181
KEPENTINGAN NASIONAL RUSIA DALAM INTERVENSI MILITER DI SURIAH
Angga Nurdin Rachmat
Jurusan Hubungan Internasional
Universitas Jenderal Achmad Yani
E-mail : [email protected]
Abstract
Syria conflict has been take a place in several years and has claimed large number of
casualities. This conflict already involving external power into the battle, as Russia come to
support Syria Government lead by Bashar Al Assad. Russia policy to involve into the conflict
has increase critism especially from United State, and international society. The critism
already ignored by Russia who keep continuing series of direct military operations in Syiria.
Russia policy to involve direct military operations in Syria cannot be separated from the
effort to achieving national interest. This paper would discuss about the Russia national
interest who drive Russia to support Bashar Al-Assad regime and carry out direct military
operations in Syiria. The discussion about national interest would based on Donald E
Nuetcherlin concept wich consist of defence, economic, ideology and international order
interest who pursue by Russia in Syria.
Keywords : Russia, Bashar Al-Assad, Syria, Intervention.
PENDAHULUAN
Timur Tengah dianggap sebagai sebuah
wilayah yang memiliki nilai strategis yang
sangat tinggi baik secara geopolitik maupun
ekonomi. Namun, Timur Tengah telah
menjadi wilayah yang sangat dinamis dengan
kerentanan akan potensi konflik terbuka
diantara negara-neagra yang ada didalamnya
maupun yang melibatkan kekuatan eksternal.
Oleh karena itu tidak berlebihan apabila
kawasan Timur Tengah disebut sebagai salah
satu “hot spot” di dunia. Kondisi ini tidak
dapat dilepaskan dari keberadaan rivalitas
negara superpower dari luar kawasan yang
kemudian akan berdampak kepada negara-
negara di dalam kawasan. Konflik yang
kemudian terjadi khususnya pada abad ke 20
tidak hanya dalam tataran militer namun juga
terkait dengan konflik sosial, ekonomi dan
politik ( Haliday, 2005 : 168 ). Keberadaan
dari berbagai konflik tersebut berkontribusi
terhadap instabilitas keamanan bagi negara-
negara di dalam kawasan.
Wilayah Timur Tengah saat ini
kembali menjadi fokus perhatian dunia,
seiring dengan munculnya instabilitas di
kawasan tersebut terkait dengan konflik
internal yang terjadi di Suriah. Konflik yang
terjadi di Suriah tidak dapat dilepaskan dari
gelombang demokratisasi di wilayah Afrika
Utara yang kemudian melanda negara
tersebut. Gelombang demokratisasi tersebut
telah memunculkan kelompok oposisi yang
182
bertujuan menggulingkan Presiden Bashar
Al-Assad, kelompok oposisi ini
mengedepankan perlawanan bersenjata
dalam melancarkan aksinya. Keberadaan
perlawanan bersenjata dari kelompok oposisi
ini pada akhirnya memicu konflik
berkepanjangan di negara tersebut. Konflik
berkepanjangan di Suriah telah mengundang
kekuatan-kekuatan eksternal untuk turut serta
didalamnya. Asseburg dan Wimmen ( 2012 :
3 ) menyatakan bahwa konflik di Suriah telah
menjadi “Proxy War” terkait keterlibatan dari
aktor-aktor di luar piihak yang berkonflik
terlibat didalamnya. Keterlibatan kekuatan
eksternal tidak dapat dilepaskan dari upaya
untuk menginterpretasikan dan menerapkan
norma internasional dimana Amerika Serikat
( AS ) dan negara Barat lain mendukung
kelompok oposisi dan disisi lain Rusia dan
China mendukung rezim Assad. Konflik
Suriah juga melahirkan kelompok Islamic
State of Iraq and Syiria ( ISIS ) yang menjadi
ancaman bagi seluruh dunia.
