Wisnu Cahyadi *)repository.unpas.ac.id/29272/2/1).Wisnu GAKI (TP) Hal-77... · Web viewThe results...
Transcript of Wisnu Cahyadi *)repository.unpas.ac.id/29272/2/1).Wisnu GAKI (TP) Hal-77... · Web viewThe results...
Kestabilan Garam Beriodium Dalam Sediaan Makanan Selama Proses Pemasakan
INFOMATEK Volume 9 Nomor 2 Juni 2007
KESTABILAN GARAM BERIODIUM DALAM SEDIAAN MAKANANSELAMA PROSES PEMASAKAN
Wisnu Cahyadi *)
Staf Pengajar Jurusan Teknologi PanganFakultas Teknik Unpas
Abstract : Potassium iodate used as the source of iodine can be decomposed to become the other species i.e. iodide and iodine during processing and storage. There is still the controversy in the public, functionary, even scientist about the loss of iodine in iodized salt and food-stuff during processing/cooking. The method of ion pair high performance liquid chromatography (HPLC) used in this research can separate and determine iodine species i.e. iodide and iodate specificaly, accurately and precisely. The results were showed that iodine content (as iodate) of the decrease 48.52% in sour vegetable soup and 34.62% in amaranth vegetable soup, and an inovation of the simple aparatus to detect iodine compound (I2) vaporizing from iodized salt during cooking the food had been designed. The other result can be answered the controversy problem in the public, functionary, even scientist about the loss of iodine in iodized salt and food-stuff during processing/cooking.
Key words : Potassium iodate, Ion pair-HPLC, Iodine species and food-stuff
I. PENDAHULUANGangguan akibat kekurangan iodium (GAKI)
merupakan salah satu masalah gizi masyarakat
di Indonesia. Diperkirakan 140 juta IQ point
hilang akibat kekurangan iodium, karena sekitar
42 juta orang hidup di daerah endemik, 10 juta
di antaranya menderita gondok, 3,5 juta
menderita GAKI lain, dan terdapat 9000 bayi
kretin. Melalui berbagai intervensi secara
nasional, di antaranya adalah iodisasi garam
dan pembagian kapsul iodium di daerah
endemik berat dan sedang, walaupun telah
terjadi penurunan prevalensi GAKI, tetapi belum
memberikan hasil yang memuaskan. Secara
nasional terjadi penurunan prevalensi dari 37,2
% di tahun 1982 menjadi 27,7 % di tahun 1990
dan di tahun 1998 menjadi 9,8 %.1-3
Program iodisasi garam di Indonesia dalam
upaya menanggulangi gangguan akibat
kekurangan iodium (GAKI) sampai saat ini
77
*) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pangan, FT- Unpas Email : [email protected]
Infomatek Volume 9 Nomor 2 Juni 2007 : 77 - 86
masih menghadapi suatu kendala/hambatan,
meskipun pemerintah telah mengeluarkan
berbagai peraturan untuk menunjang program
iodisasi garam tersebut. Beberapa faktor yang
mungkin menjadi penghambat di antaranya
adalah : (1) harga garam beriodium yang jauh
lebih mahal dibandingkan dengan garam non
iodium, membuat masyarakat penderita lebih
memilih garam non beriodium untuk konsumsi
sehari-harinya, (2) minat masyarakat penderita
yang rendah akan garam beriodium, (3)
kurangnya kesadaran produsen untuk
memproduksi garam beriodium, dengan
memproduksi garam beriodium yang tidak
memenuhi syarat, (4) lemahnya pengawasan
mutu yang dilakukan oleh Pemerintah, (5)
kesadaran masyarakat tentang manfaat garam
beriodium masih kurang dan (6) ketersediaan
garam beriodium yang memenuhi persyaratan
belum memadai.
Penentuan kandungan iodium (sebagai iodat
maupun iodida) dalam berbagai sampel garam
beriodium telah dilakukan dengan berbagai
metode. Titrasi iodometri merupakan metode
konvensional yang berdasarkan reaksi redoks
yang sering digunakan dalam analisis iodat.
