ANALISIS DETERMINAN KORUPSI
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
(Studi Kasus Pada 11 Kota Di Indonesia Tahun 2008-2017)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun Oleh :
Fikri Abdullah
NIM: 1113084000056
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
ANALISIS DETERMINAN KORUPSI
PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA
(Studi Kasus Pada 11 Kota Di Indonesia Tahun 2008-2017)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun Oleh :
Fikri Abdullah
NIM: 1113084000056
Di Bawah Bimbingan :
Zaenal Muttaqien, MPP
NIP : 19790503 201 101 1 006
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari ini, Selasa Tanggal 6 Bulan juli Tahun Dua Ribu Tujuh Belas telah dilakukan
Ujian Komprehensif atas mahasiswa:
1. Nama : Fikri Abdullah
2. NIM : 1113084000056
3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Analisis Determinan Korupsi Pemerintah Daerah Di
Indonesia (Studi Kasus Pada 11 Kota Di Indonesia Tahun
2008-2017)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa
mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan diberi kesempatan untuk
melanjutkan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Juli 2017
1. Pheni Chalid, Ph.D (__________________________)
NIP. 19560505 200012 1 001 Panguji I
2. Rosita Melani Dewi, SE., M.Si (__________________________)
NIDN. 031058004 . Penguji II
iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Fikri Abdullah
NIM : 1113084000056
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan plagiat terhadap naskah karya orang lain.
3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli
atau tanpa izin pemilik karya.
4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas
karya ini.
Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya dan telah
melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan ternyata memang
ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya siap
dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan penuh tanggung
jawab.
Jakarta, Desember 2019
Fikri Abdullah
NIM. 1113084000056
iv
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Hari ini Senin, 27 Januari 2020 telah dilaksanakan Ujian Skripsi atas mahasiswa:
1. Nama : Fikri Abdullah
2. NIM : 1113084000056
3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Analisis Determinan Korupsi Pemerintah Daerah Di
Indonesia (Studi Kasus Pada 11 Kota Di Indonesia Tahun
2008-2017)
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa
tersebut di atas dinyatakan LULUS dan skripsi ini diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Januari 2020
1. Dr. M. Hartana I. Putra, M.Si (__________________)
NIP. 09680605 200801 1 023 Ketua
2. Arief Fitrijanto, M.Si (__________________)
NIP. 19711118 200501 1 003 Penguji Ahli
3. Zaenal Muttaqien, MPP (__________________)
NIP. 19790503 2011 1 006 Pembimbing
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama lengkap : Fikri Abdullah
2. Tempat, tanggal lahir : Bogor, 24 Februari 1996
3. Alamat : Jl. H Mawi Desa Bojong Indah
Rt/Rw: 05/02 No.117 Kec. Parung
Kab. Bogor 16330
4. Telepon : 0817-0035-317
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. MI Sirajul Falah Parung, Bogor : Tahun 2001 – 2007
2. MTsN Parung, Bogor : Tahun 2007 - 2010
3. SMA Negeri 1 Parung, Bogor : Tahun 2010 – 2013
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Tahun 2013 – 2019
III. PENDIDIKAN NON FORMAL
1. Pramuka Garuda Golongan Penegak, Pendidikan Kepramukaan.
Gerakan Pramuka Kwartir Cabang Kabupaten Bogor tahun 2013.
2. Certified Hypnotist (Ch) dari AZZA Learning Training And
Development Center tahun 2013.
3. Diklat Ekonomi Islam oleh Lingkar Studi Ekonomi Syariah (LiSEnSi)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
4. Sekolah Alat Anaisis (SELATIS) Lingkar Studi Ekonomi Syariah
(LiSEnSi) dan Fatahillah Researchers for Science and Humanity
(FreSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.
vi
5. Peserta Program Pembelajaran Tilawah al-Qur’an, Lembaga Tahfizh
dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
IV. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota Pramuka Siaga MI Siraju Falah tahun 2005-2006
2. Anggota Ekstra Kurikuler Basket SMPN 1 Ciseeng tahun 2007-2008
3. Wakil ketua Rohani Islam (ROHIS) SMA Negei 1 Parung tahun 2011-
2012
4. Krani / Sekretaris Putra Pramuka SMA Negeri 1 Parung 2011-2012.
5. Anggota MPK SMA Negeri 1 Parung tahun 2011-2012.
6. Anggota Dewan Kerja Ranting (DKR) Pramuka kecamatan Parung
tahun 2012-2015
7. Anggota Bidang Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Fakultas Ekonomi
Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014-2015
8. Kordinator Bidang Pemberdayaan Sumber Daya Insani (PSDI) Lisensi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015-2016
9. Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ekonomi dan Bisnis
(FEB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015-2016.
10. Anggota Pasar Modal Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015-2016
11. Ketua Kuliah Kerja Nyata (KKN) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Di Desa Cikareo, Solear tahun 2016
12. Anggota Bidang Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016-2017
13. Ketua Ikatan Remaja Masjid (IRMAS) Desa Bojong Indah Kecamatan
Parung Kabupaten Bogor tahun 2016
14. Ketua Karang Taruna Desa Bojong Indah Kecamatan Parung Tahun
2017-2019
15. Wakil Sekretaris Pusat, Taruna Ade Yasin Kabupaten Bogor Tahun
2018
vii
16. Sekretaris Tim Pemenangan Baraya Jokowi Amin (BARJAB)
Kabupaten Bogor Tahun 2019
17. Sekretaris Karang Taruna Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Tahun
2018-2023
18. Wakil ketua KNPI kecamatan parung kabupaten bogor tahun 2018-
2021
19. Sekretaris angkatan muda islam indonesia (AMII) kabupaten bogor
tahun 2019-2023
20. Wakil Bendahara Pengurus Karang Taruna Kabupaten Bogor Tahun
2019-2024
V. SEMINAR, PELATIHAN DAN WORKSHOP
1. Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) Oleh SMA Negeri 1
Parung tahun 2011
2. Pelatihan Entrepreneurship/ Kewirausahaan Siswa Tingkat Jawa Barat
Oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tahun 2011
3. Pelatihan Kepemimpinan Bagi Siswa Tingkat Nasional Oleh
Kementrian Pemuda Dan Olahraga tahun 2012
4. Workshop “ Hidup Positif Bermakna Untuk Sesama Tanpa Narkoba”
Oleh Gerakan Nurani Nusantara (GANN) tahun 2012
5. Peserta Jamboree ON The Air (JOTA) Nasional Ke-71 Dan Jamboree
On The Internet (JOTI) Nasional Ke 29 Oleh Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka tahun 2012
6. Peserta Raimuna Daerah XII Jawa Barat Oleh Gerakan Pramuka
Kwartir Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2012
7. Tapakan Pramuka Garuda Tingkat Penegak Oleh Kwartir Cabang
Kabupaten Bogor tahun 2013
8. Peserta Workshop “Integrity Goes To You” Oleh Himpunan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (HMJ
IESP) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2013
viii
9. Peserta Rembuk Kebangsaan “Sosialisasi Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) Sebagai Sistem Keuangan Baru Melalui Kebudayaan” Oleh Visi
Ndonesia Inspiring Movement UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2013
10. Peserta Workshop Menulis “Be A Writer, Be A Creativepreneur” Oleh
Badan Eksekutif Manusia Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2013
11. Juara 1 Lomba Fotografi Antar Mahasiswa Se- UIN Jakarta Dalam
Acara PEKAN ORSENI IESP 2013 Oleh Himpunan Mahasiswa
Jurusan Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (HMJ IESP) Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
12. Peserta Workshop Kajian Seni Al-Qur’an Oleh Himpunan Qori Dan
Qoriah Mahasiswa (HIQMA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2013
13. Pelatihan Eksplorasi Potensi Diri Islami (EKSPRESI) Oleh Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013
14. Seminar Internasional Flexibility Of Hadith In Answering
Contemporary Issues Oleh Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2013
15. Seminar Filantropi “One Action For Hummanity”Oleh Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013
16. Dialog Jurusan Dan Seminar Konsntrasi “Mengenal Lebih Dekat
Jurusan Sendiri” Oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi
Dan Studi Pembangunan (HMJ IESP) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
17. Seminar Nasional “Korupsi Mengoruppsi Indonesia” Oleh Program
Studi Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (PRODI IESP) Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014
18. Seminar Internasional “Toward Asean Economic Community 2015;
Fair Governments Policies In Islamic Finance Sectors Among Asean
ix
Countries”” Oleh Fakultas Ekonomi Dan Bisnis (FEB) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2014
19. Stadium General “Meningkatkan Potensi SDM Untuk Pertanian
Indonesia Dalam Menghadapi Pasar Bebas (AFTA 2015) Oleh Fakultas
Sains Dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014
20. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah “Mewujudkan Regenerasi Mahasiswa
Ekonomi Yang Berprestasi Dalam Bidang Akademik” Oleh Himpunan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (HMJ
IESP) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014
21. Panitia Pelatihan Karya Tulis Ilmiah Oleh Himpunan Mahasiswa
Jurusan Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan (HMJ IESP) Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014
22. Seminar Nasional “Kepemimpinan Sebagai Pilar Utama Kemajuan
Pendidikan Indonesia” Oleh Program Studi Manajemen Pendidikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014
23. Pemateri Pendidikan Agama Islam Dalam Bimbingan Tes Oleh Dewan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015
24. Seminar Kelembagaan Ekonomi Desa Oleh Direktorat Jendral
Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia tahun 2016
25. Seminar Pasar Modal Syariah (SPMS) 2016 Oleh Lingkar Studi
Ekonomi Syariah (Lisensi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016
26. Training Karang Taruna For Productivity & Anti Ekstremisme Oleh
Paramadina Institute Of Ethics And Civilization tahun 2017
27. Pelatihan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) Bagi Karang Taruna Se-
Kabupaten Bogor Oleh Dinas Sosial Kabupaten Bogor tahun 2018
28. Pelatihan Pembinaan Bela Negara Bagi Generasi Muda Tingkat
Kabupaten Bogor Oleh KESBANGPOL Kabupaten Bogor tahun 2018
x
29. Workshop Pendirian Koperasi / BMT Oleh Dinas Koperasi Dan
UMKM Kabupaten Bogor tahun 2018
30. Peserta Kegiatan Pengembangan Sosial Melalui Penyuluhan
Kesejahteraan Sosial Perda No. 7 Tahun 2016 Oleh Dinas Sosial
Kabupaten Bogor tahun 2018
31. Peserta Dalam Pembinaan Rasa Solidaritas Dan Ikatan Sosial
Dimasyarakat Kabupaten Bogor Oleh KESBANGPOL Abupatn Bogor
tahun 2019.
xi
ABSTRACT
This study aims to explore the economic determinants of corruption in 11 cities of
Indonesia in 2008, 2010, 2015 and 2017. Variables argued to be determinants of
corruption in this study are economic growth, human development index,
independency ratio, operational ratio, capital ratio, internal control system,
compliance with provisions of laws, audit opinios. The analysis technique used is
Tobit regression using data panel. The results show capital ratio, internal control
system and audit opinios effect positifely and significant to corruption perception
index, meanwhile compliance with provisions of laws effect negatively to
corruption perception index. Economic growth, human development index,
independency ratio and operational ratio do not effect corruption perception
index.
Keywords : economic growth, human development index, independency ratio,
operational ratio, capital ratio, internal control system, compliance with
provisions of laws, audit opinios, corruption perception index, Tobit
xii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mencari determinan korupsi pemerintah daerah
pada 12 kota di Indonesia periode tahun 2008, 2010, 2015 dan 2017. Variabel-
variabel yang diduga menjadi determinan korupsi dalam penelitian ini adalah
pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia, rasio kemandirian daerah,
rasio belanja modal, rasio belanja operasi, sistem pengendalian intern, kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan dan opini BPK. Teknik analisis yang
digunakan adalah regersi Tobit menggunakan data panel. Hasil penelitian
menunjukan bahwa rasio belanja modal, sistem pengendalian intern dan opini
BPK berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks persepsi korupsi,
sedangkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Pertumbuhan ekonomi,
indeks pembangunan manusia, rasio kemandirian daerah dan rasio belanja operasi
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap indeks persepsi korupsi.
Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia, rasio
kemandirian daerah, rasio belanja modal, rasio belanja operasi, sistem
pengendalian intern, kepatuhan perundang-undangan, opini BPK, indeks
perspepsi korupsi, Tobit
xiii
KATA PENGANTAR
Puji beserta rasa syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
nikmat dan karunia-Nya yang diberikan, sehingga saya dapat mengerjakan
penulisan skripsi yang berjudul Analisis Determinan Korupsi Pemerintah
Daerah Di Indonesia (Studi Kasus Pada 11 Kota Di Indonesia Tahun 2008-
2017) hingga selesai. Shalawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya,
hingga kepada umatnya hingga akhir zaman.
Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk lulus
dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari, skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan dalam penyusunan skripsi inipun tentu tak lepas dari bantuan,
dukungan, dan doa berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada :
1. Terimakasih untuk kedua orang tuaku, ibunda tercinta Jenab Siti Komala
atas doa yang senantiasa dipanjatkan, dukungan yang tak pernah padam
serta restu yang senantiasa diberikan dan teruntuk almarhum ayahanda
tercinta (alm) Drs. Moh Jaenudin meskipun engkau telah tiada, namun
doa, dukungan dan semangat ini masih begitu membara kurasakan. Serta
keluarga besar Bapak H M. Djamil.
2. Teruntuk kedua adikku tercinta, Devi Ayu Rahmawati dan Ahmad Fakhri
Ali. Terimakasih atas dukungannya, mudah-mudahan Allah jadikan kita
anak yang saleh dan salehah serta menjadi kebanggaan keluarga, agama,
masyarakat dan negara.
3. Teruntuk keluarga besar Nenek Dedeh dan almarhum Engkong Junet,
serta keluarga besar almarhum Mbah Samuih dan almarhumah Nenek
manirah atas support, dukungan yang senantiasa menyemangati saya.
4. Prof. Dr. Amilin, M.Si.,Ak.,CA.,QIA.,BKP.,CRMP. Selaku Dekan
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
xiv
5. Bapak Dr. Muhammad Hartana Iswandi Putra, M.Si Bapak Deni Pandu
Nugraha, M.Sc. Selaku ketua jurusan dan skeretaris jurusan Eknommi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Bapak Zaenal Muttaqien, MPP. Selaku dosen pembimbing terbaik yang
senantiasa membimbing saya dalam menyusun skripsi.
7. Ibunda Firi Amalia, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang
senantiasa meberikan nasehat dan bimbingan akademik.
8. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, atas ilmu
dan pendidikan yang telah diberikan, mudah-mudahan yang demikian itu
kelak menjadi amal soleh ilmu yang bermanfaat sehingga ganjarannya
senantiasa mengalir.
9. Seluruh senior, junior serta rekan-rekan seperjuangan jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Seluruh sahabat LISENSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas
kebersamaannya dalam berjuang dalam dakwah Ekonomi Islam dan
sahabat LDK Komda FEB.
11. Ka Tyo yang tiada pernah bosan membantu dan membimbing saya hingga
skripsi ini bisa trselesaikan.
12. Kawan-kawan seperjuangan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Di Desa Cikareo,
Solear tahun 2016.
13. Team Pusat Informasi BPK RI yang dengan sabar membantu dan
menyediakan data untuk penelitian saya.
14. Teruntuk rekan-rekan Komunitas Pengukir Senyum atas kebersamaan dan
supportnya.
15. Rekan-rekan majelis motivasi MRT, ustadz Anwar Ibrahim beserta
keluarga besar jamaah MRT sekalian.
16. Teruntuk rekan-rekan KTBI, FPMBI, Karang Taruna kecamatan Parung,
Karang Taruna Kabupaten Bogor.
xv
Serta atas bantuan dan dukungan semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan
namun begitu berarti, saya ucapkan terimakasih atas doa dan semangat sehingga
saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kalian mungkin skripsi ini tidak pernah
selesai. Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat dan menjadi bernilai ibadah
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Saya tentu menyadari sebagai manusia, tentu dalam penulisan skripsi ini masih
begitu banyak kekurangan oleh karena itu saya memohon maaf. saya berharap
adanya masukan-masukan dari berbagai pihak agar penelitian dalam skripsi ini
dapat terus berkembang dengan baik.
Jakarta, Desember 2019
Fikri Abdullah
NIM. 1113084000056
xvi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBNG ........................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ........................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ............................... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ....................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................ v
ABSTRACT ........................................................................................................ xi
ABSTRAK ....................................................................................................... xii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR ISI xvi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Penelitian ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 13
A. Landasan Teori........................................................................................ 13
1. Korupsi ............................................................................................. 13
a. Pengertian Korupsi ................................................................... 13
b. Penyebab Korupsi ..................................................................... 14
c. Persepsi Korupsi Di Kota/Kabupaten Di Indonesia ................. 17
d. Mengukur Tingkat Korupsi ...................................................... 19
2. Teori Pertumbuhan Ekonomi ........................................................... 20
3. Indeks Pembangunan Manusia ........................................................ 23
a. Teori Indeks Pembangunan Manusia ........................................ 23
b. Komponen Pembangunan Manusia .......................................... 26
c. Pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ............................. 28
4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ............................................ 28
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ...................................... 28
b. Rasio Belanja Opersional.......................................................... 29
c. Rasio Belanja Modal ................................................................. 31
xvii
5. Akuntabilitas Laporan Keuangan Daerah ........................................ 32
a. Sistem Pengendalian Internal.................................................... 32
b. Kepatuhan Terhadap Ketentuan Perundang-undangan............. 36
c. Opini Badan Pemeriksa Keuangan ........................................... 38
B. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 40
C. Keterkaitan Antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis ..................... 44
1. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Indeks Persepsi
Korupsi ............................................................................................. 44
2. Hubungan antara Indeks Pembangunan Manusia dengan Indeks
Persepsi Korupsi .............................................................................. 45
3. Hubungan antara Rasio Kemandirian Daerah dengan Indeks Persepsi
Korupsi ............................................................................................. 46
4. Hubungan antara Rasio Belanja Operasi dengan Indeks Persepsi
Korupsi ............................................................................................. 47
5. Hubungan antara Rasio Belanja Modal dengan Indeks Persepsi
Korupsi ............................................................................................. 47
6. Hubungan antara Sistem Pengendalian Internal dengan Indeks
Persepsi Korupsi .............................................................................. 48
7. Hubungan antara Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan
Perundang-undangan dengan Indeks Persepsi Korupsi ................... 49
8. Hubungan antara Opini Audit dengan Indeks Persepsi Korupsi ..... 51
D. Kerangka Pemikiran Penelitian............................................................... 54
E. Hipotesis Penelitian ................................................................................ 55
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 58
A. Ruang Lingkup Penelitian....................................................................... 58
B. Metode Penentuan Sampel ...................................................................... 58
C. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 58
D. Metode Analisis Data .............................................................................. 59
1. Uji Normalitas .................................................................................. 59
2. Uji Regresi ....................................................................................... 59
3. Uji Parsial ........................................................................................ 61
4. Uji Simultan (Uji Signifikansi Model) ............................................ 61
E. Operasional Variabel Penelitian ............................................................. 62
1. Variabel Independen ........................................................................ 62
2. Variabel Dependen .......................................................................... 66
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................... 69
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ........................................................ 69
xviii
1. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Tahun 2008,
2011, 2015 dan 2017 ........................................................................ 69
2. Data Korupsi Kabupaten Kota ......................................................... 71
3. Statistik Deskriptif ........................................................................... 71
B. Hasil Analisis Data Penelitian ................................................................ 74
1. Uji Normalitas Data ......................................................................... 74
2. Hasil Estimasi Regresi Tobit ........................................................... 75
a. Pengujian Model ....................................................................... 75
b. Uji Parsial (Uji Wald) ............................................................... 79
c. Uji Signifikansi (Likelihood Ratio) .......................................... 81
C. Pembahasan ........................................................................................... 82
1. Pengaruh Variabel Pertumbuhan Ekonomi terhadap Indeks Persepsi
Korupsi ............................................................................................. 82
2. Pengaruh Variabel Indeks Pembangunan Manusia terhadap Indeks
Persepsi Korupsi .............................................................................. 83
3. Pengaruh Variabel Rasio Kemandirian Daerah terhadap Indeks
Persepsi Korupsi .............................................................................. 84
4. Pengaruh Variabel Rasio Belanja Operasional terhadap Indeks
Persepsi Korupsi .............................................................................. 84
5. Pengaruh Variabel Radio Belanja Modal terhadap Indeks Persepsi
Korupsi ............................................................................................. 85
6. Pengaruh Variabel Sistem Pengendalian Internal terhadap Indeks
Persepsi Korupsi .............................................................................. 86
7. Pengaruh Variabel Kepatuhan terhadap Perundang-undangan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi .................................................... 86
8. Pengaruh Variabel Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap
Indeks Persepsi Korupsi ................................................................... 87
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 89
A. Kesimpulan ........................................................................................... 89
B. Implikasi ........................................................................................... 89
C. Saran ........................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 93
LAMPIRAN ....................................................................................................... 97
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Peringkat dan Nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun
2011 – 2018 ..................................................................................... 2
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ........................................................................... 39
Tabel 3.1 Kriteria Rasio Kemandirian ................................................................ 60
Tabel 4.1 Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria ........................................... 66
Tabel 4.2 Nilai Indeks Persepsi Korupsi 11 Kabupaten/Kota tahun 2008, 2010,
2015 dan 2017 ............................................................................... 67
Tabel 4.3 Statistik Deskriptif .............................................................................. 68
Tabel 4.4 Hasil Analisis Regresi Model Tobit .................................................... 71
Tabel 4.5 Uji Parsial (Uji Wald) ......................................................................... 75
Tabel 4.6 Uji Signifikansi (Likelihood Ratio) .................................................... 77
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kasus Korupsi Propinsi dan Kabupaten/Kota Tahun
2004 – 2018 ..................................................................................... 3
Gambar 2.1 Kerangka Penelitan ........................................................................ 54
Gambar 4.1 Histogram Data .............................................................................. 75
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Data Sampel .............................................................................. 97
Lampiran 2: Hasil Uji Regresi Tobit.............................................................. 98
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktural sosial, sikap-sikap
masyarakat institusi nasional yang terus mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentas kemiskinan
atau perubahan total suatu masyarakat/penyesuaian sistem sosial secara
keseluruhan menuju lebih baik (Todaro, 2004). Namun tidak selamanya
proses pembangunan menuju hal yang lebih baik tanpa hambatan.
