YANDA GENAKELA MARPAUNG -...
Transcript of YANDA GENAKELA MARPAUNG -...
FORMULASI NANOEMULSI MINYAK SAWIT
DENGAN HIGH-PRESSURE HOMOGENIZER
YANDA GENAKELA MARPAUNG
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi Nanoemulsi
Minyak Sawit dengan High-Pressure Homogenizer adalah benar karya saya`
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Yanda Genakela Marpaung
NIM F24090005
ABSTRAK
YANDA GENAKELA MARPAUNG. Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit
dengan High-Pressure Homogenizer. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan
SRI YULIANI.
Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Salah satu
produk turunan minyak sawit yang dikembangkan adalah emulsi sawit karena β-karoten
dalam minyak sawit memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan mudah terdegradasi
dalam proses pengolahan. Penggunaan teknologi nano dalam pembuatan larutan
nanoemulsi minyak sawit ini dapat meningkatkan kelarutan dan bioavailibilitas di dalam
saluran pencernaan serta meningkatkan kestabilan emulsi. Pada penelitian ini diamati
pengaruh emulsifier Tween 20 dan Tween 80 sebanyak 10% dan 30% (b/b) basis
minyak serta kitosan 0%, 0.5%, dan 1% (b/b) basil emulsi, terhadap ukuran partikel dan
kestabilannya. Penggunaan Tween 80 mampu menghasilkan ukuran partikel dan
kestabilan β-karoten yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan Tween 20.
Penggunaan emulsifier pada konsentrasi 30% menghasilkan ukuran partikel yang lebih
kecil dibandingkan dengan penggunaan konsentrasi 10%. Penggunaan kitosan hingga 1%
dapat meningkatkan ukuran partikel dan mencegah terjadinya oiling off, namun dapat
mempercepat terjadinya agregasi pada emulsi, dibandingkan dengan penggunaan kitosan
0.5%. Formula yang terpilih adalah penggunaan Tween 80 30% dan kitosan 0.5%
Kata kunci : emulsifier, kitosan, nanoemulsi, ukuran partikel, β-karoten.
ABSTRACT
YANDA GENAKELA MARPAUNG. Palm Oil Nanoemulsion Formulation with
High-Pressure Homogenizer. Supervised by TIEN R. MUCHTADI and SRI
YULIANI.
Indonesia is the largest palm oil producer in the world. One of the palm oil
derivative products is palm oil emulsion as its β-carotene solubility in water is low and
easily degraded through processing. The use of nanotechnology in the manufacture of
palm oil nano emulsion can improve its solubility in water, its bioavailibility in the
digestive tract, and emulsion stability. This study observed the effect of emulsifier Tween
20 and Tween 80 as much as 10% and 30% (w/w) oil base and chitosan 0%, 0.5%, and 1%
(w/v) emulsion base to the particle size and stability. The use of Tween 80 provided
better particle size and stability of β-carotene than the use of Tween 20. The use of an
emulsifier at a concentration of 30% showed a smaller particle size compared with the
use of a concentration of 10%. The use of chitosan to 1% can increase the size of the
particles and prevent oiling off, but can accelerate the aggregation of the emulsion,
compared to 0.5% chitosan use. The selected formula is the use of 30% Tween 80 and 0.5%
chitosan.
Keywords: chitosan, emulsifier, nanoemulsion, particle size, β-carotene
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
FORMULASI NANOEMULSI MINYAK SAWIT
DENGAN HIGH-PRESSURE HOMOGENIZER
YANDA GENAKELA MARPAUNG
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Dosen Penguji
Dr. Nur Wulandari, S.TP, M.Si
Judul Skripsi : Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit dengan High-Pressure
Homogenizer
Nama : Yanda Genakela Marpaung
NIM : F24090005
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS
Pembimbing I
Dr. Sri Yuliani, MT
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Formula; r _'anoemulsi Minyak Sawit dengan High-Pressure Homogel ': r
Nama : Yanda Genakela Marpaung NIM : F2409{JOO':;
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. ie uchtadi MS uliani,MTi Pembimbing I Pembimbing II
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas limpahan berkat dan
rahmat-Nya sehingga dapat diselesaikannya penulisan tugas akhir ini.
Penyelesaian tugas akhir ini tidak luput berkat dukungan dari semua pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dan Dr. Sri Yuliani selaku
pembimbing akademik yang terus memberikan perhatian, bimbingan,
dan motivasi hingga terselesaikannya penulisan tugas akhir ini. Terima
kasih pula untuk semua tenaga pengajar, laboran, dan pegawai di Institut
Pertanian Bogor.
2. Ayahanda Kristian Marpaung, Ibunda Julinda Silitonga, Frans Best
Soma M, Lodewik Fraus Seran M, Petryako YRM, dan keluarga besar
penulis, atas perhatian, doa, dan segenap usaha mereka untuk terus
mendukung penulis selama masa studi di Institut Pertanian Bogor.
3. Gloria Maria FP, Nikko Dwijayasastra, Satrya Dharmawan, Ilham Gelar
S, Henry, Martha Theresia, Vini Muham, Vici Muham, Vera Linda,
Citra Irene, Bayu Aji Pamungkas, Kadek DP, dan teman-teman Mikha,
sebagai keluarga kecil selama di Bogor. Teman-teman seperjuangan ITP
46 Cicely N, Mutiara, Pricilia, Charles, Ardy, Iyan A, Lina S, Olga
Ance, dan seluruh teman-teman sesama pengajar TOGA. Rachel Irene
Simatupang dan Raki Ardi Ruhiyatman teman satu pembimbing.
4. Pihak Women International Club yang telah memberikan bantuan dana
serta motivasi selama masa pendidikan di IPB. 5. Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (DIKTI),
atas bantuan pembiayaan penelitian melalui Hibah Kompetensi Nomor
035/SP2H/PL/DIT.LIT ABMAS/V/2013.
6. Indofood Riset Nugraha yang juga telah memberikan bantuan pembiayaan
penelitian ini.
7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, baik yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian studi dan
penulisan tugas akhir ini.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak
dan dapat berdampak terhadap pengembangan ilmu dan teknologi di masa yang akan
datang.
Bogor, Januari 2014
Yanda Genakela Marpaung
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Minyak Sawit 2
Karotenoid 3
Emulsi 4
Nanoemulsi 5
Homogenisasi 5
METODOLOGI 7
Bahan 7
Alat 7
Metode 7
Metode Analisis 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Analisis Proksimat Minyak Sawit Kasar 13
Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit Kasar 13
Analisis Freeze-Thaw Stability 16
Analisis β-Karoten dan Warna Emulsi pada Formula Terpilih 19
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan dan Perbedaan Tipe Alat Homogenisasi (McClements
2004) 6 2 Ukuran partikel emulsi dan indeks dispersi emulsi pada penggunaan
emulsifier Tween 20 dan Tween 80 14 3 Nilai %keterpisahan pada lima siklus freeze-thaw 17 4 Perubahan warna emulsi selama masa penyimpanan pada formula
terpilih 20 5 Perubahan konsentrasi β-karoten selama masa penyimpanan pada
formula terpilih 19
DAFTAR GAMBAR
1 Pemisahan emulsi formula Tween 20 30% Kitosan 0.5% pada siklus
freeze-thaw stability. 18
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir proses degumming CPO (Mas’ud 2007) 25 2 Diagram Alir Formulasi Minuman Nanoemulsi 26 3 Analisis multivariat ukuran partikel dan PDI 27 4 Analisis multivariat pada analisis freeze-thaw stability 28
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2009 Indonesia telah menjadi negara produsen minyak sawit
terbesar di dunia. Pada tahun 2010 Departemen Pertanian Indonesia (Ditjenbun
2011) menyatakan bahwa produksi minyak sawit kasar Indonesia mencapai 19.85
juta ton. Komoditi ini merupakan penyumbang devisa non migas terbesar ketiga
bagi negara (Sastrosayono 2009). Hingga saat ini produk hilir kelapa sawit yang
dihasilkan industri berupa asam lemak, asam lemak distilat, gliserin, refined
bleached deodorized (RBD), minyak goreng, margarin, shortening, sabun,
kosmetika (Goenadi 2005).
Minyak sawit memiliki banyak keunggulan. Keunggulan utama minyak
sawit adalah kandungan mikronutrien yang tinggi sehingga memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi healthy oil, yang diproses dan dikendalikan
sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisinya dapat dimanfaatkan untuk
kesehatan. Nilai biologis yang dapat diperoleh dari minyak sawit antara lain
sebagi prekursor vitamin A, senyawa anti kanker, menanggulangi kebutaan akibat
xeropthalmia, meningkatkan kekebalan tubuh, dan lain sebagainya (D’Odorico et
al. 2000; Rodriguez-Amaya dan Kimura 2004, von Lintig 2010).
Minyak sawit mengandung banyak komponen antioksidan seperti
karotenoid lutein, zeaxanthin, tokoferol dan tokotrienol yang berkisar antara 600–
1000 μg/g (Azlan et al. 2010). Kandungan karotenoid di dalam minyak sawit yang
umumnya didominasi oleh komponen β-karoten (sebanyak 60%) berkisar antara
500-3500 μg/g (Mortensen 2005). Kandungan komponen β-karoten pada minyak
sawit ditemukan paling tinggi dibandingkan pada bahan pangan lainnya.
Namun pencampuran β-karoten di dalam bahan pangan memiliki beberapa
kelemahan yang menyebabkan penggunaan bahan fungsional ini terbatas
digunakan (Acosta 2009). Bahan ini memiliki kelarutan yang rendah di dalam air,
serta memiliki bioavailibilitas dan stabilitas yang rendah (Qian et al. 2012).
Senyawa β-karoten umumnya cenderung mudah terdegradasi oleh proses
pengolahan dan penyimpanan yang dipengaruhi oleh efek kimia (oksigen dan
bahan pengoksida), mekanik (cahaya), dan suhu (Mao et al. 2009; Yuan et al.
2008).
Sistem nanoemulsi dapat meningkatkan bioavailibilitas di dalam saluran
pencernaan karena ukuran partikel yang kecil dan rasio antara luas permukaan dan
volumenya yang tinggi (Acosta 2009), mudah untuk diangkut dan diserap
melewati saluran pencernaan sehingga mudah digunakan tubuh sebagai sebagai
substrat dari liposom dan vesikel tubuh (Liu 2012).
Sistem emulsi dapat mengurangi degradasi β-karoten. Keberadaan lapisan
pada permukaan droplet yang menyelubungi emulsi dapat menjaga konsentrasi
dan sifat fungsional β-karoten di dalam emulsi (Acosta 2009). Aplikasi teknologi
nanoemulsi pada bahan pangan dapat memodifikasi karakteristik makro bahan
pangan seperti atribut sensori, meningkatkan kelarutan bahan dalam air, stabilitas
termal, dan bioavailibilitas bahan fungsional pada pangan (Huang et al. 2010;
McClements et al. 2009, 2007).
