BAB I
PENDAHULUAN
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan. Dari segi anatomis, hidung memiliki kavum nasi yang
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding
medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.1
Abses septum nasi adalah pus yang terkumpul diantara tulang rawan dengan
mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang melapisinya. Abses
septum jarang terjadi dan biasanya terjadi setelah trauma pada hidung. Abses septum
seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman dan
menjadi abses.
Abses septum biasanya terjadi pada kedua sisi rongga hidung, dan sering
merupakan komplikasi dari hematoma septum yang terinfeksi bakteri piogenik. Keadaan
ini dapat menimbulkan nekrosis kartilago septum yang dapat diikuti oleh terjadinya
hidung pelana.
Abses septum merupakan kasus yang jarang ditemui dan biasanya terjadi pada
laki-laki. Abses septum ditemukan pada umur dibawah 31 tahun sebanyak 74%, dan 42
% mengenai umur diantara 3-14 tahun. Bagian anterior tulang rawan septum merupakan
lokasi yang paling sering ditemukan. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama tahun
1999-2004 mendapatkan 5 kasus. Pada RSUP. Dr. M. Djamil Padang didapatkan 3 kasus
abses septum selama 2 tahun (2008-2010).
Gejala abses septum nasi berupa hidung tersumbat yang progresif disertai rasa
nyeri. Rasa nyeri terutama dirasakan di daerah dorsum nasi terutama di puncak hidung.
Keluhan sistemik juga dirasakan seperti demam dan sakit kepala.
1 | P a g e
Penatalaksaan terbaik saai ini terdiri dari 3 yaitu drainase, antibiotic sistemik dosis
tinggi dan rekonstruksi defek septum pada fase akut. Terapi konservatif yang terdiri dari
drainase dan antibiotik saja tidak dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Abses septum dapat berakibat serius pada hidung oleh karena menyebabkan
nekrosis kartilago septum yang kemudian menjadi destruksi. Komplikasi yang sangat
berbahaya berupa infeksi intracranial, fungsi hidung terganggu serta gangguan kosmetik
sehingga setiap abses septum nasi harus dianggap sebagai kasus emergency yang
memerlukan penanganan yang tepat dan segera.
2 | P a g e
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI HIDUNG
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan.
Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian – bagiannya terdiri atas : 1) pangkal
hidung, 2) batang hidung, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela 6) lubang hidung.
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk menyempitkan atau
melebarkan lubang hidung.
3 | P a g e
Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os. Nasalis), 2) prosesus frontalis os
maksila, 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri : 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior
3) tepi anterior kartilago septum.
Gambar 2. Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior
Septum membagi rongga hidung atau kavum nasi menjadi kavum nasi kiri dan kanan.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium
pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
dilapisi oleh mukosa hidung.
4 | P a g e
Gambar 3. Anatomi septum nasi
Bagian tulang yang membentuk septum nasi terdiri dari:
1. Lamina Prependikularis os etmoid
Lamina prependukilaris os etmoid terletak pada bagian superior-posterior
dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribbriformis
dan krista gali.
2. Os Vomer
Os vomer terletak pada bagian posterior-inferior. Tepi belakang os vomer
merupakan ujung bebas dari septum nasi.
3. Krista Nasalis Os Maksila
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os
palatine.
4. Krista Nasalis Os Palatina
Tepi bawah os fomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os
palatina
5 | P a g e
Bagian tulang rawan terdiri dari:
1) Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)
Kartilago septum melekat dengan erat oada os nasi, lamina
prependikularis os etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh
kolagen.
2) Kolumela
Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain
oelh sekat tulang rawan dan kulit disebut kolumela.
PERDARAHAN HIDUNG
Gambar 4. Perdarahan hidung
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang
merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna). Septum bagian
antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris)
yang masuk melalui kanalis insisivus.
6 | P a g e
Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian
anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis
anterior dan superior.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.
Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke
pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada bagian
superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang berhubungan
dengan sinus sagitalis superior.
PERSYARAFAN HIDUNG
Gambar 5. Persyarafan hidung
7 | P a g e
Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan sensori dari nervus
etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari
nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil septum nasi pada antero-inferior mendapatkan
persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar septum
nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris nervus trigeminus
(n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki rongga
hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum bagian superior,
selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai palatum durum melalui kanalis
insisivus.
2. FISIOLOGI HIDUNG
Hidung memiliki fungsi antara lain :
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
8 | P a g e
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
9 | P a g e
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
3. DEFINISI
Abses septum didefinisikan sebagai kumpulan nanah antara tulang rawan septum
hidung dengan mukoperichondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang
melapisinya.