Disamping adanya upaya perbaikan tersebut, terdapat beberapa masalah
yang kemudian dapat menghambat atau menghentikan proses pembangunan
tersebut, diantaranya adalah masalah korupsi.
Korupsi dalam artian luas memiliki pengertian penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi yang merugikan publik dengan
cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlangsung
(Wijayanto, 2009). Indonesia merupakan salah satu di antara negara-negara
di dunia yang tidak luput dari masalah korupsi, bahkan dapat dikatakan
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia.
Berdasarkan hasil survei dengan menggunakan Indeks Persepsi Korupsi
yang dilakukan oleh Transparancy International dari tahun 2012 hingga
2016, seperti terlihat pada Tabel 1.1. Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh Transparancy International, bahwa pada tahun 2012
Indonesia berada pada peringkat 118 dari 176 negara yang disurvei dengan
Corruption Perception Indeks (CPI) bernilai 3,2. Pada tahun berikutnya
yakni 2013, bahkan tidak ada peningkatan sama sekali. Dan kemudian di
tahun 2014 –2016 kenaikan hanya berkisar diantara 0,1 – 0,2 poin pertahun
namun tidak terlalu signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah
korupsi di Indonesia belum teratasi dengan serius dan maksimal.
2
Tabel 1.1
Peringkat dan Nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun
2011 – 2018
Tahun Indeks Persepsi
Korupsi Peringkat
Total
Negara
2011 3.0 100 183
2012 3,2 118 176
2013 3,2 114 177
2014 3,4 107 175
2015 3,6 88 168
2016 3,7 90 180
2017 3.7 96 180
2018 3.8 89 180
Sumber : Transparancy International, 2017
Fenomena korupsi yang banyak terjadi di Indonesia dalam era
reformasi ini menyebabkan semakin kecilnya kepercayaan masyarakat akan
kinerja pemerintah. Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap
pembangunan di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Dalam dunia
politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik
(good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Fenomena
korupsi di daerah yang semakin terbuka, terjadi karena terdapat perbedaan
atau tidak konsisten peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan
daerah. Money politics merupakan salah satu bentuk terjadinya korupsi,
kolusi, dan Nepotisme (KKN) di daerah. Otonomi daerah pada dasarnya
diberikan kepada daerah agar pemerintah daerah dapat meningkatkan
efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas pemerintah daerah untuk tercapainya
good governance (Mardiasmo, 2009). Namun menurut Rinaldi, Purnomo,
dan Damayanti (2007) dalam Heriningsih (2013) sejak diberlakukannya
otonomi otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di
pemerintah daerah yang meningkat.
3
Gambar 1.1
Kasus Korupsi Propinsi dan Kabupaten/Kota
Tahun 2004 – 2018
Sumber: KPK, 2018
Berdasarkan Gambar 1.1 yang menunjukan jumlah korupsi di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota memperlihatkan kenaikan jumlah kasus korupsi
yang semakin meningkat sejak diberlakukannya undang-undang tentang
otonomi daerah.
Lahirnya UU No.22 tahun 1999 yang kemudian digantikan dengan UU
No.34 tahun 2004 merupakan salah satu titik tolak yang memaksa
pemerintah pusat yang ada di Jakarta untuk membagi kekuasaan dan sumber
daya kepada daerah. Kekuasaan, kewenangan dan aset ekonomi yang
didominasi secara sentral dari Jakarta, kini terdistribusi ke daerah-daerah.
transisi desentralisasi ternyata tidak sepenuhnya memberi kegembiraan dan
euforia masyarakat. Semua orang berharap bahwa desentralisasi akan
mendorong tumbuhnya demokrasi lokal yang lebih baik, mendekatkan dan
memperbaiki kualitas layanan publik, memperbaiki kinerja birokrasi,
memberdayakan masyarakat, memberantas korupsi dan lain-lain. Akan
tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Demokratisasi dan otonomi daerah
menyuguhkan kebangkitan raja-raja kecil di daerah, memindahkan korupsi
1 1
13 10
23
9 8 10
23 22 30 28
34
68
143
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
JUM
LAH
KA
SUS
TAHUN
4
dari Jakarta ke daerah, konflik kewenangan dan sumberdaya,
pelipatgandaan pajak dan retribusi daeah (Gunawan., et all, 2005).
Isu mengenai korupsi menjadi salah satu topik hangat bagi para ekonom
untuk menganalisis fenomena korupsi dilihat dari disiplin ilmu ekonomi.
Para ekonom berfokus pada masalah korupsi yang lebih luas dan masuk akal
dari sudut pandang ekonomi. Mereka mencoba mencari tahu tingkatan
korupsi di beberapa negara dan faktor penyebab korupsi (Shabbir dan
Anwar, 2007). Adaman, Çarkoglu dan Senalatar (2001) dalam Yilmaz dan
Akiv (2011) mengatakan bahwa terdapat paparan multidimensional yang
dapat menggambarkan penyebab ekonomi dari korupsi. Pertama,
pembangunan atau pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebagai faktor dasar
yang dapat menyebabkan korupsi. Kedua, selain faktor dasar tersebut,
terdapat beberapa faktor ekonomi lainnya yang menyebabkan korupsi.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa regulasi pemerintah, peran
pemerintah dalam mengatur perekonomian, pembangunan manusia,
akuntabilitas, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, inflasi merupakan
faktor-faktor ekonomi yang berpotensi menyebabkan korupsi.
Salah satu indikator yang sering dipakai untuk melihat secara umum
gambaran kemampuan suatu daerah dalam menyuplai berbagai kebutuhan
ekonomi masyarakat adalah tersedianya angka pertumbuhan ekonomi.
Keterkaitan turun naiknya angka pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada
satu periode secara kasar menggambarkan presentase dan suksesnya suatu
daerah dalam mengendalikan dan membina kegiatan ekonomi (Safi’i, 2008).
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu variabel yang sering diikutkan
dalam menganalisis determinan ekonomi korupsi. Hal ini diasumsikan
bahwa semakin tumbuh perekonomian sebuah negara, maka kecenderungan
untuk melakukan praktek korupsi akan menurun. Pada penelitian empiris
seperti yang dilakukan oleh Herningsih dan Marita (2013), variabel
pertumbuhan ekonomi secara statistik signifikan mempengaruhi korupsi.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi membuka jalan bagi
pemerintah untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang
5
berorientasi pada kepentingan publik. Jika pengelolaan keuangan daerah
dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, transparansi, akuntabilitas dan
berkeadilan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sehingga
keuangan daerah merupakan salah satu unsur yang penting dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan daerah. Untuk
pengelolaan keuangan daerah dibutuhkan sumber daya ekonomi berupa
keuangan yang dituangkan dalam suatu anggaran pemerintah daerah
(Dwijayanti dan Rusherlistyanti, 2013).
Kasus-kasus korupsi yang terjadi sekarang memberikan pandangan
tentang kurangnya peran akuntabilitas LKDP dan kinerja keuangan
pemerintah daerah yang membawa akibat serius bagi bangsa dan negara.
Beberapa kepala daerah yang melakukan kasus korupsi dan sudah divonis
pengadilan diantaranya adalah Zumi Zola Gubernur Jambi sebagai
tersangka dalam kasus gratifikasi infrastrukstur di pemerintahan provinsi
Jambi 2018. Gatot Pudjo Nugroho mantan Gubernur Sumatra Utara sebagai
tersangka dalam kasus suap terkait persetujuan laporan pertanggung
jawaban pemerintah Provinsi Sumatra Utara tahun anggar 20112-2014.
Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas laporan
keuangan pemda maka laporan keuangan perlu diaudit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Adapun bentuk auditnya adalah audit
keuangan. Pasal 15 ayat (1) UU nomor 15 tahun 2004 menyatakan
pemeriksa (BPK) menyusun laporan hasil pemeriksaan (LHP) setelah
pemeriksaan selesai dilakukan. Hasil pemeriksaan keuangan disajikan
dalam tiga kategori yaitu opini, sistem pengendalian internal, dan kepatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan.
LKPD menggambarkan tingkat akuntabilitas keuangan pemerintah
daerah yang menjadi kebutuhan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah,
sehingga untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah
daerah sangat penting untuk selalu dilakukan audit atas LKPD oleh pihak
independent (BPK RI). Laporan hasil audit oleh BPK RI dapat berupa opini
6
auditor, kelemahan pengendalian internal, dan ketidakpatuhan terhadap
perundang-undangan.
Terdapat empat jenis pendapat auditor (BPK). Apabila opini auditor
unqualified opinion maka menunjukkan akuntabilitas suatu pemeritah
daerah semakin bagus dan diharapkan akan mengurangi terjadinya korupsi.
Sedangkan jika opini qualified opinion, adverse opinion, dan disclaimer
opinion, maka masih ada kemungkinan terjadi salah saji yang material
sehingga dapat juga mengindikasikan bisa terjadi korupsi (Heriningsih,
2013).
Selain menerbitkan laporan hasil pemeriksaan keuangan atas laporan
keuangan pemerintah daerah yang berupa opini, BPK juga menerbitkan
laporan hasil pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) pada setiap
entitas yang diperiksa. Laporan ini memaparkan tingkat kelemahan
pengendalian intern yang terjadi pada suatu entitas (pemerintah daerah).
Hasil evaluasi SPI oleh BPK menunjukkan kasus-kasus kelemahan
sistem pengendalian intern yang dapat dikelompokkan sebagai kelemahan
sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, kelemahan sistem
pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta
kelemahan struktur pengendalian intern. Semakin banyak kelemahan sistem
pengendalian intern yang terjadi pada suatu pemerintah daerah berarti
menunjukkan tingkat akuntabilitasnya semakin rendah dan akan
meningkatkan peluang terjadinya korupsi (BPK, 2012).
Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai
akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan. Pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
dilaksanakan guna mendeteksi salah saji material yang disebabkan oleh
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan.
Hasil pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan atas
laporan keuangan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi
7
kerugian daerah, kekurangan penerimaan, kelemahan administrasi,
ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan.
Hasil penelitian Setiawan (2012) menunjukkan bahwa akuntabilitas
laporan keuangan pemerintah daerah (opini audit, kelemahan sistem
pengendalian intern, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan) tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah di Indonesia. Berdasarkan pada penelitian Effendy
(2013) menunjukan bahwa Opini BPK atau hasil audit BPK tidak dapat
dipastikan dapat menjamin baik dan buruknya pengelolaan keuangan,
karena harus dapat diyakini pemeriksaan kewajaran dalam pemeriksaan
yang bebas dan mandiri. Namun penelitian ini tidak dikaitkan dengan
korupsi. berdasarkan pada penelitian Heriningsih dan Marita (2013)
menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh opini audit pemda yang
diberikan BPK terhadap tingkat korupsi di pulau Jawa. Berdasarkan pada
penelitian Sarah (2014) terdapat kaitan antara opini yang diberikan oleh
BPK RI dengan korupsi. Berdasarkan pada penelitian Herininingsih (2014)
menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas pemerintah daerah tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi di Indonesia.
Penilaian kinerja suatu pemerintah daerah tidak hanya bisa dilihat dari
hasil audit BPK, namun bisa juga di nilai dari kinerja keuangannya dengan
berdasarkan rasio keuangan pada APBD. Dengan menggunakan rasio
keuangan APBD dapat terlihat tingkat kemandirian, tingkat aktivitas, dan
tingkat pertumbuhan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, serta
kemampuan pemerintah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilan dari periode ke periode berikutnya (Heriningsih, 2013).
Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh
pribadi maupun organisasi. Apabila pencapaian sesuai dengan yang
direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Apabila
pencapaian melebihi dari apa yang direncanakan dapat dikatakan kinerjanya
sangat bagus. Apabila pencapaian tidak sesuai dengan apa yang
8
direncanakan atau kurang dari apa yang direncanakan, maka kinerjanya
buruk. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan
indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakuan
untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis
sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan
potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut (Nugroho, 2012).
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio
keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya
(Halim, 2007). Analisis rasio dilakukan dengan membandingkan hasil yang
dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya
sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi.
Dalam penelitian ini Rasio yang digunakan untuk melihat kinerja
keuangan di pemerintah daerah yaitu rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan
rasio pertumbuhan. Berdasarkan hasil penelitian Susantih dan Saftiana
(2009) tidak ada perbedaan signifikan kinerja keuangan daerah pemda pada
lima propinsi se-Sumatera Selatan (Sumsel, Lampung, Jambi, Bangka
belitung, dan Bengkulu). Hal ini menunjukkan bahwa ke-lima propinsi se-
Sumatera bagian Selatan mempunyai kebijakan keuangan yang hampir
serupa antar satu dengan yang lain. Berdasarkan hasil penelitian Agustina
(2013) dari analisis rasio keuangan daerah dapat disimpulkan bahwa secara
umum kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian daerah
kota Malang yang terus membaik. Namun penelitian ini tidak mengaitkan
dengan korupsi dan hanya terbatas pada lingkup kota Malang. Berdasarkan
pada penelitian Heriningsih dan Marita (2013) bahwa kinerja keuangan
(rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan) tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi di Pulau Jawa. Namun penelitian ini
hanya terbatas pada ruang lingkup pulau Jawa. Oleh karena itu, penulis
melakukan penelitian pada ruang lingkup yang lebih luas yaitu
kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan pada penelitian Heriningsih
(2014) bahwa akuntabilitas LKPD (opini audit, Kelemahan SPI, dan
9
kepatuhan terhadap peraturan UU) tidak mempengaruhi tingkat korupsi
pada kabupaten dan kota di Indonesia.
Apabila di kaitkan dengan tingkat korupsi yang mungkin terjadi di
pemerintah daerah bila rasio kemandirian suatu daerah bagus/tinggi maka
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan restribusi
daerah yang akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat
semakin meningkat, dengan demikian seharusnya tidak terjadi korupsi.
Demikian juga dengan rasio aktivitas maupun rasio pertumbuhan, jika rasio
aktivitas maupun rasio pertumbuhan bagus maka terjadi peningkatan
sumber-sumber pendapatan di daerah yang tentu saja kesejahteraan
masyarakat semakin meningkat, dan seharusnya tidak terjadi korupsi.
Semakin baik terciptanya transparansi dan akuntabilitas diyakini dapat
mengurangi praktek korupsi di pemerintah daerah. Semakin baik
akuntabilitas keuangan pemerintah, maka korupsi yang terjadi di daerah
harapannya semakin berkurang. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Setiawan (2012) yang menunjukkan bahwa akuntabilitas laporan keuangan
pemerintah (opini audit, kelemahan Sistem pengendalian intern, dan ketidak
patuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan) tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah di Indonesia. Dan
hasil penelitian Heriningsih (2013) yang menunjukan bahwa opini audit dan
kinerja keuangan yang tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di
provinsi.
Berdasarkan hal tersebut, mulai banyak diantara para akademisi yang
mencoba untuk meneliti tentang korupsi, bagaimana terjadinya serta faktor
apa saja yang menentukan kecenderungan aparatur negara baik di tingkat
nasional maupun daerah melakukan korupsi. Dalam tulisan ini, penulis
mencoba untuk meneliti tentang “Analisis Determinan Korupsi Pemerintah
Daerah di Indonesia (Studi Kasus Pada 11 Kota Di Indonesia Tahun
2008-2017)”.
10
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada pendahuluan, penelitian ini akan
mengidentifikasi variabel-variabel desentralisasi fiskal, ekonomi makro, dan
sosio-ekonomi yang diduga menjadi determinan korupsi pemerintah daerah
di Indonesia. Penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana Pertumbuhan Ekonomi daerah berpengaruh terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah?
2. Bagaimana Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah?
3. Bagaimana Rasio Kemandirian Daerah berpengaruh terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah?
4. Bagaimana Rasio Belanja Operasi berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah?
5. Bagaimana Rasio Belanja Modal berpengaruh terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah?
6. Bagaimana Sistem Pengendalian Intern berpengaruh terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah?
7. Bagaimana Kepatuhan Terhadap Ketentuan Perundang-undangan
berpengaruh terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah?
8. Bagaimana Opini Badan Pemeriksa Keuangan berpengaruh terhadap
tingkat korupsi pemerintah daerah?
9. Bagaimana Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia, Rasio
Kemandirian Daerah, Rasio Belanja Operasi, Rasio Belanja Modal, Sistem
Pengendalian Intern, Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan
dan Opini Badan pemeriksa Keuangan bersama-sama berpengaruh
terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
11
1. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap indeks
persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh indeks pembangunan manusia terhadap
indeks persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
3. Untuk mengetahui pengaruh rasio kemandirian daerah terhadap indeks
persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
4. Untuk mengetahui pengaruh rasio belanja operasi terhadap indeks
persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
5. Untuk mengetahui pengaruh rasio belanja modal terhadap indeks
persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
6. Untuk mengetahui pengaruh sistem pengendalian internal terhadap
indeks persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
7. Untuk mengetahui pengaruh kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan terhadap indeks persepsi korupsi pemerintah daerah di
Indonesia.
8. Untuk mengetahui pengaruh opini audit Badan Pemeriksa Keuangan
terhadap indeks persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
9. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi, indeks pembanguan
manusia, rasio kemandirian, rasio belanja oprasi, rasio belanja modal,
sistem pengendalian internal, kepatuhan terhadap paraturan perundang-
undangan dan opini audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap indeks
persepsi korupsi pemerintah daerah di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Organisasi Sektor Publik
Manfaat penelitian ini untuk organisasi sektor publik adalah memberikan
sumbangan referensi bagi pemerintah pusat dan daerah dalam
pengambilan kebijakan mengenai akuntabilitas laporan keuangan dalam
menentukan pedoman penyelenggaraan pemerintah terutama dalam
kaitan dengan akuntabilitas laporan keuangan dalam usaha mengurangi
12
praktek korupsi yang banyak terjadi di organisasi sektor publik di
Indonesia
2. Bagi Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan rujuan oleh pemerintah
dalam meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi atau dalam rangka
mengeliminir korupsi di Indoensia.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya pada penelitian sejenis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan agar hasil
penelitian selanjutnya menjadi lebih baik.
b. Manfaat penelitian ini bagi akademisi adalah memberi sumbangan
referensi bagi pengembangan ilmu akuntansi sektor publik dalam
peran mengurangi korupsi yang terjadi pada organisasi sektor publik
di Indonesia dan memberi masukan bagi kegiatan yang lain di bidang
akuntansi sektor publik terutama mengenai pentingnya akuntabilitas
bagi organisasi sektor publik
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Pengertian yang dikeluarkan Transparency International
Indonesia (TI Indonesia, 2006) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Definisi ini
semakna dengan yang disampaikan Hustead (2002) yang
mengartikan korupsi sebagai misuse of public power for private
benefit. Senturia (1993) dalam Bahrin (2004) menyebutkan korupsi
adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk keuntungan
pribadi. Kartini Kartono (2002) memberi pengertian yang hampir
sama dengan Senturia, bahwa korupsi adalah tingkah laku individu
yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Gerald E Caiden (1998) dalam Bahrin (2004) memaparkan
secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain
adalah: (1) berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan
penyelundupan, (2) menggelapkan barang milik lembaga, negara,
swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri, (3)
menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan
dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke
rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana,
(4) menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi,
memperdaya dan memeras, (5) penyuapan dan penyogokan,
mengutip pungutan dan meminta komisi, (6) menjual tanpa izin
jabatan pemerintah, barang milik pemerintah/negara, dan surat izin
14
pemerintah, (7) manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan,
kontrak dan pinjaman uang, (8) menghindari pajak, meraih laba
berlebih-lebihan, (9) menerima hadiah, uang pelicin dan hiburan dan
perjalanan yang tidak pada tempatnya (10) menyalagunakan stempel
dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
Transparency International Indonesia (TII) secara operasional
dalam penelitiannya tentang Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia,
mendefinisikan korupsi sebagai: (1) suap, yaitu tindakan membayar
uang secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan atau mempercepat
proses birokrasi, (2) Penggelapan dalam jabatan, yaitu penggunaan
fasilitas milik pemerintah maupun uang negara untuk kepentingan
pribadi, (3) pemerasan, yaitu tindakan meminta uang kepada klien
oleh pejabat publik dalam menjalankan tugas pelayanan, (4)
benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa, yaitu
keterlibatan langsung maupun tidak langsung pejabat publik dalam
proses pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan mendapatkan
keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompok (TII, 2008).
