Yan Daryono
-
Upload
denni-n-ja -
Category
Documents
-
view
306 -
download
18
description
Transcript of Yan Daryono
YAN Daryono
Pengarah:Ken Zuraidah Rendra
Kurator:DR. Merwan Yusuf
Koordinator:Dani
Keuangan:Wulansari Dewi, S.IP., Widya
Humas & Publikasi:Teguh Santosa, Dandhy Dwi Laksono, Denni N Ja
Pengisi Acara:Saguero (Mariam Supraba Rendra & Chayo)
Pembantu Umum:Barong, Rachman, Basri, Tatang, Zaki
Fotografer:Syahrul (Kontributor Reuters)
Dokumentasi Video:Drs. Regianto H Rahmat
Pelaksana Penyelenggara:Bengkel Teater Rendra
Dilahirkan di Jakarta –20 Januari 1957– anak sulung dari empat bersaudara buah per
kawinan R.Soedarjono bin Wreksomindojo dengan Ida Meiharty binti Datuk Abbas
Rajo Nan Sati.
Mulai melukis sejak masa SD, yakni ketika menjadi siswa SD Budi Mulia – Van Lith di Jl. Gunung
Sahari – Jakarta Pusat. Pada tahun 1969, saat duduk di bangku SD kelas V pernah mendapat peng
hargaan Juara Utama dalam lomba menggambar tingkat SD seDKI Jakarta.
Pada tahun 1974 bergabung dengan Bengkel Pelukis Jakarta di TIM – Jakarta. Mengikuti kegiatan
pameran bersama di Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki, pameran berdua di Balai Budaya dan
sebagainya.
Yan Daryono
Tahun 1977, mendapat penghargaan Sutradara Terbaik III dan Penata Artistik Terbaik III dalam
Festival Drama Mahasiswa seDKI Jakarta bersama Akademi Ilmu Perbankan PERBANAS Jakarta.
Tahun 1978 kembali mendapat penghargaan Sutradara Terbaik I dan Penata Artistik Terbaik I
dalam Festival Drama Mahasiswa seDKI Jakarta bersama Akademi Ilmu Perbankan PERBANAS
Jakarta.
Tahun 1979 mendirikan grup Teater Gothra Athidira bersama Chairul Tanjung yang kini menjadi
CEO PARAGRUP, pemilik BANK MEGA, TRANS TV dll. Monang Pakpahan yang kini ikut
memimpin majalah INVESTOR, Chandra Mulia yang kini menjadi bos ZEUS GRUP di bidang
property dll. Menyelenggarakan pementasan bersama pembacaan puisi WS Rendra di Aula Univ
Trisakti – Jakarta.
Tahun 1980 menekuni bidang tulis menulis. Beberapa karya puisi, cerpen dan essay, pernah dimuat
di berbagai media ibukota, di antaranya majalah sastra Horison. Pada tahun yang sama, buku
kumpulan puisinya: Monumen Revolusi diterbitkan oleh penerbit CV Aneka – Semarang, Jawa
Tengah. Kemudian novelnya: Gema Cinta di SMA diterbitkan oleh Up. Kresno – Jakarta.
Pada tahun 1982 bergabung dengan Himpungan Pengarang Indonesia AKSARA bersama Titie
Said, Titik WS, Saut Poltak Tambunan, Kurnia Usman, Elanda Rosi DS, Korie Layun Rampan, La
Rose, NH Dini, Maria A Sardjono, Gerson Poyk dll. Selanjutnya sejak tahun 1983 – menekuni
karir jurnalistik bergabung dengan majalah Famili, Swa Sembada, majalan Indonesiaku dll. Tahun
1984 mendapat penghargaan jurnalistik hadiah ADINEGORO Bidang Metropolitan untuk lipu
tannya yang berjudul: Bongkaran Neraka Ber wajah Surga dimuat oleh majalah Famili.
Tahun 1987 menjadi penulis skenario drama/sinetron di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Tahun 1989
mendirikan rumah produksi dengan nama SELF PRODUCTION memproduksi program tele
visi, video dokumenter, iklan komersil, iklan layanan masyarakat, video klip dan menjadi penang
gungjawab percobaan siaran langsung dari Jakarta ke Born – Jerman Barat dalam rangka uji satelit
IMMARSAT II.
