educationnresearch.files.wordpress.com€¦  · Web viewMODUL. P. ENGANTAR EKONOMI ISLAM. Oleh :...

155
MODUL PENGANTAR EKONOMI ISLAM Oleh : Penanggungjawab : Fazis Azka Tim Penyusun : Arin Dwijaya Mutia Farida Indri Oktavia Naila Amalah Kumita Ary F Tia Meida Editor : Kumita Ary F Study Community of Islamic Economics (SCIEmics) Department Science Academic

Transcript of educationnresearch.files.wordpress.com€¦  · Web viewMODUL. P. ENGANTAR EKONOMI ISLAM. Oleh :...

MODUL

PENGANTAR EKONOMI ISLAM

Oleh :

Penanggungjawab: Fazis Azka

Tim Penyusun

: Arin Dwijaya

Mutia Farida

Indri Oktavia

Naila Amalah

Kumita Ary F

Tia Meida

Editor

: Kumita Ary F

Study Community of Islamic Economics (SCIEmics)

Department Science Academic

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2013/1434 H

BAB I

KEDUDUKAN AQIDAH, SYARIAH, DAN AKHLAK

Makna Islam

Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat, damai, tunduk, pasrah, dan berserah diri. Obyek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian islam berarti penyerahan diri kepada Allah SWT.

Tegasnya agama disisi Allah ialah penyerahan diri yang sesungguhnya kepada Allah. Jadi walaupun seseorang mengaku beragama islam, kalau dia tidak menyerah yang sesesungguhnya kepada Allah, belumlah dia islam.

Selanjutnya islam memandang bahwa hidu manusia di dunia ini hanyalah sebagian kecil dari perjelanan kehidupan manusia, karena setelah kehidupan di dunia ini masih ada lagi kehidupan akhirat yang kekal abadi. Namun demikian, nasib seseorang di akhirat nanti bergantung pada apa yang ia kerjakan selama di dunia, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW. ad-dunya mazra’at al-akhirat (dunia adalah ladang akhirat). Disinilah letak peranan islam sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia di dunia (way of life).

Konsekuensi dari pandangan di atas adalah bahwa ajaran islam tidak hanya terbatas pada masalah hubungan pribadi antara seorang individu dengan penciptanya (hablum minallah), namun mencakup pula masalah hubungan antarsesama manusia (hablum minannas), bahkan juga hubungan antar manusia dengan makhluk lainnya termasuk dengan alam semesta dan lingkungan.

Cakupan Islam

Agama islam memiliki tiga aspek utama, yakni aspek aqidah, aspek syariah, dan aspek akhlak.

Akidah disebut juga iman, sedangkan syariah adalah islam, dan akhlak disebut juga ihsan. Aqidah menunjukan kebenaran islam, syariah menunjukan keadilan islam, dan akhlak menunjukan keindahan islam.

Aspek Aqidah

Kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu ‘aqad yang berarti ikatan. Menurut ahli bahasa, defenisi aqidah adalah sesuatu yang dengannya diikatkan hati dan perasaan halus manusia atau yang dijadikan agama oleh manusia dan dijadikannya pegangan. Jadi, akidah ini bagaikan ikatan perjanjian yang kokoh yang tertanam jauh di dalam lubuk hati sanubari manusia. Ia merupakan suatu bentuk pengakuan/persaksian secara sadar mengenai keyakinan, keimanan, dan kepercayaan, bahwa ada suatu Zat Yang Maha Esa yang telah menciptakan seluruh alam ini beserta isinya.

Singkatnya, aspek akidah yang berhubungan dengan masalah-masalah keimanan dan dasar-dasar agama (ushuluddin). Karena itu, sering kali kata ‘aqidah dan iman digunakan secara bergantian.

Aspek Syariah

Ajaran islam tidaklah berhenti pada kepercayaan saja. Setelah kita memahami tentang iman serta mempercayai keenam rukun iman, pertanyaan berikutnya adalah apa yang selanjutnya harus dilakukan? Jalan manakah yang harus ditempuh? Manakah yang benar dan manakah yang salah? Apa yang mesti dikerjakan dan apa pula yang harus dihindari? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas diberikan oleh syariah.

Syariah adalah kata bahasa arab yang secara harfiahnya berarti jalan yang ditempuh atau garis yang mestinya dilalui. Secara terminology, defenisi syariah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau yang telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang islam sebagai penghubung di antaranya dengan manusia. Singkatnya, syariha itu berisi peraturan dan hukum-hukum, yang menentukan garis hidup yang harus dilalui oleh seorang Muslim.

Menurut ajaran islam, syariat itu berasal dari Allah. Sebab itu maka sumber syariat, sumber hukum dan sumber undang-undang datang dari Allah sendiri, yang disampaikan kepada manusia dengan perantara rasul dan termaktub di dalam kitab-kitab suci. Namun demikian, tidak seperti akidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Karena itu, syariah yang berlaku di zaman Nabi Nuh a.s, berbeda dengan syariah di zaman Nabi Musa a.s, dan berbeda pula dengan Nabi Ibrahim a.s, Isa a.s, dan Nabi Muhammad saw. Sebabnya ialah karena setiap umat tentu menghadapi situasi dan kondisi yang khas dan unik, sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal ihwal jalan pikirannya serta perkembangan kerohaniannya. Jadi penerapan syariah ini mengikuti evolusi peradaban manusia, seiring dengan diutusnya rasul-rasul keada umat-umat tertentu pada zaman-zaman tertentu. Proses perkembangan syariah ini pada akhirnya tuntas dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. yang membawa syariah Islam. Dengan demikian, tidak ada lagi perkembangan syariah syariah sesudah Nabi Muhammad saw., karena Islam sudah rampung, tuntas dan sempurna.

1. Syariah dan Perubahan

Fakta menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sepeninggal Nabi Muhammad saw., terus berkembang. Muncul persoalan-persoalan baru yang dahulunya tidak pernah terjadi pada masa-masa nabi. Masyarakat berkembang dengan dinamis dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat.

Pertanyaannya adalah, mungkinkah semua perubahan itu diakomodasi oleh syariah yang sudah rampung 14 abad yang lalu? Tidakkah perubahan yang terjadi itu mengharuskan adanya perubahan-perubahan pula dalam syariah?

Sesuai defenisi syariat di atas, kita tau bahwa syariat ada dua bagian, yakni bagian ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minallah), dan bagian muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas). Bagian ibadah terangkum dalam Rukun Islam yang lima. Sedangkan bagian mualamah mencakup semua aspek hidup manusia dalam interaksinya dengan manusia lain, mulai dari masalah pernikahan, perdagangan/ekonomi, sosial sampai polotik.

Pada bagian ibadah, umumnya tidak terjadi perubahan (evolusi) apa pun. Kondisi hubungan kejiwaan antara seorang hamba dengan Allah tidak berbeda pada zaman nabi dengan zaman informasi kini. Sholat, doa, puasa, zakat, dan haji tetap dapat dilakukan tanpa perlu menyesuaikan dengan perkembangan zaman/tempat. Jadi, dalam soal ibadah, pertanyaan di atas menjadi tidak relevan.

Namun bagaimana dengan masalah-masalah muamalah? Bukanlah masalah muamalah yang dihadapi Rasullah saw sudah jauh berbeda dengan masalah muamalah di zaman modern? Lalu bagaimana caranya masalah perbankan diatur dalam islam?

Di sinilah justru letaknya fleksibelitas syariah islam. Pada umumnya, syariat islam dalam bidang muamalah hanya memberikan petunjuk-petunjuk dan prinsip-prinsip yang sifatnya umum dan mendasar. Hal-hal rinci, detail, dan teknis tidak diatur, tetapi diserahkan kepada manusia melalui proses ijtihad. Nabi bersabda, “Antum a’lamu bi umuuri dunyakum” kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.

Dengan latar belakang di atas, para ulama telah merumuskan suatu kaidah dasar dalam syariah, yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibadat dan hukum asal muamalah. Hukum asal ibadat menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjuknya dalam Qur’an dan Sunnah. Sedangkan hukum asal muamalah menyatakan bahwa “segala sesuatu dibolehkan, kecuali ada larangan dalam Qur’an atau Sunnah”

2. Syariah dan Fiqih

Syariah islam adalah hokum-hukum dan peraturan yang dibebankan oleh Allah swt, kepada hamba-hamba-Nya. Syariat berisi perintah-perintah dan larangan. Perintah dan larang ini dalam bahasa teknis ilmu fiqih disebut hukum taklifi. Ketika perintah dan larangan ini disampaikan kepada manusia, maka timbul usaha untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan tersebut. Pemahaman dan penafsiran ini dilakukan secara sistematis oleh para ulama dengan menggunakan metode tertentu. Hasil dari usaha sistematis untuk memahami dan menafsirkan perintah dan larangan Allah swt, ini dinamakan fiqih. Singkatnya, fiqih adalah tafsiran ulama atas syariah.

