Oleh:
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Sains Teologi (S.Si-
Teol)
sebentar saja kelihatan lalu lenyap.
Yakobus 4:14
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan yang maha Esa atas kehendak dan
penyertaan-Nya,
penulisan tugas akhir dengan judul “Ajaran Kedewasaan sebagai
Peringatan Kedaulatan
Allah dan Etika lingkungan (Studi Hermeneutik dengan Perspektif
Ekologi terhadap
Surat Ibrani 6:1-8)” dapat diselesaikan.
Tugas akhir ini lahir dari situasi lingkungan hidup yang pada
dewasa ini menjadi
perhatian karena terus mengalami kerusakan. Untuk itu pada
penilitian tugas akhir ini
penulis mencoba melihat wacana etika lingkungan dari ajaran
kedewasaan dalam Surat
Ibrani. Dari upaya ini penulis menemukan bahwa etika lingkungan
hidup dalam Surat
Ibrani bersifat Teosentris atau berpusat pada Allah. Selain itu
dengan tinjauan perspektif
ekologi melalui ajaran kedewasaan, ditemukan pandangan bahwa
keberadaan semua
dalam itu dunia saling terhubung satu dengan lainnya. Kedua temuan
di atas berimplikasi
pada moralitas manusia dalam berelasi dengan lingkungan yang
didasari pada
kedewasaan berimanya dengan Allah.
Tugas akhir ini tidak dapat diselesaikan juga tanpa bantuan dari
beberapa pihak.
Untuk itu pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada
pembimbing Pdt Yusak B
Setyawan MATs, Ph,d, yang telah mengajak penulis untuk mengkaji
Surat Ibrani. Kedua
kepada teman-teman angkatan 2013 Fakultas Teologi, yang telah
menyokong
pertumbuhan akademik penulis, selanjutnya komunitas diskusi
bonafide sebagai ruang
penulis mengelolah nalar, Gusti Menoh, sebagai mentor. Terlebih
khusus keluarga yang
terus memberikan dukungan penulis selama melakukan proses
perkulihaan.
Penulis menyadari bahwa tulisan Tugas akhir ini jauh dari
kesempurnaan, maka
sangat diharapkan mendapatkan masukan yang konstruktif dari para
pembaca, dan
semoga para pembaca mendapatkan sesuatu setelah membacanya.
Salatiga, 13 Januari 2020
1.2 Metode Penelitian
.....................................................................................................
4
1.3 Manfaat Penelitian
....................................................................................................
4
2.1
Hermeneutik.............................................................................................................
5
2.2.2 Manusia sebagai bagian dari Komunitas
Biota........................................ 9
2.2.3 Homo Eco-Relegiousus : Manusia sebagai Mahluk
Ekologis dan
Religius.................................................................................10
Ekologi Terhadap Pembacaan Surat Ibrani
6:1-8.....................................................11
3. Latar Belakang Surat Ibrani
......................................................................................
11
3.1 Relasi Antar Manusia ditinjau dari Keadaan Jemaat dalam Surat
Ibrani………. 13
3.1.1 Relasi Manusia dan alam dalam Konteks Surat
Ibrani................................. 14
3.2 Bias Pemikiran Ekologi di dalam Surat
Ibrani.........................................................
15
3.3 Kesimpulan
..............................................................................................................
17
Surat Ibrani 6:1-8
.............................................................................................................17
viii
4.3 Otoritas Allah Menjadi Landasan Etika Lingkungan…………………………..
20
4.4 Kesimpulan
.........................................................................................................
22
5. Penutup
...........................................................................................................................
23
Daftar Pustaka
......................................................................................................................
25
Kesadaran akan pentingnya keberadaan lingkungan hidup mendorong
pada upaya
membaca teks Kitab suci Kristen atau Alkitab dengan memakai
perspektif Ekologi. Surat
Ibrani 6:1-8 yang menjadi teks kajian pada tulisan ini, memberikan
catatan penting
bahwa terkadang para penafsir bisa terjebak pada “bias
antroposentrisme” dalam upaya
menafsir surat ini. Ketika bias antroposentrisme diatasi dalam
pembacaan Surat Ibrani
6:1-8, penulis menemukan bahwa ajaran “kedewasaan” sebagai topik
utama pada kajian
ini; pertama, berbicara hubungan dalam alam semesta yang bersifat
interdepedensi, kedua
dalam ajaran ini mendorong manusia setara dengan mahkluk hidup
lainnya, ketiga
kesadaran ,akan relasi dalam semesta terjadi atas perintah dan
otoritas Allah. Terakhir,
dari ketiga temuan dari proses hermeneutik dengan perspektif Surat
Ibrani 6:1-8 ini,
penulis mencoba melihat bentuk relevansi pada kehidupan komunitas
Kristen di
Indonesia, baik dalam internal komunitas, maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kata kunci: Ekologi, Hermeneutik, Surat Ibrani, Kedewasan
1
Lingkungan (Studi Hermeneutik dalam Perspektif Ekologi
terhadap
Surat Ibrani 6:1-8)
1. Pendahuluan
Isu lingkungan hidup yang menjadi persoalan dunia masa kini
mendorong saya
untuk melihat kembali peranan narasi Kristiani terhadap persoalan
lingkungan hidup.
Terlebih ajaran Kristen pernah dituduh oleh Lynn White Jr sebagai
penyebab lahirnya
kerusakan lingkungan hidup, karena dalam ajaran Kristen mendorong
serta mengusung
ide antroposentrisme. 1 Dari pandangan White ini, mendapatkan
respon dari para teolog
Kristen, sehingga menghasilkan sebuah kajian teologi yang dikenal
sebagai teologi-
lingkungan hidup atau ekoteologi. Tetapi para ekoteolog menurut
Habel belum memakai
studi hermeneutik dalam membaca narasi Kristen. 2 Untuk itu dalam
upaya melihat
peranan narasi Kristiani terhadap persoalan lingkungan hidup, saya
memakai studi
hermeneutik dengan perspektif ekologi. Pada tulisan ini saya
memilih Surat Ibrani 6:1-8
sebagai upaya melihat peranan narasi Kristen terhadap persoalan
lingkungan hidup.
Surat Ibrani adalah salah satu surat yang berisi ajaran-ajaran yang
penting terkait
moralitas Kristen. Hal ini tidak lepas dari pandangan yang dibentuk
dari Surat Ibrani
yakni keterhubungan antara teologi dan moralitas. 3 Salah satu di
antaranya adalah ajaran
dalam Surat Ibrani 6:1-8 yang berbicara berkaitan dengan kedewasaan
atau ajaran
berkaitan dengan pemahaman yang penuh berkaitan dengan iman dan
moralitas.
Penulis Surat Ibrani dalam membentuk dan menyampaikan ajarannya, ia
lebih
banyak dipengaruhi oleh tradisi Yunani dan Yahudi. Dari tradisi
Yunani, penulis Surat
Ibrani mengambil seni retorika sebagai cara penyampaian suratnya.
Dari tradisi ini,
ajaran Surat Ibrani memiliki logos (logika), pathos (emotional) dan
ethos (personal). 4
1 Lynn White, Jr, “The Historical Roots Of Our Ecological Crisis,”
Science 1967, 1203-1207.
2 Norman habel “Introduction Hermeneutic Ecology” Exploring
Ecological Hermeneutics, ed Norman C
Habel, Peter Trudinger, ( Atalanta: Society of Bible Literature
2008), 3 Barnabas Lindars, New Testament Theology: The Theology of
the Letter to the Hebrews (Cambrigde
University Press 2003), 3. 4 Keneth L. Schenk, Cosmology and
Eschatology in Hebrews: the setting of sacrefice, (Cambrigde
University Press 2003), 7.
2
Kedua, Surat Ibrani memiliki pengaruh dari Perjanjian lama (PL)
yang cenderung melihat
iman berkaitan dengan moralitas. Bahkan menurut Lindars ide
monoteistik dari PL ikut
mempengaruhi pemikiran dari surat ibrani. 5 Jadi dari dua tradisi
ini, membentuk Surat
Ibrani dan sekaligus memberikan daya persuasif dari penyampaian
ajarannya yang
berkaitan iman dan moralitas.
Penulisan Surat Ibrani yang memakai seni retorika, membuat beberapa
penafsir
kurang menyadari adanya ajaran yang penting untuk diangkat, yakni
berkaitan dengan
bagaimana relasi manusia dan lingkungan. Ajaran tersebut tercermin
dari pembicaraan
mengenai kedewasaan dalam Surat Ibrani 6:1-8. Hal ini terlihat dari
penafsiran
Pennicook dan Lindars terhadap Ibrani 6:1-8. Kedua penafsir ini
sepakat bahwa Surat
Ibrani 6:1-8 adalah bagian dari bangunan ajaran atau nasihat
mengenai kedewasaan.