Tahun 1994 menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Umum MANDALA di Bandung, dan
terakhir tahun 2007 menjadi Pimpinan Stasiun TV Lokal di Bandung. Tahun 2008 bukunya
yang berjudul: Biografi R.Dewi Sartika dan Meniti Jembatan Emas diterbitkan oleh PT. Grafitri
Budi Utami – Bandung, diluncurkan oleh Ibu Linda Agum Gumelar (Ketua DPP Kowani).
Tanggal 10 sampai 14 Agustus 2009 menyelenggarakan pameran tunggal: KESAKSIAN YAN
DARYONO – Jurnalistik dalam Seni Lukis dan Fotografi di Jakarta Media Center – Gedung
Dewan Pers – Jakarta.
Yan Daryono (paling kiri) saat pembukaan pameran tunggal lukisan dan fotografi “Kesaksian Yan Daryono”, 10 - 14 Agustus 2009, Gedung Jakarta Media Center, Jakarta. Berturut-turut di sebelah Yan Daryono, Sekda Pemprov DKI Jakarta H. Mukayat, ekonom Rizal Ramli, tokoh pendidikan Prita Kemal Gani, Yenny Wahid, jurnalis Teguh Santosa.
Menurut ceritanya, Yan Daryono sudah lama meninggalkan kegiatan seni lukis karena
kesibukannya di dunia jurnalistik dan production house. Namun sejak bulan April
tahun lalu, setelah sempat dilanda stroke ringan, ayah dari tiga putri ini akhirnya
memutuskan untuk kembali menekuni dunia seni lukis. Dunia yang hampir tigapuluh tahun dit
inggalkannya.
Seorang pengamat seni rupa, sempat menilai karyakarya lukis Yan Daryono sebelum ini, meru
pakan seni lukis dengan aliran impresionisme. Mazhab seni lukis yang dicetuskan se niman lu
kis Perancis kenamaan yaitu Monnet, Cezannet dan Degas. Dalam pengeks presian mazhab im
presionisme, tidak dibutuhkan gambaran obyek yang utuh seperti aslinya. Impresionisme lebih
Dari Ekspresionis ke Realis
menekankan unsur pengekspresian suasana batin pelukisnya dalam bergumul dengan obyeknya,
ketimbang obyeknya itu sendiri. Sehingga karyakarya lukis impresionisme tidak terpaku kepada
kaidahkaidah tehnis seni lukis naturalis atau seni lukis potret.
Namun pada pameran yang akan digelar nanti, tampaknya Yan Daryono telah meng geser mazhab
seni lukisnya. Jika sebelumnya ia adalah penganut impresionisme, kini justru menjadi penganut
mazhab realisme.Yan Daryono mulai mengekspresikan obyeknya dalam bentuk yang proporsional
didukung kematangan tehnis otodidaknya. Ada pun yang tidak berubah adalah tema seni lukisnya
yang selalu menunjukkan keberpihakkan kepada masyarakat pinggiran.
Pada pamerannya terdahulu, Yan Daryono memilih tema Jurnalistik dalam Seni Lukis dan Fo
tografi. Artinya, ia sepertinya begitu ingin mengekspresikan pengalaman jurnalistiknya melalui
medium seni lukis. Alhasil karyakarya seni lukis Yan Daryono memiliki kekhasan sendiri yaitu ada
cerita di balik karyakarya seni lukis tersebut.
Tetapi agaknya dalam pameran mendatang, Yan Daryono masih tetap dipengaruhi oleh pengal
aman jurnalistiknya dan kepekaannya terhadap orangorang pinggiram. Terbukti dari berbagai
obyek yang diekspresikan dalam karya lukisnya kali ini, masih juga dengan gaya dan warna yang
sama.