3. Pembagian hukum

Ketika para ulama berusaha untuk menafsirkan dan memahami syariah yang berisi perintah dan larangan Allah swt itu, maka mereka mendapati bahwa menurut kepastiannya, perintah dan larangan itu (yakni hukum taklifi), dapat digolongkan menjadi dua, yakni yang sifatnya pasti dan tidak pasti. Perintah yang pasti disebut wajib, sedangkan larangan yang pasti disebut haram. Perintah yang tidak pasti disebut mandub (sunnah), sedangkan larangan yang tidak pasti disebut makruh. Disamping perintah dan larangan Allah memberikan pilihan (takhyir) dan ini disebut mubah. Jadi secara umum, ada lima hokum syara’ yang dikenal dalam fiqih Islam, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

Aspek Akhlak

Akhlak (etika) sering disebut sebagai ihsan (berasal dari kata Arab hasan, yang berarti baik). Defenisi ihsan dinyatakan sendiri oleh nabi dalam hadist berikut: “ihsan adalah engkau beribadat kepada Tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya sendiri , kalaupun engkau tidak melihat-Nya, maka ia melihatmu.” HR. Muslim.

Karena itu wajarlah jika akhlak menjadi tujuan puncak dari diutusnya nabi-nabi, dan menjadi tolak ukur kualitas keberagaman seseorang. Ini dinyatakan sendiri oleh nabi dalam salah satu hadistnya, “bahwasanya aku diutus Allah menyempurnakan akhlak (budi pekerti).” HR. Ahmad.

Seperti halnya dengan syariat yang mengatur hablum minallah dan hablum minannas, maka akhlak pun demikian. Akhlak memberikan panduan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap Allah, dan juga terhadap sesama makhluk.

Iman, Islam, Ihsan

Tiga aspek ajaran islam yang sudah dijabarkan diatas sebenarnya terkait satu sama lain, tidak bisa dipisah-pisahkan.

Iman adalah fondasi bangunan keagamaan seseorang agar ia dapat berperilaku (beraklak) mulia. Kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya, karena iman yang kuat akan mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah akan mewujudkan akhlak yang buruk. Di lain pihak, bangunan keagamaan ini tidka dapat tegak tanpa tiang-tiang penyangga, yakni islam. Artinya, iman itu menurut pengamalan. Pandu pengamalan ini diberikan oleh syariat (islam), yang bila dilaksanakan dengan baik akan membuahkan akhlak yang baik pula.

BAB II

MENGAPA EKONOMI ISLAM

Pengertian Ekonomi Islam

Menurut H. Halide Ekonomi islam adalah dasar umum ekonomi yang disimpulkan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah yang ada hubungannya dengan ekonomi . sistem ekonomi islam ini merupakan solusi untuk memecahkan persoalan ekonomi yang sedang melanda dunia. kita lihat ada beberapa macam sistem perekonomian yang digunakan oleh saat ini tengah diterapkan, yaitu

1. Sistem ekonomi kapitalis

Prinsip ekonomi kapitalis adalah:

· Kebebasan memiliki harta secara perseorangan.

· Kebebasan dalam ekonomi dan persaingan bebas.

· Ketidaksamaan ekonomi artinya terdapat kesenjangan perekonomian di masyarakat.

2. Sistem ekonomi sosialis

Prinsip ekonomi sosialis adalah:

· Koperasi-koperasi serikat pekerja, badan hukum dan masyarakat yang lain memiliki hak milik atas alat-alat produksi oleh.

· Pemerintah menguasai alat-alat produk yang vital.

· Proses ekonomi berjalan atas dasar mekanisme pasar.

· Perencanaan ekonomi sebagai pengaruh dan pendorong dengan usaha menyesuaikan kebutuhan individual dengan kebutuhan masyarakat.

Indonesia memiliki sistem ekonomi sendiri, yaitu sistem demokrasi ekonomi, yang prinsip-prinsip dasarnya tercantum dalam UUD'45 pasal 33 yang berbunyi, “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

3. Sistem ekonomi komunis

Prinsip ekonomi komunis adalah:

· Hak milik atas alat-alat produksi oleh negara.

· Proses ekonomi berjalan atas dasar rencana yang telah dibuat.

· Perencanaan ekonomi sebagai rencana / dalam proses ekonomi yang harus dilalui.

Saat ini penerapan sistem-sistem ekonomi tersebut ternyata tidak berhasil umenciptakan kesejahtaraan secara merata kepada masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa terdapat banyak kelemahan di dalamnya.

Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem ekonomi islam, yang segala sesuatunya di atur sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan bagi suatu pihak tetapi tidak merugikan pihak lain. Yang membedakan sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi yang lain adalah adanya aspek moral dan aspek ibadah di setiap kegiatannya. Ayat tentang konsep ekonomi islam, yaitu:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا [٣٣:٧٢]

72. Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. [Al-Ahzab (33):72] / [1233]. Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

Nilai Moral dalam Ekonomi Islam

Sebelum kita menginjak kepada pembahasan mengenai nilai moral yang terdapat dalam ekonomi islam. Alangkan baiknya jika menegetahui mengenai asas filsafat ekonomi islam. Menurut Ahmad Saefudin ada tiga asas filsafat dalam ekonomi islam, yaitu:

1. Segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi termasuk kekayaan yang dimiliki oleh manusia semuanya adalah miliki Allah.

2. Allah itu Maha Esa dan Pencipta segalanya. Salah satu makhluk ciptaanya adalag manusia yang diutus untuk melaksanakan tugas, hak dan tanggung jawab sebagai khalifah dibumi agar bisa dimanfaatkan untuk kepetingan hidup dan kehidupannya.

3. Beriman kepada hari kiamat dan hari pengadilan. Dengan keimanan ini, segala tingkah laku manusia termasuk dalam kegiatan perekonomian dapat terkendali karena manusia akan memiliki kesadaran bahwa apa yang ia lakukan pasti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti.

Ketiga asas filsafat ekonomi inilah yang akhirnya melahirkan nilai dasar Sistem Ekonomi islam.

a. Nilai dasar Ekonomi Islam, yaitu:

1. Nilai dasar kepemilikan.

· Pemilikan bukanlah penguasaan mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi tetapi hanya berhak untuk memanfaatkannya.

· Lama kepemilikian manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia itu hidup didunia.

· Sumber-sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dimiliki oleh umum atau negara. Hal ini di dasarkan pada hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud,”Semua orang berserikat mengenai tiga hal, yaitu mengenai air, rumput dan api serta garam”. Ketiga barang itu dijabarkan pada minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan poko lainnya.

2. Keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan dalam kepetingan dunia dan akhirat serta keseimbangan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum. Keseimbangan ini terwujud dalam kesederhanaan, hemat, dan menjauhi keborosan.

3. Keadilan

· Keadilan dalam proses konsumsi dan produksi. Keadilan harus menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantas keborosan.

· Keadilan dalam distribusi. Keadilan harus menjadi penilai yang tepat untuk faktor-faktor produksi dan kebijaksanaan harga agar sesuai dengan takaran yang wajar dan sebenarnya.

· Keadilan dalam pengalokasian sejumlah hasil kegiatan ekonomi melalui zakat, infak, shodaqah untuk orang-orang yang tidak dapat memasuki pasar.

Nilai dasar yang telah dijelaskan diatas, merupakan asal dari nilai Instrumental Sistem Ekonomi Islam, yaitu:

1. Zakat

Zakat merupakan sarana komunikasi utama hubungan antar manusia dalam masyarakat. Peranan zakat adalah untuk pemerataan pendapatan sehingga tercipta kondisi yang humanis dan harmonis.

2. Pelarangan riba

Di sebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 275-276

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [٢:٢٧٥

Artinya: “275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

[174]. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[175]. Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

[176]. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

Q.S Al-Baqarah: Ayat 276

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ [٢:٢٧٦]

Artinya: “276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].”

[177]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.

[178]. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.

Q.S Al-Baqarah: Ayat 278

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ [٢:٢٧٨]

Artinya: “278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Jadi, secara harfiah riba adalah bertambah/mengembang. Secara istilah riba adalah tambahan dalam pembayaran hutang sebagai imbalan jangka waktu yang terpakai selama hutang belum dibayar. Dampak dari riba iriu sendiri adalah dapat merusak kehidupan seperti hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah menyebutkan tujuh macam perbuatan yang merusak kehidupan, yaitu: syirik, sihir, membunuh tanpa alasan yang sah, menungut riba, memakan harta anak yatim, melarikan dari pertempuran dan menuduh perempuan baik-baik berzina.