Menurut perspektif hukum definisi korupsi dijelaskan di dalam
UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan
UU tersebut, ada 30 jenis tindakan yang dikategorikan sebagai
tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi itu dapat
dikelompokkan menjadi 7 kategori yaitu: (1) kerugian keuangan
negara, (2) suap-menyuap, (3) penggelapan dalam jabatan, (4)
pemerasan, (5) perbuatan curang, (6) benturan kepentingan dalam
pengadaan, dan (7) gratifikasi (KPK, 2006). Dari berbagai definisi
korupsi yang dipaparkan diatas terdapat sebuah benang merah, yaitu
pada dasarnya korupsi adalah adanya penyalahgunaan kepentingan
publik untuk kepentingan pribadi.
b. Penyebab Korupsi
Terjadinya korupsi menurut para ahli terjadi karena beberapa
faktor yang tidak bersifat tunggal. Lutfhi (2002) menyebutkan
15
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik
motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya
pengawasan. Erika Revida (2003) menyebutkan penyebab korupsi
meliputi, (1) gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan
perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya, (2)
warisan pemerintahan kolonial, (3) sikap mental pegawai yang ingin
cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran
bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Menurut Tanzi dalam Teguh Kurniawan (2009) terdapat faktor
langsung dan tidak langsung yang menyebabkan korupsi. Faktor
penyebab langsung dari korupsi ada enam yaitu: (1) pengaturan dan
otorisasi, (2) perpajakan, (3) kebijakan pengeluaran/anggaran, (4)
penyediaan barang dan jasa dibawah harga pasar, (5) kebijakan
diskresi lainnya dan (6) pembiayaan partai politik. Adapun penyebab
tidak langsung dari korupsi ada enam yaitu: (1) kualitas birokrasi, (2)
besaran gaji di sektor publik, (3) sistem hukuman, (4) pengawasan
institusi, (5) transparansi aturan, hukum, dan proses, (6) teladan dari
pemimpin.
Pengaturan dan otorisasi dapat menyebabkan korupsi ketika
seorang pejabat memiliki kewenangan monopoli untuk melakukan
pengaturan dan otorisasi tanpa diimbangi ketersediaan transparansi,
kejelasan prosedur dan upaya administratif. Perpajakan
menyebabkan korupsi ketika tidak didasarkan atas aturan yang jelas
dan masih memungkinkan kontak langsung antara petugas pajak dan
pembayar pajak. Kebijakan pengeluaran/anggaran dapat
menyebabkan korupsi ketika terjadi ketiadaan transparansi dan
pengawasan institusi yang efektif dalam pembuatan kebijakan
mengenai proyek investasi, pengeluaran untuk pengadaan, serta
penetapan anggaran tambahan (extrabudgetary accounts).
16
Penyediaan barang dan jasa dibawah harga pasar akan dapat
menyebabkan korupsi ketika permintaan akan barang dan jasa
tersebut lebih besar dari penawaran yang ada. Kebijakan diskresi
lainnya dapat menyebabkan korupsi ketika tidak diimbangi adanya
transparansi dan pengawasan institusi. Pembiayaan partai politik
dapat menyebabkan korupsi ketika tidak ada pengaturan yang jelas
mengenai pembiayaan partai politik oleh pemerintah. Kualitas
birokrasi dapat menyebabkan korupsi ketika sistem perekrutan
pegawai lebih didasarkan atas pertimbangan politik, patron dan
nepotisme serta ketiadaan aturan yang memadai mengenai promosi
dan perekrutan pegawai. Besaran gaji di sektor publik dapat
menyebabkan korupsi ketika gaji pegawai negeri tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Sistem hukuman dapat
menyebabkan korupsi ketika tidak terjadi ketegasan dalam
menghukum orang yang melanggar aturan.
Pengawasan institusi dapat menyebabkan korupsi ketika tidak
terdapat sistem pengawasan internal yang memadai, efektif,
transparan, dan jelas. Transparansi aturan, hukum dan proses dapat
menyebabkan korupsi ketika di sebuah negara tidak memiliki
pengaturan yang memadai mengenai transparansi dalam aturan,
hukum dan proses penyelenggaraan pemerintah. Teladan dari
pemimpin dapat menyebabkan korupsi ketika pemimpin
pemerintahan melakukan tindakan korupsi dan menjadi contoh bagi
bawahannya. Nas, Price dan Weber dalam Teguh Kurniawan (2009)
menyebutkan faktor penyebab korupsi terkait dengan karakteristik
individual dan pengaruh struktural. Korupsi dilihat dari karakteristik
individual terjadi ketika seorang individu itu serakah atau tidak dapat
menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika sebagai seorang
pejabat publik. Sementara penyebab korupsi dari sisi struktural
disebabkan oleh tiga hal, yaitu: (1) birokrasi atau organisasi yang
17
gagal, (2) kualitas keterlibatan masyarakat, dan (3) keserasian sistem
hukum dengan permintaan masyarakat.
Menurut Shah (2007) terjadinya korupsi di sektor publik akan
sangat tergantung pada sejumlah faktor yaitu: (1) kualitas
manajemen sektor publik, (2) keadaan hubungan akuntabilitas antara
pemerintah dan masyarakat, (3) kerangka hukum, dan (4) tingkatan
dimana proses sektor publik dilengkapi dengan transparansi dan
diseminasi informasi. Sementara itu Klitgaard dalam Teguh
Kurniawan (2009) menyebutkan bahwa korupsi dikarenakan adanya
monopoli kekuasaan terhadap barang dan jasa ditambah dengan
adanya kekuasaan untuk melakukan diskresi mengenai siapa yang
akan atau berhak menerima barang atau jasa tersebut tetapi tanpa
diimbangi adanya akuntabilitas.
c. Persepsi Korupsi Di Kota/Kabupaten Di Indonesia
Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan.
Pertama karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi
menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta
kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang
melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak ada
transparansi dan tanggung gugat sistem integritas publik. Birokrasi
pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik untuk
mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan
dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan
publik, bukan prioritas dan orientasi yang utama (Pope, 2008).
Korupsi dilakukan dengan sangat rahasia karena ada
kepentingan bersama di antara para pelakunya. Tidak ada rumus
pasti untuk mengukur volume konspirasi korupsi. Namun, harus
dibuat ukuran yang disepakati untuk melihat luas jaring konspirasi
korupsi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan
melakukan survei. Survei dapat menimbulkan kepercayaan pada apa
18
yang sepintas nampak sebagai pernyataan berlebihan dari responden
(Pope, 2008).
Dalam Survei Persepsi Korupsi (TI Indonesia, 2015) potensi
korupsi dapat terjadi akibat 5 hal, yaitu: prevalensi korupsi tinggi,
rendahnya akuntabilitas pendanaan publik, tingginya motivasi
korupsi, meluasnya sektor terdampak korupsi, dan efektivitas
program antikorupsi di daerah.
1) Prevelensi Korupsi adalah sebesar apa atau seberapa sering
tindak pidanakorupsi dalam bentuk suap-menyuap dan
penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi terjadi di
tingkat nasional atau lokal, dan/atau terjadi di kalangan pegawai
nasional atau lokal
2) Akuntabilitas Pendanaan Publik adalah mekanisme
pertanggungjawaban atas penggunaan dana-dana publik.
Seberapa jelas standard prosedur alokasi sumber daya publik,
seberapa lazim alokasi non-budgeter yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka, apakah ada mekanisme
rekrutmen pejabat publik yang tidak transparan, apakah ada
lembaga pengawas internal yang mengaudit keuangan
publik,dan apakah ada independensi pengadilan yang menindak
pejabat korup.
3) Motivasi Korupsi adalah dorongan seorang pejabat publik
melakukan praktik tindak pidana korupsi. Misalnya, apakah
praktik pemberian perlakuan istimewa terjadi, apakah praktik
korupsi untuk memberikan donasi politik berlebih, apakah
praktik korupsi menciptakan dana off budget untuk partai politik
terjadi, praktik korupsi untuk mengamankan proyek pemerintah
terjadi, praktik korupsi akibat jual beli pengaruh.
4) Sektor Terdampak Korupsi adalah penilaian terhadap
sektorpublik apa saja terjadi kasus korupsi. Sektor publik yang
dinilai meliputi sektor perizinan, pelayanan dasar, perpajakan,
19
pengadaan, peradilan, kuota perdagangan, kepolisian,
perkreditan, bea cukai, lembaga pemeriksa, militer, eksekutif
dan legislatif
5) Efektivitas Program Antikorupsi adalah penilaian terhadap
seberapa tingkat keberhasilan upaya pencegahan dan penegakan
hukum terhadap pejabat korupsi terhadap penurunan resiko
korupsi
d. Mengukur Tingkat Korupsi
Tingkat korupsi yang terjadi di suatu daerah secara tepat sulit
diketahui. Hal ini terjadi karena sifat asal dari korupsi adalah
tindakan yang tersembunyi. Pada laporannya (2008) Transparency
International Indonesia (TII) menyampaikan bahwa : “The main
reason why it is extremely hard to measure corruption is because of
the nature of the phenomena itself, which is by default will never be
conducted openly, often concealed very effectively.”
Maka dari itu perlu sebuah metodologi penelitian yang dapat
mencerminkan tindak korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency International
Indonesia (TII) didesain untuk menghasilkan informasi yang
berharga tentang fenomena korupsi di Indonesia, salah satunya di
pemerintah daerah, melalui responden yang tepat untuk dimintai
keterangan mengenai persepsinya terhadap korupsi (TI Indonesia,
2008).
TII mengumpulkan informasi dari 3841 responden di 50 kota di
seluruh Indonesia. Responden terbagi menjadi tiga kategori, yaitu
pelaku bisnis, tokoh masyarakat, dan pejabat publik (TI Indonesia,
2008). Untuk pelaku bisnis, sampel distratifikasi dari ukuran
perusahaan tempat bekerja dan dari sektor ekonomi yang digeluti.
Tokoh masyarakat yang diwawancara dalam survei IPK adalah
tokoh akademis, agama, pemimpin organisasi masyarakat atau
sejenisnya yang memiliki pengaruh cukup kuat untuk membentuk
20
opini publik, lewat publikasi di media massa ataupun pengalaman
pengorganisasian masyarakat di kotanya. Untuk pejabat publik,
target survei adalah pegawai dari eselon IV ke atas.
Indeks pengukuran korupsi berguna bagi lembaga pemerintah
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk dijadikan basis
penentuan prioritas pemberantasan korupsi. Sementara itu,
pemerintah daerah yang disurvei dapat menggunakan indeks ini
sebagai bahan evaluasi mereka dalam usaha pemberantasan korupsi
(TI Indonesia, 2008). Transparency Internasional Indonesia adalah
Lembaga Swadaya Masyarakat yang berpusat di Berlin, Jerman yang
bergerak di bidang pemberantasan korupsi di Dunia
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) merupakan indeks yang berupa
skala numerik yang mengukur tingkat korupsi dalam pemerintah
daerah. Rentang indeksnya adalah dari 0 sampai dengan 10 dimana 0
berarti sangat korup sedangkan 10 berarti sangat bersih. Indeks
Persepsi Korupsi didesain untuk menghasilkan informasi yang
berharga tentang fenomena korupsi di pemerintah daerah, melalui
responden yang tepat untuk dimintai keterangan mengenai
persepsinya terhadap korupsi (TI Indonesia, 2008).
2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
PDRB merupakan merupakan indikator pertumbuhan ekonomi yaitu
suatu proses kenaikkan output nasional suatu periode tertentu terhadap
periode sebelumnya. Dalam perkembangannya terdapat banyak teori
mengenai pertumbuhan ekonomi, antara lain: teori pertumbuhan klasik,
teori pertumbuhan neoklasik, teori pertumbuhan endogen, dan teori
pertumbuhan Kuznet.
Aliran klasik muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad 19-an,
yaitu di masa revolusi Industri, dimana suasana waktu itu merupakan
awal bagi adanya perkembangan ekonomi. Orang pertama yang
membahas pertumbuhan ekonomi secara sistematis adalah Adam Smith
(1723-1790). Dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of
21
The Wealth of Nations (1776) ia mengemukakan tentang proses
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara sistematis. Menurut
Smith terdapat dua aspek utama pertumbuhan ekonomi, yaitu
pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk.
Menurut Adam Smith untuk berlangsungnya perkembangan
ekonomi diperlukan adanya spesialisasi atau pembagian kerja agar
produktivitas tenaga kerja bertambah. Spesialisasi dalam proses produksi
akan dapat meningkatkan keterampilan tenaga kerja, dapat mendorong
ditemukannya alat-alat atau mesinmesin baru dan akhirnya dapat
mempercepat dan meningkatkan produksi.
Menurut Smith, sekali pertumbuhan ini mulai maka ia akan bersifat
komulatif, artinya bila ada pasar yang cukup dan ada akumulasi kapital,
pembagian kerja akan terjadi dan ini akan menaikkan tingkat
produktivitas tenaga kerja. Kenaikan produktivitas ini akan menaikkan
penghasilan nasional dan selanjutnya juga memperbesar jumlah
penduduk. Penduduk tidak saja merupakan pasar karena pendapatannya
naik, tetapi pendapatan yang lebih besar itu juga akan merupakan sumber
tabungan. Jadi, spesialisasi yang yang semakin besar membutuhkan pasar
yang semakin luas dan dorongan untuk membuat alat-alatbaru makin
bertambah. Di lain pihak, naiknya produktivitas akan
mengakibatkantingkat upah naik dan ada akumulasi kapital. Tetapi
karena sumber daya alam terbatas adanya, maka keuntungan akan
menurun karena berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin
berkurang. Pada tingkat inilah perkembangan mengalami kemacetan atau
berhenti.
Jika Adam Smith dianggap sebagai pakar utama dan pelopor
pemikiran ekonomi mahzab klasik, maka Ricardo menjadi pemikir yang
paling menonjol diantara para pakar mahzab tersebut. Teori Ricardo
dikemukakan pertama kali dalam bukunya yang berjudul The Principles
of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1917.
Garis besar proses pertumbuhan ekonomi dan kesimpulan-kesimpulan
22
dari Ricardo tidak jauh berbeda dengan teori Adam Smith yaitu mengacu
pada laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan output. Selain itu
Ricardo juga menganggap bahwa jumlah faktor produksi tanah
(sumberdaya alam) tidak bias bertambah, sehingga akhirnya menjadi
faktor pembatas dalam proses pertumbuhan suatu masyarakat.
Teori Pertumbuhan ekonomi Neoklasik berkembang sejak tahun
1950-an. Model pertumbuhan neoklasik Solow merupakan pilar yang
sangat mewarnai teori pertumbuhan neoklasik sehingga Robert Solow
dianugerahi hadiah nobel bidang ekonomi pada tahun 1987. Menurut
teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung pada penambahan penyediaan
faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal)
dan kemajuan tingkat tekonologi. Berdasarkan penelitiannya, Solow
mengatakan bahwa peran dari kemajuan teknologi di dalam pertumbuhan
ekonomi adalah sangat tinggi.
Model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala
hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja
dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika
keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai
asumsi skala hasil tetap (constand return to scale). Kemajuan teknologi
ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu
sendiri oleh Solow maupun para teoresit lainnya diasumsikan bersifat
eksogen, atau selalu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Simon Kuznet menghitung dan menganalisis sejarah pertumbuhan
ekonomi pada negara maju dalam jangka panjang. Pertumbuhan
kapasitas produksi didasarkan pada perkembangan teknologi,
pembangunan institusi/kelembagaan, sikap dan ideologi. Kuznet
mendefinisikan pertumbuhan ekonomi suatu Negara sebagai
“peningkatan kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang-
barang ekonomi bagi penduduknya; pertumbuhan kemampuan ini
23
disebabkan oleh kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian
ideologi yang dibutuhkannya.”
3. Indeks Pembangunan Manusia
a. Teori Indeks Pembangunan Manusia
Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini, yaitu PDB
dalam situasi nasional dan PDRB dalam situasi regional, hanya
mampu menggambarkan pembangunan ekonomi saja. Oleh sebab itu
dibutuhkan suatu parameter yang lebih menyeluruh, yang mampu
menggambarkan perkembangan aspek sosial dan kesejahteraan
manusia tidak hanya sekedar pertumbuhan ekonomi. Pembangunan
ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan
pendapatan per kapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka
panjang (Suryana, 2000).
Kemajuan bidang ekonomi adalah factor paling penting dalam
sebuah proses pembangunan namun unsur tersebut bukanlah satu-
satunya faktor yang dapat mendorong kemajuan sebuah
perekonomian. Tapi, pembangunan manusia juga harus menjadi
bagian penting dari adanya pembangunan yang biasanya hanya
dipandang dari segi finansial dan material semata. Oleh karena itu
suatu pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multi-
dimensi yang melibatkan reorganisasi dan reorientasidari seluruh
sistem social dan ekonomi yang ada (Todaro M. P., 1994).
Menurut UNDP (United Nations Development Programme),
Untuk mengetahui tingkat indeks pembangunan suatu daerah dapat
dideskripsikan melalui beberapa faktor, yaitu umur panjang dan
sehat yang ditinjau dari segi kesehatan; angka melek huruf,
partisipasi sekolah, dan rata-rata lamanya bersekolah untuk
mengukur kinerja pembangunan apabila dilihat dari segi pendidikan;
dan kemampuan masyarakat untuk membeli sejumlah kebutuhan
pokok dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari ditinjau dari segi rata-
rata besarnya pengeluaran perkapita. Nilai indeks ini berkisar antara
24
0 – 100. Pengertian IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang
dirilis oleh UNDP menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia
merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengukur
tingkat pembangunan manusia. Sejak tahun 1990 UNDP mulai
melakukan penelitian pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia)
atau HDI (Human Development Index) secara konsisten menerbitkan
seri tahunan dalam publikasi yang berjudul Human Development
Report, sebagai upaya untuk mengukur pencapaian pembangunan
manusia suatu Negara. Walaupun belum mampu mengukur semua
aspek dari pembangunan, namun cukup mampu mengukur aspek
pokok dari pembangunan manusia yang dinilai mampu
menggambarkan status kemampuan dasar penduduk.
Tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal penting
yang harus diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan,
kesinambungan dan pemberdayaan (UNDP, 1995). Empat hal pokok
tersebut memuat pijakan-pijakan yang dijelaskan secara singkat
sebagai berikut :
1) Produktivitas
Kemampuan masyarakat dalam meningkatkan produktifitas
dan berperan penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan
memenuhi kebutuhan hidup. sehingga pebangunan ekonomi
juga dapat digolongkan dalam bagian pembangunan manusia.
2) Pemerataan
Dalam hal mendapatkan kesempatan dan akses terhadap semua
sumber daya ekonomi dan social, penduduk memiliki
kesempatan yang sama dalam hal tersebut. Oleh karena itu
kegiatan yang dapat meminimalisir kesempatan untuk
mendapatkan akses tersebut harus diperhatikan, sehingga
mereka dapat memperoleh manfaat dan kesempatan yang ada
dan ikut berperan dalam kegiatann produktif yang dapat
meningkatkan kualitas hidup.
25
3) Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan social harus
dipastiakan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga
disiapkan untuk generasi yang akan datang. Segala bentuk
sumber daya baik fisik, manusia maupun lingkungan harus
senantiasa diperbarui.
4) Pemberdayaan
Penduduk dalam hal keputusan dan proses yang akan
menentukan arah kehidupan mereka, penduduk harus turut
berpartisiasi dan berperan penuh. Begitu pula dalam hal
mengambil manfaat dari proses pembangunan penduduk juga
harus dilibatkan.
Konsep pembangunan manusia pada dasarnya merupakan
sebuah konsep yang menginginkan peningkatan kualits hidup
masyarakatnya baik secara fisik, mental maupun secara spiritual.
Ditegaskan bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini
difokuskan kepada pembangunan sumber daya manusia yang sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi. Yang diharapkan bahwa
pembangunan sumber daya manusia untuk meningkatkan kapasitas
dasar penduduk yang dapat turut berperan dalam pembangunan yang
berkelanjutan.
Indeks pembangunan manusia ditujukan untuk mengukur
dampak dari upaya peningkatan kemampuan dasar tersebut, maka
digunakanlah suatu indikator untuk mengetahui dampak sebagai
komponen dasar penghitungan, yaitu angka harapan hidup ketika
lahir pencapaian pendidiakam dapat diukur dengan angka melek
huruf dan rata-rata lama sekolah serta pengelaran konsumsi. Nilai
IPM suatu Negara maupun daerah menunjukkan sejauh mana suatu
Negara atau daerah mampu mencapai sasaran yang ditentukan yaitu
berupa angka harapan hidup 85 tahun., pendidikan dasar bagi seluruh
lapisan masyarakat tanpa kecuali, serta tingkat konsumsi dan
26
pengeluaran yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin
dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat
jalan yang capaian yang harus dicapai untuk mencapai sasaran
tersebut.
Pembentukan modal manusia merupakan suatu tahapan untuk
mendapatkan dan meningkatkan kualitas orang-orang yang memiliki
keahlian, pendidikan, spesialisasi dan pengalaman yang menentukan
tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu Negara. Oleh
karenanya pembentukan modal manusia dikaitkan dengan investasi
pada manusia yang diharapkan dapat membentuk sumber daya
manusia yang produktif dan kreatif.
b. Komponen Pembangunan Manusia
Laporan pembangunan sumber daya manusia yang yang telah
dipublikasikan oleh UNDP (United Nations Development
Programme) dalam bentuk ukuran kuantitatif yang biasa disebut
HDI (Human Development Indeks). HDI digunakan sebagai tolak
ukur pembangunan sumber daya manusia yang yang dirumuskan
secara konstan, dianggap tidak akan pernah memberikan gambaran
pembangunan secara menyeluruh. Adapun indicator yang digunakan
untuk mengukur ukuran HDI adalah sebagai berikut (UNDP, Human
Development Report, 1993).