Keberadaan dari kekuatan eksternal
dalam konflik di Suriah tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan nasional yang
ingin dicapainya. Demikian pula dengan
Rusia yang tengah menjadi sorotan karena
keberpihakan negara ini kepada rezim Assad
dalam konflik di Suriah mendapatkan banyak
kecaman keras dari AS dan negara sekutunya
di Timur Tengah. Bagi Rusia kebijakan ini
menjadi pertaruhan yang cukup besar karena
secara terbuka melawan sanksi yang
diterapkan PBB kepada pemerintah Assad,
dimana Rusia memberikan suplai
persenjataan kepada pemerintah Assad dalam
memerangi kelompok oposisi. Bahkan dalam
beberapa bulan terakhir, Rusia terlibat secara
langsung dalam konflik tersebut dengan
mengirimkan armada Angkatan Udara untuk
mendukung pemerintah Assad dengan dalih
untuk memerangi kelompok ISIS.
Kebijakan Rusia untuk terlibat dalam
konflik di Suriah ini, menjadi sebuah indikasi
kuatnya kepentingan nasional yang ingin
dicapai oleh negara ini dalam konflik
tersebut. Oleh karena itu tulisan ini akan
mencoba untuk menjawab kepentingan
nasional apa yang menjadi motivasi Rusia
untuk melakukan intervensi militer di Suriah.
Pembahasan dalam tulisan ini dilakukan
untuk menganalisis kepentingan nasional
yang ingin dicapai oleh Rusia terkait
keterlibatan negara tersebut secara langsung
dalam konflik di Suria dengan mendasarkan
kepada konsep kepentingan nasional yang
dikemukakan oleh Donald E Nuechterlein.
Kepentingan nasional Rusia yang akan
dibahas dalam tulisan ini meliputi
kepentingan pertahanan, ekonomi, ideologi
dan tata internasional.
KERANGKA KONSEPTUAL :
KEPENTINGAN NASIONAL
Keterlibatan Rusia dalam konflik di
Suriah tidak dapat dilepaskan dari kebijakan
luar negeri yang diambil oleh Presiden
Vladimir Putin. Kebijakan luar negeri
183
merupakan instrumen kebijakan yang
dimiliki oleh suatu negara untuk menjalin
hubungan dengan aktor aktor lain dalam
politik dunia demi mencapai kepentingan
nasionalnya. Kepentingan nasional dapat
dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan
faktor penentu akhir yang mengarahkan para
pembuat keputusan dari suatu negara dalam
merumuskan kebijakan luar negerinya.
Menurut Paul Seabury dalam Bakry ( 1999 :
61-62 ) Secara normatif, konsep kepentingan
nasional berkaitan dengan kumpulan cita-
cita, karena didalamnya tidak hanya berisi
cita-cita untuk mengejar power semata tetapi
juga cita-cita lain. Sedangkan secara
deskriptif, kepentingan nasional dianggap
sebagai tujuan yang harus dicapai suatu
bangsa secara tetap melalui kepemimpinan
pemerintah. Kepentingan nasional adalah
tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan
dengan kebutuhan bangsa atau negara atau
yang berhubungan dengan hal yang dicita-
citakan ( Rudi, 1993 : 16 ).
Rusia dalam menjalankan kebijakan
luar negeri di Suriah memiliki kepentingan
nasional yang ingin dicapai. Kepentingan
nasional Rusia tersebut akan dijelaskan
merujuk kepada Donald E. Nuechterlein
dalam Bakry ( 1999 : 62 ) yang
mengindentifikasikan kepentingan nasional
ke dalam empat jenis, yaitu : 1) Kepentingan
pertahanan yang menyangkut kepentingan
untuk melindungi warga negaranya serta
wilayah dan sistem politiknya dari ancaman
negara lain atau pihak lain. 2) Kepentingan
ekonomi yakni kepentingan pemerintah
untuk meningkatkan perekonomian negara
melalui hubungan ekonomi dengan negara
lain. 3) Kepentingan tata internasional yaitu
kepentingan untuk mewujudkan atau
mempertahankan sistem politik dan ekonomi
internasional yang menguntungkan bagi
negaranya. 4) Kepentingan ideologi yaitu
kepentingan untuk mempertahankan atau
melindungi ideologi negaranya dari ancaman
ideologi negara lain. Kepentingan nasional
digunakan untuk membantu menganalisis
dan mendeskripsikan tindakan negara yang
dalam hal ini adalah tindakan Rusia untuk
melakukan intervensi militer secara langsung
di Suriah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
penelitian kualitatif, dengan penelitian ini
akan dikumpulkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan
ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik dan memandangnya sebagai
bagian dari suatu keutuhan ( Bogdan dan
Taylor dalam Moleong, 2006 ). Penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data
studi kepustakaan. Dimana pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara mengkaji
dan mempelajari konsep-konsep serta
informasi lain yang diperoleh dari berbagai
sumber seperti buku-buku, majalah, surat
kabar, artikel-artikel, laporan-laporan
184
maupun sumber internet yang berkaitan
dengan masalah yang sedang diteliti. Unit
analisis adalah negara yang dalam hal ini
adalah Rusia.