Metode ini tidak hanya mendeteksi kandungan
kalium iodat dalam garam melainkan
mendeteksi semua oksidator dalam larutan yang
menyebabkan adanya kenaikan kandungan
iodat dalam sampel garam beriodium dan tidak
dapat mendeteksi dan menentukan spesi iodium
lainnya. Oleh karena itu, metode titrasi iodometri
seperti yang ditetapkan oleh SNI No. 01-3556
tahun 1994 dan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 77/1995 kurang tepat untuk menganalisis
kestabilan kandungan iodat dalam garam
beriodium.
Menurut Saksono [1], masalah rusaknya atau
turunnya iodat dalam garam beriodium selama
penyimpanan dan proses pengolahan maupun
pemasakan masih ada perbedaan pendapat
(kontroversi) di kalangan masyarakat. Dalam
perkembangannya ada beberapa isu yang
menyatakan bahwa penggunaan garam
beriodium di Indonesia tidak efektif karena kadar
iodium (sebagai iodat) dalam garam akan
berkurang dan berubah menjadi spesi iodium
lain bila garam tersebut dicampur dengan
bumbu masak. Proses berubahnya iodat
menjadi spesi iodium lain dalam bumbu dapur
ini disebabkan tereduksinya iodat menjadi
iodium. Menurut Arhya [2], dan sebagian para
ahli gizi dalam penelitiannya terhadap beberapa
bumbu masak (seperti cabai, terasi, ketumbar
dan merica) dan cuka yang ditambahkan pada
garam beriodium pada saat pemasakan akan
menurunkan kadar iodat bahkan dapat
menurunkan sama sekali (100%). Metode
analisis yang digunakan dalam penelitiannya
adalah metode iodometri. Sedangkan menurut
[1], menyatakan bahwa kadar iodat dalam
garam beriodium selama pemasakan tidak akan
rusak. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitiannya adalah X-ray Fluorescence (XRF)
dan kolorimetri. Perbedaan yang begitu besar ini
78
Kestabilan Garam Beriodium Dalam Sediaan Makanan Selama Proses Pemasakan
disebabkan prinsip kedua metode ini berbeda.
Iodometri digunakan untuk menganalisis iodium
dalam bentuk iodat saja sedangkan XRF dapat
digunakan untuk menganalisis iodium total
dalam semua bentuk senyawa iodium. Oleh
karena itu untuk menjelaskan perbedaan
pendapat tersebut diperlukan suatu metode
analisis yang dapat menentukan dan
memisahkan spesi-spesi iodium dalam garam
beriodium dan makanan yang spesifik, cermat
dan seksama.
Kestabilan iodat dalam garam beriodium
dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya
kelembaban udara, suhu dan waktu
penyimpanan, jenis pengemas, adanya logam
terutama besi, kandungan air, cahaya dan
keasaman. Faktor-faktor tersebut merupakan
penyebab terjadinya penurunan mutu garam
beriodium selama penyimpanan, proses
pengolahan dan pemasakan. Kinetika
(perubahan) kemunduran mutu, sangat penting
artinya baik dalam pengolahan maupun
distribusi pangan.
Beberapa peneliti telah melaporkan fenomena
leaching pada garam seperti yang dilaporkan
oleh Chauhan, namun umumnya masih bersifat
kualitatif. Peristiwa leaching tidak akan
mempengaruhi jumlah iodat dalam garam
selama kemasan yang digunakan bagus.
Penurunan kadar iodium yang terbesar terjadi
pada garam yang disimpan dalam kemasan
plastik dari pada di dalam botol gelas, dan yang
disimpan pada suhu 37oC dan kelembaban
relatif di bawah 76%. Selain itu juga kestabilan
iodium akan dipengaruhi oleh jenis makanan,
kandungan air dan suhu pemanasan pada saat
pemasakan. Menurunnya kandungan iodium
pada saat pemasakan ini berkisar antara 36,6%
sampai 86,1%,(Diosady et al. [3], Bhatnagar, et
al.[4], Wang, et al. [5].
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan
mempelajari pengaruh lama pemasakan
terhadap kestabilan garam beriodium (sebagai
iodat) dalam sediaan makanan, menentukan
kadar spesi-spesi iodium dalam garam
beriodium yang ditambahkan ke dalam sediaan
makanan selama proses pemasakan,
mengimplementasikan metode analisis baru
untuk penentuan spesi iodium dalam garam
beriodium (metode analisis ini sudah divalidasi
melalui penelitian disertasi).