1) Indeks Harapan Hidup (longevity)
Indeks harapan hidup atau dsebut juga lamanya hidup diartikan
bahwa bertahan lebih lama dapat diukur dengan indeks harapan
hidup saat lahir (life expectancy of birth) dan angka kematian
bayi per seribu penduduk (infant mortality rate). Dengan
menyertakan informasi tentang angka kelahiran dan kematian
per tahunny, dimana variable tersebut diharapkan mampu
mempresentasikan rata-rata lama hidup beserta hidup sehat
masyarakat. Dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan informasi
orang yang meninggal pada periode waktu tertentu, maka
27
digunakan metode tidak langsung untuk. Perhitungan secara
tidak langsung dilakukan berdasarkan dua data dasar yaitu rata-
rata jumlah lahir hidup dan rata-rata anak yang masih hidup dari
wanita yang pernah kawin.untuk mendapatkan indeks harapan
hidup dengan mentapkan standar angka harapan hidup
berdasrkan nilai maksimum dan minimumnya.
2) Indeks Pendidikan
Untuk menghitung Indeks Pendidikn (IP) dalam perhitungan
IPM, mencakup dua parameter yaitu angka melek huruf (LIT)
dan rata-rata lama sekolah (MYS). Populasi yang digunakan
adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bias membaca
dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Perlunya
batasan tersebut agar angkanya dapat mencerminkan kondisi
sebenarnya mengingat penduduk yang berumur dibawah 15
tahun masih dalam proses sekolah akan sekolah sehingga belum
pantas untuk rata-rata lama sekolahnya. Kedua parameter
tersebut disertakan agar mampu menggambarkan tingkat
pengetahuan (gambaran angka LIT), Dimana LIT merupakan
rasio penduduk yang memiliki kemampuan baca tulis dalam
suatu kelompok penduduk secara keseluruhan. Sedangkan
gambaran angka MYS merupakan cerminan terhadap
keterampilan yang dimiliki penduduk.
Menurut Todaro (1999) pembangunan manusia terdapat tiga
nilai inti pembangunan universal yang dijadikan tujuan utama yaitu :
1) Kecukupan, maksudnya adalah kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat pada umumnya seperti
sandang, pangan dan papan, kesehatan dan keamanan. Apabila
salah satu kebutuhan tersebut belum terpenuhi maka maka akan
menyebabkan keterbelakangan obsolut.
2) Jati diri, yaitu apabila masyarakat mampu menjadi manusia
seutuhnya. Maksudnya adalah adanya dorongan dari diri sendiri
28
untuk maju, mapu menghargai diri sendiri, untuk merasa diri
pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan
seterusnya.
Kebebasan dari sikap menghamba, yaitu merupakan
kemampuan untuk memilih sebagai mana yang tercantum dalam
pembangunan manusia adalah kemerdekaan manusia. Kemerdekaan
dan kebebasan disini diartikan sebagai kemampuan untuk berdiri
tegak dan mandiri sehingga sehingga tidak diperbudak oleh
pengejaran perspektif-perspektif materil dalam kehidupan.
Kebebasan disini juga diartikan sebagai kebebasan terhadap ajaran-
ajaran yang dogmatis.
c. Pengukuran Indeks Pembangunan Manusia
Terdapat tiga komposisi indicator yang digunakan dalam
mengukur besar indeks pembangunan manusia suatu Negara dalam
konsep Indek Pembangunan manusia yaitu :
1) Tingkat kesehatan diukur dengan melihat harapan hidup saat
lahir (tingkat kematian bayi).
2) Tingkat pendidikan diukur dengan angka melek huruf (dengan
bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot
sepertiga).
3) Standar kehidupan diukur dengan tingkat pengeluaran perkapita
per tahun.
4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah merupakan kemampuan
pemerintah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
diperlukan daerah (Muliana, 2009). Tingkat kemandirian keuangan
daerah antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada umumnya
ditunjukkan oleh variabelvariabel Pendapatan Asli Daerah (PAD)
29
terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil Pajak
dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP) terhadap TPD, dan Rasio
Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap TPD. Untuk melihat
kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah
khususnya di bidang keuangan, diukur dari seberapa jauh
kemampuan pembiayaan urusan bila didanai sepenuhnya oleh PAD
dan Bagi Hasil Daerah (Mulyanto, 2007).
Dalam mengukur tingkat kemandirian daerah ini, Muliana
(2009) mengukurnya dengan membandingkan Pendapatan Asli
Daerah dengan Total Pendapatan Asli Daerah yang diperoleh Daerah
dalam Laporan Realisasi APBD.
Tujuan kemandirian keuangan daerah mencerminkan suatu
bentuk pemerintahan daerah apakah dapat menjalankan tugasnya
dengan baik atau tidak. Menurut Widodo dalam Halim (2002) Rasio
kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti
bahwa tingkat ketergantungan bantuan pihak ekstern (terutama
pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula
sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi
rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen
utama pendapatan asli daerah.
b. Rasio Belanja Opersional
Belanja Operasional yang kemudian dalam Permendagri Nomor
59 Tahun 2007 disebut sebagai belanja rutin, yang telah dibahas
pada rasio Indeks Kemampuan Rutin (IKR), dan belanja modal yang
kemudian diubah menjadi belanja pembangunan.
Belanja Operasi Pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-
hari pemerintah daerah yang memberi manfaat jangka pendek.
Kelompok belanja operasi terdiri atas belanja pegawai, belanja
30
barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja
bantuan sosial dan belanja bantuan keuangan.
Rasio Belanja Operasi terhadap Total Belanja merupakan
perbandingan antara total belanja operasi dengan total belanja
daerah. Belanja operasi merupakan belanja yang manfaatnya habis
dikonsumsi dalam satu tahun anggaran, sehingga belanja operasi ini
sifatnya jangka pendek dan dalam hal tertentu sifatnya rutin atau
berulang (recurrent).
Rasio belanja operasi terhadap total belanja dihitung dengan
membandingkan total realisasi belanja operasi dengan total realisasi
belanja dikalikan 100%. Belanja operasi terdiri dari belanja pegawai,
belanja barang/jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas
dan belanja yang bersifat rutin atau berulang tetap lainnya.
Rasio ini bertujuan untuk mengukur persentase jumlah realisasi
anggaran yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan rutin
dibandingkan dengan total realisasi belanja. Para penguna laporan
keuangan biasanya akan menilai rend/kecenderungan, apakah
realisasi anggaran lebih banyak dipergunakan untuk membiayai
kegiatan yang bersifat rutin ataukah belanja yang bersifat
pembangunan. Norma penilaian menyatakan apabila hasil
pengukuran lebih dari 50%, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar realisasi anggaran lebih banyak dipergunakan untuk kegiatan
yang bersifat rutin, dibandingkan realisasi untuk membiayai kegiatan
pembangunan. Demikian pula sebaliknya.
Rasio Belanja Operasi merupakan perbandingan antara total
Belanja Operasi dengan Total Belanja Daerah. Rasio ini
menginformasikan kepada pembaca laporan mengenai porsi belanja
daerah yang dialokasikan untuk Belanja Operasi. Belanja Operasi
merupakan belanja yang manfaatnya habis dikonsumsi dalam satu
tahun anggaran, sehingga sifatnya jangka pendek dan dalam hal
31
tertentu sifatnya rutin atau berulang. Pada umumya proporsi Belanja
Operasi mendominasi total belanja daerah yaitu antara 60-90%.
c. Rasio Belanja Modal
Belanja daerah dikelompokkan menjadi belanja langsung dan
tidak langsung. Biaya langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja
barang dan jasa serta belanja modal.
Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 53 Belanja
modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan
jaringan, dan aset tetap lainnya.
Belanja modal memiliki karakteristik yang spesifik yang
menunjukkan berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya.
Pemerolehan aset tetap juga memilki konsekuensi pada beban
operasional dan pemeliharaan di masa yang akan datang (Bati,
2009). Keberadaan anggaran belanja modal yang bersumber dari
bantuan pusat dan pendapatan asli daerah, yang apabila
dibandingkan dengan investasi swasta mempunyai nilai yang relatif
kecil, namun belanja modal tersebut mempunyai peranan strategis,
karena sasaran penggunaannya untuk membiayai pembangunan
dibidang sarana dan prasana yang dapat menunjang kelancaran usaha
swasta dan pemenuhan pelayanan masyarakat. Belanja modal
merupakan belanja daerah yang dilakukan pemerintah daerah
diantaranya pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan,
kesehatan, transportasi sehingga masyarakat juga menikmati manfaat
dari pembangunan daearh (Mulyanto, 2007). Tersedianya struktur
yang baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas di
berbagai sektor, produktivitas masyarakat diharapkan menjadi
32
semakin tinggi dan pada gilirannya akan terjadi peningkatan
pertumbuhan ekonomi.
5. Akuntabilitas Laporan Keuangan Daerah
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dalam
Setiawan (2012) menjadi hal penting karena merupakan bentuk
pertanggung jawaban pemerintah daerah terhadap pelaksanaan APBD.
Untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah
perlu dilakukan pemeriksaan (diaudit). Pemeriksaan tentang akuntabilitas
LKPD dilakukan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab tentang keuangan Negara sebagaimana dijelaskan dalam Undang
28 Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK
bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan mendasarkan pada (a)
kesesuaian dengan standar akuntansi Pemerintahan dan atau prinsip-
prinsip akuntansi yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan, b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure), (c)
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, (d) efektivitas sistem
pengendalian intern.
Hasil dari pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
yang mengambarkan tingkat akuntabilitas LKPD yang secara
keseluruhan dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester
(IHPS) yang dikeluarkan setahun dua kali (tiap semester). Hasil
pemeriksaan keuangan atas LKPD disajikan dalam 3 bagian yaitu: opini,
sistem pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang- undangan (BPK, 2012).
a. Sistem Pengendalian Internal
Dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan serta
pertanggungjawaban kegiatan Instansi Pemerintah, pimpinan
33
Instansi Pemerintah wajib menerapkan setiap unsur dari Sistem
Pengendalian Intern. Untuk memastikan bahwa Sistem Pengedalian
Intern tersebut sudah dirancang dan diimplementasikan dengan baik,
dan secara memadai diperbaharui untuk memenuhi keadaan yang
terus berubah perlu dilakukan pemantauan secara terus-menerus.
Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan pemantauan antara lain
melalui evaluasi terpisah atas Sistem Pengendalian Internnya
masing-masing untuk mengetahui kinerja dan efektifitas Sistem
Pengendalian Intern serta cara meningkatkannya. Pemantauan juga
berguna untuk mengidentifikasi dan mengatasi risiko utama seperti
penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan salah-kelola
(mismanagement).
1) Pengertian Pengendalian Internal
Xu, et al. (2003) menjelaskan bahwa interaksi antara orang
dan sistem serta implementasi sistem merupakan faktor penting
yang mempengaruhi kualitas dari sebuah informasi. Keandalan
sistem harus juga didukung oleh keandalan sumber daya
manusia. Namun sistem yang sudah berjalan harus dikontrol
agar tetap dapat berjalan baik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah menyatakan
bahwa: “Sistem pengendalian Internal adalah proses yang
integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui
kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan. Sistem Pengendalian Internal
Pemerintah, yang kemudian disingkat SPIP adalah Sistem
Pengendalian Intenal yang diselenggarakan secara menyeluruh
di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.”
34
Sistem Pengendalian Internal merupakan kegiatan
pengendalian terutama atas pengelolaan sistem informasi yang
bertujuan untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi.
Kegiatan pengendalian atas pengelolaan informasi meliputi
Pengendalian Umum dan Pengendalian Aplikasi, yang masing-
masing akan dijelaskan sebagai berikut:
- Pengendalian umum, meliputi pengamanan sistem
informasi, pengendalian atas akses, pengendalian atas
pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi,
pengendalian atas perangkat lunak sistem, pemisahan tugas,
dan kontinuitas pelayanan.
- Pengendalian aplikasi, meliputi pengendalian otorisasi,
pengendalian kelengkapan, pengendalian akurasi, dan
pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.
Dalam kaitannya dengan efektivitas penyusunan laporan
keuangan maka baik buruknya implementasi sistem
pengendalian internal dapat mempengaruhi kualitas laporan
keuangan pemerintah daerah.
2) Tujuan Pengendalian Internal
Arens et. Al. (2011) yang dialih bahasakan oleh Herman
Wibowo memaparkan tiga tujuan umum manajemen dalam
merancang sistem pengendalian internal yang efektif, yaitu: (1)
Reliability Of Financial Reporting (2) Efficiency and
Effectiveness Of Operations dan (3) Complience With Laws and
Regulations
Manajemen bertanggung jawab untuk menyiapkan laporan
bagi para investor, kreditor dan pemakai lainnya. Manajemen
memikul baik tanggung jawab hukum maupun professional
untuk memastikan bahwa informasi telah disajikan secara wajar
sesuai dengan persyaratan pelaporan seperti prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum. Tujuan pengendalian internal
35
yang efektif atas pelaporan keuangan adalah memenuhi
tanggung jawab pelaporan keuangan tersebut.
Pengendalian dalam perusahaan akan mendorong
pemakaian sumber daya secara efektif dan efisien untuk
mengoptimalkan sasaran-sasaran perusahaan. Tujuan yang
penting dari pengendalian ini adalah memperoleh informasi
keuangan dan non-keuangan yang akurat tentang operasi
perusahaann untuk keperluan pengambilan keputusan.
Manajemen harus menguji efektifitas pelaksanaan pengendalian.
Tujuan penggunaan ini adalah untuk menentukan apakah
pengendalian telah berjalan seperti yang telah dirancang dan
apakah orang yang melaksanakan memiliki kewenangan serta
kualifikasi yang diperlukan untuk melaksanakan pengendalian
secara efektif.
Organisasi-organisasi publik, non-publik, dan nirlaba
diwajibkan menaati berbagai hukum dan peraturan. Beberapa
hanya berhubungan secara tidak langsung dengan akuntansi,
seperti Undang-Undang perlindungan hukum dan hak sipil,
sementara yang lainnya berkaitan erat dengan akuntansi, seperti
peraturan pajak penghasilan dan kecurangan.
3) Unsur-unsur Pengendalian Internal
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Internal Pemerintah meyebutkan bahwa SPIP
terdiri dari unsur-unsur berikut:
- Lingkungan pengendalian, pimpinan Instansi Pemerintah
wajib menciptakan dan memelihara lingkungan
pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan
kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Internal
dalam lingkungan kerjanya.
- Penilaian risiko, dalam rangka penilaian resiko, pimpinan
Instansi Pemeritah dapat menetapkan tujuan instansi
36
pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan, dengan
berpedoman pada peratutan perundang-undangan.
- Kegiatan pengendalian, pimpinan Instansi pemerintah wajib
menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan
ukuran, kompleksitas, dari sifat dan tugas dan fungsi yang
bersangkutan.
- Informasi dan komunikasi, pimpinan instansi pemerintah
wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan
informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat. Komunikasi
atas informasi wajib diselenggarakan secara efektif.
- Pemantauan pengendalian internal, pimpinan instansi
pemerintah wajib melakukan pemantauan
b. Kepatuhan Terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka
menilai akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemberian opini juga didasarkan
pada penilaian kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Salah satu hasil pemeriksaan atas laporan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan: kerugian
negara/daerah/perusahaan, potensi kerugian negara/ daerah/
perusahaan, kekurangan penerimaan, kelemahan penerimaan,
kelemahan administrasi, ketidakhematan, dan ketidakefektifan
sebagai berikut (BPK, 2012):
- Kerugian negara/daerah adalah kerugian nyata berupa
berkurangnya kekayaan Negara/daerah sesuai pengertian dalam
UU nomor 1 tahun 2004 pasal 1 butir 22, “Kerugian
Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Kerugian dimaksud harus ditindaklanjuti dengan
37
pengenaan/pembebanan kerugian kepada penanggung jawab
kerugian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Potensi kerugian negara/daerah adalah kerugian nyata berupa
berkurangnyaKekayaan negara sesuai penegrtian dalam UU
Nomor 1 tahun 2004 pasal 1 butir 22, tetapi masih berupa
resiko, terjadi kerugian apabila suatu kondisi
- Kekurangan penerimaan adalah penerimaan yang sudah menjadi
hak negara/ Daerah, tetapi belum/tidak masuk ke kas
negara/daerah karena adanya unsur ketidakpatuhan.
- Kelemahan administrasi adalah penyimpangan terhadap
ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan
anggaran/pengelolaan aset maupun operasional perusahaan,
tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian
negara/daerah atau potensi kerugian negara/daerah atau
kekurangan penerimaan, dan uang yang belum/tidak
dipertanggungjawbakan serta tidak mengandung unsur indiaksi
tindak pidana.
- Ketidak hematan/pemborosan mengungkapkan adanya
penggunaan input dengan harga atau kualitas yang melebihi
kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan
pengadaan serupa pada waktu dan kondisi yang sama.
- Ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome),
mengungkapkan kegiatan yang tidak memberikan manfaat atau
hasil yang direncanakan serta fungsi insatnsi yang tidak optimal
sehingga tujuan organisasi tidak tecapai.
Selain itu, BPK juga menilai kecukupan pengungkapan informasi
dalam laporan keuangan dan kesesuaian laporan keuangan dengan
standar yang berlaku sebagai dasar pemberian opini atas laporan
keuangan (BPK, 2012). Ketaatan pada perundang- undangan dapat
dikatakan bahwa semakin banyak ditemukan ketidaktaatan maka akan
38
mudah disinyalir bisa terindikasi terjadinya korupsi. (Heriningsih,
2013).
c. Opini Badan Pemeriksa Keuangan
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
dalam Setiawan (2012) menjadi hal penting karena merupakan bentuk
pertanggung jawaban pemerintah daerah terhadap pelaksanaan APBD.
Untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah
perlu dilakukan pemeriksaan (diaudit). Pemeriksaan tentang
akuntabilitas LKPD dilakukan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan Negara sebagaimana dijelaskan
dalam Undang 28 Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
dalam Setiawan (2012) menjadi hal penting karena merupakan bentuk
pertanggung jawaban pemerintah daerah terhadap pelaksanaan APBD.
Untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah
perlu dilakukan pemeriksaan (diaudit). Pemeriksaan tentang
akuntabilitas LKPD dilakukan BPK RI sebagai pemeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan Negara sebagaimana dijelaskan
dalam Undang 28 Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Hasil dari pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
yang mengambarkan tingkat akuntabilitas LKPD yang secara
keseluruhan dirangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester
(IHPS) yang dikeluarkan setahun dua kali (tiap semester). Hasil
pemeriksaan keuangan atas LKPD disajikan dalam 3 bagian yaitu:
opini, sistem pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang- undangan (BPK, 2012).
Opini yang diberikan atas suatu LKPD merupakan cermin bagi
kualitas akuntabilitas keuangan atas pelaksanaan APBD. Adanya
39
kenaikan persentase opini wajar tanpa pengecualian (WTP) secara
umum menggambarkan adanya perbaikan akuntabilitas keuangan oleh
pemerintahan daerah dalam menyajikan laporan keuangan sesuai
dengan prinsip yang berlaku (BPK, 2012).
Merujuk pada Buletin Teknis SPKN Nomor 01 tentang Pelaporan
Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah, paragraf 13
tentang Jenis Opini audit BPK RI terdiri dari empat opini, yaitu Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified opinion), Wajar Dengan
Pengecualian (WDP/qualified opinion), Tidak Wajar (TW/adverse
opinion) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP/disclaimer opinion).
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) memuat suatu pernyataan bahwa
laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang
material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang
diberlakukan dalam SPKN, BPK dapat memberikan opini Wajar
Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP) karena
keadaan tertentu sehingga mengharuskan pemeriksa menambahkan
suatu paragraf penjelas dalam LHP (laporan hasil pemeriksaan)
sebagai modifikasi dari opini WTP. Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan
menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai
dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan
yang dikecualikan. Tidak Wajar (TW) memuat suatu pernyataan
bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar dalam semua
hal yang material sesuai dengan SAP. Pernyataan Menolak
Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP)
menyatakan bahwa pemeriksa tidak menyatakan opini atas laporan
keuangan (BPK, 2012).
Opini auditor menjadi pusat perhatian dalam setiap laporan
kinerja suatu entitas demikian juga dengan penelitian ini sehingga
dengan menggunakan penalaran bahwa jika Pemerintah daerah
40
memperoleh opini WTP (wajar tanpa pengecualian) maka harapannya
akan semakin bagus kinerja pemerintah daerah dan pastinya korupsi
tidak dapat terjadi (Heriningsih, 2013).
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan adalah tanggung
jawab entitas sedangkan tanggung jawab BPK terletak pada
pernyataan pendapat/opini atas laporan keuangan berdasarkan
pemeriksaaan yang dilakukan secara independen, objektif, dan
integritas tinggi (BPK, 2012).
B. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Peneliti,Tahun,
Judul
Metode
Penelitian
Variabel
Penelitian Hasil Penelitian
1 Mehmet Ugur dan
Nandini Dasgupta
2011
Corruption and
econimic growth:
A meta-analysis
of evidence on
low-income
countries and
beyond
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Sampel: 43
negara
Metode
analisis:
precission
effect test
Variabel
independen:
pertumbuhan
ekonomi
Variabel
dependen:
tingkat
korupsi
Hasil penelitian
diperoleh korupsi
berpengaruh negatif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
2 Sucahyo
Heriningsih dan
Marita
2013
Pengaruh opini
audit dan kinerja
keuangan
pemerintah
daerah terhadap
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Sampel: 26
kabupatn/kot
a
Variabel
Dependen :
Opini Audit,
Rasio
Kemandirian
Daerah,
Rasio Belanja
Modal,
Pertumbuhan
Ekonomi
Hasil pengujian
secara statistik
membuktikan bahwa
variabel opini audit
dan kinerja
keuangan (rasio
kemandirian, rasio
aktivitas dan rasio
pertumbuhan) tidak
berpengaruh
terhadap tingkat
41
tingkat korupsi
pemerintah
daerah (Studi
empiris pada
pemerintah
kabupaten dan
kota di Pulau
Jawa)
Tahun data:
2008 – 2010
Metode
analisis:
regresi linier
Variabel
Independen :
Tingkat
Korupsi
korupsi di Pulau
Jawa
3 Mohammmad
Reza
2013
Analisis
determinan
ekonomi korupsi
di era
desentralisasi
pada 12 Ibukotota
Provinsi
Indonesia
Jenis
penelitian:
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Sampel: 12
ibukota
provinsi
Tahun data:
2004, 2006,
2008, 2010
Metode
analisis :
regresi Tobit
Variabel
independen :
PDRB,
Pertumbuhan
Ekonomi
Daerah,
Pengeluaran
Pemerintah,
Pajak Daerah
Variabel
dependen :
Tingkat
Korupsi
PDRB per kapita,
pertumbuhan
ekonomi
berpengaruh
terhadap tingkat
korupsi sedangkan
pengeluran
pemerintah dan
pajak tidak
berpengaruh
terhadap tingkat
korupsi
4 Wahyu Setiawan
2012
Pengaruh
akuntabilitas
laporan keuangan
pemerintah
daerah (LKDP)
terhadap tingkat
korupsi
pemerintah
daerah di
Indonesia
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Sampel: 12
ibukota
provinsi
Tahun data:
2008
Metode
analisis :
regresi linier
berganda
Variabel
Independen :
Opini Audit,
Sistem
Pengenlai
Intern,
Ketidakpatuh
n terhadap
Ketentuan
Perundang-
undangan
Variabel
dependen:
Tingkat
korupsi
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
akuntabilitas laoran
keuangan
pemerintah daerah
(opini audit,
kelemahan sistem
pengendali intern
dan ketidakpatuhan
terhadap ketentuan
perundang-
undangan) tidak
berpengaruh
terhadap tingkat
korupsi pemerintah
daerah di Indoensia
42
5 Sucahyo
Heriningsih
2015
Analisis kinerja
penyelenggara
pemerintah
daerah dan
tingkat korupsi
dianalisis dari
opini auditor
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Tahun data:
2010
Sampel: 36
kabupaten
kota
Metode
analisis :
independent
sample test
Variabel
Independen :
Opini Audit,
Skor LPDP
Variabel
dependen:
Tingkat
korupsi
Hasil pengujian
hipotesis
menunjukan kinerja
penyelenggra
pemerintah daerah
(Skor LPDP) tidak
terdapat perbedaan
antara kabupaten
kota dengan opini
WTP. Tingkat
korupsi tidak
terdapat perbedaan
anatara
kabupatan/kota yang
memiliki opini WTP.
6 Ageng Rian
Adrianto
2016
Analisis
determinan
korupsi di
Indonesia tahun
2006 – 2015
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Tahun data:
2006, 2008,
2010 dan
2015
Sampel: 25
kota
Metode
analisis :
regresi Tobit
Variabel
Independen :
PRDB, Pajak,
Belanja
barang dan
jasa, Indeks
rasio
kemandirian
daerah,
inflasi,
indeks
pembanguna
n manusia
Variabel
dependen:
Tingkat
korupsi
Secara empiris
diperoleh hasil
indeks pembangunan
manusia
berpengaruh positif
dan signifikan
terhadap korupsi.
Pajak, belanja
barang dan jasa,
indeks kemandirian
daerah, PRDB dan
inflasi tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
korupsi
7 Sucahyo
Heriningsih dan
Rusherlistyani
2014
Pengungkapan
laporan keuangan,
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Tahun data:
Variabel
independen:
LKDP, Opini
audit, sistem
pengendalian
intern,
ketaatan
Tidak terdapat
perbedaan tingkat
pengungkapan
LKDP antara
kabupaten/kota yang
mendapat WTP
dengan tidak
43
kelemahan SPI,
dan ketaatan pada
perundang-
undangan
dianalisis dari
opini auditor
2008 dan
2010
Sampel: 48
pemda
terhadap
peraturan
perundang-
undangan
mendapat WTP,
terdapat perbedaan
kelemahan SPI, tidak
terdapat perbedaan
ketaatan terhadao
peraturan
perundang-undangan
8 Rita Wulandari
2015
Pengaruh
akuntabilitas
laporan keuangan
daerah (LKDP)
dan kinerja
keuangan
pemerintah
daerah terhadap
tingkat korupsi
pemerintah
daerah di
Indonesia
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Tahun data:
2012 dan
2013
Sampel: 844
pemda
Metode
analisis:
regresi
logistik
Variabel
independen:
opini audit,
SPI,
kepatuhan
terhadap
perundang-
undangan,
kinerja
keuangan,
rasio
kemandirian,
rasio
aktifitas,
pertumbuhan
Variabel
dependen :
tingkat
korupsi
Penelitian ini
menunjukan rasio
kemadirian
berpengaruh
signifikan terhadap
tingkat korupsi.
Kelemahan SPI,
kepatuhan terhadap
perundang-
undangan, rasio
aktifitas dan rasio
pertumbuhan tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
tingkat korupsi.
9 Hafeez Ur
Rehman dan
Amjad Naveed
2007
Determinats of
Corruption and its
Relations to GDP:
(A Panel Study)
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Tahun data:
1995 dan
2005
Sampel: 9
regional
negara
berkembang
Metode
Variabel
Independen:
Growth
Domestic
Product,
Secondary
School
Enrolment,
Public
Spending on
Education,
Inflation,
Goverment
Expenditure,
Hasil penelitian ini
menunjukan Growth
Doemstic Product
berpengaruh
terhadap Inkes
Korupsi.
Penentu deteminan
korupsi adalah GDP
per kapita, Second
school enrolament,
public spending on
education, FDI dan
Unemployment rate
merupakan
44
analisis:
regresi data
panel
Population
Growth,
Unemployme
nt
Variabel
Dependent:
Corrpution
Index
10 Yilmaz A Akif,
M
2011
Determinats of
Economic
Corruption: A
Cross-Country
Data Analysis.
Jenis
penelitian
kuantitatif
Sumber data
sekunder
Tahun data:
2004 dan
2007
Sampel: 25
negara di
Eropa
Metode
analisis:
regresi data
panel
Variabel
Independen:
Pembanguna
n ekonomi,
Pertumbuhan
ekonomi,
Inflasi,
Economic
Freedon dan
Distribusi
Pendapatan
Variabel
dependen:
Korupsi
Hasil empiris
menunjukan
pembangunan
ekonomi, inflasi,
economic freedom
dan distribusi
pendapatan
berkorelasi
signifikan secara
statistik terhadap
korupsi.
Variabel
pertumbuhan
ekonomi secara
statistik tidak
signifikan
berpengaruh
terhadap korupsi.
C. Keterkaitan Antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah dugaan sementara terhadap penelitian yang
kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Secara teknis penelitian dapat
didefinisikan sebagai pernytaan mengenai populasi yang akan diuji
kebenaranya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Indeks Persepsi Korupsi
Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
45
meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode
berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing
komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk
mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapat perhatian.
Rasio pertumbuhan dihitung dengan membandingkan pendapatan tahun
anggaran yang sudah dikurang pendapatan tahun anggaran sebelumnya
dengan pendapatan di tahun anggaran tersebut.
Menurut Heriningsih dan Marita (2013) Semakin tinggi rasio
pertumbuhan pendapatan berarti adanya peningkatan sumber-sumber
pendapatan untuk kesejahteraan masyarakat yang bersifat menambah aset
atau kekayaan negara sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat
dihipotesiskan bahwa rasio pertumbuhan berpengaruh signifikan
terhadap tingkat korupsi.
H1 : Rasio Pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap
Indeks Persepsi Korupsi.
2. Hubungan antara Indeks Pembangunan Manusia dengan Indeks Persepsi
Korupsi
Indeks pembangunan manusia ditujukan untuk mengukur dampak
dari upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat baik secara fisik,
mental maupun spiritual. Maka digunakanlah suatu indikator untuk
mengetahui dampak sebagai komponen dasar penghitungan, yaitu angka
harapan hidup ketika lahir pencapaian pendidiakan dapat diukur dengan
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah serta pengelaran konsumsi.
Nilai IPM suatu negara maupun daerah menunjukkan sejauh mana suatu
Negara atau daerah mampu mencapai sasaran yang ditentukan yaitu
berupa angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi seluruh
lapisan masyarakat tanpa kecuali, serta tingkat konsumsi dan pengeluaran
yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM
suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang capaian
yang harus dicapai untuk mencapai sasaran tersebut.
46
Studi yang mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan antara Human Development Indekx (HDI) dan Corruption
Perception Index (CPI) serta mengeksplorasi faktor yang mempengaruhi
naik turunnya HDI dan CPI menggunakan hasil servei primer pernah
dilakukan di Negara nepal oleh Pradhan (2012). Studi ini menghasilkan
temuan bahwa hubungan antara Indeks Pembangunan Manusia dan
Indeks Persepsi Korupsi dalam kasus Nepal adalah positif secara
statistik, yang artinya kenaikan dalam HDI diikuti dengan kenaikan pada
CPI atau korupsi semakin berkurang
H2 : Rasio Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh
signifikan terhadap Indeks Persepsi Korupsi
3. Hubungan antara Rasio Kemandirian Daerah dengan Indeks Persepsi
Korupsi
Kemandirian keuangan menunjukkan kemampuan pemda dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan
kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah dengan kata lain rasio ini
menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern
(Wakhyudi dan Tarunasari, 2013). Kemandirian keuangan ditunjukkan
oleh besar kecilnya Pendapatan Asli daerah (PAD) dibandingkan dengan
total pendapatan (Halim dan Kusufi, 2012). Dengan menggunakan rasio
keuangan APBD dapat terlihat kemandirian suatu daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya dan kemampuan
pemerintah dalam mempertahankan keberhasilan keuangan dari periode
ke periode berikutnya.
Menurut Halim (2002) Semakin tinggi rasio kemandirian
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan
pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah
dan demikian pula sebaliknya. Menurut Heriningsih dan Marita (2013)
Semakin tinggi rasio kemandirian, maka semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah meningkatkan
47
kesejahteraan masyarakat sehingga akan menimbulkan adanya korupsi.
Menurut Saputra (2012) dengan tingginya partisipasi masyarakat dalam
membayar pajak dan retribusi daerah yang menjadi Pendapatan Asli
Daerah (PAD) rentan menjadi objek korupsi. Terbukti dengan adanya
UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan retribusi daerah yang
dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi Pemda yang seharusnya
memberikan kontribusi PAD yang lebih tinggi untuk kesejahteraan
mayarakat. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio kemandirian pemda
maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H3: Rasio Kemandirian berpengaruh signifikan Indeks Persepsi
Korupsi
4. Hubungan antara Rasio Belanja Operasi dengan Indeks Persepsi Korupsi
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin (operasi) secara
optimal. Rasio belanja aktivitas dihitung dengan membandingkan total
belanja operasi pada total APBD. Pengukuran kinerja pemerintah
bertujuan untuk menilai sejauh mana pemda mampu menyediakan
produk (jasa) yang berkualitas dengan biaya yang layak (Wakhyudi dan
Tarunasari, 2013). Anggaran belanja rutin merupakan anggaran yang
disediakan untuk membiayai kegiatan yang bersifat lancar, rutin dan
secara terus menerus yang dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat (Pramono, 2014). Menurut Heriningsih dan Marita (2013)
Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin
(operasi) berarti adanya peningkatan sumber-sumber pendapatan yang
dibelanjakan untuk kesejahteraan masyarakat yang bersifat rutin sehingga
akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio
aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H4: Rasio Aktivitas Belanja Operasi berpengaruh signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi.
5. Hubungan antara Rasio Belanja Modal dengan Indeks Persepsi Korupsi
48
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya belanja pembangunan (modal) secara
optimal. Rasio belanja aktivitas dihitung dengan membandingkan total
belanja modal pada total APBD. Pengukuran kinerja pemerintah
bertujuan untuk menilai sejauh mana pemda mampu menyediakan
produk (jasa) yang berkualitas dengan biaya yang layak (Wakhyudi dan
Tarunasari, 2013). Menurut Halim (2004) Anggaran belanja
pembangunan adalah anggaran yang disediakan untuk membiayai proses
perubahan, yang merupakan perbaikan dan pembangunan menuju
kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang dianggarkan dalam
pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektor industri,
pertanian dan kehutanan, hukum, transportasi, dan lain sebagainya.
Menurut Heriningsih dan Marita (2013) Semakin tinggi persentase
dana yang dialokasikan untuk belanja pembangunan (modal) berarti
adanya peningkatan sumber-sumber pendapatan yang dibelanjakan untuk
kesejahteraan masyarakat yang bersifat menambah aset atau kekayaan
negara sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat dihipotesiskan
bahwa rasio aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi.
H5: Rasio Aktivitas Belanja Modal berpengaruh signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi.
6. Hubungan antara Sistem Pengendalian Internal dengan Indeks Persepsi
Korupsi
Sistem pengendalian intern adalah proses yang integral pada
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai
atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara, dan
ketaatan pada peraturan (Syafrudin, 2012).
Hasil pemeriksaan BPK atas sistem pengendalian intern
mengungkapkan tentang Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan
49
pelaporan, Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja, Kelemahan struktur pengendalian intern (BPK,
2012). Kelemahan sistem pengendalian intern yang dilaporkan BPK
menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan.
Berdasarkan model korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001)
sistem pengendalian internal menunjukkan akuntabilitas laporan
keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Menurut Anwar (2006) untuk
meningkatkan pengelolaan keuangan negara yang mengurangi korupsi,
pemerintah melakukan koreksi secara menyeluruh sehingga memperbaiki
akuntabilitas pelaporan keuangan, salah satunya dengan sistem
pengendalian internal. Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian
intern menunjukkan informasi keuangan yang disajikan dalam laporan
keuangan tidak dapat diandalkan (BPK, 2013), Artinya semakin banyak
kelemahan sistem pengendalian intern menunjukkan tingkat akuntabilitas
laporan keuangan yang rendah. Jika tingkat akuntabilitas laporan
keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak korupsi (Widjajabrata dan
Zacchea, 2004). Menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang salah
satunya menguji sistem pengendalian internal dapat dijadikan kasus
tindak pidana korupsi, jika suatu instansi pemerintah atau pejabat
pemerintah dikatakan telah melakukan penyelewengan dana (korupsi)
yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Jadi dapat
dihipotesiskan bahwa kelemahan sistem pengendalian internal yang
terjadi di pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H6 : Sistem Pengendalian Internal berpengaruh signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi
7. Hubungan antara Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan dengan Indeks Persepsi Korupsi
Sebagai bagian pemrolehan keyakinan yang memadai tentang
apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, sesuai dengan
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), BPK melakukan
pengujian kepatuhan pada pemda terhadap ketentuan peraturan
50
perundang-undangan, kecurangan, serta ketidakpatutan yang berpengaruh
langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan. BPK
menemukan adanya ketidakpatuhan, kecurangan, dan ketidakpatutan
dalam pengujian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
pada Pemda dengan Pokok-pokok temuan tertentu seperti Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006, dan peraturan masing masing bupati pemda
terkait anggaran LKPD (LPKD, 2013). Hasil pemeriksaan atas kepatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan mengungkapkan ketidakpatuhan
terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian
daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, administrasi,
ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan.
Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan.
Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001)
Kepatuhan terhadap perundang- undangan menunjukkan akuntabilitas
laporan keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Semakin banyak
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
menunjukkan informasi keuangan yang disajikan dalam laporan
keuangan dapat diandalkan (BPK, 2013). Artinya semakin banyak
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan rendah.
Menurut Widjajabrata dan Zacchea (2004) Jika tingkat akuntabilitas
laporan keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak korupsi, Artinya
akuntabilitas yang lemah diyakini berpengaruh pada meningkatnya
korupsi. menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang salah satunya
menguji kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-
undangan dapat dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika suatu instansi
pemerintah atau pejabat pemerintah dikatakan telah melakukan
penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara.
Jadi dapat dihipotesiskan bahwa hasil pemeriksaan atas kepatuhan
51
terhadap ketentuan perundang-undangan yang terjadi di pemda maka
berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.
H7 : Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan berpengaruh signifikan terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
8. Hubungan antara Opini Audit dengan Indeks Persepsi Korupsi
Opini yang diberikan oleh BPK menunjukkan tingkat kewajaran
penyajian laporan keuangan terutama kesesuaiannya dengan standar
akuntansi yang ditetapkan oleh pemerintah. Standar akuntansi merupakan
standar kualitas laporan yang menjaga agar informasi yang disajikan
wajar (Ruki, 2012).
Ada empat jenis opini yang dapat diberikan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yaitu:
a) Opini terbaik adalah Wajar Tanpa Pengeculian (Unqualified
Opinion) yang berarti semua informasi yang material dalam laporan
disajikan dengan wajar. Opini ini diberikan karena auditor meyakini
laporan keuangan telah bebas dari kesalahan-kesalahan atau
kekeliruan yang material berdasarkan bukti-bukti audit yang
dikumpulkan. Laporan keuangan dengan opini WTP merupakan
kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang
disajikan. Opini WTP merupakan bentuk apresiasi tertinggi dalam
penilaian pengelolaan laporan keuangan (BPK, 2012). BPK dapat
memberikan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf
penjelas (WTP-DPP) karena keadaan tertentu sehingga
mengharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelasan
dalam LHP sebagai modifikasi dari opini WTP (BPK, 2012).
b) Opini terbaik kedua adalah Wajar Dengan Pengecualian (Qualified
Opinion), yang berarti semua informasi yang material dalam laporan
keuangan disajikan secara wajar, kecuali bagian tertentu yan
dikecualiakn BPK. Opini diberikan karena meskipun ada kekeliruan,
52
namun kesalahan atau kekeliruan tersebut secara keseluruhan tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan.
c) Opini paling buruk adalah Tidak Wajar (Adverse Opinion), terdapat
informasi Material tidak disajikan secara awal yang akan
mengganggu kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Opini
diberikan karena auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti yang
dikumpulkannya bahwa laporan keuangan mengandung banyak
sekali kesalahan atau kekeliruan yang material. Artinya, laporan
keuangan tidak menggambarkan kondisi keuangan secara benar.
d) Opini Tidak Memberikan Pendapat atau Menolak Memberikan
Pendapat (Disclaimer Opinion) yang berarti BPK tidak dapat
menyakini apakah informasi-informasi material yang disajikan
dalam laporan keuangan tersebut wajar atau tidak. Opini diberikan
karena auditor tidak bisa meyakini apakah laporan keuangan benar
atau salah. Ini terjadi karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-
bukti yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan
apakah laporan sudah disajikan dengan benar atau salah (BPK,
2013).
Pemeriksaan keuangan tidak menilai benar atau salahnya suatu
laporan, tetapi wajar tidaknya penyusunan laporan keuangan. Jadi,
sepanjang disajikan secara wajar sesuai standar akuntansi, laporan
keuangan bisa saja mendapat opini WTP meskipun sebenarnya
mengandung korupsi (Prakasa, 2012). Menurut Poernomo (2013) WTP
tidak menjamin pemda bebas korupsi, karena WTP hanya tata kelola
keuangannya baik, dimana baik bukan berarti benar. Menurut Prakarsa
(2012) jika BPK menemukan kejanggalan dalam memeriksa keuangan
negara, BPK dapat mengusut kasus korupsi dan melakukan pemeriksaan
tertentu. Dimana nantinya Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut
dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dijadikan
sebagai tindakan penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian
keuangan Negara (Rampengan, 2013). Opini audit laporan keuangan
53
yang menunjukkan tingkat kewajaran pada akuntabilitas laporan
keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Jadi, dapat dihipotesiskan
opini audit berpengaruh signifikan pada tingkat korupsi.
H8 : Opini Badan Pemeriksa Keuangan daerah berpengaruh
signifikan terhadap Indeks Persepsi Korupsi
54
D. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2.1
Kerangka Penelitan
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah
Hasil Audit Laporan Keuagan Pemerintah Daerah
Transparansi Internasional
Pertumbuhan Ekonomi
Indeks Pembangunan Manusia
Rasio Kemandirian Daerah
Rasio Belanja Modal
Rasio Belanja Operasi
Satuan pengendalian Internal
Indeks Persepsi
Korupsi
Kepatuhan Perundang-udangan
Uji Normalitas
Opini BPK
Analisis Regresi Tobit Uji Parsial
Uji Simultan
Analisis dan Pembahasan
Kesimpulan
55
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru di
dasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris
yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian,
belum jawaban yang empiris (Sugiyono, 2011).
Hipotesis dalam penelitian ini yang berkaitan dengan ada dan tidaknya
pengaruh independen terhadap dependen. Ho merupakan hipotesis yang
menunjukan tidak adanya pengaruh signifikan, sedangkan Ha adalah hipotesis
penelitian yang menunjukan adanya pengaruh signifikan. Adapun perumusan
hipotesis atas pengujian yang dilakukan disini adalah:
1. Hipotesis secara parsial dari masing-masing variabel yang diteliti
terhadap kepuasan pelanggan sebagai berikut:
a. Ho : 1 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan
ekonomi dengan indeks persepsi korupsi
Ha1: 1 0 ada pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan
ekonomi dengan indeks persepsi korupsi.
b. Ho : 2 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara indeks
pembangunan manusia dengan indeks persepsi korupsi.
Ha2: 2 0 ada pengaruh yang signifikan antara indeks
pembangunan manusia dengan indeks persepsi korupsi.
56
c. Ho : 3 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara rasio
kemandirian daerah dengan indeks persepsi korupsi.
Ha3 : 3 0 ada pengaruh yang signifikan antara rasio kemandirian
daerah dengan indeks persepsi korupsi
d. Ho : 4 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara rasio belanja
modal dengan indeks persepsi korupsi.
