ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
SEPSIS NEONATORUM
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak Yang Telah Di Berikan
Disusun Oleh :
1. Hajar Dewi Rizqi (7307005)
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ’ULUM
JOMBANG1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi merupakan salah satu penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada
bayi baru lahir. Sepsis berhubungan dengan angka kematian 13% - 50% dan
kemungkinan morbiditas yang kuat pada bayi yang bertahan hidup. (Fanaroff & Martin,
1992). Infeksi pada neonatus di negeri kita masih merupakan masalah yang gawat. Di
Jakarta terutama di RSCM, infeksi merupakan 10 – 15% dari morbidilitas perinatal.
Infeksi pada neonatus lebih sering di temukan pada BBLR. Infeksi lebih sering
ditemukan pada bayi yang lahir di rumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir di
luar rumah sakit. Dalam hal ini tidak termasuk bayi yang lahir di luar rumah sakit dengan
cara septik.
Sepsis neonatus, sepsis neonatorum, dan septikemia neonatus merupakan istilah
yang telah digunakan untuk menggambarkan respon sistemik terhadap infeksi pada bayi
baru lahir. Ada sedikit kesepakatan pada penggunaan istilah secara tepat, yaitu apakah
harus dibatasi pada infeksi bakteri, biakan darah positif, atau keparahan sakit. Kini, ada
pembahasan yang cukup banyak mengenai definisi sepsis yang tepat dalam kepustakaan
perawatan kritis.
1.2 Tujuan
Untuk memenuhi tugas keperawatan anak.
Untuk mengetahui definisi tentang sepsis neonatorum.
Untuk mengetahui perjalanan penyakit dari sepsis neonatorum sehingga dapat
memunculkan masalah-masalah keperawatan.
Untuk mempelajari askep sepsis neonatorum.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc (1961) membaginya
menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Infeksi antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi
melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin.
2. Infeksi intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi dari pada cara lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketuban pecah lama (jarak waktu antara pecahnya ketuban dan
lahirnya bayi lebih dari 12 jam) memunyai peranan penting terhadap timbulnya
plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih
utuh (misalnya ada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina).
3. Infeksi pascanatal
Infeksi ini terjadi sesudah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi berakibat
fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat
atau akibat perawatan yang tidak steril atau akibat infeksi silang.
3
Faktor-faktor yang mempengaruhi sepsis pada bayi baru lahir dapat di bagi
menjadi tiga kategori :
Faktor maternal : ruptur selaput ketuban yang lama, persalinan prematur,
amnionitis klinis, demam maternal, manipulasi berlebihan selama proses
persalinan, dan persalinan yang lama.
Faktor lingkungan : yang dapat menjadi faktor predisposisi bayi selama sepsis
meliputi, tetapi tidak terbatas pada, buruknya praktik cuci tangan dan teknik
perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral, berbagai
pemasangan kateter, selang endootrakea, teknologi invasif, dan pemberian susu
formula.
Faktor penjamu : jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat lahir rendah, dan
kerusakan mekanisme pertahanan diri penjamu. (Bobak, 2004)
Bakteri, virus, jamur, dan protozoa (jarang) dapat menyebabkan sepsis neonatus.
Penyebab yang paling sering dari sepsis mulai awal adalah streptokokus group B (SGB)
dan bakteri enterik yang didapat dari saluran kemih ibu. Sepsi mulai akhir disebabkan
oleh SGB, virus herpes simpleks (HSV), entero virus dan E. Coli K1. Pada bayi dengan
berat badan lahir sangat rendah, candida dan stafilokokus koagulase negatif (CONS),
merupakan patogen yang paling umum mulai akhir. (Nelson, hal. 653).
2.3 Patofisiologi
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi sebagai akibat rendahnya imunitas non
spesifik (inflamasi) dan spesifik (humoral), seperti rendahnya fagositosis, keterlambatan
respon kemotaksis, minimal atau tidak adanya imunoglobulin A dan imunoglobulin M
(IgA dan IgM), dan rendahnya kadar komplemen.