Berdasarkan komposisi jenis asam lemaknya, minyak sawit tersusun atas
asam lemak rantai panjang. Asam lemak dominan yang terdapat pada minyak
sawit adalah asam palmitat (C16:0) dan asam oleat (C18:1) (Kateren 2005). Qian
2
et.al (2012) menyatakan bahwa sistem nanoemulsi β-karoten dengan carier
minyak dengan rantai panjang dapat meningkatkan daya serap β-karoten yang
lebih baik dibandingkan penggunaan dengan minyak jenis lain. Penambahan
kitosan pada larutan nanoemulsi teramati mampu meningkatkan kemampuan
hidrofilik partikel nano dan meningkatkan translokasinya pada dinding usus
(Hussain et al. 2001).
Untuk menghasilkan partikel nanoemulsi dengan ukuran minimum terdapat
beberapa faktor yang perlu dikontrol. Menurut Mason (2007) faktor yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan nanoemulsi adalah pemilihan formula yang tepat
(jenis pengemulsi dan konsentrasi fase kontinu), kontrol terhadap urutan
penambahan bahan, dan besar gaya yang paling efektif untuk memperkecil ukuran
partikel.
Pada formulasi larutan nanoemulsi minyak sawit digunakan dua jenis
emulsifier yaitu Polioxyethylene sorbitan monolaurate atau Tween 20 dan
Polyethylene glycol sorbitan monooleate atau Tween 80 pada konsentrasi 10%
dan 30% (b/b) basis minyak. Bahan emulsifier ini merupakan bahan surfaktan
yang bersifat nonionik dan memiliki nilai hidrophylic-lipophylic balance (HLB)
antara 15-17 (McClements 2004) yang menunjukkan emulsifier yang digunakan
sesuai untuk sistem emulsi minyak dalam air o/w.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan formulasi larutan nanoemulsi
berbasis minyak sawit dengan mengkaji jenis dan konsentrasi emulsifier dengan
atau tanpa bahan penstabil kitosan menggunakan alat high pressure-homogenizer.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai formulasi
nanoemulsi minyak sawit yang dapat dikembangkan menjadi produk healthy
drink.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Sawit
Minyak sawit merupakan minyak hasil ekstraksi dari serabut daging (epikarp
dan mesokarp) dan inti biji tanaman (endokarp dan endosperma) buah sawit. Dari
dua bagian buah yang berbeda tersebut dapat diperoleh dua jenis minyak sawit
yang berbeda jenis yaitu minyak inti (endosperma) sawit dan minyak sawit yang
berasal dari serabut buah. Pengolahan mesokarp menjadi minyak sawit dilakukan
melalui tahap ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Secara umum, ekstraksi
dilakukan dengan cara pengepresan. Pemurnian dilakukan dengan cara
menghilangkan gum dan kotoran lain, penyabunan untuk memisahkan asam
lemak bebas, pemucatan untuk menghilangkan warna merah minyak, dan
selanjutnya deodorisasi untuk menghilangkan bau minyak selanjutnya dilakukan
3
fraksinasi untuk memisahkan fraksi padat dengan fraksi cair minyak yang
dilakukan melalui proses pendinginan (Ketaren 2005).
Untuk mempertahankan warna merah pada minyak sawit serta
mempertahankan kandungan β-karoten di dalmamnya, maka pada proses
pengolahannya minyak sawit ini tidak melalui proses bleaching atau pemucatan.
Metode ekstraksi untuk memperoleh minyak sawit merah dengan kandungan
karotenoid tinggi selain pengendalian proses pemucatan pada ekstraksi
konvensional adalah ekstraksi dengan hydraulic pressure, distilasi molekuler,
ekstraksi fluida super kritik, dan ekstraksi menggunakan pelarut yang tepat.
Warna merah yang terkandung di dalam minyak sawit tidak hanya banyak
mengandung karotenoid dan tokoferol yang baik bagi kesehatan. Karotenoid dan
tokoferol merupakan komponen bioaktif yang bersifat antioksidan. Karotenoid
memiliki dampak bagi kesehatan karena mampu mencegah dan menjaga dari
penyakit berbahaya seperti kanker, penyakit kardiovaskular, dan lain-lain (Lam et
al. 2001). Selain bersifat sebagai antioksidan, karotenoid dan tokoferol di dalam
minyak sawit merah secara fisiologis juga aktif sebagai vitamin A dan E. Untuk
pemanfaatannya minyak sawit merah tidak dianjurkan digunakan sebagai
pengganti minyak nabati dalam pengolahan pangan yang menggunakan suhu
tinggi. Hal ini disebabkan oleh tidak stabilnya komponen antioksidan di dalam
minyak sawit merah pada suhu tinggi yang dapat mendegradasi komponen aktif
tersebut (van Buggenhout et al. 2010).
Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga,
merah jingga yang larut dalam senyawa nonpolar (Winarno 2004). Kemampuan
karotenoid untuk dapat larut di dalam senyawa lainnya menyebabkan senyawa ini
disebut senyawa lipofilik, dan larut dalam pelarut lemak lainnya. Karotenoid juga
bersifat sangat peka terhadap oksidasi, otooksidasi, dan cahaya (van Buggenhout
et al. 2010) walaupun bersifat tahan panas jika dalam keadaan vakum.
Komposisi karotenoid dalam minyak sawit terutama adalah β-karoten (60-
65%) dan α-karoten (30-35%) (Ketaren 2005). Karotenoid memiliki peran
fungsional sebagai pro vitamin A. Disebut sebagai pro vitamin A karena dalam
tubuh, karotenoid terutama β-karoten dapat diubah menjadi vitamin A dengan
bantuan enzim 15,15' β-karotenoid oksigenase. Vitamin A berfungsi untuk
mencegah penyakit katarak dan kebutaan, sebagai antioksidan dan anti radikal
bebas, serta untuk meningkatkan imunitas tubuh (Sundram 2007).
Sundram (2007) menggolongkan karotenoid menjadi empat golongan yaitu:
1. Karotenoid hidrokarbon C40H56; yang termasuk golongan ini adalah α-, β-,
γ-, karoten dan likopen.
2. Xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan gugus hidroksil
(C40H55OH); yang termasuk golongan ini adalah criptonxanthin, capsanthin,
torularhodin, dan lutein (C40H54(OH)2).
3. Ester xantofil yaitu ester xantofil asam lemak seperti zeaxanhtin.
4. Asam karotenoid yaitu derivat karotenoid yang mengganggu gugus
karboksil.
4
Dibandingkan dengan jenis karoten lainnya, komponen β-karoten memiliki
potensi relatif terhadap vitamin A yang paling tinggi dibandingkan dengan α-
karoten dan γ-, karoten. Pada umumnya di dalam bahan pangan segar bentuk
karotenoid yang paling lazim dijumpai berada pada bentuk β-karoten. Di dalam
buah-buahan atau sayuran karoten dijumpai dalam bentuk kompleks dengan
protein atau teresterifikasi di dalam asam lemak yang menyebabkannya lebih
stabil jika dibandingkan di dalam sawit mentah.
Bentuk isomer karoten memengaruhi aktivitas vitamin A. Marx et al. (2003)
menyatakan bahwa bentuk trans dari β-karoten memiliki derajat aktivitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk cis. Isomerasi dalam karoten dapat
berlangsung pada suhu kamar, namun reaksi yang terjadi sangat kecil dan
berpengaruh kecil pada aktivitas vitamin A. Derajat isomerisasi pada beta karoten
berbanding lurus terhadap peningkatan suhu dan lamanya masa simpan (Yuan et
al. 2007).
Senyawa karotenoid memiliki struktur yang tersusun dari ikatan konjugasi
yang mudah mengalami oksidasi secara acak pada ordo reaksi pertama. Namun
senyawa ini memiliki aktivitas provitamin A dan dinyatakan sebagai nilai Retinol
Equivalen (RE). Persentase β-karoten yang dapat diubah menjadi vitamin A
sekitar 60-70% (Bender 2006).
Emulsi
Emulsi merupakan sistem seimbang antara dua atau lebih fase yang tidak
tercampur dan salah satu fase terdispersi terhadap fase yang lain. Fase yang
terdispersi disebut sebagai fase internal atau fase diskontinu dan fase yang lainnya
disebut sebagai fase pendispersi atau fase kontinu. Ukuran partikel emulsi
umumnya berkisar antara 0.1-50 µm (Mao dan McClements 2011). Salah satu
fase di dalam sistem emulsi mempunyai karakter lipofilik dan fase yang lain
bersifat hidrofilik. Untuk mengimbangkan sistem tersebut dibutuhkan emulsifier
sebagai senyawa yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik.
Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi dan morfologinya.
Emulsi yang fase kontinunya adalah air dan fase terdispersinya minyak disebut
sebagai emulsi o/w. Surfaktan yang digunakan pada emulsi ini harus dapat larut di
dalam air dan lebih stabil pada kondisi polar. Selain itu emulsi yang fase
kontinunya adalah minyak disebut sebagai emulsi w/o. Surfaktan yang digunakan
pada emulsi ini harus mampu larut dan lebih stabil pada kondisi nonpolar
(McClements 2004).
Mason (2007) menyatakan semakin kecil ukuran partikel emulsi yang dapat
dibentuk semakin besar pula stabilitasnya dalam penyimpanan. Semakin besar
ukuran partikel emusi yang terbentuk maka gaya gravitational separation
semakin besar, hal ini menunjukkan kestabilan emulsi semakin kecil. Untuk dapat
membentuk partikel yang kecil maka dibutuhkan energi yang lebih besar
dibandingkan dengan emulsi dengan ukuran yang lebih besar. Energi yang
diberikan untuk memecah droplet emulsi dapat diberikan melalui tekanan atau
dengan kombinasi suhu selama proses.
5
Nanoemulsi
Nanoemulsi merupakan senyawa emulsi antara senyawa minyak dan air atau
sebaliknya, yang struktur ukuran partikelnya berkisar antara 30-300 nm (Silva et
al. 2012). Sistem pada nanoemulsi tersusun atas fase lemak yang terdispersi fase
kontinyu berupa dan dikelilingi oleh membran tipis dari surfaktan. Partikel
nanoemulsi lebih stabil terhadap separasi dan agregasi karena ukuran partikelnya
yang kecil (McClements 2007).
Untuk menghasilkan partikel nanoemulsi dengan ukuran minimum terdapat
beberapa faktor yang perlu dikontrol. Menurut Qian dan McClements (2010)
faktor-faktor tersebut antara lain adalah tipe alat homogenisasi, kondisi
pengoperasian alat homogenisasi (besar energi, jumlah pengumpanan, waktu
pengoperasian, dan suhu), komposisi sampel (tipe lemak yang ditambahkan,
konsentrasi dalam produk), dan karakter bahan yang dicampurkan (tegangan
permukaan dan viskositas). Menurut Mason (2007) faktor yang perlu diperhatikan
dalam pembuatan nanoemulsi adalah pemilihan formula yang tepat (jenis
pengemulsi dan konsentrasi fase kontinyu), kontrol terhadap urutan penambahan
bahan, dan besar gaya yang paling efektif untuk memperkecil ukuran partikel.
