White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018 A. … · PLTBg (biogas), PLTA Laut paling tinggi...
Transcript of White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018 A. … · PLTBg (biogas), PLTA Laut paling tinggi...
White Paper Komisi Energi PPI Dunia 2017-2018
A. PENDAHULUAN
Ketahanan Energi merupakan satu dari 11 program Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
dari pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini adalah Kementrian Perencanaan Pembangunan
Nasional/ BAPENNAS (Bapennas, 2017). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli
membuktikan bahwa peningkatan penggunaan energi selaras dengan peningkatan perekonomian
(GDP) suatu wilayah (Stern & Cleveland, 2004), sehingga dapat dikatakan bahwa ketahanan
energi merupakan salah satu bagian penting terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi,
peningkatan penggunaan energi juga akan berdampak langsung terhadap lingkungan. Seperti apa
yang terjadi di Cina (Tiongkok) pada tahun 1990 hingga 2012, dimana terjadi pertumbuhan GDP
secara signifikan selaras dengan peningkatan konsumsi energi yang berdampak langsung terhadap
peningkatan emisi karbon (Wang, 2016). Salah satunya disebakan karena tingginya penggunaan
batubara sebagai pembangkit tenaga listrik di Tiongkok.
Gambar 1. Grafik pertumbuhan ekonomi (GDP), konsumsi energi (EC), dan emisi karbon CO2 (CE) di Tiongkok
dari tahun 1990 hingga 2012 (Wang, 2016).
Pada tahun 2030 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara yang memiliki PDB
(Pendapatan Domestik Bruto) terbesar ke 5 di Dunia, dengan syarat selama didukung oleh
konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program jangka panjang terkait peningkatan kualitas
SDM, pembangunan infrastruktur, serta adanya stabilitas politik, dimana energi sendiri merupakan
bagian dari pembangunan infrastruktur.
1. Kebijakan Energi Nasional
Menurut PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pada tahun 2025
penggunaan energi baru dan terbarukan di Indonesia paling sedikit adalah 23 %, serta terpenuhinya
penyediaan kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2025 sekitar 115 GW (Gigawatt). Sedangkan
pada November 2016 pemerintah Indonesia melalui Paris Agreement telah sepakat bahwa akan
mengurangi produksi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 29% tanpa bantuan internasional
atau 41% dengan bantuan internasional.
Melihat kondisi diatas, maka solusi yang paling ideal adalah dengan menggunakan energi
yang murah serta ramah lingkungan. Akan tetapi saat ini harga energi terbarukan masih relatif
lebih mahal jika dibandingkan dengan energi konvensional berbasis fosil yang digunakan saat ini,
sehingga energi terbarukan masih sulit berkembang. Selain itu, beberapa hal teknis juga ikut
berpengaruh terhadap rendahnya jumlah penggunaan energi terbarukan seperti; produksi listrik
yang tidak stabil, jumlah pasokan listrik yang dihasilkan masih sangat rendah, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dari berbagai macam pihak seperti peneliti (lembaga
penelitian dan universitas), pengguna (industri, lembaga pendidikan & penelitian, serta
masyarakat) yang dikomandoi oleh pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber
Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, menjelaskan bahwa pemerintah mentapkan
taris listrik yang berasal dari PLTS Fotovoltaik (sel surya), PLTB (angin), PLTBm (biomassa),
PLTBg (biogas), PLTA Laut paling tinggi sebesar 85% dari BPP Pembangkitan di sistem
ketenagalistrikan setempat, sedangkan jika BPP setempat sama atau dibawah rata-rata BPP
nasional, maka harga pembelian listrik dari sumber tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan
para pihak. Sedangkan untuk PLTA (aliran sungai, waduk, bendungan), PLTSa (sampah
perkotaan), dan PLTP (panas bumi), harga listrik paling tinggi paling tinggi sama dari BPP
Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat, sedangkan jika BPP setempat sama atau
dibawah rata-rata BPP nasional, maka harga pembelian listrik dari sumber tersebut ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak. Dalam hal ini pemerintah telah mengatur harga listrik yang
berasal dari energi terbarukan, akan tetapi jaminan investasi dari pemerintah juga sangat penting
guna mendorong pembangunan pembangkit listrik yang berasal dari energi baru terbarukan.
Sebagai contoh; biaya investasi eksplorasi untuk panas bumi sangatlah tinggi, sedangkan disatu
sisi eksplorasi lapangan panas bumi tidak dapat dijamin 100% berhasil atau bisa dikatakan 50:50
antara tingkat keberhasilan dan tingkat kegagalan.
2. Diversifikasi Energi di Indonesia
Jika dilihat dari letak geografisnya, Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga wilayah;
a. Metropolitan, Daerah Industri, dan Perkotaan Besar.
b. Wilayah Kabupaten dan Kota.
c. Wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Dimana tiap-tiap wilayah memiliki kondisi infrastruktur dan kebutuhan energi yang berbeda-beda.
Sehingga perlu adanya diversifikasi energi yang berlandaskan pada kearifan lokal. Sehingga
penggunaan potensi energi dari masing-masing wilayah dapat dioptimalkan, yang salah satunya
berdampak terhadap rendahnya biaya infrastruktur energi tersebut. Jika memungkinkan,
pembangunan infrastruktur energi berskala kecil disuatu wilayah juga harus didukung oleh SDM
yang berasal dari wilayah tersebut agar lebih mudah dalam proses maintenance. Dalam
membangun infrastruktur energi juga perlu dilihat nilai keekonomian dari infrastruktur tersebut.
Nilai keekonomian yang dimaksud bukanlah harga listrik yang diproduksi akan lebih rendah dari
BPP nasional atau BPP wilayah tersebut, melainkan seberapa efektif kebutuhan penggunaan energi
tersebut sehingga dapat mendorong potensi perekonomian yang ada pada wilayah tersebut. Dari
hal yang telah disampaikan diatas bahwa antara kegiatan perekonomian, pendidikan dan
infrastruktur energi pada suatu wilayah sangatlah berkaitan erat (gambar 2).
Gambar 2. Hubungan antara pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur energi untuk tiap wilayah yang dijelaskan pada
gambar 3.
Gambar 3. Ketersediaan lahan dan konsumsi energi pada tiap-tiap wilayah.
Pada gambar 3 dapat dijelaskan bahwa pada daerah metropolitan, tingkat konsumsi energi
sangatlah tinggi dimana berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan yang sempit. Selain itu,
daerah industri juga membutuhkan supply listrik yang stabil. Sehingga pembangkit listrik yang
paling cocok digunakan untuk mensuplai listrik pada daerah tersebut adalah pembangkit listrik
berbasil fosil atau PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir). Perlu diingat juga bahwa pengguna
listrik tidak hanya oleh para pelaku industri, melainkan juga aktifitas penelitian seperti
laboratorium penelitian di universitas-universitas maupun lembaga penelitian yang juga
membutuhkan suply listrik yang besar dan stabil.
Jika kedepannya perkotaan besar yang ada di Indonesia mulai membangun transportasi
massal yang membutuhkan supply listrik yang besar, maka kebutuhan listrik akan menjadi lebih
krusial. Sedangkan untuk daerah kabupaten atau kota kecil yang notabenya tidak membutuhkan
daya yang cukup besar, maka pembangkit listrik dengan daya skala menengah lebih dibutuhkan
guna menghindari kelebihan supply, kecuali kelebihan supply tersebut dapat disalurkan pada
daerah sekitar yang lembih membutuhkan.
Untuk daerah 3T yang pada dasarnya hanya membutuhkan supply listrik berskala kecil,
maka pembangkit listrik seperti microhidro, biogas, dan sel surya lebih tepat untuk digunakan
bergantung potensi lokal yang ada, sehingga tidak akan sulit dalam proses pemeliharaanya.
Oleh karena itu diversifikasi energi menjadi solusi bagi pembangunan infrastruktur di
Indonesia yang memiliki kondisi wilayah yang berbeda beda.
B. TEKNOLOGI PANEL SURYA
1. Teknologi Concentrated Solar Panel (CSP)
Terdapat dua tipe teknologi panel surya untuk memproduksi listrik yaitu Concentrated
Solar Power (CSP) dan Photovoltaic (PV). Teknologi dasar dari CSP adalah penggunaan cermin
untuk merefleksikan radiasi matahari ke satu titik pusat dimana energi listrik akan dihasilkan.
Radiasi matahari yang terkumpul di titik pusat ini akan diubah menjadi energi panas yang
kemudian akan diubah ke energi listrik (IEA, 2014). CSP sendiri dibagi menjadi empat jenis. Jenis
pertama adalah Linear Fresnel Reflector (LFR) dimana cermin akan merefleksikan radiasi
matahari ke satu tabung pusat yang terletak sejajar dengan cermin reflector. Kelemahan dari LFR
adalah rendahnya produksi energi apabila terdapat bayangan dari sinar matahari dan cermin-
cermin di sekitar titik pusat (Mills & Morrison, 2000). Jenis kedua adalah Parabolic Through (PT)
dimana tabung pengumpul radiasi matahari terinstall di setiap reflector. LFR dan PT merupakan
teknologi CSP yang menggunakan titik pusat yang terpasang secara linear (Gharbi, et al, 2011).
Teknologi ketiga adalah Central receiver dimana tabung pengumpul merupakan menara pusat
tunggal yang terletak di depans atau di tengah-tengah cermin reflector atau biasa disebut heliostat
dalam teknologi ini. Energi panas yang dihasilkan oleh Menara ini dapat mencapai 500-1000oC.
Kelemahan dari system ini adalah aabila energi panas yangterkumpul lebih dari 600oC, efisiensi
system akan cenderung semakin rendah (Ho and Iverson, 2014). Teknologi keempat dari CSP
adalah Parabolic Dish Collector (PDC) dimana titik pusat terdapat di masing-masing parabola
(Wu, et al, 2010). Ilustrasi keempat jenis tersebut terdapat di Gambar 1.
Gambar 1 Empat jenis CSP (IEA, 2014)
Untuk menghasilkan energi listrik, CSP membutuhkan Direct Normal Irradiation (DNI)
yang sangat tinggi karena titik pusat dari CSP memiliki sudut penerima yang cukup kecil (Blanc
et al., 2014). Definisi dari DNI sendiri adalah jumlah solar radiasi yang diterima oleh suatu
permukaan yang terletak tegak lurus dengan sudut datangnya sinar matahari. Sudut optimal
penerima DNI oleh suatu lensa dapat diukur oleh pyrheliometer (Gueymard & Ruiz-Arias, 2015).
Angka DNI yang dpat diterima oleh CSP di Indonesia tidak terlalu tinggi (Jacobson & Delucchi,
2011; Trieb, et al., 2009). Oleh karena itu, steknologi ini tidak dapat menghasilkan enerhi listrik
secara optimal jika diterpkan di Indonesia. Selain itu, biaya pembuatan dan perawatan CSP juga
cukup tinggi (Khan & Arsalan, 2016).
