2035 diramalkan potensi wilayah yang terendam meningkat
menjadi 62,3 km² (NA RUU Jabodetabekjur 2014:9).
Berbagai masalah yang kini tengah dihadapi oleh DKI Jakarta, apabila
dalam kurun waktu satu sampai dua dekade tidak ditangani dengan baik, maka
akan berimbas ke wilayah sekitaran DKI Jakarta seperti wilayah Bodetabekjur.
Dalam kajian PRPW UI (2013) menjelaskan bahwa pasokan sumber daya air
139
bersih sangat vital di Ibukota DKI Jakarta, namun saat ini justru mengalami
defisit air bersih. Hal ini justru akan mengkhawatirkan di masa yang akan
datang. Berikut fakta-fakta yang didapatkan di lapangan ;
1. Kebutuhan air mencapai 300ton per tahun tidak sesuai dengan
discharge eksploitasi air bawah tanah telah menyebabkan turunnya
permukaan air tanah sebesar 0,5meter dalam kurun waktu 10 tahun.
2. Pasokan air tidak dapat mengimbangi permintaan air yang terus
mengalami peningkatan.
Selain mengalami defisit air tanah, selanjutnya hal yang cukup
mengkhawatirkan apabila tidak segera ditangani yaitu permasalahan mengenai
perubahan tata guna lahan. Lahan sawah mapun lahan kering banyak berubah
fungsi menjadi lahan berbangun. Kawasan perkotaan yang semula hanya
terdapat di pusat Jakarta, kini sudah meluas sampai sekitar Jakarta seperti
Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Hal tersebut diungkapkan oleh N.4
bahwa:
“Sekarang karena semua orang mau ke Jakarta jadi lahan pemukiman
mulai padat, bahkan wilayah di sekitar Jakarta seperti Bodetabekjur itu
juga sekarang sudah padat penduduk. Bisa dibayangkan kalau sampai
sepuluh tahun lagi belum dikelola dan ditata nanti jadinya semakin
bertambah penduduk dan tidak ada lahan pemukiman”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa hal
tersebut apabila tidak segera ditangani, maka akan semakin banyak alih fungsi
lahan dari daerah persawahan menjadi pemukiman. Tidak hanya soal
pemukiman melainkan akan hilangnya daerah resapan air sehingga ketika
musim penghujan datang dapat mengakibatkan banjir yang menggenangi
140
wilayah pemukiman warga. Seperti pada tahun 2014 lalu banjir besar
menggenangi daerah DKI Jakarta. Secara geografis DKI Jakarta memang
terletak di daerah dataran rendah dan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Untuk jika di masa yang akan datang daerah resapan air berubah alih fungsi
lahan pemukiman, maka Jakarta terancam tenggelam.
Kemudian hal yang dapat mengkhawatirkan di masa depan yakni
permasalahan iklim. Hal tersebut diungkapkan oleh N.3 bahwa:
“Masalahnya lain yaitu masalah soal iklim, karena macet dapat
menyebabkan polusi udara meningkat, jadi suhu udara di wilayah
perkotaan gini, khususnya di Jakarta semakin panas dan itu panasnya
akan semakin meningkat juga setiap tahun, seiring dengan
meningkatnya polusi udara juga”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dan dari data yang peneliti
dapatkan, dapat diketahui bahwa temperatur suhu di Jakarta, Depok dan Bogor
sekitarnya diproyeksikan naik masing-masing 2˚C, 1,3˚C dan 2,5˚C dalam
kurun waktu 2012 hingga 2035. Hal ini menyebabkan suasana di perkotaan
semakin panas. Curah hujan rata-rata Jakarta, Depok dan Bogor sekitarnya
diproyeksikan naik masing-masing 40mm, 100mm dan 200mm dalam kurun
waktu tersebut. Sementara itu 37 cadangan air tanah di Jakarta telah defisit
4,469,668,428 liter per tahun dan diproyeksikan defisit 18,922,483,365 liter per
tahun. Luas genangan air di Jakarta akibat penurunan permukaan air tanah dan
kenaikan muka air laut diproyeksikan mencapai 8,86 km2 pada tahun 2020 dan
62,3 km2 pada tahun 2100 (NA RUU Jabodetabekjur 2014:37).
Kemudian hal yang perlu diperhatikan dan menjadi permasalahan yakni
mengenai transportasi. Saat ini jumlah volume kendaraan semakin meningkat
141
yang menyebabkan kemacetan pada lalu lintas dari dan menuju Jakarta. Hal
tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa:
“Kemudian masalah transportasi ini, perlu kita perhatikan juga. Lalu
lintas dari Jakarta atau menuju Jakarta sudah pasti macet. Belum lagi
kalau di jam-jam sibuk, seperti jam berangkat dan pulang kantor itu
udah makin parah. Dan kemacetannya semakin tahun bertambah. Bisa
dilihat nanti kalau belum ada kebijakan juga yang terjadi di masa depan
lalu lintas makin semrawut”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
kebutuhan perjalanan di wilayah Jabodetabek 53 juta perjalanan pada tahun
2010, dan diramalkan bahwa jumlahnya akan terus bertambah, yaitu 64 juta
perjalanan pada tahun 2020. Keadaan seperti ini jika tidak ada pengembangan
jaringan dan pelayanan transportasi perkotaan hingga pada tahun 2020 untuk
angkutan umum akan berkurang dan kondisi lalu lintas akan semakin parah.
Berbagai jenis pembangunan akan dilakukan guna membentuk sebuah
kawasan megapolitan secara terpadu. Hal ini dikhawatirkan di masa depan
dapat merubah cara pandang dan pola perilaku dari masyarakat yang tinggal di
wilayah Jabodetabekjur. Namun, dari hasil observasi yang peneliti lakukan, hal
tersebut tidaklah benar. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti
bahwa:
“Pembangunan kawasan megapolitan kita ini lebih banyak pada aspek
transportasi, tata ruang tata kota, pemukiman dan sebagainya. Jadi tidak
mengurangi aspek budaya dan sosial dari masyarakat. Kita tidak
menyentuh aspek budaya. Jadi masyarakat tetap bisa bekerja dan hidup
seperti biasa, hanya penataan kotanya yang kita atur dalam kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur ini“.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
pembangunan megapolitan Jabodetabekjur ini lebih terfokus pada jaringan
142
transportasi, tata kota dan tata ruang, pemukiman, dan pengembangan daerah-
daerah di sekitar Jakarta. Pada pembentukan kawasan megapolitan ini tidak
merubah masyarakat dari aspek sosial, budaya maupun perilaku. Hanya saja
ketika kebijakan ini sudah berjalan optimal, masyarakat dapat lebih mudah
untuk akses transportasi karena sudah ada penyatuan terkait regulasi
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan.
3. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan adalah langkah ketiga dalam model analisis
kebijakan menurut Dunn (2003:405). Setelah kita mengetahui bagaimana
masalah yang terjadi, kemudian selanjutnya melakukan peramalan untuk masa
depan, langkah selanjutnya yaitu memberikan rekomendasi kebijakan yang
sesuai dengan masalah yang ada. Sehingga rekomendasi kebijakan diharapkan
mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan. Dalam penelitian
mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur
sebagai Kawasan Megapolitan oleh Komite I DPD RI, peneliti banyak
mendapatkan hasil rekomendasi kebijakan yang tepat dan telah disepakati
bersama oleh DPD, pemerintah, dan antarpemerintah daerah di Jawa Barat,
DKI Jakarta dan Banten melalui Focus Group Discussion (FGD). Ada
beberapa rekomendasi kebijakan yang ditawarkan salah satunya yang
diungkapkan oleh N.3 selaku tim ahli dari pembuatan dalam kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur kepada peneliti N.3 mengungkapkan bahwa:
“Untuk rekomendasi kebijakan sebaiknya saran saya itu dibentuk
beberapa pola, supaya ada petak-petak yang sesuai dengan fungsinya.
143
Jadi nanti tidak jadi semua bertumpu pada Jakarta, semua daerah di
Jabodetabek punya fungsi masing-masing”.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh N.4 kepada peneliti bahwa:
“Kalau menurut saya lebih baik pengelolaan terpadu Jabodetabekjur
dibentuk pola-pola. Nanti akan kita bentuk tiga pola yang pertama pola
federatif, terus pola integratif, terus yang terakhir itu pola distributif.
Biar ada petak-petakan gak cuma terpusat di Jakarta aja gitu”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan terpadu Jabodetabekjur
direkomendasikan dengan dibentuk pola sebagai berikut; Pola integratif, yaitu
penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus, mengatur
semua masalah interkoneksi utama di kawasan ini, di bawah
badan/kementerian yang ditunjuk, Pola Federatif, yaitu membagi kewenangan
struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI Jakarta), semi pheri-pheri
(Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur), Pola Distributif, yaitu
mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan komparatif
dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur.
Pola-pola di atas berfungsi sebagai pemetakan fungsional daerah-
daerah di kawasan Jabodetabekjur agar tidak semua terpusat di Jakarta. Hal ini
tentu dapat mengurangi beban masalah di Jakarta. Selain dengan membentuk
pola-pola, rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah lain di kawasan
Jabodetabekjur telah ditawarkan, yaitu yang pertama mengenai rekomendasi
permasalahan transportasi. Permasalahan transportasi di rasa penting untuk
mengitegrasikan seluruh aktivitas di Jabodetabekjur. untuk itu perlu adanya
144
rekomendasi dalam penanganan masalah trasportasi di Jabodetbekjur. Hal
tersebut diungkapkan oleh N.3 bahwa:
“Salah satu yang kita rekomendasikan adalah kebijakan untuk
mengatasi permasalahan transportasi. Kita juga tau kalau Jakarta dan
wilayah sekitaran Jakarta selalu macet. Untuk itu perlu ada
pengembangan transportasi umum untuk masyarakat agar dapat
meminimalisir kemacetan. Sekarang baru ada KRL, busway, dan APTB
yang digunakan untuk integrasi di wilayah Jabodetabek, nanti akan
ditambah lagi supaya semuanya bisa terintegrasi”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
Kebijakan pengembangan transportasi dibentuk bertujuan sebagai berikut :
1. Peningkatan peran moda angkutan umum
2. Pengurangan kemacetan lalu lintas jalan
3. Pengurangan polusi dan kebisingan dari operasional sistem
transportasi
4. Manajemen kebutuhan transportasi untuk mengendalikan permintaan
perjalanan
5. Peningkatan keselamatan dan keamanan transportasi
Seperti diketahui di latar belakang masalah peningkatan mobilitas
penduduk juga mengakibatkan kemacetan yang semakin parah. Berdasarkan
data hasil observasi yang peneliti dapatkan dari FGD, setiap harinya
masyarakat di sekitaran Bodetabekjur menuju Jakarta. Berikut bagan pola
perjalanan masyarakat yang peneliti dapatkan dalam FGD (19 Februari 2014).
145
Gambar 4.2 Pola Perjalanan Harian di Wilayah Jabodetabek dengan
semua Moda Transportasi
Berdasarkan gambar 4.2 tersebut dapat kita lihat bahwa lalu lintas
dalam dan menuju Jakarta setiap harinya padat. Ada jutaan trip yang setiap
harinya menuju Jakarta, tentunya hal ini menimbulkan efek kemacetan yang
cukup parah. Hal tersebut diungkapkan juga oleh N.1 kepada peneliti di
Perumnas II Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa:
“Untuk mengurai kemacetan dari dan menuju Jakarta kita harus bikin
dan mengembangkan jalan tol sebagai alternatif untuk mengurangi
kemacetan. Terus kita perlu mengembangkan daerah di Jabar selatan
dan Banten selatan dengan membuat jaringan transportasi supaya
pembangunan ini lebih merata”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
rekomendasi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan di wilayah
Bodetabekjur menuju Jakarta adalah mengembangkan jalur-jalur alternatif
146
yang dapat mengurai kemacetan. Hal serupa di ungkapkan oleh N.2 kepada
peneliti bahwa:
“Untuk alternatif kita harus mengembangkan jalan-jalan di daerah
Banten selatan dan Jabar selatan. Supaya dapat digunakan untuk
mengurai kemacetan sekaligus agar pembangunannya merata. Bukan
hanya pembangunan di kawasan perkotaan saja, akan tetapi kita akan
mengembangkan daerah-daerah yang di pinggiran. Banyak proyek
pembangunan yang akan kita laksanakan nantinya”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
jumlah pembangunan proyek yang ditargetkan selesai pada tahun 2030
tersebut diantaranya meliputi konstruksi jalur Mass Rapid Transit (MRT),
Pengembangan pelabuhan baru berskala internasional di Cimalaya (Karawang),
perluasan Bandara Soekarno – Hatta, pengembangan klaster penelitian baru,
dan pengembangan sistem saluran air limbah di Jakarta untuk mengatasi
masalah banjir. Hal ini diungkapkan oleh N.1 di kediamannya di Perumnas II
Tangerang Pada 11 Mei 2015 bahwa:
“Untuk rekomendasi transportasi kita akan membuat MRT, kemudian
pembangunan dan pengembangan jalan-jalan baru, baik jalan dalam
kota atau juga jalan tol di daerah yang masih belum berkembang, lalu
kita juga akan mengembangkan sarana transportasi massal buat
mengurai kemacetan. Kira-kira kalau tidak ada hambatan pembangunan
megapolitan Jabodetabekjur bisa selesai sekitar tahun 2030”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
adanya program pembangunan transportasi massal yang dapat
mengintegrasikan ke seluruh wilayah Jabodetabekjur diharapkan mampu
mengelola secara terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur dan
pemerataan pembangunan. Hal tersebut juga diungkapkan oleh N.1 kepada
peneliti di Perumnas II Kota Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa:
147
“Kita harus merekomendasikan untuk membuat transportasi massal
yang dapat mengintegrasi ke seluruh kawasan megapolitan
Jabodetabekjur. Kemudian kita juga harus membuat petak-petak
dimana kawasan industri, pemukiman, irigasi dan sebagainya agar
penataan tata ruang kota lebih teratur. Jadi kita harus selesaikan juga
persoalan tata ruang. Selain itu pastinya kita akan menambah unit
transportasi umum yang dapat digunakan masyarakat untuk
menintegrasi ke wilayah Jabodetabekjur”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
transportasi massal yang kini sudah berjalan dan dapat mengitegrasi beberapa
wilayah di Jabodetabek adalah APTB dan KRL. Perkembangannya hingga
tahun 2020 trayek armada APTB dan KRL akan diperbanyak dan menambah
jaringan agar dapat mengintegrasi ke seluruh wilayah Jabodetabekjur. Hal ini
diharapkan mampu mempermudah laju lalu lintas dan dapat menjadi
transportasi massal yang dapat mengurangi volume kendaraan pribadi untuk
meminimalisir kemacetan.