PEMBAHASAN
1. Kepentingan Pertahanan.
Intervensi militer yang dilakukan oleh
Rusia ke Suriah tidak dapat dilepaskan dari
upaya negara ini dalam pencapaian
kepentingan pertahanan. Kepentingan
pertahanan dalam hal ini termasuk kedalam
bagaimana negara ini melakukan upaya pre-
emptive strike maupun terkait dengan
melindungi serta mendapatkan aset
pertahanan yang akan didapatkan oleh negara
ini di Suriah. Kebijakan pre-emptive strike
yang dijalankan dengan mengirimkan
pasukan ke Suriah untuk membantu rezim
Assad merupakan sebuah tindakan
didasarkan kepada keyakinan bahwa hanya
rezim Assad yang mampu untuk melawan
ekspansi dari ISIS dan kelompok militan lain
di Timur Tengah ( Spaulding et.all, 2015 ).
Rusia meyakini bahwa perkembangan dari
ISIS dan kelompok militant lain cepat atau
lambat akan menjadi ancaman bagi Rusia,
negara-negara di Asia Tengah yang
berbatasan langsung dengan Rusia dan juga
aset Rusia yang ada di luar negeri. Meskipun
pada saat yang sama AS dan koalisinya
tengah melakukan upaya yang sama untuk
menghancurkan ISIS, namun Rusia dalam
keyakinan bahwa hal tersebut juga
ditunggangi oleh agenda untuk menjatuhkan
rezim Assad. Rusia meyakini bahwa
permasalahan yang terjadi di Suriah terkait
dengan instabilitas dan politik sektarian tidak
hanya akan mempengaruhi kawasan Timur
Tengah namun juga akan berdampak kepada
wilayah Rusia dan sekitarnya, yang tentu saja
akan mengancam masyarakat mereka (
Bagdonas, 2012 : 67 ).
Suriah secara geografis sangat
strategis sebagai gerbang Timur Tengah ke
wilayah Laut Mediterania dan sebaliknya.
Bagi Rusia, Suriah merupakan mitra yang
sangat penting dalam memperkuat kebijakan
pertahanannya terkait dengan adanya
pelabuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai
pangkalan suplai militer Angkatan Laut
Rusia. Realitas tersebut membuat Rusia
menjalin kerjasama Angkatan Laut dengan
Suriah. Kerjasama tersebut adalah upaya
Rusia untuk kembali menggunakan
pelabuhan di Tartus, yang merupakan
pelabuhan kedua terbesar di Suriah setelah
Latakia. Rusia melalui serangkaian negosiasi
akan mengubah Tartus menjadi pangkalan
Angkatan Laut permanen. Keberadaan
armada tempur Rusia di Suriah tidak dapat
dilepaskan merupakan bagian dari upaya
bargaining Rusia terhadap Suriah dalam isu
pelabuhan Tartus dengan Presidan Assad.
Rusia berupaya untuk menunjukan komitmen
terhadap hubungan diantara kedua negara.
Bagi Rusia pelabuhan Tartus yang ada di
185
Suriah memiliki dua arti yang sangat penting
secara strategis maupun secara politis bagi
pertahanan Rusia.
