(Zea mays L.) Pada Lahan Kering di
Transcript of (Zea mays L.) Pada Lahan Kering di
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan tanaman semusim seperti jagung di Propinsi Bali
dirasakan sudah cukup mendesak, sejalan dengan meningkatnya konsumsi
bahan makanan dan kebutuhan industri dengan bahan baku dasar jagung.
Jagung merupakan sumber karbohidrat yang dapat berfungsi sebagai pengganti
bahan makanan pokok seperti beras. Permintaan terhadap kedua komoditas ini
cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat
maupun untuk industri makanan. Di lain pihak, produksi jagung saat ini masih
belum mencukupi sehingga Pemerintah harus mengimpor setiap tahun dari luar
negeri (Simatupang dkk., 2005; Adri dan Endrizal, 2009).
Tanaman jagung mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan di
lahan kering, baik sebagai tanaman tunggal maupun tumpangsari. Sebagian besar
jagung yang diusahakan di lahan kering biasanya digunakan untuk mengatur pola
tanam (Margaretha dan Fadhly, 2010). Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam mengatasi terbatasnya produksi jagung adalah melalui kegiatan
ekstensifikasi ke lahan-lahan kering. Pemetaan daerah-daerah yang potensial
untuk pengembangan tanaman jagung sangat diperlukan di samping perlunya
optimalisasi penggunaan sumber daya pertanian yang ada terutama lahan dan air.
Salah satu kawasan lahan kering yang cukup potensial dan banyak tersedia untuk
perluasan areal pertanaman pangan di daerah Bali adalah lahan kering Gerokgak
2
yang merupakan salah satu wilayah lahan kering yang potensial untuk
pengembangan tanaman pangan, terutama jagung.
Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman pangan di Propinsi
Bali digolongkan ke dalam dua tipe, yaitu pertanian tanaman pangan lahan basah
yang diperuntukkan bagi tanaman padi sawah dan pertanian tanaman pangan
lahan kering yang diperuntukkan bagi tanaman palawija, hortikultura atau
tanaman pangan lainnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali
(2011) dan Bapeda Provinsi Bali (2009), menunjukkan bahwa dari luas wilayah
563.666 hektar, sekitar 481.367 hektar (85.40%) merupakan lahan kering. Daerah
Gerogak yang meliputi luas 27.498 hektar seluruhnya merupakan lahan kering
dengan potensi lahan marginal.
Daerah Gerokgak dengan kondisi alam yang relatif kering dengan curah
hujan yang terbatas mengakibatkan sektor pertanian di daerah ini kurang
berkembang dan tertinggal dengan daerah lainnya di Bali. Masalah utama di
daerah Gerokgak yang dihadapi dalam peningkatan pemanfaatan lahan kering
adalah masalah keterbatasan air, pertanian yang kurang atau tidak intensif,
rendahnya pendapatan petani, rendahnya produktivitas lahan, padahal sebagian
besar sumber mata pencaharian penduduknya adalah bertani.
Petani lahan kering di Bali selalu dihadapkan kepada gagal panen akibat
belum dimanfaatkannya sumberdaya iklim secara maksimal. Hasil penelitian
Sumiana (2012), menunjukkan bahwa selama lebih dari satu dekade terakhir di
Bali telah terjadi perubahan pola curah hujan. Hasil penelitian ini juga
mengungkap bahwa perubahan pola curah hujan yang telah terjadi di Bali telah
3
menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam. Hasil penelitian Daryono (2003),
mengungkap bahwa zona agroklimat di Pulau Bali sudah banyak mengalami
perubahan. Berdasarkan fakta ini, maka petani lahan kering yang masih
menggunakan teknik bercocok tanam secara tradisional selalu dihadapkan kepada
kemiskinan akibat seringnya gagal panen karena ketidak tahuannya informasi
iklim terkini. Guna menunjang keberhasilan pertanian lahan kering, sangat perlu
dilakukan kajian tentang aspek perubahan pola curah hujan dan tipe iklim untuk
penentuan awal tanam tanaman jagung.
Hasil kajian implikasi perubahan pola curah hujan terhadap waktu tanam
tanaman jagung diharapkan dapat menjawab permasalahan waktu tanam terkait
dengan fenomena perubahan pola curah hujan di Pulau Bali. Berdasarkan latar
belakang tersebut di atas, maka penelitian yang berjudul: ”Implikasi Perubahan
Pola Curah Hujan terhadap Waktu Tanam Jagung Pada Lahan Kering di Daerah
Gerokgak Kabupaten Buleleng” menjadi penting untuk dilaksanakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian
terhadap “Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan Terhadap Waktu Tanam Jagung
(Zea mays L.) Pada Lahan Kering di Daerah Gerokgak Kabupaten Buleleng,”
yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 30 tahun dari
tahun 1981 – 2010?
4
2. Apakah terjadi perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak selama
15 tahun dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010?
3. Apakah terjadi perubahan pola tipe iklim di daerah Gerokgak selama 15
tahun dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010?
4. Bagaimana implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 30 tahun dari
tahun 1981 - 2010.
2. Mengetahui perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak selama 15
tahun dari periode 1981-1995 ke peride 1996-2010.
3. Mengetahui perubahan tipe iklim di daerah Gerokgak selama 15 tahun
dari periode 1981-1995 ke periode 1996-2010.
4. Mengetahui implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi para petani
dan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah
Kabupaten Buleleng khususnya Dinas Pertanian Tanaman Pangan
5
terkait dengan informasi perubahan pola curah hujan dan implikasinya
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.
2. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengantisipasi risiko
kegagalan panen akibat berubahnya pola curah hujan di Daerah
Gerokgak.
3. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengetahui waktu tanam
jagung yang tepat.
4. Meningkatkan produktivitas pertanian lahan kering, meningkatkan
pendapatan petani dan dapat menunjang penelitian - penelitian lain
yang berhubungan dengan iklim di Pulau Bali.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Lahan Kering
Lahan kering di Bali sangat luas dan memiliki potensi sumber daya alam
yang cukup besar, namun hingga saat ini belum seluruhnya dapat diberdayakan
secara optimal. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali (2011) dan
Bapeda Provinsi Bali (2009), menunjukkan bahwa dari luas wilayah 563.666
hektar, sekitar 481.367 hektar ( 85,40%) merupakan lahan kering. Distribusi lahan
kering di Bali sebagian besar terletak di bagian Timur dan Utara, dengan luas
sekitar 2.181,19 km (38,7) (Gambar 2.1).
Gambar 2. 1. Kawasan Lahan Kering di Provinsi Bali (Bapeda, 2009)
Kendala usahatani lahan marginal adalah kurangnya ketersediaan air dan
miskinnya unsur hara pada lahan tersebut. Musim tanam yang pendek dan curah
hujan yang tidak menentu sangat membatasi peningkatan intensitas penggunaan
P. N usa Penida
P. Lem bongan
P. C eningan
P. M enjangan
P. Serangan
S A M U D E R A I N D O N E S I A
S E
L A T
B A
L I
L A U T B A L I
S
E
L
A
T
L
O
M
B
O
K
S E L A T B A D U N G
KABUPATEN BULELENG
KABUPATEN TABANAN
KABUPATEN JEMBRANA
KABUPATEN KARANGASEM
KABUPATEN
BANGLI
KABUPATEN
BADUNG
KABUPATEN
GIANYAR
KABUPATEN KLUNGKUNG
KOTA
DENPASAR
N
10 0 10 KM9°00'
8°30'
8°00'
114°30'
115°00'
115°30'
Lahan Kritis
Kritis
Potensial Kritis
7
lahan. Penerapan pola usahatani terpadu dengan memperhatikan aspek iklim
sangat diperlukan. Pola integrasi antara tanaman dan ternak serta konservasi
lahan dengan memperhatikan kondisi iklim yang tepat akan dapat memberikan
nilai tambah bagi petani dan merubah wawasan petani dalam meningkatkan taraf
hidupnya (Arsana dkk., 2012).
2.2. Pola Curah Hujan
Menurut Mustofa (2002), berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu pola monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal. Pola
monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak
musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif
tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah
(biasanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung
dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.
Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu
dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat
matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan
unimodal (satu puncak hujan) tetapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan
pada tipe monsoon. Wilayah Indonesia di sepanjang garis khatulistiwa sebagian
besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan monsoon terdapat
di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian
Sumatera, sedangkan salah satu wilayah yang mempunyai pola hujan lokal adalah
Ambon (Gambar 2.2).
8
Gambar 2.2. Pola Curah Hujan Monsoon, Ekuatorial dan Lokal
(Sasmito dkk. 2005)
2.3. Musim Hujan dan Musim Kemarau
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (2011), menetapkan bahwa
jika dalam satu bulan terjadi curah hujan di atas 150 mm maka daerah tersebut
mengalami musim hujan, sebaliknya jika dalam satu bulan curah hujan kurang
dari 150 mm maka daerah tersebut mengalami musim kemarau. Pengaruh
monsoon terhadap iklim menyebabkan adanya musim hujan dan musim kemarau.
Menurut Suyono dan Sulistya (1999), aktivitas musim hujan di Indonesia sangat
ditentukan oleh monsoon Asia musim dingin, sebaliknya musim kemarau sangat
dipengaruhi oleh monsoon Australia musim dingin.
Menurut Sasmito dkk. (2005), wilayah Indonesia secara umum memiliki
dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung
sekitar bulan Oktober hinggga Maret, dengan puncaknya pada bulan Desember
hingga Februari yang bertepatan dengan berlangsungnya monsoon barat.
Sementara itu musim kemarau berlangsung sekitar bulan April hingga September,
9
dengan puncaknya bulan Juli hingga Agustus, bertepatan dengan berlangsungnya
monsoon timur (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Monsoon barat dan timur (Prawirowardoyo, 1996)
2.4. Perubahan Awal Musim
Kajian mengenai pergeseran awal musim sebagai dampak perubahan iklim
pernah dilakukan oleh Subagyono (2007). Penelitian ini menunjukkan bahwa
perubahan iklim global menyebabkan pergeseran awal musim. Pergeseran musim
yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah: (1) wilayah dengan awal musim
hujan mundur dengan curah hujan di bawah normal, (2) wilayah dengan awal
musim hujan mundur dengan curah hujan normal, dan (3) wilayah dengan awal
musim hujan tetap dengan curah hujan di bawah normal. Lilik dan Sinta (2009)
juga meneliti curah hujan di beberapa daerah di Indonesia yang hasilnya
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran bulan basah dan bulan kering di
Solok, Padang, Kotaraja, Palembang, Pontianak, Semarang, Surabaya, dan
Jakarta. Pergeseran bulan basah maupun kering ini mencakup pergeseran maju
juga mundur dari periode sebelumnya serta musim menjadi lebih pendek atau
10
lebih panjang. Meiviana dkk. (2004) menyatakan bahwa perubahan iklim telah
menyebabkan terjadinya pergeseran musim, dalam hal ini musim kemarau
berlangsung lebih lama sedangkan musim hujan berlangsung lebih singkat. Hasil
penelitian Mahmud (2009), di Pulau Jawa, Bali, dan NTB menunjukkan bahwa
perubahan iklim telah memicu terjadinya pergeseran musim dalam hal ini periode
musim kemarau berlangsung semakin panjang, sedangkan periode musim hujan
berlangsung semakin singkat tetapi intensitasnya semakin tinggi.
2.5 Evaluasi Tipe Iklim
Kebutuhan akan informasi iklim yang tepat-guna semakin dirasakan
strategis dalam menunjang program pembangunan pertanian di Indonesia,
sehingga kajian iklim berupa evaluasi iklim di suatu wilayah dan antisipasinya
dalam menghadapi perubahan iklim menjadi sangat penting (Bey dkk., 1992).
Ketersediaan data iklim terbaru sangat bermanfaat dalam menunjang kegiatan
pertanian dan kegiatan ilmiah lainnya. Agar dapat memenuhi ketersediaan data
iklim terbaru dan peta iklim yang aktual maka satu-satunya cara adalah dengan
melakukan pemutakhiran data menggunakan data iklim hasil pengamatan terbaru.