3. Kerjasama ekonomi

Kerjasama ekonomi yang dihalalkan dalam islam adalah qirad, yaitu kerjasama antara pemilik modal atau uang dengan pengusaha yang mempunyai keahlian, keterampilan atau tenaga dalam melaksanakan unit-unit kegiatan ekonomi atau usaha tanpa adanya bunga. Kerjasama ini berlandaskan dengan sistem profit sharing (penyertaan untung rugi) yang telah disepakati bersama. Macam-macam kerjasama ekonomi dalam islam, yaitu: mudharabah dan murabahah.

Tujuan dari kerjasama ekonomi dalam islam, menghendaki organisasi pelaksanaan berbenruk syarikah yang kuat membantu yang lemah (Q.S 43:32), saling bantu dalam pertukaran barang dan jasa karena masing-masing tidak mungkin berdiri sendiri (Q.S 43:12) baik secara nasional ataupun internasional. Setiap keputusan yang dimabil harus berdasarkan musyawarah.

4. Jaminan sosial

Ekonomi islam sangat menjamin tingkat dan kualitas hidup seluruh masyarakat, yaitu:

· Semua makhluk hidup berhak untuk menikmati manfaat sumber daya alam (Q.S 6:38, 55:10)

· Kahidupan fakir miskis harus diperhatikan oleh masyarakt (Q.S 51:19, 70:24)

· Kekayaan tidak boleh berputar hanya kepada orang kaya saja (Q.S 104:2)

· Senantiasa berbuat kebaikan kepada masyarakat (Q.S 28: 77)

· Jika tidak mampu menyumbang dengan harta, maka menyumbangkan dengan tenaga untuk tujuan sosial (Q.S 9:79)

· Jangan berbuat kebaikan hanya karena ingin dipuji (Q.S 9:262)

Dengan melaksanakan jaminan sosial diatas maka kita akan mendekatkan diri kepada Allah, dan menjadikan harta yang kita miliki menjadi bersih dan berkembang, menghilangkan sifat loba dan tamak serta mementingkan diri sendiri

5. Peranan Negara

Negara sangat berperan dalam penentuan aspek hukum, perencanaan dan pengawasan distribusi sumberdaya dan dana, pemerataan pendapatan dan kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi

Dalam Sistem ekonomi islam nilai-nilai yang terdapat didalamnya bersumber dari Al-quran dan hadits yang dirumuskan menjadi morma melalui ijtihad. Yang terpenting dalam ekonomi islam adalah hubungan manusia dengan benda dan kekuasaan manusia atas segala sesuatu yang berada disekitarnya. Hukum islan tidak mengakui hak milik seseorang secara mutlak, karena kepemilikan mutlak segala sesuatu hanyak ada pada Alloh. Namun, karena diperlukannya kepastian hukum untuk kedamaian dan ketentraman kehidupan, maka hak milik seseorang atas sesuatu benda, diakui dengan perngertian,

a. Hak milik itu diperoleh secara wajar

b. Harus berfungsi sosial

Beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai hubungan manusia dengan benda atau hak miliknya.

1. Cara memperoleh hak milik

· Dengan cara yang halal (Q.S 2:188, 4:32)

· Melalui pewarisan (Q.S 4:7)

· Dengan hibah (Q.S 2:177)

Tetapi yang cara yang sangat dianjurkan adalah dengan usaha melalui kerja keras dengan menggunakan akan dan tenaga.

2. Fungsi hak milik bagi orang lain

· Harta tidak boleh ditimbun saja tanpa ada manfaatnya bagi orang lain.

· Kekayaan tidak boleh beredar hanya kepada orang kaya saja

· Diantara harta orang kaya ada hak orang miskin

· Harta waris harus segera dibagikan kepada yang berhak menurut ketentuan yang berlaku

Fungsi hak milik bagi diri sendiri

· Merupakan cobaan bagi yang memilikinya

· Kekayaan seseorang tidak dengan sendirinya menyelamatkan dirinya

· Harta adalah kekuasaan artinya dapat menyebabkan berbuat atau berbuat jahat

· Untuk itulah allah SWT memerintahkan manusia untuk memanfaatkan hartanya untuk kepentingan probadi, keluarga, kepentingan umum, dan kepentingan orang-orang yang tidak punya (QS. 16.71)

3. Cara memanfaatkan hak milik

Pedoman didalam al quran tentang cara memanfaatkan harta kekayaan

· Tidak boleh boros dan tidak boleh kikir (QS. 17:26-27, 25:67 )

· Berhati-hati dan bijaksana dalam memanfaatkan harta (QS. 17:29, 2:282)

· Menyalurkan harta melalui lembaga-lembaga antara lain :

a) Shadaqoh, adalah pemberian sukarela dari seseorang kepada orang lain terutama kepada orang miskin. (QS. 2:195, 263-264, 276, dsb )

b) Infak, adalah pengeluaran sukarela seseorang setiap kali ia mempunyai rizki sebanyak yang dikehendakinya.

c) Hibah, adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau sosial.dasar hukum hibah yaitu QS. 3:38, 2:177. Hikmah hibah antara lain :

· Menghidupkan rasa kebersamaan dan tolong menolong

· Menumbuhkan sifat sosial dan kedermawanan

· Mendorong untuk berbuat baik

· Menjalin hubungan antar sesama manusia

· Untuk pemerataan pendapatan

d) Qurban, adalah penyembelihan hewan untuk mendekatkan diri kepada allah SWT dan kepada sesama manusia selama 3 hari sesudah sholat idul adha. Qurban merupakan lambang ketaqwaan seseorang (QS. 108:1-2). Hikmah berqurban antara lain :

· Membina kasih sayang dan tolong menolong antar sesama

· Sarana pendidikan keikhlasan dalam melaksanakan perintah allah SWT

· Sarana untuk mendekatkan diri kepada allah SWT dan kepada manusia lain dalam pergaulan hidup

e) Zakat, adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orng0orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Fungsi zakat adalah untuk membersihkan harta dan memelihara pertumbuhannya

f) Wakaf, adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran islam. Wakaf adalah salah satu lembaga pemanfaatan harta yang digalangkan dalam ajaran islam karena merupakan perbuatan baik yang pahalanya tidak putus-putus diterima oleh yang melakukannya selama barang yang diwakafkan tidak musnah dan terus dimanfaatkan orang.

Fenomena Ekonomi Masa Kini

1. Saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang terlantar dan tidak terurus, ditambah lagi dengan semakin kecilnya minat masyarakat untuk datang ke pasar tradisional karena menjamurnya supermarket yang mulai masuk ke daerah-daerah. Secara tidak langsung pasar-pasar modern sudah mengancam eksistensi pasar tradisonal. Apa yang ditakutkan dari menjamurnya supermarket saat ini? Ketakutannya adalah matinya pasar tradisional dan meningkatnya pengangguran. Sekarang bisa dibayangkan saja berapa banyak pekerja yang ada di pasar-pasar  tradisional dan sejumlah orang yang akan kehilangan lapangan pekerjaan, Padahal pasar tradisional juga ikut berperan dalam mengerakkan ekonomi Indonesia.

Pasar modern secara tidak langsung telah memonopoli perdagangan, karena dalam satu tempat terdapat berbagai macam keperluan masyarakat. Sedangkan dalam ekonomi islam masalah monopoli jelas dilarang karena merugikan sebagian orang. Ekonomi islam memerintahkan kita untuk berbuat adil dengan memperjual belikan satu produk saja. Hal ini, dimaksudkan untuk meratakan pendapatan masyarakat.

2. Dalam hal kemiskinan, kemiskinan absolut turun (tapi jumlah penduduk miskin dan hampir miskin bertambah), pengganguran menurun namun proporsi pekerja sektor informal terus bertambah, dan ketimpangan pendapatan semakin menganga.

Ketimpangan pendapatan ini terjadi karena tidak meratanya distribusi pendapatan, tidak sesuainya sistem penggajian dengan keadaan pegawai. Solusinya, kita bisa meningkatkan penyaluran zakat, infak, dan shodaqoh serta menggunakan sistem penggajian yang sesuia syariat islam yaitu berdasarkan seberapa banyak tanggungan mereka atau jumlah kebutuhan mereka.

3. Kegiatan ekonomi (ekspor misalnya) banyak bertumpu pada komoditas bahan mentah sehingga tidak hanya kehilangan kesempatan menciptakan nilai tambah, tetapi juga kesulitan menciptakan lapangan kerja.