Keuntungan strategis dari keberadaan
pangkalan militer di Tartus akan
meningkatkan power projection Rusia yang
akan dengan mudah mampu untuk mencapai
Laut Mediterania, Laut Merah, Samudera
Hindia melalui terusan Suez dan ke
Samudera Atlantik melalui Selat Gibraltar (
Kreutz, 2010 : 21 ). Pelabuhan Tartus akan
menjadi salah satu basis Angkatan Laut
Rusia di wilayah Mediterania, Laut
Mediterania sendiri memiliki empat arti bagi
kebijakan luar negeri Rusia yang salah
satunya adalah menjadi tantangan dalam
berbagai bidang baik dalam bidang ekonomi
dan keamanan yang merupakan kelanjutan
yang harus dihadapi negara tersebut di Laut
Hitam ( Makarychev, 2009 : 169 ) . Rusia
sendiri dalam hal ini masih menyimpan
kekhawatiran akan potensi konfrontasi
dengan NATO yang kemungkinan akan
menggunakan wilayah Mediterania sebagai
aksesnya.
Secara politis keberadaan dari
pangkalan Angkatan Laut di Tartus menjadi
sebuah keniscayaan yang harus tetap
dipertahankan oleh Rusia di Suriah.
Intervensi dalam rangka mendukung
Presiden Assad dalam bidang militer tidak
dapat dilepaskan dari politik air hangat yang
dilakukan oleh negara ini. Politik air hangat
dalam hal ini dipahami sebagai sebuah upaya
dari Rusia untuk membuka akses terhadap
gerbang menuju wilayah lautan bagi
Angkatan Lautnya. Karena seperti yang
diketahui bersama bahwa meski memiliki
garis pantai yang cukup panjang, namun
sebagian besar dari garis pantai tersebut
menghadap ke lautan beku sehingga
menyulitkan akses dan ruang gerak dari
armada Angkatan Laut Rusia. Disamping itu
Angkatan Laut Rusia tengah mengalami
penurunan kekuatan. Hal ini dibuktikan
dengan kekuatan Armada Angkatan Laut
Rusia di Laut Hitam yang akan
menggunakan Pelabuhan di Tartus tidak
sebesar seperti yang dimiliki pada saat masih
menjadi Uni Soviet. Dimana keberadaan dari
pelabuhan Tartus ini akan menjadi asset
berharga di masa yang akan datang terkait
dengan ambisi Rusia untuk kembali
mengukuhkan diri sebagai salah satu negara
superpower.
2. Kepentingan Ekonomi.
Sebagai salah satu negara yang
terletak di Timur Tengah, Suriah memiliki
kekayaan alam berupa cadangan energi
berupa minyak bumi dan gas. Menurut data
yang dikeluarkan pada tahun 2010 Suriah
memproduksi 385.000 barrel/hari dimana
sekitar 150.000 barrel/ hari diekspor dan
sisanya diolah untuk konsumsi domestik (
Butter, 2015 : 14 ). Melimpahnya cadangan
minyak yang dimiliki oleh negara ini tentu
saja menarik negara-negara lain yang tengah
186
mencari sumber energi berlomba-lomba
untuk masuk dan mengeksplorasi cadangan
minyak tersebut. Rusia menjadi salah satu
negara yang memiliki beberapa perusahan
yang telah menjalin kontrak dengan
pemerintah Suriah, termasuk perjanjian untuk
membangun jalur minyak di wilayah Arab
dan fasilitas penyulingan minyak di wilayah
Palmyra ( Khlebniko, 2011 : 3 ). Beberapa
perusahaan Rusia juga telah terlibat dalam
proses eksplorasi cadangan minyak dan gas
di Suriah.
Sejak krisis terjadi di Suriah,
perusahaan-perusahaan Rusia khususnya
dalam bidang energi secara bersamaan
mendapatkan ancaman dan sekaligus peluang
( Bagdonas, 2012 : 64 ). Perusahaan-
perusahaan yang bergerak dalam bidang
energi memiliki kaitan langsung dengan
pemerintah Rusia maupun pemerintah
Suriah. Ancaman yang muncul terkait
dengan kemungkinan sabotase atau gangguan
terhadap produksi minyak yang dijalankan
serta kemungkinan kehilangan hak konsensi
apabila kelompok oposisi berhasil
mengambil alih pemerintahan dari tangan
Presiden Assad. Peluang yang kemudian
terbuka bagi perusahaan energi asal Rusia
adalah ketika konflik berkecamuk banyak
perusahaan minyak negara lain yang
memutuskan untuk hengkang, kesempatan ini
yang bisa dimanfaatkan dengan melakukan
pengambilalihan kepemilikan. Hal ini
dibuktikan dengan perusahaan minyak Rusia
Gazprom yang menyatakan telah mengambil
alih perusahaan asal Kroasia INA`s Oil and
Gas yang beroperasi di Suriah ( Sharp and
Blachard, 2012 ).