Menurut Irianto dkk. (2000) pemutakhiran zona iklim sangat penting agar
peta iklim yang ada saat ini representatif dan sesuai dengan perubahan iklim yang
terjadi. Zona iklim hasil pemutakhiran data dapat menjadi acuan yang obyektif
dan rasional dalam penentuan pola tanam yang lebih tepat. Pemutakhiran zona
agroklimat Oldeman di Pulau Sumatera yang dilakukan oleh Irianto, dkk. (2000)
menunjukkan bahwa di Sumatera telah terjadi perubahan zona agroklimat akibat
11
berubahnya pola curah hujan. Kayadu (2002), telah melakukan pemutakhiran
zona agroklimat Oldeman Kabupaten dan Kota Jayapura. Hasil pemutakhiran data
menunjukkan bahwa di Kabupaten dan Kota Jayapura memiliki tipe iklim
Oldeman mutakhir, yaitu B1, C1, D2, E1, E2, dan E4. Daryono, dkk. (2003) juga
melakukan penelitian pemutakhiran zona agroklimat Oldeman di Pulau Bali
menggunakan data curah hujan periode tahun 1970 hingga 2000. Hasil
pemutakhiran data menunjukkan adanya kecenderungan perubahan iklim yang
semakin basah. Hasil pemutakhiran data juga menghasilkan temuan 2 (dua) tipe
iklim baru, yang belum ada sebelumnya yaitu B3 dan D2.
Perubahan iklim dapat mengubah komposisi jumlah bulan basah dan bulan
kering dalam satu tahun. Tipe iklim Oldeman yang disusun berdasarkan
perhitungan banyaknya bulan basah dan bulan kering dapat mengalami perubahan
jika komposisi bulan basah dan bulan kering mengalami perubahan. Perubahan
zona agroklimat sebagai akibat adanya perubahan iklim, telah dilakukan oleh
beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Daryono dkk., (2003) dan
Asyakur dkk., (2005). Hasil penelitian pemutakhiran zona Agroklimat yang
dilakukan para peneliti terdahulu menunjukkan bahwa perubahan iklim telah
menimbulkan perubahan tipe iklim pada beberapa lokasi di daerah penelitian.
2.6. Waktu Tanam
Perubahan pola curah hujan telah terbukti dapat menyebabkan terjadinya
pergeseran musim. Dampak pergeseran musim yang terjadi di suatu daerah akan
menyebabkan perubahan tipe iklim. Perubahan tipe iklim yang terjadi akan
12
menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam. Adanya perubahan waktu tanam
sebagai dampak dari perubahan tipe iklim pernah dikaji oleh beberapa peneliti
seperti Runtunuwu dan Syahbuddin (2007), dalam penelitiannya menyatakan
bahwa perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam.
Menurut Subagyono (2007), dampak perubahan iklim berpengaruh terhadap
perubahan waktu tanam, sehingga pemanfaatan hasil prediksi iklim sangat
bermanfaat untuk strategi budidaya tanaman dan penetapan waktu tanam.
Wilayah dengan awal musim hujan mundur dengan curah hujan di bawah normal
disarankan melakukan budidaya padi dan palawija varietas unggul yang tahan
kekeringan, berumur pendek dan tahan hama penyakit utama.
Ada perubahan waktu tanam sebagai dampak perubahan awal musim.
Menurut Pramudia (2006), perubahan awal musim hujan sebagai dampak
perubahan pola curah hujan akan mengubah cara budidaya tanaman padi yang
jauh dari sumber air irigasi dan sangat bergantung kepada curah hujan. Terkait
perubahan waktu tanam akibat pergeseran musim maka Balai Penelitian
Agroklimat dan Hidrologi (2008), telah menyusun kalender musim tanam.
Perubahan pola curah hujan yang terjadi akhir - akhir ini telah menyebabkan
terjadinya pergeseran musim tanam tanaman jagung. Menurut Surmaini dan
Irianto (2003), penentuan waktu tanam yang tepat harus mempertimbangkan dan
menyesuaikan pergeseran musim yang telah terjadi. Menyesuaikan waktu tanam
terhadap perubahan musim yang telah terjadi sangat penting karena dapat
menekan risiko penurunan hasil-hasil pertanian.
13
2.7. Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis
rumputan atau graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat
kemungkinan munculnya cabang anakan pada beberapa genotipe dan lingkungan
tertentu. Siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari
siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap
pertumbuhan generatif. Batang jagung terdiri atas buku dan ruas. Daun jagung
tumbuh pada setiap buku, berhadapan satu sama lain. Tinggi tanaman jagung
sangat bervariasi, antara 1 - 3 meter, ada juga yang mencapai tinggi 6 meter.
Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum
bunga jantan (Anonim, 2012)
Jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakter diantaranya
lingkungan tempat tumbuh dan umur panen. Jenis jagung berdasarkan
lingkungan tempat tumbuh meliputi jagung yang tumbuh di dataran rendah
tropik (< 1000 m dpl), dataran rendah subtropik dan mid-altitude (1000–1600 m
dpl), dan dataran tinggi tropik (>1600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur
panen dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung berumur genjah dan umur dalam.
Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari
sedangkan jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari (Iriany et al.,
2007).
Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 26°C sampai
30°C dan pH tanah 5.7 – 6.8 (Subandi dalam Iriany et al., 2007). Agar dapat
tumbuh dengan baik, tanaman jagung memerlukan temperatur rata-rata antara 14 -
14
30°C, dengan curah hujan sekitar 600 mm – 1200 mm per tahun yang
didistribusikan rata selama musim tanam (Kartasapoetra, 1988). Intensitas cahaya
matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang baik. Tanaman jagung
membutuhkan cahaya matahari secara langsung bukan di tempat-tempat
terlindung karena dapat mengurangi hasil (Sudjana et al., 1991). Hari panas dan
suhu malam yang tinggi meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan, dan
walaupun suhu panas adalah ideal untuk pertumbuhan vegetatif dan tongkol, suhu
sedang adalah optimum untuk akumulasi karbohidrat (Rubatzky dan Yamaguchi,
1998).
Faktor air merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan
jagung. Kebutuhan air yang terbanyak pada tanaman jagung adalah stadia
pembungaan dan stadia pengisian biji. Jumlah radiasi surya yang diterima oleh
tanaman selama fase berbunga juga merupakan faktor yang penting untuk
penentuan jumlah biji (Subandi, Syam dan Widjono, 1988).
Pemahaman morfologi dan fase pertumbuhan jagung sangat
membantu dalam mengidentifikasi pertumbuhan tanaman, terkait dengan
optimasi perlakukan agronomis. Cekaman air (kelebihan dan kekurangan),
cekaman hara (defisiensi dan keracunan), terkena herbisida atau serangan hama
dan penyakit akan menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal, atau tidak
sesuai dengan morfologi tanaman. Hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi
akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman optimal. Untuk itu diperlukan
pengelolaan hara, air, dan tanaman dengan tepat. Pengelolaan hara dan
15
tanaman yang mencakup pemupukan (waktu dan takaran), pengairan, dan
pengendalian gulma harus sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.
2.8. Syarat Tumbuh Jagung
2.8.1. Tanah
Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH
5,5 - 7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah
pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung
cenderung turun (Wakman dan Burhanuddin, 2007)
2.8.2. Iklim
Pertumbuhan optimalnya jagung menghendaki penyinaran matahari yang
penuh, tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan tidak mampu
membentuk buah. Wilayah Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah dengan
ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki antara
85 - 100 mm per bulan merata sepanjang pertumbuhan tanaman (Wakman dan
Burhanuddin, 2007).
Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu
daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung
dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan
yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85- 200 mm/bulan
selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk
pertumbuhan terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih
jagung memerlukan suhu sekitar 30°C (Anonim, 2010).
16
2.9. Kebutuhan Air Tanaman
Air merupakan bagian terbesar penyusun jaringan tumbuh-tumbuhan.
Unsur hara dalam tanah yang diperlukan tanaman harus dilarutkan dalam air
sebelum dapat diserap oleh akar tanaman yang selanjutnya diangkut ke seluruh
bagian tanaman. Air diperlukan dalam proses asimilasi dan diperlukan pula
sebagai pengatur setiap proses metabolisme tanaman secara langsung atau tidak
langsung dipengaruhi oleh ketersediaan air.
Air dalam tubuh tanaman berfungsi sebagai (1) penyusun utama jaringan
tanaman yang aktif secara fisiologis, (2) pereaksi dalam fotosintesis dan proses
hidrolisis, (3) pelarut garam, gula dan hara, (4) pengendali dan stabilisator suhu
tanaman dan, (5) unsur yang diperlukan dalam mempertahankan turgor tanaman,
serta diperlukan dalam pengaturan sel dan jaringan yang mengalami pertumbuhan
(Kramer, 1980; dalam Sumiana, 2007).
Air berada di dalam sel tanaman karena terimbibisi dan terikat pada
persenyawaan-persenyawaan kimia serta mempunyai fungsi mulai dari
perkecambahan sampai pada pembentukan bagian-bagian reproduktif (Kramer,
1980). Proses perkecambahan yang pertama terjadi adalah pengisian air kedalam
biji. Setelah air masuk kedalam biji air berfungsi sebagai perangsang metabolisme
dan sebagai pelarut dalam perombakan dan pengangkutan cadangan makanan ke
bakal batang dan bakal akar, sehingga biji dapat tumbuh.
Setelah tanaman tumbuh, air diperlukan dalam proses pengangkutan zat
hara, sintesis karbohidrat, sintesis protein, sebagai alat angkut zat makanan ke
bagian tubuh tanaman yang lainnya, dan untuk melarutkan garam-garam dalam
17
tanah sehingga dapat diserap oleh tanaman. Stadia perkecambahan merupakan
stadia yang sangat peka terhadap ketersediaan air tanah, kekurangan atau
kelebihan air pada stadia ini akan mengurangi daya kecambah biji sehingga biji-
biji tersebut terhambat pertumbuhan (Jackson, 1977).
Kebutuhan air tanaman dapat ditentukan dengan menggunakan metode
pendugaan menurut Doorenbos & Pruitt (1977), dalam Sumiana (2007), dimana
besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama dengan nilai
evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc) sesuai
persamaan berikut:
ETc = Kc . ETo (mm/hari).............................................................(1)
Dimana :
ETc = evapotranspirasi tanaman atau kebutuhan air tanaman (mm / hari)
Kc = koefisien tanaman
ETo = evapotranspirasi standart (mm / hari)
Nilai dari Kc berlaku umum bagi varietas dari masing-masing jenis
tanaman yang bersangkutan. Namun berbeda bagi setiap jenis tanaman dan stadia
pertumbuhan. Nilai koefisien tanaman (Kc) dihitung setiap setengah bulan karena
kebutuhan air tanaman (ETc) akan dihitung setiap setengah bulan. Sedangkan
(ETo) dihitung dengan menggunakan Metoda (Thornthwaite & Mather, 1957;
dalam Sumiana, 2007; Adi, 2010 dan Rusmayadi, 2011).
Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kebutuhan
air yang dinyatakan dengan nilai Kc (koefisien tanaman) yang berbeda-beda
tergantung dari jenis dan stadia pertumbuhan tanaman (Tabel 2.1).
18
Tabel 2.1. Koefisien Tanaman (Kc) Jagung
Stadium pertumbuhan tanaman jagung Lama (hari) Kc
Pertumbuhan awal 15 0.30 - 0.50
Pertumbuhan vegetatif aktif 25 0.70 - 0.85
Stadia pertumbuhan pertengahan 40 1.05 - 1.20
Stadia pertumbuhan akhir 10 0.80 - 0.95
Masa panen 0.40 - 0.50
Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979).
Menurut Fuad (2000), koefisien tanaman jagung (Kc) dihitung setiap lima
belas hari atau setengah bulanan selama masa pertumbuhan jagung. Nilai
koefisien tanaman jagung yang direkomendasikan oleh Kriteria Perencanaan
Irigasi seperti terlihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Koefisien Tanaman (Kc) Jagung Dalam Lima Belas Harian
Lima belas hari ke Jumlah hari Koefisien tanaman jagung
1 15 0,5
2 15 0,59
3 15 0,96
4 15 1,05
5 15 1,02
6 15 0,95
2.10. Ketersediaan Air
Air hujan merupakan satu-satunya sumber air alami di lokasi
penelitian. Seluruh curah hujan yang jatuh tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan
oleh tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air dalam
tanah mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman
19
jagung (Sudarta, 2007). Curah hujan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman
disebut curah hujan efektif (KSa). Curah hujan efektif adalah curah hujan
yang jatuh di suatu daerah dan digunakan tanaman untuk pertumbuhan. Curah
hujan tersebut merupakan curah hujan wilayah yang harus diperkirakan dari
titik pengamatan yang dinyatakan dalam milimeter (Sosrodarsono dan Takeda,
2005).