Hal lain yang menarik dalam menyimak dan memahami seni lukis Yan Daryono, ialah sosok dan
ekspresi obyeknya. Pada pamerannya di Jakarta Media Centre bulan Agustus tahun lalu, DR. Rizal
Ramli dalam orasi pembukaan pameran tersebut, mengatakan, “Sorot mata dalam semua obyek
lukisan Yan Daryono, terkesan hampa dan kosong. Seolaholah pancaran mata orangorang yang
tidak memiliki harapan. Sangat tragis....”
Sedangkan dalam karyakarya lukis yang akan digelar nanti, justru menampilkan guratan garis
yang keras dan sorot mata yang tajam. Orangorang berusia lanjut dari kelompok pinggiran yang
tegar menantang nasib dan keadaan hidupnya. Tidak menyiratkan nuansa yang lembut halus, na
mun justru nuansa yang keras penuh daya hidup.
“Itu sebabnya mereka bisa bertahan hidup hingga usia lanjut, walau kesehariannya mereka selalu
berhadapan dengan kesulitan ekonomi,” ucap Yan Daryono ketika ditanya alasannya mengek
spresikan obyeknya yang umumnya adalah orangorang lanjut usia. Mungkin, Yan Daryono seba
gai pelukis, ingin menyampaikan pesan bahwa setiap orang harus memiliki daya hidup, memiliki
semangat dalam melawan keadaan dan menjadi petarung yang optimis.
Ya, semoga...
(Wulansari Dewi S.IP.)
Sister of President Barack Obama
Maya Soetoro-Ng
The women featured in this exhibit of paintings represent the strong backbone of Indone
sia. They are working to provide food, shelter, and education for their children. They are
surviving in the face of substantial challenges and their diverse endeavors are helping the
nation’s economy to bear up under economic challenge.
We must support these women by purchasing their cottage industries and by helping others to
recognize their importance and beauty. I hope this exhibit will increase the respect and empathy
with which these women are regarded and will inspire many others to work on behalf of women
and children who need assistance and opportunity.
Mantan Menko Ekuin RI
Setelah saya cermati seluruh lukisan Yan Daryono, ternyata tatapan mata semua obyek
lukisannya terkesan hampa. Wajah dari orangorang yang kehilangan harap an, orangorang
yang tidak mendapat kesempatan, orangorang yang terpinggirkan karena keadaan hidup
yang serba terbatas.
Orangorang semacam itu, sampai saat ini masih banyak didapati di seluruh pelosok negeri kita.
Maka melalui karya lukisnya ini, Yan Daryono seakan ingin mengekspresikan kehidupan rakyat
pinggiran yang menuntut kepedulian pemerintah dan kita semua.
*) Disampaikan dalam Pameran Tunggal Kesaksian Yan Daryono: Jurnalistik dalam Seni Lukis dan Fotografi, Jakarta Media Center, Jakarta, Agustus 2009.
Rizal Ramli
Sekitar tigapuluh tahun lalu, saya dengan sejumlah teman pernah bergabung bersama mas
Yan Daryono dengan membentuk suatu kelompok kesenian. Di masa itu, mas Yan sudah
mengajak saya dan temanteman menyaksikan langsung kehidupan nyata di masyarakat,
khususnya masyarakat pinggiran atau yang terpinggirkan.
Padahal ketika itu, usia saya dan temanteman masih remaja atau masih duduk di bangku SMU.
Usia yang masih diwarnai nuansa hurahura. Tapi pada masa itu, mas Yan justru menjauhkan kami
dari suasana hurahura dan memperlihatkan langsung bagaimana kenyataan masyrakat yang tidak
berdaya melawan nasib dan keadaannya. “Masyarakat yang harus kalian bela!” Begitu ucap mas
Yan kepada saya dan temanteman di masa lampau.
Monang Pakpahan
Kini – setelah tigapuluh tahun terlewati – saya dan temanteman sudah terjun ke masyarakat
dengan dinamika karir masingmasing. Ada yang menjadi konglomerat, ada yang menjadi pe
jabat tinggi, atau ada juga yang biasabiasa saja. Semua menempati posisinya masingmasing di
masyarakat. Saya sendiri menjadi praktisi hukum yang juga berkecimpung di bidang jurnalistik.