Ajaran kedewasan ini ditafsir oleh Lindars sebagai pemberian
pemahaman yang penuh
kepada pembaca Surat Ibrani, yakni seorang Yahudi-kristen. 6
Sedangkan bagi Pennicook,
ajaran kedewasaan ingin memberikan pendasaran iman yakni beriman
kepada Allah. 7
Selanjutnya, kedua penafsir ini berpandangan bahwa ajaran
kedewasaan memiliki tujuan
retorika yakni untuk menyatakan Yesus sebagai Imam. Dengan alasan
bahwa konteks
pembaca Surat Ibrani adalah orang Yahudi-kristiani yang ingin
murtad atau kembali pada
ajaran Yahudi.
berkaitan dengan manusia dan lingkungan yang tercatat dalam ajaran
kedewasaan.
Penicock memahami narasi tersebut sebagai sebuah ilustrasi semata.
8 Sedangkan Lindars
memahami narasi tersebut sebagai sebuah metafor untuk mendukung
ayat-ayat
sebelumnya. 9 Melalui narasi ini, kedua penafsir memberikan sebuah
keterangan pada
konteks saat itu, yakni pembaca dalam “konteks agraria.” Tetapi
gaya retorika yang
melekat dalam Surat Ibrani, membuat kedua penafsir ini menempatkan
pembicaraan
5 Lindars, New Testament Theology, xi.
6 Lindars, New Testament Theology, 46.
7 Ian D. Pennicook, The Shadow and the Substance : A Commentary The
Letter to Hebrews
(Newcreation.Inc 2004), 53. 8 Pennicook, The Shadow and the
Substance,53.
9 Lindars, New Testament Theology, 68.
3
mengenai alam atau lingkungan hidup dalam ajaran kedewasaan hanya
sebagai narasi
pendukung sebuah bangunan retorika.
Bila melihat dari interpretasi di atas, saya dapat menilai bahwa
Pennicock dan
Lindars kurang menyadari adanya pembicaraan “ekologi” dalam narasi
Surat Ibrani 6:1-
8. Untuk itu dapat dikatakan baik Pennicock dan Lindars dalam
menafsir ajaran
kedewasaan masih “bias antroposentrisme.” Hal ini tentu memiliki
kosekuensi serius
dalam proses menafsir, karena tidak menempatkan alam sebagai bagian
yang penting
untuk dibicarakan atau pada sisi lain mereka tidak berbicara peran
antara manusia dan
alam dalam narasi Surat Ibrani 6:1-8. Tentu gaya menafsir mereka
hanya akan
memahami ajaran kedewasaan dalam kepentingan relasi antar manusia
belaka dan
mengesampingkan acuan moralitasnya yang menekankan peranan alam dan
relasi
manusia terhadap alam. Gaya menafsir ini juga secara langsung
bertolak belakang dengan
tawaran dari Surat Ibrani yang cenderung menegaskan antara iman dan
moralitas, terlebih
khusus keterhubungan iman manusia dengan perilakunya atau relasinya
dengan alam.
Dalam mengatasi persoalan di atas, Surat Ibrani 6:1-8 perlu dibaca
kembali
dengan memperhatikan kepenuhan nilai dalam ajarannya berkaitan
dengan kedewasaan.
Pastinya, kencenderungan “bias antroposentrisme” harus diatasi
dalam membaca Surat
Ibrani 6:1-8. Dalam upaya tersebut, saya akan mendekati Surat
Ibrani 6:1-8 dengan
mengunakan perspektif ekologi. Untuk itu dalam tulisan ini, saya
memberi judul
“Ajaran kedewasaan sebagai peringatan kedaulatan Allah dan Etika
Lingkungan
Hidup (Studi hermenutik dalam perspektif ekologi terhadap Surat
Ibrani 6:1-8).”
1.1. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, maka rumusan masalah pada penilitian
ini adalah
pertama, bagaimana kajian hermeneutik dengan perspektif ekologi
terhadap ajaran
kedewasaan dalam Surat Ibrani 6:1-8? Kedua, bagaimana relevansi
teks dengan pembaca
masa kini, jika ajaran kedewasaan dalam Surat Ibrani 6:1-8 ditinjau
dari perspektif
ekologi? Dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk
merekontruksi ajaran kedewasaan dalam Surat Ibrani dengan studi
hermeneutik dengan
perspektif ekologi.
makna dari suatu teks dengan memakai perspektif ekologi. Dengan
studi hermeneutik
dengan perspektif ekologi ini, saya mencoba menunjukan nilai atau
makna ekologi dari
konteks teks, dan sekaligus memberikan relevansi pada konteks
kehidupan kekristenan
masa kini (terlebih khusus persolan ekologi yang dihadapi). Untuk
menunjang penelitian
ini, saya memakai teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan.
Sumber-sumber
pustaka yang akan dipakai berkaitan dengan kajian hermeneutik
biblika, studi ekologi,
dan kajian- kajian terhadap Surat Ibrani. Terlebih khusus adalah
sumber pustaka dari
beberapa tafsiran berkaitan dengan Surat Ibrani 6: 1-8 sebagai
narasi yang memperkaya
dialektika dalam proses tafsiran.
Dari tulisan ini penulis mengharapkan dapat memberikan gagasan
baru, berkaitan
dengan studi hermeneutik dengan perspektif ekologi terhadap Surat
Ibrani 6:1-8. Dengan
memakai perspektif ekologi dalam proses penafsiran diharapkan juga
dapat memberikan
sebuah makna baru serta makna ekologis dari hasil tafsiran. Kedua,
Surat Ibrani yang
menjadi objek kajian dalam penilitan ini, penulis mengharapkan
dapat memberikan
interpretasi berbeda dengan beberapa interpretasi yang sudah ada
berkaitan dengan Surat
Ibrani. Terakhir penulis mengharapkan dari penelitian ini dapat
memberikan bentuk
relevansi pada kehidupan masa kini, terlebih khusus mengenai
keprihatinan akan
persoalan ekologi.
1.4 Sistematika Penulisan
Pada sistematika penulisan ini, saya memaparkannya ke dalam lima
bagian. Pada
bagian pertama berisikan pendahuluan sebagai latar belakang
masalah. Bagian kedua dari
tulisan ini akan memaparkan teori yakni hermeneutik dalam
perspektif ekologi. Bagian
ketiga menguraikan latar belakang dariSurat Ibrani. Bagian keempat,
uraian berkaitan
pembacaan Surat Ibrani 6:1-8 dengan perspektif ekologi. Bagian
kelima ditutup
5
dengankesimpulan dan relevansi atas proses pembacaan Surat Ibrani
6:1-8 dengan
perspektif ekologi.
2.1 Hermeneutik
Kata hermeneutik sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang
berarti
menerjemahkan. Arti menerjemahkan ini bukan sekedar mengartikan
sebuah bahasa
asing melainkan adanya kegiatan menafsir. Karena kata hermeneuin
berasal dari seorang
tokoh mitologi yunani yang bernama Hermes. Tokoh mitologi Hermes
ini dikenal sebagai
pembawa pesan-pesan dari dewa-dewa untuk manusia. Tentu sebagai
pembawa pesan,
Hermes terlebih dahulu menerjemahkan dan menafsir pesan-pesan dari
para dewa. 10
Maka hermeneuin atau hermeneutik bisa didefinisikan secara harafiah
sebagai kegiatan
menafsir (yang lebih cenderung dalam kegiatan menafsir teks).
Percakapan mengenai kegiatan menafsir atau hermeneutik
mengalami
pengembangan, terkhususnya dalam studi hermeneutik. Dari
perkembangan tersebut
menghasilkan ciri hermeneutik, mulai dari yang bersifat eksegese
sampai pada model
interpretasi tanpa akhir. 11
Dari perkembangan tersebut hermeneutik teks memberikan
sebuah kunci atau kategori bagi pembaca di hadapan teks, apakah
sebagai pembaca ingin
melihat, (1) di balik teks, yang bertendensi untuk mencari makna
historis teks, (2) di
dalam teks, pencarian makna dari kata dan struktur bahasa pada
teks, (3) di depan
teks,cenderung memperhatikan subjektivitas pembaca dan dunianya,
hal ini bisa dilihat
seperti tafsir feminis, (4) dan terakhir tafsiran tentang tema dan
dunianya. 12
10
F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Scheleirmacher
sampai Derrida (Yogjakarta:
Kanisius 2015), 10-12. Yusak B Setyawan, Hermeneutik Perjanjian
Baru: Suatu Perkenalan (Salatiga:
Fakultas Teologi UKSW 2016) 8-9.
11 Hal itu dilihat dalam pelbagai pergeseran paradigma, dan yang
pada masa kini, model penafsiran banyak
dipengaruhi pandangan postmodernisme, dan landasan ini terlihat
dari penegasan akan pluralitas makna
dengan atau melalui cara mendekontruksi yang berorientasi untuk
membuka kemungkinan-kemungkinan
makna baru, dan hal ini diprakasai oleh pemikir seperti Derrida
lihat, Hardiman, Seni Memahami,273-307.
Pada dunia biblika sendiri, pluiralitas makna juga terbentuk dengan
lahirnya banyak metode-metode atau
pendekatan terhadap teks, Aris Murdianto, “Perkembangan tafsir
Perjanjian lama dan Pembacaan kitab
Ayub bersama orang-orang yang hidup dengan HIV/ Aids,” Indonesia
Journal Theology. Desember 2017,
228. 12
Murdianto, “Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama,” 229-243, Stanley
E Porter and Beth M. Stovell, et
al, Biblical Hermeneutics: Five Views (Downers Grove: InterVarsity
Press 2012). 9-20.