Dalam melakukan analisis dan identifikasi karakteristik partikel nanoemulsi
digunakan beberapa metode. Menurut Silva et al. (2012) ada tiga metode untuk
melakukan identifikasi dan karakterisasi nanoemulsi yaitu teknik separasi, teknik
karakterisasi sifat fisik, dan teknik pencitraan.
a. Teknik pemisahan merupakan identifikasi nanoemulsi dengan mengisolasi
partikel nanoemulsi dari matriks atau makromolekul bahan pangan dan
mengelusikannya pada detektor. Contoh dari teknik ini adalah metode
kromatografi dan field flow fractionation.
b. Karakterisasi sifat fisik merupakan teknik yang digunakan untuk
mengidentifikasi karakter nanoemulsi dari sifat fisiknya seperti ukuran
partikel, distribusi partikel, potensi zeta, dan kemampuan kristalisasi
nanoemulsi. Contoh metode dari teknik ini antara lain adalah Dynamic Light
Scattering, Zeta Potential, Differential Scanning Calorimetry, Fourier
Transform Infrared, Nuclear Magnetic Resonance, X-Ray Diffraction, dan
Small-Angle X-ray Scattering.
c. Teknik Pencitraan merupakan teknik identifikasi ukuran, bentuk, dan bentuk
agregasi partikel nanoemulsi menggunakan mikroskop. Jenis mikroskop yang
digunakan dalam metode ini adalah Transmission Electron Microscopy dan
Scanning Electron Microscopy.
Homogenisasi
Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya
immicible (tidak bercampur) menjadi sebuah emulsi, dan alat yang digunakan
untuk melakukan proses ini disebut homogenizer. McClements (2004)
menyatakan homogenisasi merupakan proses pengecilan ukuran dan
meningkatkan jumlah partikel padat atau cair fase terdispersi dengan gaya geser
(shearing force) untuk meningkatkan kestabilan dua zat. Berdasarkan sifat dasar
bahan awalnya, sistem homogenisasi dibagi menjadi 2 kategori yakni
homogenisasi primer dan homogenisasi sekunder. Pemilihan homogenizer untuk
6
aplikasi bergantung beberapa faktor, yaitu volume sampel yang dihomogenisasi,
keluaran yang dinginkan, konsumsi energi, karakteristik komponen fasenya, dan
prediksi biaya proses.
Dalam pembuatannya, sistem homogenisasi nanoemulsi digolongkan menjadi
dua berdasarkan besar energi yang digunakan yaitu emulsifikasi energi tinggi dan
energi rendah (Acosta 2009). Emulsifikasi energi tinggi merupakan teknologi
nanoemulsi dengan energi mekanik tinggi yang memisahkan fase minyak-air dan
membentuknya menjadi droplet. Teknologi nanoemulsi yang digolongkan pada
emulsifikasi energi tinggi ini adalah homogenisasi dengan high-pressure valve,
micro-fluidizers, dan ultrasound. Nanoemulsifikasi dengan energi rendah
merupakan teknologi nanoemulsi yang didasarkan pada metode pembentukan
emulsi secara spontan setelah keadaan emulsinya diubah. Contoh dari nanoemulsi
energi rendah adalah emulsifikasi membran, solvent demixing, dan phase
inversion (Silva et al. 2012). Perbedaan dan perbandingan beberapa alat
homogenisasi yang sering digunakan dalam industri pangan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Pada penelitian ini digunakan high-pressure homogenizer sebagai alat
homogenisasi dalam pembuatan produk nanoemulsi. Keuntungan yang terdapat
pada alat ini dibandingkan dengan metode lain adalah besar ukuran partikel
ditentukan berdasarkan besar energi yang dihasilkan dan viskositas larutan yang
digunakan. Alat high-pressure homogenizer dapat menghasilkan energi tinggi
dalam menghomogenisasi sampel sehingga mampu menghasilkan droplet dengan
ukuran hingga kurang dari 0.1µm. Emulsi kasar yang diumpankan pada alat ini
dapat diatur ukurannya dengan memvariasikan ukuran katup dan tekanannya.
Tabel 1. Perbandingan dan Perbedaan Tipe Alat Homogenisasi (McClements
2004)
Tipe Produksi Energi Viskositas Sampel
High-speed blender Batch Rendah Rendah ke sedang
Colloid mill Continuous Sedang Sedang ke tinggi
High-pressure
homogenizer
Continuous Tinggi Rendah ke sedang
Ultrasonic probe Batch Rendah Rendah ke sedang
Ultrasonic jet
homogenizer
Continuous Tinggi Rendah ke sedang
Micro-fluidizer Continuous Tinggi Rendah ke sedang
Membrane processing Batch atau
Continuous
Tinggi Rendah ke sedang
7
METODOLOGI
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar atau
Crude Palm Oil (CPO), aquades, polyoxythylene sorbitan monolaurat (Tween
20), polyoxythylene sorbitan monooleate (Tween 80) (Sigma,USA), larutan
buffer fosfat 10 mM, kitosan, dan asam asetat glasial.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ultra-turrax
homogenizer (model L4R, Silverson Co., England), high-pressure homogenizer
(model NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia), High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) Chromameter Minolta CR 300 (Minolta Camera, Co.
Japan. 82281029), mixer tangan, penangas, freezer, neraca analitik, komputer,
dan alat-alat gelas.
Metode
Pada penelitian ini digunakan CPO sebagai komponen utama yang
diemulsikan. CPO yang digunakan merupakan fraksi cair minyak yang
sebelumnya terpisah dari bagian yang mengendap. Pada tahap awal penelitian
dilakukan proses degumming pada fraksi cair CPO untuk menghilangkan getah
dan logam berat pada minyak (Mas’ud 2007). Sebanyak 1 L minyak sawit kasar
dipanaskan pada suhu 80 C, kemudian ditambahkan asam fosfat 85% sebanyak
0.15% (v/v). Kemudian dilakukan pengadukan selama 15 menit dengan kecepatan
56 rpm, didinginkan pada suhu ruang, dipisahkan, dan dihasilkan dua produk,
yaitu endapan dan minyak sawit hasil degumming (Lampiran 1). Setelah itu
dilakukan analisis proksimat terhadap minyak sawit yang telah di- degumming
dan dibandingkan dengan standard SNI.
Metode yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode modifikasi
terhadap penelitian pembuatan produk nanoemulsi oleh Tan dan Nakajima (2005).
Tan dan Nakajima (2005) melakukan formulasi nanoemulsi menggunakan
konsentrat β-karoten yang dilarutkan ke dalam larutan heksana. Perbandingan
bahan organik dan polar yang digunakan adalah 1:9 dan 2:8 pada tekanan 60-140
MPa dan sebanyak tiga kali pengumpanan kembali. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa perbandingan antara bahan minyak dan bahan
polar yang menghasilkan ukuran droplet terkecil adalah perbandingan 1:9 (b/b).
Modifikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah besar tekanan yang
digunakan hanya 600 Bar sesuai dengan kapasitas maksimum alat high-pressure
homogenizer (model NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia). Bahan yang
digunakan merupakan minyak sawit yang mengandung β-karoten, dan
pengumpanan dilakukan sebanyak lima kali pengulangan. Pengumpanan ulang
sebanyak lima kali dilakukan untuk meningkatkan homogenitas dispersi ukuran
partikel emulsi (Yuan et. al 2008). Bahan pengemulsi yang digunakan pada
penelitian ini adalah Tween 20 dan Tween 80. Penggunaan Tween sebagai bahan
8
pengemulsi disebabkan bahan pengemulsi ini cocok dan dapat digunakan untuk
menghasilkan droplet emulsi ukuran nano pada emulsi o/w (Yuan et. al 2008).
Modifikasi lain yang dilakukan adalah konsentrasi bahan pengemulsi sebesar 10%
dan 30% (b/b) dari bobot minyak, dan penambahan kitosan sebagai bahan
penstabil emulsi. Menurut Yuan et al. (2008) penggunaan Tween pada 10% (b/b)
dari bobot minyak menghasilkan ukuran partikel terbaik pada konsentrat β-
karoten. Diagram alir proses formulasi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pada penelitian ini konsentrasi kitosan yang digunakan adalah 0%, 0.5%,
dan 1% (b/v) basis emulsi total. Hal ini karena penggunaan kitosan lebih dari 1%
dapat menurunkan stabilitas emulsi (Klinkesorn dan Namatsila 2008). Larutan
kitosan terlebih dahulu dipersiapkan dengan melarutkannya di dalam larutan asam
asetat glasial 1%. Larutan kitosan dipersiapkan secara terpisah antara 0.5% dan
1%. Larutan untuk kitosan 0.5% (Larutan Kitosan A) dipersiapkan dengan
melarutkan 12.5 g kitosan pada larutan asam asetat 1% dan ditepatkan hingga 500
mL. Larutan untuk kitosan 1% (Larutan Kitosasan B) dipersiapkan dengan
melarutkan 25 g kitosan pada larutan asetat 1% dan ditepatkan hingga 500 mL.
Masing-masing larutan ditambahkan pada larutan emulsi sebanyak 100 mL pada
basis emulsi 500 mL, sehingga diperoleh larutan kitosan akhir sebesar 0.5% dan
1% (b/v) basis emulsi.
Formulasi dilakukan dengan terlebih dahulu mencampurkan emulsifier
Tween 20 dan Tween 80 pada konsentrasi 10% dan 30% (b/b) basis minyak ke
dalam air buffer 10 mM kemudian menepatkan basis bobot larutan. Bahan
emulsifier kemudian dilarutkan menggunakan mixer tangan selama 30 detik pada
kecepatan putar 1000 rpm. Minyak sawit yang telah di-degumming kemudian
dihomogenisasi dengan bahan polar secara perlahan-lahan hingga perbandingan
minyak dan bahan polar sebanyak 1:9 (b/b). Pada proses homogenisasi awal
digunakan ultra-turrax homogenizer (model L4R, Silverson Co., England) selama
lima menit untuk membentuk emulsi kasar. Bahan emulsi kasar kemudian
dihomogenisasi kembali menggunakan high-pressure homogenizer (model
NS2002H TWP600, GEA Niro Soavi, Italia) untuk membentuk nanoemulsi pada
tekanan 600 Bar sebanyak lima kali pengumpanan kembali.
Emulsi tersebut kemudian dicampur dengan bahan kitosan pada konsentrasi
0%, 0.5%, dan 1% (b/v) basis emulsi total. Pada basis emulsi sebanyak 500 mL,
pencampuran kitosan dilakukan dengan mencampurkan larutan kitosan sebanyak
100 mL di dalam 400 mL larutan emulsi sawit pada masing-masing larutan
kitosan yang telah dipersiapkan. Pencampuran dengan kitosan dilakukan secara
perlahan menggunakan ultra-turrax homogenizer selama dua menit.
Dari formulasi tersebut kemudian diperoleh dua belas jenis formula yang
berbeda untuk dianalisis. Analisis ukuran partikel dilakukan dengan menggunakan
metode Dynamic Light Scatter (DLS) dengan alat Particle Size Analyzer (Vasco
Australia). Kestabilan emulsi dianalisis dengan menggunakan metode freeze-thaw
stability sebanyak lima siklus.
Analisis kemudian dilanjutkan dengan analisis warna dan kadar β-karoten
pada formula terpilih. Sampel yang terpilih terlebih dahulu disimpan dalam botol
gelap, disimpan di dalam kotak kedap cahaya pada suhu ruang. Sampel kemudian
diamati pada 15 hari dan 45 hari.
9
Metode Analisis
Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)
Bahan yang akan diukur kadar airnya, sebanyak 1-2 g emulsi, ditimbang
dalam cawan aluminium yang sudah disiapkan pada tahap sebelumnya. Bahan
beserta cawan dikeringkan dalam oven selama 6 jam pada suhu 105C. Kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya.