Gambar 2 Jumlah DNI tahunan di dunia (Trieb et al., 2009)
Teknologi kedua dari panel surya adalah photovoltaic (PV). Teknologi ini dapat mengubah
sinar matahari secara langsung menjadi energi listrik (Lasnier & Gan Ang, 1990). Terdapat dua
jenis PV dalam hal instalasinya; PV yang posisinya akan tetap sama dan PV yang disertai dengan
tracking system. Jenis kedua memiliki potensi produksi listrik yang lebih tinggi karena panel surya
akan mengikuti arah radiasi matahari. Akan tetapi, teknologi ini membutuhkan area yang lebih
luas daripada teknologi pertama. Teknologi PV ini merupakan teknologi panel surya yang cocok
diterapkan dalam skala kecil seperti perumahan (El-Baz, et al., 2018).
Berdasarkan Khan dan Arsalan (2016), CSP dan PV memiliki keuntungan dan kelemahan
masing-masing dalam hal efisiensi, ekonomi, dan penerimaan masyarakat luas seperti pada Tabel
1.
Tabel 1 Perbandingan antara CSP dan PV
Perbandingan CSP PV
Efisiensi Memiliki efisiensi tahunan yang lebih tinggi dalam penerapan skala besar
Memiliki efisiensi tahunan yang lebih tinggi dalam penerapan skala kecil
Ekonomi Lebih mahal daripada PV dalam hal pembangunan, namun menghasilkan energi listrik lebih banyak dan lifetime lebih lama daripada PV
Lebih murah dalam hal pembangunan dan perawatan untuk skala rumah tangga
Perimaan masayarakat Lebih banyak digunakan sebagai pembangkit listrik utama dan di bidang komersial
Lebih banyak digunakan masyarakat sebagai rooftop PV
2. Perkembangan di Dunia
Berdasarkan pemetaan penggunaan energi terbarukan di dunia oleh IEA (2016),
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan sumber energi terbarukan keempat yang
paling banyak digunakan di dunia setelah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), bio-energi, dan
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Penggunaan PLTS telah menigkat lebih dari 10% sejak
tahun 2000 hingga 2015 (Gambar 3).
Gambar 3 Peningkatan penggunaan energi matahari tahun 1990 hingga 2015 (IEA, 2016)
Mudahnya instalasi dan perawatan PV merupakan salah satu alasan menigkatnya
presentase penggunaan PV secara global (Gambar 4). Eropa merupakan konsumen terbesar dalam
hal penggunaan energi listrik dari radiasi matahari sejak tahun 2010. Sedangkan Amerika Serikat
(AS) merupakan konsumen energi matahari terkecil karena tingginya biaya untuk instalasi,
regulasi, perawatan, dan lain-lain (IEA, 2016). Meskipun demikian, AS tetap mengunggulkan
teknologi energi matahari. Meskipun regulasi pemasangan PV panel di AS sangat ketat, negara ini
memprediksi bahwa solar panel akan berkontribusi sebesar 10% dalam memproduksi energi listrik
pada tahun 2025, 8% dari persentase tersebut datang dari PV panel dan sisanya dari CSP (Solangi,
et al., 2011).
Menurut Zhang, et al., (2015), harga instalasi solar panel berteknologi PV untuk skala kecil
telah menurun sebesar $3/W sejak tahun 2006 hingga 2012. Hal ini juga didukung dengan
meningkatnya efisiensi panel sebesar 17.5% pada tahun 2013. Keuntungan ekonomi juga didapat
dari penggunaan PV panel. Dengan menggunakan PV panel yang berkapasitas 690 KW dengan
lifetime selama 25 tahun, masyarakat dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1178 MWh per
tahun. Meskipun biaya pemasangan PV panel sangat besar, biaya ini akan kembali pada tahun
ketiga pemakaian PV panel. Hal ini telah diuji oleh (Hosenuzzaman et al., 2015).
Gambar 4 Akumulasi tahunan jumlah instalasi PV dan energi listrik yang dihasilkan (Parrado, et al. 2016)
Di sisi lain, CSP juga mengalami peningkatan pesat sebagai pembangkit listrik skala besar
Gambar 5. Vallentin & Viebahn (2010) dan Viebahn, et al. (2011) merangkum potensi CSP hingga
tahun 2050 secara global yang didasarkan pada regulasi dan insentif nasional. Jumlah produksi
listrik tahunan dari CSP dapat meningkat empat kali lipat dari eksisting. Teknologi PT diprediksi
masih menjadi teknologi CSP terfavorit pada tahun 2050. Spanyol dan AS merupakan penghasil
listrik dari SCP terbesar di dunia pada tahun 2007 hingga 2012 (Shouman & Khattab, 2015).
Jika angka DNI di suatu negara cukup tinggi seperti di Mesir dan Spanyol, teknologi ini
dapat menghasilkan insentif yang cukup tinggi. Dengan meningkatnya produksi global CSP dari
tahun 2010 hingga 2050, harga energi listrik yang harus dibayarkan juga akan semakin menurun
karena energi listrik akan berasal dari energi terbarukan yang dapat dihasilkan setiap saat (Trieb,
et al., 2011).
Gambar 5 Akumulasi tahunan jumlah instalasi CSP dan energi listrik yang dihasilkan (Parrado et al., 2016)
Gambar 6 Penurunan harga produksi CSP dibandingkan dengan pertumbuhan global kapasitas instalasinya
Shouman dan Khattab (2015), membuktikan bahwa penggunaan CSP dapat menekan biaya
pembangunan, perawatan, dan produksi energi listrik dibandingkan dengan biaya yang harus
dibayar dalam penggunaan energi listrik dari system konvensional yang menggunakan bahan bakar
fosil. Analisa biaya ini biasa disebut Levelized Cost of Energy (LCOE). Dengan level DNI suatu
negara yang mencapai 2500 kWh/m2/tahun, negara tersebut dapat menekan biaya pengeluran
sebesar 70% pada tahun 2050.
3. Perkembangan di Indonesia
Data dari IEA yang dapat diunduh di
http://www.iea.org/stats/WebGraphs/INDONESIA4.pdf menunjukkan bahwa Indonesia masih
menggunakan sumber energi tidak terbaharukan sebanyak 50% dari total hingga tahun 2015.
Berdasarkan hasil simulasi dari REmap yang dilakukan oleh International Renewable Energy
Agency (2017), produksi PLTS Indonesia dapat mencapai 3.1 GW/tahun dan mencapai 8% dari
total produksi listrik Indonesia tahun 2030.
Hingga tahun 2016, kapasitas PLTS yang sudah disediakan oleh pemerintah Indonesia
hanya mencapai 16 MW dan tersebar di 34 provinsi (Gambar 7). 50% dari kapasitas tersebut
dikelola oleh Perusahaan Listrik Nasional (PLN) (Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, 2017). Dari
ke-34 provinsi tersebut, Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki potensi tenaga surya
tertinggi (Ditjen EBTKE ESDM, 2016). Sebaran tenaga surya di Indonesia telah dilaporkan dalam
Jonan et al. (2016) yang juga merupakan hasil analisa dari Soekarno et al. (2014).
Indonesia menargetkan untuk memperoleh energi listrik sebesar 260,3 MW dari PLTS
pada tahun 2019 (Gambar 8). PLTS non-APBN merupakan penyumbang terbesar dari rencana
kapasitas terpasang tersebut. PLTS APBN akan dikonstrasikan dalam pembangunan rooftop PV
di Gedung pemerintahan dan bandara. Untuk mencapai target tersebut, terdapat 80 lokasi yang
tersebar di pulau-pulau Indonesia yang akan dibangun PLTS dengan total kapasitas terpasang
sebesar 140 MW (Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, 2015).
Gambar 7 Detail kapasitas terpasang tahunan dan produksi listrik dari PLTS yang dikelola oleh PLN dan pribadi (Ditjen Ketenagalistrikan ESDM, 2017)
Gambar 8 Rencana Strategis KESDM dalam peningkatan produksi listrik dari PLTS. Sumbu x merupakan kapasitas terpasang dalam MW (Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam, 2015)
4. Instalasi di Indonesia
Sebagaimana telah dipaparkan oleh Trieb et al. (2009), potensi Indonesia dalam
meningkatkan penggunaan system CSP tidak terlalu tinggi karena rendahnya angka DNI tahungan
sebagai input utama. Sebaliknya, potensi system PV di Indonesia sangat tinggi karena tingginya
angka Global Horizontal Irradiance (GHI). Untuk mempermudah perhitungan estimasi potensial
PV, beberapa riset di dunia telah memetakan lokal dan global solar radiasi seperti yang dilakukan
oleh Šúri, et al. (2005) dalam skala Eropa dan World Bank Group (2016) dalam skala global.
Indonesia sendiri telah memiliki peta potensi energi surya yang telah dipublikasikan oleh Soekarno
et al. (2014) di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi
Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE), Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia.
Pemasangan panel surya di atap rumah, apartemen, dan gedung-gedung tinggi merupakan
salah satu upaya untuk mengoptimalkan produksi listrik di kota-kota besar. Jakarta dapat
digunakan sebagai salah satu area studi. Apabila teknologi rooftop PV ini diaplikasikan,
potensinya dapat mencapai sekitar 0,55 MW/km2. Perhitungan ini menggunakan formula dari
Perpiñan, et al. (2007) dimana fluktuasi temperatur dapat mengurangi produksi panel surya sebesar
4%. Data temperatur yang digunakan dalam perhitungan ini merupakan data bulanan DKI Jakarta
yang dapat diunduh secara gratis di http://dataonline.bmkg.go.id/ (BMKG, 2015) dan data radiasi
diekstrak dari peta solar radiasi dari World Bank Group (2016).
Dengan estimasi luas per rumah di Jakarta adalah 100 - 200 m2, terdapat 10.000 rumah
dalam 1 km2 yang dapat memproduksi energi listrik sebesar 55 Wh per rumah. Jika angka ini
diakumulasikan dalam satuan bulan, maka setiap rumah dapat menghasilkan daya sebesar 39,6
kWh dan dapat menghemat pengeluran rumah tangga untuk listrik sebesar Rp 55.000,00 per bulan
jika tarif listrik rumah tangga adalah Rp 1.352,00 (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Republik Indonesia, 2016).
Gambar 9 Peta Potensi Energi Surya di Indonesia yang dapat digunakan sebagai acuan pembangunan PLTS di Indonesia (Soekarno et al., 2014)
Pemilihan lokasi pemasangan panel surya dapat mengacu juga pada peta potensi PV dari
World Bank Group (2016). Area yang memiliki potensi PV tertinggi merupakan area pesisir
dimana kota-kota besar Indonesia berada.
Legend
Potensi PV (kWh/kWp)
ValueHigh : 4.95
Low : 0.8 Ü 0 400 800 1,200 1,600200Kilometers
C. POTENSI ENERGI NUKLIR NASIONAL
1. Kebijakan Pemerintah di Indonesia
Mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional (KEN) pada tanggal 17 Oktober 2014
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. Dasar penerbitan Peraturan
Pemerintah atau PP ini adalah pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007.
KEN yang ditetapkan tersebut juga sudah mendapat persetujuan DPR melalui Keputusan
DPR Nomor 01/DPR RI/III/2013-2014. Sebagaimana diketahui bahwa KEN merupakan
pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian
energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional
berkelanjutan.
Tabel 2. Sasaran yang diamanatkan dalam KEN [RUEN, pp. 12-23].