Sepsis pada periode neonatal dapat diperoleh sebelum kelahiran melalui plasenta
dari aliran darah maternal atau selama persalinan karena ingesti atau aspirasi cairan
amnion yang terinfeksi.
Sepsis awal (kurang dari 3 hari) didapat dalam periode perinatal, infeksi dapat
terjadi dari kontak langsung dengan organisme dari saluran gastrointestinal atau 4
genitourinaria maternal. Organisme yang paling sering menginfeksi adalah streptokokus
group B (GBS) dan escherichia coli, yang terdapat di vagina. GBS muncul sebagai
mikroorganisme yang sangat virulen pada neonatus, dengan angka kematian tinggi
(50%) pada bayi yang terkena Haemophilus influenzae dan stafilokoki koagulasi negatif
juga sering terlihat pada awitan awal sepsis pada bayi BBLSR.
Sepsis lanjut (1 sampai 3 minggu setelah lahir) utamanya nosokomial, dan
organisme yang menyerang biasanya stafilokoki, klebsiella, enterokoki, dan
pseudomonas. Stafilokokus koagulasi negatif, baiasa ditemukan sebagai penyebab
septikemia pada bayi BBLR dan BBLSR. Invasi bakterial dapat terjadi melalui
tampatseperti puntung tali pusat, kulit, membran mukosa mata, hidung, faring, dan
telinga, dan sistem internal seperti sistem respirasi, saraf, perkemihan, dan
gastrointestinal.
Infeksi pascanatal didapat dari kontaminasi silang dengan bayi lain, personel, atau
benda – benda dilingkungan. Bakteri sering ditemukan dalam sumber air, alat pelembab,
pipa wastafel, mesin penghisap, kebanyakan peralatan respirasi, dan kateter vena dan
arteri terpasang yang digunakan untuk infus, pengambilan sampel darah, pemantauan
tanda vital. (Donna L. Wong, 2009).
Proses patofisiologi sepsis dimulai dengan invasi bakteri dan kontaminasi sistemik.
Pelepasan endotoksin oleh bakteri menyebabkan perubahan fungsi miokardium,
perubahan ambilan dan penggunaan oksigen terhambatnya fungsi mitokondria, dan
kekacauan metabolik yang progresif. Pada sepsis yang tiba-tiba dan berat, complemen
cascade menimbulkan banyak kematian dan kerusakan sel. Akibatnya adalah penurunan
perfusi jaringan, asidosis metabolik, dan syok, yang mengakibatkan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) dan kematian.( Bobak, 2004).
Penderita dengan gangguan imun mempunyai peningkatan resiko untuk
mendapatkan sepsis nosokomial yang serius. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis
gram negatif dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT).
Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoklonal anti-FNT sangat memperlemah
manifestasi syok septik. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan dalam aliran
darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih
lanjut.
5
Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin
proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba.
FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan terjadinya
ketidakseimbangan tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi dan
kenaikan kebutuhan metabolik jaringan.
Syok didefinisikan dengan tekanan sistolik dibawah persentil ke-5 menurut umur
atau didefinisikan dengan ekstremitas dingin. Pengisian kembali kapiler yanng terlambat
(>2 detik) dipandang sebagai indikator yang dapat dipercaya pada penurunan perfusi
perifer. Tekanan vaskuler perifer pada syok septik (panas) tetapi menjadi sangat naik
pada syok yang lebih lanjut (dingin). Pada syok septik pemakaian oksigen jaringan
melebihi pasokan oksigen. Ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh vasodilatasi perifer
pada awalnya, vasokonstriksi pada masa lanjut, depresi miokardium, hipotensi,
insufisiensi ventilator, anemia. (Nelson, 1999).