Meningkatnya ekspor membuat kebutuhan dalam negeri sendiri tidak terpenuhi, seharusnya kita mengolah SDA di dalam negeri diutamakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri, kemudian baru untuk diekspor.

4. Meningkatnya subsidi disebabkan tingginya harga minyak dunia serta meningkatnya penggunaan bahan bakar dan listrik oleh masyarakat, angkutan umum, maupun industri.

Meningkatnya harga minyak dunia, itu hanya alasan pemerintah untuk menutuppi kesalahannya di dalam penanganan minyak. Karena pemerintah melakukan ekspor minyak mentah lalu membeli kembali di pasaran dunia. jika saja pemerintah bisa mengolah dengan baik minya mentah menjadi bahan bakar yang dibutuhkan masyakarak maka kebutuhan masyarakat akan terpenuhi dan harganya sangat rendah. Sebenarnya minyak merupakan hak publik tidak bisa dimiliki perorangan, maka jika di jual pun harga yang dikenakan hanyak untuk mengganti biaya produksi saya yang harganya ¼ dari harga saat ini.

5. Besarnya anggaran subsidi bahan bakar dan listrik yang berpotensi meningkatkan defisit anggaran negara karena penerimaan negara lebih kecil daripada belanja negara. Defisit anggaran ini harus ditutup dan salah satu caranya dengan mencari pinjaman atau utang baru.

Pengambilan utang baru bukan solusi yang tepat, karena seperti yang kita tahu peminjaman yang akan di lakukan pasti disertai bunga, sedangkan dalam ekonomi islam riba jelas dilarang/diharamkan karena akan berdampak negatif terhadap negara kita.

Satu-satunya cara untuk mengatasi semua permasalahan ekonomi yang kita hadapi adalah penerapan sistem ekonomi islam secara kaffah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al hadits. Dimulai dari individu sampai negara.

BAB III

DASAR-DASAR EKONOMI ISLAM

Mengapa harus ada ekonomi Islam

Revolusi ilmu pengetahuanyang terjadi di Eropa Barat sejak abad ke-16 M menyebabkan pamor dan kekuasaan agama kristen di benua tersebut menurun drastis. Hal ini karena dogma yang dipegang dan diajarkan oleg tokoh-tokoh gereja pada abad tersebut jelas-jelas bertentangan dengan fakta-fakta yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Akibatnya terjadi sekularisme dan pembebasan dari nilai-nilai agama di dunia Eropa Barat dalam segala bidang, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, paradigma Cartesian dengan metode analisisnya yaitu fragmentasi atau pemecahan semua aspek yang kompleks dari suatu fenomena, menyumbangkan tambahan permasalahan.

Dari paradigma inilah (sekularisasi, fragmentasi, dan kebebasnilaian pengetahuan) ilmu pengetahuan modern dibangun, fenomena yang termasuk di dalamnya adalah ilmu ekonomi konvensional. Para ilmuwan non-Muslim saja telah mengkritik paradigma ini, seperti Sismondi (1773-1842), Carlyle (1795-1881), Ruskin (1819-1900), dan lain sebagainya. Mereka bukan hanya menyarankan pendekatan interdisipliner dalam mempelajari fenomena manusiawi, tetapi lebih dari itu, mereka menyarankan holistik yang mengintegrasikan baik kebutuhan material maupun spiritual manusia, interaksi antarmanusia, serta interaksi manusia dengan alam semesta.

Dari hasil kritikan ini, ilmu ekonomi konvensional menghasilkan madzhab-madzhab baru yang didalamnya terdapat aspek-aspek normatig, sosial, dan institusional perilakumanusia dalam model pemikirannya. Namun, kesemuanya menghadapi problem karena mereka sulit untuk menemukan standar nilai yang sama dan disepakati secara luas.

Dengan fakta seperti ini, akan menjadi ironi bagi ilmuwan Muslim jika mereka menerima begitu saja ilmu ekonomi konvensional tanpa menelaahnya terlebih dahulu, padahal para ilmuwan non-Muslim saja sudah ramai-ramai mengkritiknya. Karena itu, ekonomi Muslim perlu mengembangkan suatu ilmu ekonomi khas, yang dilandasi oleh nilai-nilai iman dan Islam yang dihayati dan diamalkannya. Yang secara singkat dapat disebut dengan “Ilmu Ekonomi Islam “.

1. Ekonomi Islam: Perbedaan Sudut Pandang

Dalam tataran paradigma Ekonomi Islam yang memasukkan atau paling tidak diwarnai oleh prinsip-prinsip relijius (berorientasi pada kehidupan dunia dan akhirat) tidak mengalami perbedan pendapat yang berarti. Sampai saat ini, pemikiran ekonom Muslim kontemporer dapat diklasifikasikan setidaknya menjadi tiga madzhab, yaitu:

a. Madzhab Baqir As-Sadr

b. Madzhab Mainstream

c. Madzhab Alternatif Kritis

a. Madzhab Baqir As-Sadr

Madzhab ini dipelopori oleh baqir As-Sadr dengan bukunya yang fenomenal “iqtishaduna” yang artinya “ekonomi kita”. Madzhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi ekonomi tidak pernah sejalan dengan Islam.Keduanya tidak dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang satu Islam.

Menurut mereka, perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia terbatas. Tetapi menurut Baqir As-Sadr, masalah ekonomi menurut Islam muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Dalil yang dipakai adalah Al-qur’an:

“Sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya” (Q.S. Qamar (54): 49).

Oleh karena it, menurut mereka istilah ekonomi islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu penggunaan istilah ekonomi islami harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yaitu iqtishad.

Menurut mereka, iqtishad bukan sekedar terjemahan ekonomi dalam bahasa Arab yang berasal dari kata qasd yang secara harfiah berarti “equilibrium” atau keadaan sama, seimbang, atau pertengahan.

Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya madzhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalamekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-qur’an dan As-Sunnah.

Tokoh-tokoh madzhab ini selain Muhammad Baqir As-Sadr adalah Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutounchian, Hedayati, dan lain-lain.

b. Madzhab Mainstream

Madzhab Mainstream justru setuju dengan masalah kelangkaan sumber daya tetapi keinginan manusia tidak terbatas. Mereka berpendapat bahwa, memang benar permintaan dan penawaran sumber daya dunia berada pada titik equilibrium, tetapi jika kita berbicara pada tempat dan watu tertentu,maka sangat mungkin terjadi kelangkaan pada suatu tempat tertentu dibandingkan dengan tempat lainnya. Dalil yang dipakai:

“Dan sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar” (Q.S. Al-Baqarah (2):155)

Sedangkan keinginan manusia yang tidak terbatas dianggap sebagai hal yang alamiah. Dalil yang dipakai:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu)” (Q.S. At-Takatsur (102): 1-5)

Dan sabda nabi Muhammad saw meyebutkan, bahwa manusia tidak akan pernah puas. Bila diberikan emas satu lembah, ia akan meminta emas dua lembah, dan seterusnya.

Pandangan madzhab ini tampak tidak ada bedanya dengan ekonomi konvensional, tetapi ternyata ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan masalah tersebut (kesenjangan jumlah keinginan dan sumber daya yang ada). Ekonomi islam menyelesaikan masalah tersebut dengan membuat skala prioritas, memilih dari yang paling penting sampai yang paling tidak penting menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan ekonomi konvensional membuat skala prioritas menurut hawa nafsunya.

Tokoh-tokoh madzhab ini di antaranya, M. Umer Chapra, M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain. Mereka mayoritas bekerja diIslamic Development Bank (IDB) sebagai doktor di bidang ekonomi yang belajar (dan ada juga yang mengajar) di universitas-universitas barat. Oleh karena itu, madzhab ini tidak pernah membuang sekaligus teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Umer Chapra misalnya berpendapat bahwa usaha mengembangkan ekonomi islam bukan berarti semua hasil analisis yang baik dan sangat bermanfaat yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional selama lebih dari seratus tahun terakhir.

c. Madzhab Alternatif Kritis

Pelopor madzhab ini adalah Timur Kuman (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard, Malaya), Muhammad Arif, dan lain-lain. Madzhab ini mengkritik kedua madzhab sebelumnya. Madzhab Baqir dikritik sebagai madzhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Sementara itu, madzhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabelriba dan memasukkan variabel zakat serta niat.

Madzhab ini adalah sebuah madzhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa Islam pasti benar, tetapi ekonomi islam belum tentu benar karena ekonomi islam adalah hasil tafsiran manusia atas Al-qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori ekonomi islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.