Konflik yang terjadi di Suriah dalam
kacamata ekonomi sangat menguntungkan
bagi Rusia, hal ini terkait dengan semakin
tingginya kebutuhan akan senjata dari pihak
pemerintah Bashar Al Assad. Meskipun
secara statistik transfer senjata ke Suriah
secara global tidak terlalu besar yakni hanya
berkisar 0.81% antara tahun 2007-2011 (
Bromley dan Wezeman, 2012 : 276 ) tetapi
dalam jangka panjang Suriah merupakan
pasar yang sangat potensial bagi persenjataan
Rusia. Sebelum pecahnya konflik Suriah
sebenarnya telah meminta banyak
persenjataan canggih kepada Rusia, namun
belum mendapatkan persetujuan terkait
dengan upaya menghindarkan provokasi
kepada pihak Israel. Kondisi konflik yang
dihadapi oleh pemerintah Suriah, memaksa
negara tersebut untuk meningkatkan
anggaran dengan tujuan membeli
persenjataan dalam rangka mempertahankan
rezimnya. Besarnya permintaan persenjataan
disambut baik oleh Rusia, hal ini ditunjukan
dengan penjualan persenjataan kepada Suriah
meskipun banyak negara yang mengecam
kebijakan tersebut karena dianggap akan
memperkeruh situasi di negara tersebut.
Meskipun kemudian persenjataan yang
diberikan masih berupa senjata ringan dan
kaliber kecil, namun hal ini dianggap hanya
187
sebagai awal dari pengiriman senjata yang
lebih canggih lagi dimasa yang akan datang.
Keterlibatan Rusia secara langsung
dalam konflik di Suriah dengan membawa
berbagai persenjataan memiliki dua makna
yakni pertama untuk menunjukan
kemampuan dari persenjataan tersebut
kepada Suriah maupun kepada negara-negara
lain. Dimana dalam hal ini Rusia membawa
persenjataan canggih saat melakukan operasi
militer di Suriah. Tidak dapat dipungkiri
bahwa hanya dalam perang yang sebenarnya
kemampuan persenjataan akan benar-benar
teruji. Kondisi ini merupakan sebuah
konsekuensi dari persaingan dalam pasar
persenjataan dengan negara-negara lain
seperti AS. Kedua, untuk menunjukan
kepada Suriah bahwa Rusia berkomitmen
untuk memberikan dukungan secara penuh
kepada pemerintah Bashar Al- Assad. Rusia
mengharapkan agar rezim Assad tetap
bertahan dan tidak akan berpaling kepada
negara lain dalam pembelian persenjataan
dimasa yang akan datang.
3. Kepentingan Ideologi.
Kepentingan ideologi yang kemudian
menjadi motivasi Rusia melakukan
intervensi militer di Suriah dalam
permasalahan ini bukan merujuk kepada
ideologi pada masa perang dingin, namun
lebih merujuk kepada nilai-nilai yang ingin
dipertahankan dan ditunjukan kepada dunia.
Ideologi yang kemudian diusung adalah
nilai-nilai dalam penyelesaian masalah
internasional, dimana Rusia lebih
menekankan kepada nilai yang lebih
konservatif dibandingkan dengan AS dan
negara-negara Barat lainnya. Hal ini
kemudian memnunculkan definisi,
penyebab, sifat, lokasi dan skala dari isu
secara berbeda, dan masing-masing
senantiasa memunculkan penyelesaian yang
berbeda pula ( Monaghan : 2015 : 5 ).
Demikian pula dengan konflik di Suriah
yang kemudian memunculkan ISIS dan
kelompok militant lain sebagai
permasalahan bersama. AS dan negara Barat
lebih mengedepankan upaya untuk
menggulingkan rezim Bashar Al Assad
untuk menghentikan konflik, Rusia lebih
melihat bahwa penyelesaian masalah adalah
dengan menghancurkan ISIS dan kelompok
militan lainnya.