4. Pemantauan Kebijakan
Pemantauan kebijakan adalah langkah keempat dalam analisis
kebijakan menurut Dunn. Dalam pemantauan kebijakan sering disebut sebagai
monitoring, yaitu penilaian dan pengawasan saat kebijakan ini sedang
dilaksanakan. Monitoring atau pemantauan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini dapat
dilakukan oleh berbagai macam pihak termasuk akan ada campur tangan dari
masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti di Perumnas II
Kota Tangerang pada 11 Mei 2015 bahwa:
148
“Pada saat kebijakan ini berjalan kita terus melakukan pemantauan agar
hasilnya lebih optimal, dan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.
Pemantauan dapat dilakukan melalui lembaga atau badan yang
ditunjuk, pemantauan di daerah Kabupaten/Kota masing-masing di
wilayah Jabodetabekjur, dan masyarakat juga bisa ikut partisipasi, atau
pemantauan oleh masing-masing pemerintah daerah di wilayah
Jabodetabekjur”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
monitoring atau pemantauan kebijakan dilakukan dengan kesesuaian rencana
dan pelaksanaan program yang sedang dijalankan. Dalam pemantauan
kebijakan pemerintah daerah menjalankan fungsi pengawasan atas program
yang tengah dilaksanakan di daerah masing-masing untuk saling membentuk
wilayah fungsional agar terbentuknya kawasan megapolitan. Hal ini perlu
adanya suatu kewenangan dari gubernur DKI Jakarta sebagai ibukota negara
untuk mengatur jalannya program terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan. Hal ini diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti bahwa:
“Seharusnya Gubernur DKI Jakarta punya kewenangan setingkat
menteri agar dalam pelaksanaan pembentukan kawasan megapolitan
Jabodetabekjur, gubernur DKI dapat memberikan sanksi tegas kepada
daerah-daerah di Bodetabekjur yang tidak patuh dalam melaksanakan
programnya. Kemudian pemantauan kebijakan ini juga dapat dilakukan
oleh badan koordinasi Jabodetabekjur”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
selain pemantauan melalui pemerintah, badan/kementerian yang ditunjuk atau
kewenangan dari gubernur DKI Jakarta, pemantauan juga dapat dilaksanakan
oleh masyarakat yang tinggal dan merasakan pembangunan kawasan
megapolitan Jabodetabekjur. Masyarakat dapat ikut serta dan mengawasi
149
jalannya perogram pengelolaan terpadi di wilayah Jabodetabekjur. Hal tersebut
diungkapkan oleh N.6 kepada peneliti bahwa:
“Kalau untuk pemantauan selain bisa dari lembaga atau badan,
menurutku masyarakat bisa ikut serta. Misalnya kalau di daerah A
program yang seharusnya berjalan akan tetapi justru tidak dilaksanakan,
masyarakat dapat menilai dan melaporkan melalui media elektronik,
atau melalui instansi terkait. Jadi di sini perlu adanya kerja sama antara
pemerintah dengan masyarakat agar sama-sama bisa optimal program
pembentukan kawasan megapolitan ini”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
pemantauan kebijakan yang akan diterapkan dalam kebijakan pengelolaan
terpadu kawasan megapolitan ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak, baik
dari pemerintah pusat pemerintah daerah Jabodetabekjur, badan/kementerian
terkait bahkan masyarakat. Hal serupa diungkapkan oleh N.5 kepada peneliti
bahwa:
“Pemantauan ini agar lebih efisien itu kita akan melakukan pemantauan
dengan melibatkan seluruh stakeholder. Baik pemerintah pusat,
pemerintah daerah, badan koordinasi dan bahkan masyarakat juga akan
terlibat berpasrtisipasi. adapun kami selaku anggota DPD akan ikut
melakukan pemantauan terhadap kebijakan yang sedang berjalan”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada
pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan dalam monitoring atau pemantauan kebijakan
merupakan menjadi tugas dan tanggung jawab Menteri Koordinator bidang
Perekonomian untuk tingkat nasional, Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati
untuk tingkat kabupaten, dan Walikota untuk tingkat kota di seluruh wilayah
Jabodetabekjur. Dalam hal ini tentu seluruh stakeholder dan masyarakat di
wilayah Jabodetabekjur memiliki kewenangan untuk saling bekerja sama
150
dalam mengawasi atau memonitoring jalannya pengelolaan terpadu sebagai
kawasan megapolitan.
Peran serta masyarakat dalam melakukan pemantauan dan pengawasan
dalam kebijakan ini dituntut untuk lebih partisipatif melakukan pemantauan
dan penilaian. N.7 mengatakan kepada peneliti di KRL pada 11 Mei 2015
bahwa:
“Kita sebagai masyarakat sebenarnya setuju sekali kalau mau ada
regulasi pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur, biar semuanya tidak
menumpuk di Jakarta dan senang sekali kalau masyarakat bisa ikut
partispasi, akan tetapi kalau bisa nanti harus ada sosialisasi kemana
masyarakat harus melakukan pengaduan dan penilaian. Misalnya via
medsos, atau melalui media massa, agar semua kebijakannya dapat
berjalan lebih optimal aja dan masyarakat ikut berpartisipasi”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
dalam rangka melaksanakan pengelolaan terpadu kawasan megapolitan
Jabodetabekjur yang efektif dan efisien dilakukan monitoring atau pemantauan
kebijakan. Pemantauan terhadap kesesuaian rencana dengan pelaksanaan
program dari masing-masing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten, dan pemerintah kota di kawasan Jabodetabekjur. Hal serupa
diungkapkan oleh N.5 bahwa:
“Masalah pemantauan itu nantinya akan terus dilaksanakan selama
kebijakan ini berjalan. Jadi nanti pemantauan itu dilakukan oleh
pemerintah daerah di masing-masing kabupaten/kota Jabodetabekjur.
Karena programnya dilaksanakan sesuai dengan rencana induk yang
dibuat oleh pemerintah daerah sendiri yang ada di kawasan
Jabodetabekjur”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
pemantauan kebijakan yang dilakukan juga melibatkan seluruh stakeholder
151
yang ada di kawasan Jabodetabekjur. Hal ini bertujuan agar seluruh program
yang telah direncanakan dalam pembuatan kawasan megapolitan di wilayah
Jabodetabekjur dapat berjalan sesuai target yang telah dibuat dalam rencana
induk. Untuk itu dibutuhkan sosialialisasi kepada seluruh instansi terkait dan
masyarakat agar kebijakan ini lebih optimal. Hal ini diungkapkan oleh N.7
bahwa:
“Kita baru tahu kalau mau ada pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur,
dulu kan cuma Jabodetabek aja, sekarang ditambah Cianjur jadi
Jabodetabekjur. Bagus banget kalau begitu supaya pembangunan dan
tata kotanya menjadi teratur, cuma harus banyak sosialisasi yang
dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui ada kebijakan baru”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
untuk lebih memperkuat koordinasi dan harmonisasi tentu perlu adanya
sosialisasi agar tidak terjadi kesejangan informasi. Untuk itu perlu banyak
dilakukan sosialisasi mulai dari lembaga tinggi nasional, pemerintah daerah
Kab/Kota hingga sosialisasi untuk masyarakat agar dapat dengan mudah
melakukan pemantauan kebijakan saat pelaksanaan kebijakan tengah
dilaksanakan.
5. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dalam pola analisis
kebijakan menurut Dunn. Tujuan evaluasi kebijakan dalam analisis kebijakan
adalah untuk mengetahui menilai yang mendasari tujuan, sasaran dan kinerja
dalam kebijakan tersebut. Dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan,
152
peneliti banyak menemukan informasi mengenai soal evaluasi kebijakan ini
yang nanti akan dilaksanakan. Evaluasi kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
ini akan dilakukan dalam kurun waktu lima (5) tahun sekali, hal serupa
diungkapkan oleh N.5 kepada peneliti Kediamannya di Kota Tangerang pada
11 Mei 2015 bahwa:
“Evaluasi untuk program pengelolaan Jabodetabekjur ini sudah diatur
dimuat di dalam Rencana Induk pembangunan kawasan megapolitan
Jabodetabekjur. Di dalam kebijakan megapolitan Jabdoetabekjur ini
evaluasinya akan dilakukan setiap lima tahun sekali”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
evaluasi kebijakan dalam analisis kebijakan publik bertujuan melihat sejauh
mana kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai, tujuan dan
target dalam kebijakan tersebut. Dalam hal kebijakan megapolitan
Jabodetabekjur ini dalam setiap programnya dibuat sebuah rencana induk yang
dilaksanakan oleh setiap Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekjur. pada
rencana induk tersebut memuat hal-hal mengenai program pembangunan yang
harus dijalankan dalam waktu lima (5) tahun ke depan. Dengan begitu
evaluasinya dilaksanakan pada setiap lima (5) tahun sesuai dengan tahun
anggaran. Dalam evaluasi kebijakan ini akan melibatkan seluruh stakeholder
yang ada di kawasan Jabodetabekjur. N.5 menambahkan bahwa:
“Evaluasi yang dilakukan terhadap program yang ada pada Rencana
Induk dilakukan akan melibatkan kementerian teknis terkait misalnya,
badan koordinasi, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kota yang berada dalam kawasan Megapolitan
Jabodetabekjur”.
153
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
evaluasi program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini dilakukan
setiap lima tahun sekali karena sesuai dengan evaluasi kegiatan tahunan
Rencana Induk dilakukan pada setiap tahun anggaran yakni dalam kurun waktu
lima tahun. Pada pelaksanaannya nanti akan melibatkan dari berbagai instansi
terkait. Tidak hanya badan koordinasi, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam Kawasan Megapolitan
Jabodetabekjur, melainkan Komite I DPD RI sebagai pengusung dari kebijakan
ini pun akan melakukan evaluasi untuk mengukur jauh mana kebijakan ini
berjalan sesuai target. Hal serupa dikatakan oleh N.1 bahwa:
“Evaluasi itu adalah kegiatan pengukuran terhadap tingkat pencapaian
rencana program dan kinerja dari masing-masing kementerian,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota, serta
kita sebagai anggota DPD pun ikut mengevaluasi dan mengawasi
kebijakan ini dalam pelaksanaan kebijakan ini pada setiap kurun waktu
5 tahun. Jadi evaluasinya itu pada semuanya akan dilakukan, supaya
program pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini bisa berjalan
optimal dan sesuai target”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada
evaluasi akan dilakukan meliputi pelaksanaan dan kinerja dari program yang
dimuat dalam rencana induk. Dalam evaluasi ini seharusnya perlu adanya
sanksi tegas pada daerah yang belum melaksanakan program sesuai dengan
rencana. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan disparitas pembangunan.
Dengan adanya sanksi diharapkan pemerataan pembangunan di kawasan
Jabodetabekjur memenuhi pencapaian target dalam kurun waktu yang telah
154
ditentukan. Hal ini diungkapkan oleh N.2 kepada peneliti di Gedung Nusantara
IV pada 16 April 2015 bahwa:
“Seharusnya menurutku itu adanya sanksi supaya daerah-daerah yang
belum menjalankan suatu program yang direncanakan itu mendapat
sanksi. Jadi semua pembangunan bisa merata dalam kurun waktu yang
ditentukan. Sanksi itu bisa dari Kementerian terkait, atau badan
koordinasi atau bahkan kalo misal gubernur DKI Jakarta punya
kewenangan setingkat menteri bisa juga memberi sanksi pada daerah-
daerah yang tidak menuruti kebijakan ini”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
pemberian sanksi ini bertujuan agar daerah Kabupaten/Kota di wilayah
Jabodetabekjur dapat melaksanakan program pembangunan yang telah di
rencanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang
Megapolitan Jabodetabekjur dan rencana induk pembentukan kawasan
megapolitan di wilayah Jabodetabekjur. Dalam melaksanakan pengelolaan
terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur, anggaran diserahkan kepada
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, untuk itu kewenangan dari
Menteri Koordinator bidang Perekonomian yakni untuk mengkoordinasikan
dan memberikan arahan kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, dan
Bupati/Walikota dalam penyusunan Rencana Induk. Hal serupa dikatakan oleh
N.1 bahwa:
”Kalau dari segi pendanaan program pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur ini diserahkan kepada Menteri Koordinator bidang
Perekonomian, nantinya menko perekonomian yang memberikan
arahan kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota
dalam penyusunan Rencana Induk, pembangunan proyek dan
155
melakukan tindakan koreksi dalam rangka evaluasi pelaksanaan
Rencana Induk”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa
Menteri Koordinator bidang Perekonomian dalam pelaksanaannya nanti
memiliki beberapa kewenangan diantaranya akan mengoreksi dan memberikan
penilaian terhadap kinerja kebijakan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan, dalam hal ini turut serta dalam
evaluasi kebijakan. Hal tersebut diungkapkan oleh N.5 bahwa:
“Masalah evaluasi anggaran itu merupakan kewenangan dari Menko
Perekonomian, soalnya untuk dana kita ambil dari APBN. Jadi evaluasi
anggaran akan dilakukan oleh Menko Perekonomian, kalau pelaksanaan
pembangunan secara teknis diserahkan oleh pemerintah daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota”.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat peneliti ketahui bahwa pada
teknis evaluasi sebenarnya menjadi tanggung jawab dari seluruh stakeholder,
namun untuk permasalahan evaluasi anggaran akan dikelola oleh Menteri
Koordinator Perekonomian karena anggaran dalam kebijakan megapolitan
Jabodetabekjur ini masuk dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja
Negara). Dalam evaluasi teknis pembangunan selanjutnya di serahkan kepada
Badan Koordinasi, Pemerintah daerah baik gubernur, bupati, dan walikota di
wilayah Jabodetabekjur.