Septisemia menunjukkan munculnya infeksi sistemik pada darah yang disebabkan
oleh penggandaan mikroorganisme secara cepat atau zat-zat racunnya, yang dapat
mengakibatkan perubahan psikologis yang sangat besar. Zat-zat patogen dapat berupa
bakteri, jamur, virus, maupun riketsia. Penyebab yang paling umum dari septisemia
adalah organisme gram negatif. Jika perlindungan tubuh tidak efektif dalam mengontrol
invasi mikroorganisme, mungkin dapat terjadi syok septik, yang dikarakteristikkan
dengan perubahan hemodinamik, ketidakseimbangan fungsi seluler, dan kegagalan
sistem multipel. (Marilynn E. Doenges, 1999).
2.4 Manifestasi klinis
Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare,
hepatomegali.
Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih,
sianosis.
6
Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab, hipotensi,
takikardia, bradikardia.
Sistem saraf pusat : iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, aktivitas menurun-
letargi, koma, peningkatan atau penurunan tonus, gerakan mata abnormal, ubun-
ubun membonjol.
Hematologi : pucat, ptekie, purpura, perdarahan, ikterus.
Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung
tidak beraturan. (Kapita Selekta, 2000).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Biodata
Umur neonatus (0 – 28 hari)
Jenis kelamin laki-laki
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Panas
2. Riwayat Kehamilan
Demam pada ibu (>37,9°C).
Riwayat sepsis GBS pada bayi sebelumnya.
7
Infeksi pada masa kehamilan.
3. Riwayat Persalinan
Persalinan yang lama.
Ruptur selaput ketuban yang lama (>18 jam).
Persalinan prematur (<37 minggu).
4. Riwayat atau adanya faktor resiko
Prematuritas/BBLR/BBLSR.
Skor APGAR 5 menit rendah (<6).
Jenis kelamin laki-laki (laki-laki 4 kali lebih sering terkena sepsis dari pada
perempuan).
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Lemah, Koma.
2. Inspeksi
Kepala: ubun-ubun membonjol.
Muka: pucat, sianosis.
Mata: gerakan mata abnormal.
Kulit: ptekie.
3. Palpasi
Distensi abdomen.
Pemeriksaan ekstremitas: tremor, kejang.
5. Auskultasi
Sistem pernafasan: nafas tidak teratur, merintih, takipneu.
8
6. Laboratorium
Hitung darah lengkap (HDL).
Nilai HDL yang paling penting ialah hitung sel darah putih (SDP). Bayi
yang mengalami sepsis biasanya menunjukkan penurunan nilai SDP,
yakni <5000 mm3.
Trombosit
Nilai normal 150.000 – 300.000 mm3. Pada sepsis nilai trombosit
menurun.
Kultur darah
Dilakukan dalam 24 – 48 jam untuk menjelaskan jumlah dan jenis bakteri
yang ada dan kerentanannyaterhadap terapi antibiotika.
Pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal (CSS)
Jumlah rata-rata leukosit di dalam CSS bayi baru lahir adalah sel/mm3
dan kisaran normal dapat mencapai 20 sel/mm3. Kadar protein CSF pada
bayi cukup bulan adalah 90mg/dl dan 120 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pungsi lumbal traumatik dapat memberikan hasil yang tidak dapat
diintepretasikan, karena penggunaan faktor koreksi yang berdasarkan
pada jumlah eritrosit di dalam CSF dan di dalam cairan perifer sering
tidak adekuat untuk menentukan jumlah leukosit dan kadar protein yang
sebenarnya didalam CSS.
Kultur urin
Urin untuk pemeriksaan aglutinasi lateks dan kultur juga dapat dilakukan.
Rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.
9
3.2 Diagnosa
1. Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan
pada reagulasi temperatur.
2. Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi masukan
nutrisi.