2.11. Keseimbangan Air
Kondisi air yang jumlahnya terbatas, maka air harus dimanfaatkan secara
efisien. Menurut Hillel (1972), pertumbuhan tanaman semakin menurun sejalan
dengan menurunnya kelembaban tanah dan pertumbuhannya akan terhambat
mendekati titik layu permanen. Hal ini berarti makin dekat kepada keadaan
kapasitas lapang, pertumbuhan tanaman makin baik. Keadaan air ini dipengaruhi
oleh karakteristik hujan dan tingkat evaporasi yang terjadi di daerah tropis.
Karakteristik curah hujan menyangkut intensitas, frekwensi, dan lamanya hujan.
Intensitas curah hujan cenderung tinggi di daerah tropis, namun dalam banyak hal
pola curah hujannya kurang cocok untuk pertanian (Mohammad, 1999).
Air tanah yang berasal dari hujan, diuapkan secara langsung oleh
permukaan tanah ke udara (evaporasi) dan sebagian lagi tersedia untuk tanaman.
Sebagian besar dari air yang diserap oleh tanaman diuapkan melalui bagian-
bagian tanaman seperti batang dan daun (transpirasi), dan hanya sebagian kecil
yang digunakan untuk fotosintesis tanaman. Menurut Thornthwaite dan Mather
(1957), dalam Rusmayadi (2011), bahwa kombinasi evaporasi dari permukaan
20
tanah bersama-sama transpirasi dari tanaman, yang disebut evapotranspirasi
menunjukkan aliran balik air dari bumi ke atmosfer dan dari atmosfer ke bumi
melalui curah hujan.
Penyerapan air tanah oleh tanaman terjadi apabila resistensi air oleh
partikel-partikel tanah lebih kecil dari energi tanaman atau energi matahari
melalui transpirasi. Hal ini berarti jika keadaan air tanah sedemikian rendahnya
maka retensi air oleh partikel tanah sangat besar akibatnya tanaman tidak dapat
menggunakan air tanah sehingga layu.
Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang
tahun, kelembaban atau kekeringan suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan
membandingkan distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi
musiman sebagai proses penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi atau
aliran balik air dari tanah ke atmosfer merupakan faktor iklim yang sama
pentingnya dengan curah hujan. Evapotranspirasi aktual dari pertanaman
tergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan faktor-
faktor tanah; antara lain tipe dan stadia pertumbuhan tanaman, pengolahan
tanah, jenis tanah, dan kandungan air tanah. Evaporasi potensial lebih konstan
dari tahun ke tahun dari pada curah hujan, sebab adanya variasi yang kecil dari
energi matahari.
Variasi curah hujan pada daerah yang kering, mempunyai arti yang sangat
penting bagi persiapan lahan, persemaian dan awal pertumbuhan. Variasi ini
dikatakan sebagai “water balance”. Saat curah hujan lebih tinggi dari evaporasi
potensial dan tercapainya kapasitas lapang, maka curah hujan dikatakan surplus.
21
Sedangkan keadaan dimana curah hujan lebih kecil dari evaporasi potensial
sehingga sampai pada titik laju permanen maka curah hujan dikatakan defisit.
Kapasitas lapang (KL) biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan
air dimana keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah setelah
tercapai keadaan jenuh, sedang titik laju permanen (TLP) adalah kandungan air
tanah (KAT) pada saat tanaman yang ditanam telah mengalami layu permanen
dalam arti tanaman telah mengalami sulit hidup kembali meskipun ditambahkan
air yang mencukupi (Soepardi, 1983).
Selain data curah hujan dan data meteorologi penentu evapotranspirasi,
dalam keseimbangan air juga diperlukan data sifat fisik tanah. Data ini
menyangkut kemampuan tanah memegang air (water holding capacity) yang
ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Secara praktis dalam perhitungan
keseimbangan air digunakan asumsi dan penyederhanaan. Asumsi yang sering
digunakan adalah bahwa semua curah hujan mengalami infiltrasi ke dalam tanah
atau dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan, “surplus” hanya terjadi
apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai (Jackson, 1979). Curah hujan total,
tidak semuanya efektif bagi tanaman, tetapi sebagian mengalami perkolasi
maupun evaporasi.
Thornthwaite & Mather (1957), dalam Sumiana (2007), Adi (2010), dan
Rusmayadi (2011), membuat persamaan yang sederhana dengan menggunakan
input hanya dari curah hujan saja. Pada metoda ini semua aliran masuk dan
keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi tanaman tertentu
22
digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus,
dan defisit.
Metode ini merupakan cara penghitungan tidak langsung yang paling
sederhana dibandingkan metode-metode lainnya, sedangkan untuk menentukan
besar kecilnya Evapotraspirasi (ETo) diperlukan data suhu udara dilokasi daerah
tersebut. Selanjutnya data suhu udara ini dimasukkan ke dalam persamaan
Thornthwaite & Mather untuk menghitung evapotranspirasinya (ETo):
ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)
Dimana :
a = 0,675 x 10-6
x I3 – 0,771 x 10
-4 x I
2 + 0,01792 x I + 0.49239
I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54
T = suhu rata-rata bulanan (oC)
F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)
Data curah hujan didapat dari penakar curah hujan yang terdapat pada
lokasi penelitian. Curah hujan yang diperhitungkan adalah curah hujan efektif,
yaitu curah hujan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Curah
hujan efektif diperoleh dengan mengalikan curah hujan total dengan persentase
keefektifan curah hujan.
Menurut Nasir (2002), berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk
perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis
sebagai berikut :
1. Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama
air secara umum.
23
2. Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi air tanah untuk
mengetahui waktu tanam.
3. Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimat penyerapan
air yang diserap oleh tanaman.
Analisis pada neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam
pertanian secara umum. Lebih lanjut Nasir (2002) menyatakan bahwa umumnya
manfaat neraca air adalah untuk mengetahui :
1. Agroklimat daerah penelitian.
2. Mengatur waktu tanam suatu jenis tanaman antara curah hujan dan
evapotranspirasi potensial (ET0).
3. Mengatur pemberian air irigasi sesuai dengan kebutuhan.
24
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3. 1. Kerangka Berfikir
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu.
Lahan kering sebagian besar memiliki permasalahan seperti : sumberdaya air
terbatas, kesuburan tanah yang rendah, topografi berbukit, dan ketersediaan
infrastruktur terbatas, akan tetapi ada juga lahan kering yang tanahnya subur,
namun ketersediaan airnya terbatas, atau pengairannya hanya mengandalkan air
hujan saja.
Berdasarkan penggunaannya untuk pertanian, maka lahan kering
dikelompokkan menjadi pekarangan, kebun, dan ladang, tetapi secara umum
pengembangan lahan kering jauh tertinggal dibandingkan pertanian di lahan
beririgasi. Lambatnya perkembangan di hampir semua lahan kering berkaitan
dengan masalah kesuburan tanah, dan sumberdaya air yang terbatas.
Daerah lahan kering dengan curah hujan yang terbatas mengakibatkan
sektor pertanian kurang dapat berkembang. Masalah utama yang dihadapi dalam
pemanfaatan lahan kering adalah keterbatasan air, rendahnya produktivitas lahan,
kesuburan tanah rendah, rendahnya intensitas tanam, yang mana semuanya ini
mengakibatkan petani miskin.
Petani di lahan kering selalu dihadapkan kepada gagal panen akibat belum
memanfaatkan sumberdaya iklim. Selama lebih dari satu dekade terakhir telah
25
terjadi perubahan pola curah hujan. Perubahan pola curah hujan yang telah terjadi
menyebabkan terjadinya perubahan waktu tanam. Zona agroklimat juga sudah
banyak mengalami perubahan. Petani lahan kering yang masih menggunakan
teknik bercocok tanam tidak intensif selalu dihadapkan kepada kemiskinan akibat
seringnya gagal panen akibat ketidaktahuannya informasi iklim terkini.
Kajian tentang aspek perubahan pola curah hujan dan tipe iklim untuk
penentuan waktu tanam jagung perlu dilakukan. Kesesuaian antara praktek
bercocok tanam dengan menyesuaikan kondisi iklim yang terbaru memungkinkan
penentuan waktu tanam yang tepat. Waktu tanam yang tepat dapat menunjang
keberhasilan usaha tani di lahan kering. Keberhasilan usaha tani otomatis akan
meningkatkan produtivitas pertanian yang tinggi. Produktivitas hasil pertanian
yang meningkat akan menjadikan petani manjadi lebih sejahtera.
Daerah Gerokgak memiliki potensi lahan kering yang cukup besar. Selama
ini lahan kering Gerokgak belum terkelola secara optimal sehingga
produktivitasnya tetap rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor sumberdaya alam
(iklim, tanah dan air) serta sumberdaya manusia yang kurang mendukung.
Keterbatasan yang dimiliki lahan kering Gerokgak cenderung membuat kegiatan
pola usahatani bersifat masih tradisional atau tidak intensif. Pola usahatani
tanaman pangan perlu mengadopsi informasi iklim untuk meningkatkan hasil
pertanian. Diagram kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 3.1.
26
Gambar 3.1. Diagram Kerangka Berpikir
Lahan Kering
(Sumberdaya Air Terbatas)
Bertani Secara Biasa
(Tidak intensif)
Tanpa Pemanfaatan
Informasi Perubahan Iklim
Tidak Memahami
Waktu Tanam yang Tepat
Pendapatan Petani
Rendah
Bertani Secara Intensif
Memanfaatkan Informasi
Perubahan Iklim
Informasi Perubahan
Pola curah Hujan
Mengetahui Kebutuhan
Air Tanaman
Waktu Tanam Tepat
Pendapatan Petani
Meningkat
Tidak Mengetahui
Kebutuhan Air Tanaman
Produksi rendah/gagal
panen Produksi Tinggi
Tanpa Informasi
Perubahan Pola curah
Hujan
27
3.2. Kerangka Konsep
Langkah awal penelitian ini adalah melakukan identifikasi pola curah
hujan di daerah penelitian. Langkah selanjutnya, untuk mengetahui pola curah
hujan dibuat grafik curah hujan dasarian juga akan dianalisis periodisitas curah
hujan jangka panjang. Selain mengkaji pola curah hujan, akan dikaji periode
lamanya musim hujan dan periode lamanya musim kemarau.
Setelah mengkaji pola curah hujan selanjutnya dilakukan kajian tipe iklim.
Metode klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman dk., (1980) digunakan untuk
menentukan tipe iklim berdasarkan data curah hujan bulanan. Metode ini
mengklasifikasikan iklim menjadi 17 tipe iklim. Perubahan tipe iklim dapat
diketahui berdasarkan data curah hujan pada periode baseline dan periode iklim
saat ini. Dari analisis ini akan diketahui apakah ada perubahan tipe iklim di daerah
penelitian. Setelah diidentifikasi apakah ada perubahan tipe iklim, selanjutnya
dilakukan kajian identifikasi perubahan pola curah hujan. Identifikasi perubahan
pola curah hujan perlu dilakukan untuk analisis perubahan pola curah hujan dari
data hasil observasi.
Terakhir, dilakukan kajian perubahan waktu tanam jagung dibandingkan
antara periode iklim masa lalu dan periode iklim saat ini. Dalam menentukan
waktu tanam pada hakekatnya mempertemukan dua hal, yakni mengetahui
kebutuhan air tanaman jagung dengan persediaan air di lokasi penelitian pada
masing-masing musim tanam. Kebutuhan air tanaman dihitung menggunakan
metode pendugaan. Besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc) sama
dengan nilai evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman (Kc).
28
3.3. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka
hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah :
1. Pola curah hujan di Daerah Gerokgak selama 30 tahun pada periode 1981 –
2010, adalah pola Monsoon yang dicirikan oleh bentuk pola hujan satu puncak
musim hujan yaitu sekitar bulan Desember
2. Terjadi perubahan pola curah hujan di Daerah Gerokgak selama 15 tahun dari
periode 1981-1995 ke periode 1996-2010.
3. Terjadi perubahan tipe iklim di Daerah Gerokgak selama 15 tahun dari periode
1981-1995 ke periode 1996-2010.
4. Implikasi perubahan pola curah hujan dan tipe iklim terhadap waktu tanam
jagung di Daerah Gerokgak adalah dapat berpengaruh terhadap waktu tanam
jagung.