Gambar 6. Abses septum nasi
4. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian abses septum nasi tidak diketahui tetapi beberapa penelitian telah
melaporkan. Abses septum jarang ditemui dan biasanya terjadi pada laki-laki. Sebanyak
74% mengenai umur dibawah 31 tahun, dan 42 % mengenai umur diantara 3-14 tahun.
Lokasi yang paling sering ditemukan adalah pada bagian anterior tulang rawan septum.
Eavey menemukan tiga kasus abses septum nasi pada tinjauan 10 tahun pada
rumah sakit anak di Los Angeles. Rumah Sakit Royal Children, Melbourne Australia
melaporkan sebanyak 20 pasien abses sebtum selama 18 tahun dan RS
Ciptomangunkusumo didapatkan 9 kasus selama 5 tahun (1989-1994). Di bagian THT
FKUSU/RSUP H.Adam Malik Medan selama tahun 1999-2004 mendapatkan 5 kasus.
10 | P a g e
Pada anak – anak abses septum dapat terjadi tanpa ada riwayat trauma
sebelumnya. Pada umumnya perjalanan penyakit dan komplikasi akan lebih berat pada
anak disbanding orang dewasa.
5. ETIOLOGI
Trauma hidung merupakan penyebab abses septum nasi yang paling sering
ditemukan. Dapat berupa ; kecelakaan, perkelahian, olahraga, trauma saat mengorek
kotoran hidung, dan mencabut bulu hidung. Selain itu dapat juga terjadi akibat
peradangan sinus, akibat komplikasi operasi hidung, furunkel intra nasal, benda asing
maupun infeksi gigi. Variola, campak maupun skarlatina dapat juga sebagai kausa dari
abses septum.
Pasien dengan immunocompromised, diabetes mellitus, infeksi HIV, mendapat
kemoterapi juga memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami abses septal
dibanding orang pada umunya.
Dispenza memberikan istilah pada supurasi septum akibat trauma sebagai abses
septum primer, sedangkan penyebab lainnya dianggap sebagai abses septum nasi
sekunder. Abses septum dapat terjadi secara spontan pada pasien sindrom
imunodefisiensi didapat.
6. PATOGENESIS
Patogenesis abses septum biasanya tergantung dari penyebabnya. Penyebab yang
paling sering adalah terjadi setelah trauma, sehingga timbul hematoma septum. Trauma
pada septum nasi dapat menyebabkan pembuluh darah sekitar tulang rawan pecah. Darah
berkumpul di ruang antara tulang rawan dan mukoperikondrium yang melapisinya,
menyebabkan tulang rawan mengalami penekanan, menjadi iskemik dan nekrosis,
sehingga tulang rawan jadi destruksi. Darah yang terkumpul merupakan media untuk
pertumbuhan bakteri dan selanjutnya terbentuk abses.
Bila terdapat daerah yang fraktur atau nekrosis pada tulang rawan, maka darah
akan merembes ke sisi yang lain dan menyebabkan hematoma bilateral. Hematoma yang
besar akan menyebabkan obstruksi pada kedua sisi rongga hidung. Kemudian hematoma
11 | P a g e
ini terinfeksi kuman dan menjadi abses septum. Selain dari trauma ada beberapa
mekanisme yang dapat menyebabkan timbulnya abses septum, yaitu penyebaran
langsung dari jaringan lunak yang berasal dari infeksi sinus. Disamping itu penyebaran
infeksi dapat juga dari gigi dan daerah orbita atau sinus kavernosus. Pada beberapa
kondisi abses septum bisa diakibatkan trauma pada saat operasi hidung.
7. GEJALA KLINIS
Gejala abses septum berupa hidung tersumbat yang progresif disertai rasa nyeri yang
hebat. Terutama dirasakan didaerah dorsum nasi terutama dipuncak hidung. Disamping
itu, dijumpai gejala sistemik berupa demam dan sakit kepala.
Gambar 7. Hypertrofi abses
septum nasal
8. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Sebagian besar mempunyai riwayat trauma. Trauma septum nasi dan mukosa dapat
terjadi tanpa adanya cedera hidung luar. Abses septum nasi sering timbul 24-48 jam
setelah trauma, terutama pada dewasa muda dan anak
Perlu ditanyakan riwayat perasi hidung sebelumnya, gejala peradangan hidung
dan sinus paranasal, furunkel intra nasal, penyakit gigi dan penyakit sistemik. Akibat
trauma hidung, terkadang pada inspeksi masih tampak kelainan berupa eskoriasi, laserasi
kulit, epistaksis, deformitas hidung, eritema, edema dan ekimosis. Pada palpasi
12 | P a g e
ditemukan nyeri. Pada pemeriksaan hidung dalam, terlihat pembengkakan septum
berbentuk bulat pada satu atau kedua rongga hidung terutama mengenai bagian paling
depan tulang rawan septum, berwarna merah, licin, dan pada perabaan terdapat fluktuasi
dan nyeri tekan.