156
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai gambaran Kebijakan
Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan
dapat diketahui bahwa perkembangan kota-kota besar tidak terlepas dari
urbanisasi. Semakin tinggi tingkat urbanisasi maka kota tersebut akan cepat
mengalami perkembangan. Namun, dalam prakteknya khususnya di wilayah
Jabodetabekjur semakin berkembang dan semakin cepat tumbuh suatu kota
justru menimbulkan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Tingginya angka pertumbuhan penduduk membuat daya tampung dan daya
dukung kota semakin lemah. Secara logis kota seolah tidak dapat memenuhi
kebutuhan penduduknya, seperti kebutuhan air bersih dan ketersediaan lahan
pemukiman.
Pada awalnya kawasan Jabodetabekjur adalah satu kesatuan wilayah
administratif dari provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Akan tetapi pada tahun
2000 Banten mengalami pemekaran dengan adanya UU No. 23 Tahun 2000
tentang pembentukan provinsi Banten. Dengan begitu wilayah Kabupaten/Kota
Tangerang menjadi bagian dari provinsi Banten. Secara umum, jumlah dan
jenis kewenangan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota adalah
sama. Perbedaanya, provinsi dalam hal tertentu dapat masuk pada kewenangan
yang lintas kabupaten atau kota.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
adanya perbedaan kewenangan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota. Berikut seperti pada tabel 4.4.
157
Tabel 4.4
Perbandingan kewenangan Provinsi dengan Kabupaten/Kota
NO.
Kewenangan Provinsi
Kewenangan Kabupaten/Kota
1. perencanaan dan pengendalian
pembangunan
perencanaan dan pengendalian
pembangunan
2. perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang
perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang
3. penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat
penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat
4. penyediaan sarana dan prasarana
umum
penyediaan sarana dan prasarana
umum
5. penanganan bidang kesehatan penanganan bidang kesehatan
6. penyelenggaraan pendidikan dan
alokasi sumber daya manusia
potensial
Penyelenggaraan pendidikan
7. penanggulangan masalah sosial lintas
kabupaten/kota
Penanggulangan masalah sosial
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan
lintas kabupaten/kota
Pelayanan bidang ketenagakerjaan
9. fasilitasi pengembangan koperasi,
usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kab/kota
Pengembangan, koperasi, usaha kecil
menengah
158
10. pengendalian lingkungan hidup pengendalian lingkungan hidup
11. pelayanan kependudukan, dan
catatan sipil
pelayanan kependudukan, dan
catatan sipil
12. pelayanan administrasi umum
pemerintahan
pelayanan administrasi umum
pemerintahan
13. pelayanan administrasi penanaman
modal termasuk lintas
kabupaten/kota
pelayanan administrasi penanaman
modal
14. penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/kota
penyelenggaraan pelayanan dasar
lainnya
15. pengendalian lingkungan hidup pengendalian lingkungan hidup
16. urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
Sumber : NA RUU Jabodetabekjur (2014:87)
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, adanya perbedaan antara kewenangan
pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota, untuk itu setiap
Kab/Kota di wlayah Bodetabekjur hendaknya untuk selalu memperkuat
kelembagaan dengan pemerintah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan.
Sejak tahun 1967 program kerjasama pembangunan kawasan
Jabodetabekjur sudah di rencanakan, akan tetapi hingga saat ini berbagai
rencana program penyatuan regulasi terkait kawasan Jabodetabekjur hingga
159
saat ini belum dapat terlaksana secara optimal. Berikut tabel 4.5 program
pembangunan yang dapat terlaksana;
Tabel 4.5 Program pembangunan terintegrasi di Jabodetabek
NO.
NAMA PROGRAM
TAHUN
PERKEMBANGAN
1. Bus Trans Jakarta (Busway) 2004 Armada Busway saat ini
mencapai 822 unit bis
2. Commuter Line Jabodetabek
(KRL)
2008 784 Unit. Direncanakan
hingga setiap tahun akan
meningkat hingga tahun
2019 mencapai 1.450 Unit
3. Angkutan Perbatasan Terintegrasi
Bus (APTB)
2012 143 unit hingga saat ini
4. Pembentukan Badan Kerja Sama
Pembangunan (BKSP)
Jabodetabek
1976 Belum dapat berjalan
secara optimal karena
berbenturan dengan
kewenangan
5. Pembangunan Jalan Tol Akses
Tanjung Priok
2010 Hingga pertengahan tahun
2010, progres
pembangunan Jalan Tol
Akses Tanjung Priok
Seksi E-1 telah mencapai
96%.
6. Jalan Tol Lingkar Luar 2 atau
JORR 2 sebagai jalan tol
2011 Lebih mempermudah
integrasi ke wilayah
160
penghubung pengendara
Jabodetabek
Bodetabekjur menuju
Jakarta dan sebaliknya.
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, beberapa program hasil kebijakan yang
telah dilaksanakan merupakan hasil dari kerjasama pemerintah di wilayah
Jabodetabek. Tujuan dari kebijakan tersebut agar dapat mengintegrasikan
dengan mudah mobilitas masyarakat ke wilayah Jabodetabek. Ada pun bentuk
kerjasama lainnya yang telah dilakukan yakni dengan adanya beberapa
peraturan yang dibentuk hasil dari kerjasama Pemerintah Provinsi, Kab/Kota di
wilayah Jabodetabek. Bentuk peraturan yang dihasilkan merupakan rencana
kerjasama yang tengah dicanangkan, akan tetapi hingga saat ini dalam
kerjasama pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur belum dapat
dilaksanakan secara optimal.
Sejak tahun 1967, telah dibentuk Badan Kerjasama antar-Kota seluruh
Indonesia melalui Musyawarah antar-Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) di
Gedung Merdeka, Bandung. Saat itu, yang terpilih sebagai ketua umum
MAKSI adalah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, sedangkan Sekjen-nya
dipegang oleh orang Jawa Barat juga, yakni Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin
(alm). Salah satu tugas dan fungsi badan tersebut adalah mengelola
permasalahan daerah perbatasan antara Jabar dan DKI Jakarta saat itu Banten
masih bagian wilayah administratif provinsi Jabar). Sejak pemerintahan Ali
Sadikin, program pembangunan Megapolitan Jakarta – Jabar sudah mulai di
rencanakan. Pada intinya, program tersebut merupakan program kerjasama
161
pembangunan di perbatasan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek). Hingga pemerintahan provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh Joko
Widodo (Jokowi) dan provinsi Jabar dipimpin oleh gubernur Ahmad Heryawan
(Aher), program tersebut masih belum optimal.
Berbagai macam kerjasama yang pernah direncanakan sejak tahun 1967
belum dapat dilaksanakan dikarenakan berbenturan dengan berbagai hal. Untuk
itu Komite I DPD RI sebagai salah satu lembaga tinggi negara berinisiatif
untuk memperkuat program kerjasama pembangunan kawasan megapolitan di
wilayah Jabodetabekjur. Dalam hal mengelola secara terpadu kawasan
Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan tentu banyak permasalahan yang
terjadi. Masalah-masalah yang timbul perlu perhatian yang serius. Beberapa isu
atau permasalahan secara umum yang peneliti temui di lapangan yakni seperti
pada tabel 4.6 sebagai berikut;
Tabel 4.6
Permasalahan di Jabodetabekjur
NO.
PERMASALAHAN
PERKEMBANGAN
SOLUSI
1. Pertumbuhan Penduduk Semakin bertambah,
peningkatan
pertumbuhan
penduduk mencapai
11% setiap tahunnya
Menekan angka
pertumbuhan
penduduk, pemerataan
pembangunan, dan
SDM di wilayah sekitar
Jakarta
162
2. Kemacetan dalam dan
menuju Jakarta
Bertambahnya volume
kendaraan pribadi,
pada tahun 2010
mencapai 98,6%
kendaraan pribadi di
DKI Jakarta.
Meminimalsir volume
kendaraan pribadi
dengan
mengembangkan
transpotasi publik yang
mengintegrasi ke
seluruh wilayah
Jabodetabekjur
3. Ketimpangan
Pembangunan
Pembangunan terpusat
dan Jakarta menjadi
pusat segala interaksi
kegiatan ekonomi.
Mengembangkan dan
pemerataan
pembangunan di
wilayah Bodetabekjur
4. Lemahnya Koordinasi
antarpemerintah
Jabodetabekjur
Belum dapat telaksana
secara optimal
program kerjasama
pembangunan
kawasan megapolitan
hingga saat ini.
Membentuk Badan
yang bertugas untuk
mengkoordinasikan dan
mengawasi program
kerjasama
pembangunan kawasan
megapolitan di
Jabodetabekjur.
Sumber : Peneliti. 2015
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, beberapa isu permasalahan yang menjadi
fokus dalam penelitian ini merupakan hasil dari temuan di lapangan saat
peneliti melakukan observasi. Permasalahan yang terjadi saat ini dikarenakan
program kerjasama yang dicanangkan sejak dulu hingga kini masih belum
dapat terlaksana. Sehingga menimbulkan berbagai masalah di wilayah
Jabodetabekjur yang belum dapat diselesaikan. Untuk itu peneliti tertarik untuk
163
menganalisis kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan dengan menggunakan model teori analisis kebijakan
publik menurut Dunn (2003). Model analisis kebijakan menurut Dunn
mencakup perumusan masalah, peramalan masa depan, rekomendasi kebijakan,
pemantauan kebijakan, dan evaluasi kebijakan, berikut penjabarannya.
Kawasan Jabodetabekjur berada pada tiga provinsi yaitu DKI Jakarta,
Jawa Barat dan Banten. Kawasan Jabodetabekjur yang berada pada Provinsi
DKI Jakarta meliputi seluruh wilayah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat
diwakili oleh seluruh wilayah Kota Depok, seluruh wilayah Kota Bogor,
seluruh wilayah Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota Bekasi, seluruh
wilayah Kabupaten Bekasi, dan sebagian wilayah Kabupaten Cianjur yang
meliputi Kecamatan Cugenang, Kecamatan Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan
Kecamatan Cipanas. Sedangkan Provinsi Banten diwakili oleh seluruh wilayah
Kota Tangerang dan seluruh wilayah Kabupaten Tangerang.
Hal yang menjadi akar dalam permasalahan kota besar adalah mobilitas
penduduk. Dalam hal ini khusus wilayah Jabodetabekjur, bertambahanya
jumlah komuter mengindikasi semakin jauhnya tempat tinggal para pekerja
dengan tempat bekerja. Artinya, masyarakat yang datang ke Jakarta adalah
orang-orang yang bukan penduduk Jakarta. Dalam hal ini lalu lintas menuju
Jakarta di jam-jam sibuk akan semakin padat. Penggunaan kendaraan pribadi
yang semakin meningkatnya yang mengakibatkan pemborosan bahan bakar,
dan membuat polusi meningkat menyebabkan suhu udara meningkat sehingga
164
suhu udara kota semakin panas. Selain itu masalah lain yang diakibatkan
bertambahnya jumlah penduduk yaitu mengenai bertambahnya pula volume
sampah. Sampah di kota-kota besar seperti Jabodetabekjur setiap tahunnya
selalu bertambah. Permasalahan seperti ini perlu adanya suatu penyelesaian
yang dapat membuat kawasan perkotaan seperti Jabodetabekjur semakin lebih
tertata dan teratur secara fungsional.
Berdasarkan inventarisasi masalah yang terjadi di kawasan
Jabodetabekjur, Komite I DPD RI bekerja sama dengan pemerintah daerah
Kab/Kota Jabodetabekjur untuk membuat Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan. Kebijakan ini
bertujuan yang pertama untuk memperkokoh posisi DKI Jakarta sebagai
Ibukota negara. Untuk memperkokoh posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota
negara diperlukan adanya daya dukung dari kota-kota disekitarnya, yang mana
dalam hal ini adalah Bodetabekjur.
Kemudian yang kedua untuk pemerataan pembangunan di wilayah
Bodetabekjur agar tidak terpusat di Jakarta. Dalam kebijakan ini pada intinya
menginginkan adanya harmonisasi dan keterpaduan kewenangan untuk
memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat, pemanfaatan
sumber daya alam, sumber daya lainnya semata untuk memberikan
kesejahteraan umum bagi masyarakat. Dalam konsep kebijakan publik ada
tahapan dimana disebut analisis kebijakan. Analisis kebijakan adalah
serangkaian aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk
menciptakan, menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan dalam proses
165
kebijakan. analisis kebijakan dapat dilakukan sebelum atau sesudah kebijakan
itu dibuat. Dalam analisis kebijakan menurut Dunn ada lima (5) langkah yang
harus dilakukan, yaitu :
1. Merumuskan masalah, dalam analisis kebijakan, masalah adalah nilai,
kebutuhan, atau kesempatan yang blum dapat terpenuhi, yang dapat
diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki melalui tindakan publik.