Nilai-nilai konservatif yang
ditunjukan dengan dukungan Rusia kepada
rezim Assad ini merupakan salah satu upaya
untuk tidak mengulangi kegagalan AS dalam
membangun Irak, yang justru
kontraproduktif. Rusia melihat bahwa bila
rezim Bashar Al Assad jatuh maka
kelompok militan maupun musuh bersama
yakni ISIS akan semakin leluasa untuk
menjalankan berbagai aksi teror. Kondisi ini
jelas akan sangat membahayakan keamanan
internasional. Keberadaan Rusia dibelakang
pemerintah Suriah merupakan sebuah pesan
kepada AS dan negara-negara Barat bahwa
188
penyelesaian permasalahan tidak harus
senantiasa mengedepankan pendekatan yang
liberal dimana akan menimbulkan masalah
baru dikemudian hari.
4. Kepentingan Tata Internasional.
Rusia saat ini tengah dalam upaya
untuk kembali membangun pengaruh dalam
politik global, oleh karena itu Rusia perlu
untuk memainkan peranan yang signifikan
diberbagai kawasan. Salah satu kawasan
yang memiliki signifikansi bagi upaya Rusia
untuk memperkuat pengaruh globalnya
adalah Timur Tengah. Dimana sejak sekian
lama wilayah ini menjadi ajang untuk
persaingan pengaruh antara negara-negara di
luar kawasan terkait dengan keberadaan dari
sumber daya alam yang sangat strategis
yakni minyak. Konflik yang terjadi di Suriah
dianggap sebagai salah satu jalan bagi Rusia
untuk masuk didalam konstelasi politik di
Timur Tengah. Suriah telah lama menempati
posisi penting dalam kebijakan luar negeri
Rusia di Timur Tengah. Posisi penting
tersebut terkait dengan masuknya Suriah
kedalam strategi Rusia di Timur Tengah
yang terkait dengan keamanan untuk wilayah
selatan, hubungan baik dengan islam dan
akses terhadap wilayah Mediterania (Kreutz,
2010 : 8 ).
Posisi Rusia yang berada di belakang
rezim Bashar Al Assad tidak dapat
dilepaskan dari dua alasan utama. Pertama,
Rusia berupaya untuk mengembalikan
perannya sebagai kekuatan dunia. Hal ini
ditunjukan baik secara tidak langsung yakni
melalui mekanisme di Dewan Keamanan
PBB melalui berbagai resolusi maupun veto
yang dijatuhkan terhadap pemerintah Suriah
dan langsung dengan keterlibatan militernya
dalam memerangi ISIS maupun kelompok
pemberontak. Keterlibatan secara langsung
militer Rusia di Suriah ditujukan untuk
menunjukan kapabilitas sebagai negara
superpower yang merujuk kepada definisi
yang dikemukakan oleh ( Flemes dalam
Richard, 2014 : 42 ) dimana penyebutan
negara superpower ditujukan kepada sebuah
negara yang menempati peringkat pertama
dalam sistem internasional dan memiliki
pengaruh serta power projection ke seluruh
dunia. Kedua, Rusia berupaya untuk
memperluas atau mengukuhkan pengaruhnya
di Timur Tengah. Suriah menjadi salah satu
entry point bagi Rusia mengingat negara ini
mulai kehilangan pengaruh di Timur Tengah
sebagai kawasan yang sangat strategis secara
geopolitik, terkait dengan permasalahan yang
dihadapi oleh Iran. Terlebih, pengaruh dari
rival utama Rusia yakni AS telah sangat kuat
mencengkram wilayah Timur Tengah ini.
Keterlibatan Rusia dalam konflik di Suriah
menunjukan bahwa negara ini berupaya
untuk meningkatkan kehadiran serta peranan
dalam dinamika politik dan keamanan
kawasan yang selama ini hanya menjadi
monopoli dari AS dan negara-negara
sekutunya.