Identifikasi abses septum nasi sangat mudah bagi para ahli, tetapi tidak jarang
dokter gagal dalam mengamati keadaan ini. Karena kegagalan dalam mengidentifikasi
hematma atau abses septum nasi cukup banyak, maka diperlukan pemeriksaan intra nasal
yang teliti. Jika penderita tidak kooperatif, misalnya pada anak – anak, pemeriksaan dapat
dilakukan dapat dilakukan anestesi umum.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, seluruh septum nasi harus diperiksa dari
kaudal septum nasi sampai nasofaring. Tampak pembengkakan unilateral ataupun
bilateral, mulai tepat dibelakang kolumella meluas ke posterior dengan jarak bervariasi.
Gambar 8. Destruksi central katilago oleh inflamasi pada superior dan caudal
Perubahan warna menjadi kemerahan atau kebiruan pada daerah septum nasi yang
membengkak menunjukkan suatu hematoma. Daerah yang dicurigai dipalpasi dengan
forsep bayonet atau aplikator kapas untuk memeriksa adanya fluktuasi dan nyeri tekan.
Pada palpasi dapat ditemukan nyeri tekan.
Untuk memastikan abses septum nasi cukup dengan aspirasi pada daerah yang
paling fluktuasi. Pada aspirasi akan didapatkan pus pada abses septum nasi, sedangkan
dari hematoma septum nasi akan keluar darah.
13 | P a g e
Beberapa penulis menyarankan tindakan rutin berupa aspirasi sebelum diberikan
tindakan operatif. Pus yang diperoleh sebaiknya diperiksakan di laboratorium untuk
menentukan jenis kuman dan tes sensitifitas terhadap antibiotik. Selain bernilai
diagnostik, aspirasi juga berguna untuk mengurangi ketegangan jaringan di daerah abses
septum nasi dan mengurangi kemungkinan komplikasi ke intrakranial.
Pemeriksaan laboratorium darah akan menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan
foto rontgen sinus paranasal atau CT scan harus dilakukan untuk mencari etiologi
ataupun komplikasi.
Pada pemeriksaan foto waters tampak perselubungan pada kavum nasi bilateral.
Pada pemeriksaan CT Scan sinus paranasal dapat ditemukan penebalan jaringan lunak
yang melibatkan vestibularis, distal nasal septum, dinding lateral hidung bilateral,
hypondense pada pinggir anterior nasal septum.
Pada pemeriksaan USG yang dilakukan secara tranversal pada hidung pasien
didapatkan sebuah massa heterogen yang tampak pada kedua septum. Dengan
pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran dari massa abses tersebut.
Umumnya, abses septum yang dihasilkan berupa pus yang seropurulent dan
banyak mengandung jaringan granulasi. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan
jaringan granulation yang inflamasi dengan langhan’s cell and nekrosis.
14 | P a g e
9. DIAGNOSIS BANDING
Hematoma septum
Septum deviasi
Furunkulosis
Vestibulitis
10. KOMPLIKASI
Deformitas dan gangguan fungsi hidung akibat abses septum nasi dapat dibedakan
dalam tiga proses di bawah ini :
1. .Hilangnya sanggahan mekanik dari kartilago piramid dan lobul
2. Retraksi dan atrofi jaringan ikat
3. Gangguan pertumbuhan hidung dan muka bagian tengah.
Selain kosmetik, abses septum nasi dapat juga menimbulkan komplikasi yang
berat dan berbahaya bila terjadi penjalaran infeksi ke intrakranial berupa meningitis,abses
otak dan empiema subaraknoid.
Penjalaran ke intrakranial dapat melalui berbagai jalan.
1. Melalui pembuluh-pembuluh vena dari segitiga berbahaya, yaitu daerah di
dalam garis segitiga dari glabela ke kedua sudut mulut. Vena-vena tersebut
melalui vena angularis, vena oftalmika, vena etmoidalis, yang akan bermuara
di sinus kavernosus
2. Infeksi masuk melalui mukosa hidung kemudian melalui pembuluh limfe atau
pembuluh darah bermuara di sinus longitudinal dorsalis dan sinus lateralis.