Tabel di atas menjelaskan bahwa sampai saat ini kita masih mengandalkan energi fosil
yang kontribusi sebesar 95%. Sementara energi baru dan energi terbarukan (EBT) yang
tidak akan habis baru mampu berkontribusi sebesar 5% dalam bauran energi nasional.
Namun demikian, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah ditetapkan bahwa
Pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan EBT. Jika pada tahun 2015, kontribusi
EBT baru mencapai 5%, maka pada tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan
naik lagi menjadi lebih dari 31% pada tahun 2050. Sedangkan kontribusi gas relatif stabil,
berkisar sekitar 23%. Untuk batubara akan meningkat dari 25% pada tahun 2015 menjadi
lebih dari 30% pada tahun 2025, tetapi setelah itu dikurangi sehingga menjadi sekitar 25%
pada tahun 2050. Khusus untuk minyak bumi telah ditargetkan untuk dikurangi
peranannya setiap tahun. Jika pada tahun 2015 kontribusinya mencapai 46%, maka angka
tersebut akan turun menjadi kurang dari 25% pada tahun 2025, dan terus menurun
sehingga menjadi kurang dari 20% pada tahun 2050. Beranjak dari hal ini, jika pemenuhan
EBT tidak tercapai maka opsi pembangunan PLTN yang dipaling akhirkan harus segera
dipertimbangkan dan dilaksanakan. Sesuai dengan definisi “Energi nuklir yang
dimanfaatkan dengan mempertimbangkan keamanan pasokan Energi nasional dalam skala
besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi Energi Baru dan Energi
Terbarukan sesuai nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya sebagai pilihan
terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat. Penjabaran lebih lanjut
energi nuklir sebagai pilihan terakhir akan disusun dalam roadmap implementasi PLTN
dengan mempersiapkan aspek teknologi, jenis bahan bakar, lokasi, keselamatan,
pendanaan, dan kesiapan sumber daya manusia, disertai analisis multi kriteria” [Perpres
RI No. 22 Tahun 2017].
Di Indonesia, titik awal perkembangan ketenaganukliran nasional telah ada semenjak
era presiden pertama Indonesia, presiden Soekarno di tahun 1954. Pada tahun tersebut
presiden Soekarno membentuk Panitia Negara yang bertugas melakukan penyelidikan
adanya kemungkinan sisa zat radioaktif di wilayah NKRI akibat uji coba persenjataan.
Panitia Negara inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN). Perkembangan teknologi nuklir nasional terus mengalami pasang surut seiring
dinamika politik yang ada. Pada kesempatan tersebut turut dijelaskan juga standar
keselamatan berlapis yang diterapkan di seluruh fasilitas nuklir nasional. Demi menjamin
tingkat keselamatannya, sistem keselamatan ini distandardisasi menurut standar
internasional yang rutin diinspeksi berkala oleh badan atom internasional, International
Atomic Energy Agency (IAEA). Sampai dengan saat ini, BATAN telah mampu
menghasilkan beberapa produk terkait teknologi nuklir bernilai ekonomi tinggi yang aman
dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Turut dipaparkan juga bagaimana teknologi
tersebut sudah dimanfaatkan secara luas oleh negara-negara lain seperti di Vietnam,
Jepang, Pakistan, India dan Amerika dalam mendukung sektor pertanian, industri pangan
dan industri kesehatan mereka.
Isu pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi bahasan internasional, dan
hampir semua negara di dunia telah mencapai kesepakatan bersama untuk mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dalam sektor tenaga listrik, hal ini menunjukkan
peranan penting sumber energi dengan tingkat emisi karbon rendah seperti angin, surya,
dan nuklir untuk sepenuhnya menggantikan bahan bakar fosil di masa depan. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan nuklir memiliki peranan penting dalam bauran energi
dan tidak dapat diabaikan. Diversifikasi energi sangat diperlukan untuk ketahanan energi,
sebuah negara tidak dapat bergantung hanya pada satu sumber energi saja. Selain itu,
tenaga angin dan surya merupakan sumber energi yang tidak kontinu, sehingga diperlukan
sumber energi lain sebagai pendukung.
Penulis percaya bahwa opsi nuklir harus diupayakan demi sumber energi bebas karbon
yang berpotensi menjadi calon potensial dalam kebutuhan listrik pada beberapa dekade
mendatang. Untuk mengeksplorasi isu energi masa depan nuklir di Indonesia, prospek
nuklir di Indonesia ini memerlukan tiga skenario penting: 1) Perluasan teknologi nuklir ini
memerlukan pemahaman internal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir
melalui penelitian dan pengembangan. 2) Faktor penting untuk masa depan energi nuklir
adalah tata kelola stabilitas baik secara ekonomi maupun politik untuk mewujudkan masa
depan nuklir. Bagaimanapun juga, teknologi nuklir memiliki biaya kapital dan operasional
yang cukup tinggi dan akan harus didorong dengan usaha finansial yang baik pula. Untuk
melestarikan masa depan nuklir, banyak upaya diperlukan melalui keterlibatan pemerintah
dalam keselamatan sebagai aspek vital, masalah limbah, dan proliferasi internal yang baik
secara. 3) Penerimaan dan pemahaman publik untuk pengembangan teknologi nuklir
merupakan isu utama yang perlu ditekankan.
2. Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif (LIRA) di Indonesia
(BATAN)
Limbah radioaktif adalah zat radioaktif, bahan dan peralatan yang terkontaminasi,
bahan dan peralatan yang teraktivasi, dan tidak dapat digunakan lagi. Di Indonesia, limbah
radioaktif berasal reaktor riset yang berada di BATAN (Reaktor Bandung, Reaktor
Yogyakarta, Kawasn Nuklir Serpong, Kawasan Nuklir Pasar Jumat), serta rumah sakit,
industry, dan lembaga penelitian yang menggunakan material/ isotop radioaktif. Jenis dari
LIRA sendiri dapat dilihat pada gambar 1.
Beberapa fakta mengenai kepercayaan masyarakat ialah dengan bagiamana para ahli
dapat berperan untuk penanggulangan limbah atau sisa bahan radioaktif dari PLTN. Di
Indonesia, untuk pengolahan limbah yang sedang dikelola dan dikembangkan oleh
BATAN ialah proses pemrosesan kembali U-235 yang masih dapat digunakan
(Reprocessing).
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Jenis-jenis limbah radioaktif yang ditangani oleh BATAN (a). Zat radioaktif
terbungkus yang tidak digunakan; (b). Bahan bakar nuklir bekas; (c). Limbah terbuka
padat, cair dan semi cair.
Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara
insinerasi. Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk mereduksi volume limbah. Bila
limbah cair bersifat korosif maka limbah akan diolah melalui proses kimia sebelum
disementasi. Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan dengan
cara kompaksi. Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan
limbah aktivitas rendah (LAR) masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton, drum
beton, dan drum 200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses pengolahan ini diperlukan
suatu koordinasi kerja yang terpadu diantara tenaga yang terdiri dari proses, penunjang
sarana, keselamatan, laboratorium dan administrasi.
Saat ini Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) BATAN sudah memanfaatkan
50 persen dari kapasitas penyimpanan. Diperkirakan wadah penyimpanan dapat
menampung limbah hingga 20-30 tahun mendatang. Bahkan, teknologi terkini mampu
memanfaatkan bahan bakar sisa PLTN untuk digunakan kembali.
Pengelolaan LIRA oleh BATAN diatur oleh beberapa peraturan; UU No.10 th 1997
tentang Ketenaganukliran, PP 61 th 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, PP 58
th 2015 tentang Keselamatan dan keamanan Pengangkutan ZRA, Perpres No. 84/2010
“The Joint Convention on the safety of spent fuel management and on the safety of
radioactive waste management”, Perka Bapeten Nomor 16 Tahun 2012Tentang Tingkat
Klierens.
Selain itu, fasilitas yang dimiliki oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR)
antra lain: Evaporator, Chemical Treatment, Insinerator, Kompaktor, Imobilisasi/
Sementasi, Penyimpanan Sementara, Kanal Hubung – Instalasi Penyimpanan Sementara
Bahan Bakar Nuklir, Penyimpanan limbah B3 internal BATAN, Penyimpanan Sementara
Limbah Aktivitas Tinggi, Vaqua D Blast Abrasive System (sistem dekontaminasi/pengikis
permukaan logam), Mobil Pengangkut Limbah Cair, Semi Cair dan Padat, Sistem
Pemantau cuaca, Laboratorium Preparasi dan Analisis Limbah, Laboratorium Pengelolaan
Limbah dan Dekontaminasi, Laboratorium Disposal.
Gambar 2. Badan alur pengelolaan DSRS.
Gambar 3 Demo plan disposal pengelolaan LIRA 2015-2019.
Gambar 4. Skema manajemen pengelolaan LIRA.
Gambar 5 Alur pelimbahan eksternal ke PTLR.
Sumber mengenai pengeolaan LIRA: Webinar Tim Kajian Nuklir Komisi Energi PPI
Dunia Juli 2018. (https://youtu.be/NNJLhD1qAr0).
3. Analisa Keekonomisan PLTN
Biaya per unit listrik yang diproduksi (kWh) akan bervariasi disetiap lokasi,
tergantung pada biaya yang terpakai di daerah tersebut, pengaturan dan risiko keuangan
dan lainnya, serta jumlah ketersediaan. Biaya juga akan tergantung pada faktor geografis.
Jadi tidak mungkin untuk memperkirakan biaya umum secara akurat. Bagaimanapun juga,
ada 4 komponen biaya utama dalam penentuan levelised cost of electricity (LCOE): a)
Biaya kapital, meliputi biaya manufakturing dan pembangunan unit fasilitas, b) Biaya
operasional, yang pada umumnya sangat rendah bagi PLTN yang beroperasi, c) Biaya
eksternal, dan d) Biaya lain-lain. Sebagai contoh, berikut adalah analisis standard harga
PLTN dengan teknologi paling mutakhir. Tabel 2 dan Gambar 4 mengutip dari hasil studi
analisis studi biaya PLTN dengan teknologi reaktor maju dari lembaga Energy Options
Network. Dengan rata-rata daya PLTN adalah 830 MWe, rata-rata biaya kapital yang
diperkirakan ialah Rp 40T, rata-rata biaya operasi berkisar Rp 273/kWh, dan total estimasi
rata-rata biaya produksi listrik sekitar Rp 780/kWh.
Gambar 10. Analisis biaya kapital dan operasional PLTN teknologi reaktor maju
Gambar 11. Analisis biaya produksi listrik PLTN teknologi reaktor maju
4. Opini dan Informasi Publik
Berdasarkan survey yang dilakukan Tim Kajian Nuklir PPID pada tanggal 10
Oktober-13 November 2016 atas 566 pelajar Indonesia yang tersebar di 48 negara,
diketahui bahwa hanya 4,5% dari responden kami yang menyatakan sama sekali tidak
berminat terhadap potensi aplikasi nuklir di bidang apapun. Sementara 28.5% responden
menyatakan tertarik pada teknologi nuklir di bidang energi dan 67% responden
menyatakan tertarik pada pemanfaatan teknologi nuklir di bidang-bidang non-energi.