Tapi ternyata, setelah tigapuluh tahun berselang, tak disangka mas Yan masih menyampaikan kes
enian dengan tema yang tidak berubah. Sehingga saya bertanya ; Apakah ada yang salah dalam
sistem pemerintahan di negeri ini, atau ada yang salah pada diri seorang mas Yan Daryono? En
tahlah. Namun – sebagai orang yang mengenal mas Yan Daryono dengan baik – saya merasakan
kecemasan yang menggeluti benak pikiran mas Yan.
Kecemasan yang belum kunjung berakhir sejak tigapuluh tahun silam. Kecemasan seorang seni
man yang prihatin melihat keadaan sebagian warga bangsa yang hidup dalam kesusah an, kemiski
nan dan kesedihan. Maka pada kesempatan ini, saya menghimbau agar sebaiknya kita memperha
tikan ke saksian jujur seorang Yan Daryono lewat karyakaryanya. Ya, mari kita merenung sesaat:
Apakah kita sudah mengisi kemerdekaan negeri ini sebagaimana yang diamanahkan oleh bapak
bapak pendiri republik ini ? Atau disadari – tidak disadari, kita telah mengkhianati mereka dengan
“merampok” dan “menggadaikan” warisan mereka.
Terimakasih.
Saya mengenal Yan Daryono, atau biasa saya panggil dengan sebutan : Mas Yan, sejak tahun
1978 selagi saya masih duduk di bangku SMA Negeri 1 – Budi Utomo, Jakarta. Hubungan
kami sangat akrab. Sering berdialog, berdiskusi dan membangun komunitas seni bersama
temanteman lainnya di bilangan Utan Kayu – Jakarta. Hal yang mendorong saya senang berkum
pul di lingkungan komunitas ini, karena Mas Yan memberi bimbingan pemahaman filsafat, nilai
nilai nasionalisme dan patriotisme, kepada kami yang saat itu masih tergolong remaja.
Satu kenangan yang masih terekam dalam ingatan, ketika pada suatu masa liburan, Mas Yan men
gajak saya dan temanteman berkemah di Desa Cipelang – Sukabumi atau persisnya di kaki Gu
nung Gede. Di saat berkemah itu mas Yan menugaskan saya dan temanteman lainnya untuk
Chairul TandjungCEO Para Group
mengunjungi penduduk desa, berdialog atau mewawancarai mereka lalu menuangkannya dalam
suatu rangkaian tulisan. Saat itu saya sempat berdialog dengan seorang bapak yang sedang me
renovasi rumahnya dengan kemampuannya sendiri. Yakni dikerjakan sendiri dan dibiayai dengan
tabungannya sendiri. Rumah yang semula kondisi nya tidak permanen, direnovasi menjadi semi
permanen. Perubahan yang tidak drastis, tapi menunjukkan suatu kemajuan yang dilandasi seman
gat kemandirian untuk mengubah nasib dan keadaan hidupnya. Semangat yang sampai saat ini
saya percayai dimiliki oleh seluruh warga bangsa Indonesia, bangsa yang saya cintai sepenuh jiwa
raga saya.
Selain itu, Mas Yan juga mengajak saya dan temanteman melakukan kegiatan “mengamen” da
lam bentuk kelompok musik akustik. Menyanyikan lagulagu yang kami ciptakan bersama. Kami
“mengamen” ke kampuskampus dan hasilnya lumayan. Kemudian Mas Yan mengajak kami meng
gunakan uang hasil ngamen itu untuk membeli nasi bungkus lalu mengajak kami makan bersama
dengan supirsupir bajaj dan tukang becak yang biasa mangkal di depan Komplek Kehakiman –
Utan Kayu. Di sisi ini Mas Yan menanamkan artinya berbagi, berpikir tidak untuk diri sendiri dan
bijaksana sejak dalam pikiran. Se hingga masingmasing kami menyadari betul bahwa segala yang
berlebih adalah milik ALLAH SWT.
Begitu banyak nilainilai yang saya dan temanteman serap di saat kami berkumpul bersama, seh
ingga mempertajam kepekaan dan kepedulian sosial serta menghayati setiap jengkal tanah pertiwi
ini sebagai bumi dan laut Indonesia, negeri kami.