Ha4 : 4 0 ada pengaruh yang signifikan antara rasio belanja modal
dengan indeks persepsi korupsi
e. Ho : 5 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara rasio belanja
operasi dengan indeks persepsi korupsi.
Ha5 : 5 0 ada pengaruh yang signifikan antara rasio belanja
operasi dengan indeks persepsi korupsi
f. Ho : 6 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara sistem
pengenali internal dengan indeks persepsi korupsi.
Ha6 : 6 0 ada pengaruh yang signifikan antara sistem pengendali
internal dengan indeks persepsi korupsi
g. Ho : 7 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepatuhan
perundang-undangan dengan indeks persepsi korupsi.
Ha7 : 7 0 ada pengaruh yang signifikan antara kepatuhan
perundang-undangan dengan indeks persepsi korupsi
h. Ho : 8 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan antara opini badan
pemeriksa keuangan dengan indeks persepsi korupsi.
57
Ha8 : 8 0 ada pengaruh yang signifikan antara opini badan
pemeriksa keuangan dengan indeks persepsi korupsi
2. Hipotesis pengaruh secara simultan (bersama-sama):
a. Ho : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 = 0 tidak ada pengaruh yang
signifikan antara pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan
manusia, rasio kemandirian daerah, rasio belanja modal, rasio
belanja operasi, sistem pengendali internal, kepatuhan perundangan-
undangan dengan indeks persepsi korupsi
b. Ha : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 0 ada pengaruh yang signifikan
antara antara pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia,
rasio kemandirian daerah, rasio belanja modal, rasio belanja operasi,
sistem pengendali internal, kepatuhan perundangan-undangan
dengan indeks persepsi korupsi
58
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kasualitas yang digunakan untuk
menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu Indek Persepsi Korupsi
terhadap variabel bebas yaitu Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan
Manusia, Rasio Kemandirian Daerah, Rasio Belanja Operasi, Rasio Belanja
Modal, Sistem Pengendalian Intern, Kepatuhan Terhadap Ketentuan
Perundang-undangan dan Opini Badan Pemeriksa Keuangan. Populasi
penelitian ini adalah data Kota di Indonesia telah pada tahun 2008, 2011,
2015 dan 2017.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara purposive sampling,
yaitu salah satu teknik pengambilan sampel non probabilistik yang dilakukan
berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu (Indiantono dan Bambang,
2002) dengan kriteria sebagai berikut
1. Hasil survei Transparancy International Indonesia tahun 2008, 2010,
2015 dan 2017
2. Pemerintah daerah di Indonesia yang mempublikasikan laporan
keuangan pada tahun 2008, 2010, 2015 dan 2017 yang telah diaudit oleh
BPK
3. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah
daerah tahun 2008, 2010, 2015 dan 2017
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan Data adalah keterangan mengenai variabel pada sejumlah
objek (Purwanto, 2011). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang diambil dari BPK, sedangkan tingkat korupsi di
pemerintah daerah diambil dari situs Laporan Tahunan KPK RI.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara dokumentasi
59
dan studi pustaka. Dokumentasi merupakan proses perolehan dokumen
dengan mengumpulkan dan mempelajari dokumen tersebut. Proses perolehan
dokumen dilakukan melalui komunikasi elektronik (e-mail) dengan pihak
lembaga terkait, publikasi website lembaga terkait dan kunjungan langsung
ke Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia untuk mengambil data yang mensyaratkan diambil secara
langsung (data Laporan Hasil Pemeriksaan atas LKPD 2012 dan 2013 oleh
BPK RI). Data kedua adalah data kasus korupsi kabupaten tahun 2012 dan
2013. Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur yang
relevan dengan penelitian. Selain itu peneliti juga melakukan penelitian
kepustakaan dengan memperoleh data yang berkaitan dengan pembahasan
yang sedang diteliti melalui berbagai literatur seperti buku, jurnal, skripsi
maupun situs dari internet. Ini dikarenakan kepustakaan merupakan bahan
utama dalam penelitian data sekunder (Indriantoro dan Bambang, 2002).
D. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
teknik analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan dengan cara
menganalisis suatu permasalahan yang diwujudkan dengan kuantitatif. Dalam
penelitian ini, analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengkuantifikasi
data-data penelitian sehingga menghasilkan informasi yang dibutuhkan.
1. Uji Normalitas
Uji normaitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi anatara variabel dependen dan variabel independen mempunyai
distribusi normal atau tidak. Proses uji normalitas data dilakukan dengan
melihat histogram data. Dengan hipotesis H0 berdistribusi normal dan H1
tidak berdistribusi normal, dengan daerah penolakan p-value <
menolak H0.
2. Uji Regresi
Pada sebuah penelitian, kadang muncul permasalahan-permasalahan,
di antaranya adalah ketika data variabel respon tidak lengkap atau sering
disebut tersensor. Data tersensor ini dapat muncul disebebkan adanya
60
kehilangan informasi yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kontrol,
ketidakinginan beberapa unit sampel untuk menyediakan informasi yang
dibutuhkan, serta kegagalan pihak investigator untuk menghimpun
informasi yang benar dan lain sebagainya.
Menurut Greene (2000), variabel respon yang mempunyai sifat
campuran antara diskrit (untuk data sampel bernilai nol) dan kontinyu
(untuk data tidak bernilai nol) akan dikategorikan sebagai data tersensor.
Pada model regresi dengan variabel tersensor yang seperti ini, akan
menghasilkan error yang tidak diketahui distribusinya dengan rata-rata
error-nya tidak sama dengan nol, maka estimator standar model kuadrat
terkecil (OLS) akan menghasilkan estimasi yang bias.
Berdasarkan hal tersebut, apabila kebanyakan penelitian lain
menggunakan metode OLS estimasi sederhana, maka dalam penelitian
ini digunakan model Tobit dengan censored regression models
digunakan untuk memperkirakan persamaan regresi dengan
menggunakan data cross section untuk setiap variabel dalam model.
karena variabel dependen dalam penelitian ini yaitu Indeks Persepsi
Korupsi mempunya batas pada range tertentu (berada diantara o dampai
10), maka apabila menggunakan mtode OLS akan mengakibatkan bias
dan inkonsistensi dalam mengestimasi model regresi (Gujarati, 1999;
Kennedy, 2006; Wooldridge, 2001 dalam Yilmaz dan Akif, 2011). Oleh
karena itu, penelitian ini cenderung menggunakan Censored Regression
Model daripada OLS.
Dalam menduga parameter regresi Tobit, digunakan Maxium
Likelihood Estimation (MLE). Berdasarkan Hosmer dan Lameshow
(2000), dengan menggunakan metode ini diperoleh penduga yang
konsisten dan efisien untuk sampel yang berukuran besar. MLE dipilh
dalam mengestimasi koefisien model regresi dengan tujuan untuk
mencari parameter yang memberikan kemungkinan (likelihood) yang
paling besar untuk mendapatkan data yang teroservasi sebagai estimator.
61
Pada dasarnya, pengujian hipotesis menggunakan regeresi model
Tobil hampir sama dengan uji regresi OLS. Perbedaannya terletak pada
penggunaan uji statistiknya. Dalam regresi OS digunakan uji-t, dengan
membandingkan nilai tstatistik dengan nilai ttabel dan melihat p-value, dalam
melihat pengaruh secara parsial variabel independen terhadap variabel
dependen. Pada regresi Model Tobil, uji-t tidak berlaku menggunakan
uji-z, yaitu membandingkan nilai zztatistik dengan ztabel serta p-value
(Akbar, 2013)
Hipotesis yang dipakai merupakan jenis hipotesis 2 arah. Untuk itu,
guna menjawab estimasi hipotesia yang diajukan, peneliti menggunakan
dan membandingkan nilai zstatistik dengan ztabel kemudian melihat p-value
yang diterima sebesar 0,05 (5 persen)
Penelitian ini menggunakan bantuan e-views 9 dan Microsoft Excel
2013 dalam melakukan pengolahan data. Penggunaan e-views 9 adalah
untuk perhitungan statistik deskriptif, pengujian estimasi model regresi
dan pengujian hipotesis. Sementara itu untuk membantu komputasi dan
deskripsi atas variabel dependen dan independen memakai Microsoft
Excel 2013.
3. Uji Parsial
Uji parsial (signifikansi koefisien) digunakan uji Wald. Hosmer dan
Lameshw (2000) menuliskan nilai uji Wald mengikuti sebaran normal
dengan melihat p-value dan uji tersebuit. Apabila p-value dari Wald Test
lebih besar dari
4. Uji Simultan (Uji Signifikansi Model)
Tes Serentak digunakan untuk menentukan apakah variabel
independen secara bersama-sama memiliki hubungan yang signifikan
dengan variabel dependen. tes ini dilakukan dengan menggunakan
Likelihood Ratio Statistik, sebagaimana Uji F pada regresi linier. Jika
nilai LR Statistik (Probability Likelihood Ratio) lebih kecil dari level
kepercayaan (convidence level), maka variabel independen secara
62
bersama-sama memiliki hubungan yang signifikan dengan probabilitas
terjadinya korupsi disuatu pemerintah daerah.
E. Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Ekonomi (PE),
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Rasio Kemandirian Daerah
(RKD), Rasio Belanja Operasi (RBO), Rasio Belanja Modal (RBM),
Sistem Pengendalian Intern (SPI), Kepatuhan Terhadap Ketentuan
Perundang-undangan (UUD) dan Opini Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK).
a. Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Halim dan Kusufi (2012) rasio pertumbuhan mengukur
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah
dicapai dari periode ke periode berikutnya
Rasio pertumbuhan mengukur kemampuan daerah dalam
meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai. Dengan mengetahui
pertumbuhan masing-masing kelompok sumber pendapatan dan
pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi yang
mendapat perhatian (Herningsih, 2013)
Keterangan :
p = tahun
b. Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia didefinisikan sebagai “expanding the
choices people have to lead lives that they value” (Human
Development Report, 2001). Pilihan hidup yang semakin banyak
dapat dicapai hanya dengan penciptaan kemampuan manusia yang
dapat ditingkatkan melalui pengembangan sumber daya manusia,
63
misalnya melalui tingkat kesehatan dan gizi, pendidikan, dan
pelatihan ketrampilan yang memedai. Melalui Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang diterbitkan oleh Program Pembangunan PBB,
pembangunan manusia mengandung 3 aspek penting dari
pembangunan sosial ekonomi yaitu kesehatan, pendidikan dan
standar kelayakan hidup. IPM didasarkan pada tiga indikator, yang
semuanya diberikan bobot yang sama (Human Development Report,
2001), yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Umur panjang, yang diukur dengan angka indeks harapan hidup
(lahir)
2) Tingkat pendidikan, dimana komponon pengetahuan dikur
dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah
(berdasarkan data Susenas)
3) Standar hidup layak dan akses terhadap sumber daya diukur
dengan suatu indeks yang menghitung PDB riil per kapita
melalui paritas daya beli (PPP). Sebagai catatan, indikator PDB
per kapita riil yang dipakai oleh UNDP merupakan nilai yang
telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai ukuran
komponen tersebut mengingat ketidaktersediaan indikator lain
yang lebih baik dalam rangka melakukan perbandingan antar
negara.
c. Rasio Kemandirian Daerah
Menurut Halim dan Kusufi (2012) rasio kemandirian
menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai
sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber
keuangan yang diperlukan daerah.
Kemandirian daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan total
pendapatan transfer. Rumusan rasio kemandirian daerah yaitu :
64
Keterangan :
i = Pemerintah Kabupaten/Kota
PAD= Pendapatan Asli Daerah
Tabel 3.1
Kriteria Rasio Kemandirian
Rasio Kriteria Kemampuan Daerah
> 50 % Sangat Baik
> 40 % - 50 % Baik
> 30 % - 40 % Cukup
> 10 % - 20 % Kurang
0 – 10 % Sangat Kurang
Sumber : Halim, 2001
d. Rasio Belanja Operasi
Menurut Halim dan Kusufi (2012) rasio aktivitas yaitu rasio
yang menggambarkan bagaimana pemda memprioritaskan alokasi
dananya pada belanja operasi secara optimal. Rasio aktivitas belanja
operasi membandingkan total belanja rutin (operasi) terhadap total
APBD (Halim dalam Heriningsih, 2013). Semakin tinggi persentase
dana yang dialokasikan untuk belanja rutin (belanja operasional)
berarti persentase belanja pembangunan (belanja modal) yang
digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi
masyarakat cenderung semakin kecil (Susantih dan Saftiana, 2010).
Rasio aktivitas belanja operasi dapat diformulasikan sebagai berikut
:
Keterangan :
i = Pemerintah Kabupaten/Kota
65
e. Rasio Belanja Modal
Rasio aktivitas belanja modal ini membandingkan total belanja
modal terhadap total APBD. Rasio aktivitas menggambarkan
bagaimana pemda memprioritaskan alokasi dananya pada belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin (belanja operasional) berarti
persentase belanja pembangunan (belanja modal) yang digunakan
untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat
cenderung semakin kecil (Susantih dan Saftiana, 2010). Rasio
aktivitas tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut :
Keterangan :
i = Pemerintah Kabupaten/Kota
f. Sistem Pengendalian Intern
Penelitian ini menguji pengaruh dari kelemahan sistem
pengendalian intern laporan keuangan pemerintah daerah terhadap
tingkat korupsi. Hasil evaluasi Sistem Pengendalian Intern (SPI) oleh
BPK menunjukkan kasus-kasus kelemahan sistem pengendalian
intern yang dapat dikelompokkan sebagai kelemahan sistem
pengendalian akuntansi dan pelaporan, kelemahan sistem
pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, serta
kelemahan struktur pengendalian intern. Variabel kelemahan sistem
pengendalian intern LKPD diukur dengan menghitung jumlah kasus
kelemahan system pengendalian intern atas LKPD yang dilaporkan
BPK. Kelemahan SPI di ukur dengan menggunakan jumlah temuan
pelanggaran atas SPI yang diungkapkan dalam laporan hasil
pemeriksaan (LHP) dari BPK. (Heriningsih, 2014).
g. Kepatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah
mengenai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
66
mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi
kerugian daerah, kekurangan penerimaan, administrasi,
ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan. Variabel kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan LKPD diukur
dengan menghitung jumlah kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan atas LKPD yang dilaporkan BPK.
Penelitian ini menguji pengaruh Ketaatan Terhadap Peraturan
Perundang-Undangan terhadap tingkat korupsi. Ketaatan terhadap
Peraturan Perundang-Undangan di ukur dengan menggunakan
jumlah temuan pelanggaran atas ketaatan terhadap undang-undang
yang diungkapkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) dari BPK
(Heriningsih, 2014).
h. Opini Badan Pemeriksa Keuangan
Penelitian ini menguji pengaruh dari opini audit laporan
keuangan pemerintah daerah terhadap indeks persepsi korupsi. Opini
Audit merupakan variabel independen yang diukur mengunakan
variabel dummy. Laporan audit independen merupakan sarana bagi
auditor untuk menyatakan pendapatnya, opini auditor yang
merupakan pernyataan kewajaran, dalam semua hal yang material
sesuai dengan kriteria standar akuntansi pemerintah.
Variabel ini diukur dengan menggunakan variabel dummy,
Kategori unqualified yang terdiri dari Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP/unqualified opinion) diberi nilai dummy 1 dan kategori non
unqualified yang terdiri dari Wajar dengan Pengecualian
(WDP/Qualified opinion), Tidak Wajar (TW/Adverse opinion) dan
Tidak Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer opinion) diberi nilai
dummy 0 (Heriningsih, 2013).
2. Variabel Dependen
Variabel terikat (variabel dependen) merupakan variabel yang
menjadi perhatian utama peneliti dan merupakan variabel yang
67
dipengaruhi variabel lain baik secara positif maupun negatif (Sekaran,
2006). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat korupsi
pemerintah daerah.
Di Indonesia terdapat bebeapa pengukuran yang berkaitan dengan
korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain Survei
Integritas (KPK), Survei Perilaku Anti Korupsi (BPS), Indonesia
Goverment Index (Kemitraan), dan Indeks Persepsi Korupsi Indonesi
(IPK) yang dikeluarkan oleh Transparancy International Indonesia(TII).
IPK inilah yang menjadi salah satu alat ukur yang populer yang menilai
dan memeringkat negara, dan kota-kota di Indonesia, bedasarkan
persepsi tingkat korupsi. Indeks ini menggunakan kombinasi dari
beberapa survei dan penelitian mengenai korupsi yang dikumpulkan dari
beberapa sumber terpercaya.
Dalam penelitian ini, tingkat korupsi pemerintah daerah yang diukur
dengan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menjadi variabel terikat
(dependent variable) IPK Indonesia dalam menghitung tingkat korupsi
memakai metode survei persepsi dengan pendekatan kuantitatif, dimana
IPK merupakan rata-rata dari total pengukuran kota-kota yang diteliti dan
kemudian disajikan dalam bentuk skor. Rentang indeks korupsi ini
adalah antara 0 – 10. dengan 0 dipersepsikan sebagai korup dan 10
berarti sangat bersih dari korupsi.
Indikator-indikator pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan
manusia, rasio kemandirian daerah, rasio belanja operasi, rasio belanja
modal, sitem pengendalian intern, kepatuhan terhadap perundang-
undangan dan Opini BPK tersebut selanjutnya dimasukan ke dalam
model ekonometrika guna melengkapi variabel pengendali, yaitu Indeks
Persepsi Korupsi. Model ekonometrik yang dikembangan dalam studi ini
adalah
68
dimana :
IPK = Indeks Persepsi Korupsi
PE = Pertumbuhan Ekonomi
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
RKD = Rasio Kemandirian Daerah
RBO = Rasio Belanja Operasi
RBM = Rasio Belanja Modal
SPI = Sistem Pengendalian Intern
UUD = Kepatuhan terhadap Perundang-undangan
BPK = Opini Badan Pemeriksa Keuangan
e = Random error yang diasumsikan bersifat homoskedastistik
terdistribusi secara normal dan independen
0 = Intercept yang menunjukan endowment Indeks Persepsi
Korupsi
n = Estimasi parameter nilai variabel pengendali
69
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Tahun 2008,
2011, 2015 dan 2017
Populasi dalam penelitian ini adalah laporan keuangan pemerintah
daerah tahun anggaran 2008, 2011, 2015 dan 2017 yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berdasarkan Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2004 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa
Neraca Daerah, Laporan Realisasin Anggaran, Laporan Arus Kas serta
Catatan atas Laporan Keuangan yang telah disusun oleh pemerintah
daerah sebagai bentuk pertanggung jawaban Pemerintah Daerah selama
satu tahun anggaran sebagimana diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 33 Tahun2004.
Hasil pemeriksaan keuangan BPK disajikan dalam tiga kategori
yaitu opini, SPI, dan pelanggaran terhadap kepatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam LHP
(Laporan Hasil Pemeriksaan) dan dinyatakan dalam sejumlah temuan.
Setiap temuan dapat terdiri atas satu atau lebih permasalahan kelemahan
SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang
mengakibatkan kerugian negara/ daerah, potensi kerugian negara/daerah,
kekurangan penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan,
dan ketidakefektifan. Setiap permasalahan merupakan bagian dari
temuan dan di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) ini
disebut dengan istilah “kasus”. Namun, istilah kasus di sini tidak selalu
berimplikasi hukum atau berdampak finansial.
Untuk mewujudkan syarat penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah yang baik dan mematuhi prinsip transparansi dan
akuntabilitas, maka Pemerintah telah melakukan berbagai pembaharuan
70
dan regulasi dibidang keuangan yang secara Nasional telah diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) pasal 4 ayat (1) Pemerintah
menerapkan SAP Berbasis Akrual, lebih lanjut diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) penerapan SAP berbasis akrual. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP
berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual.
Penelitian ini menggunakan data selama empat tahun pada tahun
anggaran 2008, 2010, 2015 dan 2017. Penggunaan periode tersebut
karena memberikan data yang tersedia dan dapat memberikan gambaran
pelksanaan secara bertahap dari peraturan pemerintah Nomor 17 tahun
2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang dilaksanakan
secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi
penerapan SAP berbasis akrual.
Tabel 4.1 menjadikan tahapan seleksi sampel berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan
Tabel 4.1
Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria
Proses Pengambilan Sampel Jumlah Kabupaten
dan Kota
Jumlah Pemda tingkat kabupaten/kota di
Indonesia 495
Kota dan kabupaten yang memiliki Indeks
Persepsi Korupsi 50
Sampel kabupaten dan kota di Indonesia yang
memiliki IPK selama tahun 2008 – 2017, serta
data tersedia lengkap dari BPK dan BPS
11
Jumlah pengamatan (tahun) 4
Jumlah sampel yang di observasi 44
Sumber: data diolah, 2018
Jumlah Pemda tingkat kabupaten/kota yang ada di Indonesia selama
periode penelitian berjumlah 495 Pemda. Dari 495 Pemda tersebut
71
terdapat XX LKPD yang tidak memuat selama periode penelitian.
Sehingga Pemda yang dijadikan sampel adalah sebanyak xxx Pemda.
Sedangkan total yang dijadikan sampel penelitian adalah 11 Pemda
dikalikan 4 tahun pengamatan, sehingga sampel penelitian berjumlah 44.
2. Data Korupsi Kabupaten Kota
Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif,
dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas
dari kekuasaan manapun.