Kadar air (g/100g basis basah) ( 1 2)
100
Keterangan:
W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot contoh + bobot cawan kosong sesudah dikeringkan (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
Kadar Abu, Metode Gravimetri (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2-3 g bahan dikeringkan dengan cawan porselen yang sudah
dihitung bobotnya terlebih dahulu. Bahan dimasukkan ke dalam tanur listrik pada
suhu 550 C hingga pengabuan sempurna. Bahan kemudian didinginkan di dalam
desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
Kadar abu (g/100g basis basah) ( 1 2)
100
Keterangan:
W = bobot contoh sebelum diabukan (g)
W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
Kadar Protein, Metode Kjeldahl (AOAC, 1995)
Bahan yang akan diuji ditimbang sebanyak 1.0-2.5 mg kemudian
ditambahkan 1.0 + 0.1 g K2SO4, 40 + 10 mL HgO, dan 2.0 + 0.1 mL H2SO4,.
Larutan ini kemudian dididihkan hingga larutan menjadi jernih. Labu didinginkan
dan ditambahkan sedikit air destilata. Hasil destruksi yang diperoleh kemudian
dituang ke dalam alat destilasi. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 mL air destilata,
kemudian air cuciannya dimasukkan ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan
sebanyak 5-6 kali. Ditambahkan 8-10 mL larutan 60% NaOH – 5%
Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi. Kemudian dilakukan destilasi selama 15
menit atau sampai volume larutan dalam wadah penampung mencapai 50 mL.
Destilat ditampung dalam wadah penampung yang berisi 5 mL H3BO3 yang telah
dicampur dengan 2 - 4 tetes indikator metil biru:metil merah. Larutan yang
diperoleh dari proses destilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai
terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu.Volume yang diperoleh
dicatat untuk digunakan dalam perhitungan kadar protein. Volume HCl yang
digunakan untuk titrasi blanko, diperoleh dengan prosedur yang sama namun
sampel diganti dengan air destilata. Kadar protein dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
10
Kadar protein (%bb) ( l blanko) l 14.007 FK
obot contoh 100
Keterangan:
FK = Faktor konversi yaitu 6.25
Kadar Lemak, Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 105 C selama sekitar 15
menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sebanyak 1-2 g
contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi
dengan kapas (W). Setelah itu selongsong kertas yang berisi contoh disumbat
dengan kapas, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 C
selama ± 1 jam. Selongsong kertas yang sudah dikeringkan kemudian dimasukkan
ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Lemak dalam
contoh diekstrak dengan heksana selama ± 6 jam. Heksana disuling dan ekstrak
lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105 C, didinginkan pada
desikator, lalu ditimbang.
Kadar lemak (g/100g basis basah) ( 1 2)
100
Keterangan:
W = bobot contoh (g)
W1 = bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
W2 = bobot labu lemak kosong (g)
Kadar Karbohidrat, Metode by difference (AOAC, 1995)
Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan
protein. Pada analisis ini diasumsikan bahwa karbohidrat merupakan bobot
sampel selain air, abu, lemak dan protein. Perhitungan kadar karbohidrat dengan
metode by difference menggunakan persamaan sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (%) 100 – (kadar air kadar abu kadar protein kadar lemak)
Analisis β-Karoten, Metode HPLC (Parker 1999)
Sebanyak 0.5-2 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup,
kemudian ditambahkan 10 mL larutan KOH 5% dalam metanol kemudian
divorteks. Setelah itu, gas nitrogen dihembuskan ke dalam tabung reaksi selama
30 detik lalu ditutup untuk mencegah terjadinya oksidasi β-karoten. Larutan
dipanaskan dalam waterbath 65 C selama 30 menit, lalu didinginkan. Setelah itu,
ditambahkan 5 mL air, kemudian divorteks. Selanjutnya, ditambahkan 10 mL
heksana kemudian vorteks selama 30 detik, ditunggu hingga larutan dalam tabung
terpisah menjadi dua fraksi, lalu diambil larutan pada fraksi heksana (bagian atas)
dan dipindahkan ke tabung reaksi lain sambil dilewatkan pada kertas saring yang
telah diberi natrium sulfat anhydrous. Langkah ini dilakukan sebanyak 3 kali.
Fraksi heksana yang terkumpul diuapkan dengan gas nitrogen hingga kering.
Analat kering yang diperoleh dilarutkan dengan 1000 µL fase gerak untuk
menghindari terjadinya tailing pada kromatogram.
Selanjutnya, larutan sampel diinjeksikan ke HPLC. Volume larutan sampel
yang diinjeksi minimal 2 kali volume sampel loop (20 µL), yaitu 40 µL.
Selanjutnya, dilakukan persiapan larutan standar dan pembuatan kurva standar,
11
yaitu seri pengenceran 5 kali, 10 kali, 20 kali, 50 kali, dan 100 kali dibuat dari
larutan standar β-karoten konsentrasi 440 µg/mL dalam basis 1000 µL. Setiap
larutan standar diinjeksikan ke HPLC, minimal 2 kali volume sampel loop (20
µL), yaitu 40 µL. Hubungan antara luas peak yang terbaca dengan konsentrasi
larutan yang diinjeksikan kemudian diplotkan, dimana luas peak sebagai sumbu y
dan konsentrasi larutan sebagai sumbu x. Kemudian peak β-karoten pada sampel
diidentifikasi dengan mencocokkan waktu retensi peak sampel dengan waktu
retensi standar β-karoten. Luas area peak β-karoten pada sampel dicatat dan
dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar untuk memperoleh konsentrasi β-
karoten sampel dari kurva standar (µg/mL).
Freeze-Thaw Stability (Azeem 2009)
Pada analisis freeze-thaw stability sampel sebanyak 20 mL disimpan dalam
ruangan bersuhu -20 Cselama 12 jam. Setelah itu sampel kemudian dicairkan
kembali pada ruangan gelap bersuhu 27 C selama 12 jam. Setelah itu tinggi
keterpisahan total sampel diukur dan dilakukan hingga lima siklus freeze-thaw.
keterpisahan volume cairan yang terpisah ( )
volume larutan emulsi 100
Analisis ukuran dan distribusi partikel, Metode Dynamic Light Scatter (Tan
dan Nakajima 2005)
Ukuran partikel diamati dengan menganati ukuran partikel rata-rata dan
distribusi rata-rata ditentukan dengan Dynamic Light Scatter (DLS)
menggunakan alat Zetasizer Nano-S90 (Malvern Instrument, Worcestershire,
UK). Hasil yang diberikan akan menunjukkan nilai rata-rata ± standar deviasi dari
nilai yang diberikan.
Perhitungan ukuran partikel diukur melalui penyinaran cahaya
monokromatik pada larutan yang mengandung partikel bulat dengan gerak Brown
tertentu. Penyinaran cahaya monokromatik pada partikel akan mengubah efek
Doppler pada larutan yang kemudian akan mengubah gerak Brown pada larutan,
dan mengubah panjang gelombang yang terpantulkan. Pada konsentrasi yang dan
suhu larutan yang sama, gerak Brown larutan akan semakin kecil seiring dengan
semakin besarnya ukuran partikel (Kätzel 2007). Nilai ini akan mengikuti
formula:
D
R
D merupakan nilai nilai refraktif indeks sampel, K merupakan nilai
konstanta Boltzmann, T merupakan suhu larutan pada 25 C, η merupakan nilai
viskositas larutan, dan R merupakan nilai diameter droplet terhitung. Perrhitungan
distribusi diameter globula berdasarkan nilai rata-rata ukuran droplet yang
dihitung dari nilai rata-rata permukaan terbobot (surface weighted mean) dengan
simbol d32 dan rata-rata volume terbobot (volume weighted mean) dengan simbol
d43 dengan rumus:
d43 Σini di4 / Σ i ni di
3
d32 Σini di3 / Σ i ni di
2
12
nilai ni adalah jumlah droplet dengan diameter di. Nilai d43 dan d32 digunakan
untuk memonitor perubahan distribusi ukuran droplet. Nilai d43dan d32 ini secara
otomatis akan terbaca pada hasil pengukuran pada alat ini.
Analisis Warna (Hutching 1999)
Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Chromameter CR 300.
Pengukuran dilakukan terhadap tiga titik pada permukaan sampel sebanyak 50 mL.
Hasil pengukuran dicatat dengan sistem skala L*, a*, b*. Nilai L menyatakan
parameter kecerahan (0 = hitam, 100 = putih). Warna kromatik campuran warna
merah-hijau ditunjukkan oleh nilai a, (a+) = 0 – 80 untuk warna merah dan (a-) =
0 – (-80) untuk warna hijau). Sementara itu, untuk warna kromatik campuran biru-
kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+) = 0 – 70 untuk warna kuning dan (b-) = 0 - (-
70) untuk warna biru.
Rancangan Perlakuan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri
dari tiga faktor yaitu jenis emulsifier, konsentrasi emulsifier, dan konsentrasi
kitosan sebagai penstabil emulsi. Berikut merupakan rancangan yang digunakan:
Yijkl μ αi βj γk (αβ)ij (αγ)ik (βγ)jk (αβγ)ijk εijkl
Keterangan:
Yijkl = nilai pengamatan faktor tipe emulsifier (i), faktor konsentrasi
emulsifier (j) pada konsentrasi kitosan (k) dan ulangan ke-l.
μ = Rataan umum.
αi = Pengaruh jenis emulsifier ke-i
βj = Pengaruh konsentrasi emulsifier ke-j.
γk = Pengaruh konsentrasi kitosan ke-k.
(αβ)ij = interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i dengan konsentrasi emulsifier
ke-j.
(αγ)ik = interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i dengan konsentrasi kitosan
ke-k.
(βγ)jk = interaksi pengaruh konsentrasi emulsifier ke-j dengan konsentrasi
kitosan ke-k.
(αβγ)ijk = interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i, konsentrasi emulsifier ke-j
dan konsentrasi kitosan ke-k.
εijkl = pengaruh galat faktor interaksi pengaruh jenis emulsifier ke-i,
konsentrasi emulsifier ke-j dan konsentrasi kitosan ke-k.
Semua percobaan dilakukan secara duplo, dianalisis menggunakan one way
analysis of variance (ANNOVA) menggunakan program SPSS 17.0. Perbedaan
yang nyata dari nilai rata-rata (p<0,05) ditentukan menggunakan Duncan’s
multiple range test.
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Proksimat Minyak Sawit Kasar
Pada penelitian ini digunakan CPO yang telah diendapkan terlebih dahulu
pada suhu ruang. Bagian minyak yang digunakan sebagai bahan baku pada
penelitian ini merupakan fase cair yang berwarna merah yang terdapat pada
bagian atas sampel. Proses degumming merupakan proses pemisahan getah dan
lendir dari minyak sawit segar yang terdiri dari fosfolipid, protein, residu,
karbohidrat, air, dan resin. Pemisahan komponen mikro seperti logam, protein, air,
dan komponen fosfatida tersebut penting bagi proses emulsifikasi selanjutnya. Hal
ini karena komponen fosfatida dapat menghidrasi dan membentuk emulsi dengan
komponen trigliserida (Kateren 2008).