Seperti pada bidang medis (radiofarmaka, radioterapi), bidang lingkungan, bidang industri,
bidang pertanian, infrastruktur dan bidang industri manufaktur. Dari survey tersebut juga
diketahui bahwa mayoritas responden (66%) beranggapan bahwa energi nuklir paling
efisien dibanding energi alternatif lain yang tersedia. Lebih jauh, 57% dari responden kami
menyatakan setuju bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penggunaan teknologi
nuklir dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional.
Sebuah pencapaian yang memuaskan, ketika pelajar Indonesia di luar negeri ternyata
juga peduli dengan pemanfaatan energi nuklir di tanah air. 57% responden menyatakan
setuju bahwa Indonesia sudah saatnya menggunakan teknologi nuklir. Hal tersebut
berdasarkan berbagai pertimbangan, seperti sumber energi fosil bukanlah menjadi sumber
energi utama. Selain karena tingkat emisi karbon yang cukup tinggi dari proses yang
dihasilkan, tetapi juga karena keberadaannya yang semakin menipis di alam. Selain itu,
energi nuklir merupakan sumber energi alternatif yang terbukti paling efisien jika
dibandingkan sumber energi alternatif lainnya. Manfaat energi nuklir pun akan dapat
terlihat pada pasokan listrik di daerah, sekaligus dapat membuka lapangan kerja baru bagi
masyarakat Indonesia. Salah satu alasan yang pasti ialah responden meyakini bahwa
Indonesia dengan segala sumber daya manusia dan alam yang ada sudah mampu
membangun PLTN.
Dari hasil riset oleh BATAN pada tahun 2014, ada 72 persen masyarakat yang
mendukung pembangunan PLTN. Angka ini terus mengalami kenaikan yang signifikan
dari 2012. Masyarakat di luar Pulau Jawa lebih menginginkan kehadiran PLTN (79,4%)
dibandingkan dengan di Pulau Jawa (72,0%). Hal ini dipengaruhi kondisi kelistrikan di
luar Jawa yang masih kurang memadai. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia menyadari potensi pemanfaatan energi nuklir dan kontribusinya
untuk menjamin pemenuhan dan kestabilan pasokan listrik di Indonesia. [Sumber:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141216144350-85-18484/72-persen-
masyarakat-dukung-pembangunan-pembangkit-nuklir].
Sebagai resistansi, nuklir masih dianggap suatu momok yang membahayakan bagi
penduduk sekitar, tidak ramah lingkungan karena khawatir akan adanya kebocoran reaktor
nuklir, pencemaran radioaktif yang ditimbulkan oleh reaktor PLTN, limbah radioaktif, dan
belum ditemukan solusi terbaik bagi sistem proliferasinya. Meskipun demikian, menurut
survei tersebut tren persentase responden yang mendukung dan menganggap
pembangunan PLTN sebagai solusi mengatasi krisis listrik jangka panjang terus
meningkat dari tahun ke tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan listrik di seluruh wilayah Indonesia yang semakin
meningkat, sudah saatnya masyarakat dan pemerintah bekerja sama untuk membangun
pembangkit listrik berbasis energi nuklir.
Gambar 12. Hasil survey tentang energi nukli yang dilakukan Tim Kajian Nuklir PPI Dunia
Gambar 13. Hasil survey tentang sumber energi yang dilakukan Tim Kajian Nuklir PPI Dunia
a. Opini dari Dr. Bagus Nugroho. Researcher di University of Melbourne
“In my opinion aku setuju kalau energy nuklir itu solusi jangka pendek atau menengah
yang ok sampai kita ada sumber energi lain yg reliabale. The main issue is aku sangat
meragukan kemampuan negara kita untuk menjalankannya (bukan membuat, kalau
membuat aku yakin Jepang, UK, Prancis bisa membuatkan). Terutama menjalankan
dengan aman. Terlebih negara kita langganan bencana alam. Akan ok bila level profesional
kita setinggi barat atau jepang, bukan merendahkan bangsa sendiri tp sedihnya ini fact.
Karena ini high risk envronment. Wassalam saja bila ada meltdown di negara dengan 250
juta orang. Apabila yang menjalankan adalah institusi swasta yang memang kompeten dan
profesional (baca: asing) akan lebih baik. Tp bila diserahkan bumn lokal atau kementrian
yg tidak berpengalaman aku tidak yakin sama sekali (from the experience of many of my
colleagues who are working in energy sector). Ini tidak semudah memberi training, ini
bukan masalah skill tp lebih ke mental dan budaya being profesional dan sense of
emergency yg jujur saja kita lack.
Beberapa rekan yg di industri perminyakan mengeluhkan menurunnya produksi
setelah operasional salah satu well dipindahkan ke BUMN. Ini bbrp thn lalu, kurang tahu
yg sekarang. Kita cukup melihat sekitar kita saja. Kita bisa membuat stasiun transjakarta
yg bagus, bandara, dll, tetapi kita lihat setelah berapa tahun banyak yg kita tidak bisa
maintain, rawat dan menjaga dengan baik. It is about mentality, ini requrement utama
untuk run high risk system.
Ada yang bilang: loh garuda BUMN tapi bisa top dan profesional termasuk pilot-
pilotnya. Well karena itu highly regulated industry yang aturan mainnya ditentukan negara
maju. Plus karena ada kompetisi, garuda harus bersaing dengan SQ, dan airline lain yg
kelas dunia. Di bidang energy negara kita tidak ada kompetisi dan aturannya buatan
kementrian dan DPR. Dengan persepsi publik yang sedikit-sedikit teriak asing-asing atau
komen energy dikuasai asing, saya tidak bisa melihat apabila pemerintah akan
mengijinkan ini di run oleh asing seperti jepang, prancis atau, UK.”
Tanggapan: Perlu adanya konsistensi terhadap rencana pembangunan jangka panjang
nasional dari pemerintah periode sebelumnya, kini dan nanti. Sehingga, pembangunan
dapat berlanjut sesuai rencana dan hanya bisa berubah jika terjadi perubahan yang
signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pemanfaatan enegi nuklir untuk keperluan sipil memang tidak bisa lepas dari
kerjasama multinegara. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama dan yang
paling utama adalah isu proliferasi nuklir. Dalam sejarah perkembangannya nuklir
termasuk salah satu bahan baku pembuatan senjata, sehingga pemanfaatan nuklir untuk
kepentingan sipil (produksi energi) tetap harus diawasi oleh badan internsional, yakni
IAEA, agar tidak disalahgunakan. Selain itu, pembangunan PLTN pertama akan sangat
memerlukan bantuan dari negara lain khususnya negara yang telah memiliki pengalaman
dalam pembangunan dan pengoperasian PLTN. Seiring dengan berjalannya waktu, apabila
sumber daya manusia kita telah matang dalam hal pengoperasian PLTN, kita tentunya akan
mampu untuk lebih mandiri dalam pengoperasian dan bahkan mungkin pembangunan
PLTN.
Kebijakan politik di Indonesia sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan
apakah PLTN siap dibangun atau masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Faktanya,
dalam kasus PLTN ini Indonesia masih sangat perlu bantuan asing untuk melakukan
pembangunan secara langsung (jika dilihat berdasarkan pengalaman). Pihak BATAN pun
yang umumnya adalah lembaga permerintahan hanya bisa memberikan rekomendasi dan
bukan menjadi pelaksana. Apabila nantinya pemerintah memutuskan untuk membangun,
pembangunannya harus diserahkan kepada organisasi terpisah, dan Batan akan melakukan
pengawasan dan mendampingi. Pada hakikatnya pembangunan PLTN mengharuskan
campur tangan pihak-pihak internasional dari segi pembangunan dan kesepakatan dunia
mengenai penanganan teknologi nuklir (khususnya pemanfaatan limbahbahan bakar di
sektor pertahanan). Menurut berita yang beredar , IAEA mengatakan bahwa pihaknya
memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk membangun reaktor nuklir.
Pembangunan reaktor nuklir adalah hak pemerintah Indonesia dan IAEA tidak memiliki
hak untuk melarangnya. Energi nuklir memiliki keunggulan sebagai penghasil tenaga
listrik yang mampu menghasilkan energi listrik dengan emisi buang karbon paling rendah.
IAEA memastikan bahwa akan membantu Indonesia terkait pembangunan reaktor nuklir
jika keputusan yang dibuat sudah final.
[Sumber: https://international.sindonews.com/read/1279582/40/badan-energi-atom-
dunia-dukung-indonesia-bangun-reaktor-nuklir-1517828885].
b. Opini dari Refi Kunaefi. Project Development Director at Akuo Energy Indonesia
“Ada alasan spesifik kenapa @ppidunia promote that much nuclear lately. Beberapa
informasi di infographic banyak bias-nya (as it was made to support the nuclear opinion):
(i) On Patrick Moore, check the statement of @greenpeace here
http://www.greenpeace.org/usa/news/greenpeace-statement-on-patric/
(ii) Pada CO2 production comparison (table of japan power companies, fepc) we way want
to see the assumption behind that table (which turns out excluding the mining actitivities
of U) which can be found here:
https://www.fepc.or.jp/english/library/electricity_eview_japan/__icsFiles/afieldfile/2016/
08/24/2016ERJ_full.pdf
(iii) Masih banyak alternatif lain yg bisa dilakukan GoI untuk reach its Paris Agreement
commitment without introducing a Nuclear plant.”
Tanggapan: Alasan utama dirasakan karena kurang fakta dan informasi dari
masyarakat terhadap teknologi nuklir secara umum. Kurangnya transparansi informasi
mengenai teknologi nuklir menyebabkan banyak kesalahpahaman terhadap fakta lapangan
mengena teknologi nuklir. Teknologi Nuklir memiliki keuntungan dan kerugian, namun
tidak semua masyarakat mendapatkan informasi yang cukup. Sehingga, masih banyak
masyarakat yang beranggapan negatif dan menolak implementasi teknologi nuklir di tanah
air. Saat ini PLTN menyuplai lebih dari 100 milyar kWh untuk produksi listrik di dunia.
Ini adalah fakta yang terjadi dan jelas menyebutkan bahwa saat ini PLTN masih sangat
dibutuhkan. Ditambah lagi, efisiensi penggunaan lahan untuk PLTN jika dibandingkan
dengan sumber energi lain seperti surya dan angin masih jauh lebih baik.
Gambar 14. Gambar Perbandingan efisisensi penggunaan lahan untuk PLTN, surya, dan
angin per kapasitas 1000MW [sumber: NUCLEAR ENERGY INSTITUTE, Land
Requirements for Carbon-free Technologies, NEI, Washington, DC (2015)].
Beberapa data yang diperoleh, kenapa pembangkit Energi dari PLTN sangat
diperlukan: Perubahan iklim yang sangat drastis saat ini disebabkan emisi gas rumah kaca.
Berdasarkan Paris-Agreement pada bulan Desember 2015, kesepakatan ini ditujukan
untuk mendukung menjaga peningkatan suhu global pada abad ini di bawah 2 derajat
celcius, dan mendorong untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 1.5 derajat celcius yang
dikatakan sebagai batasan yang aman dan signifikan untuk mencegah dampak terburuk
yang terjadi akibat perubahan iklim. Energi nuklir akan menjadi solusi yang baik karena:
Sampai tahun 2050, 80% kebutuhan energi harus di suplai oleh teknologi
energi rendah karbon, yang diharapkan dapat secara perlahan mengganti
energi fossil dari beberapa sektor.