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat
mengungkapkan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya spesi-spesi iodium dan
kestabilan spesi iodium dalam garam beriodium
yang ditambahkan ke dalam sediaan makanan
selama proses pemasakan. Selain itu
diharapkan dapat menjawab masalah
perbedaan pendapat (kontroversi) mengenai
penurunan kandungan iodat dalam garam
beriodium yang dicampur ke dalam makanan
selama pemasakan.
79
Infomatek Volume 9 Nomor 2 Juni 2007 : 77 - 86
II. METODOLOGI
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah : pereaksi pasangan ion atau ion lawan
yaitu tetra butil amonium klorida 0,001 M (E.
Merck), pelarut (fase gerak) yang digunakan
metanol pro HPLC (JT. Beacker) dan dapar
fosfat 0,01 M), asetonitril pro HPLC (JT.
Beacker), KIO3 p.a (E. Merck), KI p.a (E. Merck),
NaCl p.a (E. Merck), aquabidest, KH2PO4 0,01
M p.a (E. Merck), sampel sediaan makanan
(bubur nasi, sayur asam dan sayur bayam) dan
bahan penunjang penelitian lainnya.
Sedangkan alat yang digunakan : seperangkat
sistem kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
Hitachi-Tokyo Jepang, penyuntik sampel,
detektor serapan ultra violet, kolom fase balik
(Phenomenex, C 18, Bondclone, 3,9 x 300 mm,
ukuran partikel 10 m), kolom fase diam, dan
peralatan penunjang penelitian lainnya.
Metode Penelitian
1. Penyiapan bahan dan praperlakuan sampel
Pada penelitian ini dilakukan penyiapan bahan
yang murni yaitu larutan standar spesi iodium ( I -
dan IO3-), sampel simulasi garam beriodium dan
sediaan makanan (sayur asam dan sayur
bayam), kemudian dilakukan pengujian dan
pengukuran dengan metode kromatografi cair
kinerja tinggi pasangan ion, selanjutnya
dilakukan perhitungan dengan metode statistik.
Selain penyiapan bahan untuk sampel, juga
disiapkan pereaksi untuk analisis seperti
pereaksi ion lawan tetrabutil amonium klorida,
larutan dapar kalium dihidrogen fosfat dan
metanol. Semua sampel yang akan dianalisis
dilakukan praperlakuan secara khusus untuk
memisahkan senyawa dalam sampel yang akan
dianalisis dari bahan-bahan lain yang akan
menimbulkan gangguan pada saat dilakukan
pengujian dan pengukuran.
Kemudian dilakukan penyaringan vakum
dengan menggunakan kertas saring khusus
(0,22 dan 0,45 μm) dan dilakukan sentrifugasi
bila perlu. Hal tersebut dilakukan pada kondisi
sampel tidak berubah (stabilitas sampel).
2. Kondisi optimum kromatografi
Kondisi optimum yang digunakan pada
penelitian ini adalah komposisi fase gerak
(metanol : dapar KH2PO4 0,01 M = 10 : 90), jenis
dan konsentrasi ion lawan adalah tetrabutil
ammonium klorida (TBAK) 0,001 M, pH
optimum 7,0, kondisi suhu percobaan 27oC, laju
alir = 1 ml/menit, detektor ultra violet 226 nm
dan jenis kolom fase balik (Phenomenex,
Bondclone, C 18, ukuran 300 x 3,9 mm, ukuran
partikel 10 m).
3. Penentuan pengaruh lama pemasakan terhadap kestabilan garam beriodium dalam sediaan makanan
Ditimbang masing-masing kurang lebih 5,00 g
garam beriodium 74,85 bpj dan 82,38 bpj,
80
Kestabilan Garam Beriodium Dalam Sediaan Makanan Selama Proses Pemasakan
dicampurkan ke dalam sediaan makanan
sebanyak 500 mL (sayur asam dan sayur
bayam) bersama bumbu-bumbu dalam labu
erlenmeyer 1000 mL, kemudian dilakukan
pemasakan sampai masak/siap saji (selama ±
70 menit). Sampel diambil dari awal sampai
akhir pemasakan setiap 5 menit sekali sebanyak
50 mL untuk dilakukan pengujian dan
pengukuran.