2. Peramalan masa depan, adalah suatu prosedur untuk membuat
informasi faktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar
informasi yang telah ada di masa sekarang.
3. Rekomendasi Kebijakan yakni menghasilkan informasi tentang
kemungkinan aksi/tindakan di masa akan datang.
4. Pemantauan hasil kebijakan, pemantauan sering disebut monitoring
yang merupakan prosedur yang digunakan untuk memberikan informasi
sebab akibat saat kebijakan dilaksanakan.
5. Evaluasi kinerja kebijakan, yaitu menyediakan informasi yang valid
mengenai kinerja kebijakan, kemudian memberikan kritik yang
mendasari tujuan, nilai-nilai, dan sasaran kebijakan.
Konsep analisis kebijakan menurut Dunn di atas peneliti gunakan
dalam penelitian mengenai Analisis Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan. Dalam tahapan analisis
kebijakan pada Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur
sebagai Kawasan Megapolitan yaitu sebagai berikut.
166
Pada tahapan pertama yaitu merumuskan masalah, pada tahap ini
Komite I DPD RI telah banyak bekerja sama dengan pemerintah daerah
Kab/Kota di wilayah Jabodetabekjur untuk mengumpulkan masalah apa saja
yang tengah di hadapi. Selain itu perumusan masalah dilakukan saat masa reses
anggota Komite I DPD RI. Dengan berbagai cara yang dilakukan untuk
pencarian masalah dalam langkah pembangunan pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur selanjutnya dilakukan kajian mendalam dan dibahas dalam
rapat kerja anggota Komite I DPD RI bersama dengan staf ahli, timja, dan staf
sekretariat Komite I.
Berdasarkan temuan lapangan bahwa banyak permasalahan di wilayah
Jabodetabekjur yang masih belum dapat diselesaikan, seperti permasalahan
pemukiman, kemacetan, banjir, tata ruang, sistem transportasi dan sebagainya.
Secara umum permasalahan tersebut antara lain disebabkan karena beberapa
alasan. Pertama, pembagian kewenangan yang belum jelas dan tegas antara
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota. Dalam hal ini masih belum adanya harmonisasi dan
kurangnya koordinasi antar pemerintah Provinsi, dan Kab/Kota di wilayah
Jabodetabekjur. Kedua, Belum adanya penguatan dari Badan/Kementerian
yang ditunjuk untuk mengkoordinasikan pembangunan dalam pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan. Peneliti melihat
bahwa dalam hal ini disebabkan karena perbedaan derajat otonomi daerah yang
dipangku oleh DKI Jakarta, untuk itu masih banyak hal-hal yang belum dapat
dilaksanakan secara harmonis dan optimal oleh pemerintah di wilayah
167
Jabodetabekjur. Bidang permasalahan utama tersebut berkorelasi erat terhadap
munculnya empat (4) masalah utama, yaitu :
1. Kesemerawutan pemukiman dan bangunan serta penempatan ruang
ekonomi dan industri di kawasan Jabodetabekjur;
2. Terjadinya banjir tahunan di wilayah Jakarta dan sekitarnya;
3. Urbanisasi dan segala dampak sosialnya;
4. Kemacetan akibat tata kelola transportasi yang tidak terpola secara
regional.
Selama tahun 1980-1990 gencar pengembangan kota-kota baru
sepanjang ruas jalan tol, yang mana tidak berhubungan dengan perkembangan
kawasan perkotaan, namun lebih berkaitan dengan kapitalisasi global termasuk
di bidang properti. Akibatnya kota-kota baru tersebut hanya berfungsi sebagai
dormitory towns yang bergantung secara sosial ekonomi pada Jakarta, serta
menambah beban interaksi harian antar kota-kota baru tersebut dan Jakarta.
Dengan begitu permasalahan yang paling banyak ditemui adalah kemacetan
menuju Jakarta. Berikut gambar perkembangan kota-kota baru yang merujuk
pada Jakarta;
168
Gambar 4.3 Kota-kota Baru di Jabodetabek tahun 2010
Sumber : NA RUU Jabodetabekjur, (2014:30).
Berdasarkan gambar 4.3 di atas bahwa perkembangan kota-kota di
sekitaran wilayah DKI Jakarta semakin lama semakin berkembang. Hal ini
mengakibatkan bahwa semakin maju sebuah kawasan perkotaan akan
menimbulkan pertumbuhan penduduk sehingga menyebabkan kepadatan
penduduk di kawasan sekitaran Jakarta. Melihat permasalahan yang terjadi
tidak serta merta DKI Jakarta sebagai pusat dari segala masalah, hal ini
disebabkan karena mobilitas penduduk dari wilayah Bodetabekjur yang datang
ke Jakarta sehingga menyebabkan berbagai masalah, seperti kemacetan,
pertambahan jumlah penduduk, banjir, pemukiman yang semerawut dan
sebagainya. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di sekitar Jakarta dan
sekitarnya akibat migrasi serta terbatasnya kemampuan pemerintah dalam
169
menyediakan perumahan dan kesempatan kerja telah menyebabkan alih fungsi
lahan pertanian ke fungsi non pertanian. Alih fungsi lahan yang tidak
terkendali selanjutnya menimbulkan dampak turunan berupa erosi,
pengendapan sungai, pencemaran, yang semuanya berakumulasi pada masalah
banjir, kesehatan, serta kerugian ekonomi dan infrastruktur.
Akibat pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi dengan berbagai
aktivitasnya telah memberikan tekanan pada lahan. Pesatnya pembangunan
menyebabkan tingginya perubahan pola penggunaan lahan, yang dulunya
merupakan lahan sawah maupun lahan kering banyak mengalami perubahan
fungsi menjadi lahan terbangun. Hal ini juga di alami oleh kawasan
Jabodetabekpunjur dimana terjadi perubahan penggunaan lahan yang mulanya
lahan terbangun atau kawasan perkotaan hanya terdapat di Pusat Jakarta namun
sudah meluas sampai di pinggiran Jakarta seperti wilayah Depok, Bogor,
Bekasi, dan Tangerang.
Sejak beberapa tahun yang lalu program kerja sama antar pemerintah
daerah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten ini telah direncanakan dan telah di
bentuk sebuah badan yang akan menangani dan mengawasi proses
pembangunan di wilayah Jabodetabek pada waktu itu. Badan tersebut yaitu
Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) adalah badan kerjasama yang
mengelola pembangunan di wilayah Jabodetabekjur. BKSP Jabodetabek
diharapkan dapat mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan di wilayah Jabodetabek serta mampu mengatasi berbagai
170
permasalahan bersama. Namun pada kenyataannya, BKSP Jabodetabek kurang
berfungsi disebabkan antara lain:
1. Masalah Kewenangan
BKSP Jabodetabek tidak memiliki otoritas untuk melakukan eksekusi
dan terbatas pada koordinasi berkala. Kewenangan koordinasi pun
terbatas pada kewenangan yang saling terkait dan saling tergantung;
2. Adanya perbedaan kepentingan
Otonomi dalam mengatur dan mengurus daerah terkadang membuat
daerah melupakan dan mengabaikan keterpaduan dan keserasian
dengan daerah lainnya.
3. Komunikasi yang belum efektif
Komunikasi antar kepala daerah dalam satu entitas wilayah
Jabodetabekju belum intensif dan efektif, sehingga sulit untuk
mewujudkan kesatuan bahasa visi dalam merencanakan, melaksanakan,
menyusun program pembangunan;
4. Fenomena Kepemimpinan
Pemimpinan daerah memiliki visi dan misinya masing-masing, terlebih
lagi ketika terjadi pergantian pemimpin daerah. Hal ini menjadi
penyebab sulitnya kesatuan visi dan misi di Jabodetabekjur;
5. Terbatasnya Sumber Daya
BKSP Jabodetabek memiliki keterbatasan sumber daya manusia
(SDM) baik kualitas dan kuantitas apabila dibandingkan dengan ruang
lingkup masalah pembangunan antardaerah yang ditangani. Begitu
171
juga secara hirarki kelembagaan, terdapat kesenjangan antara
kedudukan BKSP Jabodetabek sebagai lembaga non struktural yang
harus berkoordinasi dengan lembaga struktural.
Dalam kurun waktu beberapa dekade kawasan Jabodetabek mengalami
perkembangan yang begitu pesat dan menjadi sebuah kawasan perkotaan yang
besar. Namun, dalam perkembangannya ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yaitu permasalahan koordinasi dalam kelembagaan. Untuk
memperoleh keberhasilan pelaksanaan kebijakan publik, maka peran fungsi,
kapasitas, serta kapabilitas kelembagaan penyelenggara menjadi kunci.
Kelembagaan menjadi kunci karena dalam prakteknya menjadi bagian pokok
dari suatu sistem hukum yang akan mempengaruhi atau bahkan
membentuk/mengatur sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam temuan di lapangan permasalahan
kelembagaan seolah menjadi masalah yang sering diperbincangkan, hal ini
dikarenakan program pembangunan kawasan megapolitan ini adalah program
kerja sama antar Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi, Kab/Kota di wilayah
Jabodetabekjur. Untuk itu permasalahan penguatan koordinasi antar lembaga
pemerintah sangat diperlukan guna terwujudnya pembangunan pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan secara optimal.
Selanjutnya pada tahapan kedua setelah merumuskan masalah dalam
analisis kebijakan menurut Dunn (2003:291) yaitu peramalan (forecasting).
Pada tahap peramalan dalam pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur
sebagai kawasan megapolitan didasari oleh keadaan di masa sekarang. Mulai
172
dari permasalahan banjir yang saat ini setiap tahun terjadi pada musim
penghujan Jakarta dan sekitarnya akan tergenang air. Dalam kurun waktu 35
tahun diramalkan bahwa kawasan Jakarta dan sekitarnya akan tenggelam. Hal
ini disebabkan menyusutnya permukaan tanah dan bertambahnya volume air
laut. Apabila semakin tinggi air laut sehingga dalam beberapa tahun dapat
mengakibatkan tenggalamnya sebagian wilayah Jakarta. Potensi rendaman di
Jakarta Utara disebabkan oleh kenaikan muka laut dan penurunan permukaan
tanah.
Selanjutnya hal yang dikhawatirkan di masa depan akibat dari
peningkatan air laut adalah perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan
fenomena global yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan tata guna dan
penutup lahan, serta perubahan konsentrasi gas rumah kaca (GRK).
Meningkatnya permukaan air laut berdampak pada penduduk, infrastruktur,
kesehatan, dan lainnya. Hal ini tentu perlu diperhatikan sebelum bertambah
parah. Kemudian Angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas warga yang
tinggi tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana transportasi
yang memadai. Laju pertambahan jalan di Jabodetabek hanya 0,01 % per 11
tahun, sedangkan laju pertambahan kendaraan mencapai 11 % per tahun (NA
RUU Jabodetabekjur 2014:10). Kesenjangan ini menyebabkan kemacetan lalu
lintas pada jam-jam sibuk. Apabila keadaan seperti ini terus berlanjut makan
dapat diprediksi di masa yang akan datang lalu lintas dari dan menuju Jakarta
akan lumpuh. Dari berbagai keadaan yang dirasa akan semakin parah dari
waktu ke waktu, tentu kita perlu adanya suatu kebijakan yang dapat
173
meminimalisir permasalahan yang terjadi di masa depan. Untuk itu dengan
adanya kebijakan pengelolaan terpadu wilyah Jabodetabekjur ini diharapkan
mampu menjawab segala permasalahan yang dapat berdampak buruk di masa
depan.
Kemudian permasalahan transportasi yang semakin parah setiap
tahunnya. Dari data yang peneliti dapatkan di lapangan bahwa kebutuhan
perjalanan di wilayah Jabodetabek 53 juta perjalanan pada tahun 2010, dan
diramalkan bahwa jumlahnya akan terus bertambah, yaitu 64 juta perjalanan
pada tahun 2020. Keadaan seperti ini jika tidak ada pengembangan jaringan
dan pelayanan transportasi perkotaan hingga pada tahun 2020, untuk angkutan
umum akan berkurang dan kondisi lalu lintas akan semakin parah (NA RUU
Jabodetabekjur 2014:11).
Pada kebijakan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur ini
lebih banyak pada pengembangan jaringan transportasi, tata ruang, tata kota
dan pemukiman. Sehingga tidak mengubah aspek sosial dan budaya dari
masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang tinggal di kawasan Jabodetabekjur
tetap dapat hidup dan menjalankan aktivitas seperti biasa, hanya saja
pembangunan dan penataan kota yang lebih dikelola secata terpadu.
Langkah ketiga dalam analisis kebijakan menurut Dunn yaitu
rekomendasi kebijakan. Dari hasil observasi peneliti di lapangan dalam
kebijakan pengelolaan terpadi wilayah Jabodetabekjur ada beberapa usulan
alternatif yang dijadikan rekomendasi kebijakan yaitu rekomendasi kebijakan
174
untuk pengelolaan terpadu Jabodetabekjur dengan dibentuk pola sebagai
berikut;
1. Pola integratif, yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi,
satu reguler khusus, mengatur semua masalah interkoneksi utama di
kawasan ini, di bawah badan/kementerian yang ditunjuk.
2. Pola Federatif, yaitu membagi kewenangan struktural antara
pemerintah pusat, Core City (DKI Jakarta), semi pheri-pheri
(Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur).
3. Pola Distributif, yaitu mendistribusikan kewenangan fungsional
berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan
Jabodetabekjur.
Dibentuknya pola-pola di atas berfungsi sebagai pemetakan fungsional
daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur agar tidak semua terpusat di Jakarta.