29
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.1.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng
yang merupakan kawasan rawan kekeringan dan lahan kritis di Wilayah
Provinsi Bali. (Bappeda, 2009) seperti terlihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Lokasi Daerah Penelitian
4.1.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan antara bulan Pebruari 2013 sampai dengan
bulan April 2013.
30
4.2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup kajian pola curah hujan di
daerah Gerokgak tahun 1981 – 2010, perubahan tipe iklim dan pola curah hujan
periode 1981 – 1995 dan 1996 - 2010 di daerah Gerokgak, dan implikasinya
terhadap waktu tanam jagung di daerah Gerokgak.
4.3 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data iklim yang
terdiri dari suhu, curah hujan bulanan dan curah hujan harian hasil pengamatan
Stasiun Hujan Gerokgak selama 30 tahun (periode 1981 – 2010). Data suhu
udara Daerah Gerokgak diperoleh dari konversi suhu udara terhadap
ketinggian, dengan data suhu acuan hasil pengamatan pada Stasiun
Meteorologi Ngurah Rai di Tuban.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
pengolah data beserta aplikasinya.
4.4 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survei untuk
pengumpulan data curah hujan, metode statistik untuk menghitung rata-rata curah
hujan bulanan dan harian, dan metoda kebutuhan air tanaman semusim yang
dianalisis menggunakan metode pendugaan menurut Doorenbos & Pruitt (1977).
31
4.4.1 Pengumpulan data curah hujan
Pengumpulan data curah hujan periode 1981 – 2010 dilaksanakan di
Kantor Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III dan
Stasiun Klimatologi Negara. Aplikasi data iklim dilapangan dilakukan dengan
wawancara dengan petani dilokasi penelitian yaitu di Kecamatan Gerokgak,
Kabupaten Buleleng.
4.4.2. Perhitungan data curah hujan periode 1981 – 2010
Perhitungan pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan
periode 1981 – 2010. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk mengetahui
periode panjang musim hujan, panjang musim kemarau, jumlah curah hujan pada
musim hujan dan jumlah curah hujan pada musim kemarau.
4.4.3. Perhitungan pola curah hujan periode 1981 – 1995.
Pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan periode
1981 – 1995. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk menentukan
awal musim hujan, awal musim kemarau, panjang musim hujan, panjang musim
kemarau, jumlah curah hujan pada musim hujan dan jumlah curah hujan pada
musim kemarau pada periode I ( 1981 – 1995 ).
4.4.4. Perhitungan pola curah hujan periode 1996 – 2010.
Pola curah hujan dihitung berdasarkan rata-rata curah hujan periode
1996 – 2010. Hasil perhitungan tersebut dipergunakan untuk menetukan awal
32
musim hujan, awal musim kemarau, panjang musim hujan, panjang musim
kemarau, jumlah curah hujan pada musim hujan dan jumlah curah hujan pada
musim kemarau.
4.4.5. Perhitungan neraca air tanaman periode 1981 – 1995.
Neraca air periode 1981 – 1995 dianalisis dengan Metoda Thornthwaite
dan Mater dalam Rusmayadi (2011), dan hasil analisis dapat diketahui jumlah
kebutuhan air tanaman (ETc) dan ketersediaan air di daerah penelitian pada
musim hujan maupun musim kemarau.
4.4.6. Perhitungan neraca air tanaman periode 1996 – 2010.
Neraca air tanaman periode 1996 – 2010 dianalisis dengan Metoda
Thornthwaite dan Mater dalam Rusmayadi (2011), dan hasil analisis dapat
diketahui jumlah kebutuhan air tanaman (ETc) dan ketersediaan air di daerah
penelitian pada musim hujan maupun musim kemarau.
4.4.7. Waktu tanam jagung di daerah Gerokgak
Waktu tanam jagung yang dilakukan pada lahan kering di Gerokgak dapat
diketahui dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan petani di
daerah tersebut selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir.
33
4.4.8. Data tanah
Analisis tanah dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai sifat fisik
tanah pada lokasi penelitian. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar.
4.5. Analisis Data
Analisis data dilakukan terhadap normal curah hujan terbaru yang
ditetapkan BMKG, yakni data curah hujan selama periode 30 tahun dari tahun
1981 sampai dengan tahun 2010. Perubahan pola curah hujan dianalisis dengan
pembagian data, data rata-rata curah hujan tahun 1981 – 1995 adalah data awal,
kemudian dibandingkan dengan data rata-rata curah hujan 1996 – 2010, yang
dianalisis adalah bagaimana kondisi ketersediaan air untuk waktu tanam, waktu
tanam awal dan akhir (panen) pada lokasi penelitian. Waktu tanam yang
dilakukan petani melalui wawancara di bandingkan dengan hasil analisis neraca
air tanaman pada kedua periode di atas.
Hasil analisis Neraca air pada kedua periode yakni periode I 1981 -1995
dan periode II 1996 - 2010 yang menggunakan Metoda Thornthwaite dan Mater
dalam Sumiana (2007), dapat diketahui jumlah ketersediaan air dan kebutuhan air
bagi tanaman jagung pada musim hujan maupun musim kemarau. Hasil analisis
disajikan pada (Lampiran 3 – 9).
34
4.5.1. Metode perhitungan normal data
Normal data dihitung dengan merata-ratakan curah hujan selama 30 tahun
pada tahun 1981 – 2010 dengan rumus statistik sebagai berikut :
dimana :
M = Rata-rata curah hujan dasarian
Mi = Jumlah curah hujan sepuluh harian tahun ke-i
i = 1,2,3, .........., n
n = Jumlah data.
4.5.2. Metode perhitungan neraca air
Untuk pengolahan dan analisis neraca air dasarian digunakan Metode
Thornthwaite dan Mather dalam Sumiana (2007), Adi (2010), dan Rusmayadi
(2011), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menghitung evapotranspirasinya (ETo) dengan rumus :
ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)
Dimana :
ETo = Evapotranspirasi standart (mm / hari)
I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54
T = suhu rataan bulanan (oC)
F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)
a = 0,675 x 10-6
x I3 – 0,771 x 10
-4 x I
2 + 0,01792 x I + 0.49239
2. Mengisi kolom curah hujan (CH) rata-rata sepuluh harian.
3. Mengisi kolom evapotranspirasi potensial (ETo).
4. Mengisi kolom Koefisien Tanaman (Kc). Nilai ini didapat dari
Doorenboss dan Kassam (1979), diperlukan untuk menentukan periode
35
kebutuhan air. Pada peneltian ini nilai koefisiaen tanaman (Kc) jagung
disesuaikan penghitungan setiap dasarian atau sepuluh harian.
5. Mengisi kolom ETc yang merupakan hasil perkalian antara Kc dan ETo,
ETc merupakan kebutuhan air konsumtif untuk tanaman pada masa
pertumbuhan hingga panen. Rumus ETc = ETo . Kc.
6. Mengisi kolom curah hujan efektif yang merupakan hasil kali curah hujan
total setiap dasarian dikalikan keefektifan (%).
7. Mengisi kolom surplus dan defisit, yang merupakan pengurangan
KSa-ETc. Bila curah hujan efektif lebih tinggi dibandingkan ETc maka
air yang dibutuhkan untuk stadia pertumbuhan terpenuhi, begitu pula
sebaliknya.
8. Analisa selanjutnya adalah menentukan waktu tanam yang tepat dengan
membandingkan antara ketersediaan air (KSa) tanaman dan kebutuhan air
tanaman (ETc), dan membuat grafik hubungan keduannya.
Keterangan : CH : Curah hujan (mm/bulan)
ETo : Evaporasi potensial (mm/bulan)
ETc : Kebutuhan air tanaman (mm)
KSa : Ketersediaan air tanaman (mm)
Kc : Koefisien tanaman
D : Defisit/kekurangan (mm/bulan)
S : Surplus/kelebihan (mm/bulan)
36
4.6. Mengkaji Pola Curah Hujan di Daerah Gerokgak Periode 1981-1995 dan
Periode 1996 - 2010.
Kajian pada bagian ini dilakukan identifikasi pola curah hujan di daerah
Gerokgak. Pola hujan yang dimaksud adalah apakah daerah Gerokgak memiliki
pola monsoon, pola ekuatorial, atau pola lokal. Pola curah hujan di daerah
Gerokgak ini akan dibuat grafik curah hujan bulanan dan dasarian. Selain
mengkaji pola curah hujan, pada bagian ini akan dikaji periode lama musim hujan
dan periode lama musim kemarau.
4.7. Mengkaji Perubahan Tipe Iklim di Daerah Gerokgak Periode 1981-1995
dan Periode 1996 - 2010.
Kajian pada bagian ini ada dua hal yang akan dilakukan, yaitu pertama,
mengkaji tipe iklim di daerah Gerokgak dengan klasifikasi iklim Oldeman (1980).
Metode klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman dkk. (1980) digunakan untuk
menentukan tipe iklim berdasarkan data curah hujan bulanan.
4.8 Mengkaji Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan terhadap Waktu
Tanam Jagung di Daerah Gerokgak.
Kajian pada bagian ini adalah untuk mengetahui perubahan waktu tanam
jagung dengan membandingkan dua periode pola curah hujan, antara periode
(1981-1995) dan periode (1996-2010). Penentuan waktu tanam pada hakekatnya
mempertemukan dua hal, yakni mengetahui kebutuhan air tanaman jagung dengan
persediaan air di lokasi penelitian pada masing-masing musim tanam.
Kebutuhan air tanaman dianalisis menggunakan metode pendugaan menurut
37
Doorenbos & Pruitt (1977). Besarnya pendugaan kebutuhan air tanaman (ETc)
sama dengan nilai evapotranspirasi (ETo) dikalikan dengan koefisien tanaman
(Kc) sesuai persamaan berikut:
ETc = Kc . ETo (mm / hari)...................................................(1)
Dimana :
ETc = evapotranspirasi tanaman / kebutuhan air tanaman (mm / hari)
Kc = koefisien tanaman
ETo = evapotranspirasi standar (mm / hari)
Nilai Kc yang digunakan adalah nilai koefisien (Kc) tanaman jagung yang
direkomendasikan oleh Kriteria Perencanaan Irigasi seperti terlihat pada
Tabel 2.2, yang penghitungannya disesuaikan setiap dasarian atau sepuluh harian
yang disajikan Tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1. Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Jagung Dalam Dasarian
Lima belas harian Jumlah (Kc)
Jagung
Sepuluh harian Jumlah (Kc)
Jagung (Setengah bulanan) hari (Dasarian) hari
1 15 0.5 1 10 0,4
2 15 0.75 2 10 0,5
3 15 0.8 3 10 0,6
4 15 1.05 4 10 0,78
5 15 0.8 5 10 1,05
6 15 0.45 6 10 1,02
7 10 0,8
8 10 0,88
9 10 0,95
ETo dihitung dengan menggunakan Metoda (Thornthwaite & Mather,
1957 dalam Sumiana, 2007; Adi, 2010; dan Rusmayadi, 2011). Metode ini
merupakan cara penghitungan tidak langsung yang paling sederhana
dibandingkan metode - metode lainnya, karena data masukan yang digunakan
38
adalah data suhu udara dalam menentukan besar kecilnya evapotranspirasi.
Penentuan nilai evapotranspirasi (ETo) di Gerokgak diperlukan data suhu di
Stasiun Meteorologi Klas I Ngurah Rai yang telah dikonversi menggunakan
metoda menurut Barry & Chorley dalam Purnomo (2007), tentang penurunan
suhu udara terhadap ketinggian tempat.
Data suhu udara ini dimasukkan ke dalam persamaan Thornthwaite &
Mather untuk menghitung evapotranspirasinya (ETo):
ETo = 1,6 F ( 10 T/I )a ………………………………………(2)
Dimana :
I = akumulasi indeks panas dalam setahun (12 bulan) yaitu (T/5)1.54
T = suhu rata-rata bulanan (oC)
F = faktor panjang hari (dari bulan ke bulan dalam setahun)
a = 0,675 x 10-6
x I3 – 0,771 x 10
-4 x I
2 + 0,01792 x I + 0.49239
Data curah hujan didapat dari penakar curah hujan yang terdapat pada
lokasi penelitian. Curah hujan yang diperhitungkan adalah curah hujan efektif,
yaitu curah hujan yang langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Curah hujan
efektif diperoleh dengan cara mengalikan curah hujan total dengan persentase
keefektifan curah hujan.