189
KESIMPULAN
Konflik berlarut-larut di Suriah telah
menjadi perhatian banyak negara seiring
dengan munculnya permasalahan baru
sebagai efek dari konflik tersebut yakni
munculnya kelompok ISIS. Konflik Suriah
juga menarik dua kekuatan besar dunia yakni
AS dan Rusia untuk terlibat didalamnya.
Sejak terjadinya konflik di Suriah Rusia
memposisikan dirinya mendukung
pemerintahan rezim Bashar Al Assad dengan
memberikan dukungan politis di DK PBB
maupun penjualan senjata ke pemerintah
Suriah. Tindak lanjut dari dukungan ini
diperkuat dengan keterlibatan secara
langsung Rusia dalam konflik di Suriah
dengan mengirimkan pasukan beserta
peralatan tempurnya ke Suriah dengan dalih
untuk memerangi kelompok ISIS. Kebijakan
ini tentunya mengundang banyak kecaman
khususnya dari AS dan negara sekutunya.
Namun, Rusia dalam hal ini tidak
mengindahkan kecaman tersebut dan
melanjutkan serangkaian operasi militer di
Suriah untuk menghancurkan basis ISIS dan
kelompok militan.
Kebijakan Rusia dalam melakukan
intervensi militer di Suriah tidak dapat
dilepaskan dari motivasi untuk mengejar atau
mencapai kepentingan nasionalnya.
Kebijakan intervensi Rusia ke Suriah
merupakan sebuah bentuk dari upaya
pengejaran kepentingan nasional sebuah
negara yang akan dilakukan dengan berbagai
resiko dan dengan pertimbangan rasional.
Seperti yang telah dipaparkan diatas Rusia
berupaya untuk mengejar empat kepentingan
nasional yang secara teoritis telah dipaparkan
oleh Donald E Nuetcherlin yakni
kepentingan dalam bidang pertahanan,
ekonomi, ideologi dan tata internasional.
Keempat kepentingan nasional tersebut
merupakan sebuah kebutuhan yang harus
dicapai oleh Rusia dengan berbagai resiko
yang harus ditanggung seperti kecaman dari
negara lain, maupun potensi konfrontasi
dengan negara besar lain seperti AS.
REFERENSI
Asseburg, Muriel dan Wimmen, Heiko,
2012, Civil War in Syiria External
Actor and Interest as Driver of
Conflict, SWP Comment 43. 1-7.
Bagdonas, Azuola., 2012, Russia`s Interest in
Syrian Conflict Power Prestige and
Profit, European Journal of
Economic and Politics, 2012, 55-
77.
Bromley, M., and P. D. Wezeman. 2012.
“Policies on Exports of Arms to States Affected by the Arab
Spring.” In SIPRI Yearbook 2012:
Armaments, Disarmament and
International Security, 275-279.
Oxford : Oxford University Press.
Butter, David.,2015, Syria`s Economy
Picking up the Pieces, Research
Paper, London : Chatam House.
190
Halliday, Fred, 2005, The Middle East in
International Relations Power,
Politics and Ideology, London :
Cambridge University Press.
Kreutz, Andrej, 2010, Syiria Russia`s Best
Asset in the Middle East, IFRI,
No. 44 ( November 2010 ) 1-23.
Makarychev, Andrey S., 2009, Russia in the
Mediterranean Region ( Re )
sources of Influence, Panorama,
2009. 169-172.
Moleong, Lexy J., 2006, Metodologi
Penelitian Kualitatif ed. rev,
Bandung : Remaja Rosda Karya.
Monaghan, Andrew, A `New Cold War`?
Abusing History,
Misunderstanding Russia,
Research Paper, London : Chatam
House.
Richard, Adigbuo Ebere, 2014, Cold War
Resurgence : The Case of Syrian
Uprising, IOSR Journal of
Humanities and Social Sciene, 19,
( 8 ) : 39-47.
Sharp, J. M., and C.M. Blanchard. 2012.
“Syria: Unrest and U.S. Policy.” CRS Report RL33487.
Suryadi Bakry, 1999. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Jakarta
Jayabaya University Press.
T.May Rudy, 1993. Teori, Etika,dan
Kebijakan Luar Negeri. Bandung.
Angkasa.
Top Related