sarafambarawa.files.wordpress.com · Web viewLAPORAN KASUS . CERVICAL . DYSTONIA. Pembimbing: dr....
Transcript of sarafambarawa.files.wordpress.com · Web viewLAPORAN KASUS . CERVICAL . DYSTONIA. Pembimbing: dr....
1
LAPORAN KASUS
CERVICAL DYSTONIA
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan Sp.S, M.Sc
Disusun oleh:
Alisya Nurulita Eka Putri
1920221143
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2021
2
A. IDENTITAS PASIEN
Nomor RM : 200xxx-20xx
Nama : Ny. A Z
Tanggal Lahir : 14 Juni 1981
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jetisan 02/02 Tegallurung, Temanggung
Pekerjaan : Karyawan marketing
Agama : Islam
Umur : 39 tahun
Pendidikan : SMA
Status Marital : Menikah
Tanggal masuk : 5 April 2021
Ruangan : Bangsal Mawar
B. SUBJEKTIF/ANAMNESA
Diperoleh dari pasien serta keluarga pasien (autoanamnesis dan aloanamnesis),
dilakukan pada tanggal 8-9 April 2021 di bangsal mawar.
a) Keluhan Utama
Nyeri pada leher yang memberat dan terasa tertarik ke sebelah kanan sejak 3 bulan lalu.
b) Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke IGD RSGM pada 5 April 2021 pukul 15.15 dengan keluhan leher
terasa nyeri dan tertarik ke sebelah kanan tubuh, sehingga posisi wajah sulit
menghadap ke arah depan sumbu tubuh. Nyeri leher dirasa seperti tertarik dan
tertekan, serta sering menjalar ke bagian bahu hingga kepala bagian kiri, dengan Skor
NPS 8, keluhan sangat mengganggu aktivitas keseharian pasien. Keluhan ini pertama
kali muncul kurang lebih sekitar 3 bulan yang lalu. Pasien menyangkal adanya
keluhan pada anggota gerak lain maupun nyeri di bagian tubuh lainnya. Pasien
menyangkal keluhan mual, muntah, pusing, kejang, pandangan kabur mendadak,
maupun telinga berdenging. BAB dan BAK pasien normal dari segi frekuensi, warna,
3
dan konsistensi.
Sebelum keluhan muncul, pasien mengaku sempat terjatuh dari tempat tidur setinggi
setengah meter dengan posisi berbaring pada bulan yang sama. Pasien mengatakan
keluhan leher tertarik memberat terutama jika aktivitas fisik berlebih dan menghilang
saat tidur hingga sesaat setelah pasien terbangun dari tidur berdurasi lama terutama
pada pagi hari. Lama waktu maksimal terbebas dari gejala leher tertarik berkisar
antara 5-15 menit pasca bangun tidur, kemudian gejala akan muncul lagi sepanjang
hari. Pasien mengaku keluhan ini sangat mengganggu aktivitasnya sehari-hari
terutama terkait pekerjaan sebagai karyawan marketing yang mengharuskan pasien
bermobilisasi mengendarai mobil dan sepeda, karena pasien merasa kesulitan
menghadapkan wajah ke depan. Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan dan
semakin hari semakin memberat hingga pasien datang ke IGD RSGM. Saat
pengambilan data anamnesis, Pasien dan keluarga bersikap kooperatif, serta fungsi
kognitif pasien dalam taraf baik.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat trauma kepala/leher : pernah terjatuh dari tempat tidur 3 bulan lalu
3. Riwayat sakit gigi / gigi berlubang : disangkal
4. Riwayat tekanan darah tinggi : diakui, pasien hanya konsumsi obat hanya
5. Riwayat ateroma (stroke, DM,kolesterol): disangkal
6. Riwayat demam : disangkal
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku pakde (kakak dari ibunya) memiliki kebiasaan gerakan bola mata dan memejamkan kelopak mata secara tidak wajar serta kedutan. Serta sanak saudara lain memiliki kebiasaan membuka dan menutup mulut yang tidak wajar disertai timbulnya suara dari mulut.
e) Riwayat gaya hidup dan sosial ekonomi, Pekerjaan sebagai karyawan marketing yang mengharuskan pasien bermobilisasi
mengendarai mobil dan sepeda untuk bertemu costumer Datang dengan status pasien Umum, kesan ekonomi baik
Pasien menyangkal pernah minum minuman keras atau merokok
4
Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang maupun jamu
f) Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku selalu menebus resep obat anti hipertensi di puskesmas namun
kadang tidak meminumnya jika sedang sibuk maupun tidak bergejala.
g) Anamnesis Sistem
1. Sistem cerebrospinal : terkadang kepala bagian kiri terasa nyeri jika memaksakan posisi kepala menghadap depan
2. Sistem kardiovascular : Tidak ada keluhan
3. Sistem respiratorius : Tidak ada keluhan
4. Sistem gastrointestinal : Tidak ada keluhan
5. Sistem neuromuskuler : leher terasa tertarik kearah kanan dan sulit menghadapkan wajah ke depan
6. Sistem urogenital : Tidak ada keluhan
7. Sistem integumen : Tidak ada keluhan
h) Resume Pasien
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis. Pasien
berumur 39 tahun, datang dengan keluhan leher terasa nyeri dan tertarik ke
sebelah kanan sejak 3 bulan yang lalu. Terkadang keluhan disertai nyeri kepala
bagian kiri. Sebelum menderita keluhan tersebut, pasien mengaku sempat terjatuh
dari tempat tidur pada bulan yang sama. Keluhan leher tertarik dapat hilang jika
pasien tidur hingga sesaat setelah terbangun dari tidur. Pasien mengeluh gejala
sangat mengganggu aktivitas kesehariannya terutama terkait dengan pekerjaan
yang mengharuskan berkendara.