Konsep yang dikemukakan Kartasapoetra. (2004) adalah:
1. Palawija membutuhkan air rata-rata per bulan 50 mm dalam musim
kemarau.
2. Hujan bulanan yang diharapkan mempunyai peluang kejadian 75% sama
dengan 0,82 kali hujan rata-rata bulanan dikurangi 30.
39
3. Hujan efektif untuk palawija dengan tajuk tanaman tertutup rapat adalah
75%.
Dapat dihitung hujan bulanan yang diperlukan untuk palawija (X) dengan
menggunakan data jangka panjang yaitu:
Rumus mencari curah hujan efektif palawija
0,75 (0,82 X - 30) per bulan ............................................(3)
Jika nilai curah hujan efektif (X) misalnya 213 dan 118 dibulatkan menjadi 200
dan 100 mm/bulan yang digunakan sebagai batas penentuan bulan basah dan
kering.
Waktu tanam ditentukan dengan mencari ketersediaan air yang dapat
memenuhi kebutuhan air tanaman jagung selama masa pertumbuhannya.
Waktu tanam yang selama masa pertumbuhannya terpenuhi kebutuhan airnya
adalah waktu tanam yang paling baik, sedangkan waktu tanam yang persediaan
airnya tidak dapat terpenuhi kebutuhan air tanaman selama masa pertumbuhannya
merupakan waktu tanam yang tidak cocok untuk penanaman.
Waktu tanam yang akan di teliti adalah awal musim hujan
(awal Nopember, pertengahan Nopember, awal Desember dan pertengahan
Desember) dan akhir musim hujan (awal Maret, pertengahan Maret, awal
April, pertengahan April). Penelitian ini yang paling pokok adalah menganalisis
ketersediaan dan kebutuhan air untuk tahapan selama pertumbuhannya dengan
periode sepuluh harian dengan cara perhitungan seperti pada (lampiran 4).
40
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Pola Curah Hujan
5.1.1 Pola curah hujan periode 1981-2010
Berdasarkan data rata-rata curah hujan 30 tahun periode 1981-2010, di
daerah Gerogak musim hujan berlangsung selama 12 dasarian dimulai dari bulan
Nopember dasarian III sampai bulan Maret dasarian II, dengan jumlah curah
hujan sebesar 854,1 mm. Musim kemarau berlangsung selama 24 dasarian
dimulai dari bulan April dasarian II sampai bulan Nopember dasarian II, dengan
jumlah curah hujan sebesar 270,5 mm. Periode musin dan curah hujan dapat
dilihat pada Tabel 5.1
Tabel 5.1 Periode Musim dan Curah Hujan Periode (1981-2010)
Periode
Musim Hujan Musim Kemarau Total
Curah
hujan
(mm)
Periode
musim
Panjang
musim
(Dasarian)
Curah
hujan
(mm)
Periode
musim
Panjang
musim
(Dasarian)
Curah
hujan
(mm)
Periode
1981-2010
Nop III –
Mar II 12 854,1
Apr II –
Nop II 24 270,5 1124,6
5.1.2 Pola curah hujan periode 1981-1995 dan periode 1996-2010
Musim hujan periode 1981-1995 berlangsung selama 13 dasarian, diawali
dari bulan Desember dasarian I sampai bulan April dasarian I, dengan jumlah
curah hujan sebesar 868,1 mm. Musim hujan periode 1996 - 2010 berlangsung
selama 10 dasarian diawali dari bulan Desember dasarian II sampai bulan Maret
dasarian II, dengan jumlah curah hujan sebesar 784,2 mm.
41
Musim kemarau pada periode 1981-1995 berlangsung selama 23 dasarian, yang
diawali dari bulan April dasarian II sampai bulan November dasarian III, dengan
jumlah curah hujan sebesar 208,5 mm. Musim kemarau periode 1996-2010
berlangsung selama 26 dasarian diawali dari bulan Maret dasarian III sampai
bulan Desember dasarian I, dengan jumlah curah hujan sebesar 348,6 mm.
Periode musim dan curah hujan periode I dan periode II dapat dilihat pada
Tabel 5.2
Tabel 5.2 Periode Musim dan Curah Hujan Periode I dan Periode II
Periode
Musim Hujan Musim Kemarau Total
Curah
hujan
(mm)
Periode
musim
Panjang
musim
(dasarian)
Curah
hujan
(mm)
Periode
musim
Panjang
musim
(dasarian)
Curah
hujan
(mm)
Periode I
1981-1995 Des I –
Apr I 13 868,1
Apr II –
Nop III 23 208,5 1076,6
Periode II
1996-2010 Des II –
Mar II 10 784,2
Mar III –
Des I 26 348,6 1132,8
5.2 Tipe Iklim dan Waktu Tanam
5.2.1 Tipe iklim berdasarkan klasifikasi Oldeman
Berdasarkan hasil rata-rata data curah hujan bulanan selama selama 30
tahun yaitu periode (1981-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering, rata-
rata data curah hujan bulanan selama 15 tahun periode I (1981-1995) terdapat 4
bulan basah dan 8 bulan kering, demikian pula rata-rata data curah hujan selama
15 tahun periode II (1996-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering. Hasil
rekap data bulan basah dan bulan kering dapat dilihat pada Tabel 5.3
42
Tabel 5.3 Rekap Data Bulan Basah dan Bulan Kering Setiap Periode
B u l a n
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Periode (1981-2010)
228,9 201,1 180,4 77,8 42,2 36,5 14,5 5,9 19,3 16,9 63,6 197,9
Periode I (1981-1996)
222,9 205,4 185,7 90,4 35,1 27,9 15,1 3,0 2,8 8,4 58,5 186,7
Periode II (1997-2010)
240,7 193,4 179,0 78,3 73,6 48,7 26,8 10,4 42,1 27,9 77,1 259,8
5.2.2 Waktu tanam
Berdasarkan hasil survei penelitian di daerah Gerokgak didapatkan bahwa
petani hanya sekali menanam jagung dalam setahun yakni pada bulan Desember
awal hingga pertengahan dan tidak disebutkan tanggal tepatnya, yang penting
hujan sudah turun petani langsung menanam jagung. Varietas yang ditanam
biasanya jagung lokal dan umumnya petani bertanam jagung berdasarkan
pengalaman secara turun temurun, sehingga mendapat panen kurang maksimal.
Penentuan waktu tanam tanaman jagung hasil analisis neraca air tanaman
berdasarkan data rata-rata curah hujan 15 tahun periode I (1981-1995), waktu
tanam jagung jatuh pada bulan Desember Dasarian I dengan kebutuhan air (ETc)
selama pertumbuhan adalah 378,9 mm dan jumlah ketersediaan air (KSa) selama
pertumbuhan sebesar 464,8 mm
Hasil analisis Neraca Air Tanaman berdasarkan data rata-rata curah hujan
15 tahun periode II (1996-2010), waktu tanam jagung jatuh pada bulan Desember
Dasarian I juga dengan kebutuhan air (ETc) selama pertumbuhan adalah 377,4
mm dan jumlah ketersediaan air (KSa) selama pertumbuhan sebesar 513,6 mm
43
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Perubahan Pola Curah Hujan
6.1.1 Perubahan pola curah hujan di Gerokgak
Analisis terhadap jumlah curah hujan tahunan di Daerah Gerokgak,
menunjukkan adanya peningkatan pada periode 1981-1995 sebesar 1037,8 mm
menjadi 1098,8 mm pada periode 1996 - 2010. Peningkatan curah hujan tahunan
sebesar 61 mm disebabkan selama musim kemarau periode 1996 - 2010 jumlah
curah hujan lebih besar dari pada periode 1981-1995 dengan selisih 140 mm.
Selama musim hujan telah terjadi penurunan jumlah curah hujan sebesar
83,9 mm.
Pergeseran awal musim hujan terjadi dari bulan Desember Dasarian I
menjadi bulan Desember Dasarian II dengan penurunan panjang musim
hujan 3 dasarian atau 30 hari. Musim kemarau bertambah panjang 30 hari, dimana
awal musim kemarau bergeser dari bulan April dasarian II menjadi bulan Maret
dasarian III. Perubahan pola curah hujan di Daerah Gerokgak seperti pada
Gambar 6.1.
Gambar 6.1 Grafik Perubahan Pola Curah Hujan di Daerah Gerokgak.
44
Berdasarkan Gambar 6.1 menunjukkan perbandingan data curah hujan
dasarian di Gerokgak dari dua periode waktu yaitu antara periode 1981-1995
dan periode 1996-2010 terjadi pergeseran musim dasarian dimana periode musim
hujan semakin pendek dan periode musim kemarau semakin panjang, namun
ditinjau dari tipe pola curah hujannya adalah tipe monsoon yang dicirikan oleh
bentuk pola hujan satu puncak musim hujan yaitu bulan Januari. Hasil analisis
dengan menggunakan metode uji garis t berpasangan menunjukkan tidak ada
perubahan pola curah hujan atau tidak signifikan (Lampiran 11).
6.1.2 Implikasi Perubahan Pola Curah Hujan di Gerokgak
Perubahan pola curah hujan dari periode (1981 – 1995) ke periode (1996 –
2010) di Gerokgak, berdasarkan hasil analisis di atas menunjukkan bahwa tidak
terjadi perubahan pola curah hujan namun dilihat dari periode panjang musim
dasarian menunjukkan bahwa musim hujan yang semakin pendek dan musim
kemarau yang semakin panjang. Kondisi ini dapat mengakibatkan kejadian iklim
ekstrim, karena musim kemarau yang berkepanjangan dapat memicu hujan badai
ekstrim dan menyebabkan terjadinya banjir besar di beberapa tempat.
Terjadinya pergeseran musim berpengaruh pada perencanaan aktivitas
kegiatan pertanian, termasuk jadwal tanam akan terganggu, munculnya penyakit-
penyakit baru pada tanaman yang merusak tanaman dan pada akhirnya akan
menurunkan produksi bahkan kegagalan panen,.
Sementara musim kemarau yang terlalu panjang dan terjadinya banjir di
musim hujan membuat produktivitas pertanian menurun serta membuat pola
45
hidup tanaman pertanian menjadi terganggu. Beberapa hal tersebut merupakan
beberapa contoh yang dapat dirasakan akibat dari perubahan iklim dari sektor
pertanian. Dengan demikian ancaman gagal panen yang berdampak pada
ketahanan pangan kian menjadi nyata.
Berdasarkan Gambar 6.2 terdapat peningkatan frekuensi kejadian curah
hujan, dimana frekuensi curah hujan pada periode 1996-2010 lebih tinggi
daripada periode 1981-1995,
Gambar. 6.2 Perbandingan Frekuensi Curah Hujan di Gerokgak
6.2 Perubahan Tipe Iklim
Berdasarkan hasil rata-rata data curah hujan bulanan di daerah Gerokgak
sesuai Identifikasi klasifikasi tipe iklim Oldeman et all., (1975), pada periode
(1981-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering sehingga termasuk tipe
iklim D4. Periode I (1981-1995) terdapat 4 bulan basah dan 8 bulan kering
46
termasuk tipe iklim D4. Periode II (1995-2010) terdapat 4 bulan basah dan 8
bulan kering juga termasuk tipe iklim D4 yang dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.3 Jumlah Bulan Basah dan Bulan Kering Setiap Periode
B u l a n
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Periode (1981-2010)
228,9 201,1 180,4 77,8 42,2 36,5 14,5 5,9 19,3 16,9 63,6 197,9
Periode I (1981-1996)
222,9 205,4 185,7 90,4 35,1 27,9 15,1 3,0 2,8 8,4 58,5 186,7
Periode II (1997-2010)
240,7 193,4 179,0 78,3 73,6 48,7 26,8 10,4 42,1 27,9 77,1 259,8
Klasifikasi tipe iklim yang dilakukan oleh Oldeman didasarkan kepada
jumlah kebutuhan air oleh tanaman. Penyusunan tipe iklimnya berdasarkan
jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut. Menurut Oldeman
suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai curah hujan bulanan lebih
besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila curah hujan bulanan lebih
kecil dari 100 mm.
Oldeman et Al. (1980) mengungkapkan bahwa kebutuhan air untuk
tanaman palawija adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi bahwa peluang terjadinya
hujan adalah 75% diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan. Lamanya
periode pertumbuhan jagung 85 hari, sehingga periode 3-4 bulan basah berurutan
dalan satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam jagung.