6
Dari studi hermeneutik ini, saya mencoba membaca teks dengan
perspektif
ekologi terhadap ajaran kedewasaan dalam Surat Ibrani. Saya memakai
perspektif
ekologi dalam membaca ajaran kedewasaan dalam Surat Ibrani
disebabkan oleh:
pertama, prapaham saya terhadap Surat Ibrani mengandung pembicaraan
ekologi. Kedua
dalam ajaran kedewasaan memiliki kecenderungan untuk mengajarkan
bagaimana posisi
manusia dan alam, serta bagaimana manusia bertindak pada
lingkungannya.
Karakteristik dalam pemakaian hermeneutik dengan perspektif ekologi
cenderung
masuk dalam pencarian makna yang terpusat pada tema ekologi.
Meskipun subjektifitas
akan masuk dalam alam berpikir “ekologi” atau dalam pembacaan teks
pembaca akan
lebih dahulu membentuk kesadaran ekologi. Selain itu dalam proses
hermeneutik dengan
perspektif ekologi akan memperhatikan beberapa catatan di balik
teks dan di dalam teks,
sebagai data-data untuk memperkaya isi dan makna tafsiran. Jadi
dapat dikatakan
hermeneutik dengan perspektif ekologi di sini memakai keragamaan
instrumen dalam
mencari sebuah makna dalam proses pembacaan teks, guna memperkaya
makna dalam
proses penafsiran.
Berbicara perspektif ekologi tentu memiliki keragamanan makna,
untuk itu saya
membatasinya dengan cenderung memakai pandangan ekologi
kontemporer. Dengan
pertama-tama menunjukan padangan ekologi secara umum, lalu
menunjukan bentuk-
bentuk atau pokok-pokok pikiran dari ekologi kontemporer. Terakhir
saya menambahkan
aspek religius dalam pembicaraan ekologi.
2.2 Ekologi
Secara etimologi, kata ekologi diambil dari bahasa Yunani yakni,
oikos dan logos.
Oikos berarti tempat kediaman atau rumah. Rumah yang dimaksud di
sini bukan sekedar
lingkungan tempat tinggal manusia, melainkan dipahami sebagai
keseluruhan alam
semesta, dimana adanya interaksi saling pengaruh antara mahkluk
hidup dan mahkluk
hidup lainnya serta dengan keseluruhan ekosistem. 13
Sedangkan logos berarti kata,
firman, atau (sering dipahami) ilmu. Jadi ekologi dapat
didefinisikan sebagai ilmu atau
13
Sony Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem
Kehidupan (Yogjakarta: Kanisius
2014), 42-43.
7
sesuatu yang berbicara tempat kediaman makhluk hidup yang di
dalamnya ada interaksi
antar makhluk hidup dan lingkungan.
Pada tahun 1866 Istilah ekologi pertama kali dipublikasikan atau
diperkenalkan
oleh Ernest Hackel seorang pakar biologi dari Jerman. Istilah ini
pertama kali dipahami
oleh Hackel sebagai ilmu pengetahuan mengenai relasi antar
organisme dan
lingkungannya. 14
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sendiri kata
ekologi
dipahami sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik dan antar
mahkluk hidup dan
kondisi alam sekitarnya (lingkungannya). 15
Jadi dari definisi KBBI dan Hackel, bahwa
tempat kediaman (oikos) yang dibicarakan (logos) adalah relasi
antar organisme atau
mahkluk hidup dengan lingkungannya.
Dari definisi di atas memberikan sebuah keterangan mengenai apa
yang
dibicarakan dalam ekologi, yakni berkaitan dengan “hubungan”,
“makhluk hidup” dan
“alam.” Ketiga keterangan ini memberikan status keilmuan masa kini
pada ekologi bukan
hanya sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, melainkan
interdisipliner, bahkan
multidisipliner, karena topik pembahasannya berbicara pelbagai
objek keilmuan mulai
dari fisik, biotik, psikis, estetis, 16
dan tentunya ekologi berbicara dalam lingkup “etika”
karena ekologi berbicara mengenai “hubungan” antar mahkluk hidup
dan lingkunganya.
2.2.1 Ekologi: Relasi Interdependensi sebagai hakikat Alam
Semesta
Dalam tradisi pemikiran Yunani kuno pembicaraan ekologi lebih
melihat alam
semesta secara organis dan dalam sebuah kesatuan asasi. 17
Pada Abad Pertengahan
pembicaraan ekologi dalam usaha memahami alam semesta mulai
ditunjang dengan
peran iman. Hal ini memiliki konsekuensi terhadap pembicaraan
ekologi pada Abad
pertengahan, yakni manusia sebagai bagian dari keseluruhan alam
semesta memahami
alam semesta itu mempesona, menakutkan dan sekaligus mengagumkan
(dalam tradisi ini
terlihat adanya penghormatan pada alam semesta). 18
Tetapi dari kedua tradisi berpikir
14
Dilihat dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ekologi. 16
Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi :Filsafat tentang Kosmos
sebagai rumah tangga manusia
(Yogjakarta: Kanisius 1995), 34. 17
Keraf, Filsafat lingkungan hidup, 54. 18
Keraf, Filsafat lingkungan hidup, 54-55.
Yunani Kuno dan Abad Pertengahan memberikan pandangan pada kajian
ekologi masa
kini yakni melihat semesta sebagai sebuah satu kesatuan yang saling
bergantung.
Pada zaman modern, pandangan ekologi melahirkan cara pandang
antroposentrisme. Antroposentrisme adalah manusia sebagai pusat
alam semesta. Dari
cara pandang ini, menempatkan manusia sebagai spesis yang lebih
dominan dari pada
spesis-spesis lainya. Cara pandang antroposentrisme ini lebih
memperhatikan pada
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta.
19
Dari cara pandang ini
juga melahirkan relasi manusia dan alam dalam hubungan mekanistik.
20
Hubungan mekanistik terjadi ketika manusia menyadari hakikatnya
sebagai
mahkluk berakal budi. 21
Bacon berkaitan Knowledge is Power (Pengetahuan adalah kekuasaan)
yang melahirkan
metode empiris-induktif mulai menjadi tolak ukur pencarian sebuah
kebenaran. Melalui
pandangan Bacon ini alam dianggap sebagai benda yang harus
diselidiki melalui kuasa
akal budi manusia. Pada titik ini, manusia melihat alam bernilai
instrumental dan hanya
sebagai sebuah mesin. 22
Kembalinya pandangan hubungan holistik antar-manusia dan alam
semesta
terjadi karena manusia mulai menyadari bahwa di luar dirinya tidak
sebatas nilai
instrumental, tetapi memiliki nilai intrinsik. Kesadaran tersebut
menyebabkan lahirnya
gagasan berkaitan “etika tanah” dari Leopold. 23
Dari gagasan etika tanah, Leopold
cenderung ingin mendorong manusia untuk menyadari bahwa kehidupan
dalam alam
semesta itu saling bergantung. Dari hal ini masuk pada salah satu
prinsip ekologis yang
disebut Capra sebagai prinsip interdependensi. Bahkan Capra
menegaskan bahwa
19
Hubungan mekanistik adalah pandangan manusia terhadap alam semesta
hanya sebatas objek semata dan
dilihat secara matematik, tetapi tidak semua pemikiran yang lahir
pada Abad Pencerahan atau zaman
modern melihat alam semesta itu secara mekanistik. Misalnya,
pandangan Spinoza mengenai alam sebagai
Tuhan atau Tuhan adalah alam sebagai substansi tunggal, Eccy De
Jonge, Spinoza and Deep Ecology:
Challenging Traditional approaches to Enviromentalism, (New York:
Routledge 2004), xii. 21
Saras Dewi, Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia
dengan Alam, (Serpong:
Marjin Kiri 2015), 21. 22
Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, 59. 23
Etika tanah adalah sebuah perluasan etika yang dulunya di tempatkan
hanya pada manusia, dan yang
disebut tanah disini dimakud juga pada air, hewan, dan tumbuhan
secara kolektif. Dewi, Ekofenomenologi:
Mengurai Disekuilibrium, 26.
9
hubungan saling bergantung di alam semesta adalah hakikat dari
relasi ekologis. 24
Hal ini
bisa dicontohkan seperti tumbuhan yang dalam proses pertumbuhan
sudah selalu
dipengaruhi oleh matahari, tanah, air, dan bahkan spesies manusia
sendiri. Semua
terhubung dalam kesatuan mata rantai.
2.2.2 Manusia sebagai Bagian dari Komunitas Biota
Relasi saling bergantung atau relasi interdependensi terjadi
apabila manusia
menyadari dirinya sebagai bagian dari komunitas biota. Dalam upaya
menyadari dirinya,
manusia perlu melihat adanya nilai intrinsik dalam segala sesuatu
di alam semesta ini.