4. Resiko terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
5. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
6. Resiko terhadap kekurangan volume cairan b/d peningkatan permeabilitas kapiler.
7. Resiko terhadap gangguan pertukaran gas b/d edema pada paru-paru.
8. Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
9. Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem imun dan pemajanan
lingkungan (nosokomial).
10. Ketakutan pada keluarga b/d ketidak berdayaan (ancaman pada kesejahteraan pada
diri anak).
3.3 Intervensi
1. Diagnosa : Hipertermia b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada reagulasi temperatur.
10
Kriteria Hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam bata normal, bebas dari kedinginan.
Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pantau suhu pasien (derajat dan pola),
perhatikan menggigil/diaforesis
Suhu 38,9° - 41,1° C menunjukkan proses
penyakit infeksius akut. Menggigil sering
mendahului puncak suhu.
Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan
linen tempat tidur, sesuai indikasi.
Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah
untuk mempertahankan suhu mendekati
normal.
Berikan kompres mandi hangat, hindari
penggunaan alkohol.
Dapat membantu mengurangi demam.
Kolaborasi
Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin),
asetaminofen (Tylenol).
Digunakan untuk mengurangi demam dengan
aksi sentralnya pada hipotalamus, meskipun
demam mungkin dapat berguna dalam
membatasi pertumbuhan organisme, dan
meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang
terinfeksi.
Berikan selimut pendingin Digunakan untuk mengurangi demam
umumnya lebih besar dari 39,5° – 40° C pada
waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.
2. Diagnosa : Diare b/d iritasi usus sekunder akibat organisme yang menginfeksi.
Kriteria Hasil : Meningkatkan fungsi usus mendekati normal.
11
Intervensi Rasional
Observasi frekuensi defekasi, karakteristik,
dan jumlah.
Diare sering terjadi akibat mikroba yang
masuk kedalam usus.
Dorong diet tinggi serat dalam batasan diet,
dengan masukan cairan sedang sesuai diet
yang dibuat.
Meningkatkan konsistensi feses. Meskipun
cairan perlu untuk fungsi tubuh optimal,
kelebihan jumlah mempengaruhi diare.
Bantu perawatan peringeal sering, gunakan
salep sesuai indikasi. Berikan rendam pada
pusaran air.
Iritasi anal, ekskoriasi dan pruritus dapat
terjadi karena diare.
Berikan obat sesuai indikasi. Untuk mengontrol frekuensi defekasi sampai
tubuh mengalami perubahan yang lebih baik.
3. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kondisi yang mempengaruhi
masukan nutrisi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan penambahan berat badan dan bebas dari tanda malnutrisi.
Intervensi Rasional
Kaji status nutrisi secara kontinu, selama
perawatan setiap hari, perhatikan tingkat
energi, kondisi kulit, kuku, rambut, rongga
mulut, keinginan untuk makan/anoreksia.
Memberikan kesempatan untuk mengobservasi
penyimpangan dari normal/dasar pasien dan
mempengaruhi pilihan intervensi.
Timbang berat badan setiap hari dan
bandingkan dengan berat badan saat
Membuat data dasar, membantu dalam
12
penerimaan. memantau keefektifan aturan terapeutik.
Kaji fungsi GI dan toleransi pada pemberian
makanan enteral, catat bising usus, keluhan
mual/muntah, ketidaknyamanan abdomen,
adanya diare / konstipasi, terjadinya
kelemahan dan takikardia.
Karena pergantian protein dari mukosa GI
terjadi kira-kira setiap 3 hari, saluran GI
beresiko tinggi pada disfungsi dini dan atrofi
dari penyakit dan malnutrisi.
4. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b/d reduksi aliran darah.
Kriteria Hasil : Menunjukkan perfusi adekuat yang dibuktikan dengan tanda-tanda
vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat
kesadaran umum, haluaran urinarius individu yang sesuai dan bising
usus aktif.
Intervensi Rasional
Mandiri
Pertahankan tirah baring, bantu dengan
aktivitas perawatan.