6.3. Waktu Tanam Jagung di Gerokgak Periode 1981-1995
Neraca air yang dibahas disini adalah neraca air tanaman yaitu
membandingkan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman untuk masa
pertumbuhan. Perimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman
47
jagung disajikan dalam bentuk grafik sehingga dapat dilihat waktu tanam yang
tepat. Hubungan antara kebutuhan air dan ketersediaan air tanaman jagung secara
kumulatif pada masing-masing waktu tanam dapat dijelaskan sebagai berikut :
6.3.1. Waktu tanam jagung pada awal musim hujan
a. Penanaman yang dilakukan pada Nopember I sampai Januari III, sebagian
besar kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi. Total kekurangan air selama
pertumbuhannya sebanyak 78.4 mm. Kondisi surplus dan defisitnya dapat
dilihat pada Gambar 6.3.
Gambar 6.3 Waktu Tanam Nopember I – Januari III
b. Waktu tanam jagung pada Nopember II sampai dengan Desember II
sudah mengalami defisit, sehingga tidak memungkinkan untuk
melakukan penanaman, walaupun dipertengahan Desember II sampai
dengan Januari I ada surplus sebesar 32.6 mm tetapi tidak signifikan.
Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.4.
Gambar 6.4 Waktu Tanam November II – Februari I
48
c. Waktu tanam jagung pada Nopember III sampai dengan Februari II
terjadi fluktuasi ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga masa
pertumbuhan tanaman jagung terganggu dan tidak memungkinkan
untuk melakukan penanaman. Kondisi surplus dan defisitnya dapat
dilihat pada Gambar 6.5.
Gambar 6.5 Waktu Tanam November III - Februari II
d. Waktu tanam jagung pada Desember I sampai dengan Maret I
ketersediaan air mencukupi, sehingga pada bulan Desember I sangat
tepat untuk melakukan penanaman pada dasarian ini, total surplus air
sebesar 85,8 mm. Kondisi surplusnya dapat dilihat pada Gambar 6.6.
Gambar 6.6 Waktu Tanam Desember I – Maret I
49
e. Waktu tanam jagung pada Desember II sampai dengan Maret II secara
keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Januari II dan
Februari I mengalami sedikit defisit masing-masing sebesar -5.7 mm
dan -20.5 mm, waktu tanam pada Desember II masih bisa dilakukan
penanaman hanya harus dilakukan penyimpanan air dengan sistem
tadah hujan. Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada
Gambar 6.6.
Gambar 6.7 Waktu Tanam Desember II – Maret II
b. Waktu tanam jagung pada Desember III sampai dengan Maret III,
secara keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Februari I
mengalami defisit yang mana merupakan stadia pembungaan dengan
kebutuhan air yang besar dan pada stadia ini rentan terhadap
kekurangan air. Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada
Gambar 6.7.
50
Gambar 6.8 Waktu Tanam Desember III – Maret III
6.3.2 Waktu tanam jagung pada akhir musim hujan
a. Waktu tanam jagung yang ditanam pada akhir musim hujan yakni pada
bulan Maret I – Mei III, Maret II – Juni I dan Maret III – Juni II.
menunjukkan bahwa ketersediaan air hanya pada masa pertumbuhan
awal saja, tetapi stadia berikutnya mengalami defisit, sehingga tidak
bisa dilakukan penanaman jagung. Kondisi surplus dan defisitnya untuk
penanaman pada bulan Maret I, Maret II dan Maret III dapat dilihat
pada Gambar 6.8, Gambar 6.9 dan Gambar 6.10.
Gambar 6.9 Waktu Tanam Maret I – Mei III
51
Gambar 6.10 Waktu Tanam Maret II – Juni I
Gambar 6.11 Waktu Tanam Maret III – Juni II
b. Waktu tanam tanaman jagung pada bulan April I, April II, April III
menunjukkan bahwa ketersediaan airnya sangat ekstrim sehingga
sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman jagung.
Kondisi defisit pada bulan April I, April II dan April III dapat dilihat
pada Gambar 6.11, Gambar 6.12, dan Gambar 6.13,
Gambar 6.12 Waktu Tanam April I – Juni III
52
Gambar 6.13 Waktu Tanam April II – Juli I
Gambar 6.14 Waktu Tanam April III – Agustus I
6.4 Waktu tanam jagung di Gerokgak periode 1996-2010
Neraca air yang dibahas disini adalah neraca air tanaman yaitu
membandingkan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman untuk masa
pertumbuhan. Perimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman
jagung disajikan dalam bentuk grafik sehingga dapat dilihat waktu tanam yang
tepat. Hubungan antara ketersediaan air dan kebutuhan air tanaman jagung secara
kumulatif pada masing-masing waktu tanam maka dapat dijelaskan sebagai
berikut :
6.4.1. Waktu tanam jagung pada awal musim hujan
a. jika penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu Nopember I sampai
Januari III maka sebagian kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi.
53
Total kekurangan air selama pertumbuhannya sebanyak -35.5 mm.
Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.14.
Gambar 6.15 Waktu Tanam November I – Januari III
b. Waktu tanam jagung pada Nopember II sampai dengan Desember II
sudah mengalami defisit, sehingga tidak memungkinkan untuk
melakukan penanaman, walaupun dipertengahan yakni Desember II –
Januari I ada surplus sebesar 22.3 mm tetapi tidak signifikan. Kondisi
surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.15.
Gambar 6.16 Waktu Tanam November II – Februari I
c. Waktu tanam jagung pada Nopember III sampai dengan Februari II
terjadi fluktuasi ketersediaan air dan kebutuhan air, sehingga masa
pertumbuhan tanaman jagung terganggu dan tidak memungkinkan
54
untuk melakukan penanaman. Kondisi surplus dan defisitnya dapat
dilihat pada Gambar 6.16.
Gambar 6.17 Waktu Tanam November III – Februari II
d. Waktu tanam jagung pada Desember I sampai dengan Maret I
ketersediaan air mencukupi , sehingga pada bulan Desember I sangat
tepat untuk melakukan penanaman pada dasarian ini, total surplus air
sebesar 136.2 mm. Kondisi surplusnya dapat dilihat pada Gambar 6.16.
Gambar 6.18 Waktu Tanam Desember I – Maret I
e. Waktu tanam jagung pada Desember II sampai dengan Maret II secara
keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Januari II dan
Februari I mengalami sedikit defisit masing-masing sebesar -5.7 mm
dan -20.5 mm, waktu tanam pada Desember II masih bisa dilakukan
55
penanaman hanya harus dilakukan penyimpanan air sistem tadah hujan.
Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada Gambar 6.17.
Gambar 6.19 Waktu Tanam Desember II – Maret II
f. Waktu tanam jagung pada Desember III sampai dengan Maret III,
secara keseluruhan ketersediaan air mencukupi, tetapi pada Februari I
mengalami defisit yang mana merupakan stadia pembungaan dengan
kebutuhan air yang besar dan pada stadia ini rentan terhadap
kekurangan air. Kondisi surplus dan defisitnya dapat dilihat pada
Gambar 6.18.
Gambar 6.20 Waktu Tanam Desember III – Maret III
56
6.4.2 Waktu tanam jagung pada akhir musim hujan
a. Waktu tanam jagung pada bulan Maret I, hanya pada awalnya saja
ketersediaan air mencukupi, tetapi stadia berikutnya mengalami defisit
sepanjang masa pertumbuhan. Demikian juga masa pertumbuhan Maret
II, Maret III, masa pertumbuhan yang diawali bulan April ketersediaan
airnya sangat ekstrim. Kondisi surplus dan defisitnya untuk penanaman
pada bulan Maret I, Maret II dan Mret III dapat dilihat pada Gambar
6.19, Gambar 6.20 dan Gambar 6.21
Gambar 6.21 Waktu Tanam Maret I – Mei III
Gambar 6.22 Waktu Tanam Maret II – Juni I
57
Gambar 6.23 Waktu Tanam Maret III – Juni II
b. Waktu tanam jagung pada bulan April I, April II, April III
menunjukkan bahwa ketersediaan airnya sangat ekstrim sehingga
sangat tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman jagung.
Kondisi surplus dan defisitnya penanaman pada bulan April I, April II
dan April III dapat dilihat pada Gambar 6.22, Gambar 6.23, dan
Gambar 6.24,
Gambar 6.24 Waktu Tanam April I – Juni III
Gambar 6.25 Waktu Tanam April II – Juni I
58
Gambar 6.26 Waktu Tanam April III – Agustus I
Periode I tahun 1981 – 1995 maupun periode II tahun 1996 – 2010 waktu
tanam jagung dengan masa pertumbuhan 85-90 hari tidak mengalami pergeseran,
kedua periode ini waktu tanam yang tepat jatuh pada bulan Desember dasarian I
karena kebutuhan air tercukupi dari awal pertumbuhan sampai panen.
59
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan dan disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Pola curah hujan di daerah Gerokgak adalah pola monsoon yang dicirikan
dalam bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan
yaitu bulan Januari).
2. Perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak, selama 15 tahun periode I
tahun 1981-1995 ke periode II tahun 1996-2010, berdasarkan uji garis t
berpasangan menunjukkan tidak ada perubahan pola curah hujan atau tidak
signifikan.
3. Tipe iklim di daerah Gerokgak menunjukkan tidak terjadi perubahan tipe
iklim selama 15 tahun periode I tahun 1981-1995 ke periode II tahun 1996-
2010, Tipe iklim untuk ke dua periode tersebut termasuk tipe iklim D4.
4. Perubahan pola curah hujan dan tipe iklim tidak berpengaruh terhadap waktu
tanam jagung. Waktu tanam jagung (Zea mays L) yang terbaik di daerah
Gerokgak adalah pada bulan Desember Dasarian I.
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian langsung di lapangan sebagai tindak lanjut dari
penelitian ini sehingga diperoleh hasil yang lebih realitas.
60
2. Perlu dilakukan penelitian terhadap kebutuhan air tanaman jagung dengan
menanam tanaman jagung sehingga nilai evapotranspirasi potensial (ETo)
lebih realistis.
3. Kekurangan air pada masa pertumbuhan tanaman jagung dapat diminimalisir
dengan dilakukan penanaman pada awal Desember Dasarian I, pada
penanaman akhir musim hujan sebaiknya tidak dilakukan penanaman karena
tanaman jagung akan kekurangan air atau cekaman yang ekstrim dan
berkepanjangan.
4. Disarankan petani di daerah Gerokgak dapat melakukan waktu tanam jagung
(Zea mays L) sesuai dengan waktu tanam yang dihasilkan oleh penelitian ini.
61
DAFTAR PUSTAKA
Adri dan Endrizal. 2009. Prospek dan Strategi Pengembangan Jagung Varietas
Sukmaraga di Prov. Jambi. Prosiding Seminar Nasional Serealia.
Anonim. 2012. http://findpdf.net/reader/SKRIPSI-KU-FIKSpdf-unhas-repository-
Universitas-Hasanuddin.html.
Anonim.2010. http://www.peipfi-komdasulsel.org/wp-content/ uploads/ 2012/03/
Chapter-II.pdf.
Arsana, IGK. Dana, IN. Adijaya dan Suprapto. 2012. Pengkajian Sistem Usahatani
Pada Lahan Kering Dataran Rendah Beriklim Kering Daerah Buleleng – Bali,
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. Prakiraan Musim Hujan
2010/1011 di Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. 2008. Menentukan Masa Tanam yang
Tepat dengan Kalender Tanam. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Vol. 30, No. 3.
Bapeda Provinsi Bali. 2009. Materi Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Bali.
Bey, A., Pawitan, H., Las, I., Tjasyono, B. dan Winarso, P.A. 1992. Evaluasi Iklim
Indonesia dan Antisipasi Musim Kemarau 1992. Prosiding Seminar Antisipasi
Iklim 1992 dan Dampaknya terhadap Pertanian Tanaman Pangan, Perhimpunan
Meteorologi Pertanian Indonesia dan Balit Pengembangan Pertanian.
BPS Bali 2011. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
Chang. 1968. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Aldine Publishing
Company. Canada.
Daryono. Suanda, D.K. dan Sri Agung, I G.A.M. 2003. Evaluasi Zona Agroklimat
Oldeman Daerah Bali Berdasarkan Pemutakhiran Data Curah Hujan Hingga
tahun 2000. Jurnal Agritrop, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Udayana. Vol. 22 No. 3 Sept. 2003.