Pasien mengaku memiliki Riwayat hipertensi kurang lebih selama 5 tahun
namun tidak patuh untuk rutin meminum obat. Pada keluarga pasien didapatkan
Riwayat keluarga yang memiliki kebiasaan tidak wajar terkait Gerakan motorik
berupa sering mengedipkan mata secara paksa serta sering timbul kedutan.
5
C. DISKUSI PERTAMA
Berdasarkan hasil anamnesis pasien mengeluhkan leher terasa nyeri dan kaku
serta tertarik ke sebelah kanan tubuh, sehingga posisi wajah sulit menghadap ke
arah depan sumbu tubuh. Terkadang keluhan disertai nyeri kepala bagian kiri. hal
tersebut dapat merujuk ke kondisi distonia tipe fokal yaitu dystonia servikalis. Distonia
adalah gangguan gerak yang ditandai dengan adanya kontraksi otot yang terus menerus
atau intermiten yang menyebabkan adanya gerakan, postur atau keduanya yang abnormal,
repetitif. Distonik movement biasanya berpola, dapat memutar dan mungkin tremor.
Cervical Dystonia (CD), sering disebut sebagai tortikolis spasmodik, yaitu jenis dystonia
fokal yang melibatkan otot leher dan terkadang melibatkan bahu. Hingga kini,
nomenklatur untuk CD kerap kali tidak konsisten untuk digunakan, istilah "tortikolis
spasmodik" mungkin masih digunakan secara klinis hingga kini. CD timbul karena
adanya kontraksi berlebih dari m. Sternocleidomastoideus, m. Trapezius, dan m. Cervical
posterior.
Berdasarkan bagian tubuh yang terkena, distonia terbagi menjadi lima klasifikasi
1. Distonia generalisata, mengenai sebagian besar atau seluruh tubuh
2. Distonia fokal, terbatas pada bagian tubuh tertentu, gejala yang sering timbul
yaitu cercival distonia, blepharospasme, oromandibular distonia, laryngeal
distonia, dan limb distonia
3. Distonia multifokal, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang tidak berhubungan.
Satu atau kedua kaki, tangan dan kaki, atau wajah dan tangan.
4. Distonia segmental, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang berdekatan.
Contohnya mata, mulut, dan wajah bagian bawah.
5. Hemidistonia, melibatkan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama,
seringkali merupakan akibat dari stroke.
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 39 tahun. Berdasarkan salah
satu penelitian, data statistic menunjukkan hasil bahwa CD primer / idiopatik lebih sering
terjadi pada wanita dan dilaporkan pada rasio 1,6 : 1 (perempuan: laki-laki). Hal ini
berarti kasus ini termasuk minoritas jika dilihat dari segi gender. Sedangkan Dalam satu
penelitian besar lain, disebutkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam onset usia,
CD terjadi pada usia rata-rata 39,2 tahun untuk pria dan 42,9 tahun untuk wanita.
6
Pasien mengaku keluhan muncul pertama kali sekitar 3 bulan lalu. Sebelum
keluhan muncul, pasien mengaku memiliki Riwayat pernah terjatuh dari tempat
tidur setinggi setengah meter dengan posisi berbaring pada bulan yang sama.
Sebuah riset mengatakan bahwa sebagian kecil kasus CD mungkin terkait dengan trauma
kepala, leher, atau bahu (11% dalam 1 penelitian). Data menunjukkan bahwa waktu
presentasi setelah trauma merupakan faktor penentu dalam presentasi klinis. Pasien
dengan onset CD yang tertunda setelah trauma (3 bulan hingga 1 tahun) menunjukkan
presentasi klinis yang tidak dapat dibedakan dari CD idiopatik, sedangkan mereka dengan
onset dini setelah trauma (dalam 4 minggu) memiliki presentasi yang berbeda yang
ditandai dengan mobilitas serviks yang berkurang. elevasi, postur tubuh yang
berkelanjutan, dan tidak bermaknanya trik sensorik, dan respons yang kurang dapat
diprediksi terhadap toksin botulinum tipe A. Nyeri adalah ciri utama dari distonia pasca
trauma dan CD idiopatik: ganglia basal dianggap berperan penting peran dalam
patofisiologi CD dan mereka mungkin juga menjadi pusat otak penting yang terlibat
dalam nosisepsi.
Pasien mengaku pakde (kakak dari ibunya) memiliki kebiasaan gerakan
bola mata, memejamkan kelopak mata secara dipaksa dan tidak wajar serta sering
kedutan. Beberapa teori etiologi dystonia menyebutkan adanya keterlibatan factor
genetic (herediter) sebagai factor pencetus dystonia primer. Sekitar 44% pasien
ditemukan memiliki riwayat keluarga dengan distonia, hal ini terkait dengan adanya
mutasi gen yang dikenal sebagai DYT1, Yaitu gen yang terdapat pada kromososm 9 pada
9q34.