Menurunkan beban kerja miokard dan
konsumsi O2, maksimalkan efektivitas dari
perfusi jaringan.
Pantau kecenderungan pada tekanan darah,
mencatat perkembangan hipotensi,dan
perubahan pada tekanan denyut.
Hipotensi akan berkembang bersamaan
dengan mikroorganisme menyerang aliran
darah, menstimulasi pelepasan, atau aktivasi
dari substansi hormonal maupun kimiawi
yang umumnya menghasilkan vasodilatasi
perifer, penurunan tahapan vaskuler sistemik
dan hipovolemia relatif.
Pantau frekuensi dan irama jantung. Bila terjadi takikardi, mengacu pada stimulasi
sekunder sistem saraf simpatis untuk
menekankan respon dan untuk menggantikan
kerusakan pada hipovolumia relatif dan
13
hipertensi.
Perhatikan kualitas/kekuatan dari denyut
perifer
Pada awal nadi cepat/kuat karena peningkatan
curah jantung. Nadi dapat menjadi
lemah/lambat karena hipotensi terus menerus,
penurunan curah jantung, vasokonstriksi
perifer jika terjadi status syok.
Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan
kualitas. Perhatikan dispnea berat.
Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon
terhadap efek-efek langsung dari endotoksin
pada pusat pernafasan di dalam otak, dan juga
perkembangan hipoksia, stres dan demam.
Pernafasan dapat menjadi dangkal bila terjadi
insufisiensi pernafasan, menimbulkan resiko
kegagalan pernafasan akut.
Catat haluaran urin setiap jam dan bertat
jenisnya.
Penurunan haluara urin dengan peningkatan
berat jenis akan mengindikasikan penurunan
perfungsi ginjal yang dihubungkan dengan
perpindahan cairan dan vasokonstriksi
selektif.
Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk
pembengkakan jaringan lokal, eritema.
Stasis vena dna proses infeksi dapat
menyebabkan perkembangan trombosis.
Catat efek obat-obatan, dan pantau tanda-
tanda keracunan
Dosis antibiotik masif sering dipesankan. Hal
ini memiliki efek toksik berlebihan bila
perfusi hepar/ ginjal terganggu.
Kolaborasi
Berikan cairan parenteral Untuk mempertahankan perfusi jaringan,
sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan
untuk mendukung volume sirkulasi.
14
Pantau pemeriksaan laboratorium. Perkembangan asidosis respiratorik dan
metabolik merefleksikan kehilangan
mekanisme kompensasi, misalnya penurunan
perfusi ginjal dan akumulasi asam laktat.
5. Diagnosa : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit b/d edema dan imobilitas.
Kriteria Hasil : Mempertahankan kulit utuh dan mengidentifikasi faktor-faktor resiko.
Intervensi Rasional
Ubah posisi sering di tempat tidur dan kursi.
Rekomendasikan 10 menit latihan setiap jam
dan lakukan rentang gerak.
Meningkatkan sirkulasi, tonus otot, dan gerak
tulang sendi.
Gunakan jadwal rotasi dalam membalikkan
pasien.
Memberikan waktu lebih lama bebas dari
tekanan, mencegah gerakan yang
menimbulkan pengelupasan dan robekan
yang dapat merusak jaringan rapuh.
Pertahankan agar sprei dan selimut tetap
kering, bersih dan bebas dari kerutan,
serpihan ataupun material lainnya yang dapat
mengiritasi.
Mengurangi abrasi kulit.
Berikan tambahan zat besi dan vitamin C. Membantu dalam penyembuhan/generasi
seluler.
6. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d
peningkatan permeabilitas kapiler.
Kriteria Hasil : Mempertahankan volume sirkulasi adekuat yang dibuktikan dengan
tanda-tanda vital dalam batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan
haluaran urin adekuat.