Setiap pengambilan sampel diikuti dengan
penambahan kembali aquabides sebanyak 50
mL supaya volumenya tetap konstan. Hasil
pengukuran dan perhitungan pengaruh lama
proses pemasakan terhadap kestabilan garam
beriodium (sebagai iodat) dalam sayur asam
disajikan pada Tabel 1, 2, 3.
Tabel 1 Hasil pengujian pengaruh lama pemasakan terhadap kestabilan
garam beriodium (sebagai iodat) dalam sayur asam
Lama proses pemasakan (menit)
Kadar iodatyang didapat
(mg L-1)
Kadar iodidayang terbentuk
(mg L-1)
NisbahI- / IO3
-
0 66,73 0,72 0,01085 65,02 0,36 0,0055
10 62,29 0,33 0,005315 60,59 0,3 0,005020 59,11 0,24 0,004125 51,81 0,22 0,004230 51,45 0,19 0,003735 51,13 0,19 0,003740 49,89 0,18 0,003645 47,59 0,18 0,003850 42,51 0,17 0,004055 39,65 0,17 0,004360 39,14 0,14 0,003665 38,35 0,15 0,003970 38,33 0,14 0,0037
Tabel 2Hasil pengukuran dan pengujian kadar iodium (I2) yang terbentuk
selama pemasakan sediaan makanan
Absorban sampel Kadar iodium (I2) yang didapat(mg L-1)
0,7646 41,790,7598 41,46
Rata-rata 41,68
81
Infomatek Volume 9 Nomor 2 Juni 2007 : 77 - 86
Tabel 3Hasil pengujian pengaruh lama proses pemasakan terhadap kestabilan
garam beriodium (sebagai iodat) dalam sayur bayam
Lama proses pemasakan (menit)
Kadar iodatyang didapat
(mg L-1)
Kadar iodidayang terbentuk
(mg L-1)
NisbahI- / IO3
-
0 71,73 7,12 0,09935 69,02 6,36 0,0921
10 67,89 5,33 0,078515 66,29 5,13 0,077420 64,19 4,97 0,077425 62,78 4,72 0,075230 58,65 4,59 0,078335 57,43 4,39 0,076440 55,93 4,18 0,074745 53,29 3,98 0,074750 51,87 3,77 0,072755 50,86 3,56 0,070060 49,74 3,53 0,071065 49,35 3,49 0,070770 48,98 3,54 0,0723
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh waktu pemasakan terhadap
kestabilan iodat dalam sediaan makanan (sayur
asam dan sayur bayam), menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata terhadap penurunan
kadar iodat. Persentase penurunan kadar iodat
tertinggi terjadi pada sayur asam yaitu 48,52%,
sedangkan pada sayur bayam 34,62% selama
pemasakan 70 menit pada suhu 100oC, seperti
yang terlihat pada Tabel 1, 3.
Terjadinya penurunan kadar iodat selama
proses pemasakan diikuti pula dengan
terbentuknya spesi iodium lain yaitu iodida (I-)
dan iodium (I2), hal ini terbukti dari kromatogram
yang dihasilkan terdapat dua puncak dengan
waktu retensi yang berbeda.
Menunjukkan adanya pemisahan antara IO3-
(sisa) dan I- (Gambar 1), sedangkan I2 yang
menguap dapat ditampung dalam alat khusus
yang telah dirancang (Gambar 2) dan dapat
dideteksi melalui spektrofotometri ultra violet
atau dengan kromatografi cair kinerja tinggi
yang sebelumnya direduksi dahulu menjadi
iodida (I-). Penurunan kadar iodat dan terjadinya
spesiasi iodium ini tidak terlepas dari pengaruh
sifat keasaman sediaan makanan, kandungan
air dan proses pemanasan saat dimasak, selain
itu dipengaruhi juga oleh jenis bumbu masak
dan bahan pangan mentah yang digunakan.