Prinsip-prinsip umum ekonomi Islam

Walaupun pemikiran tentang ekonomi islam terbagi menjadi tiga madzhab, tetapi pada dasarnya mereka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya. Prinsip-prinsip ini membentuk keseluruhan kerangka ekonomi islam, yang jika diibaratkan sebagai sebuah bangunan dapat divisualisasikan sebagai berikut

Bangunan ekonomi islam didasarkan atas lima ilai universal, yakni: tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan), dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun proposisi-proposisi dan teori-teori ekonomi islam.

Namun, teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa memberi dampak pada kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dari cikal bakalsistem ekonomi islam. Ketiga prinsip derivatif itu adalah: multitype ownership, freedom to act, dan social justice.

Di atas semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan di atas, dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep akhlah. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia.

a. Nilai-nilai Universal

Nilai-nilai yang menjadi dasar inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi Islam, yaitu:

1. Tauhid (Keesaan Tuhan)

Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah) dan tidak ada pemilik langit, bumi, dan segala isinya, selain daripada Allah. Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam (sumber daya) dan manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepadaNya kita akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.

2. ‘Adl (Keadilan)

Salah satusifat Allah adalah adil. Dia tidakmembeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Dalam islam adil didefinisikan sebagai “tidak mendzalimi dan tidak didzalimi”.Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam.

3. Nubuwwah (Kenabian)

Untuk umat manusia, Allah telah mengirimkan model manusia yang terakhirdan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, nabi Muhammad. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, antara lain:

· Shiddiq (benar, jujur)

Konsep turunan khas ekonomi dan bisnis, yakni efektivitas (mencapai tujuan yang tepat)dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubadziran).

· Amanah (tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas)

Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.

· Fathanah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualitas)

Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan ilmu, kecerdikan, dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan.

· Tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran)

Sifat ini mengimplikasikan pada ekonomi dan bisnis, bahwa sifat tabligh menurunkan prinsip-prinsipilmu komunikasi (personal maupun massa), pemasaran, penjualan, periklanan, pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan, dan lain-lain.

4. Khilafah (Pemerintahan)

Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil, tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam rangka mencapai maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah, yaitu keimanan, jiwa, akal, kehormatan, dan kekayaan manusia), yang menurut Imam Al-Ghazali adalah untuk memajukan kesejahteraan manusia.

5. Ma’ad (Hasil)

Walaupun sering kali diterjemahkan sebagai “kebangkitan”, tetapi secara harfiah ma’ad berarti “kembali”. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikanoleh Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat. Karena itu, konsep profit mendapatkn legitimasi dalam Islam.

a. Prinsip-prinsip Derivatif: Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam

1. Multitype Ownership (Kepemilikan multijenis)

Nilai tauhid dan nilai ‘adl melahirkan konsep multitype ownership. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid:pemilik primer langit, bumi, dan sisanya adalah Allah, dan manusia hanya sebagai pemilik sekunder. Sedangkan untuk menjamin keadilan, maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Sistem kepemilikan campuran juga diakui oleh Islam, baik campuran negara-swasta, swasta domestik-asing, atau negara-asing.

2. Freedom to Act (Kebebasan Bertindak/Berusaha)

Keempat nilai nubuwwah yang dimiliki oleh Nabi Muhammad bila digabungkan dengannilai keadilan dan nilai khilafah (goog governance) akan melahirkan freedom to act pada Muslim, khususnya pada pelaku ekonomi dan bisnis. Freedom to act akan bagi setiap individu akan menciptakan mekanisme pasar dalam perekonomian. Karena itu, mekanisme pasar adalah keharusan dalam Islam, dengan syarat tidak ada distorsi (proses pendzaliman)

3. Social Justice (Keadilan Sosial)

Gabungan nilai khilafah dan nilai ma’ad melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Semua sistem ekonomi memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan sistem perekonomian yang adil. Dalam Islam, keadilan diartikan dengan suka sama sukadan tidak ada yang terdzalimi.

Akhlak : Perilaku Islam dalam perekonomian

Sekarang kita telah memiliki landasan teori yang kuat serta prinsip-prinsip sistem ekonomi yang mantap. Tetapi dua hal itu belum cukup, karena teori dan sistem menuntut adanya manusia yang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan sistem tersebut. Harus ada manusia yang perperilaku, berakhlak secara profesional (ihsan, itqan) dalam bidang ekonomi. Karena teori yang unggul dan sistem-sistem ekonomi yang sesuai syari’ah sama sekali bukan merupakan jaminan bahwa perekonomian umat Islam akan maju. Sistem ekonomi hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertntangan dengan syari’ah.Perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola pikir dan pola laku Muslimin dan Muslimat sudah itqan (tekun) dan ihsan (profesional).

BAB IV

SEJARAH EKONOMI ISLAM I

Sejarah Perekonomian Umat Islam pada Masa Awal Pemerintahan Rasulallah SAW dan Al-Khulafa Ar-Rasyidun

Islam dan Perkembangan Pemikiran Ekonomi

a. Islam Sebagai Sistem Hidup (Way of Life)

Dalam Islam, Prinsip utama dalam kehidupan adalah Allah SWT. Merupakan zat yang Maha esa, satu-satunya Tuhan dan Pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Ia adalah Subbuhun dan Quddusun, yakni bebas dari kekurangan, kelemahan, kesalahan serta suci dan bersih dalam segala hal.

Sementara itu manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik dan melaksanakan tugas kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka dimuka bumi ini, nsicaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar ” [QS Al-Hajj (22) : 41]

Ayat tersebut menyatakan, mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan yang baik dengan Allah SWT, dan menunaikan zakat merupakan refleksi keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, sedangkan ma’ruf berkaitan dengan semua yang dianggap baik oleh agama, akal, serta budaya dan munkar sebaliknya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai hidayah atas segala persoalan akidah. Syariah, dan akhlak. Akidah dan akhlak merupakan dua komponenajaran islam yang bersifat konstan/ tetap (tidak mengalami perubahan terkait tempat dan waktu), sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai kebutuhan dan taraf peradaban umat, bersifat komprehensif (merangkum seluruh aspek kehidupan, ritual/ibadah maupun sosial/muamalah) dan universal berarti syariah islam diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai yaum al-hisab nanti. Adapun untuk merespon perputaran zaman dan mengatur kehidupan duniawi manusia secara terperinci, Allah SWT menganugerahi akal pikiran dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:

“kamu lebih mengetahui urusan keduniaanmu” (Riwayat Muslim)

b. Kedudukan Akal dalam Islam serta Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Dalam pengertian islam, akal adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, yaitu daya memperoleh pengetahuan dengan memerhatiakn alam sekitar/semesta. Dalam al-qur’an banyak terdapat anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia mempergunakan akalnya, Allah SWT berfirman:

“Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” [QS. Shad (38): 29]

Rasulallahu Saw pun menyerahkan berbagai urusan duniawi yang bersifat deail dan teknis kepada akal manusia.

Kedua nash, tersebut menjelaskan bahwa akal memiliki kedudukan yang tinggi dan penting dalam ajaran agama islam. Dan ini semua dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, sebagai hasilnya muncul para cendikiawan di berbagai bidang termasuk di ekonomi, pemikiran mereka sangat mendomisili peradaban dunia sejak abad VII hingga abad XIII Masehi.

c. Sejarah Pemikiran Ekonomi dalam Islam

Kontribusi kaum muslim yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi dan peradaban dunia umunya, telah diabaikan oleh para ilmuwan barat. Menurut Capra meski sebagian besar kesalahan umat muslim dikarenakan tidak mengartikulasikan secara memadai kaum muslim, tetap saja ilmuwan barat memiliki andil karena tidak memberikan penghargaan yang layak bagi kemajuam manusia.

Ini semua disebabkan ilmuwan barat tidak menyadari sejarah pengetahuan merupakan suatu prosesn kesinambungan yang dibangun dengan fondasi yang diletakkan oleh generasi sebelumnya. Menurut Capra, Schumpeter mungkin tidak akan mengasumsikan adanya kesenjangan selama 500 tahun, dan mencoba menemukan fondasi diatas para ilmuwan skolastik dan barat mendirikan bangunan intelektual mereka.

Meski telah memberikan kontribusi yang besar, sebaliknya kaum muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan Cina. Hal ini mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selam tidak bertentangan dengan ajaran islam. Dan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi, konsep dan teori ekonomi islam merupakan respun para cendikiawan muslin terhadap tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu (Zaman). Dengan begitu pemikiran ekonomi islam seusia islam itu sendiri.