Energi nukllir adalah opsi yang terbukti rendah karbon yang ada saat ini.
Setiap negara memiliki kebijakan untuk memilih energi nuklir untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca dalam pemenuhan kebutuhan energinya.
Berdasarkan data dari IAEA, emisi CO2 yang dihasilkan oleh PLTN memiliki nilai
maksimal yang paling rendah. Sementara itu, pembangkit listrik di Indonesia didominasi
oleh pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil sebagai base load. Sehingga perlu
dilakukan diversifikasi energi dalam memasok listrik base load, salah satu caranya adalah
dengan PLTN. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi
tingkat emisi gas rumah kaca (GRK).
Gambar 15. Grafik gram CO2 per kwH dari setiap sumber energi pembangkit [Sumber: Buku
putih PLTN 5GW].
Kebijakan yang telah diberlakukan Jerman, Energiewende, pada kenyataannya justru
membawa kondisi ekonomi Jerman memburuk. Penutupan PLTN yang dilakukan secara
bertahap dengan niat menurunkan emisi CO2 ternyata masih memiliki celah. Penggunaan
energi alternatif ternyata masih belum bisa memenuhi permintaan energi yang ada. Sampai
pada akhirnya ketika memutuskan untuk menutup PLTN, Jerman harus kembali
memanfaatkan PLTU sebagai sumber energi yang paling dominan. Padahal emisi yang
ditimbulkan oleh PLTU tidaklah kecil. Jika kita bandingkan dengan negara yang tidak jauh
berbeda dengan Jerman, emisi CO2 terendah justru bukan pada negara dengan energi
terbarukan tertinggi (Jerman), namun Perancis. Perbedaannya bukan pada bauran energi
terbarukan yang mempengaruhi rendahnya CO2, tetapi porsi nuklir Perancis yang hampir
80% + hidro 11%, sementara Jerman nuklir 15% + 68% batubara – Faktanya emisi CO2
jerman adalah yang tertinggi di Uni Eropa, karena butuh batubara untuk menyokong energi
angin dan surya.
Tabel 3. Emisi karbon, pendapatan perkapita dan harga listrik serya presentasi sumber energi
listrik di Jerman, Italy, Perancis. [Sumber : The Institute of energy research]
Gambar 16. Grafik emisi karbon di Jerman, Italia, dan Perancis dari tahum 1990 hingga 2010
[Sumber : The Institute of energy research]
Penggunaan alternatif energi yang tidak tepat pada akhirnya membuat kebijakan
energiewende ini berjalan tidak sesuai dengan rencana. Faktor kapasitas angin dan surya
sangat rendah di bawah 25% dan belum bisa diandalkan saat ini sebagai sumber energi
primer karena sifatnya yang terdifusi atau tidak terkonsentrasi (tidak kontinu). Sementara
perusahaan listrik membutuhkan sumber energi primer yang konstan yang dapat
menghasilkan listrik secara stabil dalam jumlah besar, skala GigaWatt. Saat ini pilihannya
adalah batubara, hidro dan nuklir. Dalam skala yang lebih kecil ada geothermal, diesel dan
gas alam.
Sedangkan di Jepang, paska tragedi Fukushima, partai yang berkuasa saat itu DJP,
membekukan semua hampir PLTN dan mengatakan bahwa Jepang akan mengganti semua
PLTN dengan angin, surya dan memanfaatkan gas untuk kebutuhan Listrik menyumbang
hampir 90% dari jumlah total penyediaan energi. Akibatnya, rasio swasembada energi
turun dari 20% menjadi 6%, dan biaya bahan bakar hampir habis dua kali lipat, dari 3,6
triliun yen menjadi 7,2 triliun yen. Tentunya, peningkatan jumlah pembangkit tenaga
panas juga meningkatkan emisi CO2. Lebih-lebih, APBN jepang jebol karena subsidi
energi baru dan terbarukan lain serta impor gas yang kelewat besar, dan rakyat menjerit.
Jepang berencana untuk menghidupkan kembali PLTN guna menekan harga Listrik.
Bahkan saat ini Jepang sedang membangun 2 PLTN : Chugoku ABWR 1373 MW yang di
harapkan dapat beoperasi tahun ini dan J-Power ABWR 1383 MW akan beroperasi tahun
2022. Menurut informasi yang diterima, dua reaktor nuklir PLTN Fukushima pun
memperoleh izin untuk diaktifkan kembali [Sumber: Kansai Electric Prower Co.]. Belum
lagi sekarang Jepang telah merubah peraturan keselamatan penanganan kecelakaan PLTN
setelah insiden Fukushima. Semua sekarang berada dibawah naungan Nuclear Regulation
Authority (NRA).
Gambar 17. Gambar Skema perubahan peraturan terkait penanganan keselamatan pada PLTN
setelah insiden Fukushima di Jepang [Sumber: Nuclear Safety National Report of Japan for
6th Review Meeting].
Untuk masalah lingkungan, memang energi nuklir memiliki limbah yang berbahaya
dan harus ditangani secara hati-hati, namun kuantitas limbah dan ruang yang harus
disiapkan untuk menampung limbah radioaktif tersebut tidaklah seberapa dibanding luas
area terdampak pemanasan global yang mencapai seluruh dunia yang disebabkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil secara terus menerus untuk kepentingan pembangkitan
energi. Sehingga justru sampai saat ini, PLTN masih menjadi solusi terbaik masalah
lingkungan yang harus segera teratasi ini, mengingat sumber energi terbarukan belum
dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan energi dunia.
5. Trend Prekembangan Energi Nuklir di Dunia
Reaktor nuklir dalam perkembangannya memiliki berbagai macam jenis dan
teknologi yang digunakan. Saat ini perkembangan teknologi nuklir sudah pada generasi
ke-4 dengan skema yang terlihat pada gambar. Reaktor generasi ke-3 telah terbukti dapat
dioperasikan secara aman dan efisien. Namun, para ahli nuklir dunia saat ini tengah
berperan aktif dalam penelitian dan pengembangan reaktor nuklir generasi ke-4. Reaktor
nuklir generasi ke-4 memiliki keunggulan di bidang keselamatan, sustainabilitas, dan
keekonomisan dibanding reaktor-reaktor generasi sebelumnya. Beberapa tipe Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berdasarkan sistem pendingin yang sedang dikembangkan
adalah Reaktor Gas Suhu Tinggi (High Temperatur Gas Reactor, HTGR), Reaktor
Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor, FBR), Reaktor Air Tekan (Pressurized Water
Reactor, PWR), Reaktor Air Didih (Boiling Water Reactor, BWR), Reaktor Garam Cair
(Molten Salt Reactor, MSR), dan Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurised Heavy Water
Reactor, PHWR).
Gambar 18. Diagram skema pemanfaatan energi nuklir sampai tahun 2030.
Gambar 19. Enam konsep desain inovatif pada reaktor nuklir generasi ke-4
[https://en.wikipedia.org].
Beberapa negara dunia yang sedang melakukan pembangunan PLTN baik domestik
maupun internasional. Sampai sejauh ini kerjasama internasional juga harus terjalin
dengan baik kepada lembaga pengembang PLTN untuk melakukan pembangunan di
Indonesia.
Gambar 20. Negara pengembang PLTN (sampai tahun 2011). [Sumber: Stastista 2018]
Seperti yang telah dijelaskan, fitur keselamatan adalah bagian terpenting dari reaktor
generasi terbaru. Seperti desain bahan bakar didesain berbentuk bola-bola (pebble bed)
yang dikungkung dengan grafit, sehingga apabila terjadi kecelakaan seperti pada peristiwa
PLTN Fukushima Daiichi tidak akan terjadi pelelehan pada bahan bakar. Sistem
keselamatan pasif dalam penggunaan katup pelepas tekanan untuk mengelola tekanan
berlebih. Dan jika itu terjadi reaktor tersebut akan secara otomatis termatikan.
Mekanismenya, cairan/udara pendingin darurat disimpan pada ketinggian yang lebih
tinggi daripada bejana tekanan reaktor. Jika sensor mendeteksi tingkat pendingin yang
sangat rendah di teras reaktor, katup terbuka dan pendingin membanjiri inti reaktor.
Gambar 21. Fitur keselamatan pasif pada Generasi ke-III Westinghouse AP1000. [sumber:
Westinghouse electric]
Pengembangan reaktor pembiak cepat (fast reactor) dan molten salt reactor (MSR)
menekankan isu sustainabilitas. Hal ini dikarenakan pada tingkat energi yang tinggi, reaksi
fisi nuklir dapat memanfaatkan konsep ‘breed and burn’ untuk memanfaatkan pembakaran
minor actinides yang merupakan limbah radioaktif yang memiliki umur relatif panjang.
Pengembangan reaktor gas suhu tinggi dan reaktor air supercritical menekankan isu
keekonomisan reaktor nuklir. Energi panas pada temperatur yang tinggi dapat
dimanfaatkan untuk beberapa keperluan lain disamping produksi listrik.
a. Beberapa Tipe Reaktor dan Karakteristiknya
Reaktor Gas Suhu Tinggi memiliki sistem teknologi reaktor yang sangat mutakhir
dengan fitur keselamatan yang ditingkatkan dari reaktor-reaktor sebelumnya, proliferasi
yang lebih unggul, resistensi atribut, serta pemanfaatan sumber daya bahan bakar yang
efisien dan ekonomi yang lebih baik. Keunggulan reaktor gas suhu tinggi ini didasarkan
pada konsep desain modular yang memanfaatkan sifat unik dari teknologi baru untuk
menjamin retensi produk fisi radioaktif dengan cara yang sangat aman dan pasif.
Keunggulan lain reaktor gas suhu tinggi berupa efisiensi yang tinggi (hingga 50%),
temperatur operasional yang tinggi sehingga memungkinkan pemanfaatan energi panas
untuk keperluan industri, dan potensi pemanfaatan thorium sebagai bahan bakar. Tingkat
keamaan yang tinggi dari reaktor gas suhu tinggi diusung oleh desain bahan bakar yang
unik yaitu menggunakan desain tristructural-isotropic (TRISO).
Proyek reaktor nuklir Generasi IV salah satunya adalah untuk mendesain reaktor
dengan spektrum netron cepat (fast neutron reactor). Konsep reaktor cepat dicanangkan
dengan mempertimbangkan perkembangan dari sistem reaktor terdahulu, yaitu reaktor
berpendingin air ringan (Light Water Reactor, LWR) pada segi keberlangsungan operasi
(efisiensi pemanfaatan bahan bakar dan reduksi limbah), keselamatan, keandalan, ekonomi
dan non-proliferasi. Konsep reaktor cepat diklasifikasikan menurut fluida pendinginnya,
yaitu sodium (Sodium-cooled fast reactor, SFR), timah (Lead-cooled fast reactor, LFR),
dan gas (Gas-cooled fast reactor, GFR). Pada dasarnya, ketiga desain tersebut memiliki
kesamaan konsep umum seperti tidak adanya moderator, sehingga memanfaatkan neutron
cepat untuk menjaga reaksi fisi berantainya. Suhu keluaran yang tinggi pada desain
tersebut juga memungkinkan efisiensi termal yang lebih tinggi untuk konversi energi
(mencapai ~40%). Konsep reaktor cepat juga memiliki densitas daya teras yang tinggi (5x
lebih tinggi dari LWR) dan umur teras yang lebih lama (tanpa pengisian bahan bakar).