15
Intervensi Rasional
Mandiri
Catat/ukur pemasukan pengeluaran urin dan berat jenisnya
Penurunan haluaran urin dan berat jenis akan
menyebabkan hipovolemia.
Pantau tekanan darah dan denyut jantung Pengeluaran dalam sirkulasi volume cairn
dapat mengurangi tekanan darah/CVP,
mekanissme kompensasi awal dari takikardia
untuk meningkatkan curah jantung dan
meningkatkan darah sistemik.
Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa haus
Hipovolemia/cairan ruang ketiga akan
memperkuat tanda-tanda dehidrasi.
Amati edema dependen/perifer pada sacrum,
skurutum, punggung kaki
Kehilangan cairan dari kompartemen
vaskuler kedalam ruang interstitial akan
menyebabkan edema jaringan.
Kolaborasi
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan IV
Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan
untuk mengatasi hipovolemia relatif
(vasodilatasi perifer), menggantikan
kehilangan dengan meningkatkan
permeabilitas kapiler (misalnya penumpukan
cairan di dalam rongga peritoneal) dan
meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata
(misalnya demam dan diaforesis).
Pantau nilai laboratorium Mengevaluasi perubahan di dalam
hidrasi/viskositas darah. Peningkatan BUN
akan merefleksikan dehidrasi, nilai tinggi
dari BUN/Kr dapat mengindikasikan
disfungsi/kegagalan ginjal.
16
7. Diagnosa : Resiko tinggi terhadap ganggun pertukaran gas b/d edema
pada paru-paru.
Kriteria Hasil : Mengoptimalkan pertukaran gas.
Intervensi Rasional
Kaji pernafasan setiap jam, catat
kualitas, irama, pola, kedalaman, dan
otot penafasan.
Kaji saluran nafas setiap hari.
Kaji perubahan perilaku dan orientasi.
Monitor ABC dan catat perubahan
Ubah posisi setiap 2 jam untuk
bergerak dan drainase sekret.
Tentukan posisi anak dalam posisi
yang benar untuk mengoptimalkan
pernafasan.
Suction diperlukan untuk
membersihkan sekrat.
8. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b/d perubahan pada suplai O2.
Kriteria Hasil : Tidak mengalami dispnea dan sianosis.
Intervensi Rasional
Pertahankan jalan nafas paten. Tempatkan
pasien pada posisi yang nyaman dengan
kepala tempat tidur tinggi.
Meningkatkan ekspansi paru-paru, upaya
pernafasan.
Pantau frekuensi dan kedalaman pernafasan.
Catat penggunaan otot aksesori/ upaya untuk
bernafas.
Pernafasan cepat/dangkal terjadi karena
hipoksemia, stres dan sirkulasi endotoksin.
Hipoventilasi dan dispnea merefleksikan
mekanisme kompensasi yang tidak efektif
dan merupakan indikasi bahwa diperlukan
dukungan ventilator.
17
Auskultasi bunyi nafas. Perhatikan krekels,
mengi, area yang mengalami penurunan /
kehilangan ventilasi.
Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi
adventisinius merupakan indikator dari
kongesti pulmonal/edema interstisial.
Etelektasis.
Catat munculnya sianosis sirkumoral. Menunjukkan oksigen sistemik tidak
adekuat/pengurangan perfusi.
Selidiki perubahan pada sensorium, agitasi,
kacau mental, perubahan kepribadian,
delirium, koma.
Fungsi serebral sangat sensitif terhadap
penurunan oksigenasi.
Berikan O2 tambahan melalui jalur yang
sesuai, misalnya kanula nasal, masker.
Diperlukan untuk mengoreksi hipoksemia
dengan menggagalkan upaya/progresi
asidosis respiratorik.
Tinjau sinar X dada. Perubahan menunjukkan perkembangan /
resolusi dari komplikasi pulmonal, misalnya
edema.
9. Diagnosa : Resiko pemajanan infeksi ke bayi lain b/d penurunan sistem
imun dan pemajanan lingkungan (nosokomial).