Untuk melihat nilai intrinsik dalam semesta, manusia tidak hanya
memakai kekuatan
nalarnya atau akal budi semata. Melainkan manusia harus melihat
keseluruhan dalam
alam semesta sebagai kenyataan natural dalam satu kesatuan
integral. Bahkan menurut
Arne Naes aspek emosi manusia berperan dalam memahami relasi dengan
alam. 25
Chang berpendapat bahwa ada dua gagasan pokok dari teori nilai
intrinsik.
Pertama, bahwa tiap mahkluk hidup memiliki kebaikan dalam dirinya.
Kedua mahkluk
hidup yang di luar manusia memiliki sebuah perkembangan penuh dari
kekuatan
biologisnya. 26
Dari gagasan ini, menunjukan bahwa spesies manusia bukan
satu-satunya
makhluk yang memiliki kekuatan dan kebaikan dalam dirinya. Jadi
manusia sebagai
bagian dari komunitas biota, dapat dipahami bahwa ia sebagai
mahkluk hidup yang
berada di antara para mahkluk hidup lainnya yang juga memiliki
kebaikan dan kekuatan
untuk membantu kehidupannya.
Kesadaran sebagai manusia sebagai bagian komunitas biota tidak
berhenti pada
tataran pencarian pengetahuan tentang keterhubungannya dengan alam
semesta,
melainkan bagaimana dia sampai pada tindakan untuk membentuk
keseimbangan
semesta. Karena perilaku setiap anggota kehidupan termasuk spesies
manusia
mempengaruhi keseluruhan kehidupan yang ada di dalam alam semesta.
Untuk itu
manusia dalam setiap tindakannya harus memperhatikan dampak atau
pengaruh dari
seluruh komunitas lingkungan hidup. Hal ini diperlihatkan oleh
Leopold ketika
24
Dewi, Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium, 29-30. 26
Chang, Moral Spesial, 286.
hanya untuk kepentingan manusia.
Manusia selain sebagai mahkluk ekologis, ia juga mahkluk religius.
Bahkan
kedua aspek dalam diri manusia ini tidak dapat dipisahkan atau
saling berkaitan. Karena
aspek religiusitas manusia terbentuk dari keberadaannya di alam
semesta. Sehingga
religiusitas manusia hadir dari keterpesonaannya terhadap
misteri-misteri di alam
semesta. Dari hal ini, dapat dilihat dengan adanya agama
tradisional yang dalam
keyakinannya selalu berkaitan erat dengan kesadaran lingkungan
hidup, dan termasuk di
dalamnya agama Kristen. 27
Selain itu antara nilai ekologis dan nilai religius sangat
berkaitan erat, karena
sama-sama menekankan nilai penghormatan dan keadilan pada semua.
28
Nilai “keadilan
pada semua” ditekankan untuk membedakan pada persoalan
keadilan-Individu yang
cenderung berpusat pada spesis saja. Manusia yang memiliki
kesadaran dan tujuan pada
nilai-nilai penghormatan dan keadilan pada semua dapat disebut
sebagai Homo eco-
religious.
Nilai eko-religius akan menjadi kabur ketika kecenderungan nilai
teknologis yang
lahir akibat gaya berpikir ala modern mendominasi cara pandang
manusia. Nilai
teknologis ini dimaksudkan di sini lebih berpatokan pada aspek
“penguasaan,” yang
membentuk sikap dominasi manusia dan alam. Sikap manusia tersebut
menjadikan
manusia untuk tidak lagi memberi penghormatan pada alam. Jadi dapat
dikatakan bahwa
tujuan dari homo eco-religiousus adalah sikap manusia dalam
relasinya dengan alam
lebih mengedepankan rasa hormat dan keadilan pada semua yang ada
dalam alam
semesta ini.
27
Al Andang KL Binawan “Homo Eco Religiousus: Sebuah Sharing
Permenungan, Hipotesis untuk
Diskusi” Jurnal Diskursus 2010, vol 9. 28
Hal ini dilihat dari permenungan Binawan berkaitan keterhubungan
homo ecologis (manusia ekologis)
dan homo religious (manusia religius), keterhubungan ini dilihat
dari pandangan filsafat lingkungan hidup
Henryk Sklimowsky, Binawan, “Homo Eco Religiousus”, 211.
11
pembacaan Surat Ibrani 6:1-8
Melalui pendekatan hermeneutik dengan perspektif ekologi, saya
memperhatikan
keempat upaya pencarian makna, tentu dengan tema yang diangkat
adalah tema ekologi.
Maka dalam membaca Surat Ibrani 6:1-8 pencarian makna berpusat pada
tema ekologi,
yang dibuka dengan inti perrtanyaan hermeneutis, apakah dalam
narasinya berbicara
tentang sebuah relasi interdepensi, manusia sebagai mahkluk biota,
dan sebagai mahkluk
eko-religius? Jawaban dari pertanyaan hermeneutis ini adalah hasil
dari percarian makna.
Selain itu saya memperhatikan pencarian makna di depan teks, dalam
upaya
penafsiran teks Surat Ibrani 6:1-8. Hal ini diperlukan sebagai
pemeriksaan
kecenderungan atau bias antroposentrisme dalam teks dan
penafsiran-penafsiran
sebelumnya terhadap teks. Pemeriksaan ini juga sebagai wujud
pengaruh subjektivitas
dan dunianya dalam perspektif ekologi.
Selanjutnya penunjang dalam proses hermeneutik dengan perspektif
ekologi,
pencarian makna di balik teks perlu di pertimbangkan. Karena apa
yang ada di balik teks
atau latar belakang teks perlu digali untuk melihat nilai-nilai
yang membentuk pandangan
ekologi.Untuk itu latar belakang teks, pertama saya mencoba melihat
aspek sosio-ekologi
dibalik narasi Surat Ibrani. Dalam aspek ini saya mencoba mencari
bentuk relasi antar-
manusia dan bentuk relasi manusia dan alam. Selain itu konteks
sosio-ekologi ini ditinjau
dalam kesadaran akan konteks sejarah teks memiliki sebuah inspirasi
berkaitan dengan
keberadaan pemikiran-pemikiran ekologi. Jadi secara keseluruhan
pencarian bahan-bahan
dari latar belakang teks berguna untuk mencari konteks
sosio-ekologi dan bias pemikiran-
pemikiran ekologi, guna memperkaya dialog dalam proses menafsir
Surat Ibrani 6:1-8.
3. Latar Belakang Surat Ibrani
Pembahasan dalam bagian ini akan diarahkan pada apa itu Surat
Ibrani, konteks
sosio ekologi dalam Surat Ibrani, terlebih khusus bagaimana
paradigma yang mengitari
situasi serta konteks pemikiran ekologi dari surat ini. Untuk itu
pembahasan Surat Ibrani
disini, saya memberikan sebuah catatan latar belakang produksi teks
sebagai tambahan
data dalam pembacaan hermeneutik ekologi. Selain itu dalam uraian
ini saya pertama
12
ingin menunjukkan data yang membuat para penafsir cenderung melihat
Surat Ibrani ke
dalam persoalan antar manusia atau pembacaan yang bersifat
antroposentrisme. Lalu saya
ingin menunjukan kemungkinan konstruksi pemikiran ekologi dengan
melihat
kecenderungan pandangan ekologi dalam Surat Ibrani.
Dalam Surat Ibrani, kecenderungan paling kuat dipengaruhi dari tiga
tradisi
pemikiran yakni pemikiran Yunani, Yahudi, dan Kristianisme.
29
Secara harafiah,
pengaruh pemikiran Yunani dalam Surat Ibrani terlihat dari bahasa
penyampaiannya
mengggunakan bahasa Yunani. Kalau pemikiran Yahudi berpengaruh
dalam Surat Ibrani
karena teks ini mengambil unsur-unsur dari doktrin Yahudi, hal ini
bisa terlihat dari
adanya pembahasan mengenai imam Melkizedek. Dan terakhir adalah
Kristianisme,
karena surat ini merupakan sebuah pengembangan selanjutnya
berkaitan dengan ajaran
Yesus kristus. Maka dapat dikatakan juga bahwa Surat Ibrani lahir
dari kekristenan
generasi selanjutnya.
Selain mengidentifikasi ketiga tradisi di atas, lebih dahulu
diidentifikasikan siapa
penulis Surat Ibrani. Dari awal masuknya Surat Ibrani dalam
kanonisasi sudah menjadi
sebuah perdebatan perihal tentang siapa penulinya. Pada abad
pertengahan, Surat Ibrani
diterima sebagai salah satu Surat Paulus, tetapi dengan menganalisa
karakteristik narasi
sulit untuk menerimanya. Hal ini dilihat dari beberapa pendapat
yang menolak bahwa
Paulus sebagai penulis Surat Ibrani. Menurut John Drane, melihat
dari karakter penulisan
dan pokok-pokok yang menjadi perhatian Surat Ibrani sulit menerima
bahwa Paulus
sebagai penulisnya. 30
cenderung dari tradisi Yohanes, bahkan percaya memiliki ciri
tersendiri. 31
Lindars
menolak bahwa tradisi Yohanes dan Paulus dalam Surat Ibrani, tetapi
sependapat dengan
Groenen bahwa Surat Ibrani memiliki pemikiran sendiri yang berbeda
dengan kitab Injil
lainnya, terlebih mengenai apa itu Kristus (Kristologi). 32
Pada akhirnya, tidak bisa
Hurst menunjukan bahwa banyak pemikirian yang mempengaruhi
penulisan Surat Ibrani, yang dibaginya
menjadi dua, yakni dari dalam tradisi kekristenan dan bukan dari
tradisi kekristenan, dan semua
didominasi dari pemikiranPL dan PB serta budaya Yunani, L D Hurst,
The Epistle to the Hebrews its
background of thought, (Cambridge Univerity Press 1990). 30
John Drane, Memahami Perjanjaian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia
2011), 476 - 477. 31
D.C Groenen, Pengantar dalam perjanjian baru (Yogjakarta: Kanisius
1984), 321. 32
Lindars, New Testament Theology, 1-2.