Pameran tunggal Mas Yan kembali menyentuh pikiran dan perasaan saya, bahwa ternyata masih
ada optimisme dalam kesedihan dan kemiskinan sebagian warga bangsa ini. Karena – menurut saya
– kesedihan dan kemiskinan sebagian warga bangsa ini tidaklah sematamata tanggungjawab pe
merintah sepenuhnya, tapi juga dibutuhkan kesadaran dan kemauan kerja keras dari setiap warga
bangsa untuk memperbaiki nasib dan keadaan hidupnya.
Di akhir kata, saya mengucapkan Selamat Berpameran kepada Mas Yan. Semoga karyakarya yang
ditampilkan dapat diminati dan memberi banyak manfaat bagi mereka yang menikmatinya.
Yan Daryono bersama keluarga besar, Kemal Gani (paling kiri), Ibunda Ida Meiharty binti Datuk Ab-bas Rajo Nan Sati (tengah), Prita Kemal Gani (kedua dari kanan) dan Tri (paling kanan).
Ne Seuwah Penghuni Tongkongan Tua di Ketekisu, Tana TorajaCat minyak kanvas
100 x 90 cm
Kisah Ne Seuwah di Komunitas Adat Ketekisu
Suatu ketika saya mendapat tugas liputan ke Kabupaten Toraja Sulawesi Selatan. Dalam suatu
kesempatan saya berkunjung ke komunitas adat di Ketekisu – Kecamatan Ran tepao. Di ko
munitas tersebut saya berkenalan dengan Pak Lariyun, salah seorang tetua adat. Seorang pria lanjut
usia, ramah dan periang.
Pak Layun mengajak saya berkeliling lokasi Ketekisu yang hanya beberapa hektar luasnya. Melihat
dan memasuki tongkonan (rumah adat Toraja), menyaksikan tulang belulang warga adat Ketekisu
yang dimakamkan di guagua di bukit yang terletak di belakang perkampungan adat itu.
Di depan guagua kecil tersebut, didapati pula sejumlah patung orang yang dimakamkan di
situ. Satu di antaranya adalah patung Ne Seuwah. Pak Layun mengisahkan sosok almarhum Ne
Seuwah yang menjadi kecintaan dan kebanggaan warga adat Ketekisu. Ne Seuwah hanya seorang
perempuan tua penghuni tongkonan tua. Suaminya sudah lama wafat. Dari perkawinannya itu, Ne
Seuwah tidak dikaruniai anak.
Namun dalam kesebatangkaraannya, Ne Seuwah adalah seorang perempuan tua yang berhati
mulia. Setiap hari ia mengasuh dan mengurus anakanak yang sudah tidak memiliki orangtua.
Melayani masyarakat yang sering datang bertanya tentang halhal bijak dalam kehidupan. Semua
dilakukan tanpa pamrih dan tanpa berharap tanda jasa apa pun.
Ne Seuwah telah lama pergi menuju surga abadi, dengan berkendara todungminanga yang
dibuat dan dipahat oleh anakanak yang menyayanginya. Perempuan ini telah mengajarkan nilai
nilai kemuliaan di lingkungan komunitas adat Ketekisu.
Menyusuri Sungai Barito Kalimantan SelatanCat acrylic kanvas
50 x 70 cm
Sahara Perempuan Suku Sasak, LombokCat minyak kanvas
100 x 80 cm
Mbok Sumi Penjual Nasi Gudeg di Emper Toko Jalan Malioboro, JogjaCat minyak kanvas
100 x 110 cm
Mbok Sumi di Emper Malioboro
“Berkunjung ke kota Yogya tanpa singgah di Jalan Malioboro, rasanya belum datang ke
Yogya.” Begitu kata seorang teman. Saya sangat akrab dengan kota Yogya dan sering
bertandang ke sana untuk bersilaturahmi dengan kerabat serta para sahabat. Setiap ke kota Yogya,
saya pasti ke Jalan Malioboro.
Entah sudah berapa ratus kali saya mengunjungi Jalan Malioboro, berjalan hilir mudik me
nikmati suasana yang berlangsung. Jajan di emperan dan sebagainya. Baik siang maupun malam.