3. Melalui saluran limfe dari meatus superior melalui lamina kribriformis dan
lamina perpendikularis os etmoid yang bermuara ke ruang subaraknoid.
4. Invasi langsung dapat terjadi pada saat operasi, erosi lokal diduga dapat juga
merupakan jalan atau kebetulan ada kelainan kongenital.
5. Selubung perineural diduga dapat juga merupakan jalannya penjalaran infeksi,
dalam hal ini selubung olfaktorius yang menuju intrakranial melalui lamina
kribriformis.
15 | P a g e
Penjalaran infeksi ke organ-organ di sekitar hidung dapat juga melalui saluran
limfe dan selubung saraf olfaktorius sehingga terjadi infeksi ke orbita dan sinus
paranasal.
Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan destruksi tulang rawan dan tulang
hidung sehingga terjadi deformitas yang berupa hidung pelana,retraksi kolumella,dan
pelebaran dasar hidung. Nekrosis pada setiap komponen septum nasi dapat menyebabkan
terjadinya perforasi septum nasi.
Kerusakan tulang rawan akibat hematoma atau abses, akan digantikan oleh
jaringan ikat. Kontraktur jaringan dan hilangnya penyangga pada bagian dorsum hidung
merupakan komplikasi abses septum yang dapat menimbulkan hidung pelana, retraksi
kolumela dan pelebaran dasar hidung. Kadang – kadang dapat timbul fasial selulitis.
Bila infeksi tidak diterapi dengan antibiotika yang adekuat dapat timbul perforasi
septum, penyebaran infeksi melalui darah sehingga dapat timbul meningitis, thrombosis
sinus kavernosis dan sepsis.
11. PENATALAKSAAN
Hematoma atau abses septum nasi harus dianggap sebagai kasus darurat dalam
bidang THT dan tindakan penanggulangannya harus segera dilakukan untuk mencegah
komplikasi. Penatalaksanaan abses septum nasi yang dianjurkan saat ini yaitu drainase,
antibiotik parenteral dan rekonstruksi defek septum. Untuk nyeri dan demam diberikan
analgetik.
Tujuan dari rekonstruksi adalah untuk menyangga dorsum nasi, memelihara
keutuhan dan ketebalan septum, mencegah perforasi septum yang lebih besar dan
mencegah obstruksi nasal akibat deformitas.
Bila operasi harus ditunda oleh beberapa sebab, maka drainase, kultur bakteri dan
pemberian antibiotic harus tetap dilakukan dan rekonstruksi dalam 3 – 5 hari kemudian.
Penicillin sistemik merupakan obat pilihan yang diberikan pada hari pertama.
Insisi dan drainase abses septum nasi dapat dilakukan dalam anestesi lokal atau
anestesi umum. Sebelum insisi terlebih dahulu dilakukan aspirasi abses dan dikirim ke
laboratorium untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitifitas.
16 | P a g e
Insisi dilakukan 2 mm dari kaudal kartilago kira-kira perbatasan antara kulit dan
mukosa (hemitransfiksi) atau caudal septal incision (CSI) pada daerah sisi kiri septum
nasi. Septum nasi dibuka secara perlahan-lahan tanpa merusak mukosa. Jaringan
granulasi, debris dan kartilago yang nekrosis diangkat dengan menggunakan kuret dan
suction. Sebaiknya semua jaringan kartilago yang patologis diangkat. Dilakukan
pemasangan tampon anterior dan pemasangan salir untuk mencegah rekurensi.
Insisi yang luas dilakukan pada abses dan dibuat drainase untuk mengeluarkan
darah atau pus serta serpihan kartilago, dengan bantuan suction. Dilakukan pemasangan
tampon anterior untuk menekan permukaan periosteum dan perikondrium. Drain
dipasang 2 – 3 hari untuk jalan keluar pus serta serpihan kartilago yang nekrosis.
Antibiotik sistemik dosis tinggi diberikan segera setelah diagnose ditegakkan dan dapat
di lanjutkan sampai 10 hari
Drainase bilateral merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan perforasi
septum nasi. Pada abses bilateral atau nekrosis dari tulang rawan septum nasi dianjurkan
untuk segera melakukan eksplorasi dan rekonstruksi septum nasi dengan pemasangan
implan tulang rawan.
BAB III
KESIMPULAN
Abses septum relative jarang ditemukan, sering didahului oleh trauma hidung.