Pada analisis pertama dilakukan analisis proksimat dan kadar β-karoten
terhadap minyak CPO yang telah melalui tahap degumming. Kadar lemak yang
teramati pada lemak adalah 99.76 ± 0.09 %. Komponen lain yang dianalisis pada
minyak CPO tersebut adalah kadar air, kadar total mineral, kadar protein, dan
karbohidrat. Konsentrasi air yang teramati pada CPO adalah 0.16 ± 0.00 %,
konsentrasi abu atau total mineral adalah 0.00 ± 0.00 %, konsentrasi proteinnya
sebesar 0.00 ± 0.00 %, dan konsentrasi karbohidratnya sebesar 0.08 %. Kadar β-
karoten yang teramati pada produk ini adalah 290.55 ± 0.66 ppm.
Berdasarkan analisis proksimat yang dilakukan pada minyak sawit, sampel
yang digunakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh SNI mengenai fraksi
minyak dan pengotor lain di dalam CPO. Pada SNI 01-2901-2006 (SNI 2006)
mengenai standard CPO ditetapkan kadar maksimal kadar air dan pengotor
(protein dan karbohidrat) adalah 0.5 %. Hal ini menunjukkan bahwa proses
penghilangan gum yang dilakukan pada minyak sawit berhasil. Konsentrasi air,
karbohidrat, dan protein bernilai rendah sebagai akibat reduksi gum atau getah
yang umumnya mengandung protein dan logam. Komponen tersebut mampu
membentuk emulsi selama proses formulasi dan menginduksi pembentukan
radikal. Pada tekanan tinggi komponen protein mampu tereduksi menjadi
komponen radikal bebas yang menyebabkan reduksi komponen β-karoten pada
emulsi (Lander et al. 2000).
Formulasi Nanoemulsi Minyak Sawit Kasar
Pada tahap ini dilakukan formulasi dengan dua jenis emulsifier yaitu Tween
20 dan Tween 80 pada konsentrasi 10% dan 30% (b/b) basis minyak serta
penggunaan kitosan 0%, 0.5%, dan 1% (b/v) basis emulsi. Salah satu alasan
penggunaan Tween pada penelitian ini karena bahan pengemulsi yang bersifat
anionik, seperti Tween 20 dan Tween 80, lebih stabil pada pengaruh perubahan
pH, dan perubahan pada kekuatan ionik, serta aman bagi kesehatan karena nilai
toksisitas yang lebih rendah dibanding dengan bahan pengemulsi ionik (Azeem et
al. 2009). Selain itu bahan pengemulsi bersifat anionik memiliki stabilitas yang
lebih baik dalam tubuh (Kawakami et al. 2002).
Penambahan bahan kitosan pada sistem emulsi akan mereduksi tegangan
permukaan antara minyak dan air sehingga dapat menjaga kestabilan emulsi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Klinkesorn dan Namatsila (2008)
14
pada sistem emulsi, konsentrasi kitosan lebih dari 1% (basis emulsi) dapat
menyebabkan creaming sehingga emulsi menjadi tidak stabil.
Penggunaan kitosan di dalam sistem emulsi dapat berfungsi sebagai
penstabil (Klikensorn 2013). Kemampuan kitosan sebagai dan penstabil di dalam
sistem emulsi disebabkan oleh strukturnya yang heterogen. Senyawa kitosan
tersusun atas gugus D-glukosamin yang bersifat hidrofilik dan gugus asetil yang
bersifat hidrofobik (Rodriguez et al. 2002). Di dalam sistem emulsi, kitosan
mampu mengadsorbsi permukaan emulsi yang telah dilapisi oleh emulsifier dan
menyelubungi emulsi dengan membentuk lapisan interfasial antara kitosan dengan
emulsifier (Klinkesorn 2013). Ukuran partikel emulsi dan nilai PDI dapat dilihat
pada Tabel 2
Pada pengamatan terhadap ukuran partikel emulsi, ukuran partikel pada
tahap ini berkisar antara 168.83 nm hingga 668.10 nm (Tabel 2). Kelompok
dengan ukuran partikel paling rendah teramati pada formula tanpa penambahan
kitosan atau kitosan 0%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kitosan pada
formula ini dapat meningkatkan ukuran partikel droplet emulsi (p < 0.05).
Selain oleh pengaruh oleh penambahan kitosan pada Lampiran 2 ditemukan
bahwa jenis dan konsentrasi emulsifier yang digunakan pada penelitian ini juga
mempengaruhi ukuran partikel emulsi pada tekanan homogenisasi yang sama.
Selain oleh pemilihan formula, interaksi antara jenis emulsifier, konsentrasi
emulsifier, dan kitosan di dalam sistem emulsi juga berpengaruh terhadap nilai
ukuran droplet emulsi.
Penggunaan Tween 80 pada penelitian ini dapat menghasilkan ukuran
partikel emulsi yang lebih kecil dibanding dengan penggunaan Tween 20.
Perbedaan hasil ini disebabkan oleh pengaruh nilai HLB dan karakteristik bahan
yang digunakan. Nilai HLB (hidrophylic-lipohylic balance) Tween 20 dan Tween
80 secara berurutan adalah 16.7 dan 15.0. Tan dan Nakajima (2005) menunjukkan
Tabel 2. Ukuran partikel emulsi dan indeks dispersi emulsi pada penggunaan
emulsifier Tween 20 dan Tween 80
Jenis
Emulsifier
Konsentrasi Ukuran Partikel
(nm)
Poly Dispertion
Index Emulsifier
(%)
Kitosan
(%)
Tween 20 10 0.0 188.00 ± 2.57a 0.3655 ± 0.0460
cd
0.5 519.05 ± 8.98g 0.3045 ± 0.0064
abc
1.0 668.10 ± 19.80h 0.3350 ± 0.0042
abcd
30 0.0 184.21 ± 6.24a 0.2160 ± 0.0071
a
0.5 294.45 ± 0.64c 0.2900 ± 0.0099
abc
1.0 359.50 ± 11.74d 0.2740 ± 0.0085
abc
Tween 80 10 0.0 180,26 ± 4,57a 0.4305 ± 0.0969
d
0.5 344.70 ± 2.97d 0.2965 ± 0.0049
abc
1.0 483.10 ± 16.55f 0.3655 ± 0.0064
cd
30 0.0 168.83 ± 2.19a 0.2215 ± 0.1011
ab
0.5 227.85 ± 9.26b 0.4345 ± 0.0827
d
1.0 458.35 ± 6.43e 0.3385 ± 0.0064
bcd
a-h Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
15
bahwa bahan pengemulsi dengan nilai HLB yang lebih besar mampu
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil pada emulsi o/w. Namun pada
penelitian ini hasil ini berbeda dengan penelitian tersebut. Hal ini disebabkan oleh
penggunaan minyak sawit yang umumnya didominasi oleh komponen lemak
rantai panjang pada konsentrasi yang tinggi. Ukuran droplet yang lebih kecil
lebih difasilitasi pada penggunaan emulsifier yang lebih larut pada komponen
lemak atau nilai HLB yang sedikit lebih rendah.
Pemilihan besarnya konsentrasi emulsifier dapat mempengaruhi ukuran
partikel emulsi. Namun nilai ini tidak teramati berbeda nyata pada formula kitosan
0%, walaupun ukuran partikel pada konsentrasi emulsifier 30% menunjukkan nilai
yang sedikit lebih kecil dibandingkan pada konsentrasi 10%. Hal ini menunjukkan
bahwa pada tekanan 60 MPa, tanpa penambahan kitosan, emulsi sudah
terselubungi secara baik oleh emulsifier sehingga menyebabkan perubahan ukuran
partikel yang tidak berbeda nyata. Menurut Tan dan Nakajima (2005) pada taraf
tertentu penambahan emulsifier memungkinkan peningkatan luas permukaan
sebagai akibat semakin kecilnya ukuran droplet emulsi. Pengecilan ukuran
partikel dapat meningkatkan luas permukaan droplet emulsi, peningkatan luas
permukaan ini dapat difasilitasi oleh bahan pengemulsi yang menyelubungi
emulsi.
Pengamatan terhadap pengaruh konsentrasi kitosan pada ukuran partikel
menunjukkan bahwa ukuran partikel emulsi mengalami peningkatan setelah
dilakukan penambahan kitosan. Hal ini disebabkan oleh interaksi elektrostatik
antara droplet emulsi dengan emulsifier anionik yang bermuatan negatif dengan
kitosan (Klinkesorn 2013). Partikel emulsi dengan bahan emulsifier anionik
seperti Tween 20 dan Tween 80 umumnya memiliki bermuatan antara ─11 hingga
─13 m (Klinkesorn dan amatsila 2008). Kitosan yang bermuatan lebih positif
termati mampu berinteraksi dengan emulsifier dan meningkatkan muatan droplet
emulsi menjadi lebih positif (Mun et al. 2005).
Pengaruh konsentrasi emulsifier pada formula dengan kitosan 0.5% dan 1%,
menunjukkan peningkatan emulsifier berpengaruh nyata terhadap perubahan
ukuran partikel yang semakin kecil. Pada peningkatan emulsifier pada jenis dan
konsentrasi kitosan yang sama teramati ukuran partikel yang semakin kecil
(p<0.05). Peningkatan konsentrasi bahan kitosan memungkinkan terbentuknya
ukuran partikel yang lebih kecil karena tersedianya bahan pengemulsi yang
memungkinkan peningkatan luas permukaan droplet (Qian dan McClements
2011). Peningkatan konsentrasi emulsi juga mampu meningkatkan kemungkinan
terbentuknya kompleks emulsifier dan kitosan. Hal ini dapat memungkinkan
peningkatan luas permukaan yang semakin besar dan ukuran partikel yang
semakin kecil (Klinkesorn 2013).
Pada penelitian ini, dengan penggunaan jenis dan konsentrasi emulsifier
yang sama, peningkatan konsentrasi kitosan teramati meningkatkan ukuran
partikel (p<0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh interaksi elektrostatik antara
bahan pengemulsi dan kitosan membentuk lapisan multilayer pada permukaan
droplet (Klinkesorn dan Namatsila 2008). Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi kitosan, semakin tebal lapisan yang menyelubungi droplet
emulsi dan berpengaruh pada peningkatan ukuran partikel hingga pada tingkat
tertentu (Klinkesorn 2013).
16
Nilai PDI (PolyDispertion Index) merupakan nilai yang menunjukkan
distribusi droplet partikel dengan ukuran partikel yang terukur. Semakin kecil
nilai PDI emulsi, semakin baik atau semakin dekat distribusi droplet emulsi
terukur (Lemarchand et al. 2003). Distribusi droplet emulsi yang ideal berkisar
antara 0.09-0.40 (Mao et al. 2009). Pada formulasi emulsi ini tidak teramati
perbedaan yang signifikan nilai dispersi antara formula. Hal ini menunjukkan
dispersi ukuran partikel emulsi lebih dipengaruhi oleh faktor homogenisasi dan
banyaknya pengumpanan dibandingkan dengan pemilihan formula yang
digunakan (Tan dan Nakajima 2005). Qian et al. 2011 menunjukkan semakin
banyak pengumpanan balik pada homogenisasi akan meningkatkan keseragaman
ukuran partikel emulsi dan menurunkan nilai PDI.