13
diketahui siapa penulis Surat Ibrani dan hanya bisa diketahui bahwa
penulis surat adalah
seorang pemikir ontentik.
Sebagai pemikir ontentik, penulis Surat Ibrani ini dianggap sebagai
seorang
pengkhotbah. Karena hal ini berkaitan dengan isi Surat Ibrani yang
memberikan
pengajaran sampai pada ranah moralitas. Dalam penyampaiannya, Surat
Ibrani juga
memakai model retorika. Ini menunjukan salah satu karakter dari
penulis yang dekat
dengan dua tradisi yakni Yahudi dan Yunani karena penyampaiannya
bersifat retorik. 33
Dari model retorika yang dipakai penulis Surat Ibrani, menegaskan
bahwa penulis
dan pembacanya adalah seorang yang terpelajar. Ada asumsi yang
mendekatkan penulis
Surat Ibrani dengan Philo dari Alexandria. Karena penulis
diperkirakan pernah mendapat
pengajaran dari sekolah Philo. 34
Bahkan menurut Drane, penulis Surat Ibrani berlajar
pemikiran Yunani dari Philo. 35
Begitu juga ketika retorika dengan cara komparatif dapat
diandaikan daya analisis dari penulis dan responden terhadap
bacaan. Seperti teks Ibrani
5:13-14, sangat jelas menuntut pembaca untuk memiliki daya analisa
dalam hal
memahami. Jadi gaya retorik dipergunakan oleh penulis Surat Ibrani
untuk mendorong
pembaca kealam berpikir yang lebih dalam. Lalu apakah dalam
pengajaran Surat Ibrani
menyimpan sebuah pandangan ekologi dalam bangunan retorikanya?,
tetapi sebelumnya,
saya akan menunjukan penafsiran yang menjadi penghalang dalam
pembicaraan ekologi,
atau potensi kecenderungan antroposentrisme melalui penilaian
kondisi jemaat pembaca
dalam pembacaan Surat Ibrani.
3.1 Relasi Antar-manusia ditinjau dari Keadaan Jemaat dalam Surat
Ibrani
Pertama persoalan sosio-ekologi dapat dinilai dari relasi
antar-spesies manusia
dalam konteks Surat Ibrani. Dari pembicaraan relasi antar-manusia,
lahirnya
kecenderungan antroposentrisme dari penafsir tradisional dalam
upaya mendekati Surat
Ibrani. Dan hal tersebut berkaitan dengan kondisi jemaat yang
disasar dalam penulisan
Surat Ibrani.
35 Drane, Memahami Perjanjian Baru, 478.
14
Jemaat yang disasar penulis Surat Ibrani diperkirakan berada di
Itali. 36
Bahkan
Drane berpendapat bahwa jemaat yang disasar penulis Surat Ibrani
berada di Roma.
Karena jemaat yang disasar oleh Surat Ibrani mirip dengan suatu
kelompok yang
diuraikan dalam kitab Roma 16:3-15. Dalam kelompok tersebut
menunjukan keterbukaan
orang Yahudi terhadap ajaran kekristenan dan adanya jemaat Kristen
yang masih
mempertahankan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi. 37
Selanjutnya, keadaan jemaat yang
Dari pandangan ini juga, jemaat pembaca sering dilekatkan dengan
tradisi Stefanus yang
dikisahkan dalam kitab Kisah Para Rasul. 38
Maka dengan pengandaian bahwa jemaat
mendapatkan penganiyaan ini menjadi alasan kenapa orang Yahudi yang
masuk Kristen
ingin murtad atau kembali ke ajaran Yahudi. Dari persoalan jemaat
ini, mendorong
pandangan para penafsir untuk melihat bahwa Surat Ibrani berisi
bangunan retorika guna
menarik kembali para jemaat yang ingin murtad karena penganiyaan
yang mereka
rasakan.
Dari konteks jemaat yang teraniyaya dan ingin murtad, pandangan
atau cara
menafsir memiliki kosekuensi serius, yakni kecenderungan bias
antropesentrisme dalam
pembacaan teks Surat Ibrani. Karena Surat Ibrani dilihat hanya pada
persoalan atau
kepentingan antar-manusia semata, tanpa melihat kandungan
pembicaraan yang lain
seperti lingkungan hidup. Berkaitan dengan kondisi jemaat Surat
Ibrani telah memberi
salah satu bentuk dari relasi ekologi. Bentuk tersebut
menggambarkan relasi antar satu
spesies yakni antar spesis manusia. Gambaran relasi tersebut
menunjukan sebuah relasi
yang tak seimbang, dalam artian adanya bentuk dominasi dari salah
satu spesies dari
komunitas biota tersebut.
3.1.1 Relasi manusia dan alam dalam konteks Surat Ibrani
Surat Ibrani adalah surat yang lahir pada zaman revolusi
neolitikum. Karena Surat
Ibrani ditulis diantara tahun 80 atau tahun 90. 39
Zaman revolusi neolitikum sendiri adalah
zaman perubahan relasi antara manusia dan alam karena manusia
menyadari alam
36
Lindars, New Testament Theology, 17. 37
Drane, Memahami Perjanjian Baru, 480. 38
Hurst, The Epistle to the Hebrews its Background of Thought, 89.
39
Groenen, Pengantar dalam Perjanjian Baru, 16.
15
sebagai penunjang kebutuhan hidupnya. Kesadaran manusia ini lahir
dari datangnya atau
adanya musim kelaparan. 40
Keadaan ini yang mendorong manusia untuk mampu
mengelola alam agar dapat bertahan hidup. Pada zaman ini alam yang
diola manusia
tidak seperti pada zaman revolusi Industri yang memaksa alam untuk
menghasilkan
sumber kebutuhan manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa zaman revolusi
neolitikum
adalah zaman manusia mengelola alam dan tanpa mengubah
fungsinya.
Keterangan lain yang bisa dilekatkan kepada Surat Ibrani dalam masa
revolusi
neolitikum yakni dengan meninjau pekerjaan-pekerjaan manusia pada
saat itu. Pekerjaan
manusia yang lahir pada revolusi neolitikum adalah petani, peternak
dan tukang
bangunan. 41
Pekerjaan pertama yang dapat dilihat dalam Surat Ibrani adalah
petani. Hal
itu disebabkan masyarakat berada dalam konteks agraria. Dari
pekerjaan sebagai petani
dapat dilihat sebuah kesadaran masyarakat atau manusia pada masa
itu melihat alam
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan.
Karakteristik ini terlihat dari beberapa tradisi yang mengitari
Surat Ibrani. Terlebih dilihat
dari arah tujuan Surat Ibrani kepada orang Yahudi-kristen. Dari
karakteristik nomaden
seperti ini menandakan bahwa pekerjaan seperti tukang bangunan
telah ada pada masa
itu. Ciri ini juga menegaskan bahwa Surat Ibrani berada dalam zaman
revolusi
neolitikum.
3.2 Bias Pemikiran Ekologi di Dalam Konteks Surat Ibrani
Keadaan zaman neolitikum yang diuraikan di atas tentu masih
bersifat umum
berkaitan keadaan sosio-ekologi dalam konteks Surat Ibrani. Karena
relasi manusia dan
alam tidak hanya didorong dengan kondisi alam melainkan juga cara
pandang manusia
terhadap alam semesta. Untuk itu perlu dilihat di sini
pemikiran-pemikiran tentang alam
yang ada dalam konteks Surat Ibrani.
Pemikiran tentang alam pertama bisa dilihat dari pandangan Yunani.
Pandangan
Yunani dalam konteks Surat Ibrani lebih diarahkan pada pengaruh
tradisi filsafat
40
Revolusi neolitikum adalah masa ketidakseimbangan alam dan pada
masa ini manusia mengubah alam
tanpa membahayakan fungsi alam. Chang, Moral Spesial, 264-266.
41
Chang, Moral Spesial, 264.