Dastane, N.G. 1974. Effective Rainfall in Irrigated Agriculture Drainage. Paper no 25,
FAO, Rome.62 p.
62
Direktorat Jenderal Pengairan, 1986. Standar Perencanaan Irigasi (KP. 01-05).
Departemen Pekerjaan Umum, CV. Galang Persada, Bandung.
Departemen Pekerjaan Umum Propinsi Bali. 1995. Studi Pengembangan Potensi dan
Konservasi Sumber Air Bali. Proyek Pengembangan Sumber Air dan
Pengendalian Banjir. Buku IV Laporan Penunjang.
Doorenbos, J. and Pruitt. W.O. 1977. Crop Water Requirement. Food and Agriculture
Organization of The United Nation. Rome.
Fuad Bustomi, 2000. Simulasi Tujuh Teknik Pemberian Air Irigasi Untuk Padi di
Sawah dan Konsekuensi Kebutuhan Air Satu Masa Tanam. Tesis Program
Pascasarjana Program Studi Teknik Sipil UGM, Yogyakarta (Tidak diterbitkan).
Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Faperta
UNLAM. Banjarbaru.
Hillel, D. 1972. Soil and Water. Physical Priciples and Processes. Academic Press Inc.
London.
Irfan Budi Pramono, I.B. dan Adi, R.N. 2010. Perbandingan Hasil Estimasi Potensi Air
Bulanan dan Hasil Pengukuran Langsung di Sub DAS Wuryantoro, Wonogiri,
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
Irianto, G., Anien, L.I. dan Surmaini, E., 2000, Keragaman iklim sebagai peluang
diverivikasi. Prosiding Seminar Sumberdaya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya, Puslitanag, Bogor.
Jackson, L.J. 1979. Climate, Weather and Agriculture in The Tropics. Longman
Corp Ltd. London and New York. 229 p.
Kartasapoetra, A.G. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman.
Bumi Aksara. Jakarta.
Kayadu, E. 2002. Zona Agroklimat di Kabupaten dan Kota Madya Jayapura. Jurnal
Meteorologi dan Geofisika, Vol 3, No 3, Edisi Januari-Maret 2002. Hal. 19-23.
Kramer, P.J.1980.Water Requirement of Plant. Academic Press. New York.300 p.
Lilik, S.S. dan Sinta B.S. 2009. Indikasi Perubahan Iklim dari Pergeseran Bulan Basah,
Kering, dan Lembab. Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global dan
Perubahan Global. Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi.
63
Mahmud. 2009. Skenario Perubahan Variabilitas Iklim di Indonesia, Prosiding Seminar
Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global, Fakta, Mitigasi, dan
Adaptasi.
Mohammad. 1999. Strategi Penentuan Waktu Tanam Kedelai Pada Saat Kondisi Iklim
Normal dan Ekstrim di Flores NTT. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 19 hal.
Margaretha SL, dan Fadhly, A.F. 2010, Peluang dan Kendala Pengembangan Pola
Tanam Jagung Tiga Kali Setelah Padi (IP 400) Prosiding Pekan Serealia
Nasional.
Meiviana, A., Diah R.S. dan Moekti H. S. 2004. Bumi Makin Panas: Ancaman
Perubahan Iklim di Indonesia, Kemeterian Lingkungan Hidup, JICA, dan
Yayasan Pelangi.
Mustofa, M.A. 2002. Identifikasi Sifat Curah Hujan di Wilayah Jawa Barat. Jurnal
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Vol. 2 No. 4, Oktober-Desember 2001.
Hal. 36-46.
Oldeman, L.R.. 1975. An Agroclimatic Map of Java and Madura. Contribution Central
Research Institute for Agric. Bogor. Indonesia. No.17.xd22 pp.
Oldeman, L.R., Las, I. dan Muladi. 1980. An Agro-Climatic Map of Kalimantan,
Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Cont. Central
Research Institute for Agriculture. Bogor. No. 60. 32 pp.
Purnomo. 2007. “Analisis Neraca Air Lahan di Daerah Jembrana Propinsi
Bali”(skripsi). Denpasar. Universitas Mahasaraswati.
Pramudia, A., 2006, Musim Hujan di Sentra Produksi Padi sudah Berubah, Majalah
Sinar Tani, Edisi September 2006.
Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Runtunuwu, E. dan Syahbuddin. H. 2007. Perubahan Pola curah hujan dan Dampaknya
terhadap Periode Masa Tanam, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumbardaya Lahan Pertanian, Bogor.
Rusmayadi, G. 2011. Dinamika Kandungan Air Tanah di Areal Perkebunan Kelapa
Sawit dan Karet dengan Pendekatan neraca Air, Agroscientiae. Volume 18
Nomor 2 Agustus 2011.
Santosa, I.G.N. 2006. “Perencanaan Pola Tanam Berdasarkan Kebutuhan dan Persediaan
Air pada Lahan Kering di Bali Utara”.(desertasi). Malang. Universitas Brawijaya.
Hal. 86-87.
64
Sasmito, A., Widiatmoko, H., dan Ribudiyanto, K. 2005. Informasi Meteorologi untuk
Mendeteksi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi DKI Jakarta,
Prosiding, Seminar Hari Meteorologi Dunia ke-55, Jakarta, 23 Maret 2005, hal.
17-32.
Simatupang, P., Marwoto, dan Dewa K.S. Swastika, 2005, Lokakarya Pengembangan
Kedelai di Lahan sub Optimal di BALITKABI Malang.
Sosrodarsono dan Takeda, 2005. Pemanfaatan air alami untuk irigasi dengan
berdasarkan metode-metode neraca air. Institut Teknologi Bandung.
Suswono. Soepardi, 1983. Metode Keseimbangan Air. LIPI. Jakarta.
Subagyono, K. 2007. Dampak Perubahan Iklim terhadap Pertanian, Seminar Sehari
“Keanekaragaman Hayati di Tengah Perubahan Iklim - Tantangan Masa Depan
Indonesia”, Hotel Grand Kemang, Jakarta, 28 Juni 2007.
Sudarta, I. W. 2007. “Penentuan Waktu Tanam, Pola Tanam Padi (Oryza Sativa) Dan
Jagung (Zea Mays L.) Berdasarkan Kebutuhan Dan Persediaan Air Lahan Di
Daerah Baler Bale Agung Kabupaten Jembrana” (Skripsi) Denpasar: Jurusan
Budidaya Pertanian Universitas Mahasaraswati.
Sumiana, Y. 2007. “Neraca Air Lahan dan Cara Penghitungannya”. Yogjakarta.
Universitas Gajahmada. Hal 32.
Surmaini, E. dan Irianto, G. 2003. Anomali Iklim, Evaluasi Masa Tanam, Tingkat
kehilangan Hasil, dan Pengaturan Sistem Produksi Pertanian di Kalimantan
Timur, Berita Biologi, Volume 6, Desember 2003.
Suyono, H. dan Sulistya, W. 1999. Studi tentang Pola Sirkulasi Meridional pada Saat
Berlangsung Seruak Dingin. Bul. Met. Geo. No.2. Maret 1999. Hal 35-43.
Wisnubroto, S. 1999. Meteorologi Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya.
Yogyakarta. 1999.
65
Lampiran 1 : Data Curah Hujan Di daerah Gerokgak
No Tahun
Bulan
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1 1981 402.0 238.0 63.0 18.0 28.0 148.0 142.0 1.0 12.0 0.0 266.0 358.0
2 1982 230.0 164.0 234.0 142.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 224.0
3 1983 292.0 135.0 289.0 242.0 230.0 8.0 0.0 0.0 0.0 33.0 40.0 134.0
4 1984 451.0 279.0 198.0 89.0 42.0 0.0 0.0 0.0 31.0 23.0 50.0 182.0
5 1985 80.0 161.0 173.0 202.0 54.0 0.0 66.0 0.0 0.0 5.0 74.0 260.0
6 1986 271.0 259.0 121.0 115.0 20.0 39.0 15.0 0.0 0.0 0.0 0.0 240.0
7 1987 161.0 121.0 79.0 0.0 23.0 0.0 7.0 0.0 0.0 0.0 0.0 103.0
8 1988 130.0 22.0 262.0 22.0 25.0 19.0 0.0 6.0 0.0 27.0 303.0 45.0
9 1989 36.0 232.0 69.0 75.0 0.0 181.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 180.0
10 1990 303.0 165.0 94.0 82.0 13.0 6.0 5.0 1.0 0.0 0.0 0.0 179.0
11 1991 38.0 106.0 125.0 28.0 29.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 76.0
12 1992 326.0 426.0 295.0 122.0 0.0 0.0 0.0 22.0 2.0 5.0 27.0 254.0
13 1993 139.0 125.0 83.0 85.0 16.0 23.0 6.0 4.0 0.0 9.0 27.0 86.0
14 1994 199.0 249.0 341.0 11.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 202.0
15 1995 215.0 288.0 418.0 112.0 82.0 8.0 0.0 0.0 0.0 0.0 103.0 281.0 Periode I
(1981-1995) 218.2 198.0 189.6 89.7 37.5 28.8 16.1 2.3 3.0 6.8 61.0 186.9
16 1996 293.0 316.0 127.0 102.0 0.0 14.0 0.0 14.0 0.0 32.0 21.0 183.0
17 1997 267.0 151.0 23.0 66.0 8.0 3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 44.0
18 1998 170.0 244.0 146.0 63.0 54.0 116.0 70.0 0.0 41.0 40.0 17.0 168.0
19 1999 182.5 214.5 172.0 220.0 0.0 30.0 0.0 0.0 0.0 0.0 102.0 248.0
20 2000 384.0 214.0 399.0 144.0 58.0 0.0 0.0 0.0 0.0 16.0 151.0 201.0
21 2001 188.0 75.5 92.0 98.0 0.0 63.0 10.0 0.0 0.0 27.0 6.5 168.0
22 2002 305.0 313.0 101.0 31.0 13.0 8.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 251.0
23 2003 595.0 284.0 166.0 47.0 17.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 85.0 169.0
24 2004 122.1 278.0 193.0 39.0 17.0 12.0 0.0 0.0 12.0 0.0 48.0 35.0
25 2005 159.0 230.0 175.0 48.0 0.0 179.0 35.0 50.0 0.0 41.0 96.0 482.0
26 2006 583.0 170.0 268.0 109.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 114.0
27 2007 27.0 95.0 130.0 18.0 56.0 64.0 0.0 0.0 0.0 3.0 29.0 53.0
28 2008 50.0 229.5 222.5 66.0 11.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8.0 176.0 237.0
29 2009 184.0 184.5 74.0 50.0 153.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 12.0 16.0
30 2010 322.0 151.0 132.0 77.0 250.0 28.0 86.0 8.0 226.0 111.0 68.0 706.0
Periode II
(1996-2010) 255.4 210.0 161.4 78.5 42.5 34.5 13.4 4.8 18.6 18.9 55.9 205.0
66
Lampiran 2 : Data Suhu Udara Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dan Konversinya ( 0C )
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
1981 27,9 27,8 28,0 27,6 27,0 27,0 26,5 26,4 27,2 27,8 27,4 27,9
1982 28,0 27,6 27,5 27,6 26,6 26,3 24,7 25,5 25,9 27,1 28,4 28,8
1983 28,3 28,7 28,6 28,4 27,2 26,5 25,5 26,0 26,6 27,5 27,7 27,4
1984 27,1 27,1 27,1 27,4 27,0 26,3 25,8 25,8 25,8 26,8 27,8 26,9
1985 28,0 27,2 27,4 27,4 27,6 26,4 25,8 25,9 26,5 27,4 28,0 27,7
1986 27,2 27,3 27,4 27,6 26,8 26,5 25,8 25,5 26,5 27,3 27,9 27,9
1987 27,3 27,8 27,6 27,5 27,3 27,0 25,6 25,9 26,0 27,5 27,6 27,5
1988 27,7 28,0 28,5 27,5 27,3 27,0 26,3 26,0 27,1 28,4 28,1 28,2
1989 27,7 27,5 27,6 27,3 27,5 27,2 27,0 26,7 27,0 27,1 28,9 28,8
1990 27,6 28,2 27,8 27,8 27,5 26,5 26,7 26,2 27,2 27,4 28,3 27,9
1991 27,3 28,0 27,5 27,6 27,3 26,5 25,7 25,5 26,1 27,1 27,1 28,0
1992 28,1 28,0 27,8 27,5 27,1 26,7 26,6 26,3 26,8 27,2 27,7 27,4
1993 28,2 28,0 27,6 29,7 27,3 27,2 25,1 26,7 26,8 25,2 27,1 27,3
1994 27,6 28,1 27,2 27,1 26,3 25,3 25,7 25,6 25,6 27,1 28,5 28,5
1995 27,9 27,8 27,6 27,6 27,5 27,3 26,9 26,4 26,8 27,9 27,6 28,0
Rata-rata
1981-1995 27,7 27,8 27,7 27,7 27,2 26,6 26,0 26,0 26,5 27,2 27,9 27,9
1996 27,9 27,7 28,1 28,0 26,9 27,2 26,6 26,7 26,8 28,1 27,8 28,3
1997 27,8 27,6 27,7 28,0 27,2 26,8 25,9 25,3 26,0 27,5 28,3 28,7
1998 29,2 29,2 28,9 29,2 28,4 28,0 27,8 28,0 27,9 28,4 28,3 27,9
1999 27,7 28,2 27,4 27,4 26,9 26,6 25,9 25,9 26,7 27,5 27,3 27,2
2000 27,2 27,0 27,2 27,0 26,8 26,4 25,7 25,7 27,0 27,2 27,3 28,0
2001 27,2 27,7 27,2 27,1 26,8 26,9 25,8 25,8 26,9 27,5 28,0 27,2
2002 27,4 27,5 27,4 27,3 27,2 26,3 26,0 25,4 25,7 27,0 28,5 28,1
2003 27,5 27,7 27,3 27,5 27,0 26,3 25,5 25,1 25,7 26,6 27,9 27,4
2004 27,7 28,8 27,7 27,8 26,8 25,5 25,7 25,1 26,0 26,9 27,9 27,6
2005 27,8 28,2 27,8 27,4 26,5 26,8 26,4 25,6 26,4 27,2 27,4 27,1
2006 27,3 27,2 27,4 27,3 26,8 26,2 25,4 25,4 25,2 26,8 28,2 28,2
2007 27,7 27,7 27,6 27,1 27,1 26,7 25,8 25,4 25,5 27,1 27,6 27,3
2008 27,3 27,3 26,7 26,8 26,7 26,0 25,6 26,0 26,3 27,6 27,5 27,2
2009 27,5 27,2 27,2 27,5 27,1 26,3 26,1 26,0 26,0 27,2 28,3 28,3
2010 28,1 28,0 28,2 27,8 27,9 27,2 26,9 26,8 27,1 27,7 28,0 27,5
Rata-rata
1996-2010 27,2 27,9 27,6 27,5 27,1 26,6 26,1 25,9 26,4 26,8 27,5 27,7
67
Lampiran 3. Penghitungan Evapotranspirasi Potensial (ETo)
68
Lampiran 4 : Perhitungan Koefisien Tanaman (Kc).