Praktik dan kebijakan ekonomi masa Rasulallahu dan Al-Khulafa Al-Rasyidun merupakan contoh empirisyang menjadi pijakan cendikiawan muslim melahirkan teori-teori ekonominya. Fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan yaitu objek utama yang menginspirasi pemikiran ekonomiislam sejak awal. Berkenaan dengan hal itu, shiddiqi menguraikan sejarah ekonomi islam dalam tiga fase, yaitu fase dasar-dasar ekonomi islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut.

1. Fase Pertama

Merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah/ abad masehi, yang dirintis oleh para fukaha diikuti sufi dan kemudian oleh filosof. Awalnya pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, namun kemudian hari para ahli harus memiliki dasar kemampuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan syariah dan para fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi dengan mengacu pada al-qur’an dan hadist Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) terkait aktivitas ekonomi.

Pemikiran terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan apa yang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan berkaitan dengan permasalahan dunia. Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajegannya mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus, dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah SWT, serta menoak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase pertama antara lain diwakili oleh :

a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)

Adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.

b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)

Lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan al-murābah

c. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah). Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.

d. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)

Adalah salah satu rekan sejawat Abu Yusuf dalam mazhab hanafiyah. Risalah kecilnya berjudul al- fi ar-Rizq al-Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia mengklasifikasikan jenis pekerjaan kedalam empat hal, yakni ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (Pertanian), Shina’ah (Industri). Dan ia menilai pertanian adalah pekerjaan yang terbaik, meski masyarakat arab pada masa itu lebih tertarik dengan perdagangan dan perniagaan.

Dalam risalah lain, yakni kitab al-Asl, ia telah membahas masalah kerja sama usaha dan bagi hasil. Secara umum, yang tercermin dari berbagai karyanya cenderung berkaitan dengan perilaku ekonomi seorang muslim sebagi individu. Berbeda dengan Abu Yusuf cenderung berkaitan dengan perilaku pengusaha dan kebijakan publik.

e. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M )

Pandangan Ibnu Miskawaih terkait aktifitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan manusia adalah makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus bekerja sama dan saling membatu sesamanya. Oleh karena itu, mereka akan saling mengambil dan memberi, dan konsekuensinya mereka menuntut kompensasi yang pantas. Ia pun menegaskan logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan fakta orang senang melihatnya.

2. Fase Kedua

Dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Pada zaman ini para cendikiawan muslim mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan ekonomi berandaskan al-qur’an dan hadist.Mereka pun menghadapi realitas politik ditandai dua hal :

Pertama, Disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya bebeapa kekuatan regional mayoritas didasarkan kekuatas (Power), ketimbang kehendak rakyat,

Kedua, Merebaknya korupsi dikalangan penguasa, diiringi dekadensi moral kalangan masyarakat mengakibatkan ketimpangan semakin besar antara si kaya dan si miskin.

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini, antara lain diwakili oleh :

a. Al-Ghazali (451-505 H/ 1055/1111 M)

Fokus Al-Ghazali tertuju pada perilaku individual, dibahas secara rinci merujuk pada al-qur’an, sunnah, Ijma sahabat, dan tabi’in. Serta pandangan para sufi terdahulu, seperti junaid al-baghdadi, Dzun Nun Al-Mishr dan Harits bin Asad al-Muhasibi. Menurutnya memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan syariah islam merupakan kewajiban beribadah kepada Allah SWT. Ia pun memiliki wawasan yang luas mengenai evaluasi pasar dan peranan uang.

b. Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M)

Ibnu Tamiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.

c. Al-Maqrizi (845 H/1441 M)

Al-Maqrizi melakukan studi kasus uang dan kenaikan harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Ia mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini yaitu, korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Emas dan perak merupakan standart nilai yang telah ditentukan syariah. Dan fulus dapat diterima sebagai mata uang jika dibatasi penggunaannya untuk transaksi berskala kecil.

3. Fase Ketiga

Dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 masehi, merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad, dikenal juga sebagai fase stagnasi. Perkembangan  pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi  upaya-upaya praktikal-operasional  bagi realisasi  perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta.  Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya  di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim –dan karenannya terus disempurnakan-langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Pemerintahan Rasulallahu Saw.

a. Latar Belakang

Sebelum islam datang, situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu dikarenakan tidak memiliki pemimpin yang berdaulat penuh. Oleh karena itu beberapa kelompok penduduk kota, meminta Nabi Muhammad Saw yang terkenal dengan sifat al-amiin (terpercaya) menjadi pemimpin mereka. Nabi Muhammad saw disambut sangat hangat sebagai pemimpin kota tersebut oleh penduduknya. Dan sejak saat itulah kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah.

Berbeda halnya dengan periode mekkah, islam menjadi kekuatan politik pada periode madinah. Dan saat itu Rasulallahu menjadi pemimpin sebuah komunitas kecil yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu, hingga menjadi pemimpn bangsa Madinah. Dengan demikian nabi Muhammad saw menjadi kepala Negara disamping pemimpin agama. Dengan kata lain Rasulallahu memiliki dua kekuasaan sekaligus yaitu, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.

Setelah menjadi kepala Negara Rasulallahu saw langsung melakukan perubahan yang drastis dalam menata kehidupan di Madinah yaitu membangun kehidupan sosial, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, institusi, maupun pemerintahan yang bersih dari berbagai tradisi, ritual dan norma yang bertentangan dengan prinsip islam. Seluruh aspek masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qur’ani seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan. Strategi yang dilakukan rasulallahu saw adalah dengan melakukan langkah-langkah berikut :

1. Membangun Mesjid

Mesjid ini menggunakan struktur yang sangat sederhana, menggunakan bebatuan dan batu bata sebagai dindinganya, daun-daun palem sebagai atapnya, serta batang-batang pohon kurma sebagai tiangnya. Yang kemudian diberi nama Mesjid Nabawi berfungsi sebagai Islamic Center.

2. Merehabilitasi Kaum Muhajirin

3. Memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum muhajirin (Penduduk Mekah yang berhijrah ke Madinah)

4. Membuat Konstitusi Negara

Konstitusi Negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara baik muslim maupun non-muslim, serta sistem keamanan dan pertahanan Negara.

5. Meletakkan Dasar-dasar Sistem Keuangan Negara

Dasar-dasar sistem keuangan Negara sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an. Dan menggunakan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai al-qur’an, yakni persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.

b. Sistem Ekonomi

Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi.Oleh karena itu,peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah Saw.merupakan langkah yang sangat signifikan,sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu,sehingga Islam sebagai ssebuah agama dan negara dapat brkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.  

Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah Saw.berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.Alqur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya,termasuk di bidang ekonomi.

Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dalam pandangan Islam,kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan menjdai kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah,melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan,bahkan setelah kehidupan dunia ini,Dengan kata lain,Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.

c. Keuangan dan Pajak

Sebelum Nabi Muhamad s.a.w diangkat  sebagai  rasul dalam  masyarakat  jahilyah  sudah  terdapat  lembaga  politik  semacam  dewan  perwakilan  rakyat  untuk  ukuran  masa  itu yang  disebut  Darun Nadriah. Di dalamnya para  tokoh  Mekkah  berkumpul dan  bermusyawarah  untuk  menentukan  suatu  keputusan etika  dilantik  sebagai  rasul mengadakan semacam  lembaga  tandingan  untuk  itu yaitu  darul  arqam.

Perkembangan  lembaga  ini  terkendala  karena  banyaknya  tantangan  dan  rintangan sampai  akhirnya  Rasulullah  memutuskan  untuk  hijrah  ke Madinah. Ketika  beliau  hijrah  ke  Madinah maka  yang  pertama  kali  didirikan Rasulullah adalah Masjid (Masjid Quba). Yang bukan saja  merupakan tempat beribadah tetapi juga sentral kegiatan kaum  muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan membentuk “lembaga”persatuan di antara  para  sahabatnya yaitu  persaudaraan  antara  kaum  Muhajirin  dan  kaum  Anshar. Hal ini  di  ikuti  dengan  pembangunan  mesjid  lain  yang  lebih  besar (Mesjid  nabawi) yang  kemudian  yang  menjadi  sentral  pemerintah.

Untuk  selanjutnya pendirian (lembaga)  dilanjutkan  dengan penertiban  pasar. Rasulullah  diriwayatkan  menolak  membentuk  pasar yang  baru  yang khusus  untuk  kaum  muslimin. Karena  pasar  merupakan  sesuatu  yang alamiah  dan  harus  berjalan  dengan  sunatullah. Demikian  halnya  dalam  penentuan harga dan  mata  uang  tidak  ada  satupun  bukti  sejarah  yang  menunjukan  bahwa  nabi  Muhamad membuat mata uang  sendiri.