Pada tahap ini diamati bahwa formula yang menunjukkan ukuran partikel
paling kecil adalah semua formula tanpa penambahan kitosan (kitosan 0%). Hal
ini disebabkan kitosan dapat berinteraksi dengan bahan emulsifier dan
memperbesar ukuran partikel. Pada formula dengan penambahan kitosan formula
dengan ukuran partikel yang berada di bawah 300 nm adalah penggunaan Tween
80 30% kitosan 0.5 % dan Tween 20 30% kitosan 0.5%.
Analisis Freeze-Thaw Stability
Adsorpsi kitosan oleh droplet emulsi dapat meningkatkan stabilitas emulsi
dengan mengurangi kemampuan agregasi droplet melalui pembentukan lapisan
tebal pada permukaan droplet. Muatan elektrik dan tebalnya lapisan kitosan yang
menyelubungi permukaan droplet menghasilkan gaya tolak antar droplet. Gaya
tolak antar pada droplet pada muatan yang sama ini dipengaruhi oleh konsentrasi
kitosan yang digunakan (Klinkesorn dan Namatsila 2009).
Pada tahap ini diamati perubahan kestabilan emulsi pada tahap freeze-thaw.
Selama tahap pembekuan, kristal es yang terbentuk mendesak droplet minyak
berdekatan dengan fase pendispersinya. Ghosh dan Coupland (2008)
menunjukkan pada proses pendinginan membran yang menyelubungi emulsi
teramati pecah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya oiling off dan coalenscens
sebagai akibat dari interaksi minyak pada emulsi yang rusak.
Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap stabilitas emulsi melalui
persen keterpisahan emulsi atau nilai % keterpisahan. Nilai ini diperoleh melalui
lima siklus pemisahan emulsi. Pemisahan yang diamati pada tahap ini merupakan
pemisahan total emulsi. Pada setiap siklus freeze-thaw umumnya menunjukkan
perbedaan pemisahan. Pada Gambar 2 ditunjukkan terjadinya pemisahan pada
lima siklus freeze-thaw.
Konsentrasi kitosan yang digunakan pada analisis ini adalah 0%, 0.5%, dan
1%. Berdasarkan data yang diperoleh ditunjukkan bahwa nilai % keterpisahan
yang diperoleh tidak ada yang melebihi 15%. Perolehan nilai % keterpisahan yang
masih memenuhi dapat dikategorikan sedang jika nilai % keterpisahan tidak lebih
dari 20% dan dikategorikan tinggi jika nilai % keterpisahan tidak lebih dari 15%
(Donsì et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan emulsi ini
dikategorikan sebagai pemisahan yang sedang.
Kitosan merupakan senyawa glukosamin yang yang mampu menyelubungi
droplet emulsi dan meningkatkan stabilitas emulsi pada proses freeze-thaw
(Klinkesorn 2013). Namun pada konsetrasi kitosan, yang terlalu tinggi, umumnya
17
terdapat kitosan bebas pada fase pendispersinya sehingga dapat mengagregasi
droplet emulsi dan menurunkan stabilitasnya (Klinkesorn 2013). Hal ini juga
diamati pada penelitian ini, bahwa penambahan kitosan dapat menurunkan nilai %
keterpisahan (p<0.05) (Lampiran 6). Dapat pula diamati bahwa penggunaan
kitosan 0,5% dan 1% pada Tween 20 30% dan Tween 80 30% umumnya tidak
terlalu berbeda nyata dibandingkan dengan formula lain (Tabel 3).
Pada tabel nilai % keterpisahaan emulsi ditunjukkan bahwa emulsi
umumnya mengalami pemisahan terbesar yang kemudian akan diikuti oleh
penurunan pemisahan. Gambar 2 yang menunjukkan gambaran pemisahan
tersebut. Sebelum mencapai pemisahan tertinggi, pemisahan yang teramati
merupakan pemisahan satu lapisan. Hal ini menunjukkan terjadinya agregasi pada
emulsi (Gambar 2b dan 2c) sebagai akibat terjadinya pembekuan pada permukaan
lapisan emulsi (Ghosh dan Coupland 2008). Nilai ini teramati pula pada
peningkatan nilai keterpisahan pada Tabel 3.
Setelah melewati pemisahan terbesar pada siklus freeze-thaw terjadi
pemisahan yang semakin rendah pada siklus selanjutnya. Namun, pada tahap ini
pemisahan yang ditunjukkan bukan hanya pemisahan lapisan keruh namun juga
pemisahan globula lemak. Pemisahan globula lemak yang teramati pada tahap ini
terjadi sebagai akibat terjadinya oiling-off pada emulsi. Pada peristiwa oiling-off
awal (Gambar 2d), minyak yang teramati berbentuk droplet globula lemak yang
besar pada lapisan atas emulsi. Pada tahap selanjutnya (Gambar 2e dan 2f)
pemisahan emulsi (berwarna keruh) yang teramati semakin kecil, namun oiling-off
yang terjadi semakin besar dan lemak yang terpisah (berwarna bening) semakin
besar.
Tabel 3. Nilai %keterpisahan pada lima siklus freeze-thaw
Jenis
Emulsifier
Konsentrasi Rata-rata % keterpisahan siklus ke- (%)
Emulsi
fier
(%)
Kitosan
(%) 1 2 3 4 5
Tween 20 10 0.0 11.69d
14.35c
9.16f
6.32d
4.07bc
0.5 5.47b
5.80b
4.27abc
4.03abc
3.77abc
1.0 4.70b
5.49ab
4.87bcd
4.48abc
3.62abc
30 0.0 9.89c
12.58c
10.85g
7.17d
5.17d
0.5 4.68b
5.08ab
4.08ab
4.21abc
3.93cd
1.0 2.90a
5.82b
5.33cd
4.95c
3.51abc
Tween 80 10 0.0 11.82d
13.53c
7.23e
4.74bc
4.27cd
0.5 6.02b
3.17a
3.62a
3.50ab
3.39abc
1.0 2.74a
3.62ab
5.56d
4.73bc
3.66abc
30 0.0 13.18d
14.43c
7.93e
4.59bc
3.88bc
0.5 9.21c
4.68ab
3.95ab
3.58ab
2.93ab
1.0 4.60b
6.08b
6.61ed
3.21a
2.67a
a-f Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).
18
Pada Tabel 3 ditunjukkan nilai % keterpisahan pada setiap siklus pada setiap
formula yang digunakan pada penelitian ini. Formula kitosan 0% menghasilkan
nilai keterpisahan emulsi yang paling tinggi dibandingkan dengan formula lain.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kitosan pada formula ini dapat
meningkatkan stabilitas emulsi (p<0.05) (Lampiran 6). Hal ini disebabkan oleh
kemampuan kitosan yang dapat menyelubungi emulsi dan meningkatkan muatan
positif droplet dan meningkatkan daya tolak antara partikel emulsi (Klinkesorn
dan Namatsila 2008).
Penggunaan kitosan 1% teramati mampu mempertahankan emulsi dan
memperlama proses oiling-off pada emulsi. Pada formula ini terjadinya oiling-off
terjadi pada siklus ketiga dan keempat. Hal ini menunjukkan penggunaan kitosan
1% mampu memperlambat terjadinya oiling off pada perubahan kondisi emulsi.
Hal tersebut dapat disebabkan oleh lapisan pada permukaan droplet yang lebih
tebal pada penggunaan kitosan 1% dapat menahan destruksi permukaan droplet
lebih lama sehingga dapat menahan terjadinya oiling off (Aoki et al. 2005).
Namun pada penggunaan formula ini, setelah teramati pemisahan terbesar oiling
off yang terjadi pada siklus selanjutnya sangat besar. Nilai ini ditunjukkan dengan
pemisahan yang sangat kecil pada fase selanjutnya yang menunjukkan pemisahan
yang teradi merupakan pemisahan minyak. Klinkesorn dan Namatsila (2008)
menjelaskan bahwa penggunaan kitosan dalam konsentrasi besar dapat
meningkatkan flokulasi pada emulsi sebagai akibat terbentuknya ikatan antar
komponen kitosan pada siklus freeze-thaw yang mampu menurunkan stabilitas
emulsi dan meningkatkan kemungkinan oiling off.
Selain dipengaruhi oleh konsentrasi kitosan pemisahan emulsi ini juga
dipengaruhi oleh konsentrasi emulsifier yang digunakan (Lampiran 2).
Penggunaan emulsi 30% mampu meningkatkan ikatan kompleks antara bahan
pengemulsi dan kitosan yang mampu meningkatkan stabilitas emulsi. Berdasarkan
data yang diperoleh, formula terpilih yang diperoleh pada tahap ini merupakan
penggunaan Tween 20 30% Kitosan 0.5% dan Tween 80 30% Kitosan 0.5% .
Siklus 1 Siklus 0 Siklus 3 Siklus 4 Siklus 5 Siklus2
1 Gambar 1. Pemisahan emulsi formula Tween 20 30% Kitosan 0.5% pada
siklus freeze-thaw stability.
a b c d e f
19
Analisis β-Karoten dan Warna Emulsi pada Formula Terpilih
Pada tahap selanjutnya dilakukan analisis kandungan β-karoten
menggunakan metode HPLC pada formulasi Tween 20 30% Kitosan 0.5% dan
Tween 20 30% Kitosan 0.5%. Sebagai formula terbaik berdasarkan uji stabilitas
emulsi, pada analisis ini diamati perubahan konsentrasi β-karoten dan perubahan
warna emulsi pada waktu setelah dilakukan formulasi, 15 hari, dan 45 hari pada
suhu 31 C di dalam ruang kedap cahaya.
Setelah penyimpanan selama 45 hari teramati besar perubahan β-karoten
tidak lebih dari 30%. Pada formula menggunakan Tween 20 30% K 0.5% besar
perubahan konsentrasi β-karoten teramati lebih besar dibandingkan dengan
formula penggunaan Tween 80. Nilai perubahan konsentrasi β-karoten ini masih
jauh lebih rendah dibandingkan dengan perubahan konsentrasi β-karoten oleh
Yuan et al. (2008). Pada penelitian Yuan et al. (2008) ditunjukkan perubahan β-
karoten pada suhu 30 C berkisar antara 200-500 ppm pada penyimpanan emulsi
hingga 28 hari. Hal ini menunjukkan, penambahan kitosan pada nanoemulsi sawit
dapat memperlambat degradasi β-karoten dibandingkan dengan formula tanpa
penambahan bahan kitosan, sebagai akibat terbentuknya lapisan penyelubung
yang berfungsi sebagai lapisan penghalang pada emulsi yang dapat menahan β-
karoten dari bahan prooksidan (Qian et al. 2012).
Hal ini juga teramati pada perubahan warna emulsi (Tabel 6). Derajat L*
menunjukkan derajat kecerahan warna, reduksi pada derajat positif a*
menunjukkan reduksi pada derajat kemerahan emulsi, dan reduksi pada derajat
positif b* menunjukkan reduksi pada standar kuning emulsi (Mao et al. 2009).
Pada penelitian ini diamati nilai perbedaan warna total dengan membandingkan
warna emulsi sebelum penyimpanan dengan warna setelah penyimpanan.