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis : kontraksi involunter otot leher kronik persisten
Diagnosis topis : ganglia basalis
Diagnosis etiologis : cervical dystonia e.c primer dd sekunder dd Space Occupying Lesion (SOL) Intrakranial dd Cervical radiculopathy dd partial seizure
CERVICAL DYSTONIA
Definisi
Distonia adalah gangguan gerak yang ditandai dengan adanya kontraksi otot yang
7
terus menerus atau intermiten yang menyebabkan munculnya gerakan, postur atau
keduanya yang abnormal serta repetitif.
Cervical Dystonia (CD), sering disebut sebagai tortikolis spasmodik, yaitu jenis
dystonia fokal yang melibatkan otot leher dan terkadang melibatkan bahu. Hingga kini,
nomenklatur untuk CD kerap kali tidak konsisten, istilah "tortikolis spasmodik" mungkin
masih digunakan secara klinis.
Kata "torticollis" secara tradisional berarti rotasi (tortikolis berputar), dengan arah
rotasi ditentukan oleh arah rotasi dagu. Namun, selain rotasi sederhana, postur atau
gerakan lain, seperti fleksi leher (juga disebut anterocollis), ekstensi (retrocollis), head
tilt (laterocollis), dan lateral / sagital shift, juga dapat terjadi pada CD. Sebuah penelitian
menyebutkan pada 70% kasus CD, terdapat temuan kombinasi dari gejala abnormalitas
postur tersebut. Untuk alasan ini dan karena "distonia serviks" lebih jelas mengacu pada
leher, istilah "distonia serviks" sebagian besar telah menggantikan "tortikolis spasmodik".
Etiologi Distonia
Penyebab munculnya dystonia dapat terbagi menjadi etiologi primer dan sekunder.
Distonia primer (idiopatik) terjadi tanpa adanya penyebab yang dapat diidentifikasi.
Tidak ada kelainan struktural yang diketahui pada sistem saraf pusat, atau penyakit yang
menyertai. CD primer dikaitkan dengan komponen genetic herediter pada sekitar 12%
kasus, dan erat dikaitkan dengan Riwayat cedera leher sebelumnya.
Distonia sekunder merupakan komplikasi dari proses penyakit lain, dan memiliki
penyebab jelas yang dapat diturunkan atau didapat. Penyebab sekunder sering dikaitkan
dengan penggunaan obat-obatan tertentu (misalnya neuroleptik) atau masuknya toksin
yang berlebihan ke dalam tubuh (keracunan karbon monoksida), atau dengan lesi
struktural terutama pada ganglia basal, seperti trauma atau gangguan vaskular.
Gangguan aliran darah menuju ganglia basalis diduga berperan dalam terjadinya
distonia. Adanya lesi di putamen dihubungkan dengan kejadian hemidistonia.
Keterlibatan putamen bilateral berperan dalam distonia generalisata. Sedangkan
Torticollis diduga muncul sebagai keterlibatan nucleus caudatus dan thalamus. Adanya
penyakit pada thalamus dan subthalamus, serta kemungkinan disfungsi hipotalamus.
8
Karena ganglia basalis berperan untuk mempertahankan postur kepala, ganglia
basalis dan vestibulo-ocular pathway dapat terlibat dalam terjadinya distonia cervical.
Adanya gangguan neurotransmitter juga diduga menjadi penyebab distonia. Abnormalitas
serotonin, dopamin, dan norepinefrin pada beberapa struktur otak juga dihubungkan
dengan distonia. Pada sebuah review literature, didapatkan data peningkatan kasus
distonia akibat penggunaan obat – obatan yang mempengaruhi sistem serotonin.
Secara genetic, teori menyebutkan adanya mutasi pada tujuh gen berbeda telah
dikaitkan dengan munculnya distonia. Mutasi pada GTP cyclohydrolase I (GCHI) atau
tyrosine hydroxylase (TH) merusak sintesis dopamin di DYT5 distonia. Selain itu,
riwayat trauma otak/kepala/leher, infeksi, obat – obatan yang menginduksi distonia
(levodopa, agonis dopamin, antikonvulsan, dan calcium channel blockers), Kelainan
vaskular seperti iskemia, perdarahan, malformasi arteri, neoplasma ( tumor otak), erat
pula dikaitkan dengan distonia.
Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada tujuan pembagian dan kelainan didasarkan pada kelainan
dimana gerakan distonik dapat terjadi. Sindrom distonia diklasifikasikan kedalam 3 axis :
etiologi, usia saat onset, dan lokasi tubuh yang terkena
a. Berdasarkan etiologi
Distonia primer adalah ketika tidak ditemukannya degenarasi atau defek struktural
pada otak. Mayoritas penyebab distonia primer adalah karena adanya mutasi gen
ang dikenal sebagai DYT1. Yaitu gen yang terdapat pada kromososm 9 pada
9q34. Sekitar 90 – 95 % kasus gejalanya dimulai dari ekstrimitas kemudian
menyebar ke bagian tubuh lain. Bentuk distonia ini memiliki onset rata – rata usia
12 tahun dan jarang berkembang setelah usia 29 tahun. DYT6 distonia adalah
distonia primer autosomal dominan yang terdapat pada kromosom 8 (8p21q22).