16
“platonisme tengah” atau para pengikut yang dipengaruhi ajaran
Plato yang lahir pada
abad pertama. Tokoh-tokoh yang penting lahir pada masa ini Philo
dari Alexandria dan
Plutarch dari Kaironia, dan bahkan penulis Surat Ibrani ditempatkan
Thompson sebagai
salah satu bagian dalam Platonisme tengah. Pada periode ini penulis
Surat Ibrani
ditempatkan sebagai penafsir tradisi agama. 42
Pemikiran Platonisme tengah menggambarkan dunia dalam dualitas
yang
memberikan pemisahan antara “ada” dan “menjadi”. 43
Lalu “Ada yang sejati”
digambarkan sebagai sosok Tuhan yang kekal atau abadi sedangkan
ciptaannya sebagai
“ada” yang harus berubah-ubah. 44
Untuk itu bagi pemikiran Platonisme tengah
mengambarkan Tuhan sebagai Satu. Sedangkan semua mahluk hidup yang
ada di dunia
digambarkan sebagai “ada” yang berubah-ubah dalam proses “menjadi”.
Maka dalam
pandangan platonisme tengah, manusia dalam proses eksistensinya
yang berubah-ubah
harus memiliki beban yakni untuk mengetahui Tuhan yang datang
melalui persepsinya. 45
Kedua bisa dilihat dari pemikiran tentang alam dalam tradisi
Yahudi. Persoalan
tradisi Yahudi dalam Surat Ibrani lebih dilihat pada pengaruh
ajaran Qumran. Pengaruh
Qumran dalam Surat Ibrani lebih melihat pengaruh tradisi Yahudi
berkaitan dengan
persoalan apokaliptik. Ajaran Qumran ini mengahantarkan juga pada
tema berkaitan
dengan cara pandang kosmos terhadap Surat Ibrani. Ajaran ini
menghantarkan pada
persoalan manusia yang diperhadapkan pada persoalan baik dan buruk.
Selain itu ajaran
Qumran menghantarkan pada relasi manusia dengan malaikat, dan
bahkan berkaitan
dengan tempat suci atau surga. Bahkan pengaruh narasi Qumran
berkaitan dengan
pembicaraan keberadaan dunia spiritual dalam Surat Ibrani menjadi
sebuah perbandingan
dengan pengaruh dari pemikiran Platonisme tengah. Meskipun keduanya
dapat
dikorelasikan dengan melihat pengaruh pemikiran Platonisme tengah
yang membicarakan
pada persoalan dunia material. 46
42
James W. Thompson, “What Has Middle Platonism To Do Hebrews?”,
Reading Epistle to the Hebrew (Atlanta: Society of Biblical
Literature 2011),35. 43
Thompson, “What Has Middle Platonism To Do Hebrews”, 34. 44
Thompson, “What Has Middle Platonism To Do Hebrews”, 34. 45
Thompson, “What Has Middle Platonism To Do Hebrews”, 35. 46
Eric F. Mason, “Cosmology, Messianism, and Melchizedek: Apocalyptic
Jewish Traditions and
Hebrews”, Reading Epistle to the Hebrew,(Atlanta: Society of
Biblical Literature 2011), 35-60.
17
Surat Ibrani adalah pesan yang diberikan kepada jemaat
Yahudi-kristen. Surat
Ibrani yang tidak diketahui siapa penulisnya memakai retorika
sebagai model
penyampaian suratnya. Gaya retorika yang dipengaruhi oleh kedua
tradisi yakni tradisi
Yunani dan Yahudi. Menyadari retorika sebagai penggunaan
penyampaian narasi,
membuat para penafsir memahami Surat Ibrani sebagai persoalan
antar-manusia atau bias
antroposentrisme.
Dengan meninjau dari sisi sosio-ekologi, yang meninjau relasi
diantara manusia
dan manusia dan alam dalam Surat Ibrani disimpulkan sebagai relasi
yang tak seimbang.
Relasi antar manusia dapat diuraikan dari kondisi jemaat Yahaudi
Kristen yang
teraniyaya oleh orang Yahudi. Kondisi ini ingin mengambarkan bahwa
adanya relasi
yang tidak seimbang diantara manusia dan hal ini juga dinilai
sebagai alasan kenapa
Surat Ibrani ditulis. Sehingga retorika dari bangunan Surat Ibrani
dipahami untuk
menjaga kosistensi dari iman jemaat yang teraniyaya. Selanjutnya
melalui relasi manusia
dan alam dalam Surat Ibrani ditinjau dari pekerjaan-pekerjaan yang
lahir pada saat itu.
Pekerjaan seperti petani dan tukang bangunan dapat dinilai pada
masa itu. Maka Surat
Ibrani secara keseluruhan dikatakan masuk pada masa relasi tak
seimbang atau masuk
pada masa revolusi neolitikum.
Terakhir selain uraian bentuk relasi sosio-ekologi, saya coba
memperlihatkan
adanya bias pemikiran ekologi dari Surat Ibrani. Bias tersebut
ditemukan dari kedekatan
Surat ibrani yang dipengaruhi tradisi Yunani (Platonisme tengah)
dan pemikiran dari
radisi Yahudi (kaum Qumran). Dialetika dari kedua tradisi ini
menempatkan Surat Ibrani
ke dalam pandangan dunia material dan dunia spiritual.
4. Studi Hermeneutik dengan Perspektif Ekologi terhadap Surat
Ibrani 6:1-8
Setelah melihat konteks Surat Ibrani, pada bagian ini saya
memberikan batasan
dengan memusatkan pada tiga pertanyaan inti hermeneutik perspektif
ekologi terhadap
Surat ibrani 6:1-8. Pertanyaan pertama, apakah dalam Surat Ibrani
6:1-8 berbicara
tentang relasi interdependensi? apakah posisi manusia dalam Surat
Ibrani 6:1-8 dilihat
18
sebagai bagian komunitas biota? Terakhir apakah manusia dalam Surat
Ibrani bisa
digambarkan sebagai mahkluk Eco religiousus, lalu bagaimana wujud
etikanya?
4.1 Ajaran Kedewasaan Membuka Pembicaaran Ekologi
Salah satu bagian retorika penting dari keseluruhan Surat Ibrani
terletak pada
pasal 6:1-8 yang menekankan bentuk kedewasaan pembaca. Kedewasaan
di sini
dimaksudkan bahwa pembaca mendapatkan pemahamanan yang penuh
atau
menyeluruh. 47
Melihat arah dari cara baca antroposentrisme, kebutuhan pembaca
saat itu
yang ingin murtad tentu menjadi jalan masuk penulis Surat Ibrani
untuk memberikan
kembali pendasaran iman yakni beriman pada Allah. Hal ini
menunjukan mengapa
penulis Surat Ibrani yang menyarankan bahwa ajaran atau asas-asas
yang berkaitan
dengan Kristus dan ritus seperti pembaptisan semua itu adalah
perbuatan yang sia-sia
tanpa perizinan Allah. Ini menegaskan bahwa “kedewasaan” sebagai
bentuk
ketergantungan pada Allah atau menunjukan sebuah kecenderung ide
monotheistik. Hal
ini melihat konsisten dengan konsep teologi yang bias konsep Satu
dari pemikiran
Platonisme tengah.
Penekananan kedewasaan ini juga oleh Lindars dilihat sebagai jalan
masuk
pemberitaan mengenai posisi Yesus dalam Surat Ibrani. 48
Penekanan ini cenderung
bersifat antar manusia. Namun bila dinilai dalam dunia spiritual
bagaimana pembicaraan
Yesus yang nantinya diperhadapkan dengan sosok Melkisedek dan
malaikat pernyataan
lindars dapat didukung. Dengan menyadari bahwa kemungkinan ini cara
penulis surat
untuk mengarahkan pada asas yang mendasar berkaitan dengan sosok
Yesus yang
memiliki kedudukan tinggi di atas dunia. 49
Bahkan menurut Mason hal ini adalah tema
utama dari bentuk ajaran Surat Ibrani berkaitan dengan keberadaan
sosok Yesus sebagai
Anak Allah. 50
Pendapat ini dijadikan penulis Surat Ibrani sebagai kesadaran akan
disonansi pembaca dengan sosok Kristus, Mason, “Cosmology,
Messianism, and Melchizedek, 35. 50
Mason, “Cosmology, Messianism, and Melchizedek, 37.
19
materil. Dari dunia materil perlu diperlihatkan bagaimana relasi
antara ciptaan dalam
narasi kedewasaan. Bagaimana ciptaan itu memiliki korelasi dengan
keberadaan dunia
spiritual? Bagaimana “ada” dan “kemenjadian” terjadi dalam narasi
kedewasaan?, atas
pertanyaan berkaitan dengan konteks pemikiran Surat Ibrani ini,
ajaran kedewasaan
mendapatkan tempat bagi pembicaraan ekologi.
4.1.1 Ajaran Kedewasaan Menunjukan Bentuk Relasi
Interdependensi
Ajaran Kedewasaan sebagai dorongan akan pemahaman yang
menyeluruh
menghantarkan pada pembicaraan tentang relasi interdepensi dalam
Surat Ibrani 6:1-8.