Abses septum biasanya terjadi pada kedua sisi rongga hidung, dan sering merupakan
komplikasi dari hematoma septum yang terinfeksi bakteri piogenik.
17 | P a g e
Pada umumnya penyebab utama dikarenakan trauma pada hidung 75 % kasus dan
dilaporkan penyebab abses septum nasi yang lain karena tindakan operasi, benda asing,
sinusitis, infeksi pada gigi atau furunkulosis pada hidung.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gejala
abses septum berupa hidung tersumbat yang progresif disertai rasa nyeri yang hebat.
Terutama dirasakan didaerah dorsum nasi terutama dipuncak hidung. Disamping itu,
dijumpai gejala sistemik berupa demam dan sakit kepala. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior, seluruh septum nasi harus diperiksa dari kaudal septum nasi sampai nasofaring.
Tampak pembengkakan unilateral ataupun bilateral, mulai tepat dibelakang kolumella
meluas ke posterior dengan jarak bervariasi.
Pemeriksaan secara pasti untuk menentukan abses septum nasi dengan cara
aspirasi berupa pus, dan sekaligus pemeriksaan kultur dan sensitifitas untuk mengetahui
jenis kuman serta menentukan jenis antibiotic intravena yang tepat. Pada umumnya
pathogen berupa Streptococcus aureus.
Penatalaksanaan abses septum nasi yang dianjurkan saat ini yaitu drainase,
antibiotik parenteral dan rekonstruksi defek septum. Untuk nyeri dan demam diberikan
analgetik. Penanganan hematoma septum yang terlambat dapat menghambat aliran darah
yang merupakan suplai makanan ke kartilago septum, sehingga dapat menyebabkan
nekrosis iskemia kartilago septum nasi
Untuk menghindari komplikasi yang berakibat fatal, maka dokter yang menangani
kasus seperti ini harus mempunyai pengetahuan luas mengenai patologi, komplikasi dan
tindakan rekonstruksinya. Komplikasi yang berat dihubungkan dengan keterlambatan
diagnosis, terapi, terjadinya abses septum nasi, destruksi kartilago dan kultur bakteri yang
positif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiman, BJ. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Septum Nasi.
Padang : Bagian Telinga Hidung Tenggorok FK Andalas / RSUP dr. M
Djamil 1-6
18 | P a g e
2. Broek, V.D. 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung dan
Telinga. Jakarta ; EGC. 96 – 102
3. Ballenger, JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Tangerang ; Binarupa Aksara. 1 - 17
4. Haryono, Y. 2006. Abses Septum Dan Sinusitis Maksila. Medan : Majalah
Kedokteran Nusantara 39 (3). 359 – 361
5. Brain, D. 1997. The Nasal Septum. In : Mackay, IS, Bull, TS, Rhinology.
London : Butterworth Heinemann. 1 – 8
6. Iskandar, N. 1993. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok.
Jakarta : FK UI. 100 – 103
7. Joseph, CKC. 2013. Spontaneous Nasal Septal Abscess Presenting As
Complete Nasal Obstruction. Hong Kong : Departement Of
Otoerhinolaryngology, Head & Neck Surgery The University Of Hong Kng,
Queen Marry Hospital. 79 – 81
8. Hilger, PA. 1997. Penyakit Hidung. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT Edisi
Keenam. Jakarta : EGC. 208
9. Soetjipto, D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : FK UI. 118 – 122
10. Hilger, PA. 1997. Anatomi Hidung dan Fisiologi Terapan. BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta : EGC 173 – 188.
11. Colman, BH. 1993. Disease Of The Nasal Septum. In : Hall & Colman’s
Diseases Of The Nose, Throat, and Ear, and Head and Neck. Singapore :
ELBS. 19
12. Ibrahim, SH. 2000. Haematoma and Abscess of Nasal Septum, Clinical
Features and Surgical Treatment Outcomes. Turkey ; Clinic Of surgrry. 275 –
281
13. Wulandari. RR. 2012. PENATALAKSANAAN ABSES SEPTUM NASI
ODONTOGENIK. Palembang : Bagian Telinga Hidung Tenggorok FK
UNSRI. 1 - 9
14. Forde. R. 2012. Idiopathic nasal septal abscess. West Indian med. j. vol.61 no.8
19 | P a g e
15. Kenyon. G. 2013. Nasal Anatomy and Analysis. Ortholaryngology Clinic ; An
International Journal. 34 – 42
16. Debnama. J.M. Nasal Septal Abscess in Patients with Immunosuppressio.
Texas ; The University of Texas M.D. Anderson Cancer Center. 1 - 3
20 | P a g e