Tabel 4.2
Nilai Indeks Persepsi Korupsi 11 Kabupaten/Kota tahun 2008,
2010, 2015 dan 2017
No Kota Tahun
2008 2010 2015 2017
1 BANJARMASIN 51 52 68 64
2 SURABAYA 43 51 65 61
3 SEMARANG 46 50 60 59
4 PONTIANAK 38 45 58 67
5 MEDAN 38 42 57 37
6 JAKARTA 41 44 57 74
7 MANADO 40 54 55 63
8 PADANG 46 50 50 63
9 MAKASSAR 47 40 48 53
10 PEKANBARU 36 36 42 66
11 BANDUNG 37 50 39 58
Sumber: data diolah, 2018
3. Statistik Deskriptif
Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif diperoleh sebanyak 44 data
observasi yang berasal dari perkalian periode penelitian 4 tahun (2008,
72
2011, 2015 dan 2017) dengan jumlah kabupaten/kota (11 kabupaten
kota).
Tabel 4.3
Statistik Deskriptif
IPK PE IPM RKD RBO RBM SPI UUD BPK
Mean 50.93 6.59 77.94 0.49 0.78 0.33 15.68 18.68 0.34
Median 50.00 6.23 77.61 0.30 0.78 0.23 13.00 15.00 0
Maximum 74 10.93 82.01 2.31 0.88 0.83 69.00 98.00 1
Minimum 36 3.85 72.08 0.10 0.64 0.12 3.00 4.00 0.00
Std. Dev. 10.17 1.42 2.20 0.49 0.06 0.23 12.72 17.41 0.47
Observations 44 44 44 44 44 44 44 44 44
Sumber : data diolah, 2018
Berdasarkan Tabel 4.2, hasil analisis dengan menggunakan statistik
deskriptif dijelaskan sebagai berikut
a) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap indeks persepsi korupsi
menunjukan nilai minimum sebesar 36 yang diperoleh Kota
Pekanbaru (2008 dan 2010) dan maksimum sebesar 74 yang
diperoleh kota Jakarta (2017). Nilai rata-rata sebesar 50.93 dengan
standar deviasi 10.17 yang menunjukan kabupatan/kota yang rata-
rata 50 persen kota yang tidak banyak melakukan korupsi sedangkan
kota-kota lainya masih banyak melakukan korupsi
b) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap pertumbuhan ekonomi
menunjukan nilai minimum sebesar 3.85 yang diperoleh Kota
Semarang (2008) dan nilai maksimum sebesar 10.93 yang diperoleh
Kota Manado. Nilai rata-rata sebesar 6.59 dengan standar deviasi
1.42 yang menunjukan bahwa rta-rata rasio pertumbuhan adalah
sebesar 6.59 persen atau kemampuan daerah dalam mempertahankan
dan meningkatkan keberhasilan keuangan yang telah dicapai dari
periode ke periode berikutnya cenderung tinggi.
c) Hasil analisis statistik deskriptif indeks pembangunan manusia
menunjukan nilai minimum sebesar 72.08 yang diperoleh Kota
Pontianak (2008) dan nilai maksimum sebesar 82.01 yang diperoleh
73
Kota Semarang (2017). Nilai rata-rata sebesar 77.94 dengan standar
deviasi 2.20 yang menunjukan indeks pembangiunan manusia di
beberapa kota sudah menunjukan hasil yang baik.
d) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap rasio kemandirian daerah
menunjukan nilai minimum sebesar 0.11 yang diperoleh Kota
Banjarmasin (2008 dan 2011) dan nilai maksium sebesar 2.31 yang
diperoleh Kota Jakarta (2017). Nilai rata-rata sebesar 0.49 dengan
standar deviasi sebesar 0.49 menunjukan bahwa rata-rata rasio
kemandirian pemda kabupaten/kota adalah 50 persen atau kriteria
kemampuan pemda cukup dalam membiyai sendirin kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber keuangan yang
diperlukan daerah.
e) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap rasio belanja operasi
menunjukan nilai minimum 0.65 sebesar yang diperoleh Kota
Makasar (2017) nilai maksimum sebesar 0.88 yang diperoleh Kota
Semarang (2015 dan 2017). Nilai rata-rata sebesar 0.77 dengan
standar deviasi 0.06 yang menunjukan bahwa rata-rata rasio aktivitas
belanja operasional pemda kabupaten/kota adalah sebesar atau
tingginya persentase dana yang dialokasikan untuk belanja
operasional daerah.
f) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap rasio belanja modal
menunjukan nilai minimum sebesar 0.12 yang diperoleh Kota
Semarang (2008 dan 2010) dan Kota Padang (2010) nilai maksimum
sebesar 0.83 yang diperoleh Kota Bandung (2017) dan Kota
Banjarmasin (2017). Nilai rata-rata sebesar 0.334 dengan standar
deviasi 0.239 yang menunjukan bahwa rata-rata kemandirian adalah
33.4 persen atau persentase belanja modal yang digunakan untuk
menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung
kecil
74
g) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap Sistem Pengendalian
Internal menunjukan nilai minimum sebesar 3 yang diperoleh Kota
Manado (2008) dan nilai maksimum sebesar 69 diperoleh Kota
Jakarta (2017). Nilai rata-rata sebesar 16.06 dan standar deviasi
12.84. menunjukan bahwa rata-rata kelemahan SPI adalah 16.06
kasus atau sekitar 16 kasus kelemagan SPI yang terdapat disetiap
pemda kabupaten/kota
h) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap kepatuhan terhadap
perundang-undangan menunjukan nilai minimum 4 sebesar yang
diperoleh Kota Banjarmasin (2015) dan nilai maksimum sebesar 98
yang diperoleh Kota Jakarta (2008). Nilai rata-rata sebesar 18.68
dengan standar deviasi 17.41 menunjukan bahwa rata-rata
ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan adalah 18.68 atau
sekitar 19 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang terdapat disetiap pemda kabupaten/kota
i) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap opini BPK menunjukan
nilai minimum sebesar 0 dan maksimum sebesar 1, dengan rata-rata
sebesar 0.34. Nilai rata-rata sebesar 0.34 menunjukan
kabupatan/kota yang mendapat opnini audit WTP dan WTP-DPP
dengan kode 1 sebanyak 4 pemda kabupaten/kota. Sedangkan 7
pemda kabupaten/kota mendapat opini selain WTP dan WTP-DPP
B. Hasil Analisis Data Penelitian
1. Uji Normalitas Data
Langkah awal dalam melakukan uji regresi Model Tobit adalah
menguji kenormalan data. Dengan hipotesia H0 berdistribusi normal dan
H1 tidak berdistribusi normal, dengan daerah penolakan p-value <
menolak H0. Hasil uji normalitas data adalah sebagai berikut:
75
Gambar 4.1
Histogram Data
0
2
4
6
8
10
12
-6 -4 -2 0 2 4 6 8 10
Series: ResidualsSample 1 44Observations 44
Mean -0.162646Median -0.382151Maximum 9.732686Minimum -6.550437Std. Dev. 3.701172Skewness 0.545739Kurtosis 2.977811
Jarque-Bera 2.184995Probability 0.335378
Sumber : data diolah 2018
Berdasarkan gambar 4.1 nilai probability adalah 0.805230, yang
artinya p-value > , menerima H0. Sehingga data berdistribusi normal..
2. Hasil Estimasi Regresi Tobit
a. Pengujian Model
Telah dijelaskan pada Bab 3 bahwa pemelihan regresi Model
Tobil yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
didasar dengan pertimbangan bahwa variabel dependen (Y)
mempunyai sifat kualitatif, yaitu skor berupa Indeks Persepsi
Korupsi dari hasil survei yang berada dalam range skor antara 0
sampai dengan 10. Berdasarkan batasan dari variabel dependen ini
maka akan lebih tepat apabila digunkana regeresi Model Tobil
dibandingkan menggunakan regresi OLS. Sebagai alat untuk analisis
regresi Model Tobil digunaka EViews 9 yang menunjukan hasil
estimasi model sebagai berikut
76
Tabel 4.4
Hasil Analisis Regresi Model Tobit
Dependent Variable: IPK
Method: ML - Censored Normal (TOBIT) (Newton-Raphson /
Marquardt
steps)
Date: 02/08/19 Time: 15:52
Sample: 2008 2017
Included observations: 44
Left censoring (value) at zero
Convergence achieved after 5 iterations
Coefficient covariance computed using observed Hessian
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
PE -1.128966 0.767130 -1.471675 0.1411
IPM -0.787291 0.661952 -1.189348 0.2343
RKD 3.777540 3.788730 0.997047 0.3187
RBM 10.78590 5.111622 2.110074 0.0349
RBO 7.727865 20.92410 0.369328 0.7119
SPI 0.305648 0.146596 2.084972 0.0371
UUD -0.235144 0.092500 -2.542100 0.0110
BPK 7.640047 2.563426 2.980405 0.0029
C 105.2357 46.12353 2.281606 0.0225
Error Distribution
SCALE:C(10) 6.626868 0.706426 9.380832 0.0000
Mean dependent var 50.93182 S.D. dependent var 10.17612
S.E. of regression 7.538678 Akaike info criterion 7.074687
Sum squared resid 1932.277 Schwarz criterion 7.480185
Log likelihood -145.6431 Hannan-Quinn criter. 7.225065
Avg. log likelihood -3.310071
Left censored obs 0 Right censored obs 0
Uncensored obs 44 Total obs 44
Sumber : data diolah 2018
dimana :
77
IPK = Indeks Persepsi Korupsi
PE = Pertumbuhan Ekonomi
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
RKD = Rasio Kemandirian Daerah
RBO = Rasio Belanja Operasi
RBM = Rasio Belanja Modal
SPI = Sistem Pengendalian Intern
UUD = Kepatuhan terhadap Perundang-undangan
BPK = Opini Badan Pemeriksa Keuangan
e = Random error
Hasil pengujian terhadap koefisien regresi menghasilkan model
sebagai berikut :
1) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PE) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Variabel PE memberikan hasil koefisien regresi negatif sebesar
– 1,128 menunjukan bahwa hubungan antara Pertumbuhan
Ekonomi dengan indeks korupsi negatif. Kenaikan pada tingkat
pertumbuhan ekonomi menyebabkan probabilitas korupsi
meningkat (nilai indeks mendekati angka 0)
2) Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel IPM memberikan hasil koefisien regresi negatif sebesar
–0,787 yang menunjukan hubungan antara Indeks Pembangunan
Manusia dengan indeks korupsi adalah negatif. Kenaikan pada
indeks pembangunan manusia akan menyebabkan probabilitas
korupsi di pemerintahan daerah akan meningkat (nilai indeks
korupsi akan mendekati 0)
3) Pengaruh Rasio Kemadirian Daerah (RKD) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
78
Variabel RKD memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 3.777 yang menunjukan hubungan antara Rasio
Kemandirian Daerah dengan indeks korupsi positif. Peningkatan
rasio kemandirian daerah akan meningkatkan indeks korupsi
atau probabilitas korupsi akan menurun.
4) Pengaruh Rasio Belanja Operasi (RBO) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel RBO memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 7.727 yang menunjukan hubungan antara Rasio Belanja
Operasi dengan indeks korupsi positif. Peningkatan rasio belanja
operasi akan mengakibatkan indeks korupsi meningkat atau
probabilitas korupsi akan menurun.
5) Pengaruh Rasio Belanja Modal (RBM) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Variabel RBM memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 10,789 yang menunjukan hubungan antara Rasio
Belanja Modal dengan indeks korupsi positif. Peningkatan rasio
belanja modal akan mengakibatkan indeks korupsi meningkat
atau probabilitas korupsi akan menurun.
6) Pengaruh Sisten Pengendali Intern (SPI) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel SPI memberikan hasil koefiesien regresi positif sebesar
0.305 yang menunjukan hubungan antara Sistem pengendalian
Internal dengan indeks korupsi positif. perbaikan sistem
pengendalian internal akan mengakibatkan indeks korupsi
meningkat atau probabilitas korupsi akan menurun.
7) Pengaruh Kepatuhan terhadap Perundang-undangan (UUD)
terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel UUD memberikan hasil koefisien regresi negatif
sebesar –0.235 yang menunjukan hubungan antara Kepatuah
terhadap perundang-undangan dengan indeks korupsi adalah
79
negatif. Kenaikan pada kepatuhan terhadap perarturan
perundang-undangan akan menyebabkan probabilitas korupsi di
pemerintahan daerah akan meningkat (nilai indeks korupsi akan
mendekati 0)
8) Pengaruh Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel BPK memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 7.640 yang menunjukan hubungan antara Opini BPK
dengan indeks korupsi positif. Peningkatan opini BPK akan
meningkatkan indeks korupsi atau probabilitas korupsi akan
menurun
b. Uji Parsial (Uji Wald)
Dalam penelitian menggunakan regresi Model Tobit, dilakukan
pengujian pengaruh masing-masing variabel bebas secara parsial dengan
menggunakan Uji Wald. Berdasarkan tabel 4.5, nilai p-value yang kurang
dari = 0,05 dapat disimpulkan sebagai variabel yang signifikan.
Tabel 4.5
Uji Parsial (Uji Wald)
Variabel Estimasi Wald p-value Keputusan
PE -1.128966 0,1503 0.1411 Ha ditolak
IPM -0.787291 0.2425 0.2343 Ha ditolak
RKD 3.777540 0.3258 0.3187 Ha ditolak
RBM 10.78590 0.0423 0.0349 Ha diterima
RBO 7.727865 0.7142 0.7119 Ha ditolak
SPI 0.305648 0.0447 0.0371 Ha diterima
UUD -0.235144 0.0157 0.0110 Ha diterima
BPK 7.640047 0.0053 0.0029 Ha diterima
Sumber : data diolah 2018
80
Berdasarkan Uji Wald diperoleh hasil sebagai berikut
1) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PE) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel PE sebesar 0.1503 dengan nilai p-value
0.1411 lebih besar dari pada 0.05 dan hipotesis Ha1 ditolak maka
variabel Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan secara
parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi.
2) Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel IPM sebesar 0.2425 dengan nilai p-value
0.2343 lebih besar dari pada 0.05 dan hipotesis Ha2 ditolak maka
variabel Indeks Pembangunan Manusia tidak berpengaruh signifikan
secara parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi
3) Pengaruh Rasio Kemadirian Daerah (RKD) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel PE sebesar 0.3258 dengan nilai p-value
0.3187 lebih besar dari pada 0.05 dan dan hipotesis Ha3 ditolak maka
variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan secara
parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi
4) Pengaruh Rasio Belanja Modal (RBM) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel RBM sebesar 0.0423 dengan nilai p-value
0.0349 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis Ha4 diterima maka variabel
Rasio Belanja Modal berpengaruh signifikan secara parsial dengan
Indeks Persepsi Korupsi
5) Pengaruh Rasio Belanja Operasional (RBO) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel RBO sebesar 0.7142 dengan nilai p-value
0.7119 lebih besar dari pada 0.05 hipotesis Ha5 ditolak maka variabel
Rasio Belanja Operasional tidak berpengaruh signifikan secara parsial
dengan Indeks Persepsi Korupsi.
81
6) Pengaruh Sistem Pengendali Intern (SPI) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel SPI sebesar 0.0447 dengan nilai p-value
0.0371 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis Ha6 diterima maka variabel
Sistem Pengendali Intern berpengaruh signifikan secara parsial
dengan Indeks Persepsi Korupsi.
7) Pengaruh Kepatuhan terhadap Perundang-undangan (UUD) terhadap
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel UUD sebesar 0.0157 dengan nilai p-value
0.0110 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis Ha7 diterima maka variabel
kepatuhan terhadap Peraturan Perundangan-undangan berpengaruh
signifikan secara parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi
8) Pengaruh Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel BPK sebesar 0.0053 dengan nilai p-value
0.0029 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis Ha8 diterima maka variabel
Opini BPK berpengaruh signifikan secara parsial dengan Indeks
Persepsi Korupsi
c. Uji Signifikansi (Likelihood Ratio)
Untuk melihat kebaikan model (Goodness of Fit) secara bersama-
sama digunakan Likelihood Ratio (LR). Likelihood Ratio (LR) ini mirip
dengan uji F pada analisis OLS. Hasil Uji Signifikansi dapat dilihat pada
Tabel 4.7.
82
Tabel 4.6
Uji Signifikansi (Likelihood Ratio)
Redundant Variables Test
Null hypothesis: PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK are
jointly insignificant
Equation: UNTITLED
Specification: IPK PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK C
Redundant Variables: PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK
Value df Probability
Likelihood ratio 36.73266 8 0.0000
LR test summary:
Value df
Restricted LogL -164.0094 42
Unrestricted LogL -145.6431 34
Sumber: data diolah 2018
Hasil Uji LR diperoleh sebesar 36.73266 dengan nilai probability
0.0000 yang lebih kecil dari 0.05. Maka dapat dikatakan variabel-
variabel Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia, Rasio
Kemandirian Daerah, Rasio Belanja Operasi, Rasio Belanja Modal,
Sistem Pengendali Internal, Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan, dan Opini Audit BPK berpengaruh secara simultan terhadap
Indeks Persepsi Korupsi pada pemerintahan daerah di Indonesia.
C. Pembahasan
1. Pengaruh Variabel Pertumbuhan Ekonomi terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Dari hasil pengujian model, dapat diketahui bahwa indikator
ekonomi makro berupa PDRB per kapita sebahai proxy secara statitik
tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heriningsih dan
Marita (2013) yang dapat diuraikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi. Namun berbeda dengan hasil yang
83
diperoleh Mahmet Ugur dan Nandini Desgupta (2011) yang menyatakan
pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi.
Tingkat korupsi pemerintah daerah semakin menunjukan
kecanderungan meningkat dari tahun ketahun, terlebih semenjak
terjadinya perubahan peta politik di era otonomi daerah yang
memberikan keleluasaan bagi daerah dalam mengelola sumber daya
lokal. Berdasarkan rilis KPK, kasus-ksus korupsi melibatkan individu
yang mapan secara ekonomi yaitu para pejabat papan atas di daerah. Hal
ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraab nasyarakat tidak secara
signifikan mempengaruhi korupsi. Pendapatan per kapita yang membaik
sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi juga semakin tinggi di
suatu daerah tidak menjamin seseorang untuk tidak melakukan korupsi.
Pemerintah daerah dan DPRD yang seharusnya bertugas melayani
masyarakat justru banhyak memanfaatkan posisi dan jabatan tersebut
untuk melakukan penyimpangan seperti penyalahgunaan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padaranya karena jabatan atau
kedudukan yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
2. Pengaruh Variabel Indeks Pembangunan Manusia terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
Uji empiris penelitian ini dengan menggunakan Model Tobit
menunjukan hasil bahwa Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel
sosio-ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan dalam mempengaruhi
tingkat korupsi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pembangunan
manusia tidak akan mempengaruhi angka Indeks Persepsi Korupsi, atau
korupsi belum hilang. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ageng Rian Ardianto (206) yang meneliti keterkaitan antara
Corruption Prec berhasil menemukan korelasi positif antara kenaikan
HDI terhadap kenaikan CPI (yang artinya tingkat korupsi semakin
rendah)
84
Hal tersebut secara faktual dapat dibuktikan dengan melihat daerah
di Indonesia yang mempunyai angka IPM yang tinggi seperti juga
memiliki skor IPK yang rendah, atau angka korupsi yang juga tinggi.
Jadi, kualitas pendidikan yang semakin baik dan tingkat kesejahteraan
yang tinggi di masyarakat belum mampu menumbuhkan kesadaran bagi
individu untuk tidak melakukan korupsi.
3. Pengaruh Variabel Rasio Kemandirian Daerah terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Indikator desentralisasi fiskal dalam penelitian ini adalah proxy
kemandirian keuangan daerah yang dinyatakan dengan angka rasio
berupa indkes kemandirian keuangan yang didapatkan dari hasil bagi
total Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total pemdapatan dan total
belanja. Hasil uji regresi dengan Model Tobit memperoleh hasil
kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi. Hasl ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Heriningsing dan Marita (2013) dan Ageng Rian Ardianto
(2016) yang menyatakan bahwa kinerja keuangan daerah yang salah
satunya dinyatakn dalam rasio kemandirian tidak berpengaruh terhadap
tingkat korupsi di Indonesia. Namun tidak sesuai dengan hasil yang
diperoleh Rita Wulandari (2015) yang menyatakan
Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyatakan tingkat
kemdirian keuangan daerah akan mampu mengurangi korupsi tidak
terbukti. Otonomi daerah yang membawa perbaikan pada tingkat
kemandirian kleuangan daerah ternyata belum mampu mempengaruhi
tingkat korupsi. Artinya, meskipun suatu daerah mampu mandiri secara
kemampuan keuangan yang tinggi masih belum mampu menjadi jaminan
bahwa daerah tersebut terbebas dari praktek korupsi.
4. Pengaruh Variabel Rasio Belanja Operasional terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Berdasarkan hasil uji regresi Tobit menunjukan rasio belanja
operasi tidak berpengaruh terhadap indeks persepsi korupsi. Hal ini
85
sesuai dengan hasil yang diperoleh Heriningsih dan Marita (2013), Rita
Wulandari (2015) dan Ageng Rian Andrianto (2016) yang menyatakan
bahwa rasio belanja operasi tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks
persepsi korupsi.
Kecenderungan pejabat publik penyedia barang/jasa untuk
melakukan korupsi pada pos belanja operasi menyebabkan naiknya nilai
belanja. Sementara dalam proses pengurusan proyek tersebut, diperlukan
biaya-biaya pendamping sejak proses perizinan hingga proyek tersebut
terselesaikan. Biaya-biaya pendamping bisa berupa biaya
penyelenggaraan administrasi kegiatan (belanja bahan berupa alat tulis
kantor, pengadaan dokumen, dan jamuan rapat), honorarium bagi pejabat
pengadaan (pegawai negeri yang diangkat PA/KPA untuk melaksanakan
pemilihan penyedia barang/jasa), serta biaya transportasi lokal dalam
rangka koordinasi dengan pihak terkait.