Perbedaan warna total (∆E*) pada penggunaan Tween 20 lebih besar
dibandingkan dengan perubahan warna pada penggunaan Tween 80. Perubahan
warna pada emulsi minyak sawit mengindikasikan degradasi konsentrasi β-
karoten relatif terhadap suhu dan waktu penyimpanan emulsi (Qian et al. 2012).
Penggunaan Tween 80 sebagai emulsifier pada formula ini teramati lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan Tween 20.
Struktur β-karoten yang sangat tidak jenuh (11 ikatan rangkap, 9 tidak
terkonjugasi) membuat bahan ini sangat sensitif terhadap degradasi oleh suhu dan
bahan pengoksidasi (Kateren 2005). Faktor yang mempengaruhi perubahan
konsentrasi β-karoten selama proses penyimpanan adalah turunnya nilai pH
Tabel 4. Perubahan konsentrasi β-karoten selama masa penyimpanan pada
formula terpilih
Formula
Konsentrasi β-karoten (ppm) Perubahan
(%)
0 hari 15 hari 45 Hari 15
hari
45
hari
Tween 20 30%
K 0.5% 177.27 ± 2.83 163.30 ± 0.11 129.28 ± 3.67 8 27
Tween 80 30%
K 0.5% 185.82 ± 2.52 178.08 ± 2.29 144.54 ± 3.26 5 23
20
emulsi, cahaya, meningkatnya suhu selama proses penyimpanan, dan
kemungkinan terbentuknya radikal bebas. Selain itu Mao et al (2009) menyatakan
bahwa destruksi β-karoten pada emulsi dapat disebabkan oleh reaksi yang
dimediasi melalui senyawa kimia pada permukaan droplet emulsi yang
menghubungkan fase pendispersi dan fase terdispersinya. Oleh sebab itu, semakin
kecil ukuran partikel dapat memperkecil kemungkinan terjadinya reaksi yang
dapat mendestruksi β-karoten, karena semakin kecilnya kemungkinan terjadinya
reaksi pada β-karoten karena semakin besarnya permukaan yang dapat menahan
reaksi pada droplet emulsi.
Menurut Mehnert dan Mader (2001) proses homogenisasi menggunakan
high pressure homogenizer dapat menyebabkan degradasi DNA dan albumin yang
dapat menginduksi terbentuknya radikal bebas. Lander et al. (2000) menunjukkan
bahwa radikal bebas mulai terbentuk pada tekanan pada rentang 11.03-34.47 MPa
(110.3-344.7 Bar). Namun Mehnert dan Mader (2001) menunjukkan degradasi
yang diinduksi oleh tekanan tinggi selama proses homogenisasi bukan masalah
yang serius pada bahan aktif, seperti β-karoten. Berdasarkan uji kadar β-karoten
dan perubahan warna yang dilakukan, formula terpilih yang diperoleh pada tahap
ini adalah Tween 80 30% Kitosan 0.5% .
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada analisis ukuran partikel, formula yang menghasilkan ukuran partikel
tidak melebihi 300 nm setelah penambahan kitosan adalah penggunaan Tween 20
dan 80 30% serta Kitosan 0.5%. Konsentrasi emulsifier sebanyak 30% mampu
menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi
10% setelah dilakukan penambahan kitosan. Penggunaan kitosan hingga 1%
mampu mengurangi kemampuan oiling off pada emulsi, namun meningkatkan
ukuran partikel. Penggunaan kitosan 0.5% teramati lebih mampu meningkatkan
kestabilan emulsi dibandingkan dengan kitosan 1 Formula terbaik pada analisis
freeze-thaw stability adalah Tween 20 dan 80 30% serta Kitosan 0.5% sehingga
Tabel 5. Perubahan warna emulsi selama masa penyimpanan pada formula
terpilih
Formula
Warna ∆E*
0 hari 15 hari 45 hari 15 hari 45 hari
Tween 20 30%
K 0.5%
L 79 72 48
16.7630 40.0125 a 1 7 9
b 62 48 38
Tween 80 30%
K 0.5%
L 73 72 69
9.5394 35.7351 a 1 4 7
b 68 59 33
21
formula ini terpilih untuk dilakukan uji kadar β-karoten dan warna. Hasil
pengujian menunjukkan penggunaan Tween 80 teramati lebih sesuai digunakan
pada emulsi minyak sawit dibandingkan dengan penggunaan Tween 20. Formula
dengan Tween 80 30% kitosan 0.5% mampu mempertahankan konsentrasi β-
karoten lebih baik dibandingkan dengan formula Tween 20 30% kitosan 0.5%,
sehingga formula terpilih pada penelitian ini adalah penggunaan Tween 80 30%
kitosan 0.5%
Saran
Diperlukan studi lanjut mengenai pengembangan produk ini menjadi produk
healthy drink, serta penyerapan dan interaksinya di dalam sistem pencernaan.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta E. 2009. Bioavailability of nanoparticles in nutrient and nutraceutical
delivery. Current Opinion in Colloid & Interface Science 14: 3–15.
doi:10.1016/j.cocis.2008.01.002.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of
Analysis of The Association of Official Agriculture Chemist 16th edition.
Virginia. AOAC International.
Aoki T, EA Decker, DJ McClements. 2005. Influence of environmental stresses
on stability of O/W emulsions containing droplets stabilized by multilayered
membranes produced by a layer-bylayer electrostatic deposition technique.
Food Hydrocolloids, 19(2):209–220.
Azeem A, Mohammad R, Farhan JA, Zeenat I, Roop KK, M Aqil, Sushama
Talegaonkar. 2009. Nanoemulsion Components Screening and Selection: a
Technical Note. AAPS Pharma Science Technology, 10 (1): 69-77. doi:
10.1208/s12249-008-9178-x.
Azlan A, K Nagendra P, Hock EK, Nurnadia AA, Alina M, Amin I, Zulkhairi A.
2010. Comparison of fatty acids, vitamin E and physicochemical properties of
Canarium odontophyllum Miq. (dabai), olive and palm oils. Journal of Food
Composition and Analysis (23): 772–776.
D’Odorico A, D Martines, S Kiechl, G Egge, F Oberhollenze, P Bonviani, GC
Sturniolo, R Naccaroto, J illeit. 2000. igh plasma level of α and β carotene
are associated with lower risk of artherosclerosis: result from the Bruneck
Study. Artherosclerosis (153): 9-231.
[Ditjenbun 2011] Direktorat Jenderal Perkebunan, Kemeterian Pertanian. 2011.
Luas areal dan produksi perkebunan seluruh Indonesia menurut pengusahaan
[internet]. [diacu 25 November 2012].Tersedia dari http://ditjenbun.deptan.go.
id/cigraph/index.php/viewstat/komoditasutama/8-Kelapa%20Sawit.html. [17
Januari 2014].
Donsì F, Yuwen W, Qingrong H. 2011. Freezee thaw stability of lecithin and
modified starch-based nanoemulsions. Food Hydrocolloids 25: 1327-1336.
doi:10.1016/j.foodhyd.2010.12.008
22
Ghosh S, John N Coupland. 2008. Factors affecting the freeze–thaw stability of
emulsions. Food Hydrocolloids, 22: 105–111. doi:10.1016/j.foodhyd.2007.
04.013.
Huang Q, Yu H, dan Ru Q. 2010. Bioavailability and delivery of nutraceuticals
using nanotechnology. Journal of Food Science,75(1): 50–57. doi:
10.1111/j.1750-3841.2009.01457.x.
Hussain N, Jaitley V, Florence AT. 2001. Recent advances in the understanding of
uptake of microparticulates across the gastrointestinal lymphatics. Advanced
Drug Delivery Review, 50:107–42. doi: 10.1016/S0169-409X(01)00152-1.
Hutching JB. 1999. Food Color and Appearance 2nd
edition A Chapman and Hall
Food Science Book. Maryland: Aspen Publition.
Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Ul-Press.
Kawakami K, T Yoshikawa, Y Moroto, E Kanaoka, K Takahashi, Y Nishihara, K
Masuda. 2002. Microemulsion formulation for enhanced absorption of poorly
soluble drugs. II. Invivo study. Journal Control Release, 81:75–82.
Klinkesorn Utai. 2013. The role of chitosan in emulsion formation and
stabilization. Food Reviews International, 29: 371-393. doi: 10.1080/87559129.
2013.818013.
Klinkesorn U, Namatsila Y. 2009. Influence of chitosan and NaCl on
physicochemical properties of low-acid tuna oil-in-water emulsions stabilized
by non-ionic surfactant. Food Hydrocolloids, 23: 1374–1380.
doi:10.1016/j.foodhyd.2008.11.002.
Lam NT, Yet HT, Hai LT, Huong PT, Ha NT, Huan TT . 2001. Effects of red
palm oil supplementation on vitamin a and iron status of rural underfive
children in vietnam. Di dalam: Cutting-Edge Technologies For Sustained
Competitiveness Food Technology and Nutrition Conference. Proceedings
2001 PIPOC International Palm Oil Congress; Malaysia, 20-22 August 2001.
Malaysia: Malaysian Palm Oil Board.
Lander R, Manger M, Scouloudis M, Ku A, Lee A. 2000. Gaulin homogenization:
A mechanistic study. Biotechnology Progress, 16: 80–85.
Lemarchand C, Couvreur P, Vauthier C, Costantini D, Gref R. 2003. Study of
emulsion stabilization by graft copolymers using the optical analyzer Turbiscan.
International Journal of Pharmaceutics, 254: 77–82.
Liu Yuwei, Zhanqun Hou, Fei Lei, Yuanyuan Chang, Yanxiang Gao. 2012.
Investigation into the bioaccessibility and microstructure changes of β-
caroteneemulsions during in vitro digestion. Innovative Food Science and
Emerging Technologies 15 : 86–95.
Mas’ud F. 2007. Optimasi Proses Deasidifikasi untuk Meminimalkan Kerusakan
Karotenoid dalam Pemurnian Minyak Sawit (Elaeis guineensis, Jacq).Tesis.
Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Mason TG, JN Wilking, K Meleson, CB Chang, SM Graves. 2006.
Nanoemulsions: formation, structure, and physical properties. Journal of
Physics Condensed Matter (18): 635-666. doi:10.1088/0953-8984/18/41/R01.
Mao L, Duoxia X, Jia Y, Fang Y, Yanxiang G, Jian Z. 2009. Effects of small and
large molecule emulsifiers on the characteristics of b-carotene nanoemulsions
prepared by high pressure homogenization. Food technology Biotechnology,
47 (3): 336–342.
23
Mao Y, DJ McClements. 2011. Modulation of bulk physicochemical properties of
emulsions by hetero-aggregation of oppositely charged protein-coated lipid
droplets. Food Hydrocolloids (25): 1201-1209.
Marx Michaela, Monika S, Andreas S, Reinhold C. 2003.Effects of thermal
processing on trans–cis-isomerization of β-carotene in carrot juices and
carotene-containing preparations. Food Chemistry (83): 609–617.
McClements David Julian. 2004. Food Emulsion Principles, Practices, and
Techniques. New York: CRC Press.
McClements David Julian, Decker EA dan Weiss J. 2007. Emulsion-based
delivery systems for lipophilic bioactive components. Journal of Food Science,
72(8): 109–124.
Mehnert W, Mader K. 2001. Solid lipid nanoparticles: production,
characterization and applications. Advanced Drug Delivery Reviews, 47 : 165–
196.