Dari segi keselamatan, pendingin reaktor cepat beroperasi pada tekanan rendah atau
medium. Fluida pendingin berupa sodium cair juga diperkirakan 100x lebih efektif untuk
mengalirkan panas dibandingkan dengan air dengan pengoperasian dan manajemen
kecelakaan kerja yang lebih sederhana. Pada artikel ini akan dikhususkan pada dua tipe
konsep reaktor cepat dengan fluida pendingin yang unik, yakni SFR dan LFR.
Reaktor Air Bertekanan (Pressurized Water Reactor , PWR) merupakan reaktor nuklir
komersial yang termasuk ke dalam kategori reaktor berpendingin air ringan (Light Water
Reactor,LWR) dan paling umum digunakan sebagai PLTN di dunia. Sekitar 67% PLTN
di dunia menggunakan reaktor bertipe PWR. Selain digunakan di PLTN, PWR juga
merupakan tipe reaktor yang umum digunakan di kapal selam dan kapal laut bertenaga
nuklir. Alasan utama yang menyebabkan PWR banyak digunakan secara komersial antara
lain karena air merupakan salah satu moderator netron yang cukup baik. Selain itu, sifat
termodinamik air juga telah dipahami dengan sangat baik. Salah satu kelemahan LWR
adalah air juga dapat menyerap neutron termal sehingga sangat tidak mungkin untuk
mengoperasikan LWR hanya dengan menggunakan natural uranium. Uranium yang
digunakan sebagai bahan baku LWR pada umumnya harus diperkaya terlebih dahulu
melalui proses pengayaan uranium. Seperti halnya PWR, reaktor air mendidih (Boiling
Water Reactor, BWR) yang juga termasuk dalam kategori LWR menggunakan air sebagai
moderator netron dan beroperasi dalam spectrum termal. Sekitar 20% dari seluruh PLTN
di dunia menggunakan reaktor bertipe BWR. Hal utama yang membedakan BWR dari
PWR adalah PWR menggunakan pembangkit uap untuk membangkitkan uap dan
menghindari terjadinya penguapan air pendingin menjadi uap air dalam aliran pendingin
primer (indirect cycle). Sementara, proses pembangkitan uap pada BWR berlangsung di
dalam teras reaktor (direct cycle). Proses pembangkitan uap yang berlangsung di dalam
reaktor menyebabkan BWR umumnya memerlukan lebih sedikit air dibandingkan PWR
untuk menghasilkan jumlah energi listrik yang setara. Selain itu, BWR umumnya
beroperasi pada tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan PWR (7 MPa). Sehingga,
BWR umumnya tidak memerlukan dinding pengungkung dengan ketebalan yang tinggi
seperti yang dibutuhkan oleh PWR.
Reaktor garam cair (Molten Salt Reactor, MSR) adalah salah satu desain reaktor
generasi IV yang diajukan dalam Generation IV Forum. Konsep MSR berbeda secara
fundamental dengan desain reaktor lain, karena memiliki fasa material terbalik: bahan
bakar cair dan moderator padat. MSR menggunakan moderator grafit dan bahan bakar
sekaligus pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk cair. Berbeda dengan LWR yang
menggunakan bahan bakar padat dan pendingin. Ketika Oak Ridge National Laboratory
(ORNL) mengembangkan MSR maka Argonne National Laboratory (ANL) juga ikut
mengembangkan reaktor nuklir bersuhu tinggi yakni reaktor pembiak spektrum cepat
berpendingin logam cair (Liquid Metal Fast Breeder Reactor, LMFBR). Pemerintah
Amerika Serikat sendiri akhirnya lebih memilih dan mendanai LMFBR ketimbang MSR,
dan akhirnya program MSR akhirnya dihentikan.
Saat ini, terdapat dua tipe reaktor teknologi maju yang sedang didorong untuk
dibangun di Indonesia, yakni HTGR dan MSR yang memiliki fitur keselamatan yang tidak
terdapat di reaktor berpendingin air ringan (LWR) konvensional. Berbeda dengan LWR,
HTGR didesain sedemikian rupa sehingga pendinginan panas residu saat terjadi kegagalan
operasi tidak memerlukan daya eksternal ataupun adanya cairan pendingin. Gradien
temperature dari HTGR akan secara alamiah menghantarkan panas residu secara konduksi,
konveksi, dan radiasi dari teras reaktor hingga ke luar reaktor. HTGR menggunakan bahan
bakar TRISO, yang memiliki fitur keselamatan yang akan dijelaskan di bagian Bahan
Bakar Toleransi Kecelakaan.
MSR beroperasi dengan tekanan rendah, sehingga tidak terdapat ancaman kecelakaan
yang terkait tekanan tinggi seperti kerusakan sistem ataupun kebocoran cairan garam.
Apalagi, bahan bakar dan pendingin MSR adalah cairan garam yang lembam dan tidak
bereaksi secara kimia, sehingga tidak menyebabkan api ataupun ledakan seperti yang
terjadi di Fukushima. Cairan garam bahan bakar MSR memiliki koefisien reaktivitas
negatif, sehingga akan memperlambat laju reaksi apabila terdapat kenaikan suhu dari
reaksi fisi yang tidak terkontrol sesaat, tidak seperti yang terjadi di Chernobyl. Material
radioaktif yang terlahir sebagai produk sampingan reaktor secara terus menerus diekstrak
dari garam cair bahan bakar, sehingga meminimalisir kontaminasi radioaktif jika terjadi
kecelakaan.
b. Bahan Bakar Toleransi Kecelakaan
Di samping pengembangan tipe reaktor, para ahli nuklir dunia juga turut
mengembangkan bahan bakar yang memiliki ketahanan tinggi. Salah satu jenis bahan
bakar yang termasuk dalam kategori accident tolerant fuel yang tengah dikembangkan saat
ini adalah TRISO partikel. Konsep bahan bakar desain TRISO, dikembangkan pertama
kali di Jerman sebagai bahan bakar Pebble Bed Reactor dan High Temperature Reactor
berbahan bakar thorium yang keduanya merupakan VHTR. Konsep TRISO dinilai
potensial sehingga terus dikembangkan dan digunakan dalam desain reaktor nuklir masa
depan. Sesuai dengan namanya, tristructural-isotropic, TRISO merupakan desain dimana
bahan bakar dilapis dengan tiga struktur lapisan dengan arah radial dan berbentuk bola
guna mendapatkan sifat yang seragam (isotropic). Ketiga lapisan tersebut adalah inner
pyrolitic carbon (IPyC), silicon carbide (SiC), dan outer pyrolitic carbon (OPyC). Adapun
dalam pengaplikasiannya, bahan bakar TRISO juga dilapisi oleh porous carbon buffer
yang memisahkan antara ketiga lapisan tersebut dengan bahan bakar. Dengan
kerusakan/ketidaksempurnaan partikel, kekuatan partikel sepenuhnya tergantung pada
ketangguhan retak material dan kegagalan terjadi dimana intensitas tegangan lokal
mencapai atau melebihi nilai ketangguhan patah partikel. Walaupun kegagalan biasanya
terjadi karena tegangan tarik, pengujian tekan dapat mensimulasikan tegangan tarik.
Faktor keselamatan yang terdapat pada elemen partikel TRISO. Yang pertama adalah
densitas daya reaktor yang sangat rendah, yang berarti jumlah energi dan panas yang
dihasilkan secara volumetrik rendah dan adanya proses mekanisme alami seperti
perpindahan panas konduksi dan radiasi yang akan menghilangkan panas meskipun tidak
ada pendinginan konveksi yang tersedia. Keselamatan ini didukung oleh karbon yang
digunakan dalam elemen bahan bakar yang memiliki kapasitas panas tinggi dan stabilitas
temperatur tinggi. Prinsip kedua adalah bahwa silikon karbida yang membentuk proteksi
penahan pada partikel TRISO perlu memiliki kualitas ketahanan yang cukup sehingga
dapat mempertahankan produk fisi. Reaktor dirancang agar dapat secara pasif mengurangi
tingkat daya agar aman dalam skenario kecelakaan. Ini merupakan fitur keselamatan pasif
utama, dan hal ini yang membuat desain pebble unik dibanding reaktor air ringan
konvensional yang memerlukan kontrol keselamatan aktif. Reaktor dengan bahan dasar
pebble tidak akan menyebabkan semua mesin pendukungnya gagal, dan reaktor tidak akan
retak, meleleh, meledak atau mengeluarkan limbah berbahaya ke lingkungan. Pada kasus
yang ekstrim, reaktor hanya akan beratahan pada suhu idle. Dalam keadaan tersebut,
bejana reaktor memancarkan panas, namun bejana dan bahan bakar tetap utuh dan tidak
rusak. Penanggulangannya cukup mudah hanya dengan memperbaiki mesin dan melepas
bahan bakar. Fitur keselamatan ini telah diuji (dan didokumentasikan) dengan reaktor
AVR* di Jerman. Pengujian dilakukan dengan cara melepas semua control rod ditambah
dengan memampatkan aliran pendingin. Setelah itu, sampel bahan bakar diambil dan
diperiksa untuk diperiksa kerusakannya dan tidak ada satupun yang mengalami kerusakan.
Dengan perkembangan teknologi nuklir yang pesat terutama dalam faktor keamaan,
maka dari itu sudah semestinya Indonesia mempertimbangkan secara serius untuk
pemanfaatan energi nuklir. Pembangkit listrik tenaga batu bara sudah tidak
memungkinkan lagi untuk dipergunakan di masa mendatang bukan hanya karena
permasalahan harga tetapi permasalahan lingkungan yang ditimbulkan akibat pembakaran
batu bara. Disisi lain, pemanfaatan energi terbarukan seperti turbin angin, turbin air, dan
sel surya belum mampu menyediakan energi yang stabil dalam jumlah yang banyak.
6. Potensi Pemanfaatan Teknologi Nuklir pada Sektor Non-Energi di
Indonesia
Teknologi nuklir pada bidang non-energi di Indonesia sebenarnya memiliki potensi
kebermanfaatan yang sangat luas. Namun sayangnya potensi besar dari teknologi ini
belum banyak diaplikasikan manfaatnya. Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk dapat
mendayakan potensi tersebut. pertama Indonesia dapat memaksimalkan riset nuklir yang
telah dikembangkan ahli nuklir putra putri bangsa sendiri di BATAN dan berbagai riset
nasional lainnya. Kedua adalah dengan memaksimalkan kolaborasi keilmuan dengan
komunitas Nuklir international yang sudah terjalin dengan baik semenjak dahulu. Dalam
hal ini kerjasama riset antara Indonesia dengan IAEA (Badan Atom Internasional) yang
telah lama terjalin dapat lebih dioptimumkan.