Namun pada suatu saat, ketika saya berkunjung ke Yogya lalu berjalanjalan di sepanjang Jalan
Malioboro, saya menemukan pemandangan yang sangat menyentuh.
Pandangan mata saya tertumpu pada sosok seorang perempuan paruh baya yang sedang tidur
lelap di emper toko Jalan Malioboro. Tidur yang sangat nyenyak. Saya iri menyaksikan lelapnya
perempuan itu. Sepertinya ia sedang menikmati mimpi indah. Kebisingan jalan, riuh rendah suasa
na kakilima, peluit kereta api yang berdenging di Stasiun Tugu, tidak mampu mengusik tidurnya.
Kemudian – setelah berkenalan – baru saya tahu, perempuan ini bernama Mbok Sumi. Dia
penduduk kampung Pasar Kembang, dekat Stasiun Tugu. Seharihari dia berjualan gudeg bikinan
nya sendiri. Dimulai dari pagi hingga jelang tengah hari. Tiap hari pula dagangannya itu selalu ha
bis terjual. Usai berdagang, letih datang menerpa, kantuk pun mendera tanpa peduli. Mbok Sumi
– perempuan paruh baya – gigih berusaha demi menopang kehidupan keluarganya. Membantu
suami dengan penuh rasa sayang, mengasuh anakanaknya dengan segenap cinta. Saya yakin, Tu
han sangat menyayangi Mbok Sumi.
Menjaring AnginCat minyak kanvas
100 x 80 cm
Penambang Intan di MartapuraCat minyak kanvas
165 x 125 cm
Teh Imas yang Berhati EmasCat minyak kanvas
110 x 100 cm
Teh Imas Yang Berhati Emas
Sudah hampir tujuh tahun teh Imas mendampingi suaminya, seorang buruh bangunan yang
berpenghasilan sangat terbatas. Dalam tujuh tahun itu, pernikahan mereka belum kunjung
dikaruniai anak. Tapi teh Imas dan suaminya hidup bahagia dalam kemersraan cinta.
Teh Imas dan suaminya menghuni rumah kontrakan bulanan di belakang Kampus UT – Pon
dok Cabe. Untuk menambah penghasilan keluarga, teh Imas menerima jasa mencuci dan menye
terika pakaian dari tetangganya. Umumnya mereka adalah pekerja di Kampus UT, mahasiswa yang
kost dan sebagainya. Hasilnya lumayan, bisa menunjang hidup bersama suaminya. Terlebih jika
suaminya sedang tidak memiliki pekerjaan, maka hasil usaha teh Imas ini terasa sangat membantu
kelangsungan hidup mereka.
Karena penghasilannya tidak tetap dan sangat terbatas, sementara biaya hidup tidak kenal kom
promi, teh Imas sangat rajin menabung. Meski bukan dalam jumlah besar, bukan di bank tapi di
celengan ayam jago dari tanah liat, hari ke hari selalu menabung.
Saya sangat terkesan pada ucapan teh Imas : “Orang yang paling kaya itu, adalah orang yang
mendapat hidayah. Yaitu orang yang tidak mengandalkan harta warisan, orang yang tidak punya
hutang dan orang yang tawakal. “ Itulah sebabnya saya menilai teh Imas sebagai perempuan
berhati emas.
Cut Farah Sang InongbaleCat minyak kanvas
70 x 90 cm
Mbah Poniyem Pengerajin Tempe di PurwokertoCat minyak kanvas
100 x 110 cm
Bu Sarikem, Petani Bawang, di Desa Beji, TawangmanguCat minyak kanvas
100 x 110 cm
Bu Sanikem Petani Bawang di Desa Beji
Desa Beji – Kecamatan Tawangmangu – Kabupaten Karang Anyar – Jawa Tengah, adalah
kampung halaman almarhum ayah saya. Sejak kecil saya sering dibawa ayah berkunjung
ke kampung halamannya. Sungguh di desa ini banyak kenangan indah terukir. Masamasa yang
sulit dilupakan. Terlebih ketika ayah saya masih hidup dan embah putri serta kerabat lainnya masih
bisa ditemui.