Mortensen A. 2005. Analysis of a complex mixture of carotenes from oil palm
(Elaesis guinesis) fruit extract. Food Research International (38): 847-853.
Mun S, EA Decker, DJ McClements. 2005. Influence of droplet characteristics on
the formation of oil-in-water emulsions stabilized by surfactant-chitosan layers.
Langmuir, 21: 6228–6234.
Parker RS, Swanson JE, You CS, Edward AJ, Huang T. 1999. Bioavailability of
carotenoids in human subjects. Proc Nutr Soc. 58: 155-162.
Qian C, DJ McClements. 2011. Formation of nanoemulsions stabilized by model
food-grade emulsifiers using high-pressure homogenization: Factors affecting
particle size. Food Hydrocolloids, 25: 1000-1008. doi: 10.1016/j.foodhyd.
2010.09.017.
Qian Cheng, Eric Andrew Decker, Hang Xiao, David Julian McClements. 2012.
Physical and chemical stability of b-carotene-enriched nanoemulsions:
Influence of pH, ionic strength, temperature, and emulsifier type. Food
Chemistry, 132: 1221–1229. doi:10.1016/j.foodchem.2011.11.091.
Rodriguez MS, Albertengo LA, Agullo E. 2002. Emulsification capacity of
chitosan. Carbohydr. Polym. 48: 271–276.
Rodriguez-Amaya dan M Kimura. 2004. Harvest Plus Handbook for Carotenoid
Analysis. IFPRI dan CIAT, Washington DC.
Sastrosayono S. 2009. Budi Daya Kelapa Sawit. Jakarta: PT Agromedia Pustaka.
Silva Hélder Daniel, Miguel Ângelo Cerqueira, António A. Vicente. 2012.
Nanoemulsions for food applications: development and characterization. Food
Bioprocess Technol 5:854–867.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Standar Crude Palm Oil. SNI 01-2901-
2006. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Sundram K. 2007. Palm Oil: Chemistry and Nutrition Update. Malaysia : MPOB
Takigami S.
Tan CP, Nakajima M. 2005. β-Carotene nanodispersions: preparation,
characterization and stability evaluation. Food Chemistry 92 : 661–671.
van Buggenhouta S, Marie A, Lien L, Ines C, Griet K, Katlijn M, Ann van L,
Marc H. 2010. In vitro approaches to estimate the effect of food processing on
carotenoid bioavailability Seed thorough understanding of process induced
microstructural changes. Trends in Food Science & Technology (21): 607-618.
24
von Lintig J. 2010. Colors with functions: Elucidating the biochemical and
molecular basis of carotenoid metabolism. In Annual Review of Nutrition. Vol.
30: 35-56.
Winarno F.G. 2004.Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia.
Yuan Y, Yanxiang G, Jian Z, Like M. 2008. Characterization and stability
evaluation of b-carotene nanoemulsions prepared by high pressure
homogenization under various emulsifying conditions. Food Research
International 41: 61–68. doi:10.1016/j.foodres.2007.09.006.
25
Lampiran 1 Diagram alir proses degumming CPO (Mas’ud 2007)
CPO
Pemanasan 80oC
Pengadukan
15 menit, 56 rpm
CPO hasil
degumming
Pendinginan
pada suhu ruang
Asam fosfat 85%
sebanyak 0.15% (v/v)
Endapan
Pemisahan
26
Lampiran 2 Diagram Alir Formulasi Minuman Nanoemulsi
Kitosan
0%; 0,5%; 1%;
(b/b)
Pencampuran
1000 rpm 30 detik
Homogenisasi
10 menit
8000 rpm
Emulsi Kasar
Homogenisasi
600 Bar,
5 Pengumpanan
Nanoemulsi
Sawit
Minyak Sawit Air Buffer
10 mM
Emulsifier
Tween 20;80
10%, 30%
(b/b)
Homogenisasi
1 menit
8000 rpm
Nanoemulsi Sawit
27
Lampiran 3 Analisis ukuran partikel dan PDI
Tests of Between-Subjects Effects
Source
Dependent
Variable
Type II Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model D_distribusi 3.352E6 12 279365.028 2990.135 .000
PdI 2.607b 12 .217 90.061 .000
Jenis_Emulsifier D_distribusi 20442.341 1 20442.341 218.801 .000
PdI .015 1 .015 6.301 .027
Konsentrasi_Emulsifier D_distribusi 79354.600 1 79354.600 849.358 .000
PdI .017 1 .017 7.208 .020
Konsentrasi_Kitosan D_distribusi 389776.938 2 194888.469 2085.955 .000
PdI .002 2 .001 .516 .610
Jenis_Emulsifier*
Konsentrasi_Emulsifier
D_distribusi 24570.880 1 24570.880 262.990 .000
PdI .003 1 .003 1.114 .312
Jenis_Emulsifier*
Konsentrasi_Kitosan
D_distribusi 12564.288 2 6282.144 67.240 .000
PdI .001 2 .001 .231 .797
Konsentrasi_Emulsifier *
Konsentrasi_Kitosan
D_distribusi 34616.387 2 17308.193 185.255 .000
PdI .058 2 .029 12.098 .001
Jenis_Emulsifier*
Konsentrasi_Emulsifier *
Konsentrasi_Kitosan
D_distribusi 21548.747 2 10774.374 115.322 .000
PdI .011 2 .006 2.339 .139
Error D_distribusi 1121.147 12 93.429
PdI .029 12 .002
Total D_distribusi 3353501.488 24
PdI 2.636 24
D_distribusi
Duncana,,b,,c
Konsentrasi_
Kitosan N
Subset
1 2 3
0% 8 180.3250
0.5% 8 346.5125
1% 8 492.2625
Sig. 1.000 1.000 1.000
PdI
Duncana,,b,,c
Konsentrasi_
Kitosan N
Subset
1
0% 8 .30838
1% 8 .32825
0.5% 8 .33138
Sig. .391
28
Lampiran 4 Analisis freeze-thaw stability
Tests of Between-Subjects Effects
Source
Depend
ent
Variable
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Model diff1 2339.499a 12 194.958 274.115 .000
diff2 2883.024b 12 240.252 149.871 .000
diff3 1521.362c 12 126.780 309.493 .000
diff4 832.515d 12 69.376 127.708 .000
diff5 516.429e 12 43.036 123.388 .000
Jenis_emulsifier diff1 16.824 1 16.824 23.654 .000
diff2 3.264 1 3.264 2.036 .166
diff3 3.361 1 3.361 8.205 .009
diff4 9.538 1 9.538 17.557 .000
diff5 2.657 1 2.657 7.618 .011
Konsentrasi diff1 1.037 1 1.037 1.458 .239
diff2 1.823 1 1.823 1.137 .297
diff3 4.080 1 4.080 9.961 .004
diff4 .121 1 .121 .223 .641
diff5 .125 1 .125 .358 .555
Kitosan diff1 389.897 2 194.949 274.102 .000
diff2 615.372 2 307.686 191.937 .000
diff3 144.001 2 72.001 175.766 .000
diff4 26.772 2 13.386 24.641 .000
diff5 6.785 2 3.393 9.727 .001
Jenis_emulsifier
* Konsentrasi
diff1 29.142 1 29.142 40.974 .000
diff2 12.461 1 12.461 7.773 .010
diff3 .003 1 .003 .008 .930
diff4 3.503 1 3.503 6.449 .018
diff5 2.240 1 2.240 6.422 .018
Error diff1 17.069 24 .711
diff2 38.473 24 1.603
diff3 9.831 24 .410
diff4 13.038 24 .543
diff5 8.371 24 .349
Total diff1 2356.569 36
diff2 2921.498 36
diff3 1531.193 36
diff4 845.552 36
diff5 524.800 36
29
RIWAYAT HIDUP
Yanda Genakela Marpaung dilahirkan di Pandan
pada tanggal 15 September 1991 dari ayah Kristian
Marpaung dan ibu Julinda Silitonga. Penulis merupakan
putra ketiga dari empat bersaudara. Pada tahun 2009,
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sibolga. Penulis
diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
pada tahun 2009 melalui jalur Ujian Saringan Masuk
(USM) IPB.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis
tergabung di dalam Komisi Kesenian PMK IPB dan
Food Processing Club IPB. Penulis tergabung dalam
beberapa panitia seperti Baur 2011, LCTIP XIX, dan tergabung sebagai tenaga
penyuluh di SDN Gunung Leutik dan Cihideung Illir pada pelajaran Tumbuhan
Tropis. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan pelatihan yang diselenggarakan
di IPB. Penulis merupakan penerima beasiswa PPA DIKTI, Women International
Club, Indofood Riset Nugraha, dan Japan Student Services Organization (JASSO).
30
Tugas Tambahan
1. Perhitungan konsentrasi β-karoten dalam nanoemulsi minyak sawit
Pada formula terpilih yaitu penggunaan Tween 80 30% Kitosan 0.5%
diperoleh konsentrasi β-karoten pada hari ke-0 sebesar 185.82 ppm (µg/g).
Pada basis penelitian ini digunakan 500 g larutan emulsi pada setiap batch,
sehingga diperoleh
500 g x 185.82 µg/g = 92910 µg = 92.91 g β-karoten.
2. Pada setiap batch larutan nanoemulsi mengandung 30% (b/b) emulsifier
basis bobot minyak sawit. Pada basis 500 g emulsi, terdapat 50 g minyak
sawit dan 15 g Tween 80. Bahan emulsifier dinyatakan sebagai Generally
Recognized As Safe (GRAS) oleh CODEX, dengan nilai ADI sebesar 10
mg/berat tubuh/hari. Jika target minuman ini merupakan orang dewasa
sehat dengan bobot rata-rata 50 kg dan produk ini menyumbang 1 mg
Tween 80 dalam diet per hari, maka pengenceran minimal yang dapat
dilakukan pada larutan nanoemulsi ini untuk dikembangkan menjadi
produk minuman sebesar:
Dari pengenceran sebesar 120 kali, maka emulsi ini akan menyumbang β-
karoten pada diet per hari sebesar:
92910 µg / 120 = 774.25 µg
Aktivitas vitamin A dinyatakan dalam Retinol Equivalen (RE) dengan 1
RE setara 6 µg β-karoten. AKG vitamin A pria dewasa adalah 600
RE/orang/hari. AKG vitamin A wanita dewasa adalah 500 RE/orang/hari.
Kandungan β-karoten dalam satuan RE adalah
774.25 µg / 6 = 129.04 RE
Nilai kontribusi produk pada AKG
pria dewasa = (129.04 / 600 RE) 100% = 21.51% AKG
wanita dewasa = (129.04 / 500 RE) 100% = 25.80 % AKG
Standar produk mengandung karoten tinggi adalah memenuhi 20% AKG
vitamin A per hari. Sehingga produk ini dapat diklaim sebagai produk
mengandung karoten tinggi.
3. Pada tahap awal pemurnian minyak sawit kasar (CPO) dilakukan proses
degumming untuk menghilangkan komponen pengotor yang terkandung di
dalam minyak. Komponen yang terkandung di dalam gum minyak sawit
merupakan bahan yang berbentuk suspensi atau koloid yang tersusun atas
komponen fosfatida, karbohidrat, resin, komponen yang mengandung
nitrogen.