Pembicaran tersebut dapat ditemukan dengan adanya ungkapan yang
menyatakan mulai
dari sifat “tanah” yang meghisap air hujan dan menghasilkan
tumbuh-tumbuhan yang
berguna”(Ibr 6:7). Ungkapan ini memang dilihat dari beberapa
penafsir sebagai sebuah
narasi yang bersifat metafora atau dilihat sebagai bentuk ilustrasi
semata. Tafsiran seperti
ini dilihat dalam kacamata retorik sebagai gaya penulisan Surat
Ibrani. Selain itu tafsiran
seperti ini cenderung masih terperangkap dalam bias
antroposentrisme yang hanya
melihat narasi ini untuk kepentingan antar-manusia semata. Namun
dari tafsiran seperti
ini menunjukan karakteristik masyarakat dalam Surat Ibrani yakni
masyarakat agraria.
Konteks agraria dalam Surat Ibrani tidak menutup bahwa adanya
pemikiran relasi
interdependensi dalam Surat Ibrani. Ungkapan sifat tanah di atas
bila dilihat lebih jauh
dengan kacamata ekologi dapat dipahami bahwa pertama “tanah”
sebagai bagian dari
relasi terhubung dengan semua mahkluk hidup. Kedua pastinya “tanah”
di sini
digambarkan memiliki kemampuan menghidupkan. Pada gagasan ini
terlihat bahwa
narasi ini megandung arus berpikir terntang “kemenjadian” dari
pengaruh pandangan
Platonisme tengah. Selanjutnya hal ini menerangkan bahwa pandangan
“etika tanah”
yang mengedepankan pembicaraan etika di luar manusia mendapatkan
posisinya dalam
pembicaraan Surat Ibrani. Sehingga persoalan baik dan buruk juga
bukan lahir hanya
pada persoalan manusia seperti yang dipengaruhi dalam paradigma
Qumran. Jadi dapat
dikatakan bahwa Surat Ibrani memperlihatkan dari ajaran kedewasaan
alam diberikan
posisi serupa sebagai subjek.
Keterlibatan manusia terhadap ekosistem dengan diberikan tanggung
jawab
untuk mengerjakan tumbuhan yang dihasilkan dari tanah. Kertlibatan
ini menunjukan
bahwa manusia sebagai bagian dari komunitas biota dalam narasi
Surat Ibrani. Selain itu
konteks keterlibatan ini harus dibaca sebagai keterlibatan yang
bersifat memelihara.
Karena kata “mengerjakan” yang dipakai dalam narasi ini berarti
mengelola atau
menanami. 51
Jadi posisi manusia dari keseluruhan dari keterhubungan proses
ekologis ini
mendapatkan perannya sebagai pengelola setiap hasil dari
tanah.
Dalam narasi ini juga menegaskan bahwa tindakan manusia mengelola
dan
menanam adalah perwujudan berkat dari Allah. Pernyataan ini jelas
bahwa pertama Allah
dipahami sebagai pemberi berkat dari hasil usaha manusia. Kata
“berkat” di sini dapat
diartikan bukan penerimaan yang secara sukarela dari Allah
melainkan memiliki tuntutan
dari hasil kerja nyata manusia. Pada titik ini dapat menerangkan
mengapa Surat Ibrani
memiliki prinsip bahwa iman berkaitan dengan perbuatan. Hal ini
menunjukan bahwa
aspek spiritualitas manusia tidak bertentangan dengan kegiatan
fisik atau relasi bersifat
materialnya dengan alam semesta. Berkaitan dengan “perbuatan yang
sia-sia” yang
ditegaskan pada narasi awal tentang ajaran kedewasan mendapat
penjelasannya di sini,
yakni bahwa salah satu perbuatan yang dizinkan Allah (perbuatan
yang berguna) adalah
keterlibatan manusia sebagai pengelola alam semesta.
4.3 Otoritas Allah Menjadi Landasan Etika Lingkungan
Aspek religius manusia berkaitan aspek ekologisnya terdapat dalam
ajaran
kedewasaan. Dengan menekankan bahwa Allah sebagai pemilik otoritas
penuh dalam
kehidupan ekologis. Paradigma yang mengitari Surat Ibrani baik
pandangan Platonisme
tengah (dunia material) dan (dunia spiritual) mendapatkan bentuk
korelasinya dalam
ajaran kedewasan. Hal ini juga mengambarkan pribadi penulis Surat
Ibrani yang
memahami manusia sebagai mahkluk eko-religius.
51 Kata mengerjakan berasal dari bahasa Yunani: γεωργε ται,γεωργ ω,
yang berarti mengerjakan tanah,
mengelola atau menanami. Kata ini identik dengan praktik argikultur
atau dalam hal pertanian dan kata ini
diambil dari Surat Ibrani 6:7.
21
Otoritas tersebut terlihat dari kepercayaan bahwa hasil dari kerja
ekosistem akan
menjadi kutukan dari Allah apabila menghasilkan sesuatu yang tidak
berguna. Sesuatu
yang tidak berguna digambarkan disini adalah rumput duri, semak
duri, atau juga semak
belukar. Pada titik ini dapat mengetahui bahwa penulis Surat Ibrani
percaya bahwa
semak duri adalah jenis tanaman yang tidak berguna. Meskipun kata
semak duri banyak
disinggung oleh dalam PL dan PB sebagai sebuah lambang perjumpaan
dengan Ilahi. 52
Namun bias PL terhadap Surat Ibrani bisa menjadi landasan di sini,
karena berkaitan
dengan perintah pada manusia pertama setelah dihukum Allah ketika
jatuh dalam dosa.
Perintahnya tepat tercatat dalam kitab kejadian 3:18 “semak duri
dan rumput duri yang
akan dihasilkan bagimu...”, dan dari perintah ini dapat dimaksud
jenis dari semak duri
dalam surat ini yakni paliurus aculeatus. 53
Dalam hal ini benar apa yang dipahami oleh
Jefrey S. Lamp bahwa surat Ibrani dipengaruhi oleh teologi
Penciptaan dalam pemikiran
Yahudi. 54
Penjelasan terkini menunjukan juga bahwa semak duri adalah
pengganggu
tumbuhan karena besifat melukai dan tumbuh secara liar. Ini menjadi
alasan mengapa
semak duri menjadi tumbuhan pengganggu tumbuhan sekitar. Dapat
disimpulkan juga
bahwa tumbuhan semak duri selain tidak berguna tumbuhan ini menjadi
pengganggu
pertumbuhan ekosistem. Tentu ini akan menjadi berbeda dengan
prinsip interkoneksi
yang memberikan nilai intrinsik pada segala sesuatu di dunia, kalau
beranggapan bahwa
semak duri sebagai tumbuhan yang tak bernilai.
Kemungkinan kehadiran semak duri menjadi bernilai apabila dipahami
sebagai
alasan bahwa adanya relasi manusia dengan tanah, karena pada
dasarnya tanah
menghasilkan juga sesuatu yang tidak berguna. Ini menjadi alasan
atau faktor kenapa
manusia harus mengelola tanah dan sekaligus bertanggung jawab atas
hukuman yang
52
Dalam PL hal kata semak duri ini dikisahkan melalui ceritra Musa
berjumpa dengan Allah di Gunung
Horeb (keluaran) dan pada PB selain Surat Ibrani semak duri dipakai
Yesus dan Stefanus (kisah Para
Rasul) dan pernah dikutip dalam Injil (Mrk12:26, lukas 20:37) hal
ini semua diindetikan sebagai semak
yang terbakar dan simbol perjumpaan dengan Musa. 53
Rumput duri ini hadir dimana-mana dan pada waktu kering tumbuhan
ini pernah digunakan sebagai
mahkota saat Yesus disalib, Trias Kunchayono, Jerusalem 33:
Imperium, Kota para Nabi dan Tragedi di
tanah Suci, (Jakarta: Penerbit Buku kompas, 2011,), 46. 54
Jefrey S Lamp, The Greening of Hebrews? Ecological Reading in the
Letter of Hebrews (Eugene:
Picwick Publication 2012), 14.
22
diberikan Allah. Pada sisi lain juga dapat dikatakan bahwa kutukan
Allah juga
menginginkan adanya relasi saling memelihara antar mahkluk hidup
dan lingkungannya.
Dari penerimaan kutukan ini dapat dibaca bahwa manusia dan alam itu
setara.
Karena semua itu, baik alam dan manusia dalam kontrol kuasa Allah.
Meskipun dalam
narasi penciptaan menekankan bahwa manusia serupa dengan Allah,
manusia diberi
kuasa pemberian nama atas ciptaan lainnya. Tapi bila dilihat dalam
konteks kutukan
Allah memberi penegasan bahwa posisi manusia dan alam itu tidak ada
yang lebih
berkuasa satu dengan lainnya. Bahkan melalui kutukan ini
memperlihat keterhubungan
holistik diantara segala sesuatu di dunia ini. Karena akibat
kesalahan satu spesies yakni
manusia bisa mempengaruhi keberadaan yang lain, yakni tanah. Tanah
pada akhirnya
diberikan sebuah nilai kehidupan yang paradoks oleh Allah, karena
satu sisi melahirkan
sebuah tumbuhan yang berguna dan sisi lain melahirkan tumbuhan yang
tidak berguna
seperti semak duri. Nilai yang paradoks ini nantinya menjadi alasan
adanya
keterhubungan yang konkret antara manusia dan tanah. Dan pastinya
keterhubungan
biota dalam semesta disadari dalam rancangan penciptaan, atau Allah
menghendaki
sebuah relasi antara semua komunitas biota dalam ajaran
kedewasaan.