DYT6 lebih jarang daripada DYT 1 gangguannya dimulai di tempat awal
kemudian menyebar ke beberapa bagian tubuh, paling sering pada tungkai, kepala
atau leher. Kesulitan dala artikulasi. Distonia sekunder berasal dari penyebab
sekunder. Termasuk karena lingkungan seperti paparan karbon monoksida,
sianida, mangan atau metanol: kondisi dan penyakit yang mendasarinya seperti
9
tumor otak, cerebral palsy, parkinson, stroke, multipel sklerosis, cedera otak,
infeksi atau karena 0bat – obatan tertentu.
b. Berdasarkan usia
Infant distonia ( 0 – 2 tahun )
Anak – anak ( 3 – 12 tahun )
Remaja ( 13 – 20 tahun)
Dewasa muda ( 21 – 40 tahun )
Dewasa akhir ( >40 tahun )
c. Berdasarkan lokasi tubuh yang terkena
Distonia generalisata, mengenai sebagian besar atau seluruh tubuh
Distonia fokal, terbatas pada bagian tubuh tertentu, gejala yang sering
timbul :
cercival distonia
Cranial dystonia, biasanya bermanifestasi sebagai penutupan mata
paksa yang tidak disengaja (blepharospasm) atau kontraksi tak
disengaja dari otot-otot wajah bagian bawah dan rahang
(oromandibular dystonia) atau keduanya
Limb dystonia
Distonia multifokal, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang tidak
berhubungan. Satu atau kedua kaki, tangan dan kaki, atau wajah dan
tangan.
Distonia segmental, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang
berdekatan. Contohnya mata, mulut, dan wajah bagian bawah.
Hemidistonia, melibatkan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang
sama, seringkali merupakan akibat dari stroke.
Epidemiologi
Bentuk distonia primer yang paling umum adalah distonia fokal, salah satunya
distonia cervical adalah distonia paling umum terjadi dengan prevalensi antara 57 dan
290 orang per 1 juta populasi. 44% pasien ditemukan memiliki riwayat keluarga dengan
distonia. Meskipun CD merupakan bentuk distonia fokal yang paling sering ditemui oleh
10
ahli saraf, kejadian dan prevalensi gangguan ini masih sulit untuk dikaji terutama terkait
kurangnya pelaporan data. Salah satu penelitian di Jepang menyebutkan data bahwa CD
lebih sering terjadi pada wanita daripada pria, dan dikatakan muncul pada 5 hingga 20 per
100.000 orang. Menariknya, National Spasmodic Torticollis Association, sebuah
organisasi yang terdiri dari orang-orang yang didiagnosis dengan CD, memperkirakan
ada 90.000 kasus yang tercatat di Amerika Serikat saja. Angka prevalensi ini, dapat
meningkat sebagai akibat dari biasnya metode pengumpulan data yang memasukkan
kriteria pasien CD dengan cerebral palsy atau kasus lain terkait spastisitas leher dan
presentasi "nondystonic" lain dari spasmodic torticollis (ST).
CD primer / idiopatik lebih sering terjadi pada wanita dan dilaporkan pada rasio
1,4 sampai 1,9: 1 (perempuan: laki-laki). Dalam satu penelitian besar, disebutkan bahwa
ada perbedaan yang signifikan dalam onset usia, CD terjadi pada usia rata-rata 39,2 tahun
untuk pria dan 42,9 tahun untuk wanita. Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa
onset CD paling umum terjadi pada dekade kelima dengan distribusi usia onset yang
sama untuk pria dan wanita.
Patofisiologi
Mekanisme neurofisiologi utama terjadinya distonia adalah adanya penurunan inhibisi
kortikal, peningkatan eksitabilitas kortikal, proses sensoris yang abnormal. Adanya
proses sensorimotor yang abnormal dan maladaptive cortical plasticity pada patogenesis
distonia dihasilkan oleh beberapa fenomena klinis. Sehubungan dengan perubahan atau
gangguan pada feedback sensorimotor, contohnya termasuk kejadian distonia spesifik
seperti writer’s cramp dan musician dystonia dalam perilaku yang repetitif; adanya
trauma perifer menyebabkan distonia pada daerah yang terkena; blefarospasme yang
terjadi setelah iritasi atau mata kering. Dalam penelitian terhadap monyet, gerakan
repetitif dan memberatkan dapat menyebabkan munculnya gerakan – gerakan abnormal
yang mengarah ke distonia dan terjadi degradasi pada bidang reseptif tangan di korteks
sensorik primer.
Mekanisme Genetik dan Molekular
DYT1 onset anak – anak dengan rata – rata usia 12 tahun dan onset sebelum usia 26
11
tahun. Usia 64 tahun juga pernah dilaporkan. Pertama kali biasanya mengenai ekstrimitas
dan sekitar 65% pasien secara progresif selama 5 – 10 tahun menjadi distonia generalisata
atau distonia multifokal. DYT1 jarang mengenai otot kranial, DYT 1 disebabkan karena
adanya delesi GAG pada exon 5 gen DYT1 (TOR1A), yang menyebabkan hilangnya
asam glutamat pada area C terminal di protein. Mutasi gen ini diwariskan secara
autosomal dominan.
Manifestasi Klinis
Penegakan diagnosis terkadang sulit ditegakkan karena gejalanya mirip dengan
banyak kondisi movement disorder lain. Distonia muncul setelah gerakan tertentu, tetapi
pada tahap lanjut hal tersebut dapat muncul saat istirahat. Hal tersebut biasanya
mempengaruhi kelompok otot yang sama sehingga menyebabkan munculnya pola
gerakan berulang.