Pada  tahun-tahun awal  sejak  dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran  negara. Seluruh  tugas  negara  dilaksanakan kaum musimin  secara bergotong royong dan  sukarela. Mereka  memenuhi  kebutuhan  hidup  diri  dan  keluarganya sendiri. Mereka  memperoleh  pendapatan  dari bebagai  sumber  yang  tidak  terikat.

Tidak hanya masa  sekarang  saja  adanya  sumber  anggaran  negara  semisal pajak, zakat, kharaj  dsb  tetapi  di Madinah juga pada  masa  rasulullah sudah  ada  yang  namanya    sumber  anggaran  pendapatan  negara  semisal  pajak, zaka, kharaj  dsb.Pajak (dharibah) itu sebenarnya  merupakan  harta  yang di  fardhukan  oleh Alloh kepada  kaum  muslimin  dalam  rangka  memenuhi  kebutuhan mereka. Dimana Alloh telah menjadikan seorang  imam  sebagai  pemimpin  bagi  mereka  yang  bisa mengambil  harta  dan  menafkahkannya  sesuai  dengan  objek-obyek  tertentu. Dalam  mewajibkan  pajak  tidak  mengenal  bertambahnya  kekayaan  dan  larangan  tidak  boleh  kaya  dan  untuk  mengumpulkan  pajak  tidak  akan  memperhatikan ekonomi  apapun. Namun  pajak  tersebut  dipungut  semata  berdasarkan  standar  cukup. Tidak hanya  harta  yang  ada  di  baitul  mal, untuk  memenuhi  seluruh  keperluan  yang  dibutuhkan  sehingga  pajak  tersebut  di  pungut  berdasarkan  kadar  kebutuhan  belanja  negara.

Karakteristik  pekerjaan  masih  sangat sederhana dan tidak memerlukan perhatian  penuh. Rasulullah   sendiri  adalah  seorang  kepala  negara  yang  merangkap  sebagai  ketua  mahkamah  agung, mufti  besar, panglima  perang  tertinggi, serta  penanggungjawab  seluruh  administrasi  negara. Ia  tidak  memperoleh  gaji  dari  negara atau  masyarakat, kecuali  hadiah-hadiah  kecil  yang pada  umumnya  berupa  bahan  makanan.

Majelis  syura  terdiri  dari  para  sahabat  terkemuka  yang  sebagian  dari  mereka  bertanggung  jawab  mencatat  wahyu. Pada  tahun  keenam  hijriah, sebuah  sekretariat  sederhana  telah  dibangun  dan  ditindak  lanjuti  dengan  pengiriman  duta-duta negara  ke  berbagai  pemerintahan dan  kerajaan.

Demikianlah  adanya  sumber  pendapatan  negara  semisal sistem keuangan dan pajak  yang  ada  pada  masa  rasulullah    yang  dapat  menjadikan  kaum  muslimin  bisa  hidup  sejahtera. Tanpa  adanya  permsuhan  dan  kesenjangan  sosial  subhanalloh  begitu  menakjubkan  sekali  ditengah  kesederhanaannya  tetapi  bisa  menjadikan  seluruh  kaum  muslimin  bisa  menjalankan  aktivitas  perekonomian  dengan  tidak  mengesampingkan  rasa  ukhuwah mereka.    

1. Sumber-sumber Pendapatan Negara    

a. Uang tebusan untuk para tawanan perang ( hanya khusus pada perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang ).

b. Pinjaman-pinjaman ( setelah penaklukan kota Mekkah ) untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000 dirham ( 20.000 dirham menurut Bukhari ) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah ( sampai waktu itu tidak ada perubahan ).

c. Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.

d. Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.

e. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal.

f. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaaraan negera selama masa darurat.

g. Zakat fitrah

h. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah.

i. Ushr

j. Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim.

k. Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditakhlukkan.

l. Ghanimah.

m. Fa’i

2. Sumber-sumber Pengeluaran Negara

a. Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.

b. Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an, termasuk para pemungut zakat.

c. Pembayarnan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya.

d. Pembayaran upah para sukarelawan.

e.  Pembayaran utang negara.

f. Bantuan untuk musafir.

g. Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.

h. Hiburan untuk para delegasi keagamaan.

i. Hiburan untuk para utusan suku dan negera serta perjalanan mereka.

j. Hadiah untuk pemerintah negara lain.

k. Pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang menjadi budak.

l. Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh para pasukan kaum muslimin.

m. Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.

n. Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.

o. Tunjangan  untuk sanak saudara Rasulullah.

p. Pengeluaran rumah tangga Rasulullaah Saw. ( hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya ).

q. Persediaan darurat.   

d. Baitul Mal

Baitul  mal  adalah  lembaga  khusus  yang  mengenai  harta  yang  di  terima  negara  dan  mengalokasikan  bagi  kaum  muslim  yang berhak  menerimanya.Rosulullah  mulai  melirik  permasalahan  ekonomi  dan  keuangan  negara  setelah beliau  menyelesaikan  masalah  politik  dan  urusan  konstitusional  di madinah  pada  masa  awal hijriah.Pertama kalinya berdirinya  baitul  mal  sebagai sebuah  lembaga  adalah setelah  turunnya  firman Allah SWT di  Badr  seusai  perang  dan saat itu sahabat berselisih  tentang  ghonimah:

”Mereka ( para  sahabat)  akan  bertaanya  kepadamu  (Muhammad)  tentang anfal,  katakanlah  bahwa anfal  itu  milik  Allah SWT dan Rasul,  maka  bertaqwalah  kepada Allah SWT  dan perbaikilah  hubungan  diantara  sesamamu dan  taatlah  kepada  Allah SWT  dan Rasul-Nya  jika  kalian  benar-benar  beriman”.  (QS. Al-Anfal: 1)  

Pada    masa  Rosulullah  Saw  Baitul mal  terletak  di masjid  Nabawi  yang  ketika  itu  digunakakan  sebagai kantor  pusat  negara  serta   tempat tinggal  Rosulullah. Binatang-binatang  yang merupakan  harta perbendaharaan  negara  tidak  disimpan di baitul mal  akan  tetapi  binatang- binatang tersebut  ditempatkan  di padang  terbuka

Pada  zaman  Nabi  baitul  mal  belum  merupakan  suatu  tempat  yang khusus,  hal ini  disebabkan  harta  yang  masuk  pada  saat  itu  belum  begitu  banyak  dan  selalu  habis  dibagikan  kepada  kaum  muslim,  serta  dibelanjankan  untuk  pemeliharaan  urusan  negara.  Baitul  mal  belum  memiliki  bagian-bagian  tertentu  dan  ruang  untuk  penyimpanan  arsip serta  ruang  bagi  penulis.

Adapun  penulis  yang  telah  diangkat  nabi  untuk  mencatat  harta antara  lain

1) Maiqip  Bin  Abi  Fatimah  Ad-Duasyi  sebagai  penulis  harta  ghonimah.

2) Az-Zubair  Bin  Al- Awwam  sebagai  penulis  harta  zakat.

3) Hudzaifah  Bin  Al- Yaman  sebagai  penulis  harga  pertanian   di daerah  Hijas.

4) Abdullah   Bin  Rowwahah  sebagai  penulis  harga  hasil  pertanian  daerah  khaibar.

5) Al-Mughoirah  su’bah  sebagai  penulis  hutang-  piutang  dan  iktivitaas  muamalah  yang  dilakukan  oleh   negara.

6) Abdullah  Bin  Arqom  sebagai  penulis  urusan  masyarakat  kabila- kabilah  termasuk  kondisi  pengairannya.

Namun  semua  pendapatan  dan  pengeluaran  negara  pada  masa  Rasulullah  tersebut belum ada  pencatatan  yang  maksimal.  Keaadaan  ini  karena  berbagai  alasan:

1) Jumlah  orang  Islam  yang  bisa  membaca  dan  menulis  sedikit

2) Sebagian  besar bukti  pembayaran  dibuat  dalam  bentuk  yang  sederhana.

3) Sebagian  besar  zakat  hanya  didistribusikan  secara  lokal.

4) Bukti  penerimaan  dari  berbagai   daerah  yang  berbeda  tidak  umum  digunakan.

5) Pada  banyak  kasus,  ghonimah  digunakan  dan didistribusikan  setelah  peperangan  tertentu.

Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Al-Khulafa Ar-Rasyidun

a. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq

Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan harta baitul maal, dua setenagh dirham tiap hari ditambah daging domba dan pakaian biasa. Karena kurang mencukupi kemudian dinaikkan menjadi 2000 atau 2500 dirham, pada riwayat lain 6000 dirham per tahun. Namun demikian beberapa saat menjelang ajalnya, negara kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan kemudian beliau memerintahkan untuk memberikan tunjangan sebesar 8000 dirham dan menjual sebagian besar tanah yang dimilikinya untuk negara.