Di samping itu, pemerintah perlu mengeluarkan biaya/belanja jasa
konsultan untuk membantu Tim Pelaksana kegiatan dalam melakukan
sebagian pekerjaan berupa kajian/pengumpulan dan analisis
data/pengembangan sistem database atau sejenisnya, serta untuk
kebutuhan pelaksanaan pekerjaan. Untuk mendukung terlaksananya
teknis kegiatan, pemerintah juga perlu mengeluarkan belanja jasa lainya,
berupa pengadaan tenaga adminstrasi, operator komputer untjk
mendukung terlaksananya kegiatan.
5. Pengaruh Variabel Radio Belanja Modal terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Berdasarkan hasil uji regresi Tobit menunjukan rasio aktivitas
belanja modal secara statistik berpengaruh positif dan signifikan
terhadap indeks persepsi korupsi. Hal ini berbeda dengan hasil yang
diperoleh Heriningsih dan Marita (2013), Rita Wulandari (2015) dan
Ageng Rian Andrianto (2016) yang menyatakan bahwa rasio belanja
modal tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi.
86
Hasil penelitin tersebut dapat menjelaskan bahwa data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah berupa nominal dalam realisasi
APBD. Munculnya perbedaan hasil diduga karena terdapat faktor-faktor
lain di luar angka belanja modal dalam APBD yang mempengaruhi
korupsi.
6. Pengaruh Variabel Sistem Pengendalian Internal terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
Uji empiris penelitian ini dengan menggunakan Model Tobit
menunjukan hasil bahwa Sistem Pengendali Intern sebagai salah satu
variabel akuntabilitas laporan keuangan berpengaruh positif signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi pada pemerintah daerah di Indonesia.
Hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Wahyu Setiawan (2013) dan
Rita Wulandari (2015) yang menyatakan sistem pengendalian intern
tidak berpengaruh terhadap indeks persepsi korupsi.
Hasil pemeriksaan BPK atas sistem pengendali intern
mengungkapkan tentang kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan
pelaporan, kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja, kelemahan struktur pengendalian intern. Model
korupsi yang disusun Klitgaard (2001) sistem pengendalian intern
menunjukan akuntabilitas laporan keuangan yang berpengaruh pada
korupsi.
Menurut Anwar (2006) untuk meningkatkan pengelolaan keuangan
negara yang mengurangi korupsi, pemerintah melakukan koreksi secara
menyeluruh sehingga memperbaiki akuntabilitas pelaporan keuangan,
salah satunya dengan sistem pengendalian intern.
7. Pengaruh Variabel Kepatuhan terhadap Perundang-undangan terhadap
Indeks Persepsi Korupsi
Hasil kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sbagai
salah satu variabel akuntanilitas laoran keuangan menunjukan pengaruh
yang signifikan terhdap indeks persepsi korupsi. Hal ini berbeda dengan
hasil yang diperoleh Wahyu Setiawan (2013) dan Rita Wulandari (2015)
87
yang menyatakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
tidak berpengaruh terhadap indeks persepsi korupsi.
Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan.
Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001)
Kepatuhan terhadap perundang- undangan menunjukkan akuntabilitas
laporan keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Semakin banyak
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
menunjukkan informasi keuangan yang disajikan dalam laporan
keuangan dapat diandalkan (BPK, 2013). Artinya semakin banyak
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan rendah.
Menurut Widjajabrata dan Zacchea (2004) Jika tingkat
akuntabilitas laporan keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak
korupsi, Artinya akuntabilitas yang lemah diyakini berpengaruh pada
meningkatnya korupsi. menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang
salah satunya menguji kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan dapat dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika
suatu instansi pemerintah atau pejabat pemerintah dikatakan telah
melakukan penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian keuangan
Negara
8. Pengaruh Variabel Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
Hasil uji regresi Tobit dari Opini BPK menunjukan pengaruh
positif yang signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Hal ini sesuai
dengan hasil yang diperoleh Ageng Rian Ardianto (2016) namun berbeda
dengan hasil yang diperoleh Heriningsih dan marita (2013), Wahyu
Setiawan (2013) dan Rita Wulandari (2015) yang menyatakan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan tidak berpengaruh terhadap
indeks persepsi korupsi.
88
Pemeriksaan keuangan tidak menilai benar atau salahnya suatu
laporan, tetapi wajar tidaknya penyusunan laporan keuangan. Jadi,
sepanjang disajikan secara wajar sesuai standar akuntansi, laporan
keuangan bisa saja mendapat opini WTP meskipun sebenarnya
mengandung korupsi (Prakasa, 2012). Menurut Poernomo (2013) WTP
tidak menjamin pemda bebas korupsi, karena WTP hanya tata kelola
keuangannya baik, dimana baik bukan berarti benar. Menurut Prakarsa
(2012) jika BPK menemukan kejanggalan dalam memeriksa keuangan
negara, BPK dapat mengusut kasus korupsi dan melakukan pemeriksaan
tertentu. Dimana nantinya Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut
dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dijadikan
sebagai tindakan penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian
keuangan Negara (Rampengan, 2013)
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
1. Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah
2. Indeks Pembangunan Manusia tidak berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi pemerintah daerah
3. Rasio Kemandirian Daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah
4. Rasio Belanja Operasi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah
5. Rasio Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi
pemerintah daerah
6. Sistem Pengendalian Intern berpengaruh signifikan terhadap tingkat
korupsi pemerintah daerah
7. Kepatuhan Terhadap Ketentuan Perundang-undangan berpengaruh
signifikan terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah
8. Opini Badan Pemeriksan Kuangan berpengaruh signifikan terhadap
tingkat korupsi pemerintah daerah
9. Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia, Rasio
Kemandirian Daerah, Rasio Belanja Modal, Rasio Belanja Operasi,
Sistem Pengendalian Intern, Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan dan Opini Badan Pemeriksa Keuangan berpengaruh signifikan
secara bersama-sama terhadap Indeks Persepsi Korupsi.
B. Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi yang diharapkan dapat berguna untuk
pihak-pihak yang berkepentingan. Implikasi dari penelitian ini adalah
90
1. Bagi BPK (Badan Pengawas Keuangan)
Dalam tugasnya mengeluarkan opini audit WTP sebaiknya auditor
BPK terus mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor internal maupun
eksternal yang berpengaruh terhadap opini WTP. Auditor BPK harus
selalu bersikap objektif dan independen terhadap klien sehingga tidak
menyebabkan asimetri informasi di antara pengguna dan pembaca
laporan.
2. Bagi Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah harus mempertimbangkan dalam berkerja sama
dengan BPK terlebih bila Pemda tersebut telah terbukti korupsi. BPK
juga harus menganalisis apakah Pemda tersebut dapat mempertahankan
kelangsungan pemerintahan atau bahkan tetap melakukan korupsi.
3. Bagi Komisi Pemberantasan Korupsi
Sebagai pihak luar dari organisasi, KPK harus memperhatikan
tindakan Pemda untuk mengatasi kondisi buruknya pemerintahan dengan
meninjau ulang langkah-langkah kongkrit yang dilakukan Pemda
sehingga masyrakat tetap percaya pada pemerintahan yang baik
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa implikasi rekomendasi
yang dapat diberikan antara lain
1. Ditemukanya hubungan yang positif antara belanja pemerintah daerah
dengan probabilitas terjadinya korupsi mengindikasikan perlunya
pengawasan yang lebih baik dalam sistem penganggaran. Untuk
meningkatkan pengawasan tersebut, pemerintah dapat menerapkan e-
budgeting, yaitu sistem penganggaran secara online. Dengan
digunakannya e-budgeting, dapat diketahui pihak yang mengajukan
anggaran, besarnya anggaran yang diajukan, serta pihak yang
mengautorisasi anggaran tersebut. Nantinya, jika terjadi permasalahan
dalam penggunaan anggaran, dapat segera diketahui siapa saja pihak-
pihak yang harus bertanggung jawab. Sistem tersebut memungkinkan
keterlibatan yang lebih luas dari berbagai pihak dalam melakukan
91
pengawasan terhadap proses penyusunan, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, diharapkan anggaran
dapat dialokasikan secara tepat sasaran, dan tidak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu bagi kepentingan pribadinya
2. Indikator sosio-ekonomi (IPM) mempunyai tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Artinya, semakin tinggi
angka IPM juga membawa konsekuensi nilai Indeks Persepsi Korupsi
tidak berpengaruh. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara
struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya tidak memiliki pengaruh
yang kuat dalam menentukan perilaku individu atau kelompok di lingkup
pemerintah daerah untuk melakukan korupsi dibandingkan dengan
pengaruh implementasi sistem desentralisasi. Oleh karena itu, pemerintah
daerah harus terus aktif dan konsisten dalam melakukan peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang diikuti dengan sosialiasi yang
intensif mengenai korupsi dan akibat yang ditimbulkannya.
3. Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku korupsi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata tetap
memunculkan peluang terjadinya korupsi. Hal ini berarti masih banyak
hal-hal lain diluar faktor ekonomi yang mempengaruhi perilaku
masyarakat untuk berbuat kecurangan. Oleh karena itu kontrol
kelembagaan dan penegakan aturan yang lebih ketat hendaknya selalu
mengiringi setiap kebijakan ekonomi pemerintah guna meminimalkan
tindak korupsi tersebut.
4. Sistem pengendalian intern, kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan dan opini audit BPK berpengaruh signifikan terhadap indeks
persepsi korupsi. Yang artinya perubahan pada nilai-nilai variabel
tersebut akan mempengaruhi tingkat korupsi pada pemerintahan
daerah.Untuk BPK sebagai lembaga yang berwenang untk melakukan
audit akuntabilitas laporan keuangan daerah harus tetap menjaga agar
pemerintah daerah melakukan sistem administrasi pemerintahan yang
92
baik dengan cara melakukan pengawasan yang optimum agar tindak
pidana korupsi dapat ditekan serendah mungkin.
93
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M.R.H.. Analisis Determinan Korupsi di Era Desentralisasi pada 12
Ibukota Provinsi di Indonesia. Brawijaya Journal of Economics. Malang.
2013
Anwar, P. Mangkunegara. Evaluasi Kinerja SDM. Jakarta: Eresco. 2006
Ardiyanto, Ageng Rian. “Analisis Determinan Korupsi di Indonesia Tahun 2006 –
2015”.Thesis S2. Universitas Gajahmada, Yaogyakarta. 2016
Arens, Alvin A., et. al. Autidting dan Jasa Assurance. Jakarta: Airlangga. 2011
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK
RI Semester 1 dan II. BPK RI, Jakarta, 2012.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Ikhtisar hasil Pemeriksaan BPK
RI Semester 1 dan II. BPK RI, Jakarta, 2013.
Bahrin. Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya
Penanggulanganya. Institute Pertanian Bogor. 2004
Bati. Pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi (Stufi Pada Kabupaten dan Kota DI Sumatra Utara),
Tesis Program Pasca Sarjana USU, Medan. 2009
Caiden, Gerald E. Administrative Reform. Illinois: Aldine Publishing Company.
1998
Dwijayanti, R dan Rusherlistyanti. Analisis Perbandingan Kinerja Kuengan
Pemerintah Propinsi Se-Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 12
No,01. 2013
Erika, Revida, , Penataan Ulang Birokrasi dan Kualitas Pelayanan Publik di Era
Otonomi Daerah. Universitas Sumatra Utara. 2007
Greene, W. H.. Econometrics Analysis, 4th edition. New Jersey: Prentice Hall.
2000.
Gujarati, D. Basic Econometrics. Fourth Edition. International Edition. Singapore.
McGraw-Hill. . 2004.
Gunawan, Jamil, et al. Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia. 2005.
94
Halim, Abdul dan Kusufi, M.S. “Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan
Daerah”. Jakarta: Salemba Empat. 2012.
Halim, Abdul. “Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah”. Salemba
Empat. 2004.
Halim, Abdul. Administrasi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Salemba
Empat. Jakarta 2007.
Heriningsih, S. dan Marita.. “Pengaruh Opini Audit Dan Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah (Studi
Empiris Pada Pemerintah Kabupaten Dan Kota Di Pulau Jawa)”. Buletin
Ekonomi Vol. 11, No. 1, April 2013 hal 1-86. Yogyakarta. 2013
Heriningsih, Sucahyo.. “Kajian Empiris Tingkat Akuntabilitas Pemerintah
Daerah dan Kinerja Penyelengara Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat
Korupsi Pada Kabupaten dan Kota di IndonesiA”. Paradigma vol. 18 bulan
september tahun 2014.
Hosmer, D. W. dan Lemeshow, S., Applied Logistic Regression. New York: John
Wiley and Son. 2000.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. Metode Penelitian Bisnis. Yogyakarta:
BPFE. 2009.
Kartono, Kartini.. Psikologi Umum. Bandung : Sinar Baru Algies Indonesia. 2002
Kennedy, Jhon E & R. Dermawan Soemanagara. Marketing Comunication.
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006
Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001.
Kurniawan, Teguh.. “ Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat
dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan”. Jurnal Bisnis dan
Birokrasi; Vol. 16, No. 2. 2009
Mardiasmo. Akuntansi Sektor Publik. Andy Offset:Yogyakarta. 2009.
Mulyanto.. Pengembangan dan Pengukuran Indikator Pembangunan Daerah di
Era Otonomi dan Desentralisasi. Region, Vol. 2, No. 1, Januari 2007: 43-52. 2007
Nugroho, Fajar. Pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan kinerja keuangan
daerah dengan pendapatan asli daerah sebagai variabel intervening. Skripsi.
Undip. 2012.
Pope, J. Strategi Memberantas Korupsi. Jakarta: Transparency International
Indonesia. 2008
95
Pradhan, P. M. Understanding the Relationship Between Human Development
Index (HDI) and Corruption Perception Index (CPI) for Nepal. North South
University Journal, Bangladesh. 2012.
Prakasa, Gigih. Hubungan Opini WTP dengan Indikasi Bebas Korupsi pada
Entitas Pemerintah. 2012.
Rehman, H., dan Naveed, A. 2007. Determinants of Corruption and Its Relation to
GDP (A Panel Study). Journal of Political Studies, Vol. XII, Winter: 27-59.
Sekaran, Uma.. Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Edisi 4 Salemba Empat.
Jakarta. 2006
Setiawan, Wahyu. Pengaruh Akuntabilitas laporan Keuangan pemerintah daerah
(LKPD) terhadap tingkat koropsi Pemerintah daerah di Indonesia. Skripsi
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Diponegoro.
2012.
Shah, Anwar. Performance Accountability and Combating Corruption. The world
bank 1818 H Streett, NW. 2007
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Cetakan 13.
Alfabeta. Bandung. 2011
Susantih, H dan Saftiana, Y. Perbandingan Indikator Kinerja Keuangan
Pemerintah Propinsi Se-Sumatra Bagian Selatan. Simposium Nasional
Akuntansi 12. 2009.
Todaro, Michael P, Smith, Stephen C. Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
2006
Todaro, Michael, P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid I, Edisi
Ketujuh. Jakarta: Erlangga. 2000
Transparency International (TI). 2015 Annual Report. USA: TI.
Transparency International Indonesia (TII). Laporan Tahunan 2014. Jakarta: TII.
Transparency International Indonesia (TII). Laporan Tahunan 2015. Jakarta: TII.
Transparency International. (2006). Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang
dan Jasa Publik.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. 2004
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara. 2003
96
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. 2001
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 2014
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. 2009
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.2004
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 2004
Wakhyudi, dan Laila Firda Tarunasari. Mengukur Kinerja Pemerintah Daerah
Melalui Rasio Keuangan Daerah . Jurnal Ilmiah Akuntansi Kesatuan Vol. 1
No. 2, 2013 pg. 139-150. STIE Kesatuan ISSN 2337 – 7852.
Widjajabrata, Safaat and Nicholas M Zacchea.. International Corruption: The
Republic of Indonesia is Strengthening the Ability of Its Auditors to Battle
Corruption. The Journal of Government Financial Management, Vol. 53,
No. 3. 2004
Wijayanto, Ridwan Zachrie. Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat, dan
Prospek Pemberantasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2009
Wulandari, Rita. “Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan pemerintah Daerah
(LKPD) dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah terhadap Tingkat
Korupsi Pemerintah Daerah di Indonesia”. Jakarta. 2015.
Xu, et al.. Key Issue Of Accounting Information Quality Management : Australian
Case Studies. Industrial Management & Data System 103/7, 461- 470. 2003
Yilmaz, A., Akif, M.. Determinants of Economic Corruption: A Cross-Country
Data Analysis. International Journal of Business and Social Science, Vol. 2
No. 13 (Special Issue – July 2011). 2011
97
LAMPIRAN
Lampiran 1: Data Sampel
98
Lampiran 2: Hasil Uji Regresi Tobit
1. Uji Normalitas
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-15 -10 -5 0 5 10 15
Series: ResidualsSample 1 44Observations 44
Mean -7.35e-11Median 0.570162Maximum 14.29621Minimum -14.79014Std. Dev. 6.522788Skewness -0.172568Kurtosis 2.657653
Jarque-Bera 0.433253Probability 0.805230
2. Uji Estimasi Regresi Tobit
Dependent Variable: IPK
Method: ML - Censored Normal (TOBIT) (Newton-Raphson /
Marquardt
steps)
Date: 02/08/19 Time: 15:52
Sample: 2008 2017
Included observations: 44
Left censoring (value) at zero
Convergence achieved after 5 iterations
Coefficient covariance computed using observed Hessian
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
PE -1.128966 0.767130 -1.471675 0.1411
IPM -0.787291 0.661952 -1.189348 0.2343
RKD 3.777540 3.788730 0.997047 0.3187
RBM 10.78590 5.111622 2.110074 0.0349
RBO 7.727865 20.92410 0.369328 0.7119
SPI 0.305648 0.146596 2.084972 0.0371
UUD -0.235144 0.092500 -2.542100 0.0110
BPK 7.640047 2.563426 2.980405 0.0029
C 105.2357 46.12353 2.281606 0.0225
Error Distribution
SCALE:C(10) 6.626868 0.706426 9.380832 0.0000
Mean dependent var 50.93182 S.D. dependent var 10.17612
S.E. of regression 7.538678 Akaike info criterion 7.074687
Sum squared resid 1932.277 Schwarz criterion 7.480185
99
Log likelihood -145.6431 Hannan-Quinn criter. 7.225065
Avg. log likelihood -3.310071
Left censored obs 0 Right censored obs 0
Uncensored obs 44 Total obs 44
3. Uji Likelihood Ratio
4. Uji Wald
Variabel PE
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic -1.471675 34 0.1503
F-statistic 2.165827 (1, 34) 0.1503
Chi-square 2.165827 1 0.1411
Null Hypothesis: C(1)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(1) -1.128966 0.767130
Restrictions are linear in coefficients.
Redundant Variables Test
Null hypothesis: PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK are
jointly insignificant
Equation: UNTITLED
Specification: IPK PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK C
Redundant Variables: PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK
Value df Probability
Likelihood ratio 36.73266 8 0.0000
LR test summary:
Value df
Restricted LogL -164.0094 42
Unrestricted LogL -145.6431 34
100
Variabel IPM
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic -1.189348 34 0.2425
F-statistic 1.414548 (1, 34) 0.2425
Chi-square 1.414548 1 0.2343
Null Hypothesis: C(2)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(2) -0.787291 0.661952
Restrictions are linear in coefficients.
Variabel RKD
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic 0.997047 34 0.3258
F-statistic 0.994102 (1, 34) 0.3258
Chi-square 0.994102 1 0.3187
Null Hypothesis: C(3)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(3) 3.777540 3.788730
Restrictions are linear in coefficients.
Variabel RBM
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
101
t-statistic 2.110074 34 0.0423
F-statistic 4.452412 (1, 34) 0.0423
Chi-square 4.452412 1 0.0349
Null Hypothesis: C(4)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(4) 10.78590 5.111622
Restrictions are linear in coefficients.
Variabel RBO
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic 0.369328 34 0.7142
F-statistic 0.136403 (1, 34) 0.7142
Chi-square 0.136403 1 0.7119
Null Hypothesis: C(5)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(5) 7.727865 20.92410
Restrictions are linear in coefficients.
Variabel SPI
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic 2.084972 34 0.0447
F-statistic 4.347107 (1, 34) 0.0447
Chi-square 4.347107 1 0.0371
Null Hypothesis: C(6)=0
Null Hypothesis Summary:
102
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(6) 0.305648 0.146596
Restrictions are linear in coefficients.
Variabel UUD
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic -2.542100 34 0.0157
F-statistic 6.462272 (1, 34) 0.0157
Chi-square 6.462272 1 0.0110
Null Hypothesis: C(7)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(7) -0.235144 0.092500
Restrictions are linear in coefficients.
Variabel BPK
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
t-statistic 2.980405 34 0.0053
F-statistic 8.882814 (1, 34) 0.0053
Chi-square 8.882814 1 0.0029
Null Hypothesis: C(8)=0
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(8) 7.640047 2.563426
Restrictions are linear in coefficients.
103
Semua Variabel
Wald Test:
Equation: Untitled
Test Statistic Value df Probability
F-statistic 96.64846 (8, 34) 0.0000
Chi-square 773.1877 8 0.0000
Null Hypothesis: C(1)=0, C(2)=0, C(3)=0, C(4)=1,
C(5)=0,
C(6)=1, C(7)=1, C(8)=1
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(1) -1.128966 0.767130
C(2) -0.787291 0.661952
C(3) 3.777540 3.788730
-1 + C(4) 9.785899 5.111622
C(5) 7.727865 20.92410
-1 + C(6) -0.694352 0.146596
-1 + C(7) -1.235144 0.092500
-1 + C(8) 6.640047 2.563426
Restrictions are linear in coefficients.
Top Related