Pasien sering datang dengan perubahan postur dengan manifestasi tonik dan
menetap, atau intermiten, maupun bentuk klonik atau seperti tremor. Gejala dapat
berkisar dari ringan hingga parah, dan sering kali melibatkan gerakan menarik dan
menyentak kepala dan leher. Rotasi kepala ke samping dan leher memutar adalah gejala
yang paling sering diamati pada CD. Kekakuan leher dengan nyeri mungkin dialami
karena kejang dan kontraksi otot pada area yang terlibat.
Meskipun presentasi klinis tetap sangat bervariasi, sejumlah tanda dan gejala dapat
membantu dokter dalam mengevaluasi. Pada awal perjalanan penyakit ini, pasien
melaporkan perasaan tarikan pada leher dan atau kepala twist atau tersentak secara tidak
sengaja. Selain perubahan postur, pasien mungkin juga mengalami keluhan sensorik, dan
tidak seperti distonia fokal lainnya, pada CD nyeri sering berkontribusi juga. Keluhan
nyeri biasanya menyebar ke daerah bahu dan leher. Keluhan nyeri mungkin terjadi secara
terus menerus atau hilang tinbul dan sering menjalar ke arah kepala yang berotasi. Pasien
juga biasa mengeluhkan rasa kaku, dan perasaan leher tertarik.
Pasien dengan CD akan datang dengan beberapa derajat rotasi kepala, dengan
kemungkinan berbagai macam postur kepala dan leher yang abnormal, mayoritas pasien
CD datang dengan beberapa penyimpangan postural. Tortikolis rotasi adalah komponen
yang paling umum dari presentasi kombinasi CD, diikuti oleh kemiringan kepala,
retrocollis, dan anterocollis.
12
Perjalanan dan gejala CD bervariasi dari satu pasien ke pasien lainnya. Chanet al
melaporkan bahwa mayoritas (83%) pasien CD menunjukkan deviasi kepala abnormal
lebih dari 75%, namun tidak disebutkan berapa prevalensi keterlibatan sisi kiri atau
kanan. Lepala tersentak dan / atau spasme leher dilaporkan pada 62% pasien CD. Tremor
tungkai postural dapat terlihat pada sepertiga pasien dengan CD, dan kondisi distonia,
seperti oromandibular dystonia, blepharospasm, dan distonia aksial, telah diamati pada -
20% pasien CD.
Terdapat sejumlah faktor yang dapat memperingan dan berfungsi untuk
pengelolaan gejala CD. Trik sensorik seperti sentuhan lembut pada wajah, kepala, atau
leher, adalah teknik yang secara tradisional digunakan oleh pasien untuk meredakan
kontraksi otot distonik. Meskipun mekanisme fisikal untuk trik ini masih belum dapat
dijelaskan,namun efek trik sensorik menunjukkan kontribusi sensorik potensial untuk
mengatasi gangguan motoric ini. Sekalipun penggunaan trik sensorik tampaknya cukup
umum di CD, evektivitas trik ini masih belum benar-benar dapat ditentukan. Salah satu
studi melaporkan bahwa 88,9% subjek pasien CD menggunakan trik sensorik untuk
menjaga kepala mereka tetap pada posisi garis tengah tubuh. Hipotesis menyatakan
bahwa gerakan-gerakan ini memainkan peran fisiologis dalam memperbaiki gejala CD.
Menariknya, beberapa pasien melaporkan pengurangan gejala hanya dengan
membayangkan trik sensorik, satu penelitian menetapkan bahwa 52% (13/25) pasien
mengalami penurunan> 50% dalam aktivitas elektromiografi (EMG) saat memulai trik
sensorik mereka. Gerakan yang dibayangkan dikenali dengan baik untuk mengaktifkan
motorik dan area lain dari korteks. Meskipun efektivitas trik sensorik dapat berkurang
seiring dengan progresivitas penyakit, namun trik ini dianggap sangat berguna untuk
pasien dengan gejala yang masih awal.
Gerakan atau posisi tertentu yang mungkin tidak terkait langsung dengan
patofisiologi CD juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki atau memperburuk
gejala penyakit, tetapi ini sangat bervariasi. Beberapa tindakan efektif memperbaiki
gejala termasuk berbaring miring, relaksasi, dan tidur. Menarik rambut dan menguap juga
merupakan trik sensorik terkait CD.
Satu studi mengamati bahwa stres psikologis memperburuk CD di 80% pasien,
kelelahan akibat peningkatan aktivitas seperti berjalan jauh dan membawa benda berat
dapat memperburuk gejala CD di 70% populasi. Posisi tertentu, seperti terlentang,
13
relaksasi, tidur, dan berbaring miring, memperburuk CD pada 25% pasien tetapi justru
memiliki efek protektif pada> 40% pasien. Dalam penelitian yang sama, 31% pasien
mengalami gejala yang memburuk beberapa waktu setelah bangun dari tidur. Beberapa
pasien melaporkan konsumsi alcohol juga dapat berefek meringankan gejala.
Disabilitas dalam melakukan aktivitas keseharian maupun pekerjaan tampaknya
lebih berat terjadi pada CD dibandingkan pada distonia fokal lainnya. Sebuah penelitian
terhadap pasien CD di Norwegia menyelidiki tingkat pekerjaan pada pasien yang
dipekerjakan pada permulaan penyakit dan tepat sebelum memulai pengobatan botulinum
neurotoxin (BoNT) selama sekitar 5 tahun. Hasilnya, persentase rata-rata pekerjaan
menurun secara signifikan dari 84% menjadi 47% dalam populasi ini dari awal penyakit
hingga tepat sebelum dilakukan injeksi botulinium toxin. Secara khusus, pasien CCD juga
dinilai oleh responden suatu penelitian menjadi kurang bertanggung jawab atas tindakan
mereka, kurang disukai, kurang dapat dipercaya, kurang menarik, kurang percaya diri, dan
dipandang lebih aneh daripada subjek control.