Hal ini tentu dapat mengurangi beban masalah di Jakarta. Jabodetabekjur
adalah kawasan yang memiliki nilai strategis sehingga memerlukan
penanganan khusus dari pusat dan pemda agar tercipta keterpaduan
pembangunan. Selain membentuk pola-pola selanjutnya dibentuk poin-poin
rekomendasi dalam kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini, antara lain ;
a. Menyatukan Jakarta dengan Bodetabekjur dalam satu regulasi yang
bersifat kekhususan,
b. Mendistribusikan kewenangan fungsional berdasarkan keunggulan
komparatif dari daerah-daerah di kawasan Jabodetabekjur
175
c. Penyelarasan tata ruang, pola transportasi, tata lingkungan, dan
desain ekonomi komplementer
d. Membentuk badan koordinasi atau menunjuk kementerian terkait
untuk melakukan fungsi koordinasi dan asistensi.
Pembentukan pola-pola rekomendasi di atas diharapkan tidak hanya
dapat menjawab segala permasalahan yang ada di Jabodetabekjur, melainkan
dapat mengelola secara terpadu dan menjadikan transformasi Jabodetabekjur
menjadi sebuah kawasan megapolitan. Untuk mewujudkan kawasan
megapolitan yang optimal dan mendukung serta memenuhi kebutuhan interaksi
sosial dan kegiatan sehari-hari perlu didukung sistem angkutan umum
khususnya angkutan umum massal perkotaan yang efektif, efisien dan
terintegrasi di kawasan Jabodetabekjur.
Pada rekomendasi dalam pembentukan pola transportasi, arah
pembangunan angkutan massal harus memperhatikan integrasi inter dan
antarmoda dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya, pembuatan
pola transportasi yang dapat mengintegrasi wilayah Jabodetabekjur. berikut
arah pembangunan angkutan massal yang dibentuk;
a. Pembangunan jaringan angkutan massal berbasis jalan dan rel yang
terintegrasi;
b. Pembangunan infrastruktur/fasilitas pendukung angkutan massal
yang sesuai standar;
c. Pemanfaatan perkembangan kemajuan teknologi yang semakin
canggih;
d. Pengembangan angkutan massal yang ramah lingkungan.
176
Untuk mengoptimalkan integrasi transportasi di wilayah
Jabodetabekjur, tentu kerja sama dengan Kementerian Perhubungan sangat
diperlukan. Pada saat FGD pada tahun 2014 lalu, telah dibuat rencana umum
jaringan massal berbasis jalan pada kawasan megapolitan Jabodetabekjur tahun
2014-2030 seperti gambar 4.4 berikut
Gambar 4.4 Rencana Umum Jaringan Angkutan Massal Berbasis
Jalan
Pada Kawasan Jabodetabek Tahun 2014 - 2030
Sumber : Masterplan Jabodetabek, Kementerian Perhubungan, 2014
Berdasarkan gambar 4.4 di atas, dapat dilihat bahwa akan banyak
pembangunan jalan dan pelebaran guna menunjang terintegrasinya transportasi
massal secara optimal yang dapat mengintegrasikan ke seluruh wilayah
Jabodetabekjur. Kemudian akan dibentuk beberapa trayek utama dan trayek
pengumpan pada tahun 2015 sampai tahun 2020. Selanjutnya akan dibangun
pula program pembangunan jaringan jalur kereta api pada kawasan
177
megapolitan Jabodetabek mulai tahun 2014-2030. Berikut Tabel 4.7
pembangunan jaringan kereta api;
Tabel 4.7 Program Pembangunan Jaringan Kereta Api di Jabodetabek
Tahun 2014-2030
PROGRAM
PANJANG
(KM)
(MILYAR RUPIAH) PEMERINTAH SWASTA/
BUMN Peningkatan Prasarana Perkeretaapian
a. Jaringan Eksisting
1) Double Double Track, Elektrifikasi, dan Peninggian
Lintas Bekasi
2) Double Double Track Lintas Barat (Karet-Manggarai)
3) Pengembangan stasiun baru antara Bogor dan Cilebut
Lintas Bogor
4) Double Track Lintas Serpong antara Parung Panjang –
Rangkasbitung
5) Pembangunan 2 (dua) stasiun baru (Stasiun Matraman
dan Stasiun Bekasi Timur) Lintas Bekasi
6) Pembangunan 2 (dua) stasiun baru (Stasiun Kuningan
dan Stasiun Sudirman) Lintas Priok
7) Pembangunan 2 (dua) stasiun baru Lintas Serpong
b. Fasilitas Eksisting
1) Peningkatan fasilitas stasiun Lintas Bogor
2) Peningkatan fasilitas stasiun Lintas Tangerang
3) Rehabilitasi sinyal/fasilitas telekomunikasi
4) Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Bekasi
(Track Layout, Platform, Substation)
5) Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Serpong
(Track Layout, Substation)
6) Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Bogor
(Track Layout, Substation)
7) Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Tj. Priok
(Track Layout, Substation)
8) Peningkatan fasilitas perkeretaapian Lintas Tangerang
35
4.5
1 Stasiun
39
2 Stasiun
2 Stasiun
2 Stasiun
10,000
1,662
154
50,700
1,419
1,085
802
575
156
2,226
3,506
3,781
2,936
997
5,104
178
(Track Layout, Substation)
Pembangunan Prasarana Perkeretaapian
a. Jaringan Baru
1) Jalur Bandara Soekarno-Hatta (Commuter Line)
2) Jalur Bandara Soekarno-Hatta (Express Line)
3) Short Cut antara Palmerah dan Karet Lintas Serpong
4) Short Cut Lintas Tangerang
5) Short Cut Manggarai – Pondok Jati
6) MRT East-West (Balaraja-Cikarang)
7) MRT East-West (Cikokol – Bekasi)
8) MRT North-South (Kampung Bandan – Lebak Bulus)
9) Jalur Kereta Api Lingkar Luar (Parung Panjang –
Citayam – Nambo – Cikarang – Tj. Priok)
10) Jalur Kereta Api Lingkar Dalam (Kamal Muara – Rawa
Buaya – Lebak Bulus – Margonda – Cibubur – Cakung –
Pulo Gebang – Tj. Priok)
11) Jalur Kereta Api Lintas Pluit (Pluit – Daan Mogot –
Kebayoran Lama)
12) Jalur Kereta Api Lintas Sunter (Sunter – Cempaka Baru
– Jatinegara)
13) Monorail
a) Jalur Biru (Kampung Melayu – Casablanca – Tanah
Abang – Tomang)
b) Jalur Hijau (Rasuna Said – Gatot Subroto – SCBD -
Gelora Senayan - Asia Afrika - Taman Ria Senayan -
Gatot Subroto – Pejompongan)
c) Jalur Selatan (Cawang – Cibubur – Bogor)
d) Jalur Timur (Cikarang – Cawang – Kuningan)
e) Jalur Barat (Batu Ceper –Serpong)
b. Fasilitas Baru
1) Automatic Train Protection (ATP) System
2) Pembangunan Workshop di Depok
12
38
5
2
2
90
52
23
60
75
15
21
147
6,000
1,448
1,000
597
82,000
48,000
14,000
78,000
97,500
19,500
27,300
713
1,389
2,000
14,000
35,000
20,000
15,500
33,000
TOTAL 462,550 119,500
Sumber : Masterplan Jabodetabek, Kementerian Perhubungan. 2014
179
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, jumlah pembangunan proyek yang
ditargetkan selesai pada tahun 2030 tersebut diantaranya meliputi konstruksi
jalur Mass Rapid Transit (MRT), Pengembangan stasiun KRL, pengembangan
pelabuhan baru berskala internasional di Cimalaya (Karawang), perluasan
Bandara Soekarno – Hatta, pengembangan klaster penelitian baru, dan
pengembangan sistem saluran air limbah di Jakarta. Dengan adanya program
pembangunan transportasi massal yang dapat mengintegrasikan ke seluruh
wilayah Jabodetabekjur diharapkan mampu mengelola secara terpadu kawasan
megapolitan Jabodetabekjur. Untuk memecahkan permasalahan DKI Jakarta
seperti, kemacetan dan banjir, Metropolitan Priority Areas (MPA) DKI Jakarta
tersebut dapat diperluas diintegrasikan dengan program pembangunan
pedesaan di Jabar dan Banten melalui MPA “JAJATEN” yakni Megapolitan
Priority Areas (MPA) Jakarta – Jabar – Banten. Di Jabar, pengelolaan wilayah
Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang – Bekasi – Cianjur – (Jabodetabekjur)
sebaiknya diperluas ke Pusat Kegiatan Nasional Provinsi (PKNP) Pelabuhan
Ratu (Sukabumi Selatan, Jabar Selatan) sebagai Growth Centre Areas (GCA)
baru. Sedangkan GCA di Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Banten dapat
ditetapkan Merak (FGD 18 Februari 2014).
Dari kedua titik GCA di Jabar dan Banten tersebut, aksesbilitas
infrastruktur yang dapat dibangun diantaranya adalah jalan bebas hambatan
(tol) Jakarta – Bogor – Pelabuhan Ratu (Tol Jagoratu) dan Tol Merak – Serang
– Pelabuhan Ratu (Tol Raksaratu). Selain itu dapat berfungsi sebagai sarana
distribusi barang dan jasa ke kawasan tertinggal di Jabar Selatan dan Banten
180
Selatan, kedua tol tersebut pun dapat berfungsi sebagai pengurai kemacetan
Jabodetabekjur. Kendaraan yang berasal dari Sumatera (penyebrangan
Bakauheni – Merak) menuju ke Jawa Tengah yang selama ini melalui Tol
Merak – Tol Kota Jakarta – Tol Cikampek – Pantura – atau melalui Tol
Cikampek – Tol Purbaleunyi, dapat di urai melalui Jalur Pantai Selatan
(Pansela) Jabar, yakni melalui koridor Pelabuhan Ratu (Sukabumi Selatan) –
Sindangbarang (Cianjur Selatan) – Rancabuaya (Garut Selatan) – Cilacap (
Jawa Tengah).
Berdasarkan rencana program pembangunan dan pengembangan
transportasi dan jalan-jalan tersebut, diharapkan mampu meminimalisir
masalah kemacetan dan sekaligus untuk pemerataan pembangunan di wilayah
Jabar dan Banten, agar tidak ada lagi masalah disparitas pembangunan. Selain
itu rekomendasi kebijakan pembangunan ini diharapkan mampu meningkatkan
taraf ekonomi masyarakat di wilayah Jabar selatan dan Banten selatan. Karena
dengan adanya pembangunan jalan tol ini dapat dengan mudah untuk akses
distribusi barang dan jasa.
Sebagai upaya menjaga konsistensi dan keterpaduan dalam pengelolaan
kawasan megapolitan, untuk dapat melaksanakan rekomendasi pembangunan
kebijakan kawasan megapolitan, maka dibuat Rencana Induk Pengelolaan
Terpadu Kawasan Megapolitan di tingkat provinsi yang mengacu kepada
Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan Nasional, dan
penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan di
tingkat kabupaten dan kota mengacu kepada Rencana Induk Pengelolaan
181
Terpadu Kawasan Megapolitan di tingkat provinsi. Dengan demikian
penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan
dilaksanakan secara berjenjang dan terpadu. Hal ini dilakukan agar setiap
Kabupaten/Kota di kawasan Jabodetabekjur dapat melaksanakan program
pembangunan pembentukan kawasan megapolitan dengan mandiri sesuai
dengan Rencana Induk di tiap masing-masing Kab/Kota.
Kemudian langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan oleh Komite I
DPD RI yakni pemantauan kebijakan atau biasa disebut monitoring. Dalam
pemantauan kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai
kawasan megapolitan dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya yang
pertama pemantauan kebijakan yang dilakukan di tingkat daerah oleh
pemerintah daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh wilayah
Jabodetabekjur. Melalui pemantauan dari pemerintah daerah diharapkan
nantinya setiap daerah Kab/Kota dapat melaksanaan pembangunan program
megapolitan Jabodetabekjur sesuai dengan rencana induk yang telah disepakati
dengan target dan sasaran yang tepat. Selain pemantauan melalui pemerintah
daerah, pemantauan kebijakan megapolitan Jabodetabekjur ini dapat pula
dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting dalam menilai
segala program pembangunan yang akan atau sedang dilaksanakan.
Masyarakat berhak berperanserta dalam pengelolaan Kawasan
Megapolitan Jabodetabekjur. Peranserta masyarakat sebagaimana dilakukan
pada tahap perencanaan, monitoring dan evaluasi terhadap program
182
pembangunan yang dilaksanakan. Masyarakat dapat berperanserta dalam
pembiayaan pengelolaan terpadu Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur
melalui pembayaran pajak. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Masyarakat dapat
memberikan penilaian baik kritik ataupun masukan kepada pemerintah daerah
melalui berbagai cara, bisa dengan menghubungi Pemkab/Pemkot setempat,
melalui media sosial ataupun melalui pengaduan secara langsung apabila
terjadi ketidaksesuaian pelaksanaan kebijakan di lapangan.
Peranserta masyarakat dalam bentuk pembiayaan pengelolaan Kawasan
Megapolitan Jabodetabekjur yang berasal dari pajak dapat dialokasikam berupa
penyediaan prasarana dan sarana transportasi, pemukiman, pengembangan dan
pembangunan tata ruang dan lain-lain. Selanjutnya dalam pelaksanaan
pemantauan atau monitoring program pembangunan wilayah Jabodetabekjur
sebagai kawasan megapolitan akan diberikan sanksi bagi daerah-daerah yang
tidak mematuhi aturan dalam rencana induk yang telah disepakati. Dalam
pemberian sanksi ini, Menteri Koordinator bidang Perekonomian dapat
menjatuhkan sanksi kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, Bupati, dan/atau
Walikota yang tidak menyusun dan/atau melaksanakan Rencana Induk berupa
teguran tertulis; peringatan tertulis; pengurangan Dana Alokasi Khusus;
penundaan Dana Alokasi Khusus; dan/atau pembinaan.