Beberapa tahun silam, saya berkunjung ke Desa Beji. Ini dalam rangka memenuhi undangan
Bupati Karang Anyar yang ingin mempromosikan daerahnya. Dan pada kesempatan kali ini
seusai berziarah ke makam embah saya berkenalan dengan Bu Sanikem, seorang petani bawang.
Berikut adalah kisahnya :
“Musim demi musim dilewati tanpa lelah, tanpa takut dan gelisah. Sebab musim memang terus
berganti dan berlanjut dalam siklus yang tetap.
Bu Sanikem tetap rajin dan setia merawat tanaman bawang yang menjadi sumber hidup kelu
arganya.
Saat panen tiba, pedagang pengumpul datang berbelanja. Hasil panen berganti dengan lembar
lembar rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang setia dilakoni dengan penuh rasa syukur.
Tuhan memang maha pemurah dan pengasih. Inilah yang selalu diyakini Bu Sanikem, petani
bawang di Desa Beji – Tawangmangu. Hidup memang indah jika dilakoni dengan tawakal dan
bersyukur.“
Wak Saroh di Kaki Gunung GalunggungCat minyak kanvas
70 x 90 cm
Ibu PertiwiCat minyak kanvas
110 X 80 cm
Mbak Mini Pedagang Gorengan di Pojok Pasar Sentral Polewali, Sulawesi Barat.Cat acrylic kanvas
100 x 80 cm
Mbak Mini di Pojok Pasar Sentral Polewali Mandar
Beberapa tahun silam saya melakukan tugas liputan jurnalistik ke Propinsi Sulawesi Barat,
mengunjungi lima kabupaten di wilayah propinsi tersebut. Di antaranya Kabupaten Polewali
Mandar.
Saat senggang, pada jeda waktu tugas, saya menyempatkan waktu berjalanjalan mengunjungi
Pasar Sentral yang menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat di Kota Polewali. Pasar yang ber
dampingan dengan terminal angkutan kota. Di pagi hari suasananya begitu ramai.
Asyik mengamati kesibukan yang berlangsung di Pasar Sentral ini, pandangan mata saya me
nangkap seorang perempuan cantik dalam penampilan yang sederhana. Kemudian saya tahu, nama
perempuan itu adalah mBak Mini, istri seorang buruh bangunan.
Setiap hari, sejak pukul 07.00 pagi, mBak Mini berdagang gorengan di pojok Pasar Sentral. Su
dah hampir dua tahun dia berdagang di situ, sejak dibawa pindah oleh suaminya dari Kecamatan
Wonomulyo ke Kota Polewali ini.
Sebagai perempuan asal Yogya, mBak Mini adalah perempuan yang memiliki kecantikan alami.
Ramah namun tetap menunjukkan kesopanan. Sehingga tak seorang pun berani bersikap lancang
pada dirinya. Bahkan banyak yang kagum karena tahu persis, mBak Mini lebih rela menjadi peda
gang gorengan ketimbang menggadaikan harga dirinya karena takut miskin.
Tidur NyenyakCat minyak kanvas
100 x 80 cm
Si GeulisCat minyak kanvas
50 x 60 cm
Mang Sabar Pengrajin LayanganCat min yak kanvas
100 x 80 cm
Gembala di Hutan Jati NgawiCat Minyak kanvas
110 x 80 cm
Jajan Jamu GendongCat minyak kanvas
100 x 70 cm
Balada MarkumCat Minyak kanvas
50 x 60 cm
Anak ShalehaCat minyak kanvas
50 x 60 cm
Suatau Malam di Beranda Rumah NenekCat Minyak kanvas
110 x 80 cm
Keluarga Nelayan di Pantura, JawaCat Minyak kanvas
50 x 60 cm
Di Belakang Rumah Nenek di KampungCat minyak kanvas
110 x 80 cm
Jalan Jeruk Raya Blok H 1 No. 10Perumahan Pamulang Estate
Telp. 021 7426961
Email: [email protected]
Rumah Seni Yan Daryono