Diagnosis Banding
1. Cervical radiculopathy
2. Movement disorder
Parkinson's disease Corticobasal ganglionic degeneration Huntington's disease
3. Psychogenic dystonia
4. Gangguan neurologis lain
Tumor pada tractus ekstrapiramidal Stroke iskemik / hemoragik tractus ekstrapiramidal (korteks motoric, ganglia basalis,
substansia retikularis batang otak, serebelum)
Tatalaksana distonia
a. Farmakologis
1) Terapi awal untuk distonia umum, distonia onset usia anak / remaja.
Dasar terapi : terdapat defek pada sintesa dopamin jumlah dopamin di
14
striatum dan subs Nigra berkurang.
Dosis awal :
levodopa / carbidopa : 100 /25 mg, 2 kali sehari.
ditingkatkan menjadi 250 /25 , 3 kali sehari.
Jika tidak ada perbaikan selama 2 bulan, terapi tetap diteruskan dan ditambah
THP
2) Antikolinergik Trihexiphenidyl (THP) Dosis yang disarankan : 1/2 tablet
malam hari ditingkatkan sampai 12 mg /hari dalam 4 minggu.
70 % pasien dengan distonia umum akan perbaikan dengan dosis
antikolinergik yang tinggi.
Dosis THF yang diperlukan 30 – 40 mg perhari.
Efek samping : pandangan kabur, mulut kering, bingung, hilangnya memori.
3) Gabaergik
Baclofen merupakan Gabaergik.
Menstimulasi reseptor GABA B,
Dosis awal : 10 mg dan ditingkatkan tiap minggu
Dosis maksimum 30 mg, 3-4 kali/hari.
Efek samping termasuk : mengantuk, bingung
4) Benzodiazepin
Dapat efektif untuk distonia fokal, segmental atau umum.
Clonazepam (klonopin):
a. dosis awal 0,25 mg dan ditingkatkan bertahap
b. dosis maksimal 4 mg / hari.
efek samping : mengantuk, bingung, sulit konsentrasi
5) Toxin Botulinum
Toxin botulinum tipe A dapat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk
distonia cranial primer atau distonia cervical, efektif untuk distonia fokal.
Diproduksi oleh bakteri Clostridium botulinum, mekanisme kerja nya adalah
dengan menghambat pelepasan asetilkolin presinaptik pada neuromuskular
junction, terdapat 7 serotipe toxin botullinum, hanya tipe A dan B yang
digunakan di klinik. Efek dari injeksi toksin ini akan terlihat beberapa jam
15
setelah injeksi, injeksi toksin botulinum pada otot – otot yang terkait (paling
sering m. Strenocleidomastoideus, m. Trapezius, dan splenius capitis) akan
menurunkan kontraksinya kurang lebih 3 bulan.
Distonia tortikolis :
Dosis 100-400 U disuntikkan
Onset of action 3-5 hari.
Dilaporkan : 80 - 90 % penderita distonia cervical akan membaik setelah 12 minggu.
Pasien blefarospasme :
Diberi dosis 5 -10 U tiap mata,
Disuntik di orbicularis okuli.
Dilaporkan : 90 % penderita blefarospasme menunjukkan perbaikan
dengan pemakaian 14 minggu.
b. Non Farmakologis
1) Operasi
Operasi dibutuhkan jika terapi lain tidak efektif. Tujuan dari pembedahan
adalah untuk menghambat jalur yang bertanggung jawab terhadap adanya
gerakan abnormal. Beberapa diantaranya adalah thalamotomy, pallidotomy.
Operasi lain termasuk rhizotomy cervicalis anterior, atau memotong saraf
pada titik – titik yang mempersarafi otot yang berkontraksi (denervasi perifer
selektif)
2) Deep Brain Stimulation (DBS)
DBS merupakan suatu prosedur bedah saraf yang melibatkan penempatan perangkat medis yang disebut neurostimulator (kadang-kadang disebut sebagai "alat pacu otak"), yang mengirimkan impuls listrik, melalui elektroda yang ditanamkan, ke target tertentu di otak.
E. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 8 april 2021.