Kerjasama dengan IAEA dapat digunakan dalam hal jaminan standarisasi keamanan
teknologi nuklir serta dalam hal support pendampingan proses transfer teknologi nuklir
terkini yang hendak dimanfaatkan Indonesia. Dalam hal ini terdapat 5 sektor utama
nasional yang berpotensi untuk mengambil manfaat teknologi nuklir non-energi dan
hendak diuraikan di tulisan ini.
a. Sektor Pertanian
Teknologi nuklir dalam bidang pertanian diantaranya dapat dimanfaatkan dalam hal
pemuliaan tanaman unggul baru (rekayasa genetika), pengendalian hama penyakit
tanaman dan pembuatan biofertilizer (pupuk hayati). Seperti telah disinggung diatas, beras
kultivar unggul Sidenuk merupakan buah dari pemanfaatan teknologi nuklir. Lebih dari
itu, pemanfaatan teknologi nuklir untuk menciptakan kultivar unggul (pemuliaan) tanaman
pangan dapat dikembangkan pada berbagai jenis tanaman pangan dan holtikultura strategis
nasional lainnya, seperti jagung, kedelai, tebu, bawang, pisang. Penciptaan jenis kultivar
unggul baru yang mampu berproduksi tinggi serta sesuai dengan keunikan iklim tanah air
akan linier dengan program Nawacita nasional untuk mencapai ketahanan pangan dan
swasembada pangan.
Pemanfaatan teknologi nuklir untuk menopang sektor pertanian, seperti dalam hal
pengendalian hama penyakit tanaman budidaya sudah banyak dilakukan oleh negara
negara lain. Contohnya adalah bidang pertanian jeruk di Kroasia. Disana teknologi nuklir
digunakan untuk membuat hama serangga di pertanian jeruk menjadi mandul dengan
merusak organ reproduksinya. Dampaknya adalah secara signifikan mampu menekan
populasi hama lalat buah yang sangat merugikan sektor pertanian jeruk di Kroasia (IAEA,
2014). Dampaknya produksi buah jeruk di Kroasia kemudian dapat meningkat drastis dan
meningkatakan kesejahteraan hidup bagi para petani jeruk disana.
Gambar 22. Petani jeruk di Kroasia yang mengambil manfaat dari aplikasi teknologi nuklir di
kebun jeruknya.
Di lain pihak, penelitian tentang nuklir terkait biofertilizer secara konsisten diteliti
oleh banyak negara yang tergabung dalam Forum for Nuclear Cooperation Asia atau
FNCA, yaitu Jepang, Australia, Bangladesh, China, Indonesia, Kazakhstan, Korea,
Malaysia, Mongolia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Pada tahun 2014, FNCA
menginformasikan fakta-fakta positif atas penggunaan nuklir biofertilizer. Di China,
pupuk hayati dari hasil teknologi nuklir berpengaruh pada peningkatan hasil panen. Pupuk
hayati berpengaruh meningkatkan bobot segar dan bobot kering jagung 91,8% dan 211,8%
dibandingkan dengan kontrol. Di Mongolia, pengaruh pupuk hayati dari teknologi nuklir
dengan memanfaatkan Aspergillus niger berefek pada hasil biji bunga matahari dengan
meningkat sebesar 59,8% bila dibandingkan dengan kontrol (Syaifudin, 2017). Di provinsi
Shandong, penggunaan pupuk hayati pada budidaya tomat dapat meningkatkan hasil 35%
dari control (FNCA, 2016).
Pengembangan serta pemanfaatan teknologi ini bagi pertanian masyarakat luas terus
diupayakan lebih jauh di tataran internasional. Untuk itu dibentuklah kelembagaan Joint
FAO/IAEA Division yang memang fokus terhadap sektor pangan dan pertanian
Internasional. Berdasarkan dari laporan yang diterbitakan oleh IAEA di tahun 2013, Joint
FAO/IAEA Division memiliki lima bidang prioritas utama pengembangan teknologi
nuklir untuk dimanfaatkan komunitas internasional terkait pangan dan pertanian global.
Kelima area itu adalah :
1. Produksi ternak
2. Management kelola tanah dan air yang lebih baik
3. Rekayasa genetika dan pemuliaan tanaman untuk pertanian
4. Pengendalian hama serangga di sector pertanian
5. Keamanan bahan pangan
Lebih jauh, agar dapat semakin meningkatkan nilai kebermanfaatan teknologi nuklir
bidang pangan-pertanian ini bagi penduduk dunia, Joint FAO/IAEA Division hingga kini
telah bekerja sama dengan 17 negara di asia untuk terus mengembangkan standar
pelaksanaan irradiation lebih lanjut. Petunjuk itu kini sudah tersedia dan dapat diakses oleh
publik umum untuk dimanfaatkan secara luas (IAEA, 2014). Termasuk juga untuk publik
umum di Indonesia.
b. Sektor Pangan
Teknologi nuklir juga dapat diaplikasikan untuk pengawetan bahan pangan yang aman
bagi kesehatan. Keuntungan pengawetan makanan menggunakan teknologi nuklir atau
radiasi dibandingkan teknologi konvensional, menurut Hilmy (1995), ialah
kemampuannya untuk dapat diaplikasikan secara selektif. Sementara dalam penjelasan
oleh Pusat Desiminasi Iptek Nuklir (2017), keuntungan lain teknologi ini ialah hemat
energi serta hemat bahan material yang digunakan, mudah dikontrol, dapat diproses dalam
kemasan yang tidak tahan panas, tidak meninggalkan residu dan ramah lingkungan.
Melalui teknik pengaturan intensitas irradiation yang tepat produk pangan dan
pertanian yang ditarget dapat diawetkan secara efektif dan efisien. Teknologi ini dapat
difungsikan untuk menghambat pertunasan dan pematangan produk-produk pertanian,
membasmi serangga, membunuh mikroba pathogen, serta membunuh seluruh jenis bakteri
yang ada secara selektif dan akurat serta tanpa efek samping negatif. Dengan demikian
mutu bahan pangan dapat tetap dipertahankan di dalam kemasan yang baik selama
penyimpanan dan selama jangka waktu yang relatif lebih lama.
Pada prinsipnya penggunaan teknologi ini dapat digunakan untuk segala produk
pertanian dan bahan pangan. Tidak adanya residu kimia berbahaya yang tertinggal dan
hasil akhir produk yang tetap dalam keadaan segar menjadi keuntungan tersendiri
teknologi ini dalam menangani produk pangan dan pertanian untuk target pasar expor
maupun segmen pasar premium di Indonesia. Ini dikarenakan penggunaan teknologi ini
akan mampu menjaga nilai nutrisi produk yang diradiasikan tetap dalam nilai
maksimumnya.
Penggunaan komersial teknologi iradiasi produk pangan dan hasil pertanian tercatat
telah berlangsung semenjak dekade 1950 an. Awalnya teknologi ini hanya terbatas
digunakan untuk produk bumbu-bumbuan dan rempah-rempah (IAEA, 2014). Teknologi
ini terus dikembangkan untuk kemudian dapat menjangkau produk pangan dan pertanian
lainnya. Suatu capaian besar dari pengembangan ini adalah pada tahun 1980an akhirnya
teknologi ini secara resmi diakui komunitas internasional sebagai suatu metode yang aman
bagi kesehatan manusia oleh World Health Organization (WHO) (ibid.).
Sebagai contoh kecil adalah penggunaan teknologi ini di Vietnam, Indonesia dan
Kroasia. Vietnam menggunakan teknologi ini dalam proses sterilisasi serta pengawetan
buah naga mereka untuk diekspor ke USA (IAEA, 2014). Pada awalnya di tahun 2008
vietnam hanya mampu mengexport 100 ton buah naga ke USA. Namun pada 2013, dengan
memanfaatkan teknologi nuklir untuk sterilisasi serta pengawetan, nilai export buah naga
dari Vietnam ke USA mampu meningkat jauh menjadi 1300 ton (IAEA, 2014).
Secara terbatas Indonesia pun sebenarnya telah membuktikan sendiri manfaat dari
teknologi nuklir untuk pengawetan bahan makanan. Pada bulan Februari 2014, Dewan
nuklir Indonesia berkolaborasi dengan Joint FAO/IAEA Division telah ikut turun tangan
dalam penanggulangan bencana tanah longsor di jawa barat yang memaksa 2000 warga
untuk mengungsi. Tim ini berperan dalam mendukung penyediaan ransum makanan siap
santap yang dapat disimpan dalam waktu lama tanpa merusak cita rasanya dan tidak basi.
Ini dapat diwujudkan menggunakan teknik pengawetan makanan yang awalnya dirancang
untuk misi luar angkasa para astronot (IAEA, 2014). Melalui teknik ini setrilisasi dan
kesegaran makanan dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama dan dijamin bebas
kontaminasi pathogen berbahaya (IAEA, 2014). Penggunaan teknologi ini berperan atas
suksesnya distribusi bantuan panganan kuliner khas Indonesia yang lezat dan bergizi ke
tempat lokasi bencana alam agar tidak sampai basi walau disimpan pada waktu yang lama.
Gambar 23. Pelibatan teknologi Nuklir dalam penyediaan ransum korban bencana alam di
Indonesia.
Masih banyak lagi kisah sukses perkembangan teknologi nuklir yang telah
diaplikasikan pada bidang pangan dan produk hasil pertanian di berbagai penjuru dunia.
Sebagai gambaran, saat ini teknologi irradiation melaluli sinar gamma setidaknya sudah
dapat diaplikasikan luas untuk sterilisasi dan pengawetan lebih dari 60 macam produk
pertanian segar. Tahun 2014 lalu, lebih dari 500.000 ton bumbu, rempah-rempah, daging
ayam, daging sapi, kacang-kacangan, buah-buahan, sayur-mayur telah di irradiation
dengan sinar gamma untuk kemudian dikirimkan ke lebih dari 60 negara (IAEA, 2014).
Produk-produk tersebut sudah dinyatakan aman untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan
di seluruh penjuru dunia.
c. Sektor Kesehatan
Teknologi nuklir juga berpotensi untuk dikembangkan dalam menunjang sektor
kesehatan nasional. Contoh yang paling umum adalah penggunaan teknologi nuklir dalam
kegiatan Rontgen (radiasi sinar X) dan terapi untuk penyembuhan penyakit kanker yang
efektif.
d. Sektor Infrastruktur
Alternatif pemanfaatan lain dari teknologi nuklir adalah potensinya dalam memajukan
sektor infrastruktur. Penggunaan teknologi nuklir dapat digunakan untuk rekayasa material
baru serta dalam hal sensoring yang bermanfaat dalam mendukung industri infrastruktur
nasional. Jenis material baru dapat direkayasa dengan menggunakan teknologi nuklir.
Sedangkan, dengan menggunakan prinsip yang sama seperti di teknologi rontgen, sistem
sensori atas kualitas terkini suatu material ataupun bangunan dapat diketahui dengan cepat.
Ini akan menjadikan industri infrastruktur nasional bisa lebih kompetitif di tataran
internasional.
e. Sektor Lingkungan
Cemaran limbah kimia juga dapat diukur dengan cepat dan presisi dengan
menggunakan teknologi nuklir. Implikasinya, ini menjadikan penanganan pencemaran
bahan kimia yang ada dapat ditangani dengan segera dan dengan efektif.