Beliau sangat akurat dalam penghitungan dan pengumpulan zakat kemudian ditampung di baitul maal dan didistribusikan dalam jangka waktu yang tidak lama sampai habis tidak tersisa. Pembagiannya sama rata antara sahabat yang masuk Islam terlebih dahulu maupun yang belakangan, pria maupun wanita. Beliau juga membagikan sebagian tanah taklukan, dan sebagian yang lain tetap menjadi milik negara. Dan juga mengambil alih tanah orang-orang yang murtad untuk kepentingan umat Islam. Ketika beliau wafat hanya ditemukan 1 dirham dalam perbendaharaan negara karena memang harta yang sudah dikumpulkan langsung dibagikan, sehingga tidak ada penumpukan harta di baitul maal.

b. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab

Pemerintahan Umar bin Khattab berlangsung selama 10 tahun. Beliau banyak melakukan ekspansi. Administrasi diatur menjadi 8 propinsi, beliau juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan tenaga kerja. Baitul maal pada masa ini tertata baik dan rapi lengkap dengan sistem administrasinya karena pendapatan negara meningkat drastis. Harta baitul maal tidak dihabiskan sekaligus, sebagian diantaranya untuk cadangan baik untuk kepentingan darurat, pembayaran gaji tentara dan kepentingan umat yang lain. Baitul maal merupakan pelaksana kebijakan fiskal negara Islam.

Khalifah mendapat tunjangan sebesar 5000 dirham per tahun, satu stel pakaian musim panas, satu stel pakaian musim dingin, serta seekor binatang tunggangan untuk naik haji. Harta baitul maal adalah milik kaum muslimin sedang khalifah dan amil hanya pemegang amanah. Untuk mendistribusikan harta baitul maal umar juga mendirikan: departemen pelayanan militer, departemen kehakiman dan eksekutif, departemen pelayanan dan pengembangan Islam, dan departemen jaminan sosial. Umar juga mendirikan diwan islam yang bertugas memberikan tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun.

Tunjangan yang diberikan adalah sebagai berikut:

1) Aisyah dan Abbas bin abd mutalib Masing-masing 12000 dirham

2) Para istri nabi selain aisyah Masing-masing 10000 dirham

3) Ali, hasan, husain dan para pejuang badar Masing-masing 5000 dirham

4) Para pejuang uhud dan para migran abisinya Masing-masing 4000 dirham

5) Kaum muhajirin sebelum peristiwa fahu makah Masing-masing 3000 dirham

6) Putra para pejuang badar, orang yang memeluk Islam ketika fathu makah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang qadisiyah, uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian hudaibiyah Masing-masing 2000 dirham

7) Orang-orang makah yang bukan termasuk kaum muhajirin Masing-masing 800 dirham

8) Warga madinah 25 dinar

9) Kaum muslimin di yaman, syria, irak Masing-masing 200-300 dirham

10) Anak-anak yang baru lahir yang tidak diakui Masing-masing 100 dirham

Selain itu Umar juga membagikan harta dalam bentuk benda, dua ember makanan sebulan, dua karung gandum dan cuka untuk satu orang. Dalam memperlakukan tanah taklukan, Umar tidak membaginya kepada kaum muslimin tetapi tetap pada pemiliknya dengan syarat membayar jizyah dan kharaj. Umar juga mensubsidi masjid masjid dan madrasah-madrasah.

Umar membagi pendapatan negara menjadi empat yaitu: zakat dan ushr didistribusikan di tingkat lokal, khums dan sedekah, didistribusikan untuk fakir miskin baik muslim maupun non muslim, kharaj, fai, jizyah, pajak perdagangan, dan sewa tanah untuk dana pensiun, daba operasional administrasi dan militer, dan pendapatan lain-lain untuk membayar para pekerja, dan dana sosial.

1. Pendirian Lembaga Baitul Mal

Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesat 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut.

Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul Mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.

Khalifah Umar ibn Al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu, seperti :

a. Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan.

b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Bertanggung jawab atas pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.

c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru dan juru dakwah.

d. Departemen Jaminan Sosial. Berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan orang-orang yang menderita.

2. Kepemilikan Tanah

Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru. Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukkan tersebut.

Para tentara dan beberapa sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sementara sebagian kaum Muslimin yang lain menolak pendapat tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang menolak, mengatakan, Apabila engkau membagikan tanah tersebut, hasilnya tidak akan raenggembirakan. Bagian yang bagus akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja.

Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk penaksiran, pengumpulan, dan pendistribusian pendapatan yang diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut.

a. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milikMuslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedang-kan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian damai tetapdimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapatdialihkan.

b. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversi menjadi tanah ushr.

c. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah.

d. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.

e. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.

f. Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, madu, dan rancangan ini telah disetujui khalifah.

g. Perjanjian Damaskus (Syria) berisi pembayaran tunai, pembagiantanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.

3. Zakat

Pada masa Rasulullah Saw., jumlah kuda di Arab masih sangat sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum Muslimin karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki produktivitas, seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.

Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang lebah tidak membayar ushr, tetapi menginginkan sarang-sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka mau membayar ushr sarang lebah mereka akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan memperoleh perlindungan.Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.

4. Ushr

Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya.

Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis). Menurut Saib bin Yazid, pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaeteari yang berdagang di Madmah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetapi setelah beberapa waktu Umar menurunkan persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.

5. Sedekah dari Non-Muslim

Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen; Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab Kristen yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.

Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk membayar sedekah ganda.

6. Mata Uang

Pada masa nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas, dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitstyal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of barky. Oleh karena ltu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal adalah tujuh per sepuluh.

7. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara

Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar ibn Al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu :

a. Pendapatan zakat dan ushr. Pendapatan ini didistribusikan di frngkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mai pusat dan dibagikan kepada delapan ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Al-Quran.

b. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang Muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.

c. Pendapatan kharaj, fai, jizyah, 'ushr (pajak perdagangan), dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.

d. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.

8. Pengeluaran

Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut, dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan.Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-orang yang telah berjasa.

Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan untuk melaksanakan kewajiban sipil, tetapi mereka dibayar bukan untuk itu.Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw., Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan Muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.

c. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan

Sistem ekonomi dan fiskal pada masa pemerintahan khalifah usman bin AffanPada masa pemerintahannya yang berlangsung 12 tahun, khalifah usman bin Affan berhasil melakukan ekspensi kewilayaan armenia, tunesia, cyprus, rhodes, dan bagian tersisa dari persia, transoxania dan tabristan. Ia juga berhasil menumpas pemberontakan didaerah khurusan dan iskandariah.

Pada enam tahun masa pemerintahannya, khalifah usman bin affan melakukan penataan baru dengan mengikuti kebijakn umar Bin Khattab, dalam rangka membangun sumber daya alam ia melakukan pembuatan sluran air, pembnagunan jalan jalan, pembentukan organisasi kepolisian secara permanen dan pembentukan armada laut.

Dalam hal pengelolaan zakat khalifah usman bin affan mendelegasikan keungan menaksir harta yang dizakati kepada pemiliknya masing masing. Disamping itu, khalifah Usman bin affan berpendapat bahwa zakat dikenakan terhadap harta milik seseorang setelah dipotong seluruh hutang – hutang yang bersangkutan.Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Usman Bin Affan tidak terdapat perubahan situasi perekonomian yang cukup signifikasi karena khalifah usman itu banyak menguntungkan keluarganya.

d. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Setelah diangkat sebagai khalifah keempat oleh segenap kaum muslimin, Ali Bin Abi Thalib langsung mengambil tindakan seperti memberhentikan para pejabat yang korup, membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada orang-orang kesayangan utsman, dan mendistribusikan pendapatan pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan umar bin khattab.Masa pemerintahan khalifah ali bin abi thalib yang hanya berlangsung selama 6 tahun selalu diwarnai dengan ketidak stabilan kehidupan politik. Kebijakan Ekonomi Ali Bin Ali Thallib:

a. Mengedepankan prinsip pemerataan dalam pendistribusian kekayaan negara kepada masyarakat.

b. Menetapkan pajak terhadap para pemilik kebun dan mengijinkan pemungutan zakat terhadap sayuran segar

c. Pembayaran gaji pegawai dengan system mingguan

d. Melakukan kontrol pasar dan pemberantas pedagang licik, penimbunan barang , dan pasar gelap

e. Aturan konpensai bagi para pekerja jika kereka merusak barang-barang pekerjaaannya.

Kebijakan Fiskal Pada Awal Pemerintahan Islam

a. Latar Belakang : Kondisi Ekonomi Geografis Kota Madinah

1. Populasi

Jum