Status Generalis
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
16
b. Kesadaran : Compos Mentis/ GCS = E4M6V5= 15
c. TD : 180/100 mmHg (H)
d. Nadi : 102 x/menit, Reguler (H)
e. Pernapasan : 20 x/menit, Reguler
f. SpO2 : 98%
g. Suhu : 36,7oC
h. Kepala : normosefali, tidak ada kelainan
i. Mata : OS : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+),
Reflek kornea (+), Ptosis (-), Eksoftalmus (-)
OD : pupil bulat, ø 3mm, refleks cahaya langsung (+), Reflek
kornea (+) Ptosis (-), Eksoftalmus (-). Konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
j. THT : rhinorea (-), otorhea (-)
k. Mulut : Mukosa tidak tampak hiperemis
1) Faring : Mukosa hiperemis (-), T1-T1 tenang, Uvula ditengah,
arcus faring simetris
2) Lidah : Atrofi papil lidah (-), lidah deviasi (-)
l. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar, trachea
ditengah
m. Thoraks :
1) Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tak teraba
Perkusi :
Kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Kiri jantung : ICS V, 2cm medial linea midclavicula
sinistra
17
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
2) Pulmo :
Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri simetris saat statis dan
dinamis, retraksi dada (-)
Perkusi : Sonor di semua lapang paru
Palpasi : Taktil fremitus simetris kanan dan kiri
Auskultasi : Suara dasar paru (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
n. Abdomen : datar, supel, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak
teraba
o. Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT < 2 detik, edema (-/-)
Status Psikiatrikus
a. Arus pikir : koheren
b. Tingkah laku : Wajar, pasien sadar
c. Ingatan : Baik, amnesia (-)
d. Kecerdasan : Baik, sesuai tingkat pendidikan
18
Status Neurologis
a. Sikap : wajah tidak lurus dan simetris pada tengah aksis tubuh, cenderung tertarik ke sisi kanan
b. Gerakan abnormal : kontraksi involunteer m. Sternocleidomastoideus, tremor otot leher
c. Cara berjalan : tidak ada kelainan
d. Kognitif : Tidak ada gangguan komunikasi
Pemeriksaan Nervus Kranialis
Saraf Kranialis Kanan Kiri
N. I Olfaktorius
Daya Penghidu Normal Normal
N. II Optikus
Daya Penglihatan
Lapang Penglihatan
N
N
N
N
Melihat Warna N N
19
N. III Okulomotorius
Ptosis
Gerakan mata ke medial
Gerakan mata ke atas
Gerakan mata ke bawah
Nistagmus
Eksoftalmus
Enoftalmus
Pupil – diameter
- Bentuk
Refleks terhadap sinar
langsung/tidak langsung
Penglihatan ganda (diplopia)
(-)
Baik
Baik
Baik
(-)
(-)
(-)
3mm
Bulat, isokor, sentral
(+)
(-)
(-)
Baik
Baik
Baik
(-)
(-)
(-)
3mm
Bulat, isokor, sentral
(+)
(-)
N.IV Trokhlearis
Pergerakan mata
(ke bawah-lateral)
Srabismus konvergen
Baik
(-)
Baik
(-)
20
N.V Trigeminus
Sensibilitas muka
Reflek kornea
Trismus
Membuka mulut
Menggigit
Refleks bersin
Normal
(+)
(-)
Baik
Baik
Baik
Normal
(+)
(-)
Baik
Baik
Baik
N.VI Abducen
Gerakan mata ke lateral
Strabismus konvergen
Normal
(-)
Normal
(-)
N.VII Fasialis
Sulcus nasolabialis
Kedipan mata
Sudut Mulut
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Meringis
Mengembungkan pipi
Baik
Baik
Baik
(+)
(+)
(+)
(+)
Baik
Baik
Baik
(+)
(+)
(+)
(+)
Daya Kecap 2/3 anterior Tidak dilakukan Tidak dilakukan
21
N.VIII Vestibulokoklearis
Detik arloji
Suara berisik
Weber
Rinne
Swabach
(+)
(+)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
(+)
(+)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
N.IX Glossofaringeus
Daya kecap 1/3 belakang (+) (+)
Refleks Muntah (-) (-)
Arcus pharynx Simetris Simetris
Tersedak (-) (-)
Sengau (-) (-)
N.X Vagus
Arcus pharynx Simetris uvula di tengah
Menelan Normal, tidak tersedak
Berbicara Baik
22
N.XI Accecorius
Mengangkat bahu
Tropi otot bahu
Sikap Bahu
Baik
Eutrofi
Simetris
Baik
Eutrofi
Simetris
N.XII Hypoglossus
Sikap lidah
Artikulasi
Menjulurkan lidah
Tremor lidah
Fasikulasi
Atrofi otot lidah
Deviasi (-)
Baik
Lateralisasi (-)
(-)
(-)
Eutrofi
Deviasi (-)
Baik
Lateralisasi (-)
(-)
(-)
Eutrofi
23
Pemeriksaan Laboratorium darah
Hematologi Hasil Nilai RujukanHemoglobin 16.0 13.2 – 17.3 g/dlLeukosit 10.7 3.8 – 10.67 ribuEritrosit 5.53 4.4 - 5.9 jutaHematokrit 45.7 40 – 52 %Trombosit 338 ribu 150 - 400 ribuMCV 85.8 82-98 FlMCH 30 27-32 pgMCHC 35.4 32-37 g/dlRDW 10.9 10 - 16 %MPV 9.8 7 - 11 mikro m3Limfosit 1.21 25 – 40 %Monosit 0.42 2 – 8 %Eosinophil 0.023 2 – 4 %Basophil 0.01 0 – 1 %Neutrophil 7.48 1.8 – 7.5 %Limfosit % 24 25 – 40 %Monosit % 5.0 2 – 8 %Eosinophil % 0.220 (L) 2 – 4 %Basophil % 0.1 0 – 1 %Gula Darah Sewaktu 143 70-110 mg/dLUreum 27 10-50 mg/dLKreatinin 1.1 (NH) 0.62-1.1 mg/dLTrigliserida 58 (L) 70-140Asam urat 6.83 2-7 g/dlKolesterol 206 < 225SGOT 21 0-50SGPT 59 0-50HbsAg Negatif Negative
24
Pemeriksaan Radiologi
Foto Head CT Scan
Hasil:
Tak tampak gambaran infark, perdarahan, atau SOL intrakranial.