Dalam bumbu masak (seperti cabai, merica,
ketumbar, lengkuas, kencur, asam) dan bahan
baku sayur asam maupun bayam terdapat
senyawa reduktor seperti senyawa fenolik dan
adanya senyawa anti tiroid seperti tiosianat.
82
Kestabilan Garam Beriodium Dalam Sediaan Makanan Selama Proses Pemasakan
Menurut, Dahro [6], pada masakan tipe
bersantan yang dimasak sampai kering
kerusakan iodatnya cukup tinggi, karena santan
kering bersifat seperti minyak yang
menyebabkan suhu pemasakan menjadi lebih
tinggi. Pada sayur asam penurunan iodat
56,63% dengan suhu pengolahan 100oC dan
lama pengolahan 35 menit dan pada soto
santan penurunan iodat 39,48% suhu
pengolahan 105oC dan waktu pengolahan 55
menit.10
Terjadinya penguraian iodat menjadi spesi
iodium lain (iodida dan iodium) dalam bumbu
dapur dapat disebabkan oleh tereduksinya iodat
oleh senyawa-senyawa pereduksi dalam bumbu
dapur pada suasana asam. Suasana asam
pada bumbu dapur dapat diketahui dari pH
bumbu dapur yang bersifat asam, seperti cabai
memiliki pH yang paling rendah yaitu sekitar
empat. Itulah sebabnya mengapa cabai memiliki
kemampuan untuk menurunkan kandungan
iodat paling besar dibanding ketumbar atau
merica.
Terbentuknya iodida pada proses ini dapat
teroksidasi oleh zat oksidator yang terdapat
dalam sampel menjadi iodium (I2) yang mudah
menguap, iodium ini merupakan oksidator
lemah yang kemungkinan dapat tereduksi
kembali menjadi iodida sebagai pereaksi
pengadisi yang dapat bereaksi dengan
senyawa-senyawa yang mempunyai ikatan
rangkap melalui reaksi adisi. Adanya reaksi
adisi ini dapat terikat dengan senyawa lain, hal
ini yang menyebabkan kadar iodat menjadi
berkurang selama proses pengolahan, selain itu
disebabkan juga oleh terbentuknya iodium (I2)
yang mudah menguap. Potensial reduksi dari
zat reduktor tersebut tidak terlalu kuat sehingga
penguraian iodat dalam bumbu dapur tidak
terlalu besar. Seperti yang kita ketahui bumbu
dapur yang digunakan mengandung senyawa-
senyawa kimia yang begitu kompleks, apalagi
cabai yang mempunyai rumus kimia panjang,
sehingga penambahan asam kuat sebagian
besar iodat tidak terurai bebas. Atau dengan
kata lain iodat akan bereaksi dan diubah
menjadi bentuk spesi iodium lain, akibatnya
tidak bisa terdeteksi dengan titrasi maupun
kolorimetri.
Garam beriodium yang telah mengalami
penguraian menjadi iodida masih dapat
digunakan sebagai sumber asupan iodium,
walaupun tidak memenuhi persyaratan sebagai
iodat, akan tetapi spesi iodium yang
dimetabolisme di dalam tubuh adalah dalam
bentuk iodida. Terdeteksinya spesi iodida dalam
garam beriodium tersebut kemungkinan dapat
disebabkan oleh terjadinya penguraian iodat
menjadi iodida. Kestabilan iodat pada garam
dapur tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh
kondisi penyimpanan dan cara
pengolahan/penanganan yang kurang tepat, [3].
Hasil penelitian lainnya telah dirancang alat
sederhana (Gambar 2) yang dapat digunakan
83
Infomatek Volume 9 Nomor 2 Juni 2007 : 77 - 86
untuk menampung dan mendeteksi senyawa
iodium (I2) yang menguap dari garam beriodium
pada saat proses pengolahan makanan atau
pemasakan. Dengan dihasilkannya kadar
iodium yang menguap sebesar 41,68 mg L-1
(setara dengan kadar iodat 28,72 mg L-1) pada
saat pemanasan/pemasakan dengan
menggunakan alat sederhana yang telah
dirancang, hal ini terbukti adanya penurunan
kadar iodium dengan jumlah yang signifikan.