Kemudian, selain pemantauan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
baik Gubernur, Bupati/Walikota dan masyarakat, pemantauan pelaksanaan
kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur dapat pula dilakukan
183
oleh Badan koordinasi yang ditunjuk. Badan koordinasi bertugas untuk
mengkoordinasikan seluruh program kerja sama ini sekaligus melakukan
pengawasan terhadap program pembangunan yang tengah berjalan untuk
mewujudkan pembentukan kawasan megapolitan. Dengan adanya pengawasan
atau monitoring dari Badan koordinasi diharapkan tidak ada lagi permasalahan
kurang koordinasi ataupun masalah ketidakmerataan pembangunan. Selain
melalaui badan koordinasi, Komite I DPD selaku penggagas kebijakan ini turut
serta melakukan pemantauan. Mulai dari pemantauan ketika masa reses,
melakukan rapat dengar pendapat umum yang mengundang dari berbagai
kalangan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemerintah,
masyarakat, dsb, serta meminta laporan dari badan koordinasi terkait program
pembangunan kawasan megapolitan yang tengah berjalan. Dari pemantauan
atau monitoring berbagai instansi terkait baik pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, kota, badan koordinasi dan pemerintah pusat, diharakapkan
program pengelolaan terpadu di kawasan Jabodetabekjur sebagai kawasan
magapolitan dapat berjalan dengan efektif, efisien dan optimal.
Langkah selanjutnya dalam analisis kebijakan menurut Dunn yaitu
evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan ini bertujuan untuk memperoleh
informasi yang valid atas kinerja dan hasil dari kebijakan. Evaluasi adalah
kegiatan pengukuran terhadap tingkat pencapaian rencana program
pembangunan kawasan megapolitan Jabodetabekjur dan kinerja dari masing-
masing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kota di seluruh kawasan megapolitan Jabodetabekjur. Evaluasi
184
menjadi tugas dan tanggung jawab dari Menteri Koordinator bidang
Perekonomian untuk tingkat nasional, Gubernur untuk tingkat provinsi, Bupati
untuk tingkat kabupaten, dan Walikota untuk tingkat kota.
Proses evaluasi yang dilakukan melalui berbagai cara dengan tahapan
yang berbeda dan menjadi tanggung jawab pemerintah di Kab/Kota
Jabodetabekjur untuk setiap daerah. Dalam evaluasi kegiatan tahunan Rencana
Induk dilakukan pada setiap tahun anggaran. Evaluasi terhadap program
pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk dilakukan setiap
lima (5) tahun sekali. Evaluasi terhadap Rencana Induk dilakukan dengan
melibatkan kementerian teknis terkait atau badan koordinasi, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam
Kawasan Megapolitan Jabodetabekjur.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan pemaparan hasil penelitian teknis di
atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan
perhatian dan penekanan dalam Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah
Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan, yang mana perlu adanya sebuah
Undang-Undang baru yang mengatur dan memperkuat posisi dari kawasan
Megapolitan Jaodetabekjur. Untuk itu Komite I DPD RI tengah mengusulkan
suatu pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang bertujuan untuk
mengatur dan mengelola secara terpadu kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
Adanya pembentukan RUU Pengelolaan Terpadu Kawasan Megapolitan
Jabodetabekjur untuk beberapa aspek. Aspek-aspek tersebut antara lain
mengenai:
185
1. Pembagian wewenang yang lebih jelas dan tegas antara Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
2. Pengaturan kerja sama yang lebih jelas dan tegas antara Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
3. Bentuk-bentuk kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Demikian analisis dan pemaparan hasil penelitian Analisis Kebijakan
Pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan.
Hasil penelitian dan analisis tersebut merupakan petunjuk bahwa terdapat celah
atau kekosongan peraturan perundang-undangan untuk masalah tertentu
khususnya di Jabodetabekjur. Keadaan itu merupakan tantangan sekaligus
peluang untuk pengaturan lebih lanjut berbagai masalah tersebut dengan
membentuk satu peraturan-perundangan baru. Demikian pula halnya,
pengelolaan kawasan megapolitan Jabodetabekjur juga mengandung banyak
masalah yang memerlukan penanganan dengan segera dan komprehensif dalam
bentuk Undang-Undang yakni pembentukan RUU Kawasan Megapolitan
Jabodetabekjur.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan temuan lapangan yang telah peneliti
paparkan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa dalam kebijakan
pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan
belum dapat dilaksanakan secara optimal, dikarenakan masih ada beberapa hal
yang belum dapat diselesaikan, pertama pada tahap perumusan masalah, masih
banyak permasalahan yang belum dapat diselesaikan, terlebih pada
permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan. Permasalahan lemahnya
kelembagaan ini dikarenakan perbedaan derajat otonomi yang dipegang oleh
DKI Jakarta, yang mana DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara dengan wilayah
Kabupaten/Kota di Bodetabekjur, sehingga belum adanya harmonisasi yang
disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar pemerintah di wilayah
Jabodetabekjur.
Selanjutnya pada peramalan masa depan, terlihat banyak hal yang
perlu diperhatikan untuk segera diselesaikan agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan di masa depan. Akan tetapi, hingga saat ini masih kurang
penanganan yang serius dari pemerintah di wilayah Jabodetabekjur seperti
permasalahan pemukiman, iklim, volume air laut yang bertambah, mobilitas
penduduk dan lainnya.
186
187
Kemudian pada tahapan rekomendasi kebijakan, dari berbagai alternatif
kebijakan yang disarankan sebagai rekomendasi kebijakan dan telah disepakati
dan diharapkan mampu menjadi solusi untuk menangani masalah di
Jabodetabejur. Akan tetapi, rekomendasi kebijakan tersebut masih belum dapat
dijalankan dikarenakan masih berbenturan dengan anggaran dan permasalahan
kelembagaan akibat kurangnya koordinasi. Hal tersebut menyebabkan berbagai
rekomendasi kebijakan masih belum dapat dijalankan secara optimal.
Pada pemantauan kebijakan, pada tahapan pemantauan kebijakan atau
monitoring ini tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian terkait
atau Badan koordinasi melainkan dalam pemantauan kebijakan ini masyarakat
juga diikutsertakan untuk menilai dan mengawasi selama pembangunan
pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
Pada tahapan akhir dalam analisis kebijakan yaitu, Evaluasi kebijakan.
Dalam tahapan ini evaluasi dilaksanakan sesuai dengan program yang ada
pada rencana induk. Evaluasi akan dilakukan setiap lima (5) tahun sekali
sesuai dengan tahun anggaran. Evaluasi menjadi tanggung jawab Menteri
Koordinator Perekonomian untuk tingkat nasional, Gubernur untuk tingkat
Provinsi, Bupati untuk tingkat Kabupaten dan Walikota untuk tingkat kota.
Terlepas dari itu Komite I DPD RI pun ikut menilai dan mengawasi selama
pembangunan pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
188
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian di atas,
maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan masukan
dalam Kebijakan Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur sebagai
Kawasan Megapolitan, adapun saran-saran tersebut sebagai berikut;
1. Komite I DPD RI sebagai inisiator dalam pembuatan kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur perlu meningkatkan koordinasi dan
penguatan kelembagaan dengan seluruh stakeholder di kawasan
Jabodetabekjur, dan meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan
kebijakan pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur, agar
kebijakan ini dapat berjalan dengan optimal.
2. Perlu adanya penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh
stakeholder di wilayah Jabodetabekjur dalam menangani berbagai
masalah yang saat ini terjadi, agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan di masa yang akan datang, dengan cara membentuk
suatu UU yang sah dalam pengelolaan secara terpadu di kawasan
Jabodetabekjur.
3. Untuk mengatasi disparitas pembangunan antara Jakarta dengan
Bodetabekjur, perlu adanya rekomendasi kebijakan terkait
transformasi dari metropolitan Jakarta menjadi megapolitan
Jabodetabekjur, agar pembangunan tidak terfokus di Jakarta dapat
merata di wilayah Bodetabekjur.
189
4. Perlu adanya Badan baru yang ditunjuk dan dapat lebih optimal
untuk mengawasi dan mengkoordinasikan seluruh stakeholder
terkait dalam penyatuan regulasi terkait pengelolaan terpadu
wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan, serta
memberikan ruang kepada masyarakat untuk ikut serta
berpartisipasi melakukan pemantauan agar pelaksanaan kebijakan
ini secara efektif dan efisien.
5. Untuk pelaksanaan evaluasi, pemerintah Kabupaten/Kota di
wilayah Jabodetabekjur harus lebih transparan agar masyarakat
dapat mengetahui mengenai hasil penilaian kebijakan yang telah
dievaluasi, khususnya dalam evaluasi kebijakan pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan megapolitan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Jakarta. Rineka Cipta.
Black, James, A, & Champion, J Dean.2005. Metode & Masalah Penelitian
Sosial. Bandung : PT Refika Aditama.
Dunn N William. 2003. Analisis Kebijaksanaan Publik : Kerangka Analisis dan
Prosedur Perumusan Masalah. Yogyakarta : Hanindita.
Dunn N William. 2003. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Fachrudin, Wawan. 2014. Kiprah Komite I DPD RI 5 Tahun Mengabdi Untuk
Negeri. Jakarta
Irawan, Prasetya. 2006. Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Komite 1 dkk.2009. Perjuangan PAH 1 DPD RI dan Memajukan Daerah. Jakarta.
Komite 1 DPD RI. 2014. Merajut Kerja Demi Indonesia. Jakarta
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Miriam, Budiardjo. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka
Nugroho, Riant. 2002. Kebijakan Publik Untuk Negara Berkembang. Jakarta. PT.
Elex Media Komputindo.
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy (dinamika kebijakan, analisis kebijakan,
manajemen kebijakan). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Sugiyono .2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfhabeta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D. Bandung :
Alfhabeta.
Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Sekjen DPD RI. 2013. Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta.
Soebarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Praktek.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2012. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). Jakarta:
CAPS.
Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Sumber Dokumen :
Naskah Akademis RUU Jabodetabekjur sebagai Kawasan Megapolitan. 2014.
Jakarta.
Perpres 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).
Jaweng Endi Robert. 2014. Megapolitan Jabodetabekjur, Masalah dan Pilihan
Model Kepemerintahan di Era Otonomi Daerah. Bogor.
Pusat Riset Perkotaan dan Wilayah Universitas Indonesia. 2013. Laporan Akhir
“Penyusunan Kajian Strategi Pengelolaan Terpadu Wilayah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur
(Jabodetabekpunjur). Jakarta.
Sumber lain :
Focus Group Disccusion Komite 1 DPD RI (18-19 Februari 2014)
Humas, Jabar. 2015. http//:www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-
jawa-barat/profil-daerah diakses pada 20 April 2015
Humas & Komunikasi, DKI Jakarta. 2008.
http://www.jakarta.go.id/web/news/2008/01/geografis-Jakarta di akses pada
29 Mei 2015
Humas, Jabar. 2012. http//: www.jabarprov.go.id/profil, Diakses 12 April 2015
Humas, dpd. 2013. http://dpd.go.id/profile. 20 November 2014
Humas, dpd. 2013 http://dpd.go.id/alatkelengkapan-komite-i. 14 Oktober 2014
Putra, Andri. 2015.
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/13/1604443/Tiga.Warga.Jakar
ta.Meninggal.Selama.Empat.Hari.Banjir 13 Februari 2015.
Remi. 2008.
http://bstp.hubdat.web.id/?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan
=54 15 Februari 2015.
Wikibanten. 2012. http//:id.m.wikipedia.org/wiki/Banten. Pada 13 April 2015
CATATAN LAPANGAN
NO.
Tanggal
Waktu
Tempat
Hasil
Informan
1. 27 Oktober
2014
11.20 WIB Sekretariat
Komite I
Data RUU
megapolitan
Jabodetabekjur
Halim Sani,
M.Si
2. 28 Desember
2014
16.20 WIB Di luar
Sekretariat
Komite I
NA RUU
megapolitan
Jabodetabekjur
Gerlan
Gramanda
3. 16 April 2015 14.30 WIB Gedung
Nusantara IV
Wawancara Gerlan
Gramanda
4. 16 April 2015 13.20 WIB Gedung
Nusantara IV
Wawancara Wawan
Fachrudin
M.Si
5. 16 April 2015 15. 15 WIB Gedung
Nusantara IV
Wawancara
Ida Heriyani
6. 16 April 2015 16. 00 WIB Gedung
Nusantara IV
Data
Masterplan
Jabodetabekjur
Randi
Arrangga
7. 16 April 2015 17. 15 WIB Gedung
Nusantara IV
Wawancara
Fahriza M.Si
9. 16 April 2015 16.30 WIB Gedung
Nusantara IV
Wawancara Anggota
Komite I
Periode 2009-
2014
10. 4 Mei 2015 09.30 WIB Ruang Komite Wawancara Mesranian,
M.Dev., Plg
11. 11 Mei 2015 10.30 WIB Perumnas II,
Kota Tangerang
Wawancara Drs. H.
Abdurachman,
M.AP
12. 11 Mei 2015 14. 10 WIB Stasiun Duri Wawancara Ida H
13. 11 Mei 2015 16. 25 WIB Stasiun Duri Wawancara Diyah
14. 11 Mei 2015 16. 57 WIB Di dalam KRL Wawancara Anna
CATATAN WAWANCARA
Nama Informan : Drs. Abdurachman, M.AP
Jabatan : Koordinator Timja Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
Kode Informan : N.1
Waktu : 11 Mei 2015 di Perumnas II Kota Tangerang
1. Masalah apa saja yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur sehingga harus
ada sebuah kebijakan pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur?