Perhitungan Kc Periode I Tahun1981-1995 Perhitungan Kc Periode II Tahun1996-2010
69
Lampiran 5 : Perhitungan Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode I 1981 – 1995.
66
71
Lampiran 6 : Perhitungan Kebutuhan Air Tanaman (ETc) Periode I 1996 – 2010
67
72
Lampiran 7 : Ketersediaan Air (Curah Hujan Efektif)
Ketersediaan Air Periode I tahun 1981-1995 Ketersediaan Air Periode II tahun 1996-2010
Prosentase Hujan Efektif Prosentase Hujan Efektif
% (mm) % (mm)
I 79,87 60 59,9 I 78,61 59 59,0
II 59,93 36 36,0 II 60,53 36 36,3
III 78,40 59 58,8 III 116,30 87 87,2
I 54,40 33 32,6 I 58,80 35 35,3
II 75,47 60 60,4 II 79,17 63 63,3
III 68,13 51 51,1 III 72,03 54 54,0
I 74,27 56 55,7 I 74,77 56 56,1
II 44,67 27 26,8 II 49,47 30 29,7
III 70,67 53 53,0 III 37,13 28 27,9
I 36,53 22 21,9 I 27,33 16 16,4
II 31,13 19 18,7 II 40,73 24 24,4
III 22,00 13 13,2 III 10,47 6 6,3
I 23,27 14 14,0 I 11,13 7 6,7
II 5,60 3 3,4 II 23,07 14 13,8
III 8,60 5 5,2 III 8,27 5 5,0
I 4,13 2 2,5 I 5,20 3 3,1
II 10,13 6 6,1 II 20,60 12 12,4
III 14,53 9 8,7 III 8,67 5 5,2
I 9,87 6 5,9 I 3,73 2 2,2
II 0,33 0 0,2 II 3,40 2 2,0
III 5,87 4 3,5 III 6,27 4 3,8
I 0,60 0 0,4 I 0,53 0 0,3
II 0,00 0 0,0 II 4,27 3 2,6
III 1,67 1 1,0 III 0,00 0 0,0
I 1,73 1 1,0 I 0,80 0 0,5
II 0,47 0 0,3 II 13,47 8 8,1
III 0,80 0 0,5 III 4,33 3 2,6
I 2,27 1 1,4 I 6,47 4 3,9
II 1,80 1 1,1 II 6,27 4 3,8
III 2,73 2 1,6 III 6,13 4 3,7
I 1,80 1 1,1 I 16,00 10 9,6
II 18,27 2 1,8 II 17,83 2 1,8
III 40,93 25 24,6 III 22,07 13 13,2
I 55,13 33 33,1 I 24,40 15 14,6
II 56,27 34 33,8 II 74,20 45 44,5
III 75,53 57 56,7 III 106,40 80 79,8
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Total
Januari
Februari
Bulan Total
Januari
Februari
Bulan
September
Oktober
Nopember
Desember
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
73
Lampiran : 8 Keseimbangan air antara kebutuhan air dan ketersediaan air.
Tahun 1981 – 1995
I 59,9 44,5 56,8 43,4 43,4 33,4 27,8
II 36,0 49,0 44,5 58,4 58,4 43,4 33,4
III 58,8 52,9 49,0 44,5 56,8 58,4 43,4
I 32,6 51,0 47,2 42,9 54,7 56,3
II 60,4 51,0 47,2 42,9 54,7
III 51,1 51,0 47,2 42,9
I 55,7 20,4 48,4 44,9
II 26,8 25,5 20,4 48,4
III 53,0 30,6 25,5 20,4
I 21,9 38,0 29,2 24,3 19,5
II 18,7 51,1 38,0 29,2 24,3 19,5
III 13,2 49,6 51,1 38,0 29,2 24,3 19,5
I 14,0 36,6 46,7 48,1 35,7 27,5 22,9
II 3,4 40,3 36,6 46,7 48,1 35,7 27,5
III 5,2 43,5 40,3 36,6 46,7 48,1 35,7
I 2,5 40,9 37,8 34,4 43,9 45,2
II 6,1 40,9 37,8 34,4 43,9
III 8,7 40,9 37,8 34,4
I 5,9 16,0 38,0 35,2
II 0,2 20,0 16,0 38,0
III 3,5 24,0 20,0 16,0
I 0,4 30,7 23,6 19,7 15,7
II 0,0 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7
III 1,0 40,1 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7
I 1,0 34,4 43,9 45,2 33,5 25,8 21,5
II 0,3 37,8 34,4 43,9 45,2 33,5 25,8
III 0,5 40,9 37,8 34,4 43,9 45,2 33,5
I 1,4 50,3 46,6 42,3 54,0 55,5
II 1,1 50,3 46,6 42,3 54,0
III 1,6 50,3 46,6 42,3
I 1,1 21,2 50,4 46,6
II 1,8 26,5 21,2 50,4
III 24,6 31,8 26,5 21,2
I 33,1 43,3 33,3 27,7 22,2
II 33,8 58,3 43,3 33,3 27,7 22,2
III 56,7 56,6 58,3 43,3 33,3 27,7 22,2
Juli
BulanKSa
ETc (mm)
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
74
Lampiran : 9 Keseimbangan air antara kebutuhan air dan ketersediaan air.
Tahun 1996 – 2010
Januari I 59,0 43,1 55,0 42,0 42,0 32,3 26,9
II 36,3 47,4 43,1 56,6 56,6 42,0 32,3
III 87,2 51,2 47,4 43,1 55,0 56,6 42,0
Februari I 35,3 52,0 48,2 43,8 55,8 57,5
II 63,3 52,0 48,2 43,8 55,8
III 54,0 52,0 48,2 43,8
Maret I 56,1 20,7 49,2 45,6
II 29,7 25,9 20,7 49,2
III 27,9 31,1 25,9 20,7
April I 16,4 39,5 30,4 25,3 20,3
II 24,4 53,2 39,5 30,4 25,3 20,3
III 6,3 51,7 53,2 39,5 30,4 25,3 20,3
Mei I 6,7 37,2 47,4 48,8 36,3 27,9 23,2
II 13,8 40,9 37,2 47,4 48,8 36,3 27,9
III 5,0 44,2 40,9 37,2 47,4 48,8 36,3
Juni I 3,1 41,0 37,9 34,5 44,0 45,3
II 12,4 41,0 37,9 34,5 44,0
III 5,2 41,0 37,9 34,5
Juli I 2,2 16,1 38,1 35,3
II 2,0 20,1 16,1 38,1
III 3,8 24,1 20,1 16,1
Agustus I 0,3 30,7 23,6 19,7 15,7
II 2,6 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7
III 0,0 40,1 41,3 30,7 23,6 19,7 15,7
September I 0,5 34,3 43,8 45,1 33,5 25,8 21,5
II 8,1 37,8 34,3 43,8 45,1 33,5 25,8
III 2,6 40,8 37,8 34,3 43,8 45,1 33,5
Oktober I 3,9 48,4 44,8 40,7 52,0 53,5
II 3,8 48,4 44,8 40,7 52,0
III 3,7 48,4 44,8 40,7
Nopember I 9,6 22,4 53,1 49,2
II 1,8 28,0 22,4 53,1
III 13,2 33,6 28,0 22,4
Desember I 14,6 42,7 32,8 27,4 21,9
II 44,5 57,5 42,7 32,8 27,4 21,9
III 79,8 55,8 57,5 42,7 32,8 27,4 21,9
BulanKSa
ETc (mm)
75
Lampiran 10 : Hasil Analisis Tanah di Daerah Gerokgak
Hasil Analisis Tanah di Daerah Gerokgak
Analisis Tanah Metode Hasil Keterangan
C Organik Walkley & Black 1,81 % Rendah
Kadar Air
- Kering Udara (KU)
- Kapasitas Lapang
(KL)
Gravimetri
Gravimetri
3,21 %
21,50 %
Tekstur
- Pasir
- Debu
- Liat
Pipet
Pipet
Pipet
27,05 %
60,23 %
12,72 %
Lempung Berdebu
(Sumber : Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Udayana, 2013)
76
Lampiran 11 : Analisa Pola Curah Hujan di Daerah Gerokgak Kabupaten Buleleng
dengan menggunakan Uji garis t memakai program SPSS.
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1
GRK_I 28,8278 36 29,20313 4,86719
GRK_I
I 30,5250 36 32,42927 5,40488
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 GRK_I & GRK_II 36 ,907 ,000
Paired Samples Test
Paired Differences
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Pair 1 GRK_I - GRK_II -1,69722 13,64734 2,27456 -6,31482
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
95% Confidence
Interval of the
Difference
Upper
Pair 1 GRK_I - GRK_II 2,92037 -,746 35 ,461
Analisa Pola Curah Hujan Daerah Gerokgak
Dengan : Ho : tidak terjadi perubahan pola curah hujan
1. Mean ada kenaikan dari 28,8 mm menjadi 30,5 mm, kolom uji t menunjukkan -
0,746 artinya pergeserannya negatif sebesar 0,746 b = tidak signifikan karena
hasil penghitungan sebesar .461 atau 0,461 < dari tabel Uji t pada df = 35 sebesar
1,690.
2. Tidak terjadi perubahan pola curah hujan di daerah Gerokgak
77
Lampiran 12 : Daftar istilah
- ETo : Evapotranspirasi standar/potensial
- ETc : Evapotranspirasi tanaman ( kebutuhan air tanaman )
- KSa : Ketersediaan Air Lahan
- Kc : Koefisien Tanaman
- Das : Dasarian (sepuluh harian)
- Surplus : Kelebihan air lahan
- Defisit : Kekurangan air lahan