Selain itu dapat menjawab masalah perbedaan
pendapat (kontroversi) mengenai penurunan
kandungan iodat dalam garam beriodium yang
dicampur ke dalam makanan selama
pemasakan.
Gambar 1Kromatogram larutan standar campuran iodat dan iodida 0,75 mg L-1
dalam matriks natrium klorida 0,1 M
84
Kestabilan Garam Beriodium Dalam Sediaan Makanan Selama Proses Pemasakan
Gambar 2Alat Penampung Iodium (I2) yang menguap pada proses pemasakan.9
Keterangan :1. Larutan sampel2.a. Larutan KI 10% (pelarut I2) b. Labu penampung I2 (g)3. Plat pemanas dan pengaduk magnet4. Kran pengeluaran sampel dan pemasukan sampel5. Lubang pengeluaran sampel6. Lubang pemasukan pelarut (air)7. Penghisap sampel
IV. KESIMPULAN DAN SARAN4.1 Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kandungan iodium (sebagai iodat) dalam
sayur asam mengalami penurunan 48,52 %
dan dalam sayur bayam 34,62 %.
2. Hasil penelitian lainnya telah dirancang alat
sederhana yang dapat digunakan untuk
menampung dan mendeteksi senyawa
iodium (I2) yang menguap dari garam
beriodium pada saat proses pemasakan.
3. Selain itu dapat menjawab masalah
perbedaan pendapat (kontroversi) mengenai
penurunan kandungan iodat dalam garam
beriodium yang ditambahkan ke dalam
makanan selama pemasakan.
85
Infomatek Volume 9 Nomor 2 Juni 2007 : 77 - 86
4.2 Saran1. Penelitian yang belum dilakukan lebih lanjut
adalah mengenai mekanisme penguraian
iodat menjadi spesi iodium lain yang terikat
oleh zat lain yang terdapat dalam makanan
yang dimasak, untuk itu perlu dilakukannya
pengkajian lebih lanjut.
2. Perlu dilakukan pengujian dan penelitian
lebih lanjut terhadap jenis sediaan
makanan lainnya dengan menggunakan
metode analisis yang sama.
3. Spesi iodium lain yang tidak dapat
ditentukan dalam penelitian ini di antaranya
adalah metaperiodat (IO4-) dan hipoiodit (IO)
karena ketidakstabilan spesi iodium
tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada (1) International Foundation for Science (IFS) Swedia yang telah mendanai penelitian ini melalui Research Project of First IFS Research Grant, dengan Kontrak Nomor E/3843-1, tanggal 13 Juni 2005. (2) Organisation For The Prohibition of Chemical Weapons (OPCW), Johan de Wittlaan 32, 2517 JR-The Hague The Netherlands, sebagai salah satu pendonor IFS.
V. DAFTAR RUJUKAN
[1] Saksono, N., (2003), Stabilitas Iodium
pada Cabai Ketumbar dan Merica, J.
GAKY Indones., Vol. 4, No. 2., ISSN
1421-5951.
[2] Arhya, I.N., (1998), Kehilangan Iodium
pada Garam Iodium yang Dicampur Cabai
dan Terasi, Medika, No. 4 Tahun XXIV.
[3] Diosady, L.L., Alberti, J.O., Venkatesh
Mannar, M.G., Stone, T. (1998), Stability
of Iodine in Iodized Salt Used for
Correction of Iodine Deficiency Disorders
II, Food Nutr. Bul., 19 (3), 239-249.
[4] Bhatnagar, A., Maharda, N.S., Ambardar,
V.K., Dham, D.N., Magdum, M., Sankar,
R. (1997), Iodine Loss from Iodised Salt
on Heating, Indian J. Pediatr, 64(6), Nov-
Dec, 883-885
[5] Wang, G.Y., Zhou, R.H., Wang, Z., Shi L.,
Sun M. (1999), Effects of Storage and
Cooking on the Iodine Content in Iodized
Salt and Study on Monitoring Iodine
Content in Iodized Salt, Biomed. Environ.
Sci. 12 (1), Marc, 1-9
[6] Dahro, A.M., (1996), Kestabilan Iodium
pada Berbagai Tipe dan Resep Makanan,
Puslitbang Gizi, Dep. Kes. RI., Bogor.
86