Jawab : banyak sebenanrnya permasalahan yang terjadi, contohnya banjir,
kemacetan, tata kota yang semrawut, pemukiman kumuh, kepadatan
penduduk, dan masalah lainnya. Maka dari itu perlu adanya kebijakan
yang dapat menyelsaikan dan mengharmonisasi wilayah Jabodetabekjur.
2. Bagimana mekanisme pengumpulan masalahnya?
Jawab : Begini dek, untuk permasalahan yang ada setelah kita dapat
laporan atau data masalahnya kemudian akan kita kumpulkan semua
masalahanya nanti akan dibahas di rapat bersama anggota Komite I DPD,
lalu baru setelah dibahas bisa ketahuan apakah layak atau tidak diusulkan
untuk dibuat RUU. Satu lagi nih dek, dalam inventarisasi masalah DPD
banyak melakukan kajian, supaya kebijakan yan akan dibuat tepat dapat
menjawab permasalahannya.
3. Masalah apa yang menjadi kendala dalam pembuatan kebijakan
pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur sebagai kawasan
megapolitan?
Jawab : Sebenarnya yang menjadi pokok dan harus kita atasi dulu itu
masalah kelembagaan. Secara sekarang belum ada badan/kementerian
yang punya kewenangan untuk membentuk regulasi terkait
Jabodetabekjur, ditambah pemerintah daerah sibuk dengan pembangunan
daerah masing-masing. Solusinya kita perkuat dulu kelembagaan baru bisa
menjalankan program kerja sama untuk bikin kawasan megapolitan
Jabodetabekjur secara optimal begitu dek.
4. Apa penyebab dari permasalahan kelembagaan itu sendiri ?
Jawab : Permasalahan kelembagaan iyu disebabkan oleh kurangnya
koordinasi antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur sendiri. Pemerintah
daerah terkesan sibuk dengan daerahnya masing-masing dan seolah
menyerahkan segala masalah ini kepada Jakarta.
5. Rekomendasi kebijakan seperti apa yang ditawarkan untuk mengatasi
permasalahan yang ada di wilayah Jabodetabekjur?
Jawab : Untuk mengurai kemacetan dari dan menuju Jakarta kita harus
bikin dan mengembangkan jalan tol sebagai alternatif untuk mengurangi
kemacetan. Terus kita perlu mengembangkan daerah di Jabar selatan dan
Banten selatan dengan membuat jaringan transportasi supaya
pembangunan ini lebih merata. Selain itu kita akan membuat transportasi
massal yang dapat mengintegrasi ke seluruh wilayah Jabodetabekjur.
sehingga memberikan kemudahan untuk masyarakat. Kemudian, untuk
rekomendasi kita bakal bikin MRT, terus pembangunan dan
pengembangan jalan-jalan baru, bak jalan dalam kota atau juga jalan tol di
daerah yang masih belum berkembang, terus kita juga akan
mengembangkan sarana transportasi massal buat mengurai kemacetan.
Kira-kira sih kalo misal gak ada hambatan bisa selesai nih megapolitan
Jabodetabekjur sekitar tahun 2030.
6. Bagimana permasalahan mengenai pendanan untuk mewujudkan
pelaksanaan program-program pengelolaan terpadu wilayah
Jabodetabekjur?
Jawab : Kalau dari segi pendanaan, pelaksanaan program pengelolaan
terpadu wilayah Jabodetabekjur ini diserahkan kepada Menteri
Koordinator bidang Perekonomian, biar nanti menko perekonomian yang
memberikan arahan kepada Menteri teknis terkait, Gubernur, dan
Bupati/Walikota dalam penyusunan Rencana Induk, dan melakukan
tindakan koreksi dalam rangka evaluasi pelaksanaan Rencana Induk.
7. Bagaimana pelaksanaan evaluasi kebijakan ini?
Jawab : Evaluasi itu adalah kegiatan yang dilakukan untuk pengukuran
pengukuran terhadap tingkat pencapaian rencana program dan kinerja dari
masing-masing kementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,
dan pemerintah kota, serta kita sebagai anggota DPD pun ikut
mengevaluasi dan mengawasi kebijakan ini dalam pelaksanaan kebijakan
ini pada setiap kurun waktu 5 tahun.
Jadi evaluasinya itu pada semuanya akan dilakukan, supaya program
pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur ini bisa berjalan optimal dan
sesuai target.
Nama : Fahriza M.Si
Jabatan : Staf Ahli Komite I DPD RI
Kode Informan: N.2
Waktu : 16 April 2015 di Gedung Nusantara IV
1. Bagaimana kondisi Jabodetabekjur di masa depan di lihat dari sisi
peramalan?
Jawab : kalau di lihat dari sisi peramalan dek, kalau hak ditangani dari
masalah kemacetan sekarang bisa berakibat lalu lintas di DKI Jakarta pada
sepuluh tahun lagi bisa lumpuh dan efek banjir tahunan itu nanti 35 tahun
lagi Jakarta terancam bisa tenggelam. Untuk itu kita harus mencari
alternatif supaya di masa yang akan datang bisa memecahkan masalah ini.
Lalu lintas dari Jakarta atau menuju Jakarta pasti macet. Belum lagi kalau
di jam-jam sibuk itu udah makin parah. Dan kemacetannya semakin tahun
bertambah. Bisa dilihat kalau belum ada kebijakan juga nanti di masa
depan lalu lintas makin semrawut dek.
2. Apa alternatif untuk menangani kondisi tersebut ?
Jawab : Untuk alternatif kita harus mengembangkan jalan-jalan di daerah
Banten selatan dan Jabar selatan. Supaya bisa mengurai kemacetan sama
sekalian biar pembangunannya merata. Bukan Cuma di kawasan perkotaan
aja gitu dek. Kita merencanakan untuk nanti dibangun jalan-jalan baru dan
membuat MRT. Terus rencana juga kita akan mengembangkan alternatif
transportasi massal suapaya di masa depan masyarakat lebih mudah untuk
saling terintegrasi.
3. Bagaimana pola hidup masyarakat Jabodetabekjur di masa depan?
Jawab : untuk kehidupan tetap normal, masyarakat bisa hidup dan aktivitas
seperti biasa. Kita tidak mengubah tatanan struktur sosial dan budaya,
hanya saja pembangunan kota yang lebih baik dan lebih teratur dari pada
kondisi sekarang.
4. Apakah dengan Pembentukan kawasan megapolitan di Jabodetabekjur
dapat menjawab segala permaslaahan yang terjadi di masa kini?
Jawab : untuk mampu menangani segala permasalahan tentunya tidak
dengan cepat, tapi kita selalu berusaha untuk tetap optimal agar target dan
segala yang sudah direncanakan dapat berjalan dengan baik, supaya
semuanya jadi lebih baik dari kondisi saat ini.
5. Kapan rencana realisasi program megapolitan Jabodetabekjur ini dapat
berjalan dengan optimal?
Jawab : segala persiapan dan rencana pembangunan setiap tahun terus
dilaksanakan, diharapkan semua program pembangunan dapat selesai di
tahun 2030.
6. Bagimana model kawasan megapolitan yang akan diterapkan di wilayah
Jabodetabekjur?
Jawab : Model yang diterapkan adalah sebuah kawasan perkotaan yang
besar, yang dikelola secara terpadu dan dapat terintegrasi dengan
transportasi yang mudah seperti MRT, busway, APTB dan lainnya
sehingga kawasan Jabodetabekjur ini dapat menjadi sebuah kawasan
perkotaan yang dapat memperkuat posisi DKI Jakarta sebagai Ibukota
Negara.
7. Bagaimana pemantauan kebijakan pengelolaan Jabodetabekjur ini akan
dilakukan?
Jawab : Nanti pada saat kebijakan ini berjalan kita terus lakukan
pemantauan agar hasilnya lebih optimal, bisa pemantauan melalui lembaga
atau badan yang ditunjuk, masyarakat juga bisa, atau pemantauan oleh
masing-masing pemerintah daerah di wilayah Jabodetabekjur.
8. Apa sebenarnya tujuan adari dibentuknya kebijakan pengelolaan terpadu
ini ?
Jawab : Tujuan adanya pengelolaan terpadu adalah untuk menjawab segala
permasalahan yang terjadi. Diharapkan nantinya setelah adanya kebijakan
pengelolaan terpadu ini dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.
Konteks pengelolaan terpadu ini dalam artian untuk saling
menghubungkan antar wilayah Kota dan Kabupaten di Jabodetabekjur.
Nama Informan : Gerlan Gramanda
Jabatan :Staf Rapat Komite I DPD RI Sub bagian Megapolitan
Jabodetabekjur
Kode Informan : N.3
Waktu : 16 April 2015 di Gedung Nusantara IV
1. Masalah apa saja yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur?
Jawab : masalah yang ada itu sebenarnya kurangnya koordinasi
antarpemerintah di wilayah Jabodetabekjur. Jadi malah berdampak
menimbulkan banyak masalah lain. sekarang kan Jakarta itu sebagai pusat
ekonomi, pusat pemerintahan, pusat hiburan dan semuanya jadi
bergantung pada Jakarta. Nah, kan dari banyak orang yang datang ke
Jakarta jadi bikin Jakarta makin macet, makin padet penduduknya, jadi
malah Jakarta sebagai Ibukota Negara malah semerawut. Dan lagi malah
keliatan jomplang dengan daerah-daerah di sekitaran Jakarta karena semua
terfokus di Jakarta.
2. Apa Penyebab masalah kurangnya koordinasi?
Jawab : Karena Jakarta punya otonomi khusus dan semuanya jadi seolah
berpusat di Jakarta. Jadi semuanya menyeerahkan kepada Jakarta.
Seharusnya antar kepala daerah di Jabodetabekjur ini meningkatkan kerja
sama untuk saling berkoordinasi menyelesaikan permasalahan yang ada.
3. Masalah apa yang sering terjadi dan belum dapat diselesaikan?
Jawab : Karena banyak orang yang datang ke Jakarta jadi malah bikin
banyak alih fungsi lahan ya dek. Banyak lahan yang harusnya jadi daerah
resapan air sekarang alih fungsi pemukiman akibat dari pertumbuhan
penduduk yang meningkat. Kemudian terjadi alih fungsi lahan nambah
lagi masalah yaitu banjir, pencemaran sungai, dan bisa berbahaya juga
buat masyarakat. Selain itu juga masalah transportasi. Akibatnya setiap
hari jumlah volume kendaraan di Jakarta bertambah dan menimbulkan
kemacetan.
4. Bagimana mekanisme pengumpulan masalah untuk dibuat menjadi sebuah
kebijakan?
Jawab : Mekanisme pengumpulan masalah yang ada di Jabodetabekjur itu
ada beberapa tahapannya dek, yang pertama itu pada saat anggota Komite
I DPD reses, kedua dengan mengadakan kunjungan kerja (kunker), ketiga
melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) biasanya kita juga
mengundang LSM dari daerah, mengundang instansi terkait, mengundang
pemerintah daerah, dan selain itu dapat dilakukan melalui survey langsung
dengan masyarakat.
5. Masalah apa yang dihadapi oleh Komite I DPD RI dalam pembuatan
Kebijakan ini?
Jawab : Komite I DPD RI tidak ada masalah, kita sangat serius dan
mendukung adanya kebijakan pembentukan kawasan Megapolitan
Jabodetabekjur ini, makanya kita makin sering mengundang narasumber
dan melakukan banyak kajian supaya kebijakan megapolitan
Jabodetabekjur ini dapat optimal.
Nama Informan : Wawan Fachrudin
Kode : N.4
Jabatan : Tim Ahli Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur
Waktu : 16 April 2015
Tempat : Di Gedung Nusantara IV
1. Masalah apa yang begitu mengkhawatirkan di wilayah Jabodetabekjur?
Jawab : Masalah alih fungsi tata guna lahan dek. Sekarang karena semua
orang mau ke Jakarta jadi lahan pemukiman mulai padat, bahkan wilayah
di sekitar Jakarta kaya Bodetabekjur itu juga sekarang sudah padat
penduduk dek. Nah kebayang kalo sampe sepuluh tahun lagi belum
dikelola dan ditata nanti jadinya semakin bertambah dan tidak ada lahan
pemukiman dek. Kalau semua dipakai untuk pemukiman kemana nanti
lahan untuk daerah resapan air, nanti banjir bisa jadi masa depan justru
banjir akan semakin parah.
2. Bagaimana rekomendasi kebijakan yang ditawarkan untuk mengelolala
secara terpadu kawasan Jabodetabekjur?
Jawab : Kalau menurut saya lebih baik pengelolaan terpadu
Jabodetabekjur dibentuk pola-pola. Nanti akan kita bentuk tiga pola yang
pertama pola federatif, terus pola integratif, terus yang terakhir itu pola
distributif. Biar ada petak-petakan gak cuma terpusat di Jakarta aja gitu.
Nah, dengan adanya pembentukan pola-pola berdasarkan fungsi dari
Kab/Kota masing-masing duharapkan juga dapat memeratakan
pembangunan di wilayah Bodetabekjur
3. Pola-pola seperti apa yang akan diterapkan?
Jawab : pola yang akan diterpakan yang pertama yakni Pola integratif,
yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus,
mengatur semua masalah interkoneksi utama di kawasan ini, di bawah
badan/kementerian yang ditunjuk. Kemudian Pola Federatif, yaitu
membagi kewenangan struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI
Jakarta), semi pheri-pheri (Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur), dan
terakhir Pola Distributif, yaitu mendistribusikan kewenangan fungsional
berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan
Jabodetabekjur.