4.4 Kesimpulan
Secara keseluruhan melalui pendekatan ekologi terhadap Surat Ibrani
6:1-8 bisa
ditemukan bahwa penekanan pertama adalah mengenai pembicaraan
kedewasaan.
Kedewasaan tersebut menuntut pada pemahaman yang mendasar sekaligus
bersifat
menyeluruh. Untuk itu kedewaasaan juga membicarakan sesuatu yang
berkaitan dengan
ekologi.
relasi interdependensi. Relasi interdependensi dipahami dengan
memberikan landasan
teologis, bahwa Allah menjadi patokan utama dalam beriman atau
cenderung bersifat
monotheistik. Dari penekanan otoritas Allah menunjukan kuasanya
atas semesta dengan
memberikan tanah memiliki nilai sebagai penghasil tumbuhan dan
sekaligus penghasil
semak duri. Sebagai penghasil semak duri itu pahami sebagai betuk
kesalahan manusia
pertama, sehingga dapat ditemukan bahwa penekanan “perbuatan yang
berguna” yakni
dengan mengelola tanah serta tumbuhan.
23
mendapatkan unsur moralitasnya dengan menempatkan manusia sebagai
bagian
ekosistem dan diperintahkan Allah untuk mengelola lingkungannya.
Dari persoalan
mengelola lingkungan ini lebih daripada persoalan ritus, atau
persoalan ajaran kristen
semata. Karena dari pereintah ini dipahami sebagai bentuk perbuatan
yang berguna, dan
sekaligus sebgai bentuk mempertanggung jawabkan dosa
asalinya.
5. Penutup
perspektif ekologi. Dengan pembacaan ekologis pembaca kristen lebih
teliti pada
kecenderungan antroposentris dibalik produksi teks dan tafsiran
tradisional, sehingga
dapat mengangkat kembali suara alam dalam teks. Sebagai
kosekunsinya melalui
pembacaan ekologis orang kristen bisa menemukan acuan etika
lingkungan melalui teks
yang diimaninya.
perspektif ekologi terhadap ajaran kedewasaan dalam Surat Ibrani
6:1-8. Dalam
pembacaan ini saya menemukan kecenderungan antroposentrisme dari
penafsir
tradisional berkaitan topik “kedewasaan” dalam Surat Ibrani 6:1-8.
Hal itu ditemukan
dari pemikir Lindars dan Penicook, yang melihat pembicaraan
“kedewasaan” sebagai
kepentingan antar-manusia.
Setelah itu dengan pembcaaan ekologis terhadap Surat Ibrani 6:1-8,
dapat
diperlihatkan pertama bagaimana kedewasaan iman memberikan peluang
pembicaraan
ekologi. Kedua dapat ditemukannya dalam pembicaraaan “kedewasaan”
berbicara relasi
interdependensi atau sebuah relasi terhubung dalam semesta. Ketiga
pembicaraan
kedewasaan menunjukan ajaran berkaitan etika lingkungan. Ajaran
tersebut disadari
karena manusia dalam Surat Ibrani dipahami sebagai mahkluk
eco-religious.Sehingga
perilaku manusia terhadap alam didorong akan kesadaran terhadap
kedaulatan Allah.
Terakhir dapat menemukan alasan mengapa manusia harus mengelola
tanah, yakni
karena dosa asali manusia memengaruhi tanah menghasilkan sesuatu
yang tidak berguna.
24
Akhirnya melalui pembacaan ekologis terhadap Surat Ibrani 6: 1-8
mendapatkan
wujud relevansinya dalam konteks Indonesia. Mengingat pertama,
konteks Indonesia
yang mengalami krisis lingkungan yang cukup signifikan, apalagi
akhir-akhir isu-isu
pembakaran hutan lagi menjadi topik yang hangat dibicarakan.
Melalui ajaran kedewasaan, komunitas Kristen di Indonesia dituntut
untuk lebih
memperhatikan pada pembentukan kesadaran ekologis dan praktik
ekologis sebagai
bentuk kedewasaan iman. Pada masa kini sebagian besar tema-tema
utama dalam teologi
dan kehidupan bergereja di Indonesia cenderung mengalienasi
tema-tema yang bersifat
ekosentris. 55
lingkungan dari pada persoalan ritus dan ajaran berkaitan kristus.
Perwujudan ajaran
kedewasaan ini juga bentuk dukungan terhadap agenda kekristenan
se-dunia berkaitan
dengan menghapi persoalan lingkungan hidup. 56
Tentu kesadaran terhadap pengelolaan lingkungan bukan hanya
tuntutan
komunitas Kristen melainkan seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu
dalam konteks
Indonesia yang melandaskan nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi
ruang
penekanan kedewasaan iman dengan penekanan ide monoteistiknya. Hal
ini juga di
tunjang bahwa kecenderungan antroposentrisme sebagai biang
kerusakan lingkungan
hidup adalah wujud atau bentuk dari paham ateis. 57
Jadi negara yang ber-Ketuhanan
Begitu juga dalam tiap kehidupan dam perilaku masyarakat
sehari-hari, harus
memperhatikan lingkungan hidup, karena setiap tindakan masyarakat
bahkan tiap
individu selalu mempengaruhi seluruh ekosistem.
55
Ditunjukan Amatus bahwa ada ketidakseimbangan dalam teologi dan
Gereja yang hanya berpusat pada pembahasan yang bersifat
antroposentris dan teosentris, tanpa memasukan unsur ekosentris,
Amatus Woi, SVD “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”,
Menyapa Bumi menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan teologis atas
Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius 2008), 13. 56
Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa 2006 yang mengambil salah satu tema
persoalan ekologi, Globalisasi Alternatif Mengutamakan Rakyat dan
Bumi sebuah dokumen latar belakang (Jakarta: PMK HKBP 2008).
57
Raymundus Sudhiarsa,” Merumuskan tanggung jawab iman dan
keberpihakan pada lingkungan hidup “. Menyapa Bumi menyembah Hyang
Ilahi: Tinjauan teologis atas Lingkungan Hidup (Yogyakarta:
Kanisius 2008), 184.
25
Bakker, Anton. Kosmologi dan Ekologi Filsafat tentang Kosmos
sebagai rumah tangga
manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
C, Habel Norman. “Introduction Hermeneutic Ecology” Exploring
Ecological
Hermeneutics, ed Norman C Habel, Peter Trudinger, Atalanta: Society
of Bible
Literature, 2008.
Dewi, Saras. Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi
Manusia dengan Alam,
Serpong: Marjin Kiri, 2015.
Drane, John. Memahami Perjanjaian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011.
Groenen. D.C. Pengantar dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta:
Kanisius, 1984.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami:Hermeneutik dari Scheleirmacher
sampai Derrida,
Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Hurst, D. The Epistle to the Hebrews its Background of Thought,
Cambridge: Cambridge
Univerity Press, 1990.
Keraf, Sony. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem
Kehidupan,
Yogyakarta: kanisius, 2014.
Kunchayono, Trias. Jerusalem 33: Imperium, Kota Para Nabi dan
Tragedi di Tanah
Suci, Jakarta: Penerbit Buku kompas, 2011.
Jonge, Eccy De. Spinoza and Deep Ecology: Challenging Traditional
approaches to
Enviromentalism, New York: Routledge, 2004.
Lamp, Jefrey S. The Greening of Hebrews? Ecological Reading in the
Letter of Hebrews,
Eugene: Picwick Publication, 2012.
Lindars, Barnabas. New Testament Theology: The Theology of the
Letter to the Hebrews,
Cambrigde: Cambrigde University Press, 2003.
26
Pennicook, Ian D. The Shadow and the Substance: A Commentary The
Letter to Hebrews,
Newcreation.Inc, 2004.
Porter, Stanley E and Beth M. Stovell, et al. Biblical
Hermeneutics: Five Views, Downers
Grove: InterVarsity Press, 2012.
Schenk, Keneth .L. Cosmology and Eschatology in Hebrews: the
setting of sacrifice,
Cambrigde: Cambrigde University Press, 2003.
Setyawan, Yusak Budi. Hermeneutik Perjanjian Baru: Suatu
Perkenalan, Salatiga:
Fakultas Teologi UKSW, 2016.
Woi, Amatus. “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”,
Menyapa Bumi
menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan teologis atas Lingkungan Hidup,
Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
atas Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Thompson, James W. Reading Epistle to the Hebrew, Atlanta: Society
of Biblical
Literature, 2011.
II. Jurnal
Murdianto, Aris. “Perkembangan tafsir Perjanjian lama dan Pembacaan
kitab Ayub
bersama orang-orang yang hidup dengan HIV/Aids,” Indonesia Journal
Theology.
(Desember 2017).
Binawan, Al Andang KL. “Homo Eco Religiousus: Sebuah Sharing
permenungan,
hipotesis untuk diskusi” Jurnal Diskursus (2010).
White, Lynn, Jr. “The Historical Roots Of Our Ecological Crisis,”
Science (1967).
III. Website