Keterbukaan para pemangku kebijakan di Indonesia atas keberadaan, potensinya yang
luas dan pengembangan teknologi nuklir tersebut, diharapkan dapat membuka pintu untuk
pengembangan lebih jauh dari potensi nuklir nasional yang sudah ada sekarang. Ke
depannya diharapkan teknologi nuklir dalam bidang energi dan non energi dapat semakin
menguntungkan bagi masyarakat luas. Dengan perencanaan dan dukungan nasional yang
strategik, seharusnya pengembangan serta penerapan lebih luas dari teknologi nuklir ini
berpotensi besar mendatangkan banyak manfaat di tanah air. Harapannya, potensi yang
sudah ada tersebut dapat menjadi pendorong tambahan untuk peningkatan kemajuan
bangsa ini. Semoga!
D. Daftar Pustaka
http://www.batan.go.id. Diakses pada 12 Maret 2018.
http://www.batan.go.id/ptlr/11id/?q=content/pengelolaan-limbah-radioaktif. Diakses pada 12
Maret 2018.
www.world-nuclear.org. Diakses pada 30 April 2018.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141216144350-85-18484/72-persen-masyarakat-
dukung-pembangunan-pembangkit-nuklir. Diakses pada 8 Mei 2018.
https://international.sindonews.com/read/1279582/40/badan-energi-atom-dunia-dukung-
indonesia-bangun-reaktor-nuklir-1517828885. Diakses pada 8 Mei 2018.
https://en.wikipedia.org. Diakses pada 8 Mei 2018.
Blanc, P., Espinar, B., Geuder, N., Gueymard, C., Meyer, R., Pitz-Paal, R., … Wilbert, S. (2014).
Direct normal irradiance related definitions and applications: The circumsolar issue. Solar
Energy, 110, 561–577. https://doi.org/10.1016/j.solener.2014.10.001
BMKG. (2015). Data Iklim. Retrieved May 13, 2018, from http://dataonline.bmkg.go.id/
Ditjen EBTKE ESDM. (2016). Statistik EBTKE 2016. Jakarta.
Ditjen Ketenagalistrikan ESDM. (2017). Statistik Ketenagalistrtikan 2016. Jakarta.
El-Baz, W., Seufzger, M., Lutzenberger, S., Tzscheutschler, P., & Wagner, U. (2018). Impact of
probabilistic small-scale photovoltaic generation forecast on energy management systems.
Solar Energy, 165, 136–146. https://doi.org/10.1016/j.solener.2018.02.06.
Energy Options Network, Cost analysis of nuclear plant.
FNCA. FNCA Biofertilizer Newsletter 14, 2016. Tersedia pada
http://www.fnca.mext.go.jp/english/bf/news_img/nl14.pdf.
Gharbi, N. El, Derbal, H., Bouaichaoui, S., & Said, N. (2011). A comparative study between
parabolic trough collector and linear Fresnel reflector technologies. Energy Procedia, 6, 565–
572. https://doi.org/10.1016/j.egypro.2011.05.065
Gueymard, C. A., & Ruiz-Arias, J. A. (2015). Validation of direct normal irradiance predictions
under arid conditions: A review of radiative models and their turbidity-dependent
performance. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 45, 379–396.
https://doi.org/10.1016/j.rser.2015.01.065
Handbook of Generation IV Nuclear Reactors: 1st edition, Woodhead Publishing, 2016.
Ho, C. K., & Iverson, B. D. (2014). Review of high-temperature central receiver designs for
concentrating solar power. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 29, 835–846.
https://doi.org/10.1016/j.rser.2013.08.099
Hasrianda, E. F. Potensi Pemanfaatan Teknologi Nuklir Untuk Sektor Pangan Dan Pertanian Di
Indonesia, 2017. : http://ppidunia.org/2017/01/30/potensi-pemanfaatan-teknologi-nuklir-
untuk-sektor-pangan-dan-pertanian-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 14 Mei 2018.
Hilmy, N. Manfaat Radiasi Dalam Industri, Lingkungan, dan Kesehatan Masyarakat. 1995.
[Online]
http://www.iaea.org/inis/collection/NCLCollectionStore/_Public/33/023/33023312.pdf.
Diakses pada tanggal 28 Januari 2017
Hosenuzzaman, M., Rahim, N. A., Selvaraj, J., Hasanuzzaman, M., Malek, A. B. M. A., & Nahar,
A. (2015). Global prospects, progress, policies, and environmental impact of solar
photovoltaic power generation. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 41, 284–297.
https://doi.org/10.1016/j.rser.2014.08.046
IAEA, IAEA Orientations for diplomats 2013, the IAEA in Overview, 2013.
IAEA, IAEA Success Story 2014, Nuclear Applications in Agriculture, in the ground success part
II, 2014.
IEA. (2014). Technology Roadmap Solar Thermal Electricity. Paris, France. Retrieved from
https://www.iea.org/publications/freepublications/publication/TechnologyRoadmapSolarTh
ermalElectricity_2014edition.pdf
IEA. (2016). World Energy Outlook 2016. Paris: IEA. https://doi.org/10.1787/weo-2016-en
International Renewable Energy Agency. (2017). Renewable Energy Prospect: Indonesia. Abu
Dhabi. Retrieved from http://www.irena.org/remap
Jacobson, M. Z., & Delucchi, M. A. (2011). Providing all global energy with wind, water, and
solar power, Part I: Technologies, energy resources, quantities and areas of infrastructure, and
materials. Energy Policy, 39(3), 1154–1169. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2010.11.040
Japanese Government, Nuclear Safety National Report of Japan for 6th Review Meeting.
Jonan, I., Nugraha, S., Prasodjo, E., Nurzaman, H., Walujanto, Rosdiana, D., … Sauqi, A. (2016).
Outlook Energy Indonesia 2016. (A. Abdurrahman, Ed.). Jakarta: Setjen Dewan Energi
Nasional.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Alam. (2015). RESNTRA KESDM.
Khan, J., & Arsalan, M. H. (2016). Solar power technologies for sustainable electricity generation
– A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 55, 414–425.
https://doi.org/10.1016/J.RSER.2015.10.135
Lasnier, F., & Gan Ang, T. (1990). Photovoltaic engineering handbook. A. Hilger.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga
Listrik yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO). Jakarta:
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Retrieved from
http://jdih.esdm.go.id/peraturan/Permen ESDM No. 28 Th 2016.pdf
Mills, D. R., & Morrison, G. L. (2000). Compact Linear Fresnel Reflector solar thermal
powerplants. Solar Energy, 68(3), 263–283. https://doi.org/10.1016/S0038-092X(99)00068-
7
Nuclear Energy Institute, Land Requirements for Carbon-free Technologies, NEI, Washington,
DC, 2015.
Parrado, C., Girard, A., Simon, F., & Fuentealba, E. (2016). 2050 LCOE (Levelized Cost of
Energy) projection for a hybrid PV (photovoltaic)-CSP (concentrated solar power) plant in
the Atacama Desert, Chile. Energy, 94, 422–430.
https://doi.org/10.1016/J.ENERGY.2015.11.015
Pemerintah Republik Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Buku Putih
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir 5GW.
Pemerintah Republik Indonesia, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Indonesia, 2017.
Pemerintah Republik Indonesia, Perpres RI No. 22/2017. Indonesia, 2017.
Perpiñan, O., Lorenzo, E., & Castro, M. A. (2007). On the calculation of energy produced by a PV
grid-connected system. Progress in Photovoltaics: Research and Applications, 15(3), 265–
274. https://doi.org/10.1002/pip.728
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir. Aplikasi Teknik Nuklir dalam Pengawetan Bahan Pangan, 2017.
[Online] http://drive.batan.go.id/kip/documents/Pengawetan_Makanan.pdf. Diakses pada
tanggal 28 Januari 2017.
Shouman, E. R., & Khattab, N. M. (2015). Future economic of concentrating solar power (CSP)
for electricity generation in Egypt. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 41, 1119–
1127. https://doi.org/10.1016/J.RSER.2014.08.067
Soekarno, H., Pranoto, B., Cendrawati, D. G., Pandin, M., Dictus, B. F., Isdiyanto, R., … Satrya,
L. . (2014). Peta Potensi Energi Surya Indonesia. Jakarta.
Solangi, K. H., Islam, M. R., Saidur, R., Rahim, N. A., & Fayaz, H. (2011). A review on global
solar energy policy. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15(4), 2149–2163.
https://doi.org/10.1016/j.rser.2011.01.007
Statista 2018. Diakses pada 8 Mei 2018.
Stern, D., and Cleverland, C. J. “Energy and Economic Growth.” Rensselaer Working Papers in
Economics. Rensselaer Polytechnic Institute, Department of Economics, New York. 2004.
Šúri, M., Huld, T. A., & Dunlop, E. D. (2005). PV-GIS: a web-based solar radiation database for
the calculation of PV potential in Europe. International Journal of Sustainable Energy, 24(2),
55–67. https://doi.org/10.1080/14786450512331329556
Syaifudin, M. Pemanfaatan Teknologi Nuklir Untuk Pengembangan Pupuk Hayati, 2017.
http://ppidunia.org/2017/07/10/pemanfaatan-teknologi-nuklir-untuk-pengembangan-pupuk-
hayati/. Diakses pada 13 Mei 2018.
The Institute of energy research, CO2 emission.
Trieb, F., Müller-Steinhagen, H., & Kern, J. (2011). Financing concentrating solar power in the
Middle East and North Africa—Subsidy or investment? Energy Policy, 39(1), 307–317.
https://doi.org/10.1016/J.ENPOL.2010.09.045
Trieb, F., Schillings, C., Sullivan, M. O. ’, Pregger, T., & Hoyer-Klick, C. (2009). Global Potential
of Concentrating Solar Power. SolarPaces Conference Berlin. Retrieved from
http://www.dlr.de/tt/Portaldata/41/Resources/dokumente/institut/system/projects/reaccess/D
NI-Atlas-SP-Berlin_20090915-04-Final-Colour.pdf
Vallentin, D., & Viebahn, P. (2010). Economic opportunities resulting from a global deployment
of concentrated solar power (CSP) technologies—The example of German technology
providers. Energy Policy, 38(8), 4467–4478. https://doi.org/10.1016/J.ENPOL.2010.03.080
Viebahn, P., Lechon, Y., & Trieb, F. (2011). The potential role of concentrated solar power (CSP)
in Africa and Europe—A dynamic assessment of technology development, cost development
and life cycle inventories until 2050. Energy Policy, 39(8), 4420–4430.
https://doi.org/10.1016/J.ENPOL.2010.09.026
Wang, S., et. all“The relationship between economic growth, energy consumption, and CO2
emission: Empirical evidence from China”. Science of the Total Environment 542 (2016):
pp.360-371
Westinghouse electric. Passive safety feature of Westinghouse AP1000.
World Bank Group. (2016). Global Solar Atlas. Retrieved May 12, 2018, from
http://globalsolaratlas.info/
Wu, S.-Y., Xiao, L., Cao, Y., & Li, Y.-R. (2010). A parabolic dish/AMTEC solar thermal power
system and its performance evaluation. Applied Energy, 87(2), 452–462.
https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2009.08.041
Zhang, Y., Beaudin, M., Taheri, R., Zareipour, H., & Wood, D. (2015). Day-Ahead Power Output
Forecasting for Small-Scale Solar Photovoltaic Electricity Generators. IEEE Transactions on
Smart Grid, 6(5), 2253–2262. https://doi.org/10.1109/TSG.2015.2397003