4. Apakah rekomendasi yang ditawarkan dapat menjawab permasalahan
yang kini tengah terjadi?
Jawab : Kami akan sellau melakukan kajian untuk melakukan program
yang bertujuan akan menyelesaikan masalah. Karen apada dasarkan
kebijakan dibuat untuk menjawab permasalahan.
Nama Informan : Drs. H. Abduracman, M.AP
Kode : N.5
Jabatan : Anggota Komite I DPD RI sekaligus Wakil ketua Timja Kebijakan
Megapolitan Jabodetabekjur
Waktu : 11 Mei 2015
Tempat : Di Perumnas II Kota Tangerang
1. Bagaimana kondisi Jabodetabekjur di masa yang akan datang apabila
masalah saat ini belum dapat ditangani?
Jawab : Jabodetabekjur khususnya Jakarta akan mengalami defisit air
tanah. Selain mengalami defisit air tanah, selanjutnya hal yang cukup
mengkhawatirkan apabila tidak segera ditangani yaitu permasalahan
mengenai perubahan tata guna lahan. Lahan sawah mapun lahan kering
banyak berubah fungsi menjadi lahan berbangun.
2. Bagaimana dampak dari permasalahan tersebut?
Jawab : Dampaknya akan terjadi pertumbuhan penduduk dan
mengakibatkan efek domino yang dapat menyebabkan masalah lain seperti
banjir, kemacetan, sarana transportasi, kemudian masalah tata guna lahan
dan masalah pemukiman yang semerawut.
3. Bagaimana Rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah ini?
Jawab : Untuk mengatasi masalah yang ada di Jabodetabekjur kami dari
Komite I DPD RI mengajukan sebuah kebijakan baru yaitu kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur, dimana di dalam kebijakan tersebut akan
dibentuk banyak program yang tujuannya untuk menyelesaikan masalah
yang saat ini terjadi dan untuk membentuk sebuah kawasan megapolitan
secara terpadu.
4. Rekomendasi kebijakan seperti apa yang ditawarkan untuk mengatasi
permasalahan di Jabodetabekjur?
Jawab : Untuk rekomendasi kebijakan kita kerja sama dengan tim ahli
juga, jadi kita akan membentuk pola-pola di wilayah Jabodetabekjur,
supaya semuanya tidak berpusat di Jakarta. Jadi pembangunannya dapat
merata di wilayah sekitaran Jakarta yakni wilayah Bodetabekjur.
5. Pola-pola seperti apa yang akan diterapkan?
Jawab : pola yang akan diterpakan yang pertama yakni Pola integratif,
yaitu penyatuan Jabodetabekjur dalam satu regulasi, satu reguler khusus,
mengatur semua masalah interkoneksi utama di kawasan ini, di bawah
badan/kementerian yang ditunjuk. Kemudian Pola Federatif, yaitu
membagi kewenangan struktural antara pemerintah pusat, Core City (DKI
Jakarta), semi pheri-pheri (Bodebek), dan pheri-pheri City (Tabekjur), dan
terakhir Pola Distributif, yaitu mendistribusikan kewenangan fungsional
berdasarkan keunggulan komparatif dari daerah-daerah di kawasan
Jabodetabekjur.
6. Bagaimana pemantauan dilakukan agar kebijakan ini dapat berjalan
optimal?
Jawab : Pemantauan ini agar lebih efisien itu kita akan melakukan
pemantauan dengan melibatkan seluruh stakeholder. Baik pemerintah
pusat, pemerintah daerah, badan koordinasi dan bahkan melibatkan peran
dari masyarakat juga. Kita selaku anggota DPD pun ikut melakukan
pemantauan terhadap kebijakan yang sedang berjalan.
7. Kapan diadakannya proses evaluasi kebijakan dalam kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur ini?
Jawab : Evaluasi terhadap program pengelolaan Jabodetabekjur ini dimuat
di Rencana Induk. Dalam kebijakan megapolitan Jabdoetabekjur ini dek,
evaluasi kebijakan akan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali. Dan dalam
pelaksanaannya akan selalu dilakukan pemantauan.
8. Kapan pemantauan kebijakan ini dilaksanakan?
Jawab : Masalah pemantauan itu nantinya akan terus dilaksanakan selama
kebijakan ini berjalan. Jadi nanti pemantauan itu dilakukan oleh
pemerintah daerah di masing-masing kabupaten kota Jabodetabekjur dek.
Karena programnya dilaksanakan jangka panjang dan sesuai dengan
rencana induk yang dibuat oleh pemerintah daerah sendiri yang ada di
kawasan Jabodetabekjur.
9. Siapa saja yang terlibat dalam evaluasi kebijakan ini ?
Jawab : Evaluasi yang dilakukan terhadap program yang ada pada
Rencana Induk dilakukan itu melibatkan seluruh stakeholder baik dari
kementerian teknis terkait misalnya, badan koordinasi, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota yang berada dalam
Kawasan Jabodetabekjur.
Nama Informan : Mesranian, M.Dev., Plg
Kode : N.6
Jabatan : Kepala Bagian Sekretariat Komite I
Waktu : 11 Mei 2015
1. Bagaimana pemantauan yang akan dilakukan dalam kebijakan
megapolitan Jabodetabekjur ini ?
Jawab : Kalau untuk pemantauan sih selain bisa dari lembaga atau badan,
menurutku masyarakat bisa ikut serta. Misalnya kalau di daerah A
program yang seharusnya berjalan malah tidak dilaksanakan, nah
masyarakat jadi bisa menilai dan melaporkan bisa melalui media
elektronik gitu kan, jadi di sini perlu adanya kerja sama antara pemerintah
dengan masyarakat agar sama-sama bisa optimal program pembentukan
kawasan megapolitan ini.
2. Apakah dari Sekretariat Komite I juga terlibat dalam pemantauan
kebijakan?
Jawab : Ya, kami dari Komite I sebagai inisiator terhadap kebijakan ini
tetap ikut melakukan pemantauan dalam setiap program yang dilaksanakan
dengan bekerjasama dengan badan koordinasi.
3. Masalah apa yang menajdi kendala di Komite I dalam pembuatan
kebijakan megapolitan Jabodetabkjur ini?
Jawab : Kalau dari Komite I sendiri tidak ada masalah intern yah, hanya
mungkin kita sedang membangun koordinasi dengan kepala daerah di
seluruh Kabupaten/Kota Jabodetabekjur, supaya nantinya kebijakan ini
bisa dilaksanakan setiap daerah Kabupaten/Kota lebih optimal.
4. Bagaimana proses evaluasi yang akan dilaksanakan dari Komite I DPD?
Jawab : Sesuai dengan isi dalam kebijakannya bahwa evaluasi itu akan
dilakukan oleh pemerintah daerah di masing-masing Kabupaten/Kota
setiap lima tahun sekali. Kami dari DPD juga akan ikut serta dan
memantau laporan dari hasil setiap evaluasi tiap program yang tengah
berjalan.
Nama Informan : Ida Heriyani, Diah, dan Ana
Kode : N.7
Jabatan : PNS, dan Karyawan Swasta/Masyarakat
Waktu : 11 Mei 2015 di KRL menuju stasiun Duri
1. Sebagai masayarakat sudah tahu belum bahwa akan adanya
pengelolaan terpadi wilayah Jabodetabkjur sebagai kawasan
megapolitan di wilayah Jabodetabekjur?
Jawab : Kita baru tahu kalau mau ada pengelolaan terpadu di
Jabodetabekjur, dulu cuma Jabodetabek aja. Bagus sih kalau begitu
supaya pembangunan dan tata kotanya teratur, cuma harus banyak
sosialisasi aja biar masyarakat juga tahu kalo mau ada kebijakan baru
gitu.
2. KRL merupakan salah satu alternatif yang akan ditingkatkan
pembangunannya untuk mengurangi kemcetan, dari masyarakat
apakah setuju ?
Jawab : Setuju banget, sekarang kita mau ke bogor, depok, bahkan ke
Tanjung Periok skerang lebih gampang semuanya bisa pakai KRL.
Cuma mungkin KRL harus ditambah aja biar setiap jam kantor gak
terlalu berdesakan.
3. Masyarakat akan dituntut lebih partisipatif, apakah akan ikut
berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan ini?
Jawab : Kita sebagai masyarakat setuju sekali kalau mau ada regulasi
pengelolaan terpadu di Jabodetabekjur, biar semuanya gak numpuk di
Jakarta dan senang sekali kalo masyarakat bisa ikut serta, Cuma kalau
bisa nanti harus ada sosialisasi kemana masyarakat harus melakukan
pengaduan gitu. Misalnya via medsos kah, atau lewat apa gitu biar
semuanya lebih optimal aja.
4. Sebagai masyarakat apakah akan ikut serta dalam pemantauan
kebijakan ini?
Jawab : Ya pastinya kita sebagai masyarakat bakal terus pantau
kebijakan yang lagi berjalan nih. Kita juga akan menilai bagaimana
pelaksanaannya bener apa engga nih, sesuai apa engga. Cuma kalau
boleh saran kasih ruang untuk masyarakat aja supaya dapat
menyalurkan keluhannya atau penilaiaanya kepada pemerintah.
Dokumentasi Foto
Focus Group Discussion (FGD) Membahas Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur dengan seluruh kepala daerah se-Jabodetabekjur. Di
Ruang Rapat GBHN Gedung Nusantara MPR RI, Senayan, Jakarta 18 Februari
2014.
Focus Group Discussion (FGD) Membahas Kebijakan Pengelolaan Terpadu
Wilayah Jabodetabekjur, di Ruang Rapat GBHN Gedung Nusantara MPR RI,
Senayan, Jakarta 18 Februari 2014.
Pintu masuk Gedung Nusantara IV. Tempat peneliti melakukan wawancara
dengan sejumlah narasumber. Jakarta, pada 16 April 2015.
Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen DPR/MPR/DPD RI , tempat peneliti
melakukan wawancara dengan narasumber. Jakarta, I6 April 2015.
Wawancara dengan Drs. H. Abdurachman, M.AP selaku anggota Komite I DPD
RI sekaligus Koordinator Timja Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur, di
Perumnas II Kota Tangerang, 11 Mei 2015.
Narasumber : Mesranian, M.Dev., Plg selaku Kabag Komite I DPD RI.
Wawancara dengan peneliti di ruang Komite I, 4 Mei 2015.
Narasumber: Wawan Fachrudin, selaku akademisi dan Tim Ahli dalam
pembuatan Kebijakan Megapolitan Jabodetabekjur. Wawancara di Gedung
Nusantara IV, Senayan, Jakarta 16 April 2015.
Narasumber : Ida Heriyani, masyarakat yang bekerja sebagai PNS yang tinggal di
Sentul, Bogor. Setiap hari menggunakan KRL sebagai alat transportasi untuk
menuju kantor agar menghindari kemacetan. Jakarta, 11 Mei 2015.
Narasumber : Gerlan Gramarda, selaku Staf rapat Komite I. Wawancara dengan
peneliti di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta pada 16 April 2015.
Proyek MRT yang akan dikembangkan, merupakan salah satu program
pembangunan dalam pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur.
KRL Jabodetabek, salah satu transportasi yang mengintegrasi di wilayah
Jabodetabek. Dalam waktu dekat akan dilakukan pembangunan untuk dapat
mengintegrasi ke wilayah Jabodetabekjur. Jakarta, 11 Mei 2015.
Ruangan dalam KRL yang cukup sepi di siang hari, akan tetapi padat saat jam-
jam sibuk seperti waktu pagi dan sore hari. Jakarta, 3 Juni 2015.
Stasiun Duri, stasiun yang menghubungkan KRL Tangerang, Bogor dengan
Jakarta. Jakarta 11 Mei 2015.
Busway, merupakan salah satu transportasi umum di DKI Jakarta yang bertujuan
untuk mengurangi volume kendaraan pribadi di jalan raya dan meminimalisir
kemacetan. Jakarta, 3 Juni 2015.
Angkutan Perkotaan Terintegrasi Bus (APTB) merupakan angkutan umum yang
digunakan mengitegrasi masyarakat dari wilayah Bodetabekjur menuju Jakarta.
Jakarta, 3 Juni 2015.
Narasumber : Fahriza, M.Si selaku staf ahli Komite I DPD RI. Wawancara
dengan peneliti pada di Gedung Nusantara IV Kompleks Parlemen
DPR/DPD/MPR, Jakarta, 16 April 2015.
Gambar Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD RI, Jalan Jend. Gatot Subroto
No. 6 Senayan, Jakarta 16 April 2015.
Gambar Kompleks Parlemen MPR/DPR/DPD RI, Jalan Jend.. Gatot Subroto No.
6 Senayan, Jakarta 16 April 2015.
CURRICULUM VITAE
Nama : Nurlita Amaniyah
NIM : 6661111919
TTL : Serang, 12 Oktober 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Raya Petir No.11 RT/RW 001/002 Ds. Cilaku Kec.
Curug, Kota Serang-Banten 42171
NOMOR KONTAK
Nomor Handphone : 08999645785
Email : [email protected]
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
TAHUN PENDIDIKAN
2011-2015 Ilmu Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2008-2011 SMA Negeri 2 Kota Serang
2005-2008 SMP Negeri 5 Serang
1999-2005 SD Negeri Taman Baru II
PENGALAMAN ORGANISASI
TAHUN KETERANGAN
2012 Bendahara Umum Himpunan Mahasiswa Ilmu Administrasi
Negara FISIP UNTIRTA
2013 Kadiv. Komunikasi Informasi Himpunan Mahasiswa Ilmu
Administrasi Negara FISIP UNTIRTA
Top Related