Kriteria Hasil : Bebas dari infeksi nosokomial.
Intervensi Rasional
Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai
indikasi.
Dibutuhkan untuk melindungi pasien
imunosupresi. Mengurangi resiko infeksi
nosokomial.
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
aktivitas walaupun menggunakan sarung
tangan steril.
Mengurangi kontaminasi silang.
Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika Mengurangi jumlah lokasi yang dapat
18
memunngkinkan. menjadi tempat masuk organisme.
Pantau kecenderungan suhu. Demam (38,5 – 40 C) disebabkan oleh efek
dari endotoksin pada hipotalamus.
Dapatkan spesimen urine, darah, sputum,
luka, jalur invasif sesuai petunjuk pewarnaan
gram, kultur dan sensitivitas.
Identifikasi terhadap portal entri dan
organisme penyebab septisemia adalah
penting bagi efektivitas pengobatan.
10. Diagnosa : Ketakutan pada keluarga b/d ketidakberdayaan (ancaman
pada kesejahteraan pada diri anak).
Kriteria Hasil : Keluarga bisa menerima keadaan yang dialami oleh anaknya.
Intervensi Rasional
Berikan penjelasan pada orang tua tentang
kesehatan anak.
Untuk mengurangi kecemasan yang dialami
oleh orang tua.
Tinjau faktor resiko dan bentuk
penularan/tempat masuk infeksi.
Menyadari terhadap bagaimanan infeksi
ditularkan akan memberikan informasi untuk
merencanakan/melakukan tindakan protektif.
Dorong orang tua untuk memberikan
perhatian yang lebih pada anak.
Tujuan terapeutik pada anak maksimal.
3.4 Implementasi
Mempertahankan tirah baring, membantu aktivitas perawatan.
Memantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan
hipotensi,dan perubahan pada tekanan denyut.
Memantau frekuensi dan irama jantung.
19
Mengkaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas.
Memantau suhu anak.
Mencatat pemasukan dan pengeluaran urin.
Memantau pemeriksaan laboratorium.
Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun
menggunakan sarung tangan steril untuk mengurangi terjadinya infeksi
nosokomial.
3.5 Evaluasi
Suhu kembali normal.
Berat badan meningkat.
Perfusi jaringan normal, tidak mengalami dispnea dan sianosis.
Tidak terjadi infeksi nosokomial.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sepsis neonatorum atau septikemia neonatal didefinisi sebagai infeksi bakteri pada
aliran darah bayi selam empat minggu pertama kehidupan. Penyebabnya dimulai pada
infeksi antenatal, infeksi intranatal, infeksi postnatal.
Pemeriksaan untuk mendiagnosa adanya sepsis adalah hitung darah lengkap
(HDL), trombosit, kultur darah, pungsi lumbal dan sensitivitas cairan serebrospinal
(CSS), kultur urin, rontgen dada dilakukan bila ada gejala respirasi.
20
4.2 Saran
Mencegah lebih baik dari pada mengobati.
Hindari infeksi nosokomial.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC, 2004.
Carpenito, Lynda Jual, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta: EGC, 2000.
FKUI, Ilmu Kesehatan Anak.
Gulanick, Meg. Puzas, Knol Michele. Wilson, R. Cynthia, Nursing Care Plans for Newborns
and Children : acute and critical care. USA : 1992.
Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media Aesculapius: FKUI, 2000.
Muscari E. Mary, Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC, 2005.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1. Jakarta:. EGC, 1999.
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 2. Jakarta: EGC, 1999.
21
Wilkinson, M. Judith, Buku Saku Diagnosa Keperawatan NIC NOC edisi 7. Jakarta : EGC,
2006.
William, M. Scwartz, Pedoman Klinis Pediatrik. Jakarta: EGC, 2004.
Wong, L. Donna, Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Jakarta: EGC, 2009.
22