Tak tampak tanda peningkatan tekanan intracranial.
25
Foto Rontgen Vertebra Cervical AP Lateral Oblique kanan kiri
Hasil:
Tak tampak kompresi maupun listhesis pada X-Foto cervical
Tak tampak penyempitan diskus dan foramen intervertrebralis cervical
Airway space baik
26
F. DISKUSI KEDUA
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis distonia. Pada
pasien ini didapatkan pada pemeriksaan status neurologis didapatkan adanya kontraksi
abnormal dari m. Sternocleidomastoideus serta rotasi kepala yang tertarik ke sebelah
kanan.
Pemeriksaan Rontgen thoraks servikal AP Lateral oblique tidak menunjukkan adanya
kompresi, maupun penyempitan diskus dan foramen intervertrebralis cervical, sehingga
dapat mencoret diagnosis banding berupa Cervical radiculopathy. Dari pemeriksaan
radiologi CT scan tidak menunjukkan adanya SOL intracranial maupun infark atau
perdarahan pada bagian otak yang menjadi diagnosis banding pada kasus ini. Sehingga
didapatkan kesan etiologi dari distonia adalah idiopatik (primer). Selain itu, untuk
menyingkirkan bahwa pada pasien ini merupakan distonia primer bukan sekunder karena
adanya parkinson bahwa pada pasien ini tidak didapatkan adanya tanda – tanda parkinson
seperti tremor, rigiditas, bradikinesia dan defisit memori pada pasien ini.
Data dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan
bahwa distonia yang terjadi pada pasien ini merupakan distonia servikalis primer dengan
factor risiko herediter dan Riwayat trauma leher.
G. DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis klinis : kontraksi involunter otot leher kronik persisten
Diagnosis topis : ganglia basalis
Diagnosis etiologis : cervical dystonia e.c primer dd sekunder
27
PLANNING
a. Terapi :
1. Inf Asering 16 tpm
2. PO Candesartan 1 x 16
3. Inj ketorolac 3 x1
4. inj ranitidine 2 x1
5. inj citicoline 2 x 500
6. inj mecobalamin 1 x1
7. inj methylprednisolone 3 x 1 Amp
8. Inj ceftriaxone 2 x 1 gr
PROGNOSIS
Death : bonam
Disease : Dubia
Dissability : Dubia ad malam
Discomfort : Dubia
Dissatisfaction : Dubia
Distutition : Dubia
FOLLOW UP
6 April 2021 S: Datang dengan keluhan nyeri dan
kekakuan pada leher, serta leher terasa
tertarik ke kanan sehingga wajah sulit
menghadap depan. Keluhan mulai muncul
3 bulan yang lalu setelah sebelumnya
didahului Riwayat terjatuh dari tempat
tidur. Keluhan semakin hari dirasa
semakin memberat dan mengganggu
aktivitas sehari-hari terutama terkait
pekerjaan saat berkendara. Pasien
28
memiliki Riwayat hipertensi selama
kurang lebih 5 tahun, dengan penggunaan
obat yang kurang patuh. DM (-), Alergi
(-)
O:
KU/ kesadaran : sakit sedang / CM
TD: 180/100
N:102
RR: 20
T: 36,6
A: Distonia servikalis
P:
Inf Asering 16 tpm
PO Candesartan 1 x 16
Inj ketorolac 2 x 30
Inj citicoline 2 x 500
inj ranitidine 2 x1
inj mecobalamin 1 x1 7 April 2021 S: keluhan nyeri leher sedikit berkurang,
namun leher masih terasa tertarik kea rah
kanan 15 menit setelah bangun tidur pagi.
Semalam sulit tidur.
O:
TD: 160/100
N: 99
RR: 20
T: 36,7
A: Distonia
P:
Inf Asering 16 tpm PO Candesartan 1 x 16 PO Amlodipin 1x1
29
PO Diazepam 2 x2
P.O Depakote ER 2 x 500
Inj ketorolac 2 x 30 inj ranitidine 2 x1 inj mecobalamin 1 x1
8 April 2021 S: keluhan nyeri leher berkurang, leher
masih terasa tertarik kearah kanan 15 menit
setelah bangun tidur pagi. Tidak ada
keluhan kesemutan maupun kebas pada
anggota gerak lain.
O:
TD: 120/90
N: 74
(normal)
RR: 20
T: 36,7
A: Distonia
P:
Inf Asering 16 tpm PO Candesartan 1 x 16 PO Amlodipin 1x1 PO clobazam 2 x5
P.O Depakote ER 2 x 500
P.O eperison 2 x 1
Inj ketorolac 2 x 30 inj ranitidine 2 x1 inj mecobalamin 1 x1
9 April 2021 S: keluhan nyeri leher berkurang, leher
masih terasa tertarik kearah kanan 1 jam
setelah bangun tidur pagi. Lama waktu leher
tidak tertarik mengalami perbaikan.
O:
TD: 120/80
N: 80
30
(normal)
RR: 20
T: 36,7
A: Distonia
P:
Inf Asering 16 tpm PO Candesartan 1 x 16 PO Amlodipin 1x1 PO clobazam 2 x5 (boleh diganti
clonazepine)
P.O Depakote ER 2 x 500
P.O eperison 2 x 1
Inj ketorolac 2 x 30 inj ranitidine 2 x1 inj mecobalamin 1 x1
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42